You are on page 1of 6

ICCO ICCO didirikan pada tahun 1973 dibawah bantuan PBB atas dasar International Cocoa Agreement (ICA)

tahun 1972 dengan beranggotakan negara produsen dan konsumen yang saat ini berjumlah sebanyak 41 negara. ICCO bermarkas di London, Kontribusi ekspor dari negara-negara produsen sekitar 85%. Pertemuan negara-negara anggota ICCO diselenggarakan secara tetap, dua kali setahun yakni di London, Inggris dan di salah satu negara anggota ICCO secara bergantian. Negara produsen terdiri dari Cote dIvoire, Ghana, Nigeria, Cameroon, Malaysia, Ecuador. Brazil, Dominican Republic, Papua New Guinea, Venezuella, Togo, Peru, Sao Tome and Principe, Sierra Leone, Grenada, Jamaica, Trinidad and Tobago, Gabon, Benin. Negara Konsumen Kokoa saat ini adalah Jerman, Belanda, Perancis, Inggris, Belgia/Luxemburg, Italia, Spanyol, Federasi Rusia,Jepang, Swiss, Austria, Swedia, Rep. Ceko, Denmark, Irlandia, Hungaria, Finlandia, Greece, Norway, Slovak Republic, Egyp, Portugal. Untuk pertama kalinya mandat organisasi sebagaimana tertuang dalam the International Cocoa Agreement (ICCA) 2001 adalah untuk keberlanjutan perekonomian kakao dunia. Untuk ICCO sustainablilty ini berdimensi lingkungan, sosial dan ekonomi. 2. Tujuan organisasi: a. Mendorong kerjasama internasional dalam perekonomian makro dunia. b. Menyediakan framework yang tepat untuk mendiskusikan berbagai hal yang berhubungan dengan berbagai sektor. c. Berkontribusi dalam memperkuat keseimbangan pengembangan

perekonomian kakao dunia. d. Berkontribusi dalam pengembangan keseimbangan perekonomian kakao dunia bagi kepentingan seluruh negara anggota melalui : 1) Mendorong perekonomian kakao dunia; 2) Mendorong penelitian dan mengimplementasikan hasilnya;

3) Mendorong transparansi dalam perekonomian kakao dunia melalui pengumpulan, analisis dan diseminasi statistik yang relevan serta melakukan studi yang tepat; 4) Mempromosikan dan mendorong konsumsi coklat dan produksi berbasis kakao dalam upaya meningkatkan permintaan kakao melalui kerjasama yang erat dengan pihak swasta. 5) Organisasi berfungsi melalui: International Cocoa Council Executive Director

e. Consultative Board pada World Cocoa Economy ditetapkan oleh council, dengan keanggotaan terdiri dari: 1. Asosiasi dari perdagangan dan industri; 2. Organisasi produsen kakao nasional dan regional; 3. Organisasi eksportir kakao nasional; 4. Lembaga penelitian kakao; 5. Asosiasi sektor swasta atau lembaga pemerhati lainnya. Consultative Board melakukan pertemuan 2 kali setahun atau lebih sepanjang mendapat persetujuan dari Council. 3. Manfaat Keanggotaan Aspek Organisasi, ICCO merupakan organisasi dunia yang menghimpun negaranegara produsen dan konsumen kakao (didirikan tahun 1953), semula diperlukan untuk jaminan supply serta harga yang stabil. Jenis kakao mulia yang ditanam di Indonesia tidak diatur dalam ICA (International Cacao Agreement) dengan berkembangnya jenis kakao Lindak negara-negara produsen mendesak Indonesia untuk bergabung. Aspek Keuangan, semangat kebersamaan negara-negara produsen dalam ICCO diharapkan dapat memberi pengaruh psikis pada pasar kakao dunia. Indonesia sebagai penghasil ke-3 dunia bahkan untuk tahun 2003-2004 merupakan pengahsil ke-2 dapat berperan besar. Dapat mengikuti berbagai workshop dan seminar teknis-ekonomis maupun program-program promosi dan turut berperan dalam perkakaoan dunia melaui

dialog-dialog langsung dengan negara produsen maupun konsumen di era perdagangan bebas. ICA tahun 1993 yang mendasari berfungsinya organisasi sebagai pusat informasi dan sumber data kakao dunia akan berakhir masa berlakunya pada tanggal 30 September 2003. Renegosiasi akan berlangsung dalam tahun 2002 - 2003 dan diharapkan ICCO dapat dilanjutkan lagi sejak Oktober 2003. Dengan berlakunya ICA 2001, ASKINDO akan mengusulkan agar ICCO terutama berfungsi sebagai pusat informasi perkakaoan dunia dan berperan sebagai forum dialog mengenai berbagai masalah kakao dunia. Memperoleh akses ke system United Nation antara lain bantuan teknik melalui Common Fund for Commodities (CFC) dalam memperoleh informasi pasar.

4. Kelemahan menjadi Anggota ICA Terjadi perubahan, Jepang akan keluar (September 2003) dan Malaysia (satusatunya anggota Asia) akan menurunkan tingkat partisipasinya, mengakibatkan negara-negara Afrika barat (2/3 total suara) yang mayoritas anggota (Commonwealth) akan mendominasi didalam pengambilan suara. Karenanya akan sulit bagi Indonesia untuk memperoleh dukungan mengatasi berbagai kendala kakao nasional, antara lain pengenaan tariff bea masuk EU, pemanfaatan dana CFC untuk pengendalian PBK, perbaikan mutu dan promosi. Keputusan pemindahan markas besar ke Pantai Gading akan mengakibatkan pengaruh politik negara-negara Afrika dan kenaikan beban untuk anggota. Terlambat memperoleh momentum-momentum penting, seperti berubahnya situasi percoklatan dunia saat ini yang justru mengkhawatirkan akan kekurangan supply terutama high quality cocoa. Besarnya kontribusi sebagai anggota yang harus dibayar ditentukan oleh rata-rata ekspor tahunan yang juga tercermin dalam besarnya suara (vote) yang diperoleh untuk keanggotaan tahun 2002/2003 Indonesia akan memperoleh 155 votes dengan kontribusi diperkirakan mencapai 186.000 Euros (Rp. 1,6 M). Untuk 2003/2004 Indonesia dapat memperoleh 180-190 votes dari 1.000 votes

dengan kewajiban kontribusi 215.000-230.000 Euros (Rp. 2M). Akibat krisis ekonomi keuangan, untuk efesiensi, Indonesia sedang mengkaji keikutsertaannya dalam berbagai Organisasi Internasional. Walaupun keanggotaan ICCO rencananya akan dibiayai oleh pihak swasta (berasal dari pemberlakuan bea ekspor biji kakao sebesar 2-4 %), dana ini sebaiknya dapat digunakan untuk PBK dan peningkatan mutu di tingkat petani. Diskriminasi perlakuan terhadap kakao Indonesia antara lain: discount cadmium, pengenaan tarif bea masuk di EU (ekspor kakao dari negara-negara Afrika/Commonwealth ke Eropa hingga saat ini bebas bea, sementara Indonesia dikenakan tarif impor sebesar 14,7%). Indonesia yang saat itu termasuk anggota dalam kelompok negara produsen setelah berubah status dari negara net-eksporter menjadi negara net-importir, relevansinya dipersoalkan. Keanggotaan Indonesia pada masa lalu tidak lagi sesuai dengan peran dan fungsi ISO saat itu. 5. Rekomendasi a) Alternatif I: Indonesia tetap sebagai anggota sebab kondisi perekonomian nasional yang belum memadai; secara internal terlebih dahulu perlu membenahi kualitas perkakaoan yang masih rendah agar keberadaan Indonesia dalam organisasi tersebut dapat diperhitungkan. b) Alternatif II: Seandainya akan menjadi anggota, beberapa hal yang perlu dipersyaratkan: 1) Tidak adanya diskriminasi perlakuan seperti penerapan premium pada negara-negara Commonwealth. 2) Perlakuan insentif mengarah kestabilitas harga dan teknis. 3) Keseimbangan antara buyer dan seller. 4) Pengembangan investasi industri di negara produsen.

Mekanisme pengendalian harga yang dilakukan ICCO diperoleh dengan sistem stok yang membutuhkan biaya yang sangat besar. Biaya ini ditimbulkan dari biaya

penyimpanan yang tinggi dan juga biaya kompensasi yang besar untuk pengendalian ekspor kakao. Kebijakan sistem stok ini dilakukan dengan tujuan mengurangi excess supply kakao di pasar dunia. Akan tetapi, tidak semua supply kakao dunia dapat dikendalikan dengan kebijakan stok ICCO. Menurut Roesmanto (1991), hal ini terjadi karena tidak seluruhnya negara penghasil kakao merupakan anggota ICCO. Kebijakan ini menjadi peluang bagi negara-negara yang bukan anggota ICCO untuk meningkatkan supply kakaonya.

Keanggotaan Indonesia dalam ICCO Indonesia telah masuk menjadi anggota ICCO dengan ditandatanganinya Internasional Cocoa Agreement pada 12 September 2011, sekaligus menandai masuknya Indonesia pada keanggotaan ICCO, Indonesia mendapat kemudahan akses dalam mengekspor produk kakao ke negara anggota.

Manfaat terbesar yang akan didapat Indonesia lantaran bergabung dengan International Cocoa Organization (ICCO) adalah kemudahan akses melobi negara-negara Uni Eropa agar menurunkan bea masuk kakao olahan menjadi 0%. Selama ini, Uni Eropa hanya memberikan bea masuk 0% pada negara-negara di kawasan Afrika, Karibia, dan Pasifik (ACP).

Indonesia selama ini hanya mendapat fasilitas bea masuk 0% untuk biji kakao, sedangkan kakao olahan dikenai tarif bea masuk yang bervariasi. Misalnya, cocoa butter 4,2%, cocoa powder 2,8%, dan cocoa cake 6,1%. Angka tarif bea masuk itu ditetapkan setelah mendapat potongan tarif Generalized System of Preferences (GSP).

Melihat perbandingan tarif itu maka tidak mengherankan apabila eksportir Indonesia lebih banyak memilih mengirimkan biji kakao ke negara lain. Padahal, industri pengolahan kakao dalam negeri pun membutuhkan pasokan kakao. Oleh karena itu, meski terlambat bergabung, keanggotaan Indonesia di ICCO itu bisa membantu mengembangkan industri pengolahan dalam negeri lewat lobi-lobi bea masuk.

http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/58159/BAB%20II%20Tinj auan%20Pustaka.pdf?sequence=2 http://industri.kontan.co.id/news/menjadi-anggota-icco-indonesia-bisa-lobi-beamasuk-kakao-olahan-jadi-0-1

You might also like