You are on page 1of 3

Kata Ibnu Mubarak, Khalid bin Ma’dan berkata kepada Mu’adz: “Mohon diceritakan satu hadits yang

terdengar olehmu dari Rasulullah SAW yang kamu hafal dan kamu ingat setiap hari karena sangat
kerasnya haditz itu dan sangat halus dan sangat mendalamnya hadits tersebut. Hadits manakah
menurut tuan yang paling penting?”. Maka jawabnya: “Baiklah akan kau ceritakan.” Kemudian
beliau menangis dahulu. Lama sekali menangisnya itu, selanjutnya beliau berkata: “Ehm, sungguh
kangen sekali kepada Rasulullah, ingin segera bersua dengan beliau.”

Kemudian dia berkata lagi: “Ketika menghadap kepada Rasulullah SAW beliau menunggang kuda dan
beliau menyuruhku untuk naik dibelakang beliau; kemudian berangkatlah aku bersama beliau dengan
mengendarai unta tersebut dan beliau menengadah ke langit, kemudian bersabda:

“Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang berkehendak kepada makhlukNya menurut kehendakNya,
wahai Mu’adz!” Jawabku: “Ya Sayyidal Mursalin.” Sabda beliau: “Sekarang aku akan menceritakan
satu cerita kepadamu yang apabila dihafalkan olehmu, akan berguna bagimu, tapi kalau disepelekan
olehmu, maka kamu tidak akan mempunyai hujjah kelak di hadapan Allah.

“Hai Mua’dz! Allah itu menciptakan tujuh Malaikat sebelum Dia menciptakan tujuh langit dan bumi.
Tiap langit ada satu Malaikat yang menjaga pintu. Dan tiap-tiap pintu langit itu dijaga oleh Malaikat
penjaga pintu menurut kadarnya pintu dan keagungannya.

“Maka Malaikat yang memelihara amal si hamba dan mencatatnya naik ke langit dengan membawa
amal si hamba tersebut yang bersinar-sinar cahayanya bagaikan cahaya matahari. Setelah sampai ke
langit pertama, Malaikat Hafadzoh menganggap amal si hamba itu banyak dan memuji kepada amal-
amal tersebut. Akan tetapi setelah sampai kepada pintu langit pertama, berkatalah Malaikat penjaga
pintu langit pertama kepada Malaikat Hafadzoh: “Tamparkanlah amal ini ke muka (wajah)
pemiliknya! Saya ini penjaga tukang mengumpat dan saya di perintah untuk tidak menerima tukang
mengumpat orang lain itu untuk masuk dan jangan sampai melewatiku untuk mencapai langit
berikutnya.”

“Kemudian keesokan harinya ada lagi Malaikat Hafadzoh naik kelangit dengan membawa amal shalih
yang berkilauan cahayanya yang dianggap oleh Malaikat Hafadzoh begitu sangat banyaknya serta
dipuji. Namun begitu sampai kelangit kedua (yang lolos dan selamat dari langit pertama sebab
pemilik amal shalih tersebut tidak suka mengumpat) berkatalah Malaikat di langit kedua:
“Berhentilah dan tamparkanlah amal ini ke wajah pemiliknya, sebab dengan amalnya itu, dia
berharap keduniaan. Allah memerintahkan kepadaku harus menahan amal ini jangan sampai lewat
kepada langit yang lain. Maka Malaikat semuanya melaknat kepada orang tersebut samapai sore.”

“Ada lagi Malaikat Hafadzoh yang naik dengan membawa amal hamba Allah yang sangat memuaskan
penuh dengan sedekah, puasa dan bermacam-macam kebaikan yang oleh Malaikat Hafadzoh
dianggap demikian banyaknya dan di puji. Akan tetapi sampai di langit ketiga, berkatalah Malaikat
penjaga langit ketiga: “Berhentilah, tamp[arkanlah ke wajah pemiliknya amal ini, saya Malaikat
penjaga kibir (orang yang sombong) Allah memerintahkan kepadaku agar amal ini tidak melewati
pintuku dan jangan sampai ke langit berikutnya. Salahnya sendiri dia takabbur kepada orang lain di
dalam perkumpulan.”

Singkatnya, Malaikat Hafadzoh naik ke langit dengan membawa amal hamba yang lain dan bersinar
bagaikan bintang yang paling besar. Suaranya gemuruh penuh dengan tasbih, puasa, shalat, naik haji
dan umrah. Begitu sampai ke langit ke empat, Malaikat penjaga langit ke empat itu berkata:
“Berhentilah jangan dilanjutkan, tamparkanlah amal ini ke wajah pemiliknya, saya ini penjaga ujub
dan Allah memerintahkan kepadaku agar amal ini jangan sampai lewat, sebab jika dia beramal selalu
ujub.”

Kemudian naik lagi Malaikat Hafadzah dengan membawa amal hamba yang diiringi seperti pengantin
perempuan diiring kepada suaminya. Begitu sampai ke langit kelima dengan membawa amal yang
begitu bagus, seperti jihad, ibadah haji, ibadah umrah, cahanya pun berkilauan bagaikan matahari.
Berkata Malaikat penjaga langit kelima: “Saya ini penjaga sifat hasud, nah dia itu yang amalnya
demikian bagus itu suka hasud/iri kepada orang lain atas kenikmatan Allah yang diberikan
kepadanya. Jadi dia itu membenci kepada orang yang meridlokan kepada nikmat Allah (benci
nikmat). Saya diperintahkan oleh Allah jangan membiarkan amal itu untuk emlewati pintuku ke pintu
yang lain.”

Kemudian Malaikat Hafadzah naik lagi dengan membawa amal yang lain berupa wudlu yang
sempurna, shalat yang banyak, puasa, haji dan umrah sehingga sampailah ke langit yang keenam dan
berkata Malaikat penjaga pintu ini: “Saya ini Malaikat penjaga pintu Rahmat, nah amal yang seolah-
olah bagus ini tamparkanlah ke wajah pemiliknya, salahnya sendiri bahwa dia itu belum pernah
mengasihi orang lain. Apabila ada orang yang mendapatkan musibah dia merasa senang. Aku
diperintahkan oleh Allah bahwa amalnya ini jangan melewatiku, supaya jangan samapai kepada yang
lain.”

Dan naik lagi Malaikat Hafadzah ke langit dengan membawa amal si hamba berupa bermacam-
macam sedekah, puasa, shalat, jihad dan wara’. Suaranya pun bergemuruh seperti geledek,
cahayanyapun bagaikan kilat. Begitu sampai ke langit ketujuh, berkata Malaikat penjaga langit yang
ketujuh itu: “Saya ini penjaga sum’ah (ingin masyur), sesungguhnya si pengamal ini ingin termasyur
dalam kumpulan-kumpulan dan selalu ingin tinggi di saat berkumpul dengan kawan-kawannya yang
sebaya dan ingin mendapat pengaruh dari para pemimpin. Allah memerintahkan kepadaku agar
amalnya itu jangan sampai melewatiku dan jangan sampai kepada yang lain. Dan tiap-tiap amal yang
tidak bersih karena Allah, maka itulah riya. Allah tidak akan menerima dan mengabulkan amalnya
orang-orang yang riya.”

Kemudian Malaikat Hafadzah itu naik lagi dengan membawa amalnya hamba yakni: shalat, zakat,
puasa, haji, umrah, akhlak yang baik dan pendiam tidak banyak omong, Dzikir kepada Allah.
Kemudian diiring oleh Malaikat kelangit ketujuh sehingga sampai menerobos hijab-hijab dan
sampailah ke khadirat Allah. Para Malaikat itu berdiri dihadapan Allah. Semuanya menyaksikan
bahwa amal ini adalah amal shalih, yang diikhlaskan karena Allah.

Tapi firman Allah: “Kalian adalah Hafadzah, pencatat amal hambaKu, sedang Akulah yang mengintip
hatinya, amal yang ini tidak karena Aku, yang dimaksud olehnya itu adalah selain daripadaKu, tidak
diikhlaskan kepadaKu. Aku lebih mengetahui daripada kamu apa yang dimaksud olehnya dengan
amalnya itu. Aku laknat mereka, menipu kepada orang lain dan juga menipu kepadamu (Malaikat-
Malaikat Hafadzah) Tapi Aku ini tidak akan tertipu olehnya. Aku ini yang paling tahu akan hal yang
ghaib-ghaib.. Akulah yang melihat isinya hati, dan tidak akan samar kepadaKu setiap apapun yang
samar, tidak akan tersembunyi bagiKu setiap apapun yang sembunyi. PengetahuanKu atas apa yang
telah terjadi, sama dengan pengetahuanKu akan apa yang bakal terjadi. PengetahuanKu atas apa yang
telah lewat sama dengan pengetahuanKu kepada apa yang akan datang. PengetahuanKu kepada
orang-orang yang terdahulu sebagaimana pengetahuanKu kepada orang-orang yang kemudian.

“Aku lebih tahu atas apapun yang lebih samar daripada rahasia, bagaimana akan bisa hambaKu
dengan amalnya itu menipu kepadaku, bisa juga mereka itu menipu kepada makhluk-makhluk yang
tidak tahu, sedangkan Aku ini Yang Mengetahui kepada yang ghaib-ghaib. LaknatKu tetap
kepadanya.”

Kata ketujuh Malaikat dan 3000 Malaikat yang menyertai: “Ya Tuhan, dengan demikian tetaplah
laknatMu dan laknat kami semua bagi mereka.”

Maka semua yang ada dilangit mengucapkan: “Tetaplah laknat Allah kepadanya dan laknat orang-
orang yang melaknat.”

Sayyidina Mu’adz (yang meriwayatkan hadits ini) kemudian menangis dengan terisak-isak, dan
berkata: “Ya Rasulullah, bagaimana aku bisa selamat dari apa yang diceritakan baru saja?”

Sabda Rasulullah SAW.: “Hai Mu’adz, ikutilah Nabimu dalam soal keyakinan!”

Aku bertanya kembali: “Gusti tuan ini adalah Rasulullah, sedang saya ini adalah si Mu’adz bin Jabal
bagaimana saya bisa selamat dan bagaimana saya bisa terlepas dari bahaya tersebut?”
Bersabda Rasulullah SAW.: “Ya begitulah, seandainya dalam amalmu ada kelengahan, maka tahanlah
mulutmu jangan sampai menjelekkan orang lain dan juga kepada saudara-saudaramu sesama Ulama.
Apabila kamu hendak menjelekkan orang lain, harus ingat kepada dirimu sendiri sebagaimana
engkau pun tahu bahwa dirimupun penuh dengan aib-aib. Jangan membersihkan dirimu dengan
menjelek-jelekkan orang lain. Jangan mengangkat dirimu sendiri dengan menekan orang lain. Jangan
riya dengan amalmu agar amalmu itu diketahui orang lain. Dan janganlah kamu termasuk kedalam
golongan orang yang mementingkan keduniaan dengan melupakan akhirat. Kamu jangan berbisik-
bisik dengan seseorang padahal disebelahmu ada orang lain yang tidak diajak berbisik olehmu. Dan
janganlah takabur kepada orang lain, nanti akan luput bagimu kebaikan dunia akhirat. Dan jangan
berkata kasar dalam satu majlis dengan maksud supaya orang-orang takut akan keburukan akhlakmu.
Jangan membangkit-bangkit apabila kamu berbuat kebaikan. Jangan merobek-robek (pribadi) orang
lain dengan sebab mulutmu, kelak engkau akan dirobek-robek oleh anjing-anjing Jahanam yakni
sebagaimana firman Allah: “WANNAASYITHAATI NASYTHAA”

Di neraka itu ada anjing-anjing perobek badan-badan manusia. Jadi mengoyak-ngoyak daging dari
tulang.

Aku berkata: “Ya Rasulullah, siapa yang kuat menanggung penderitaan semacam ini.”

Jawab Rasulullah SAW.: “Mu’adz, yang kami ceritakan tadi itu akan mudah bagi mereka yang
dimudahkan oleh Allah SWT., cukup untuk menggalang semua itu. Kamu harus menyayangi orang
lain sebagaimana kamu menyayangi dirimu sendiri. Dan benci kepada orang lain apa-apa yang
dibenci oleh dirimu sendiri. Apabila demikian maka kamu akan selamat dan pasti dirimu akan
terhindar.

Kata Khalid bin Ma’dam (yang meriwayatkan hadits tersebut dari Sayyidina Mu’adz): “Sayyidina
Mu’adz sering membaca hadits ini sebagaimana seringnya membaca Al-Qur’an dan mempelajari
hadits ini sebagaimana mempelajari Al-Qur’an dalam majlisnya.”

Maka setelah kalian mendengar hadits ini yang demikian luhur beritanya, yang besar bahayanya dan
atsarnya yang menyakitkan. Serasa akan terbang bila hati mendengarnya serta membingungkan akal
dan menyempitkan dada serta penuh dengan hura-hura yang mengagetkan.

Nah, apabila kamu telah mendengarnya, maka kamu harus berlindung kepada Tuhanmu, Tuhan seru
sekalian alam. Diam dipintu, mudah-mudahan saja dibukakan dengan lemah lembut/merendahkan
diri dan mendo’a, menjerit dan menangis semalam-malaman. Juga disiang hari bersama orang-orang
yang merendahkan diri yang menjerit dan berdo’a kehadirat Allah. Sebab tidak akan bisa selamat
dalam urusan ini kecuali dengan adanya rahmat Allah SWT., dan tidak akan bisa selamat dari
tenggelamnya di laut ini kecuali dengan penglihatan dan taufiqNya dan inayat daripadaNya.[*]

Menuju Mukmin Sejati - Imam Al-Ghazali

You might also like