You are on page 1of 14

LAPORAN PENDAHULUAN PASIEN DENGAN ENSEFALITIS

Disusun oleh : Yuna Mustafa 2020101855 II C

AKADEMI KEPERAWATAN YAYASAN NOTOKUSUMO YOGYAKARTA 2011/2012


LAPORAN PENDAHULUAN PASIEN DENGAN ENSEFALITIS

I. Konsep dasar penyakit A. Pengertian Ensefalitis adalah radang jaringan otak yang dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, protozoa. Mansjoer dkk, (2000) Ensefalitis adalah suatu penyakit yang menyerang susunan syaraf pusat di medula spinalis dan meningen yang di sebabkan oleh japanese ensefalitis virus yang ditularkan oleh nyamuk. Soedarmo dkk, (2008) B. Klasifikasi Klasifikasi menurut Soedarmo dkk, (2008) adalah: 1. Ensefalitis fatal yang biasanya didahului oleh viremia dan perkembang biakan virus ekstraneural yang hebat 2. Ensefalitis subklinis yang biasanya didahului viremia ringan, infeksi otak lambat dan kerusakan otak ringan 3. Infeksi asimptomatik yang ditandai oleh hmpir tidak adanya viremia, sangat terbatasnya replikasi ekstraneural 4. Infeksi persisten. Meskipun Indonesia secara klinis dikenal banyak kasus encephalitis tetapi baru Japanese B encepalitis yang ditemukan (Soedarmo dkk, 2008). C. Anatomi dan Fisiologi Sistem Persyarafan a. Pengertian Menurut Setiadi, (2007) sistem syaraf adalah salah satu organ yang berfungsi untuk menyelenggarakan kerja sama yang rapih dalam organisasi dan koordinasi kegiatan tubuh. Dengan pertolongan syaraf kita dapat mengisap suatu rangsangan dari luar pengndalian pekerja otot. b. Sel sel pada sistem syaraf 1. Neuron Unit fungsional sistem syaraf yang terdiri dari : Badan Sel, yaitu bagian yang mengendalikan metabolisme keseluruhan neuron. Sedangakan Akson adalah suatu prosesus tunggal, yang lebih tipis dan lebih panjang dari dendrit. Bagian ini mengahantarkan impuls menjauhi badan sel ke neuron lain, ke sel lain atau ke ke badan sel neuron yang menjadi asal akson ( arah menuju ke luar sel ). Maka, Semua akson dalam sistem syaraf perifer di bungkus oleh lapisan schwann ( neurolema ) yang di hasilkan oleh sel sel schwann. Kemudian mielin berfungsi sebagai insulator listrik dan

mempercepat hantaran impuls syaraf. Sedangkan Dendrit adalah Perpanjang sitoplasma yang biasanya berganda dan pendek yang berfungsi sebagai penghantar impuls ke sel tubuh. 2. Neuroglial Sel penunjang tambahan pada susunan syaraf pusat yang berfungsi sebagai jaringan ikat yang mensuport sel dan nervous sistem. 3. Sistam komunikasi sel Rangsangan ini di sebut stimulus, sedangkan yang di hasilkan dinamakan respon. Alat penghantar stimulus yang berfungsi menerima rangsangan disebut reseptor,sedangkan yang menjawab stimulus di sebut efektor seperti otot,sel , kelenjar atau sebagainya. c. Sistem Syaraf Pusat 1. Perkembangan Otak Otak terletak dalam rongga kranium (tengkorak) berkembang dari sebuah tabung yang mulanya memperlihatkan tiga gejala pembesaran otak awal,yaitu: a. Otak depan menjadi hamisfer serebri, korpus striatum, talamus, serta hipotalamus. Fungsinya menerima dan mengintegrasikan informasi mengenai kesadaran dan emosi. b. Otak tengah,mengkoordinir otot yang berhubungan dengan penglihatan dan pendengaran. Otak ini menjadi tegmentum, krus serebrium, korpus kuadriigeminus. c. Otak belakang ( pons ), bagian otak yang menonjol kebnyakan tersusun dari lapisan fiber ( berserat ) dan termasuk sel yang terlibat dalam pengontrolan pernafasan. Otak belakang ini menjadi : Pons vorali, membantu meneruskan informasi. Medula oblongata, mengendalikan fungsi otomatis organ dalam( internal ). Serebelum, mengkoordinasikan pergerakan dasar. 2. Pelindung Otak a. Kulit kepala dan rambut b. Tulang tengkorak dan columna vetebral c. Meningen ( selaput otak ) 3. Bagian bagian Otak a. Hemifer cerebral ( otak besar )di bagi menjadi 4 lobus, yaitu :

1. Lobus frontalis, menstimuli pergerakan otot, yang bertanggung jawab untuk proses berfikir 2. Lobus parietalis, merupakan area sensoris dari otak yang merupakan sensasi perabaan, tekanan, dan sedkit menerima perubahan temperatur. 3. Lobus occipitallis, mengandung area visual yang menerima sensasi dari mata. 4. Lobus temporalis, mengandung area auditory yang menerima sensasi dari telinga. Area khusus otak besar (cerebrum ) adalah : Somatic sensory area yang menerima impuls dari reseptor sensory tubuh. Primary motor area yang mengirim impuls ke otot skeletal brocas area yang terliabat dalam kemampuan bicara. b. Cerebelum ( otak kecil ) Fungsi cerebelum mengmbalikan tonus otot di luar kesadaran yang merupakan suatu mekanisme syaraf yang berpengaruh dalam pengaturan dan pengendalian terhadap : 1. Perubahan ketegangan dalam otot untuk mempertahankan keseimbangan dan sikap tubuh, 2. Terjadinya kontraksi dengan lancar dan teratur pada pergerakan di bawah pengendalian kemauan dan mempunyai aspek keterampilan. Ada tiga jens kelompok syaraf yang di bentuk oleh syaraf cerebrospinalis yaitu: a. Syaraf sensorik, ( syaraf afferen ), yaitu membawa impuls dari otak dan medulla spinalis ke perifer. b. Syaraf motorik ( syaraf efferen ), menghantarkan impuls dari otak dan medulla spinalis ke perifer. c. Syaraf campuran, yang mengandung serabut motorik dan sensorik, sehingga dapat mengantar impuls dalam dua jurusan.

4. Medulla Spinallis

Disebut juga sumsum tulang belakang. Yang terlindung di dalam tulang belakang dan berfungsi untuk mengadakan komunikasi anatara otak dan semua bagian tubuh serta berperan dalam : gerak reflek, berisi pusat pengontrolan yang penting, heart rate contol atau denyut jantung, pengaturan tekanan darah, pernafasan, menelan, muntah. d. Susunan Syaraf Perifer Sistem syaraf perifer menyampaikan informasi antara jaringan dan saraf pusat ( CNS ) dengan cara membawa signals dari syaraf pusat ke CNS. Susunan syaraf terbagi menjadi 2, yaitu : 1. Susunan syaraf somatic Susunan syaraf yang memiliki peranan yang spesifik untuk mengatur aktivitas otot sadar atau serat lintang, jadi syraf ini melakuakan sistem pergerakan otot yang di sengaja atau tanpa sengaja 2. Susunan syaraf otonom Susunan syaraf yang mempunyai peranan penting mempengaruhi pekerjaan otot sadar atau serat lntang, dengan membawa informasi ke otot halus atau otot jantung yang dilakuakan otomatis.Menurut fungsinya susunan syaraf otonom terdiri dari dua bagian yaitu: a. Susunan syaraf simpatis b. Susunan syaraf para simpatis( Setiadi, 2007). D. Etiologi Berbagai macam organisme dapat menimbulkan Encephalitis, misalnya ozoa, cacing, jamur, spirokaeta, dan virus. Penyebab yang tersering adalah virus. Infeksi dapat terjadi karena virus langsung menyerang otak atau reaksi radang akut karena infeksi sistemik atau vaksinasi terdahulu. Encephalitis juga dapat diakibatkan oleh invasi langsung cairan serebrospinal selama pungsi lumbal. Berbagai jenis virus dapat menimbulkan Encephalitis, meskipun gejala klinisnya sama. Sesuai dengan jenis virus serta epidemiologinya, diketahui berbagai macam Encephalitis virus. Menurut Soedarmo dkk, (2008) bahwa virus Ensefalitis berkembang biak dari sel hidup yaitu di dalam nukleus dan sitoplasma seperti babi, kuda, gigitan nyamuk, dan lain lain. Berbagai macam mikroorganisme dapat menimbulkan encephalitis, misalnya bakteria, protozoa, cacing, jamur, spirochaeta, dan virus. Bakteri penyebab ensefalitis adalah Staphylococcus aureus, streptokok, E. Coli, M. Tuberculosa dan T. Pallidum.

Encephalitis bakterial akut sering disebut encephalitis supuratif akut (Mansjoer, 2000). E. Patofisiologi Setelah nyamuk menggigit manusia yang rentan, virus menuju sistem getah bening sekitar tempat gigitan nyamuk (kelenjar regional) dan berkembang biak, kemudian masuk ke peredaran darah dan menimbulkan viremia pertama. Melalui aliran darah virus menyebar ke organ tubuh seperti susunan syaraf pusat dan organ eksterneural. Kemudian virus di lepaskan dan masuk ke dalam peredaran darah menyebabkan virema kedua yang bersamaan dengan penyebaran infeksi di jaringan dan menimbulkan gejala penyakit sistemik. Bagaimana cara virus masuk menembus sawar otak tidak diketahui dengan pasti, namun diduga setelah terjadinya viremia virus menembus dan berkembng biak pada endotel vaskular dengan cara endositosis, sehingga dapat menembus sawar darah otak. Setelah mencapai susunan saraf pusat, virus berkembang biak di dalam sel dengan cepat pada retikulum endoplasma yang kasar serta badan golgi dan setelah itu menghancurkannya. Akibat infeksi virus tersebut maka permeabelitas sel neuron, glia dan endotel meningkat, mengakibatkan cairan di luar sel masuk ke dalam sel dan timbullah edema sistoksik. Adanya edema dan kerusakan susunan saraf pusat ini memeberikan memberikan manifestasi klinis berupa ensefalitis. Area otak yang terkena dapat pada thalamus, ganglia basal, batang otak, hipokampus, dan krteks selebra (Soedarmo dkk, 2008). F. Manifestasi Klinis Gejala klinisnya adalah : a. Terjadi peningkatan tekanan intarakraniaum,berupa nyeri kepala, penurunan kesadaran, dan muntah. b. Terjadi demam akibat infeksi c. Fotofobia (respon nyeri terhadap sinar) akibat iritasi saraf saraf kranial d. Ensefalitis biasanya memperlihatkan gejala awal yang dramatis berupa delirium dan penurunan progresif kesadaran. Dapat timbul kejang dan gerakan- gerakan abnormal (Corwin, 2001). G. Penatalaksanaan 1. Pemeriksaan penunjang 1) Pemeriksaan cairan serebrospinal

Warna jernih terdapat pleocytosis berkisar antara 50- 2000 sel. Dimana sel limfosit merupakan sel yang dominan, protein agak meningkat, sedangkan glukosa dalam batas normal. 2) Pemeriksaan EEG Memperlihatkan proses inflamasi yang difuse Bilateral dengan aktivitas rendah. 3) Pemeriksaan virus 4) Ditemukan virus pada CNS. Didapatkan kenaikan titer antibodi yang spesifik terhadap virus penyebab. 2. Pengobatan pada encephalitis dilakukan dalam 2 cara, yaitu: 1) Pengobatan penyebabnya adalah: Diberikan apabila jenis virus diketahui.Herpes encephalitis: adenosine arabinose 15mg/kgBB/hari selama 5 hari. 2) Pengobatan suportif adalah : Sebagian besar pengobatan encephalitis adalah pengobatan non spesifik yang bertujuan mempertahankan fungsi organ tubuh. Pengobatannya antara lain: a. ABC ( Airway, Breathing, Circulation) harus dapat dipertahankan sebaik- baiknya. b. Pemberian makanan secara adekuat baik secara interal maupun parenteral dengan memperhatikan jumlah kalori, protein, keseimbangan cairan elektrolit dan vitamin. c. Obat- obatan yang lain apabila diperlukan harus diberikan agar keadaan umum penderita tidak bertambah jelek,Misalnya: Hiperpireksia, diberikan: antipiretik paracetamol 10 mg/ kgBB/ X,kompres dingin. Kejang, diberikan: Diazepam 0,30,5mg/kgBB/X diikuti dengan oemberian, Fenitoin 2 mg/ kgBB/ X untuk rumatan. Edema otak, diberikan: steroid: dexametasone 0,5 mg/ kgBB/ X dilanjutkan dengan dosis 0,1 mg /kg BB/ X tiap 6 jam, Monitol dosis 1-2 gr/ kgBB selama 15 menit diulangi 8- 12 jam apabila diperlukan. 3. Perawatannya, yaitu : Mata: cegah adanya exposure keratitis dengan pemberian BWC atau salep antibiotika. Cegah decubitus: dengan merubah posisi penderita tiap 2 jam.

Penderita dengan gangguan menelan dan akumulasi sekret lakukan postural drainage dan aspirasi mekanis ( Soedarmo dkk, 2008 ). H. Komplikasi Kompikasi yang terjadi pada ensefalitis adalah : (1) pasien dapat mengalami ketidakmampuan permanen, kerusakan otak atau meninggal akibat ensefalitis, (2) dapat timbul kejang ( Corwin, 2001 ). I. Pemeriksaan Laboraturium dan Diagnostik 1. Dilakukan pegambilan CSS untuk pemeriksaan sel darah putih dan sensitivitas mikro-organisme. Glukosa dan protein dalam CSS. 2. Dapat digunakan CT scan atau MRI untuk mengevaluasi drajat pembengkakan dan tempat nekrosis ( Corwin, 2001). II. Konsep dasar asuhan keperawatan A. Pengkajian Keperawatan 1. Pengkajian umum : Riwayat penyakit sekarang : adanya luka parah dan luka bakar dan imunisasi yang tidak adekuat. 2. Pengkajian khusus: a. System pernafasan : dyspnea asfiksia dan sianosis akibat kontraksi oto pernafasan. b. System cardiovascular : disritmia, takicardi, hipertensi dan perdarahan, suhu tubuh awalnya 38 - 40Catau febris sampai ke terminal 43 - 44C. c. System neurologis: irritability (awal), kelemahan, konvulsi (akhir), kelumpuhan satu atau beberapa saraf otak. d. System perkemihan : retensi urine (distensi kandung kemih dan urine output tidak ada/oliguria) e. System pencernaan : konstipasi akibat tidak ada pergerakan usus. f. Siatem integument dan muskuloskletal : nyeri kesemutan pada tempat luka, berkeringatan (hiperhidrasi), pada awalnya didahului trismus, spasme otot muka dengan peningkatan kontraksi alis mata, risus sardonicus, otot kaku dan kesulitan menelan. Apabila hal ini berlanjut terus maka akan terjadi status konvulsi dan kejang umum. B. Diagnosa yang mungkin muncul 1. Ketidak efektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan sputum pada trakea dan spasme otot pernafasan.

2. Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot-otot pernafasan 3. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan efek toksin ( bakterimia ) 4. Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kekakuan otot pengunyah 5. Hubungan interpersonal terganggu berhubungan dengan kesulitan bicara 6. Gangguan kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan kondisi lemah dan sering kejang 7. Resiko terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan intake yang kurang dan oliguria 8. Resiko terjadi cedera berhubungan dengan sering kejang 9. Kurangnya pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakit tetanus dan penanggulangannya berhubungan dengan kurangnya informasi 10. Kurangnya kebutuhan istirahat berhubungan dengan sering kejang C. Rencana keperawatan 1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan sputum pada trakea dan spasme otot pernafasan, ditandai dengan : ronchi, sianosis, dyspnea, batuk tidak efektif disertai dengan sputum atau lender, hasil pemeriksaan laboratorium menunjukan : AGD abnormal (asidosis respiratotik) Tujuan: jalan nafas efektif Kriteria: a. Klien tidak sesak, lender atau sleam tidak ada b. Pernafasan 16 18 kali/menit c. Tidak ada pernafasan cuping hidung d. Tidak ada tambahan otot pernafasan e. Hasil pemeriksaan laboratorium darah AGD dalam batas normal ( pH=7,35 7,45 ; PCO2= 35 45 mmHg, PO2 = 80 100 mmHg ) Intervensi dan rasional : a. Bebaskan jalan nafas dengan mengatur posisi kepala ekstensi Rasianal : secara anatomi posisi kepala ekstensi merupakan cara untuk meluruskan rongga pernafasan sehingga proses respirasi tetap berjalan lancar dengan menyingkirkan pembuntuan jalan nafas.

b. Pemeriksaan fisik dengan cara auskultasi mendengar suara nafas (adakah ronchi) tiap 2 4 jam sekali Rasional : ronchi menunjukan adanya gangguan pernafasan akibat atas cairan atau secret yang menutupi sebagian dari saluran pernafasan sehingga perlu dikeluarkan untuk mengoptimalkan jalan nafas. c. Bersihkan mulut dan saluran nafas dari secret dan lendir dengan melakukan section. Rasional : section merupakan tindakan bantuan untuk mengeluarkan secret, sehingga mempermudah proses respirasi. d. Oksigenisasi sesuai intruksi dokter Rasional : pemberian oksigen secara adekuat dapat mensuplai dan memberikan cadangan oksigen, sehingga mencegah terjadi hipoksia e. Observasi tanda-tanda vital setiap 2 jam Rasional : dyspnea, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan nafas disertai dengan kerja jantung yang menurun timbul tacikardi dan capillary reffil time yang memanjang/lama. f. Observasi timbulnay gagal nafas/apnea Rasional : ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan intervensi yang kritis dengan menggunakan alat bantu pernafasan (mechanical ventilation) g. Kolaborasi dalam pemberian obat pengencer secret (mukolotik) Rasional : obat mukolitik dapat mengencerkan secret yang kental sehingga mudah mengeluarkan dan mencegah kekentalan. 2. Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot-otot pernafasan, yang ditandai dengan kejang rangsangan, kontraksi otot-otot pernafasan, adanya lender dan secret yang menumpuk. Tujuan : pola nafas teratur dan normal Kriteria : a. Hipoksemia teratasi, mengalami perbaikan pemenuhan kebutuhan oksigen b. Tidak sesak, pernafasan normal 16 18 kali/menit c. Tidak sianosis Intervensi dan rasional : a. Monitor irama pernafasan dan respirasi rate

Rasional : indikasi adanya penyimpangan atau kelainan dari pernafasan dapat dilihat dari frekuensi, jenis pernafasan, kemampuan dan irama nafas. b. Atur posisi luruskan jalan nafas Rasional : jalan nafas yang longgar tidak ada sumbatan proses respirasi dapat berjalan dengan lancar. Observasi tanda dan gejala sianosis Rasional : sianosis merupakan salah satu tanda manifestasi klinik ketidakadekuatan suplai O2 pada jaringan tubuh perifer. c. Berikan oksigenasi sesuai dengan intruksi dokter Rasional : pemberian oksigen secara adekuat dapat mensuplai dan memberikan cadangan oksigen, sehingga mncegah terjadinya hipoksia. d. Observasi tanda-tanda vital tiap 2 jam Rasional : dyspnea, sianosis merupan tanda terjadinya gangguan nafas disertai dengan kerja jantung yang menurun timbul tacikardi dan capillary reffil time yang memanjang/lama. e. Observasi timbulnya gagal nafas Rasional : ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan intervensi yang kritis dengan menggunakan alat bantu pernafasan (mechanical ventilato) f. Kolaborasi dalam pemeriksaan analisa gas darah Rasional : kompensasi tubuh terhadap gangguan proses difusi dan perfusi jaringan dapat mengakibatkan terjadinya asidosis respiratory. 3. Peningkatan suhu tubuh (hipertermi) berhubungan dengan efek toksin (bakterimia), yang ditandai dengan : suhu tubuh meningkat menjadi 38 40 C, hiperhidrasi, sel darah putih lebih dari 10.000/mm3 Tujuan : suhu tubuh normal kriteria : a. Suhu kembali normal 36 37 C b. Hasil laboratorium sel darah putih (leukosit) antara 5.000 10.000/mm3 Intervensi dan rasional : a. Atur suhu lingkungan yang nyaman Rasional : iklim lingkungan dapat mempengaruhi kondisi dan suhu tubuh individu sebagai suatu proses adaptasi melalui proses evaporasi dan konveksi

b. Pantau suhu tubuh tiap 2 jam Rasional : identifikasi perkembangan gejala-gejala kearah syok exhaustion c. Berikan hidrasi atau minum yang adekuat Rasional : cairan-cairan membantu menyegarkan badan dan merupakan kompresi badan dari demam. d. Lakukan tindakan teknik aseptic dan antiseptic pada perawatan luka Rasional: perawatan luka mengeleminasi kemungkinan toksin yang masih berada disekitar luka. e. Berikan kompres dingin bila tidak terjadi eksternal rangsangan kejang Rasional : kompres dingin merupakan salah satu cara untuk menurunkan suhu tubuh dengan cara proses konduksi. f. Laksanakan program pengobatan antibiotic dan antipiretik Rasional : obat-obatan antibacterial dapat mempunyai spectrum untuk mengobati bakteri gram positif, atau bakteri gram negative, antipiretik bekerja sebagai proses termoregulasi untuk mengantisipasi panas. g. Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium leukosit Rasional : hasil pemeriksaan leukosit yang meningkat lebih dari 100.000/mm3 mengidentifikasikan adanya infeksi dan atau untuk mengikuti perkembangan pengobatan yang diprogramkan. 4. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kekakuan otot pengunyah yang ditandai dengan intake kurang, makan dan minuman yang masuk lewat mulut kembali lagi dapat melalui hidung dan berat badan menurun disertai hasil pemeriksaan protein atau albumin kurang dari 3,5 mg% Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi Kriteria : a. Berat badan optimal b. Intake adekuat c. Hasil pemeriksaan albumin 3,5 5 mg% Intervensi dan rasional : a. Jelaskan faktor yang mempengaruhi kesuliatan dalam makan dan pentingnya makanan bagi tubuh Rasional : dampak dari tetanus adalah adanya kekakuan dari otot pengunyah sehingga klien mengalami kesuliatan menelan dan kadang timbul reflex balik atau kesedak. Dengan tingkat pengetahuan yang

adekuat diharapkan klien dapat berpartisipasi dan kooperatif dalam program diet. b. Kolaborasi dengan tim gizi untuk pemberian diet TKTP cair, lunak, dan bubur kasar. Rasional : diet yang diberikan sesuai dengan keadaan klien dari tingkat membuka mulut dan proses mengunyah c. Kolaborasi untuk memberikan caiaran IV line Rasioanal : pemberian cairan perinfus diberikan pada klien dengan ketidakmampuan mengunyah atau tidak bisa makan lewat mulut sehingga kebutuhan nutrisi terpenuhi. d. Kolaborasikan untuk pemasangan NGT bila perlu Rasional : NGT dapat berfungsi sebagai masuknya makanan juga untuk memberikan obat

DAFTAR PUSTAKA Corwin, E. (2001). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC Dongoes, E. Marilyn,(2000). Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. ISBN Setiadi. (2007). Anatomi Fisiologi Manusia. Yogyakarta: Graha Ilmu Johnson, Morrison, (2000). Nursing Outcome Classification. Mosby Year Book Philadelphia. Mc. Closkey, Joanne, (2004). Nursing Intervention Classification. Mosby Year Book Philadelphia. Joyce, E. (2009). Pengkajian Pediatrik Edisi 4. Jakarta: EGC NANDA, (2005). Nursing Diagnose:Definition and Classification. NANDA international. Nursalam, et al. (2007). Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Jakarta: EGC. Mansjoer, et al. (2001). Kapita Selekta Kedokteran Volume 1 Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius Wong, D, et al. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Edisi 6 volume 2. Jakarta: EGC Wong, D. (2004). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik Edisi 4. Jakarta:EGC Soedarmo,et al. (2008). Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi 2. Jakarta:Ilmu Kesehatan Anak FKUI Rd. Arry yulianita, D. (2007). Buku Saku Keperawatan. Bandung: Sofiyah, Yusi. (2007). Cat Kuliah Anak. Universitas Indonesia. Jakarta: Fakultas Ilmu Keperawatan. Jakarta:

You might also like