You are on page 1of 8

KERTAS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN DESA SIAGA

I. PENDAHULUAN Desa Siaga sebagai sebuah terobosan yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan dalam meningkatkan akses pada pelayanan kesehatan yang berkualitas, banyak menuai kontroversi dalam implementasinya. Desentralisasi sebagai tonggak perubahan pengaturan kewenangan bidang kesehatan mengakibatkan kebijakan pengembangan desa siaga tidak pada posisi yang kuat. Meskipun kebijakan tersebut memiliki arti yang strategis dalam mendekatkan pelayanan kesehatan pada masyarakat, namun karena kebijakan Pengembangan Desa Siaga dirancang secara sentralistik dan diarahkan untuk mencapai target nasional, serta tidak relevan dengan kebijakan makro mengakibatkan pemerintah daerah tidak mendukung. Mengingat strategisnya kebijakan desa siaga, telah banyak dilakukan telaah dari berbagai hasil studi seperti penelitian desa siaga yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, kajian kebijakan desa siaga oleh Pusat Kajian Pembangunan Kesehatan, berbagai survey terkait dan high level policy discussion agar mampu memberikan ruang pada kebijakan desa siaga tersebut untuk beradaptasi dengan lingkungan kebijakannya. Berbagai masalah implementasi kebijakan desa siaga antara lain adalah: (1) kebijakan desa siaga bersifat sektoral yang berbentuk Kepmenkes yang tidak komprehensif karena tidak sejalan dengan kebijakan internal kesehatan serta kebijakan sektor terkait; (2) target yang ditetapkan sangat besar namun tidak diimbangi dengan proses persiapan dan sosialisasi yang memadai serta cenderung untuk kepentingan capaian target Pusat; (3) kebijakan desa siaga tidak mampu mendorong kemandirian masyarakat desa dalam menyelesaikan masalah kesehatan sesuai dengan potensi masalah di wilayahnya; (4) secara konseptual, kebijakan desa siaga tidak jelas dalam memaknai esensi pemberdayaan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan kesehatan; (5) Kebijakan desa siaga tidak secara tegas menjelaskan hal-hal yang mendasari upaya revitalisasi yang dilakukan dikaitkan dengan upayaupaya yang ingin dicapai serta program-program prioritas yang harus dilaksanakan.

II.

TUJUAN Tujuan penyusunan kertas kebijakan ini adalah memberikan masukan kebijakan/rekomendasi yang menyangkut pelaksanaan kebijakan terkait dengan pengembangan Desa Siaga. Diharapkan masukan tersebut dapat memberikan kontribusi dalam memperbaiki implementasi kebijakan, khususnya dalam meningkatkan aksesibilitas dan mutu pelayanan kesehatan masyarakat. 1

Kertas kebijakan ini disusun untuk menyampaikan usulan beberapa opsi kebijakan, penyempurnaan instrumen kebijakan serta kebutuhan studi kebijakan dalam rangka penyelesaian masalah/isu kebijakan terkait dengan pengembangan Desa Siaga.

III. ISU/MASALAH KEBIJAKAN Fungsi desa siaga dan kelengkapannya adalah terselenggaranya : a) pengamatan epidemiologis penyakit menular dan yang pengamatan yang berpotensi menjadi KLB serta faktor-faktor risikonya; b) penanggulangan penyakit menular dan yang berpotensi menjadi KLB serta kekurangan gizi; c) kesiapsiagaan penanggulangan bencana dan kegawatdaruratan kesehatan; d) pelayanan kesehatan dasar sesuai dengan kompetensinya. Isu pokok dalam kebijakan pengembangan Desa Siaga adalah mendekatkan pelayanan kesehatan dan pemberdayaan masyarakat untuk mewujudkan masyarakat desa yang sehat, serta peduli dan tanggap terhadap permasalahan kesehatan di wilayahnya, memiliki kesiapan sumber daya dan kemampuan serta kemauan untuk mencegah dan mengatasi masalah-masalah kesehatan, bencana dan kegawatdaruratan kesehatan secara mandiri. a. Mendekatkan pelayanan kesehatan Salah satu tujuan pengembangan Desa siaga adalah mendekatkan akses pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Faktanya, keberadaan desa siaga dianggap sebagai bentuk proyek baru yang hanya berbentuk pencapaian target fisik saja sehingga melupakan esensi untuk mendekatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Target fisik yang ada ketika ditransformasi menjadi bahasa anggaran, sebagai konsekuensi logis pengembangan Desa Siaga, menyulitkan penyusunan alokasi anggaran yang sesuai kebutuhan daerah, seperti munculnya anggaran untuk pembangunan Poskesdes dan pengadaan Poskesdes Kit. Dengan demikian maka implementasi kebijakan Desa Siaga tidak sepenuhnya dapat diwujudkan. Para pemangku kepentingan tidak memahami secara jelas konsep dalam penyelenggaraan Desa Siaga, aspek kebijakannya dan implikasi dari implementasi kebijakan tersebut. Keberadaan Desa Siaga ternyata tidak dapat menjadi driving force dalam mengoptimalkan fungsi UKBM yang telah ada bahkan yang terjadi adalah kompetisi dan mematikan UKBM yang telah ada; fakta lain menunjukkan Desa Siaga merupakan ganti casing dari UKBM yang telah ada, sehingga peran untuk menjadi wadah forum sosialisasi dan koordinasi jejaring sosial kemasyarakatan di tingkat desa tidak terwujud terutama untuk mengaktualisasikan ke empat fungsi Desa Siaga yang tercantum dalam Kepmenkes Nomor 564 Tahun 2006. Pembentukan Pos Kesehatan Desa sebagai wujud pengembangan Desa Siaga tidak mempertimbangkan pemenuhan sumberdayanya, seperti bidan dan tenaga kesehatan lainnya, pembiayaan, sarana komunikasi, dan lain-lain, yang sifatnya 2

tidak aspiratif daerah yang pemenuhannya sudah diatur dalam Undang-undang tentang pemerintahan daerah di era desentralisasi. Variasi potensi dan kemampuan daerah tidak dipertimbangkan dalam penyusunan kebijakan Desa Siaga sehingga terjadi inefisiensi dan inefektivitas dalam implementasi kebijakan serta tidak menyelesaikan permasalahan yang spesifik di daerah. Inefisiensi dan inefektivitas juga terjadi pada ketidaksesuaian antara dukungan yang diberikan Departemen Kesehatan dimana cenderung mengutamakan pembangunan fisik (pembangunan Poskesdes dan penyediaan Poskesdes kit) dan penyediaan biaya operasional oleh Daerah. Tenaga kesehatan kesulitan memberikan penjelasan, fasilitasi dan pendampingan penyelenggaraan Desa Siaga secara teknis kepada masyarakat sesuai dengan fungsi yang diharapkan, sehingga masyarakat desa yang sehat serta peduli dan tanggap terhadap permasalahan kesehatan tidak terwujud. Variasi sarana kesehatan yang ada di masyarakat dalam penyelenggaraan Desa Siaga tidak didukung dengan tersedianya tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi untuk mewujudkan masyarakat desa yang mampu dan tanggap terhadap permasalahan kesehatan setempat. Kemampuan bidan yang ditempatkan di Desa Siaga masih berorientasi kuratif, sedangkan tuntutan tugas dalam penyelenggaraannya lebih ke arah promotif dan preventif termasuk memberdayakan masyarakat. Ketentuan untuk memenuhi minimal satu bidan dan dua kader dalam kebijakan pengembangan Desa Siaga ditetapkan karena terdapat keterbatasan sumber daya yang tidak memungkinkan menempatkan satu tim untuk setiap Desa Siaga. Disamping itu, ketentuan tersebut tidak mempertimbangkan kemampuan dan langkah-langkah untuk pemenuhannya secara nasional. Kebijakan pengembangan Desa Siaga ditetapkan secara sektoral sehingga tidak dapat didukung sepenuhnya oleh Pemerintah Kabupaten/Kota selaku penyelenggara utama pembangunan di era desentralisasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kepmenkes No. 564/2006 tentang Pengembangan Desa Siaga tidak secara spesifik menyebutkan perlunya menggalang dukungan dari luar sektor kesehatan yang akan berpengaruh pada proses implementasi pengembangan Desa Siaga. Padahal secara jelas dukungan sektor lain sangat dibutuhkan utamanya terkait dengan penataan Sumber Daya Manusia yang dikoordinasikan dengan Badan Kepegawaian Daerah; pembiayaan upaya kesehatan dikaitkan dengan kemampuan fiskal daerah; serta dibangunnya infrastruktur yang seharusnya berkoordinasi dengan Departemen Dalam Negeri berdasarkan skala prioritas daerah. Dari sudut pandang legalitas kebijakan, pengembangan Desa Siaga merupakan kebijakan strategis yang bertujuan untuk melakukan transformasi pelayanan publik bidang kesehatan di tingkat desa. Persepsi Pemerintah Daerah saat ini, kebijakan pengembangan Desa Siaga yang berbentuk Keputusan Menteri Kesehatan dipandang lemah dibandingkan dengan Peraturan Daerah sehingga berpotensi 3

tidak mendapatkan dukungan yang memadai dari Pemerintah Daerah. Kebijakan setingkat Keputusan Menteri tidak mampu mengatur implementasi Desa Siaga yang sarat dengan kepentingan sektor lain, termasuk Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan Pemerintahan Desa serta seluruh pemangku kepentingan. Kepmenkes No. 564/2006 saja tanpa didukung kebijakan sektor lain dengan interobjective yang sama tidak dapat mengikat sektor lain dan daerah menjadikan Desa Siaga sebagai sebuah instrumen untuk membuat rakyat sehat. Hal ini disebabkan Kepmenkes hanya mampu mengatur secara teknis penyelenggaraan di bidang kesehatan. Disamping itu tidak ada upaya advokasi untuk mendapat dukungan kebijakan dari Departemen Dalam Negeri.

b. Pemberdayaan Masyarakat Menuju Kemandirian dalam Penyelenggaraan Desa Siaga Penyelenggaraan Desa Siaga baru sebatas melaksanakan fungsi pelayanan kesehatan dasar. Fungsi yang lain, Desa Siaga sebagai change agent bagi pemberdayaan masyarakat tidak nampak dalam penyelenggaraannya. Kader dan masyarakat tidak mampu menjadi change agent dalam menggerakkan fungsi Desa Siaga karena proses yang terjadi tidak dapat memampukan mereka untuk menjadi penggerak dalam melakukan pengamatan kesehatan berbasis masyarakat dan tidak mampu melakukan kesiap-siagaan menghadapi bencana dan KLB. Proses yang ada baru sebatas mendukung pelaksanaan fungsi pelayanan kesehatan dasar sehingga tujuan pembentukan Desa Siaga sebagai penggerak untuk memandirikan masyarakat dalam merespon permasalahan kesehatan setempat tidak dapat terwujud. Pedoman yang disusun tidak dilengkapi dengan metode dan langkah-langkah pembinaan yang efektif, serta tidak jelas penanggung jawab dan penyedia dana pembinaannya. Fungsi teknis yang menjadi tanggung jawab sektor kesehatan tidak sejalan dengan fungsi pemberdayaan dan penggerakan masyarakat yang menjadi tanggung jawab sektor terkait. Ketidakharmonisan tersebut semakin dirasakan menjadi masalah ketika sampai di tingkat implementasi sehingga proses pembentukan kemandirian masyarakat tidak dapat terwujud. Dalam penyelenggaraan Desa Siaga, bidan di desa dituntut mampu menggerakkan dan memberdayakan masyarakat serta melaksanakan pelayanan medis dasar. Hal ini tidak sesuai dengan kurikulum pendidikan bidan yang diarahkan pada pemberian layanan kebidanan dasar dan asuhan persalinan normal. Kompetensi melaksanakan pelayanan medis dasar di atas tidak sesuai dengan pendidikan yang diperolehnya dan bisa melanggar Undang-Undang Praktik Kedokteran. Kalaupun kompetensi itu tidak melanggar, pelatihan yang sudah diberikanpun tidak mencakup aspek yang dibutuhkan untuk hal tersebut

seperti pemberdayaan masyarakat, pembimbingan pelayanan kegawat-daruratan dan bencana, safe community, dan pelayanan medis dasar. Proses kemandirian dalam penyelenggaraan Desa Siaga tidak dapat dilestarikan karena pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan sebagai bentuk dari transfer of knowledge tidak dilengkapi dengan bentuk fasilitasi dan pendampingan. Keterkaitan antara pelatihan dan fasilitasi/pendampingan tidak menjadi satu kesatuan proses yang diharapkan sehingga tidak dapat menjamin terwujudnya sustainabilitas kemandirian masyarakat. Target-target pencapaian pemberdayaan masyarakat menuju kemandirian dalam nomenklatur anggaran diartikulasikan dalam bentuk capaian fisik. Hal ini semakin dikukuhkan dengan mekanisme pengalokasian DAK yang hanya untuk pembangunan fisik (gedung Poskesdes dan Poskesdes kit), padahal pemberdayaan masyarakat adalah sebuah proses yang dilakukan secara sistematik, terstruktur dan didukung biaya operasional yang memadai, namun Daerah tidak mampu mengalokasikan biaya tersebut.

IV. KESENJANGAN DAN KONFLIK KEBIJAKAN Kebijakan Desa Siaga disusun tanpa melalui proses penetapan kebijakan yang efektif, karena proses persiapan dan sumber daya pendukung tidak menjadi fokus utama dalam penetapan kebijakan tersebut. Target yang ambisius menjadikan seluruh desa menjadi Desa Siaga tidak mempertimbangkan aspek biaya yang dibutuhkan, ketersediaan SDM Kesehatan, secara hukum tidak mengikat daerah untuk melaksanakannya dan tidak terpenuhinya aspek teknis yang dibutuhkan. Sosialisasi dan advokasi tentang pengembangan Desa Siaga tidak dilakukan secara terstruktur karena ketidak jelasan konsep Desa Siaga sebagai pengganti kebijakan yang ada tentang Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM) atau konsep Desa Siaga sebagai fungsi koordinasi dari semua UKBM yang ada. Disamping itu instrumen kebijakan sebagai kelengkapan komponen suatu kebijakan tidak sampai di lapangan secara utuh. Dengan demikian maka tidak ada komitmen untuk penyediaan sumberdaya, kesiapan sistem dan pengorganisasian bagi penyelenggaraan kebijakan Desa Siaga. Kebijakan Desa Siaga tidak mempertimbangkan variasi potensi dan kemampuan daerah, di sisi lain keseragaman dukungan yang diberikan Departemen Kesehatan cenderung mengutamakan pembangunan fisik (pembangunan Poskesdes dan penyediaan Poskesdes kit). Kemampuan daerah dalam penyediaan biaya operasional pengembangan Desa Siaga juga tidak menjadi pertimbangan dalam penetapan kebijakan Desa Siaga. Terdapat inkonsistensi kebijakan antara mekanisme pengalokasian DAK untuk pengembangan Desa Siaga dikaitkan dengan mekanisme pembiayaan yang tercantum dalam petunjuk teknis Desa Siaga yang mengharuskan tersedianya dukungan biaya operasional untuk Desa Siaga. 5

Tidak ada dukungan aspek legal yang memberikan ketegasan adanya pelimpahan kewenangan dari dokter kepada bidan untuk melakukan tindakan medik sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran. Kekuatan sebuah Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) tidak dapat diandalkan dalam era desentralisasi sehingga efektifitas Kepmenkes tersebut tidak cukup memadai sehingga kekuatan hukum tidak cukup memadai untuk mendorong terselenggaranya fungsi-fungsi Desa Siaga. Tidak ada kebijakan yang secara jelas mengatur pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan untuk kebutuhan penyelenggaraan Desa Siaga. Sejauh ini belum ada koordinasi antara Departemen Dalam Negeri dengan Badan Kepegawaian Daerah. Pengaturan pengorganisasian Desa Siaga tidak jelas karena sinergi yang dibangun tidak diarahkan secara optimal kepada upaya bersama antar lintas program dan lintas sektor dalam pengembangan Desa Siaga.

V. REKOMENDASI KEBIJAKAN Dari hasil identifikasi kesenjangan dan konflik kebijakan, maka rekomendasi dalam penerapan kebijakan pengembangan Desa Siaga, seperti: a. Dalam rangka percepatan pemerataan untuk mendekatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat melalui Desa Siaga, diperlukan kebijakan yang menjamin penyiapan infrastruktur Desa Siaga yang dilengkapi dengan pemenuhan tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi minimal yang sesuai dalam satu paket. Kebijakan tersebut harus dengan jelas mencantumkan mekanisme koordinasi lintas sektor serta peran dan tanggung jawab institusi terkait dengan mengacu pada Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2007. Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan Desa Siaga, maka diperlukan kebijakan yang mengatur langkah-langkah pengembangan Desa Siaga dalam bentuk paket dengan satuan biaya tertentu untuk digunakan dalam sistem penganggaran. Paket tersebut harus mengakomodir potensi penyediaan dana operasional oleh Daerah dan proses pemberdayaan di tingkat masyarakat agar variasi kebutuhan di lapangan dapat dilaksanakan secara sistematis. Sebagai bentuk terobosan yang strategis, kebijakan pengembangan Desa Siaga harus dibingkai dalam satu kesatuan bentuk legalitas yang harus ditaati oleh seluruh pemangku kepentingan dalam mewujudkan transformasi pelayanan publik bidang kesehatan pada tingkat desa. Kebijakan yang dibutuhkan adalah kebijakan yang mengatur sinkronisasi seluruh aspek legal berbagai sektor, kebijakan yang mendorong fungsi-fungsi penggerakan masyarakat dan kebijakan yang memberikan kejelasan peran dan tanggung jawab lintas program dan lintas sektor untuk penyelenggaraannya.

b.

c.

d.

Untuk memberikan pemahaman konsep Desa Siaga bagi seluruh pelaku dan penyelenggara kebijakan Desa Siaga di berbagai tingkatan sampai tingkat implementasi, perlu dilakukan sosialisasi dan advokasi yang terstruktur dan sistematis dilengkapi dengan instrumen teknis tentang forum dan mekanisme sosialisasi dan advokasi; instrumen pembiayaan yang menjamin ketersediaan biaya penyelenggaraan sosialisasi dan advokasi; dan instrumen legal yang mengikat dan mengharuskan terselenggaranya proses sosialisasi dan advokasi yang adekuat. Untuk menyelenggarakan ke empat fungsi Desa Siaga, dibutuhkan tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi teknis kesehatan dan kompetensi fasilitasi pemberdayaan masyarakat. Kompetensi teknis kesehatan mencakup kompetensi keperawatan (termasuk kesehatan masyarakat dan kedaruratan medik), kebidanan, dan pengamatan epidemiologi. Hal ini hanya bisa dipenuhi melalui pembentukan tim atau satu orang tenaga yang mempunyai berbagai kompetensi (skilled mix). Keterbatasan sumber daya tidak memungkinkan menempatkan satu tim untuk setiap Desa Siaga. Untuk itu harus ditetapkan kebijakan pelimpahan kewenangan untuk melakukan tindakan medik tertentu di wilayah tertentu dengan kekuatan hukum yang memberikan perlindungan bagi tenaga kesehatan tersebut (pengecualian dari Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran); artinya diperlukan penyempurnaan atau amandemen terhadap Undang-Undang tersebut yang bisa diawali dengan penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang. Untuk memenuhi kompetensi fasilitasi pemberdayaan masyarakat yang berorientasi Komunikasi dan Perubahan Perilaku (BCC), harus ditetapkan kebijakan tentang penyiapan tenaga kesehatan sebelum ditempatkan, mulai dari kebijakan tentang modul pelatihan fasilitator pemberdayaan masyarakat dan kebijakan tentang penyediaan pembiayaan untuk pelatihan. Kebijakan mendasar yang harus segera ditetapkan adalah kebijakan tentang perubahan konsep pemberdayaan masyarakat dari Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE/IEC) menjadi konsep Komunikasi dan Perubahan Perilaku (BCC) dengan membentuk change agent yang berasal dari masyarakat. Diperlukan studi kebijakan tentang kesinambungan pelaksanaan ke empat fungsi Desa Siaga mencakup studi tentang studi tentang affordability to pay dan willingness to pay masyarakat dan kemampuan pembiayaan pemerintah daerah melalui berbagai sektor; studi tentang model cost sharing antara pemerintah daerah dan masyarakat desa untuk penyelenggaraan Desa Siaga; dan studi tentang kesinambungan pembentukan change agent yang berasal dari dan tumbuh kembang dalam masyarakat setempat.

e.

f.

g.

LAMPIRAN
!

Untuk memudahkan dalam memahami kertas kebijakan ini, dapat dijelaskan beberapa pengertian sebagai berikut: Instrumen kebijakan: adalah suatu pedoman/standar tentang aspek legal yang menetapkan stakeholder yang terlibat, tanggung jawabnya, kontribusinya dan akuntabilitasnya dalam bentuk produk hukum, berupa standar, prosedur tetap pedoman tehnis dan pedoman pelaksanaan. Isu kebijakan: permasalahan kebijakan yang diidentifikasi sebagai masalah dalam mencapai tujuan kebijakan Kesenjangan kebijakan: munculnya masalah kebijakan, sebagai akibat tidak ada/tidak lengkapnya instrumen kebijakan yang diperlukan dalam rangka implementasi kebijakan Konflik kebijakan: munculnya masalah kebijakan sebagai akibat tidak siskronnya kebijakan yang ada baik dalam lingkup internal dan eksternal maupun di tingkat implementasi Alternatif kebijakan: pilihan-pilihan kebijakan untuk dipertimbangkan sebagai rekomendasi kebijakan Pemberdayaan masyarakat: meliputi pemberdayaan individu, keluarga dan masyarakat agar Berperilaku Hidup Sehat dan pengembangan Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM) Desa Siaga: desa yang penduduknya memiliki kesiapan sumber daya dan kemampuan serta kemauan untuk mencegah dan mengatasi masalah-masalah kesehatan, bencana dan kegawatdaruratan kesehatan, secara mandiri Pos Kesehatan Desa (Poskesdes): sebuah bangunan yang memberikan pelayanan kesehatan dasar yang dikelola oleh seorang bidan dan 2 orang kader yang dibentuk dalam rangka mendekatkan/menyediakan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat desa.

You might also like