You are on page 1of 28

BAB I PENDAHULUAN 1.1.

Latar Belakang Tetanus merupakan penyakit yang disebabkan eksotoksin bakteri Gram positif Clostridium tetani yang bersifat obligat anaerob dan membentuk spora. Spora banyak terdapat di dalam tanah dan feses hewan dan infeksi terjadi akibat kontak dengan jaringan melalui luka. (1). Tetanus terutama ditemukan pada negara-negara kurang dan sedang berkembang dengan iklim hangat dan lembap yang padat penduduk misalnya Brazil, Filipina, Vietnam, Indonesia, dan negara-negara di Afrika. Tetanus merupakan salah satu penyakit yang menjadi target program imunisasi World Health Organization (3, 4). Insidensi tahunan tetanus di dunia adalah 0,5-1 juta kasus dengan tingkat mortalitas sekitar 45%. Di Amerika Serikat pada tahun 1947 dilaporkan terdapat 560 kasus, sedangkan antara 1998-2000 hanya 43 kasus per tahunnya. Penurunan tersebut disebabkan oleh penemuan dan penggunaan imunisasi aktif terhadap tetanus. Di negara berkembang tetanus banyak ditemukan pada populasi neonatus dan merupakan salah satu penyebab mortalitas bayi yang penting. Di negara maju tetanus terutama terjadi setelah luka tusuk yang tidak disengaja, misalnya saat bertani atau berkebun, yang tidak mendapatkan perawatan luka yang adekuat (5, 6). 1.2. Tujuan Untuk mengetahui, epidemiologi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan, komplikasi, prognosis, dan pencegahan tetanus.

BAB II LAPORAN KASUS I. ANANMNESIS A. Identitas Nama Jenis Kelamin Usia Alamat Status Pernikahan Suku Pekerjaan Pendidikan Terakhir Tanggal Masuk RS : Tn. S : Laki-laki : 43 tahun : Jl. Gerilya : Menikah : Jawa : Petani : SD : 27 november 2012

B. Keluhan utama: Kaku diseluruh tubuh C. Riwayat penyakit sekarang: Keluhan dialami pasien sejak 10 jam sebelum masuk rumah sakit. Dua hari sebelum keluhan muncul, kuku ibu jari kanan pasien tertusuk kayu saat sedang bekerja di kebun, kemudian pasien mencoba mengeluarkan kayu tersebut dengan mencungkil kayu tersebut dengan menggunakan duri. Beberapa jam sebelum mengalami kaku pada seluruh tubuh, pasien mengeluh tidak dapat membuka mulutnya sehingga pasien tidak dapat makan, tidak bisa mengangkat ke dua tangan dan kaki karena kaku, dan alis mata tertarik keatas. Pasien juga mengalami demam. Saat mengalami keluhan pasien tidak ada mengalami pingsan, kejang saat melihat cahaya ataupun mendengar suara, mata melihat keatas, mulut berbusa ataupun

mual dan muntah. BAB dan BAK pasien dalam batas normal, tidak terasa nyeri. D. Riwayat Penyakit Dahulu: Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya Pasien menyangkal memiliki penyakit darah tinggi, kencing manis, penyakit jantung, paru, ginjal, maupun alergi terhadap makanan maupun obat. Pasien belum pernah mendapatkan imunisasi tetanus sebelumnya.

E. Riwayat Penyakit Keluarga: Pasien mengatakan tidak ada anggota keluarganya yang memiliki gejala penyakit yang sama sepertinya. Tidak ada riwayat darah tinggi, kencing manis, penyakit jantung, paru, ginjal maupun alergi terhadap makanan atau obat. II. PEMERIKSAAN FISIK A. Status Generalisata Keadaan Umum: Tampak sakit sedang Kesadaran Tanda Vital: a. Tekanan darah : 120/80 mmHg b. Nadi c. Suhu d. Pernapasan e. BB f. TB Kepala: Mata Hidung Telinga : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik : tidak ada secret/bau/perdarahan : tidak ada secret/bau/perdarahan : 80x/menit : 37,80C : 18x/menit : 64 kg : 168 cm : Compos mentis, GCS E4V5M6

Mulut Wajah Leher: KGB Tiroid Paru: Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi Jantung: Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi Abdomen: Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi Extremitas:

: bibir tidak sianosis, mukosa tidak pucat, trismus (+) : risus sardonikus (+)

: tidak ada pembesaran : tidak ada pembesaran

: pergerakan dinding dada simetris : fremitus raba dextra = sinistra : sonor : suara napas vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)

: ictus cordis tidak terlihat : ictus cordis teraba di ICS V mcl sinistra : batas kanan: ICS III PSL dekstra batas kiri : ICS V MCL sinistra : bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

: datar : soepl, nyeri tekan (-), organomegali (-) : timpani : bising usus (+) kesan normal

Akral hangat (+/+/+/+), oedem (-/-/-/-) Batang tubuh : epistotonus (-)

B. Status Neurologi Kesan Umum Kesadaran : compos mentis, GCS E4V5 M6 Pemeriksaan khusus: 1. Rangsang selaput otak Kaku kuduk Brudzinski I : (-) : -/-

Brudzinski II : -/2. Saraf Otak N I-XII : normal 3. Sistem motorik Kekuatan otot MMT : Sulit di evaluasi, hipertonus pada kedua ekstrimitas. Status Lokalis: Digiti I pedis dextra : tampak luka bekas insisi dengan ukuran 2 cm. III. PEMERIKSAAN PENUNJANG Hasil Laboratorium: Darah lengkap Hb Lekosit Hematokrit Trombosit Faal Hati Bilirubin direk : 0,21 : 10,5 gr/dl : 13,900 / mm3 : 29,7 : 335.000 / mm3

Bilirubin total SGOT SGPT Faal Ginjal Serum Kreatinin Ureum As. Urat Kadar Gula Darah Sewaktu Elektrolit Natrium Kalium Chlorida Calsium IV. DIAGNOSIS

: 0,57 : 21 : 32 : 0,6 : 35 : 4,1 : 122 : 136 : 3,61 : 98,6 : 2,08

Tetanus generalisata derajat sedang V. Cross incisi Inf.RL 20 tpm Inj Ranitidin 2x1 amp Inj Tetagam 3000 IU Inj Cefotaxime 3x1 gr Inj.Metronidazol 3x500 mg Diazepam (syring pump) 0,6cc/jam Paracetamol 3x500 mg TERAPI

BAB III TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Tetanus merupakan penyakit klinis yang ditandai dengan onset akut hipertonia dan kontraksi otot yang nyeri (biasanya otot rahang dan leher) dan spasme otot general tanpa penyebab medis lain yang tampak dengan/tanpa bukti laboratoris C. tetani atau toksinnya dengan atau tanpa riwayat trauma(3, 7) Tetanus disebabkan eksotoksin bakteri Gram positif Clostridium tetani yang bersifat obligat anaerob dan membentuk spora. Spora banyak terdapat di dalam tanah dan feses hewan dan infeksi terjadi akibat kontak dengan jaringan melalui luka. Toksin mempengaruhi saraf yang mengontrol fungsi otot(1). 2.2. Epidemiologi Bakteri C. tetani dapat ditemukan di semua tempat di dunia tetapi tetanus terutama ditemukan pada negara-negara kurang dan sedang berkembang yang padat penduduk dengan iklim hangat dan lembap dan tanah yang kaya dengan material organik. Tanah dan usus manusia serta hewan merupakan reservoir spora C. tetani. Transmisi spora C. tetani terjadi melalui luka yang kotor (terkontaminasi) atau cidera jaringan lain. Tetanus tidak menular dari manusia ke manusia (2, 9). Faktor risiko utama terhadap tetanus yaitu status imunisasi tetanus yang tidak lengkap, adanya cidera jaringan, serta praktik obstetrik dan injeksi obat yang tidak aseptik. Faktor risiko lainnya meliputi tindakan bedah abdomen, akupunktur, tindik telinga, tusuk gigi, dan infeksi telinga tengah (10).

2.3. Etiologi Tetanus disebabkan oleh toksin bakteri Clostridium tetani yang memiliki dua bentuk, yaitu bentuk vegetatif dan spora. Bentuk vegetatif C. tetani adalah basil, Gram positif, tidak berkapsul, motil, dan bersifat obligat anaerob. Bentuk vegetatif rentan terhadap efek bakterisidal dari proses pemanasan, desinfektan kimiawi, dan antibiotik. Bentuk ini merupakan bentuk yang dapat menimbulkan tetanus (2). Pada basil yang mengandung spora terdapat bentukan endospora pada salah satu ujungnya sehingga memberikan penampilan seperti stik drum. Spora C. tetani relatif resisten terhadap desinfeksi kimiawi dan pemanasan. Spora tahan terhadap paparan fenol, merbromin, dan bahan kimia lain yang efektif untuk desinfeksi. Pemanasan di dalam air mendidih selama 15 menit dapat membunuh hampir semua spora. Sterilisasi menggunakan uap tersaturasi dengan tekanan 15 lbs selama 15-20 menit pada suhu 121C juga dapat membunuh semua bentuk kehidupan. Sterilisasi menggunakan panas kering lebih lambat dibandingkan uap panas (1-3 jam pada suhu 160C) tetapi efektif terhadap spora. Sterilisasi menggunakan etilen oksida juga dapat membunuh spora (5). Spora banyak terdapat di dalam tanah, saluran cerna, dan feses hewan. Tanah yang mengandung kotoran hewan mengandung spora dalam jumlah banyak. Spora dapat bertahan beberapa bulan bahkan tahun. Pada lingkungan pertanian, manusia dewasa dapat menjadi reservoir spora (2). Spora bersifat non-patogenik di dalam tanah atau jaringan terkontaminasi sampai tercapai kondisi yang memadai untuk transformasi ke bentuk vegetatif. Transformasi terjadi akibat penurunan lokal kadar oksigen akibat: (a) terdapat jaringan mati dan benda asing, (b) crushed injury, dan (c) infeksi supuratif (2). Germinasi spora dan produksi toksin terjadi pada kondisi anaerobik. Bentuk vegetatif C. tetani menghasilkan dua macam toksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin merupakan enzim hemolisin yang menyebabkan potensiasi infeksi tetapi perannya dalam patogenesis tetanus belum jelas. Tetanospasmin berperan penting dalam patogenesis tetanus. Tetanospasmin atau toksin tetanus merupakan neurotoksin poten yang dilepaskan seiring pertumbuhan

C. tetani pada tempat infeksi. 2.4. Patogenesis Spora C. tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Masa inkubasi antara inokulasi spora dengan manifestasi klinis awal bervariasi antara beberapa hari sampai 3 minggu. Spora hanya dapat mengalami germinasi pada kondisi anaerob yang paling sering terjadi pada luka dengan nekrosis jaringan dan benda asing. Adanya organisme lain juga mempercepat transformasi spora ke bentuk vegetatif. Masa inkubasi panjang biasanya terjadi pada lokasi infeksi yang jauh dari sistem saraf pusat. Masa inkubasi merupakan salah satu faktor penentu prognosis (5).

Gambar 3. Gambar skematis struktur tetanospasmin (Sumber: Wikipedia)

C. tetani merupakan mikroorganisme yang relatif non-invasif yang kehadirannya di jaringan sulit dibuktikan. Pada kondisi yang jarang, C. tetani dapat dikultur dari darah. Bakteri ini menimbulkan reaksi lokal yang minimal pada luka yang biasanya tanpa supurasi. Spora yang mengalami transformasi ke bentuk vegetatif melepaskan toksin solubel tetanospasmin yang bertanggung jawab terhadap manifestasi klinis tetanus. Tetanospasmin awalnya terdiri dari rantai polipeptida tunggal dengan berat molekul 150-kDa yang tidak aktif. Toksin

tersebut kemudian terbagi menjadi dua subunit oleh enzim protease jaringan yaitu rantai berat dengan berat molekul 100-kDa dan rantai ringan dengan berat molekul 50-kDa yang dihubungkan oleh ikatan disulfida. Ujung karboksil dari rantai berat berikatan dengan membran neural dan ujung amino menciptakan pori untuk masuknya rantai ringan ke dalam sitosol. Faktor genetik yang mengontrol produksi tetanospasmin terdapat pada plasmid bakteri (5, 6, 13). Setelah rantai ringan memasuki motorneuron, senyawa tersebut ditranspor melalui akson secara intraaksonal dan retrograd dari tempat infeksi ke korda spinalis dalam 2-14 hari. Transpor awalnya terjadi pada neuron motorik kemudian pada neuron sensorik dan autonom. Ketika mencapai badan sel toksin dapat berdifusi keluar dan mempengaruhi neuron-neuron lain. Apabila terdapat toksin dalam jumlah besar sebagian toksin akan masuk ke dalam sirkulasi dan berikatan dengan ujung-ujung saraf di seluruh tubuh. Ketika mencapai korda spinalis, rantai ringan memasuki neuron inhibitori sentral kemudian memecah sinaptobrevin, senyawa yang penting dalam pengikatan vesikel neurotransmiter ke membran sel. Tetanospasmin memiliki efek predominan terhadap neuron inhibitori dan yang pertama terkena adalah neuron yang menginhibisi alfa motor neuron. Setelahnya neuron simpatetik preganglionik di kornu lateralis dan pusat parasimpatetik juga terkena. Akibatnya vesikel yang mengandung gamma amino-butyric acid (GABA) dan glisin tidak dilepaskan dan terjadi hilangnya aksi inhibitori pada neuron motorik dan autonomik. Hilangnya inhibisi sentral menimbulkan kontraksi otot yang terus menerus (spasme) yang terjadi sebagai respon terhadap stimuli normal seperti suara atau cahaya dan hiperaktivitas autonomik. Transpor intraneural retrograd yang lebih lanjut terjadi dan toksin mencapai batang otak dan diensefalon (6, 13). Efek fisiologis tetanospasmin serupa dengan striknin(2, 5). Motor neuron juga dipengaruhi oleh tetanospasmin dan pelepasan asetilkolin ke celah neuromuskular menurun. Efek ini serupa dengan efek toksin botulinum yang menimbulkan gejala paralisis flasid. Meskipun demikian, pada tetanus efek disinhibitori motoneuron melampaui penurunan fungsi pada sambungan neuromuskular sehingga yang tampak adalah akibat dari gangguan inhibisi. Efek pre-junctional pada sambungan neuromuskular dapat menyebabkan

10

terjadinya kelemahan diantara spasme dan dapat merupakan penyebab paralisis nervus kranialis yang ditemukan pada tetanus sefalik dan miopati yang ditemukan setelah penyembuhan (13). Pelepasan impuls eferen yang tidak terkontrol dan tanpa inhibisi dari motoneuron pada medula spinalis dan batang otak menyebabkan rigiditas muskuler dan spasme yang dapat menyerupai konvulsi. Refleks inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang sehingga otot-otot agonis dan antagonis berkontraksi secara bersamaan. Spasme otot sangat nyeri dan dapat menyebabkan fraktur serta ruptur tendon. Otot-otot rahang, wajah, dan kepala merupakan yang pertama kali terpengaruh karena jalur aksonal yang lebih pendek kemudian diikuti otot-otot tubuh dan ekstremitas tetapi otot perifer pada tangan dan kaki sering tidak terpengaruh. Pelepasan impuls autonom tanpa inhibisi menyebabkan gangguan kontrol autonomik dengan overaktivitas simpatetik dan kadar katekolamin plasma meningkat. Toksin yang telah terikat pada neuron tidak dapat dinetralisir oleh antitoksin. Pengikatan toksin terhadap neuron bersifat ireversibel dan proses penyembuhan memerlukan pertumbuhan ujung saraf yang baru sehingga perbaikan klinis baru terlihat 2-3 minggu setelah terapi dimulai (3, 11, 13).

Gambar 4. Mekanisme kerja tetanospasmin.

11

2.5. Manifestasi klinis Tetanus biasanya terjadi setelah luka dengan penetrasi yang dalam dimana pertumbuhan bakteri anaerob dapat terjadi. Tempat infeksi yang paling umum adalah luka pada ekstremitas bawah, infeksi uterus post-partum atau post-abortus, injeksi intramuskular nonsteril, dan fraktur terbuka. Penting untuk menekankan bahwa trauma minor dapat menimbulkan tetanus. Pada 30% pasien tidak tampak adanya tempat masuk (portal of entry). Tetanus telah diidentifikasi setelah berbagai cidera jaringan, termasuk injeksi intravena dan intramuskular, akupunktur, tindik telinga, dan bahkan luka akibat tusuk gigi. Tetanus dapat juga terjadi pada infeksi kronis seperti otitis media dan setelah ulkus dekubitus. Tetanus dapat dibedakan menjadi empat bentuk berdasarkan manifestasi klinisnya, yaitu (5, 10): a. Tetanus lokal Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang ditemukan. Pasien dengan tetanus lokal mengalami spasme dan peningkatan tonus otot terbatas pada otot-otot di sekitar tempat infeksi tanpa tanda-tanda sistemik. Kontraksi dapat bertahan selama beberapa minggu sebelum perlahan-lahan menghilang. Tetanus lokal dapat berlanjut menjadi tetanus general tetapi gejala yang timbul biasanya ringan dan jarang menimbulkan kematian. Mortalitas akibat tetanus lokal hanya 1% (2, 5). b. Tetanus sefalik Tetanus sefalik juga merupakan bentuk yang jarang ditemukan (insiden sekitar 6%) dan merupakan bentuk khusus tetanus lokal yang mempengaruhi otot-otot nervus kranialis terutama di daerah wajah. Tetanus sefalik dapat timbul setelah otitis media kronik maupun cidera kepala (kulit kepala, mata dan konjungtiva, wajah, telinga, atau leher). Manifestasi klinis yang dapat timbul dalam 1-2 hari setelah cidera antara lain fasial palsi akibat paralisis nervus VII (paling sering), disfagia, dan paralisis otot-otot ekstraokuler serta ptosis akibat paralisis nervus III. Tetanus sefalik dapat berlanjut menjadi tetanus general. Tingkat mortalitas yang dilaporkan

12

tinggi, yaitu 15-30% (2, 3, 11).

Gambar 5. Paralisis nervus fasialis kiri dan tampak luka baru pada pasien dengan tetanus sefalik. Sumber: Cook, 2001

c. Tetanus general Sekitar 80% kasus tetanus merupakan tetanus general. Tanda khas dari tetanus general adalah trismus (lockjaw) yaitu ketidakmampuan membuka mulut akibat spasme otot maseter. Trismus dapat disertai gejala lain seperti kekakuan leher, kesulitan menelan, rigiditas otot abdomen, dan peningkatan temperatur 2-4C di atas suhu normal. Spasme otot-otot wajah menyebabkan wajah penderita tampak menyeringai dan dikenal sebagai risus sardonicus (sardonic smile). Spasme otot-otot somatik yang luas menyebabkan tubuh penderita membentuk lengkungan seperti busur yang dikenal sebagai opistotonus dengan fleksi lengan dan ekstensi tungkai serta rigiditas otot abdomen yang teraba seperti papan (5). Kejang otot yang akut, paroksismal, tidak terkoordinasi, dan menyeluruh merupakan karakteristik dari tetanus general. Kejang tersebut terjadi secara intermiten, ireguler, tidak dapat diprediksi, dan berlangsung selama beberapa detik sampai beberapa menit. Pada awalnya kejang bersifat ringan dan terdapat periode relaksasi diantara kejang, lama kelamaan kejang menimbulkan nyeri dan kelelahan (paroksismal). Kejang dapat terjadi secara spontan atau dipicu berbagai stimulus eksternal dan internal. Distensi vesika urinaria dan rektum atau sumbatan mukus dalam bronkus dapat memicu
13

kejang paroksismal. Udara dingin, suara, cahaya, pergerakan pasien, bahkan gerakan pasien untuk minum dapat memicu spasme paroksismal. Sianosis dan bahkan kematian mendadak dapat terjadi akibat spasme tersebut. Terkadang pasien dengan tetanus general menampakkan manifestasi autonomik yang mempersulit perawatan pasien dan dapat mengancam nyawa. Overaktivitas sistem saraf simpatis lebih sering ditemukan pada pasien usia tua atau pecandu narkotik dengan tetanus. Overaktivitas autonom dapat menyebabkan fluktuasi ekstrim tekanan darah yang bervariasi dari hipertensi ke hipotensi serta takikardia, berkeringat, hipertermia, dan aritmia jantung (5). Pada tetanus kesadaran penderita tidak terganggu dan penderita mengalami nyeri hebat pada setiap episode spasme. Spasme berlanjut selama 2-3 minggu, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan transpor toksin yang sudah berada intraaksonal, setelah antitoksin diberikan. Apabila antitoksin tidak diberikan, pemulihan lengkap akan terjadi dalam beberapa bulan sampai produksi dan pengikatan tetanospasmin selesai dan terjadi pembentukan neuromuscular junction yang baru (2).

(a)

(b)

d. Tetanus neonatorum Tetanus neonatorum disebabkan infeksi C. tetani yang masuk melalui tali pusat sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora masuk disebabkan proses pertolongan persalinan yang tidak steril, baik karena penggunaan alat maupun obat-obatan yang terkontaminasi spora C. tetani. Kebiasaan

14

menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak steril merupakan faktor utama dalam terjadinya tetanus neonatorum (14). Gambaran klinis tetanus neonatorum serupa dengan tetanus general. Gejala awal ditandai dengan ketidakmampuan untuk menghisap 3-10 hari setelah lahir. Gejala lain termasuk iritabilitas dan menangis terus menerus (rewel), risus sardonikus, peningkatan rigiditas, dan opistotonus (3).

Gambar 6. Tetanus neonatorum

2.6. Diagnosis Diagnosis tetanus lebih sering ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dibandingkan berdasarkan penemuan bakteriologis. Diagnosis relatif lebih mudah pada daerah dengan insiden tetanus yang sering, tetapi lebih lambat di negaranegara berkembang dimana tetanus jarang ditemukan. Selain trismus, pemeriksaan fisik menunjukkan hipertonisitas otot-otot, refleks tendon dalam yang meningkat, kesadaran yang tidak terganggu, demam derajat rendah, dan sistem saraf sensoris yang normal. Spasme paroksismal dapat ditemukan secara lokal maupun general. Sebagian besar pasien memiliki riwayat luka dalam 2 minggu terakhir dan secara umum tidak memiliki riwayat imunisasi tetanus toksoid yang jelas (5, 8). Pemeriksaan bakteriologis dapat mengkonfirmasi adanya C. tetani pada hanya sekitar sepertiga pasien yang memiliki tanda klinis tetanus. Harus diingat bahwa isolasi C. tetani dari luka terkontaminasi tidak berarti pasien akan atau

15

telah menderita tetanus. Frekuensi isolasi C. tetani dari luka pasien dengan tetanus klinis dapat ditingkatkan dengan memanaskan satu set spesimen pada suhu 80 C selama 15 menit untuk menghilangkan bentuk vegetatif mikroorganisme kompetitor tidak berspora sebelum media kultur diinokulasi (5). Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis sedang. Pemeriksaan cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat akibat kontraksi otot. Hasil elektromiografi dan elektroensefalografi biasanya normal dan tidak membantu diagnosis. Pada kasus tertentu apabila terdapat keterlibatan jantung elektrokardiografi dapat menunjukkan inversi gelombang T. Sinus takikardia juga sering ditemukan. Diagnosis tetanus harus dibuat dengan hati-hati pada pasien yang memiliki riwayat dua atau lebih injeksi tetanus toksoid yang terdokumentasi. Spesimen serum harus diambil untuk memeriksa kadar antitoksin. Kadar antitoksin 0,01 IU/mL dianggap protektif (5, 9). Setelah diagnosis tetanus dibuat harus ditentukan derajat keparahan penyakit. Beberapa sistem skoring tetanus dapat digunakan, diantaranya adalah skor Phillips, Dakar, Ablett, dan Udwadia. Sistem skoring tetanus juga sekaligus bertindak sebagai penentu prognosis (11, 15).
Tabel 1. Skor Phillips untuk menilai derajat tetanus Parameter < 48 jam 2-5 hari 6-10 hari 11-14 hari > 14 hari Internal dan umbilikal Leher, kepala, dinding tubuh Ekstremitas atas Ekstremitas bawah Tidak diketahui Tidak ada Mungkin ada/ibu mendapatkan imunisasi (pada neonatus) > 10 tahun yang lalu < 10 tahun yang lalu Imunisasi lengkap Nilai 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 10 8 4 2 0

Masa inkubasi

Lokasi infeksi

Status imunisasi

16

Penyakit atau trauma yang mengancam nyawa Keadaan yang tidak langsung mengancam nyawa Faktor pemberat Keadaan yang tidak mengancam nyawa Trauma atau penyakit ringan ASA derajat I Sumber: Farrar et al, 2000

10 8 4 2 1

Sistem skoring menurut didasarkan pada empat parameter, yaitu masa inkubasi, lokasi infeksi, status imunisasi, dan faktor pemberat. Skor dari keempat parameter tersebut dijumlahkan dan interpretasinya sebagai berikut: (a) skor < 9 tetanus ringan, (b) skor 9-18 tetanus sedang, dan (c) skor > 18 tetanus berat. 2.7. Diagnosis banding Berbagai keadaan dapat memberikan gambaran klinis yang menyerupai tetanus. Kondisi lokal tersering yang dapat menyebabkan trismus adalah abses alveolar. Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang baik serta pemeriksaan radiologis dapat menentukan adanya abses alveolar. Meningitis purulenta dapat dieksklusi dengan pemeriksaan cairan serebrospinal. Ensefalitis terkadang disertai gejala trismus dan spasme otot, tetapi kesadaran pasien biasanya berkabut. Rabies harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding meskipun pada rabies tidak ada trismus. Spasme otot terjadi lebih awal dalam perjalanan penyakit rabies dan melibatkan otot-otot pernapasan dan deglutition. Pada anak-anak < 2 tahun, tetani hipokalsemia harus dipertimbangkan. Postur tangan dan kaki yang khas (spasme karpo-pedal), tidak adanya trismus, dan kadar kalsium serum dapat mengkonfirmasi diagnosis tetani hipokalsemia. Reaksi terhadap fenotiazin dapat menyebabkan trismus, tetapi disertai dengan gejala lain yang tidak ditemukan pada tetanus seperti tremor, gerakan athetoid, dan tortikolis. Pada keracunan striknin harus digali kemungkinan percobaaan bunuh diri atau percobaan pembunuhan. Selain itu, pada keracunan striknin trismus muncul lebih lambat serta tanda dan gejala muncul lebih cepat dibandingkan tetanus (5). 2.8. Penatalaksanaan Prioritas awal dalam manajemen penderita tetanus adalah kontrol jalan

17

napas dan mempertahankan ventilasi yang adekuat. Pada tetanus sedang sampai berat risiko spasme laring dan gangguan ventilasi tinggi sehingga harus dipikirkan untuk melakukan intubasi profilaksis. Rapid sequence intubation dengan midazolam dan suksinilkolin dianggap aman dan efektif untuk mendapatkan patensi jalan napas. Intubasi nasotrakeal dihindari karena stimulasi sensoris yang berlebihan. Beberapa rumah sakit yang sering merawat pasien dengan tetanus memiliki ruangan yang khusus dibangun. Pasien ditempatkan di ruang perawatan khusus yang sunyi dan gelap untuk meminimalisir stimulus ekstrinsik yang dapat memicu spasme paroksismal. Pasien harus diistirahatkan dengan tenang untuk membatasi stimulus periferal dan diposisikan secara hati-hati untuk mencegah pneumonia aspirasi. Pemberian cairan intravena dilakukan dan hasil pemeriksaan elektrolit dan analisa gas darah penting untuk menentukan terapi (11, 18). Penatalaksanaan berikutnya memiliki tiga tujuan utama, yaitu: (1) menetralisir toksin dalam sirkulasi; (2) menghilangkan sumber tetanospasmin; dan (3) memberikan terapi suportif sampai tetanospasmin yang terfiksir pada neuron dimetabolisme (5). Netralisasi toksin dalam sirkulasi dilakukan dengan memberikan human tetanus immunoglobulin (HTIG). Belum ada konsensus mengenai dosis tepat HTIG untuk tetanus. Bhatia(11) menyarankan pemberian dosis tunggal 3000-6000 IU secara intramuskular, sedangkan dosis yang disarankan dalam formularium nasional Inggris adalah 5000-10.000 IU(19). Waktu paruh HTIG sekitar 23 hari sehingga tidak diperlukan dosis ulangan. HTIG tidak boleh diberikan diberikan lewat jalur intravena karena mengandung anti complementary aggregates of globulin yang dapat mencetuskan reaksi alergi. Apabila HTIG tidak tersedia dapat digunakan antitetanus serum (ATS) yang berasal dari serum kuda dengan dosis 40.000 IU. Cara pemberiannya yaitu 20.000 IU antitoksin dimasukkan ke dalam 200 ml cairan NaCl fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus selesai dalam 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 IU) diberikan secara intramuskular pada daerah sekitar luka. ATS berasal dari serum kuda sehingga berpotensi besar menimbulkan reaksi hipersensitivitas sehingga pemberiannya harus didahului oleh skin test yaitu 0,1 mL ATS diencerkan

18

menggunakan cairan garam fisiologis dengan perbandingan 1:10 kemudian diinjeksikan intradermal. HTIG dan ATS hanya berguna terhadap tetanospasmin yang belum memasuki sistem saraf (14, 16). Eradikasi sumber toksin dilakukan dengan pemberian antibiotik dan debridemen luka. Penggunaan antibiotik Penisilin G (100.000-200.000 IU/kgBB per hari dibagi 2-4 dosis) dahulunya merupakan terapi pilihan. Penisilin G merupakan antagonis reseptor GABA sehingga dapat bekerja secara sinergis dengan tetanospasmin. Saat ini Metronidazole merupakan antibiotik pilihan pertama untuk tetanus karena relatif murah dan penetrasi lebih baik ke jaringan anaerobik. Dosis Metronidazole adalah 500 mg setiap 6 jam diberikan melalui jalur intravena atau per oral selama 10-14 hari. Antibiotik yang dapat digunakan sebagai alternatif terhadap Metronidazole adalah Doksisiklin 100 mg setiap 12 jam selama 7-10 hari. Makrolida, Klindamisin, Sefalosporin, dan Kloramfenikol juga efektif . Pada perawatan luka dilakukan debridemen luka dengan membuang benda asing, eksisi jaringan nekrotik, serta irigasi luka. Larutan hidrogen peroksida (H2O2) dapat digunakan dalam perawatan luka. Perawatan luka dilakukan 1-2 jam setelah pemberian HTIG atau ATS dan antibiotik (14, 16). Perawatan suportif meliputi sedasi, blokade neuromuskuler, dan manajemen instabilitas autonomik. Sedasi secara efektif mengatasi spasme otot dan rigiditas. Benzodiazepin seperti midazolam dan diazepam merupakan obat lini pertama untuk mencapai sedasi. Dosis benzodiazepin yang digunakan dapat mencapai 100 mg/jam intravena. Antikonvulsan seperti fenobarbital dan secobarbital yang meningkatkan aktivitas GABA juga dapat memberikan efek sedasi dan digunakan dengan dosis awal 1.5-2.5 mg/kgBB untuk anak atau 100-150 mg untuk dewasa diberikan intramuskular. Dosis pemeliharaan harus dititrasi. Apabila spasme menjadi lebih berat atau lebih sering dapat digunakan fenobarbital 120-200 mg intravena dan ditambahkan diazepam dalam dosis terbagi sampai 120 mg/hari diberikan intravena. Klorpromazin dosis 4-12 mg untuk bayi atau 50-150 mg untuk dewasa diberikan setiap 4-8 jam dapat digunakan untuk mengendalikan kejang tetani (5, 19). Obat lain yang dapat digunakan untuk mengontrol spasme adalah

19

magnesium sulfat dan baklofen. Magnesium bekerja sebagai antagonis kalsium dan dalam penggunaannya harus dimonitor refleks patella, respiratory rate, serta tanda-tanda hipokalsemia seperti tanda Chvostek dan Trousseau yang positif. Pemberiannya didahului dengan loading dose 5 mg diberikan selama 20 menit diikuti maintenance dose 2 gram/jam. Magnesium sulfat tidak boleh digunakan pada pasien dengan gagal ginjal berat. Baklofen merupakan agonis GABA fisiologis yang menstimulasi reseptor GABA post-sinaptik sehingga mengembalikan inhibisi fisiologis motorneuron. Pemberiannya secara intratekal dengan dosis bervariasi antara 1000 mcg untuk orang dewasa < 55 tahun, 500 mcg < 16 tahun, dan 800 mcg > 55 tahun; diberikan awalnya dengan bolus intermiten pada interval 10-20 jam tergantung respon pasien atau diberikan dengan infus kontinyu apabila dibutuhkan. Dantrolene merupakan relaksan otot kerja langsung yang bekerja dengan menginhibisi pelepasan kalsium dari retikulum sarkoplasma dan seara langsung mempengaruhi coupling eksitasi-kontraksi. Dantrolene telah digunakan dalam beberapa kasus dan memiliki keuntungan karena tidak membutuhkan pernapasan buatan, tetapi Dantrolene belum dapat direkomendasikan untuk penggunaan rutin karena belum banyak penelitian melibatkan obat ini, harga yang mahal, dan potensi efek hepatotoksik. Spasme otot yang tidak dapat dikontrol dengan benzodiazepin harus ditangani dengan pemberian agen blokade neuromuskuler, diantaranya atrakurium dan vekuronium. Vekuronium memiliki sifat kardiostabil (11, 19). Penyebab utama mortalitas pada tetanus adalah kolaps sirkulasi yang disebabkan oleh instabilitas autonomik. Henti jantung tiba-tiba sering terjadi dan diperkirakan dipicu oleh kadar katekolamin yang tinggi dan efek langsung toksin terhadap miokardium. Aktivitas simpatetik yang memanjang dapat berakhir dengan hipotensi dan bradikardia. Overaktivitas parasimpatetik dapat menyebabkan henti sinus, yang telah dikaitkan dengan efek langsung perusakan nukleus vagal oleh toksin. Atropin dosis tinggi (hingga 100 mg/jam) dianjurkan apabila bradikardia merupakan manifestasi utama (19). Sedasi merupakan tindakan awal untuk mengendalikan instabilitas autonomik

20

terutama menggunakan morfin yang efektif menurunkan output katekolamin. Blokade beta, meskipun secara teoritis berguna mengontrol episode hipertensi dan takikardia, berhubungan dengan kolaps kardiovaskular tiba-tiba, edema pulmoner, dan kematian. Obat lain yang telah digunakan termasuk klonidin dan magnesium. Klonidin merupakan agonis 2-adrenergik yang menurunkan aliran simpatis, tekanan arteri, denyut jantung, dan pelepasan katekolamin. Klonidin dapat diberikan secara oral dan parenteral. Magnesium telah meningkat penggunaannya sebagai terapi multimodal tetanus. Magnesium bekerja melalui beberapa cara diantaranya memblok pelepasan katekolamin dari saraf dan medula adrenal dan mengurangi respon reseptor terhadap katekolamin. Magnesium juga merupakan bloker neuromuskular presinaptik sehingga berguna untuk mengontrol rigiditas dan spasme. Dosis yang direkomendasikan adalah 20 mmol/jam dan disesuaikan untuk mencapai konsentrasi plasma 2,5-4,0 mmol/liter. Konsentrasi kalsium plasma harus dimonitor selama pemberian magnesium karena dapat menghambat pelepasan hormon paratiroid (19). Hal lain yang tidak boleh dilupakan adalah pengaturan diet yang adekuat. Kebutuhan energi pada tetanus meningkat karena spasme berulang dan overaktivitas sistemik. Pemberian nutrisi harus dimulai sejak dini, idealnya melalui jalur enteral untuk mempertahankan integritas gastrointestinal. Pada penderita tetanus diberikan diet cukup kalori dan protein melalui jalur enteral maupun parenteral. Bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut dan menelan. Selama pasase usus baik diberikan nutrisi enteral. Apabila ada trismus makanan dapat diberikan lewat pipa lambung maupun gastrostomi (10, 14, 15, 19). Penderita yang sembuh dari tetanus tidak memiliki imunitas terhadap infeksi tetanus ulangan karena jumlah tetanospasmin yang dibutuhkan untuk menyebabkan tetanus tidak cukup untuk menstimulasi sistem imunitas tubuh. Pasien yang sembuh dari tetanus harus memulai atau melengkapi imunisasi aktif dengan tetanus toksoid selama proses penyembuhan (2).

21

2.9. Komplikasi Komplikasi tetanus dapat berupa komplikasi primer atau efek langsung dari toksin seperti aspirasi, spasme laring, hipertensi, dan henti jantung, atau komplikasi sekunder akibat imobilisasi yang lama maupun tindakan suportif seperti ulkus dekubitus, pneumonia akibat ventilasi jangka panjang, stress ulcer, dan fraktur serta ruptur tendon akibat spasme otot akibat tetanus dirangkum dalam tabel 6.
(2, 11)

. Berbagai komplikasi

Tabel 6. Komplikasi akibat tetanus Sistem organ Jalan napas Respirasi Komplikasi Aspirasi, spasme laring, obstruksi terkait penggunaan sedatif. Apneu, hipoksia, gagal napas tipe I dan II, ARDS, komplikasi akibat ventilasi mekanis jangka panjang (misalnya pneumonia), komplikasi trakeostomi. Takikardia, hipertensi, iskemia, hipotensi, bradikardia, aritmia, asistol, gagal jantung. Gagal ginjal, infeksi dan stasis urin. Stasis, ileus, perdarahan. Rabdomiolisis, myositis ossificans circumscripta, fraktur akibat spasme. Penurunan berat badan, tromboembolisme, sepsis, sindrom disfungsi multiorgan.

Kardiovaskular Renal Gastrointestinal Muskuloskeletal Lain-lain

Sumber: Ang, 2003

2.10. Prognosis Faktor yang mempengaruhi mortalitas pasien tetanus adalah masa inkubasi, periode awal pengobatan, status imunisasi, lokasi fokus infeksi, penyakit lain yang menyertai, serta penyulit yang timbul. Berbagai sistem skoring yang digunakan untuk menilai berat penyakit juga bertindak sebagai penentu prognostik. Sistem skoring yang dapat digunakan antara lain skor Phillips, Dakar, Udwadia, dan Ablett. Tingkat mortalitas mencapai lebih dari 50% di negaranegara berkembang dengan gagal napas menjadi penyebab utama mortalitas dan morbiditas. Mortalitas lebih tinggi pada kelompok usia neonatus dan > 60

22

tahun(11). 2.11. Pencegahan Tindakan pencegahan merupakan usaha yang sangat penting dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat tetanus. Ada dua cara mencegah tetanus, yaitu perawatan luka yang adekuat dan imunisasi aktif dan pasif (15). Imunisasi aktif dilakukan dengan memberikan tetanus toksoid yang bertujuan merangsang tubuh untuk membentuk antitoksin. Imunisasi aktif dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan dengan pemberian imunisasi DPT atau DT. Untuk orang dewasa digunakan tetanus toksoid (TT). Jadwal imunisasi dasar untuk profilaksis tetanus bervariasi menurut usia pasien. Imunisasi aktif dan pasif juga diberikan sebagai profilaksis tetanus pada keadaan trauma. Rekomendasi untuk profilaksis tetanus adalah berdasarkan kondisi luka khususnya kerentanan terhadap tetanus dan riwayat imunisasi pasien. Tanpa memperhatikan status imunitas aktif pasien, pada semua luka harus dilakukan tindakan bedah segera dengan menggunakan teknik aseptik yang hatihati untuk membuang semua jaringan mati dan benda asing. Pada luka yang rentan terhadap tetanus harus dipertimbangkan untuk membiarkan luka terbuka. Tindakan yang demikian penting sebagai profilaksis terhadap tetanus (20).
Tabel 8. Klasifikasi luka menurut American College of Surgeon Committee on Trauma (1995) Tampilan klinis Usia luka Konfigurasi Kedalaman Mekanisme cidera Luka rentan tetanus > 6 jam Bentuk stellate, avulsi > 1 cm Misil, crush injury, luka bakar, frostbite Ada Ada Ada Luka tidak rentan tetanus < 6 jam Bentuk linier, abrasi 1 cm Benda tajam (pisau, kaca) Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Tanda-tanda infeksi Jaringan mati Kontaminan (tanah, feses, rumput, saliva, dan lain-lain) Jaringan denervasi/iskemik Ada Sumber: American College of Surgeon Committee on Trauma (1995)

23

Satu-satunya kontraindikasi terhadap tetanus toksoid untuk pasien trauma adalah reaksi neurologis atau hipersensitivitas terhadap dosis sebelumnya. Efek samping lokal tidak menjadi alasan untuk tidak memberikan tetanus toksoid. Berikut adalah panduan pemberian profilaksis tetanus pada pasien trauma. Individual dengan faktor risiko status imunisasi tetanus yang inadekuat (imigran, kemiskinan, orang tua tanpa riwayat injeksi booster yang jelas) harus diterapi sebagai yang riwayatnya tidak diketahui (20).

Tabel 9. Panduan pemberian profilaksis tetanus pada pasien trauma (20) Riwayat imunisasi tetanus sebelumnya (dosis) Tidak diketahui atau < 3 3 dosis Luka rentan tetanus TT Ya Tidak
(kecuali 5 tahun sejak dosis terakhir)

Luka tidak rentan tetanus TT Ya Tidak


(kecuali 10 tahun sejak dosis terakhir)

HTIG Ya Tidak

HTIG Tidak Tidak

Sumber: American College of Surgeon Committee on Trauma (1995)

Untuk anak 7 tahun dapat digunakan DPT sebagai pengganti TT. Dosis profilaksis HTIG yang direkomendasikan adalah 250 IU diberikan intramuskular. Apabila diberikan imunisasi tetanus (TT atau DPT) dan HTIG secara bersamaan, gunakan alat injeksi yang berbeda dan tempat injeksi yang terpisah. Apabila tidak tersedia HTIG dapat digunakan anti tetanus serum (ATS) yang berasal dari serum kuda dengan dosis 3000-6000 IU. ATS lebih sering menimbulkan reaksi hipersensitivitas dibandingkan TIG karena mengandung protein asing bahkan pada pasien dengan tes kulit atau konjungtiva negatif sebelum pemberian (insiden 5-30%). ATS hanya diberikan apabila tidak tersedia TIG dan kemungkinan tetanus melebihi reaksi yang potensial terhadap produk ini (5, 20, 21). Seseorang yang pernah menderita tetanus tidak imun terhadap serangan ulangan, artinya penderita tersebut memiliki kemungkinan yang sama untuk
24

menderita tetanus seperti orang lain yang tidak pernah diimunisasi. Tidak terbentuknya kekebalan pada penderita setelah sembuh dikarenakan toksin yang masuk ke dalam tubuh tidak mampu merangsang pembentukan antitoksin. Tetanospasmin merupakan toksin yang sangat poten sehingga dalam konsentrasi yang sangat kecil dapat menimbulkan tetanus. Jumlah toksin yang masuk ke dalam tubuh dan menimbulkan tetanus tidak cukup untuk merangsang imunitas aktif penderita (14).

BAB IV PEMBAHASAN Pemeriksaan dilakukan pada pasien Tn. S, 43 tahun datang dengan keluhan kejang pada seluruh tubuh. Diagnosis tetanus generalisata derajat sedang ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan terhadap pasien. Dari anamnesis didapatkan bahwa keluhan dialami pasien sejak 10 jam sebelum masuk rumah sakit. Kejang dialami sebanyak 1 kali, terjadi pada seluruh tubuh, selama 10 menit, dan pasien tetap sadar selama kejang. Dua hari sebelum keluhan muncul, kuku ibu jari kanan pasien tertusuk kayu saat sedang bekerja di kebun, kemudian pasien mencoba mengeluarkan kayu tersebut dengan mencungkil kayu tersebut menggunakan duri. Beberapa jam sebelum mengalami kaku pada seluruh tubuh, pasien mengeluh tidak dapat membuka mulutnya sehingga pasien tidak dapat makan, tidak bisa mengangkat ke dua tangan dan kaki karena kaku, dan alis mata tertarik keatas. Pasien juga mengalami demam. Saat mengalami keluhan pasien tidak ada mengalami pingsan, kejang saat melihat cahaya ataupun mendengar suara, mata melihat keatas, mulut berbusa ataupun mual dan muntah. BAB dan BAK pasien dalam batas normal, tidak terasa nyeri.

25

Dari pengakuan pasien juga belum pernah mendapat imunisasi tetanus sebelumnya. Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien compos mentis, suhu tubuh pasien meningkat, didapatkan adanya trismus, hipertonus pada ekstrimitas atas maupun bawah dan risus sardonikus, sedangkan epistotonus dan kaku kuduk tidak didapatkan pada pemeriksaan fisik. Sesuai dengan kepustakaan disebutkan bahwa faktor risiko utama terhadap tetanus yaitu status imunisasi tetanus yang tidak lengkap, adanya cidera jaringan, serta praktik obstetrik dan injeksi obat yang tidak aseptik. Faktor risiko lainnya meliputi tindakan bedah abdomen, akupunktur, tindik telinga, tusuk gigi, dan infeksi telinga tengah (10). Sekitar 80% kasus tetanus merupakan tetanus general. Tanda khas dari tetanus general adalah trismus (lockjaw) yaitu ketidakmampuan membuka mulut akibat spasme otot maseter yang dapat disertai gejala lain seperti kekakuan leher, kesulitan menelan, rigiditas otot abdomen, dan peningkatan temperatur 2-4 C di atas suhu normal. Spasme otot-otot wajah menyebabkan wajah penderita tampak menyeringai dan dikenal sebagai risus sardonicus (sardonic smile). Spasme otototot somatik yang luas menyebabkan tubuh penderita membentuk lengkungan seperti busur yang dikenal sebagai opistotonus dengan fleksi lengan dan ekstensi tungkai serta rigiditas otot abdomen yang teraba seperti papan (5). Kejang otot yang akut, paroksismal, tidak terkoordinasi, dan menyeluruh merupakan karakteristik dari tetanus general. Kejang tersebut terjadi secara intermiten, ireguler, tidak dapat diprediksi, dan berlangsung selama beberapa detik sampai beberapa menit. Pada awalnya kejang bersifat ringan dan terdapat periode relaksasi diantara kejang, lama kelamaan kejang menimbulkan nyeri dan kelelahan (paroksismal). Kejang dapat terjadi secara spontan atau dipicu berbagai stimulus eksternal dan internal. Distensi vesika urinaria dan rektum atau sumbatan mukus dalam bronkus dapat memicu kejang paroksismal. Udara dingin, suara, cahaya, pergerakan pasien, bahkan gerakan pasien untuk minum dapat memicu spasme paroksismal. Sianosis dan bahkan kematian mendadak dapat terjadi akibat spasme tersebut. Terkadang pasien dengan tetanus general menampakkan

26

manifestasi autonomik yang mempersulit perawatan pasien dan dapat mengancam nyawa. Overaktivitas sistem saraf simpatis lebih sering ditemukan pada pasien usia tua atau pecandu narkotik dengan tetanus. Overaktivitas autonom dapat menyebabkan fluktuasi ekstrim tekanan darah yang bervariasi dari hipertensi ke hipotensi serta takikardia, berkeringat, hipertermia, dan aritmia jantung (5). Pada tetanus kesadaran penderita tidak terganggu dan penderita mengalami nyeri hebat pada setiap episode spasme. Spasme berlanjut selama 2-3 minggu, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan transpor toksin yang sudah berada intraaksonal, setelah antitoksin diberikan. Apabila antitoksin tidak diberikan, pemulihan lengkap akan terjadi dalam beberapa bulan sampai produksi dan pengikatan tetanospasmin selesai dan terjadi pembentukan neuromuscular junction yang baru (2). Pasien didiagnosis tetanus generalisata derajat sedang berdasarkan nilai philip score dimana nilai yang diperoleh adalah 17. Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien ini yaitu cross incisi, pemberian RL 20 tpm, ranitidin 2x1 ampul, tetagam 3000 IU, cefotaxime 3x1 iv, metronidazol 3x500 mg, diazepam (syringe pump) 0,6cc/jam, paracetamol 3x500 mg per oral. Prioritas awal dalam manajemen penderita tetanus adalah kontrol jalan napas dan mempertahankan ventilasi yang adekuat. Pada tetanus sedang sampai berat risiko spasme laring dan gangguan ventilasi tinggi sehingga harus dipikirkan untuk melakukan intubasi profilaksis. Rapid sequence intubation dengan midazolam dan suksinilkolin dianggap aman dan efektif untuk mendapatkan patensi jalan napas. Intubasi nasotrakeal dihindari karena stimulasi sensoris yang berlebihan. Beberapa rumah sakit yang sering merawat pasien dengan tetanus memiliki ruangan yang khusus dibangun. Pasien ditempatkan di ruang perawatan khusus yang sunyi dan gelap untuk meminimalisir stimulus ekstrinsik yang dapat memicu spasme paroksismal. Pasien harus diistirahatkan dengan tenang untuk membatasi stimulus periferal dan diposisikan secara hati-hati untuk mencegah pneumonia aspirasi. Pemberian cairan intravena dilakukan dan hasil pemeriksaan elektrolit dan analisa gas darah penting untuk menentukan terapi (11, 18).

27

Penatalaksanaan berikutnya memiliki tiga tujuan utama, yaitu: (1) menetralisir toksin dalam sirkulasi; (2) menghilangkan sumber tetanospasmin; dan (3) memberikan terapi suportif sampai tetanospasmin yang terfiksir pada neuron dimetabolisme (5).

DAFTAR PUSTAKA

28

You might also like