You are on page 1of 6

HASIL DAN PEMBAHASAN Salinitas didefinisikan sebagai konsentrasi total semua ion yang terlarut didalam air (Boyd

1982). Salinitas merupakan salah satu parameter kimia air yang keberadaannya dapat bersifat mematikan (lethal factor) jika nilainya berada diluar batas toleransi ataupun masking factor (jika kondisi perairan berada pada kisaran toleransi). Selanjutnya Affandi dan Tang (2002) menyatakan bahwa salinitas berhubungan erat dengan tekanan osmotik dan tekanan ionik air, sebagai media internal maupun eksternal. Berikut ini akan disajikan hasil pengamatan berupa grafik waktu kematian ikan yang dimasukkan pada air dengan konsentasi garam (Larutan NaCl) yang berbeda-beda.

Grafik 1. Waktu kematian ikan yang dimasukkan pada larutan dengan konsentrasi yang berbeda. Ket: 1 (Ikan Mas); 2 (ikan lele); 3 (ikan nila); 4 (ikan mujair); 5 (ikan dokter); 6 (ikan tiger); 7 (ikan zebra); 8 (ikan tikus); 9 (belut) Tingkah laku ikan air tawar pada perlakuan salinitas dengan konsentrasi NaCl 0% dan 1% masih terlihat normal, pada konsentrasi NaCl 2% dan 4% tingkah laku ikan mulai tidak biasa hingga menyebabkan ikan-ikan ikan tersebut mati. Hal ini disebabkan karena pada selang salinitas dengan konsentrasi NaCl 2% dan 4% kondisi air atau media kurang bisa ditolerir oleh ikan mas, lele, nila dan mujair. Tingkah laku ikan air tawar pada saat kondisi tersebut, gerakan bukaan operculum menjadi lebih cepat lalu ikan menjadi stress dan akhirnya mati. Hal tersebut didukung pernyataan Effendi (2002), bahwa ikan air tawar tidak bisa dipaksakan dipelihara dalam air bersalinitas. Osmolaritas media merupakan penentu tingkat kerja osmotik yang dialami oleh ikan. Osmolaritas media makin besar dengan peningkatan salinitas, hal tersebut disebabkan peningkatan konsentrasi ion-ion terlarut. Sifat osmotik dari media bergantung pada seluruh ion yang terlarut di dalam media tersebut. Dengan semakin besarnya jumlah ion terlarut di

dalam media. tingkat kepekaan osmolaritas larutan akan semakin tinggi pula. sehingga akan menyebabkan makin bertambah besarnya tekanan osmotik media. Demikian pula halnya dengan osmolaritas hemolimfe (cairan tubuh) ikan air tawar yang meningkat secara linier dengan peningkatan salinitas media. Ikan nila termasuk organisme akuatik euryhaline yang memiliki kemampuan untuk menjaga lingkungan internalnya dengan cara mengatur osmolaritas (kandungan garam dan air) pada cairan internalnya. Dengan demikian ikan nila akan bersifat hiperosmotik terhadap lingkungannya apabila berada pada media bersalinitas rendah dan hipoosmotik pada media bersalinitas tinggi (Karim 2007). Habitat nila adalah perairan tawar, seperti sungai, danau, waduk, dan rawa-rawa, tetapi karena toleransinya yang luas terhadap salinitas ( euryhaline), dapat pula hidup dengan baik di air payau dan laut. Salinitas yang cocok adalah 0-35 ppt, namun salinitas yang memungkinkan untuk tumbuh optimal adalah 0-30 ppt. pada salinitas 31-35 ppt, nila masih hidup namun pertumbuhannya lambat (Widyanti 2009). Ikan menghadapi tantangan yang sulit dalam mempertahankan kandungan garam dalam tubuh karena mereka hidup di lingkungan perairan dan mempunyai tendensi untuk melepaskan air sebanyak mungkin. Konsentrasi garam pada tubuh ikan air tawar lebih tinggi dibandingkan lingkungannya, sehingga kandungan garam lebih sering dikeluarkan ke perairan. Untuk mengatasi hal ini, ikan mempunyai beberapa cara, diantaranya mereka akan mengkonsumsi sejumlah air yang banyak dan sebagai konsekuensinya akan memproduksi sejumlah besar urine (10-20 kali sama seperti hewan mamalia di darat). Ginjal dari golongan ikan ini menyerap sejumlah garam dan melepaskan garam tersebut ke aliran darah. Cara yang lain adalah golongan ikan ini memiliki pompa ion di bagian ginjal yang akan menangkap garam dari air serta melepaskan amonia dan hasil buangan lainnya (Karnaky Jr. and Karl, J. 1998). Ikan air tawar bersifat hyperosmotik terhadap lingkungannya (Osmotik tubuh lebih pekat daripada osmotik lingkungannya) sehingga air dari lingkungannya masuk kedalam tubuh akibatnya terjadi pengenceran cairan tubuh. Apabila hal ini dibiarkan terus menerus akan mengganggu proses-proses fisiologis, karena untuk proses fisiologis dibutuhkan tekanan osmotik tertentu (ideal). Agar dapat mempertahankan kondisi tekanan osmotik tubuh relatif konstan (seimbang) maka ikan harus melakukan pengaturan pengeluaran dan pemasukan cairan kedalam tubuhnya melalui proses osmoregulasi (Fujaya 2004). Sedangkan pada ikan air laut terjadi sebaliknya yakni cairan tubuh bersifat hipoosmotik terhadap lingkungannya, yaitu tekanan osmosik air laut lebih tinggi daripada cairan tubuh, sehingga air akan keluar dari tubuh melalui ginjal, insang dan kulit, dan garam akan masuk kedalam tubuh melalui proses difusi. Untuk mempertahankan konsentrasi garam dan cairan di dalam tubuhnya, ikan akan cenderung banyak meminum air laut dan mengurangi pembuangan air lewat urin (Fujaya 2004). Sifat osmotik air sangat bergantung pada jumlah ion yang terlarut di dalam air tersebut, semakin banyak jumlah ion yang terlarut dalam air maka akan semakin tinggi pula osmotik larutan tersebut. Ion yang mendominasi air laut terdiri atas Na+ (30,61%) dan Cl- (55,04%) dari total ion yang terkandung dalam air laut (Nybakken, 1988). Pada percobaan yang dilakukan terhadap ikan laut yaitu ikan dokter, ikan tiger, ikan zebra dan ikan tikus didapatkan hasil bahwa semua ikan yang hidup di air laut tidak dapat bertahan lama hidup pada konsentrasi NaCl 0% hal ini disebabkan karena kadar garam yang sangat rendah pada

larutan dan tidak sesuai dengan habitat ikan-ikan tersebut yaitu di air laut dan tidak bisa mengontrol keadaan tubuhnya dengan lingkungan. Ikan dokter hanya mampu hidup pada larutan dengan konsentrasi NaCl 0% selama 21 menit, pada saat ikan baru dimasukkan kedalam larutan tersebut langsung menunjukkan kondisi yang tidak biasa yaitu berenang naik turun kemudian tenggelam, pada menit kedua bukaan operculumnya semakin cepat dari 64 sampai 128 kali per menit, pada menit ke-10 ikan sudah mulai stress dan kondisi tubuhnya tidak seimbang, menit ke-20 sirip ikan sudah tidak bergerak dan operculumnya tidak membuka atau menutup lagi lalu pada menit ke-21 ikan tersebut mati. Begitu pula dengan ikan dokter yang dimasukkan kedalam larutan dengan kadar garam yang terlalu tinggi (konsentrasi NaCl 4%) hanya mampu bertahan hidup selama 2 jam. Namun, lain halnya dengan ikan dokter yang dimasukkan kedalam NaCl dengan konsentrasi 1% ikan dokter dapat hidup lebih dari 12 jam dalam larutan tersebut, hal ini menunjukkan bahwa kadar NaCl yang optimum bagi kehidupan ikan dokter yaitu pada konsentrasi 1%. Ikan tiger, ikan zebra dan ikan tikus memiliki grafik yang berbeda dengan ikan dokter. Ikan-ikan tersebut cenderung optimal pada kadar NaCl 2 & 4% dan tidak mampu lama bertahan hidup pada konsentrasi 0 & 1%. Hal ini menunjukkan bahwa ikan-ikan tersebut membutuhkan kadar garam yang tinggi untuk mengatur keseimbangan ion-ion dalam tubuhnya. Ikan air laut memiliki masalah yang sama tetapi berkebalikan dengan ikan air tawar. Untuk ikan air laut, air laut mengandung konsentrasi garam yang lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan garam yang ada di tubuh ikan. Sebagai hasilnya, garam cenderung masuk ke tubuh ikan sehingga ikan harus menggunakan ginjalnya serta pompa ionnya untuk mengeluarkan kelebihan garam. Ikan air tawar yang digunakan pada percobaan ini adalah belut, belut mampu bertahan hidup dalam keadaan salinitas air rendah maupun tinggi, pada konsentrasi larutan NaCl 0%, 1% dan 2% belut mampu bertahan hidup hingga lebih dari 12 jam, kecuali pada konsentrasi 4% hanya mampu bertahan hidup selama 1 jam. Hal ini menunjukkan bahwa belut memiliki daya osmoregulasi yang besar terhadap lingkungannya. Osmolaritas media yang jauh dari kondisi seimbang dengan osmolaritas cairan tubuh ikan, akan berdampak kepada respon perilaku dan kondisi fisiologis ikan. Menurut Porchase et al. (2009), respon stress pada ikan yang dicerminkan oleh peningkatan glukosa darah adalah akibat pelepasan hormon cortisol di hypotalamus, kemudian berlanjut melalui aliran darah ke jaringan kromaffin pada ginjal, sebagian kelanjutan stress sekunder yang meningkatkan kadar glukosa melalui glucogenesis dan glicogenesis. Disisi lain, pada kondisi yang bersamaan ikan harus mencapai kondisi homeostatis. Untuk mencapai kodisi homeostatis dibutuhkan energi yang besar. Regulasi ion dan air pada hewan akuatik dapat terjadi secara hipertonik (hiperosmotik), hipotonik (hipoosmotik) atau isotonik (isoosmotik). Bagi golongan ikan potadromous yang bersifat hiperosmotik, air bergerak ke dalam dan ion-ion keluar ke lingkungan perairan dengan cara difusi. Keseimbangan cairan tubuhnya terjadi dengan cara sedikit meminum air bahkan tidak minum sama sekali. Apabila terdapat kelebihan air didalam tubuh, maka air ini dikeluarkan melalui urin. Bagi golongan ikan oseanodromous yang bersifat hipoosmotik terhadap lingkungannya, air mengalir secara osmosis dari dalam tubuhnya melalui ginjal,

insang dan kulit ke lingkungan; sedangkan ion-ion masuk kedalam tubuhnya secara difusi. Bagi golongan ikan eurihalin, maka pengaturan ion dilakukan secara isoosmotik. Kebanyakan hewan akuatik laut baik invertebrata maupun vertebrata termasuk kedalam golongan isoosmotik. Namun demikian terdapat spesies dari golongan mysid dan amphypoda yang memiliki toleransi yang demikian luas untuk temperatur dan salinitas, berkisar dari perairan pantai sampai daerah estuari. Beberapa bahkan dapat mencapai perairan tawar dan melakukan reproduksi (Lockwood 1976; Wittman and Ariani 2000; Bruijs et al. 2001; Sangata et al., 2008). Setiap organisme akuatik memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam merespon perubahan osmotik lingkungan eksternalnya, dan kecenderungan ini akan mengganggu kondisi internal. Organisme aquatik akan melakukan pengaturan tekanan osmotiknya dengan cara meminimalkan gradien osmotik antara cairan tubuh dengan lingkungannya sehingga mendekati kondisi isoosmotik dan semua ini berhubungan dengan transport aktif yang memerlukan pembelanjaan energi yang digunakan untuk proses tersebut (Affandi dan Tang 2002). Pada beberapa jenis ikan air tawar salinitas optimal untuk sintasan benih dan pertumbuhan berbeda-beda. Pada ikan nila, gradien osmotik untuk pertumbuhan dan efisiensi pemanfaatan pakan berkisar antara 355,88-374,66 mosm/l H2O atau setara dengan 12,31 ppt 12,95 ppt (Syakirin 2000). Pada Ikan Bawal salinitas optimal berada pada 6 ppt (Djokosetiyanto 2008). Pada ikan gurame salinitas 4 ppt mampu meningkatkan pertumbuhan bobot maksimal sebesar 2,76% dan pertambahan panjang 2,47 cm (Damayanti 2003). Carrion et al. (2005) melaporkan bahwa untuk pertumbuhan yang baik pada Sea Bream dicapai pada salinitas 12 ppt. Ion-ion utama yang menentukan osmolaritas tersebut adalah Cl , Na+, Mg2+, Ca2+, K+, dan SO42-. Ion Na+ dan Cl- merupakan kontributor utama pada osmolaritas plasma, pengaturan dan permeabilitasnya menjadi terpusat pada pertahanan gradien salinitas. Ion Mg2+ menstabilkan struktur ATP dalam reaksi enzim yang membutuhkan ATP. Ion K+ merupakan elektrolit intraselluler / kation yang mempengaruhi tekanan osmosa selluler, Baldisserroto et al. (2007).
-

Dapus Pembahasan

Effendi, Hefni. 2002. Telaah Kualitas Air. Yogyakarta Karim, M. Yusri. 2007. The Effect of Osmotic at Various Medium Salinity on Vitality of Female Mud Crab (Scylla olivacea). Vol. 14 No. 1. Th. 2007 Widyanti, Widy. 2009. Kinerja Pertumbuhan Ikan Nila Oreochromis niloticus Yang Diberi Berbagai Dosis Enzim Cairan Rumen pada Pakan Berbasis Daun Lamtorogung Leucaena leucocephala. [Skripsi]. Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Lockwood A.P.M., 1976. Physiological adaptations to life in estuaries. In: Newell RC (ed) Adaptation to Environment Essays on the Physiology of Marine Animals. Butterworths, London. Wittmann K.J and Ariani A.P., 2000. Limnomysis benedeni Czerniavsky: a Pontocaspian mysid new for the freshwater of France (Crustacea, Mysidacea ). Vie et Milieu 50: 117122. Karnaky Jr. And Karl, J., 1998. Osmotic and Ionic Regulation in The Physiology of Fishes. 2nd ed. Boca Ration: CRC Press. Fujaya. Y. 2004. Fisiologi Ikan Dasar Pengembangan Teknik Perikanan . Rineka Cipta. Jakarta. Carrion RL, Alvarellos SS, Guzma n JM, Mar a P, R o MD, Soengas JL and Manceraa JM. 2005. Growth performance of gilthead sea bream conditions : Implication for osmoregulation and energy metabolism. Aquaculture 250 (2005) 849-861p Boyd CE. 1982. Water Quality Management For Pond Fish Culture . Elsevier Publishing Company. New York 318p Affandi R dan Tang UM. 2002. Fisiologi Hewan Air. UNRI Pers 217 hal Nybakken JW. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis (Alih Bahasa Oleh H.M. Eidman, KoeSoebiono, D.G. Bengen, M. Hutomo dan S. Sukarjo, Jakarta: Gramedia terjemahan dari: Marine Biology an ecological approach). Syakirin MB. 2000. Pengaruh Tingkat Kerja Osmotik media terhadap pertumbuhan dan efisiensi pemanfaatan pakan pada ikan nila merah (Oreocromhis sp ). [Tesis]. Bogor. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Djokosetiyanto D, Wulandari AR dan Carman O. 2008. Pengaruh salinitas terhadap kelulusan hidup dan pertumbuhan benih ikan Bawal air tawar ( Collosoma macropomum ). Jurnal Perikanan. Vol.X Nomor 2, Juli 2008.Hal 282-289.

Baldiserroto B, Miguel J, and Kapoor BG. 2007. Fish Osmoregulation. Science Publishe. USA Porchase MM, Luis R, Martines C, and Ramos R. 2009. Cortisol and Glucose Reliable indicator of Fish. American Journal of Aquatic Sciences.Vol. 4. No.2, 157 178p.

You might also like