You are on page 1of 26

BAGIAN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN MEI2013 UNIVERSITAS HASANUDDIN

LONG CASE

CRANIOSYNOSTOSIS

Oleh:

A. Muh. Hadi Zarvia Utami Andi Suginna Hendra Santoso

110 207 046 C 111 07 042 C 111 08 354 C 111 08 110

Ibnu Munzir

Supervisor:

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU BEDAH SUBDIVISI BEDAH SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013

LAPORAN KASUS

I.

IDENTITAS PASIEN Nama Jenis Kelamin Tgl. Lahir RM Tgl. MRS Kamar : An. Fatima Azzahra : Perempuan : 20-01-2013 : 60 35 05 : 09 April 2013 : Lontara 4 Anak Atas Belakang HCU bed 2

II. ANAMNESIS Keluhan Utama Anamnesis terpimpim : Demam :

o Dialami sejak 5 jam yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Demam mendadak tinggi, kejang (-), mulut penuh dengan bintik-bintik putih sejak 1 bulan yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Batuk (-), lendir (-), sesak (-), mual (-), muntah (-). Anak mau minum susu. o Riwayat di rawat di RS Awal Bross 2x, 1. 2. Pada saat lahir karena premature dirawat di inkubator 1 hari Pada saat usia 1 bulan karena menurut ayahnya pasien tidak kontak mata pasien dengan orang tua. Dilakukan CT-Scan kepala dan didapatkan hasil tanda brain swelling DD/Hipoxic Ischemic Enchephalopaty + cavum septum pellucidum resisten.

o Riwayat melahirkan anak laki-laki, premature, usia kehamilan 7 bulan, kembar, BBL 1600 gram, PBL lupa, normal, langsung menangis. o Riwayat berobat di dokter Spesialis Anak kemudian dirujuk ke RSWS. o BAB BAK III. : Baik, kuning : Kuning, lancar

PEMERIKSAAN FISIS o Status Generalisata : o Sakit Sedang/ gizi baik/ sadar GCS 15 (E4M6V5) o Status Vitalis : o Tekanan Darah o Nadi o Pernapasan o Suhu o Status Regional: o Kepala : Anemis (-), ikterik (-), stomatitis (-), limfadenopati (-) o Thorax : I : Simetris kiri = kanan : 100/60 mmHg

: 106 x/menit : 42 x/menit : 38,9 oC

P : MT (-), NT (-) P : Sonor, batas paru hepar ICS V kanan A : BP : vesikuler, BT : Rh-/- , Wh-/-

o Jantung : I : Ictus cordis tidak tampak

P : Ictus cordis tidak teraba P : Pekak, batas jantung kesan normal A : BJ I/II murni reguler, bising jantung (-) o Abdomen I :

: Perut datar, ikut gerak napas

A : Peristaltik (+) kesan normal \ P : Hepar teraba 2 cm, BAC konsistensi kenyal, permukaan rata, tepi tajam. Massa tumor (-) Nyeri tekan (-). Lien tidak teraba P : timpani (+) IV. STATUS NEUROLOGIS

NERVUS KRANIALIS Dalam batas normal KANAN Dalam batas normal KIRI Dalam batas normal

N. Olfactorius (N.I) N. Optikus (N.II)

N. Okulomotorius (N.III) Pupil Bentuk/diameter Refleks cahaya langsung Refleks cahaya tidak langsung Diplopia Strabismus Nystagmus N. Trochlearis (N.IV) Pergerakan bola mata Dalam batas normal Dalam batas normal Isokor Bulat/2,5 mm + + Isokor Bulat/2,5 mm + + -

N. Trigeminus (N.V)

Tidak dilakukan pemeriksaaan

N. Abdusens (N.VI) Pergerakan bola mata N. Facialis (N.VII) Kesemua arah Tidak ada kelainan Kesemua arah Tidak ada kelainan

N.Vestibulocochlearis (NVIII)

Tidak dilakukan pemeriksaan

N. Glossopharyngeus (N.IX)

Tidak dilakukan pemeriksaan

N. Vagus (N.X) Menelan Tidak ada kelainan

N. Accesorius (N.XI)

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

N. Hypoglossus (N.XII)

Tidak ada kelainan

Sensibilitas dan Sistem saraf otonom: Dalam batas normal Tonus : + + + +

Kekuatan Refleks Fisiologis

: Sulit dinilai :N N N N

Refleks Patologis

V.

PEMERIKASAAN PENUNJANG

Laboratorium (29/04/2013) Pemeriksaan RBC WBC HGB HCT PLT CT BT PT APTT Ureum Creatinin SGOT SGPT Natrium Kalium Klorida Hasil 5,02 14,12 13,7 41,3 316 8 2 12,4 24,4 7 0,3 38 34 131 3,8 98 Nilai Normal 4.50 - 5.50x 106 /uL 4.00 - 11.0 X 103 /uL 12.0 - 16.0 g/dl 40,0-50,0 % 150 - 450x 103 / uL 4-10 1-7 10,8 14,4 26,4 37,6 10-50 mg/dl < 1,3 mg/dl <38 U/L <45 U/L 136-145 mmol/L 3,5-5,1 mmol/L 97-111 mmol/L

CT-Scan kepala (09/04/2013)

Kesan VI. RESUME

: Hipoplasia cerebri regio frontalis bilateral

Seorang anak perempuan usia 1 bulan, masuk rumah sakit dengan keluhan demam. Dialami 5 jam sebelum masuk rumah sakit. Kejang (-) mulut penuh dengan bintik-bintik putih (+) sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit. Riwayat batuk (-), sesak (-), lendir (-), muntah (-), mual (-), anak malas minum susu. Bab : biasa, kuning. Bak : lancar, kuning. Dari pemeriksaan fisis, pada regio Abdomen didapatkan hepar teraba 2 cm BAC konsistensi kenyal, permukaan rata, tepi tajam. Dari pemeriksaan neurologis tidak

didapatkan adanya kelainan. Dari pemeriksaan penunjang didapatkan CT-Scan dengan kesan Hipoplasia cerebri regio frontalis bilateral.

VII.

DIAGNOSIS Craniosinostosis

VIII. TERAPI

BAB I PENDAHULUAN Craniosynostosis adalah anomali dari sutura, berasal dari fusi prematur tulang tengkorak, yang menyebabkan keterbatasan volume tengkorak. Berdasarkan Hukum Virchow, penutupan sutura yang prematur mencakup pertumbuhan perpendicular kearah garis sutura yang terbatas, yang diperparah dengan pertumbuhan berlebihan secara paralel kearah sutura. Craniosinostosis dapat mengenai berbagai sutura di tulang kepala: metopik, sagital, lambdoidal atau coronal. Craniosynostosis dapat dikelompokkan menjadi dua kategori. Insidens pada anak-anak, sekitar 1 per 1.800 kelahiran. Untuk menghindari peninggian tekanan intrakranial dan gangguan tumbuh kembang. Koreksi bedah harus dilakukan pada tahun pertama kehidupan. Sindrom Apert, Crouzon, Pfeiffer, Saethre-Chotzen dan Carpenter menggambarkan sindrom Craniosinostosis yang diteliti oleh ahli bedah plastik. Sindrom Craniosinostosis familial ini memberikan beberapa ciri-ciri umum, termasuk midface hypoplasia,pertumbuhan basis crania yang abnormal, wajah yang abnormal serta lengan dan tungkai yang abnormal. Pada faktanya, gambaran craniofacial dari berbagai sindrom ini secara klinis sama, sehingga kelainan pada jari tangan dapat menjadi pembeda diantara bermacam-macam sindrom tersebut. Meskipun jelas bahwa sinostosis tulang-tulang cranial secara signifikan termasuk ke dalam perkembangan craniofacial yang abnormal pada anak-anak yang terkena sindrom ini, kemungkinan terdapat adanya defek mesenkim pada basis crania yang juga bertanggung jawab terhadap deformitas craniofacial

BAB II TINJAUAN PUSAKA 2.1 Definisi Craniosynostosis adalah suatu keadaan dimana terjadinya fusi dini sutura tengkorak. Craniosynostosis primer mengacu pada fusi prematur dari satu atau lebih sutura cranial akibat kelainan perkembangan. Penyebabnya adalah diduga sebagai anomaly perkembangan dasar temgkorak otak. Craniosynostosis sekunder mengacu pada penutupan sutural prematur akibat dari penyebab lain seperti kompresi intrauterine dari tengkorak, efek teratogen atau kurangnya pertumbuhan otak 2.2 Epidemiologi Insiden craniosynostosis adalah satu di 2.000 untuk satu di 2.500, yang meliputi kasus sindromik dan non-sindromik. Dalam kasus non-sindromik, craniosynostosis merupakan temuan terisolasi, tidak ada kelainan lain yang hadir. Craniosynostosis Non-sindromik jauh lebih umum daripada craniosynostosis sindromik. Biasanya craniosynostosis terisolasi adalah sporadis (bukan keluarga). 2.3 Anatomi Tulang-tulang pipih tengkorak (frontal, parietal, temporal, dan oksipital) berkembang dengan baik pada bulan kelima kehamilan. Pada waktu lahir, tulang-tulang tersebut dipisahkan satu sama lainnya oleh perekat tipis dan jaringan penyambung, yaitu sutura. Di tempat-tempat pertemuan lebih dari dua tulang, suturanya lebar dan dikenal sebagai ubun-ubun (fontanella). Biasanya fontanella anterior menutup pada usia 20 bulan manakala fontanella posterior menutup pada usia 3 bulan.

Craniosynostosis adalah suatu kondisi di mana sutura bergabung terlalu dini, menyebabkan masalah dengan pertumbuhan otak dan tengkorak normal. Penutupan prematur sutura juga dapat menyebabkan tekanan di dalam kepala untuk meningkat dan tengkorak atau tulang wajah untuk mengubah dari penampilan normal dan simetris.

Gambar 1: Anatomi kepala 2.4 Patofisiologi Etiologi pasti Craniosinostosis dari anak-anak yang terkena sindrom ini masih belum jelas. Pengetahuan genetik molekuler memberikan wawasan menuju hubungan yang mungkin antara mutasi yang teridentifikasi dari gen Fibroblast Growth Factor Receptor (FGFR) dengan berbagai penyakit skeleton yang bersifat autosom dominan. Fibroblast Growth Factor ikut serta dalam regulasi, proliferasi, differensiasi dan migrasi sel dan berperan dalam morfogenesis normal tulang melalui cell signaling pathways yang kompleks. Transduksi sinyal dari Fibroblast Growth Factor ke sitoplasma dimediasi oleh sejumlah reseptor tirosin kinase transmembran yang dikenal sebagai Fibroblast Growth Factor Receptor (FGFR). Mutasi 3 dari 4 gen FGFR yang diketahui berlokasi pada kromosom 8, 10q dan 4p telah teridentifikasi pada sindrom Pfeiffer, Apert, Crouzon dan Jackson Weiss. Akondroplasia, kelainan skeletal yang menyebabkan

dwarfisme, juga dihubungkan dengan mutasi dari FGFR 1 dan FGFR2, sementara sindrom Crouzon dan Apert dihubungkan dengan mutasi dari FGFR kompleks. 4 2.5 Gambaran Klinis

Secara klinis, pemeriksaan dengan seksama akan menuntun pada suatu diagnosis Mikrocephal biasanya adalah suatu craniosynostosis sekunder Scaphocephal o penggabungan yang bersifat prematur dari sutura sagitalis adalah craniosynostosis yang paling umum, meliputi lebih dari setengah dari keseluruhan kasus. Hal ini paling sering terjadi pada bayi-bayi prematur o Gambaran khas pada kepala adalah elongasi pada diameter anterior posterior dan pemendekan pada diameter bipaietal. Lengkungan dari sutura sagitalis teraba. Anterior plagiocephal gabungan prematuritas dari satu sutura coronalis Brachycephal o penggabungan yang bersifat prematur dari keseluruhan sutura coronalis menghasilkan peningkatan dalam diameter biparietal. Abnormalitas ini adalah sering berupa kumpulan syndrome. Terjadi pemendekan diameter tulang kepala di anterior posterior. o Karena sutura coronalis berkembang dan bergabung dengan sutura- sutura di dasar tengkorak sehingga hipoplasia wajah bilateral bagian tengah dan atas dapat terjadi. Daerah orbita dapat berbentuk elips ( misalnya harlequin), dan lengkungan daerah supraorbital tidak terbentuk dengan sempurna. o Keadaan ini perlu diperhatikan ketika merecanakan operasi untuk brachycephali Posterior plagiocephali o Sebagian besar kasus posterior plagiocephali adalah craniosynostosis pada sutura lambdoid (< 2%) atau pembentukan posisinya (vast majority)

Gambar 2: Plagiochephali 2.6 Diagnosis Seringkali dokter dapat menentukan sutura tengkorak ditutup sebelum waktunya dengan pemeriksaan fisik. Untuk konfirmasi, roentgen atau computerized tomography (CT) scan kepala mungkin dilakukan. Menentukan sutura yang terlibat sangat penting dalam membuat diagnosis craniosynostosis yang benar. Craniosynostosis dapat disebabkan oleh kelainan genetik yang mendasari, atau mungkin karena lain faktor non-genetic. Pengujian genetika mungkin berguna untuk diagnosis pralahir, konfirmasi diagnosis, dan untuk memberikan informasi kepada anggota keluarga lainnya. Diagnosis prenatal tersedia oleh villus chorionic sampling (CVS) atau amniosentesis jika mutasi telah diidentifikasi dalam induk yang telah dipengaruh. Amniocentesis dilakukan setelah minggu kelima belas dari kehamilan dan CVS biasanya dilakukan pada minggu kesepuluh dan kedua belas kehamilan. Craniosynostosis dapat terlihat oleh USG janin. 2.7 Pemeriksaan Penunjang Roentgenogram sederhana Digunakan untuk menilai anatomi tulang dengan baik dan sangat berguna dalam mengidentifikasi abnormalitas bentuk kepala seperti dolichocephaly, brachycephaly, dan plagiocephaly. Selain itu, roentgenogram juga dapat digunakan untuk menentukan penutupan sutura dini. Sutura yang normal dapat terlihat gambaran pinggir yang bergerigi tajam, nonlinear, garis lusen. Sutura pada pasien craniosynostosis biasanya terlihat pinggiran sklerotik yang timbul atau tidak terlihat langsung.

Gambar 3: Tampak gambaran sinostosis coronal. Diameter anteroposterior (AP) memendek (brachycephaly) dengan sebagian sutura coronal yang telah menyatu dan sutura sagittal melebar.

Gambar 4: Tampak gambaran coronal synostosis dengan diameter anteroposterior kepala pendek (brachycephaly), sebagian sutura coronal menyatu

USG (Ultrasonography) Melalui USG, deformitas kranial pada sindrom Pfeiffer dapat dideteksi di dalam uterus. Dari literatur dikatakan terdapat beberapa perkembangan dalam deteksi craniosynostosis pada prenatal dengan menggunakan USG 3D (3-dimensional) berbanding 2D. Terdapat suatu kasus yang dilaporkan oleh Krakow et al dimana temuan pada USG 2D prenatal menunjukkan suatu craniosynostosis yang konsisten. Dengan USG 3D, didapatkan posisi penyatuan sutura dan panjang sutura dapat dilihat, dimana dengan USG konvensional tidak bisa. Walaupun begitu, USG adalah user dependent dan oleh itu personal yang tidak berpengalaman bisa saja tidak menemukan kelainan craniosynostosis. Computed Tomography CT scan menyediakan metode yang lebih detail visualisasi patologi dan anatomi intrakranial detail dari calvaria dan parenkim otak. Berbeda dengan roentgenogram, basis tengkorak dapat divisualisasikan dengan baik, dan jaringan keras dan lunak dari kerangka kraniofasial dapat dipelajari secara detail.

Gambar 7: Gambaran 3D CT Scan menunjukkan brachycephaly. Tampak sutura coronal menyatu dan sutura lambdoid terbuka.

2.8

Aspek Fungsional Untuk memahami secara penuh penatalaksanaan bedah pada anak-anak dengan sindrom

craniosynostosis ini, penting untuk mengetahui proses pertumbuhan craniofacial dan bagaimana hubungannya dengan fungsi tertentu dari aspek perkembangan. Pertumbuhan craniofacial yang normal ditunjukkan oleh 2 proses : penggantian dan remodeling tulang. Selama tahun pertama kehidupan, otak berkembang 3 kali lipat dalam hal ukuran dan tumbuh dengan cepat kira-kira sampai usia 6 atau 7 tahun. Pertumbuhan otak menyebabkan penggantian pada tulang frontal, parietal dan occipital yang melapisi dalam keadaan fungsional sutura yang terbuka, dan ini menstimulasi pertumbuhan tulang dan remodeling pada tulang tengkorak dan fossa crania. Pertumbuhan dan maturasi dari wajah mengikuti gradient craniocaudal, yang berlangsung dari akhir masa kanak-kanak sampai dewasa, dengan maturasi dari bagian atas wajah, diikuti dengan maturasi bagian tengah wajah dan akhirnya mandibula. Aspek fungsional dari perkembangan, yang secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh pertumbuhan abnormal dari craniofacial, dijelaskan secara terpisah di bawah ini. 4 2.9 Penatalaksanaan Bedah Pembedahan craniofacial merupakan ilmu bedah rekonstruksi pada tulang tengkorak, tulang wajah serta jaringan lunak dari wajah. Penatalaksanaan bedah pada pasien dengan sindrom craniosynostosis tercatat sejak akhir abad ke 19, dimana pada awalnya teknik-teknik yang digunakan dimaksudkan hanya untuk mengoreksi aspek fungsional dari deformitas. Teknik yang paling awal, craniectomy linier dan fragmentasi calvaria crania, masih berguna untuk sebagian kasus deformitas yang lebih berat untuk memproteksi otak dan mata sementara waktu, hingga prosedur craniofacial yang lebih definitif dapat dilakukan. Craniectomy sederhana atau morcellization dilakukan pada penderita bayi, namun sayangnya, disertai oleh reosifikasi dalam

jumlah yang tinggi dan hanya akan memberikan hasil paling sederhana jika mobilisasi bulbus okuli dan midface telah dilakukan secara bersamaan. Sebagai tambahan tulang yang terreosifikasi memiliki kualitas buruk, sehingga tindakan koreksi definitif lebih sulit dilakukan. Pada tahun 1967, Tessier pertama kali mempublikasikan hasil koreksinya pada region forehead dan supraorbita yang mengalami resesi dengan menggunakan pendekatan intracranial yang memungkinkan osteotomi, mobilisasi dan reposisi secara akurat. Saat ini, pendekatan penanganan bedah untuk anak dengan sindrom craniosynostosis disertai dengan defisiensi midface memerlukan remodeling frontoorbital dan calvaria crania dini, prosedur advancement midface dengan atau tanpa distraksi (Le Fort III atau monoblok) dan pembedahan orthognatic sekunder untuk mengoreksi berbagai deformitas dentofacial (Le Fort I, osteotomi mandibular).4,9 Intervensi bedah untuk mengoreksi deformitas craniofacial pada pasien dengan sindrom craniosynostosis dapat dibagi menjadi prosedur yang dilakukan pada awal kehidupan (4-12 bulan) untuk membebaskan sutura, dekompresi calvaria crania, serta pembentukan kembali/ advancement orbita atas, dan prosedur yang dilakukan pada usia lebih tua (4-12 tahun) untuk pembedahan deformitas midface dan rahang. Waktu dan sekuens yang tepat bagi masing-masing prosedur bedah yang disebutkan sebelumnya tergantung pada kebutuhan fungsional dan psikologikal dari pasien. Pembahasan yang paling konroversial berputar sekitar waktu dilakukannya osteotomi midface. Dua pendekatan yang saat ini dilakukan : (a) menunggu sampai pertumbuhan seluruh midface dan lower face sempurna sebelum melakukan osteotomi dan advancement definitif. Atau (b) Melakukan advancement midface pada saat anak-anak dengan menyadari bahwa advancement kedua akan diperlukan saat pertumbuhan mandibular sempurna. Karena advancement midface biasanya dilakukan menggunakan teknik distraksi, komplikasi

kehilangan darah dan infeksi telah berhasil ditekan, menyebabkan prosedur tersebut lebih umum pada anak-anak. 4 Advancement Frontoorbital Tujuan utama pembedahan advancement frontoorbital ada 3 : (a) untuk membebaskan tulang yang mengalami synostosis dan dekompresi calvaria crania (b) untuk membentuk ulang calvaria crania dan advancement tulang frontal dan (c) advancement batang supraorbital yang mengalami retrusi, menghasilkan peningkatan proteksi terhadap bulbus okuli dan perbaikan penampakan estetik. Prosedur ini dilakukan melalui suatu insisi koronal. Dengan bekerja sama dengan tim bedah saraf, craniotomi frontal dilakukan untuk membebaskan sutura yang mengalami synostosis dan tulang frontal yang mengalami elevasi. Contoh jelasnya, anak mungkin telah menjalani craniotomi frontal oleh tim dokter bedah saraf untuk membebaskan sutura coronal saat diduga terdapat peningkatan tekanan intrakranial. Reosifikasi biasanya terjadi pada usia 1 tahun. Sekali tulang frontal dipindahkan, maka otak akan secara perlahan mengalami retraksi, menghadap batangan supraorbital yang mengalami retrusi dan di advanced dengan cara tongue-in-groove dan diamankan dengan plate atau sutura yang resorbabel. 4

Gambar 2a

Gambar 2b

Advancement frontorbital. 2a: Garis osteotomi untuk advancement forehead dan supraorbita. 2b:Advancement frontoorbital dengan cara tongue-in-groove dan fiksasi dengan wire

Remodelling calvaria crania tergantung pada bentuk kepala preoperatif, untuk turricephaly yang parah, dilakukan pembentukan total calvaria crania; prosedur ini memungkinkan reduksi signifikan puncak vertical dari tengkorak. Untuk anak-anak dengan turricephaly sedang, hanya 1/3 anterior calvaria crania yang diremodelling. Batang supraorbital dan forehead di advance ke dalam suatu posisi overcorrected untuk memungkinkan adanya ruang bagi otak untuk tumbuh.4 Melanjutkan prosedur advancement frontoorbital awal dan remodeling calvaria crania ini, anak kemudian disesuaikan dengan basis usia 6-12 bulan oleh tim craniofacial. Pertumbuhan selanjutnya dari calvaria crania dan midface dipantau ketat dengan CT scan 3 dimensi, dan juga observasi klinis. Meskipun advancement frontoorbital menghasilkan dekompresi yang sangat baik dari craniosynostosis dan perbaikan moderat dari bentuk calvaria crania pada awal periode post operatif, pertumbuhan terbatas yang berlanjut pada region calvaria crania dan midface seringkali member hasil yang buruk secara estetik dalam waktu lama pada pasien-pasien sindrom ini. Jika tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, exorbitisme yang berat, atau perkembangan abnormal dari bentuk calvaria crania, kadang0kadang operasi advancement frontoorbital dan prosedur remodeling calvaria crania yang kedua bahkan ketiga diindikasikan. 4 Koreksi bedah untuk deformitas midface Upaya yang pertama kali dilakukan untuk mengoreksi deformitas midface pada pasienpasien sindrom craniosynostosis dilakukan oleh Sir Harold Gillies, yang melakukan prosedur prosedur Le Fort III. Prosedur tersebut, pada awalnya ditinggalkan oleh Gillies, lalu kemudian dipopulerkan oleh Tessier. 4

Gambar 3a

Gambar 3b

Advancement Le Fort III. 3a:Garis osteotomi. 3b:Advancement dan stabilisasi dengan bone grafts dan miniplates

Dapat dilakukan prosedur Le Fort III saja atau jika seluruh gigi permanen telah mengalami erupsi, dapat dilakukan bersamaan dengan bedah advancement Le Fort I. Prosedur bedah advancement dari bagian Le Fort III dalam penyesuaian dengan batangan frontal, dikembangan oleh Ortiz Monasterio. 4

Gambar 4a

Gambar 4b

Advancement monobloc. 4a:garis osteotomi monobloc. 4b:Advancement dari midface,orbita dan tulang frontal dan stabilisasi dengan bone grafts dan miniplates

Prosedur monobloc, meskipun menghasilkan keuntungan karena secara bersamaan mengoreksi deformitas supraorbital dan midface, dihubungkan dengan kehilangan darah yang lebih banyak dan tingkat infeksi yang lebih tinggi, yang lebih mirip hasil hubungan langsung antara cavum cranial dan cavum nasal. Resiko yang tinggi ini membuat prosedur monobloc pada periode neonates merupakan kontraindikasi. Saat ini, prosedur Le Fort III melalui pendekatan subcranial mungkin merupakan prosedur pilihan untuk mengoreksi deformitas midface; meskipun hasil yang baik dengan monobloc, khususnya melalui distraksi telah dilaporkan. Waktu yang tepat untuk melakukan koreksi menyisakan kontroversi diantara ahli bedah craniofacial. Sebagian center craniofacial menganjurkan koreksi bedah secara dini antara usia 4 s/d 7 tahun; sementara yang lain memilih untuk menunggu sampai tercapai kematangan skeletal semasa pubertas, terkecuali jika obstruksi jalan napas atau exorbitisme berat mengharuskan pembedahan dini segera. Penganut pendapat penundaan koreksi bedah menghubungkan dengan bukti tingginya insiden rekurensi maloklusi kelas III pada pasien-pasien yang menjalani pembedahan paling awal (4-9 tahun), seringkali membutuhkan prosedur Le Fort III sekunder pada usia belasan tahun. Penganut bedah koreksi dini dari deformitas midface percaya bahwa perbaikan estetik secara keseluruhan akan memberikan efek positif yang berarti secara psikologis dan meningkatkan kepercayaan diri pada anak-anak ini, dan mereka menerima prosedur Le Fort III atau osteotomi monobloc sekunder sebagai langkah standar pada penanganan pasien-pasien ini. 4 Distraksi Osteogenesis dari Midface Pada tahun-tahun terakhir, alternative prosedur Le Fort III atau monobloc 1 tahap dikembangkan. Karena pembungkus jaringan lunak yang melapisi dapat secara fisik mengurangi jumlah tindakan advancement yang mungkin dan berpengaruh terhadap kekambuhan tulang.

Advancement melalui distraksi osteogenesis bertahap, awalnya penggunaannya pada skeleton appendikular dan mandibula telah dilakukan. Prosedur tersebut melibatkan Le Fort III standar atau osteotomi monobloc, tanpa advancement akut, dengan penempatan semiburied external atau semiburied distractor.

Gambar 5
CT scan 3 dimensi menggambarkan sebuah distraktor buried Le Fort III setelah advancement monobloc.Ujung distal plat difiksasi dengan baut dan sekrub ke segmen facial yang mobile sementara ujung proksimal plat difiksasi ke tulang temporal yang stabil.

Gambar 6
Distraktor external tipe halo. Kerangka difiksasi ke tulang temporal dengan sekrup. Batangan vertical menghubungkan alat tersebut dengan segmen Le Fort yang mobile melalui peralatan dental. Aktivasi dari peralatan lengkap akan menarik segmen ke depan sebagai bentuk tulang baru

Alat ini yang memungkinkan peregangan atau adaptasi dari jaringan lunak atau advancement dari wajah secara perlahan sementara tulang baru terbentuk pada celah osteotomi. Pada hari ke 5 s/d 7 post operasi, saat callus awal telah terbentuk pada lokasi osteotomi, alat tersebut teraktivasi, memungkinkan terjadinya advancement 1 mm per hari sampai kemajuan pergerakan yang diinginkan tercapai. Hal ini diikuti oleh periode beberapa bulan selama tulang yang baru terbentuk pada celah osteotomi dimungkinkan untuk menguat (mengalami kalsifikasi osteoid). Kemudian dilakukan pelepasan distraksi. 4 Keuntungan dari distraksi diantaranya : (1) Kehilangan darah yang sedikit dan waktu operasi yang singkat pada prosedur awal (2) Advancement yang lebih besar (s/d 20 mm atau lebih) dibanding dengan standar teknih advancement (maksimum 6-10 mm) (3) tidak memerlukan pencangkokan tulang karena tulang baru terbentuk pada celah osteotomi (karena itu dinamakan distraksi osteogenesis) (4) Resiko infeksi yang lebih rendah dengan prosedur monobloc, dan (5) Kekambuhan yang jarang. Kerugiannya meliputi : (1) Dibutuhkan waktu yang lama untuk distraksi dan konsolidasi (2) Memerlukan prosedur kedua untuk melepas alat buried tersebut dan (3) Perlu menggunakan alat eksternal untuk waktu yang lama. 4 Secara keseluruhan, distraksi osteogenesis telah meningkatkan hasil yang dapat diperoleh untuk advancement midface dan pada saat yang bersamaan meminimalkan komplikasi. 4 Pembedahan Orthognatic Pola yang abnormal dari pertumbuhan wajah pada anak-anak dengan sindrom craniosynostosis seringkali menyebabkan deformitas dentofacial yang berat. Maloklusi kelas III, sekunder dari retrusi midface, merupakan deformitas yang paling umum ditemukan dan seringkali berkembang. Walaupun penanganan bedah midface yang sesuai telah dilakukan. Tim

yang menangani abnormalitas rahang ini meliputi orthodontist, dokter gigi dan ahli bedah craniofacial. Sebagai akibat dari komplesi pertumbuhan maksilla dan mandibula dan beberapa terapi orthodonthic prabedah yang dibutuhkan, koreksi bedah meliputi paling tidak osteotomi Le Fort I dengan sliding genioplasty yang mungkin diindikasikan. Prosedur bedah ini paling tidak dilakukan antara usia 14-18 tahun, disaat tulang wajah telah matang. 4 Pembentukan Kontur Facial Akhir Pada komplesi pertumbuhan wajah dan seluruh osteotomi mayor, iregularitas kontur dari tulang wajah masih dapat ada. Prosedur pembentukan kontur akan dilakukan pada saat ini. Prosedur ini diantaranya memperhalus iregularitas, menambahkan bone grafts atau bone substitute pada area yang berbeda ( contohnya semen Ca Carbonat) dan menutup jaringan lunak seperti midface atau canthus. 4 Masalah dapat terjadi selama dan setelah operasi. Diantaranya obstruksi jalan nafas, edema cerebral, perdarahan intrkranial, hydrocephalus, kerusakan otak, epilepsy, meningitis, abses otak, infeksi tulang, dll. Beberapa dari masalah ini dapat menjadi fatal terkecuali pasien dirawat dengan tepat. Meski operasi dilakukan dengan penuh kewaspadaan oleh tim bedah yang berpengalaman masih terdapat tingkat mortalitas sebanyak 1% dan insiden komplikasi berat sekitar 10% jika seluruh operasi craniofacial dimasukkan. 10 2.10 Kesimpulan Pada waktu lampau, anak-anak dengan sindrom craniosynostosis mendapat stigma sebagai anak-anak yang dipertanyakan mentalnya karena penampakan craniofacial mereka, disaat pada faktanya, mereka seringkali memiliki intelegensi yang normal. Ditemukannya teknikteknik pembedahan craniofacial, meskipun masih jauh dari sempurna, memberikan kepada anak-

anak ini penampakan wajah yang lebih normal dan kesempatan untuk tumbuh, berkembang dan bergabung secara sosial dengan sebaya mereka. Penggunaan teknik-teknik operasi craniofacial yang lebih baru, termasuk pembedahan endoskopik dan osteodistraksi, diharapkan dapat meningkatkan hasil yang dicapai dengan komplikasi yang lebih sedikit. Osteogenesis distraksi telah memberikan hasil yang menjanjikan pada cranium dan midface. 4 Bagaimanapun, masa depan sebenarnya dari anak-anak dengan sindrom craniosynostosis berada di tangan genetika molekuler. Kemajuan dalam bidang ini telah memungkinkan identifikasi gen-gen dan mutasi yang berhubungan untuk berbagai sindrom craniosynostosis. Pada akhirnya, kemampuan untuk melakukan screening secara genetik dari mutasi DNA ini akan memungkinkan keluarga yang bersangkutan melakukan konseling dan mungkin, di masa yang akan datang, menjalani terapi genetik untuk mengoreksi mutasi tersebut. 4

You might also like