You are on page 1of 15

RUPTUR PERINEUM

I.

PENDAHULUAN Perdarahan post partum menjadi penyebab utama 40% kematian ibu di Indonesia. Perlukaan

jalan lahir merupakan penyebab kedua perdarahan setelah atonia uteri yang terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Persalinan seringkali mengakibatkan perlukaan jalan lahir. Perlukaan jalan lahir yang dapat terjadi selama proses persalinan dapat berupa robekan pada mukosa vagina hingga perineum. Pada umumnya robekan vagina terjadi karena regangan jalan lahir yang terjadi secara berlebihan dan tiba-tiba ketika janin dilahirkan. Untuk itu segera setelah persalinan harus selalu dilakukan pemeriksaan jalan lahir untuk mengidentifikasi adanya suatu perlukaan. Menurut Stefen, seorang tokoh WHO dalam bidang Obgyn, pada tahun 2009 terjadi 2,7 juta kasus ruptur perineum pada ibu bersalin. Angka ini diperkirakan akan mencapai 6,3 juta pada tahun 2050, seiring dengan semakin tingginya bidan yang tidak mengetahui asuhan kebidanan dengan baik. Di Amerika, 26 juta ibu bersalin yang mengalami ruptur perineum, 40% diantaranya mengalami ruptur perineum karena kelalaian bidannya, 20% diantaranya adalah ibu bersalin. Penelitian di Rumah Sakit Benin Teaching, Kota Benin, Nigeria mengemukakan bahwa prevalensi ruptur perineum < 46,6%, terlebih pada ibu primigravida 90% mengalami ruptur perineum. Di Asia, ruptur perineum juga merupakan masalah yang cukup banyak dalam masyarakat, 50% dari kejadian ruptur perineum di dunia terjadi di Asia. Episiotomi merupakan salah satu faktor yang mendukung terjadinya trauma perineum, di Inggris > 85% wanita pernah mengalami trauma perineum saat melahirkan. Angka rata-rata episiotomi di AS bervariasi antara 20 70%, hal tersebut tergantung unit pelayanannya. Di Belanda berkisar 8%, Inggris 14%, dan 99% di negara Eropa Timur. Tetapi hanya sekitar 1,7 12% (2,9 19% pada primipara) yang mengalami ruptur perineum tingkat 3 dan 4. Menurut data di RS Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar selama tahun 2003 adalah 128 orang mengalami ruptur perineum yang disebabkan oleh bidan-bidan di Indonesia sangat minim pengetahuan tentang pemberian asuhan kebidanan pada ibu hamil maupun ibu bersalin. Data ini didukung juga oleh penemuan data dari Depkes RI yang mengatakan bahwa sebanyak 250 bidan PNS yang didata beberapa kota di Pulau Jawa tidak mengetahui dengan benar cara memberikan asuhan kebidanan yang benar dan tepat bagi ibu bersalin dan ibu hamil.

II.

ANATOMI DAN FISIOLOGI PERINEUM Daerah perineum terletak diantara vagina dan rectum, sebagian besar dibentuk oleh

musculus bulbokavernosa dan musculus transversus perinea. Musculus puborektalis dan spinchter ani externa memberikan serabut otot tambahan pada daerah perineum. Spinchter ani secara keseluruhan berada di sebelah inferior dari daerah perineum. Spinchter ani externa terdiri atas musculus skaletal (otot lurik). Spinchter ani interna yang mana letaknya saling tumpang tindih/sejajar dan berada di sebelah inferior dari musculus spinchter ani externa, terdiri atas otot-otot polos dan langsung menyambung pada otot-otot polos yang terdapat pada colon. Ukuran spinchter ani secara keseluruhan yaitu sepanjang 3 sampai 4 cm. 1. Definisi Perineum Cavitas pelvis dibagi dua oleh diaphragma pelvis menjadi cavitas pelvis utama di sebelah atas dan perineum di sebelah bawah. Bila dilihat dari bawah dengan tungkai atas abduksi, perineum berbentuk belah ketupat dan di anterior dibatasi oleh symphisis pubica, di posterior oleh ujung os coccygeus, dan di lateral oleh tuber ischiadicum. 2. Diaphragma Pelvis Diaphragma pelvis dibentuk oleh musculus levator ani, musculus coccygeus yang kecil, dan fascia yang meliputinya. Diaphragma ini tidak komplet di anterior untuk memungkinkan lewatnya urethra beserta vagina pada wanita. 3. Trigonum Analis Trigonum analis dibatasi oleh ujung os coccygeus, sisi-sisinya oleh tuber ischiadicum dan ligamentum sacrotubale, tumpang tindih dengan batas musculus gluteus maximus. Anus atau lubang bawah canalis analis terletak di garis tengah, dan di samping kanan dan kiri anus terdapat fossa ischioanalis. Kulit di sekitar anus dipersarafi oleh nervus rectalis inferior. Pembuluh limfe kulit mengalirkan cairan limfe ke kelompok medial nodi inguinalis superficialis. 4. Canalis Analis Panjang canalis analis kurang lebih 4 cm, berjalan ke bawah dan belakang dari ampulla recti sampai anus. Kecuali saat defekasi, dinding lateral canalis analis dipertahankan saling berdekatan oleh musculus levator ani dan musculus spinchter ani. Hubungan : Posterior : di posterior berhubungan dengan corpus anococcygeum, massa jaringan fibrosa yang terletak di antara canalis analis dan os coccygeus. Lateral : di lateral berhubungan dengan oleh fossa ischioanalis yang berisi lemak.

Anterior : berhubungan dengan corpus perineale, diaphragma urogenitale, dan bagian bawah vagina. Struktur : Tunica mucosa setengah bagian atas canalis analis berasal dari endoderm usus belakang. Tunica mucosa setengah bagian bawah canalis analis berasal dari ektoderm proctodeum. Pecten osis pubis menunjukkan tempat pertemuan setengah bagian atas dengan setengah bagian bawah canalis analis. a. Tunica muscularis Seperti pada bagian atas tractus intestinalis, tunica muscularis terbagi atas stratum longitudinale di bagian luar dan stratum circulare di bagian dalam. b. Musculi spinchter ani Canalis analis mempunyai musculus spinchter ani internus yang bekerja secara involuntar dan musculus spinchter ani externus yang bekerja secara voluntar. Musculus spinchter ani internus, dibentuk oleh penebalan otot polos stratum circulare pada ujung atas canalis analis. Musculus spinchter ani internus diliputi oleh lapisan otot lurik yang membentuk musculus spinchter ani externus voluntar. Musculus spinchter ani externus, dibagi menjadi tiga bagian, yaitu : Pars subcutanea, mengelilingi ujung bawah canalis analis dan tidak melekat pada tulang. Pars superficialis, bagian belakang melekat pada os coccygeus dan bagian depan pada corpus perineal. Pars profunda, mengelilingi ujung atas canalis dan tidak melekat pada tulang. Kedua pars puborectalis musculus levator ani bergabung dengan pars profunda musculus spinchter ani externus. Serabut musculus puborectalis pada kedua sisi membentuk sebuah lengkung yang di depan melekat pada kedua os pubis dan berjalan di sekeliling junctio anorectalis, menarik junctio ke depan sehingga canalis analis dan rectum membentuk sudut yang tajam. Stratum longitudinale tunica muscularis canalis analis melanjutkan diri ke atas sebagai stratum longitudinale tunica muscularis rectum. Otot tersebut membentuk selubung utuh di sekitar canalis analis dan turun ke bawah pada batas di antara musculus spinchter ani internus dan externus. Sebagian stratum longitudinale melekat pada kedua tunica mucosa canalis analis, sedangkan lainnya berjalan ke lateral ke dalam fossa ischianalis atau melekat pada kulit perinealis.

Pada perbatasan di antara rectum dan canalis analis (junction anorectalis), musculus spinchter ani internus, musculus spinchter ani externus pars profunda, dan musculus puborectalis membentuk cincin anorectalis dan dapat diraba pada pemeriksaan rectal.

III.

RUPTUR PERINEUM Tempat yang paling sering mengalami perlukaan akibat persalinan ialah perineum.

Perlukaan perineum umumnya unilateral, namun dapat juga bilateral. Perlukaan pada diafragma urogenitalis dan musculus levator ani yang terjadi pada waktu persalinan normal atau persalinan dengan alat, dapat terjadi tanpa luka pada kulit perineum atau pada vagina, sehingga tidak kelihatan dari luar. Perlukaan demikian dapat melemahkan dasar panggul, sehingga mudah terjadi prolapsus genitalis. Robekan perineum dapat mengakibatkan pula robekan jaringan pararektal, sehingga rektum terlepas dari jaringan sekitarnya. Diagnosis ruptur perinea ditegakkan dengan pemeriksaan langsung. Pada tempat terjadinya perlukaan akan timbul perdarahan yang bersifat arterial. Dengan dua jari di tangan kiri luka dibuka, bekuan darah diangkat, lalu luka dijahit secara rapi. Cedera perineum saat persalinan Corpus perineale merupakan jaringan fibromuskular yang berbentuk biji yang terletak di antara bagian bawah vagina dan canalis analis. Corpus perineale difiksasi pada posisinya oleh insersio otot-otot perinealis dan oleh perlekatan musculus levator ani. Pada perempuan struktur corpus perineale jauh lebih besar dibandingkan laki-laki, dan berfungsi sebagai penyokong dinding posterior vagina. Kerusakan corpus perineale akibat laserasi saat persalinan dapat diikuti dengan kelemahan yang menetap dari dasar pelvis. Sangat sedikit sekali perempuan yang bebas dari cedera jalan lahir saat persalinan. Sebagian besar mengalami sedikit cedera berupa abrasi dinding posterior vagina. Persalinan spontan pada pasien yang tidak mendapat bantuan dapat menyebabkan robekan hebat pada sepertiga bagian bawah dinding posterior vagina, corpus perineale, dan kulit di atasnya. Pada robekan yang hebat, laserasi dapat meluas ke belakang sampai canalis analis dan merusak musculus spinchter ani externus. Pada kasus ini, penting sekali dilakukan perbaikan dinding canalis analis, vagina, dan corpus perineale yang akurat secepat mungkin. Pada penatalaksanaan persalinan, bila diyakini bahwa perineum akan robek sebelum kepala bayi keluar melalui ostium vaginae, dibuat insisi melalui kulit perineum dengan arah mediolateral untuk menghindari spinchter ani. Tindakan ini dikenal sebagai episiotomi. Persalinan sungsang dan persalinan dengan forceps biasanya didahului dengan episiotomi. 4

Tanda-tanda ruptur perineum Selama kala dua persalinan, ketika perineum mulai meregang penolong persalinan harus mengamati keadaan perineum secara hati-hati dan kontinu. Dengan pengalaman seorang dokter maupun bidan seharusnya mampu memprediksi atau mengenalis ruptur perineum yang akan terjadi. Adapun tanda yang menyebabkan terjadinya robekan perineum adalah : Kulit perineum mulai meregang dan tegang. Ketika darah mengalir dari liang vagina, ini sering megindikasikan terjadinya robekan mukosa vagina. Kulit perineum nampak pucat dan mengkilap. Bila kulit perineum pada garis tengah mulai robek. Perdarahan dalam keadaan dimana plasenta telah lahir lengkap dan kontraksi uterus baik, dapat dipastikan bahwa perdarahan tersebut berasal dari perlukaan jalan lahir.

IV.

FAKTOR PREDISPOSISI RUPTUR PERINEUM

A. Faktor Ibu Partus presipitatus Adalah persalinan yang terjadi terlalu cepat yakni kurang dari tiga jam. Sehingga sering petugas belum siap untuk menolong persalinan dan ibu mengedan kuat tidak terkontrol, kepala janin terjadi defleksi terlalu cepat. Keadaan ini akan memperbesar kemungkinan ruptur perineum. Menurut buku acuan asuhan persalinan normal (2007), laserasi spontan pada vagina atau perineum dapat terjadi saat kepala dan bahu dilahirkan. Kejadian laserasi akan meningkat jika bayi dilahirkan terlalu cepat dan tidak terkendali. Primigravida Pada primigravida, pemeriksaan ditemukan tanda-tanda perineum utuh, vulva tertutup, vagina sempit dengan rugae. Pada persalinan akan terjadi penekanan pada jalan lahir lunak oleh kepala janin. Dengan perineum yang masih utuh pada primi akan mudah terjadi robekan perineum. Varikosa pada pelvis maupun jaringan parut pada perineum dan vagina Friedman dkk dalam buku Seri Skema Diagnosis dan Penatalaksanaan Obstetri Edisi Kedua menyatakan bahwa varikosa pada pelvis merupakan salah satu faktor resiko untuk trauma persalinan. Menurut Buku Acuan asuhan Persalinan Norma (2007) jaringan parut pada jalan

lahir akan menghalangi atau menghambat kemajuan persalinan, sehingga episiotomi pada kasus ini dapat dipertimbangkan. Persalinan operatif pervaginam (ekstraksi vakum, ekstraksi forsep, versi, dan ekstraksi, serta embriotomi) Penyulit persalinan pervaginam (sungsang, distosia bahu, ekstraksi forceps, ekstraksi vakum) merupakan indikasi episiotomi. Kejadian laserasi derajat III dan IV lebih banyak pada episiotomi rutin dibandingkan tanpa episiotomi. Episiotomi juga meningkatkan jumlah perdarahan dan resiko hematom. Episiotomi tidak melindungi perineum, malahan menyebabkan inkontinensia spinchter anus dengan cara meningkatkan resiko robekan derajat tiga dan empat. Grandemultipara Ibu yang sudah berkali-kali melahirkan anak. Keadaan uterusnya akan mengalami perubahan dalam hal keelastisitasan. Semakin elastis dan besar ukuran uterus tersebut maka kontraksi tersebut akan semakin lambat sehingga perdarahan pun terjadi. Obesitas Terjadinya obesitas pada ibu juga dapat menyebabkan kelahiran bayi besar (bayi giant). Makrosomia atau bayi besar adalah bayi baru lahir yang berat badan lahir pada saat persalinan lebih dari 4000 gram. Bayi baru lahir yang berukuran besar tersebut biasanya dilahirkan cukup bulan. Tetapi bayi preterm dengan berat badan dan tinggi menurut umur kehamilan mempunyai mortalitas yang secara bersama lebih tinggi daripada bayi yang dilahirkan cukup bulan dengan ukuran yang sama. Bayi dan ibu yang menderita diabetes sebelum hamil dan bayi dari ibu yang menderita diabetes selama kehamilan. Sering memiliki kesamaan, mereka cenderung besar dan montok akibat bertambahnya lemak tubuh dan membesarnya organ dalam, mukanya sembab dan kemerahan (plethonic) seperti bayi yang sedang mendapat kortikosteroid. Bayi dari ibu yang menderita diabetes memperlihatkan insiden sindrom kegawatan pernafasan yang lebih besar daripada bayi ibu yang normal pada umur kehamilan yang sama. Insiden yang lebih besar mungkin terkait dengan pengaruh antagonis antara kortisol dan insulin pola sintesis surfakton. Diabetes dan obesitas ibu merupakan faktor predisposisi. Malnutrisi Faktor sosial ekonomi adalah salah satu faktor predisposisi perdarahan pasca persalinan. Pintu panggul yang sempit

Dalam obstetri yang terpenting bukan panggul sempit secara anatomis melainkan panggul sempit secara fungsional artinya perbandingan antara kepala dan panggul. Panggul sempit mempunyai pengaruh yang besar pada kehamilan maupun persalinan. Umur ibu > 35 tahun Perdarahan pascapersalinan dan usia ibu yang melahirkan anak pada usia di bawah 20 tahun atau lebih dari 35 tahun merupakan faktor resiko terjadinya perdarahan pascapersalinan yang dapat mengakibatkan kematian maternal. Hal ini dikarenakan pada usia di bawah 20 tahun fungsi reproduksi seorang wanita belum berkembang dengan sempurna, sedangkan pada usia di atas 35 tahun fungsi reproduksi seorang wanita sudah mengalami penurunan dibandingkan fungsi reproduksi normal sehingga kemungkinan untuk terjadinya komplikasi

pascapersalinan terutama perdarahan akan lebih besar. Perdarahan pascapersalinan yang mengakibatkan kematian maternal pada wanita hamil yang melahirkan pada usia di bawah 20 tahun 2-5 kali lebih tinggi daripada perdarahan pascapersalinan yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Perdarahan pascapersalinan meningkat kembali setelah usia 30-35 tahun.

B. Faktor Janin Kepala janin besar dan janin besar Kepala janin besar dan janin besar dapat menyebabkan terjadinya ruptur perineum. Menurut Manuaba (1998), kepala janin merupakan bagian yang terpenting dalam persalinan. Kepala janin akan berpengaruh terhadap peregangan perineum pada saat kepala di dasar panggul dan membuka pintu dengan diameter 5-6 cm akan terjadi penipisan perineum, sehingga pada perineum yang kaku mudah terjadi ruptur perineum. Presentasi defleksi (puncak kepala, dahi, muka) Salah satu cara mencegah robekan perineum yaitu dengan mengarahkan kepala agar perineum dilalui diameter terkecil saat ekspulsi. Diameter kepala terkecil terdapat pada presentasi belakang kepala yaitu sirkumferensia suboksipitobregmatica (32 cm). Lingkar kepala yang melalui jalan lahir pada presentasi puncak kepala adalah sirkumferensia frontooksipitalis (34 cm), presentasi muka sirkumferensia submentobregmatik (32 cm), presentasi dahi sirkumferensia mentooksipitalis (35 cm). Letak sungsang dan after coming head Pada presentasi bokong atau letak sungsang kepala yang merupakan bagian terbesar bayi akan lahir terakhir. Kepala tidak mengalami mekanisme moulage karena susunan tulang

kepala yang rapat dan padat sehingga hanya mempunyai waktu 8 menit setelah badan lahir. Dengan waktu yang singkat otomatis menimbulkan peregangan yang besar pada perineum sehingga mudah terjadi ruptur perineum. Makrosomia atau janin besar (bayi dengan berat badan > 4000 gram) Distosia bahu Distosia bahu merupakan salah satu penyulit persalinan pervaginam. Penyulit persalinan pervaginam merupakan indikasi melakukan episiotomi. Abnormalitas kongenital Abnormalitas kongenital seperti hidrocephalus merupakan salah satu penyebab ruptur.

C. Faktor Penolong Persalinan Menurut Mochtar (1998) pimpinan persalinan yang salah merupakan salah satu sebab terjadinya ruptur perineum, menurut Buku Acuan Asuhan Persalinan Normal (2007), kerja sama dengan ibu dan penggunaan perasat manual yang tepat dapat mengatur kecepatan kelahiran bayi dan mencegah terjadinya laserasi. Pengendalian kecepatan dan pengaturan diameter kepala saat melalui introitus dan perineum dapat mengurangi kemungkinan terjadinya robekan. Bimbing ibu untuk meneran dan beristirahat atau bernafas dengan cepat pada waktunya. Saat kepala membuka vulva (5-6 cm), letakkan kain yang bersih dan kering yang dilipat 1/3 nya di bawah bokong ibu dan siapkan kain atau handuk bersih di atas perut ibu (untuk mengeringkan bayi segera setelah lahir). Lindungi perineum dengan satu tangan (di bawah kain bersih dan kering), ibu jari pada salah satu sisi perineum dan 4 jari tangan pada sisi yang lain pada belakang kepala bayi. Tahan belakang kepala bayi agar posisi kepala tetap fleksi pada saat keluar secara bertahap melewati introitus dan perineum. Melindungi perineum dan mengendalikan keluarnya kepala bayi secara bertahap dan hati-hati dapat mengurangi regangan berlebihan (robekan) pada vagina dan perineum.

V.

DERAJAT RUPTUR PERINEUM

Klasifikasi ruptur perineum menurut Sultan dkk. Tingkat I Tingkat II : laserasi epitel vagina atau laserasi pada kulit perineum saja. : melibatkan kerusakan pada otot-otot perineum, tetapi tidak melibatkan kerusakan

spinchter ani. Tingkat III : kerusakan pada otot spinchter ani IIIa : robekan <50% spinchter ani externa

IIIb IIIc

: robekan >50% spinchter ani externa : robekan juga meliputi spinchter ani interna

Tingkat IV : robekan stadium III disertai robekan epitel anus Robekan sekitar klitoris dan uretra dapat menimbulkan perdarahan hebat dan mungkin sangat sulit untuk diperbaiki. Penolong harus melakukan penjahitan reparasi dan hemostasis. Episiotomi Episiotomi adalah suatu tindakan insisi pada perineum yang menyebabkan terpotongnya selaput lendir vagina, cincin selaput dara vagina, jaringan pada septum rektivaginal, otot-otot dan fascia perineum dan kulit sebelah depan perineum. Indikasi episiotomi, yaitu : Indikasi janin Sewaktu melahirkan janin prematur. Bertujuan untuk mencegah terjadinya trauma yang berlebihan pada kepala janin. Sewaktu melahirkan janin letak sungsang, melahirkan janin dengan cunam, ekstraksi vakum, dan janin besar. Indikasi ibu Apabila terjadi peregangan perineum yang berlebihan sehingga ditakutkan akan terjadi robekan perineum, dimana sangat rentan pada primipara, persalinan sungsang, persalinan dengan cunam, ekstraksi vakum, dan anak besar.

VI.

PENANGANAN

Penjahitan ruptur perineum a. Prinsip-prinsip umum Maternal berada pada posisi litotomi Gunakan penerangan yang baik Presentasi anatomi yang baik Pentingnya kecepatan jika ada perdarahan Teknik aseptik (cuci dan gosok tangan, gunakan sarung tangan) Penanganan yang lembut Penggunaan swab dengan hati-hati sehingga tidak ada yang hilang dalam vagina Identifikasi faktor yang menempatkan maternal pada resiko infeksi dan penggunaan antibiotik profilaktik jika perlu

Penjelasan dan pendekatan yang sensitif pada maternal pada saat prosedur berlangsung Pentingnya tindak lanjut jangka panjang untuk mengevaluasi teknik dan pemilihan material sutura. Jenis benang jahit yang digunakan untuk reparasi adalah yang dapat diserap, yaitu : Catgut (dari usus domba) 1. Catgut murni Bersifat dapat diserap tubuh Tanpa campuran apapun Warnanya putih kekuningan Berguna untuk mengikat sumber perdarahan kecil, menjahit subcutis dan dapat pula digunakan untuk bergerak dan luas lukanya kecil. Benang ini harus dilakukan penyimpulan 3 kali karena dalam tubuh akan mengembang. Bila penyimpulan dilakukan hanya 2 kali akan terbuka kembali. Diserap kira-kira dalam waktu 1 minggu Untuk jahitan yang diharapkan penyembuhannya 5-7 hari 2. Kromik Dengan campuran larutan asam kromat Diserap dalam waktu 2-3 minggu Lentur, kuat, tahan lama, dan paling sedikit menimbulkan reaksi jaringan Baik untuk ligasi dan mendekatkan jaringan Bersifat dapat diserap oleh tubuh Penyerapannya lebih lama yaitu sampai 20 hari Biasanya menyebabkan reaksi inflamasi yang lebih besar dibandingkan dengan plain catgut Sintetik Asam polglikolik Poliglaktin 910/vicryl (inert dan mempunyai daya tegang yang besar). Bisa digunakan untuk semua jaringan termasuk kulit. Vicryl 2-0, digunakan pada penjahitan mukosa vagina dan otot perineum. Vicryl 3-0, digunakan pada penjahitan kulit perineum dan mukosa rektum. Adapun komplikasi dari penjahitan luka adalah :

10

Overlapping

: terjadi sebagai akibat tidak dilakukan adaptasi luka sehingga luka menjadi

tumpang tindih dan luka mengalami penyembuhan yang lambat dan apabila sembuh maka hasilnya akan buruk. Nekrosisi Infeksi Perdarahan Hematoma : jahitan yang terlalu tegang dapat menyebabkan avaskularisasi sehingga

menyebabkan kematian jaringan. : infeksi dapat terjadi karena teknik penjahitan yang tidak steril, luka yang

telah terkontaminasi, dan adanya benda asing yang masih tertinggal. : terapi antikoagulan atau pada pasien dengan hipertensi. : terjadi pada pasien dengan pembuluh darah arteri terpotong dan tidak

dilakukan ligasi/pengikatan sehingga perdarahan terus berlangsung dan menyebabkan bengkak. Dead space (ruang/rongga mati) : yaitu adanya rongga pada luka yang terjadi karena penjahitan yang tidak lapis demi lapis. Sinus Dehisensi Abses b. Langkah klinik 1. Persiapan alat Siapkan peralatan untuk melakukan penjahitan : Wadah DTT berisi sarung tangan, pemegang jarum, jarum jahit, benang jahit kronik atau catgut no 2/0 atau 3/0; kasa steril; pinset. Povidon-iodin Buka spoit sekali pakai 10 ml dari kemasan steril, jatuhkan dalam wadah DTT Patahkan ampul lidocain (lidocain tanpa epinefrin) perkirakan jumlah lidocain yang akan digunakan (sesuaikan dengan luas/dalamnya robekan perineum). Atur posisi bokong ibu pada posisi litotomi di tepi tempat tidur Pasang kain bersih di bawah bokong ibu Atur lampu sorot atau senter ke arah vulva/perineum ibu Pastikan lengan atau tangan tidak memakai perhiasan, cuci tangan dengan sabun dan air mengalir : bila luka infeksi sembuh dengan meninggalkan saluran sinus, biasanya

ada jahitan multifilament yaitu benang pada dasar sinus yang bertindak sebagai benda asing. : adalah luka yang membuka sebelum waktunya disebabkan karena jahitan

yang terlalu kuat atau penggunaan bahan benang yang buruk. : infeksi hebat yang telah menghasilkan produk pus/nanah.

11

Pakai sarung tangan DTT pada tangan kanan Ambil spoit sekali pakai 10 ml dengan tangan bersarung tangan, isi tabung suntik dengan lidocain 1% tanpa epinefrin dan letakkan kembali ke dalam wadah DTT Lengkapi pemakaian sarung tangan pada kedua tangan Gunakan kasa bersih, basuh vulva dan perineum dengan larutan povidon-iodin dengan gerakan satu arah dari vulva ke perineum. Tunggu selama kurang lebih 2 menit sebelum menyuntikkan lidocain 1%. 2. Anestesi lokal Beritahu ibu akan disuntik yang akan terasa nyeri dan menyengat. Tusukkan jarum suntik pada ujung luka/robekan perineum, masukkan jarum suntik secara subkutan sepanjang tepi luka. Lakukan aspirasi untuk memastikan tidak ada darah yang terhisap. Bila ada darah, tarik sedikit dan kemudian masukkan kembali. Ulangi melakukan aspirasi. Anastesi yang masuk ke dalam pembuluh darah dapat menyebabkan detak jantung yang tidak teratur. Suntikkan anastesi sambil menarik jarum suntik pada tepi luka daerah perineum. Tanpa menarik jarum suntik ke luar dari luka, arahkan jarum suntik sepanjang tepi luka pada mukosa vagina, lakukan aspirasi dan suntikkan anastesi sambil menarik jarum suntik. Bila robekan luas dan dalam, anastesi daerah bagian dalam robekan-alur suntikan anastesi akan berbentuk seperti kipas; tepi perineum, dalam luka, mukosa vagina. Lakukan langkah no 2-5 di atas pada kedua tepi robekan. Tunggu 1-2 menit sebelum melakukan penjahitan untuk mendapatkan hasil optimal dari anastesi lokal. 3. Teknik perbaikan Kendalikan perdarahan dengan cara menjepit dan menekan titik perdarahan. Gunakan swab (alat usap) untuk memaparkan luasnya kerusakan pada bagian teratas robekan. Identifikasi adanya kerusakan ekstensif yang membutuhkan pembedahan ahli (misalnya robekan pada tingkat ketiga atau tingkat keempat, fistula vesikovagina atau adanya jaringan nekrosis). Tekan jaringan secara bersamaan, potongan yang robek harus disatukan sehingga tampak seperti semula.

12

Mula-mula jahit vagina dengan benang bedah catgut krom 0 kontinu, kemudian lapisan otot perineum dengan tiga atau empat jahitan terputus, dan terakhir pada kulit perineum dengan jahitan terputus memakai benang catgut biasa 2/0. 4. Penjahitan perineum tingkat III Lakukan inspeksi vagina dan perineum untuk melihat robekan. Jika ada perdarahan yang terlihat menutupi luka perineum, pasang tampon atau kasa ke dalam vagina (sebaiknya digunakan tampon berekor benang). Pasang jarum jahit pada pemegang jarum kemudian kunci pemegang jarum. Pasang benang jahit (kromik no 2/0) pada mata jarum. Tentukan dengan jelas batas luka robekan perineum. Ujung otot spinchter ani yang terpisah oleh karena robekan, diklem dengan menggunakan pean lurus. Kemudian tautkan ujung otot spinchter ani dengan melakukan 2-3 jahitan angka 8 (figure of eight) catgut kromik no 2/0 sehingga bertemu kembali. Selanjutnya dilakukan jahitan lapis demi lapis seperti melakukan jahitan pada robekan perineum tingkat II. 5. Penjahitan perineum tingkat IV Lakukan inspeksi vagina dan perineum untuk melihat robekan. Jika ada perdarahan yang terlihat menutupi luka perineum, pasang tampon atau kasa ke dalam vagina (sebaiknya digunakan tampon berekor benang). Pasang jarum jahit pada pemegang jarum kemudian kunci pemegang jarum. Pasang benang jahit (kromik no 2/0) pada mata jarum. Tentukan dengan jelas batas luka robekan perineum. Mula-mula dinding depan rectum yang robek dijahit dengan jahitan jelujur menggunakan catgut kromik no 2/0. Jahit fasia perirektal dengan menggunakan benang yang sama, sehingga bertemu kembali. Jahit fascia septum rektovaginal dengan menggunakan benang yang sama, sehingga bertemu kembali. Ujung otot spinchter ani yang terpisah oleh karena robekan, diklem dengan menggunakan pean lurus. Kemudian tautkan ujung otot spinchter ani dengan melakukan 2-3 jahitan angka 8 (figure of eight) catgut kromik no 2/0 sehingga bertemu kembali.

13

Selanjutnya dilakukan jahitan lapis demi lapis seperti melakukan jahitan pada robekan perineum tingkat II. Kerusakan pada dasar panggul ini, jika tidak dijahit dengan baik menyebabkan posisi pendukung alat-alat kandungan dalam menjadi tidak sempurna, sehingga uterus turun dan disebut prolapsus uteri atau descensus uteri. Ruptur perineum tiingkat 4 selain melemahkan dasar panggul, juga menyebabkan inkontinensia alvi, karena ada hubungan antara vagina dan rectum, kemungkinan resiko infeksi alat kandungan lebih besar. Ruptur perineum tingkat IV sukar dijahit dan kalau tidak sembuh dengan sempurna akan berakibat suatu komplikasi yang tidak diinginkan. Maka ruptur perineum tingkat III/IV hendaknya kita cegah dengan episiotomi. 6. Penanganan trauma perineal grade lanjut (III-IV) Teknik penanganan trauma perineal grade lanjut terbagi menjadi dua yaitu teknik end-to-end dan yang kedua adalah teknik overlapping. Teknik end-to-end adalah teknik yang berusaha menyambung otot sfingter ani dengan mempertemukan tepi luka. Bisa dengan teknik jahitan interrupted atau dengan teknik jahitan menyerupai angka delapan. Sementara, teknik overlapping yaitu dengan cara menjahit otot sfingter anal eksterna dengan cara menggabungkan tepi luka dengan tepi luka yang lain dengan saling tumpang tindih. Terdapat beberapa literatur yang berusaha membandingkan antara teknik end-to-end dan teknik overlapping. Didapatkan beragam hasil, dengan tingkat keabsahan yang berbeda-beda. Namun teknik overlapping lebih baik dibandingkan teknik end-to-end dalam mencegah terjadinya inkontinensia anal. Selain itu, teknik overlapping lebih baik dibandingkan teknik end-to-end dalam hal nyeri pasca tindakan dan munculnya gangguan defekasi.

VII. KOMPLIKASI Menurut Snellers (1993), bahaya dan komplikasi ruptur perineum antara lain, yaitu : Perdarahan Perdarahan pada ruptur perineum dapat menjadi hebat khususnya pada ruptur perineum derajat II dan III jika ruptur meluasi ke samping atau naik ke vulva mengenai klitoris. Infeksi Karena dekat dengan anus, laserasi perineum dapat dengan mudah terkontaminasi feses. Infeksi juga dapat menjadi sebab luka tidak segera menyatu sehingga timbul jaringan parut. Disparenia

14

Jaringan parut yang terbentuk sesudah laserasi perineum dapat menyebabkan nyeri selama berhubungan seksual.

VIII. PENATALAKSANAAN PASCA TINDAKAN

15

You might also like