You are on page 1of 20

APBN 2013

A. Pengertian APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, atau disingkat APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran (1 Januari - 31 Desember). APBN, Perubahan APBN, dan Pertanggungjawaban APBN setiap tahun ditetapkan dengan Undang-Undang. Setiap tahun pemerintah menyusun APBN. Landasan hukum serta tata cara penyusunan APBN terdapat di dalam UUD 1945 Pasal 23 ayat 1, 2 dan 3. Pada pasal 23 ayat 1 UUD 1945 disebutkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)sebagai wujud dari pengelolaan keuangan Negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besanya kemakmuran rakyat. Pada pasal 23 ayat 2 disebutkan bahwa Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja Negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah. Pada pasal 23 ayat 3 disebutkan apabila DPR tidak menyetujui RAPBN yang diusulkan Presiden, pemerintah menjalankan APBN tahun lalu. Setelah APBN ditetapkan dengan Undang-Undang, pelaksanaan APBN dituangkan lebih lanjut dengan Peraturan Presiden. Berdasarkan perkembangan, di tengah-tengah berjalannya tahun anggaran, APBN dapat mengalami

revisi/perubahan. Untuk melakukan revisi APBN, Pemerintah harus mengajukan RUU Perubahan APBN untuk mendapatkan persetujuan DPR. Dalam keadaan darurat (misalnya terjadi bencana alam), Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya. Selambatnya 6 bulan setelah tahun anggaran berakhir, Presiden menyampaikan RUU tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN kepada DPR berupa Laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Tujuan penyusunan APBN adalah sebagai pedoman pengeluaran dan penerim

aan negara agar terjadi keseimbangan yang dinamis dalam rangka melaksanakan kegiatan-kegiatan kenegaraan demi tercapainya peningkatan produksi, peningkatan kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi serta pada akhirnya ditujukan untuk tercapainya masyarakat adil dan makmur material maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kebijakan ekonomi makro Indonesia pada dasarnya merupakan

kesinambungan dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini mengingat bahwa konsistensi kebijakan sangat diperlukan dalam mencapai sasaran pembangunan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Oleh karena itu kebijakan ekonomi makro tersebut ditujukan untuk memperkuat fundamental ekonomi yang sudah membaik dan mengantisipasi berbagai tantangan baru yang mungkin timbul. Tantangan dan sasaran kebijakan ekonomi makro tersebut adalah menjaga stabilitas ekonomi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang didasarkan atas peningkatan kualitas dan kinerja perekonomian. Stabilitas perekonomian merupakan prasyarat yang sangat mendasari bagi para pelaku ekonomi. Oleh karena itu diperlukan pertumbuhan dengan kualitas yang lebih baik. Pertumbuhan ekonomi yang baik dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja sehingga dapat mengurangi penduduk miskin. Sementara itu pertumbuhan ekonomi yang dicapai dalam tahun sebelumnya dipandang masih moderat dibandingan dengan masa-masa sebelum krisis. Pertumbuhan tersebut masih didukung oleh relatif tingginya kontribusi konsumsi, sedangkan dukungan sumber-sumber ekonomi produktif seperti investasi dan ekspor masih harus dioptimalkan.

B. Struktur APBN Mulai tahun 2005, Pemerintah telah mengusulkan penyusunan RAPBN dengan menggunakan format baru, yakni anggaran belanja terpadu (unified budget). Ini merupakan reformasi besar-besaran di bidang anggaran negara dengan tujuan agar ada penghematan belanja negara dan memberantas KKN. Selama lebih dari 32 tahun, Pemerintah melaksanakan sistem anggaran yang dikenal dengan dual budgeting, dimana anggaran belanja negara dipisahkan

antara anggaran belanja rutin dan anggaran pembangunan. Pemisahan anggaran rutin dan anggaran pembangunan tersebut semula dimaksudkan untuk menekankan arti pentingnya pembangunan, namun dalam pelaksanaannya telah menunjukan banyak kelemahan (Anggito Abimanyu - 4 Juli 2005) yaitu : 1. Duplikasi antara belanja rutin dan belanja pembangunan oleh karena kurang tegasnya pemisahan antara kegiatan operasional organisasi dan proyek, khususnya proyek-proyek non-fisik. Dengan demikian, kinerja sulit diukur karena alokasi dana yang ada tidak mencerminkan kondisi yang

sesungguhnya. 2. Penggunaan dual budgeting mendorong dualisme dalam penyusunan daftar perkiraan mata anggaran keluaran (MAK) karena untuk satu jenis belanja, ada MAK yang diciptakan untuk belanja rutin dan ada MAK lain yang ditetapkan untuk belanja pembangunan. 3. Analisis belanja dan biaya program sulit dilakukan karena anggaran belanja rutin tidak dibatasi pada pengeluaran untuk operasional dan belanja anggaran pembangunan tidak dibatasi pada pengeluaran untuk investasi. 4. Proyek yang menerima anggaran pembangunan diperlakukan sama dengan satuan kerja, yaitu sebagai entitas akuntansi, walaupun proyek hanya bersifat sementara. Jika proyek sudah selesai atau dihentikan tidak ada kesinambungan dalam pertanggungjawaban terhadap asset dan kewajiban yang dimiliki proyek tersebut. Hal ini selain menimbulkan ketidakefisienan dalam pembiayaan kegiatan pemerintahan, juga menyebabkan ketidakjelasan keterkaitan antara output/outcome yang dicapai dengan penganggaran organisasi. Sebelum tahun 2001, prinsip APBN adalah anggaran berimbang dinamis, dimana jumlah penerimaan negara selalu sama dengan pengeluaran negara, dan jumlahnya diupayakan meningkat dari tahun ke tahun. Sejak tahun 2001 hingga sekarang, prinsip anggaran yang digunakan adalah anggaran surplus/defisit. Sejalan dengan itu, format dan struktur APBN berubah dari T-Account menjadi IAccount. Format dan struktur I-account yang berlaku saat ini terdiri atas (i) pendapatan negara dan hibah, (ii) belanja negara, dan (iii) pembiayaan.

Pendapatan negara dan hibah menampung seluruh pendapatan negara yang bersumber dari (1) penerimaan perpajakan, (2) penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dan (3) hibah. Sedangkan belanja negara menampung seluruh pengeluaran negara, yang terdiri dari (1) belanja pemerintah pusat, yang meliputi pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan, dan (2) belanja untuk daerah, yang meliputi dana perimbangan dan dana otonomi khusus dan

penyeimbang/penyesuaian. Selisih antara pendapatan negara dan hibah dengan belanja negara akan berupa surplus/defisit anggaran. Guna menutup defisit anggaran maka diperlukan pembiayaan yang bersumber dari luar pendapatan negara dan hibah, yang antara lain bersumber dari (1) pembiayaan dalam negeri, dan (2) pembiayaan luar negeri. Dalam sistem dual budgeting, pengeluaran rutin dimaksudkan sebagai pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang dialokasikan untuk membiayai kegiatan rutin pemerintahan, yang terdiri dari (i) belanja pegawai, (ii) belanja barang, (iii) pembayaran bunga utang, (iv) subsidi, dan (v) pengeluaran rutin lainnya. Sementara itu, pengeluaran pembangunan merupakan pengeluaran negara yang dialokasikan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan yang

dibebankan pada anggaran belanja pemerintah pusat dalam rangka pelaksanaan sasaran pembangunan nasional, baik berupa sasaran fisik maupun nonfisik. Dalam hal ini, pengeluaran pembangunan terdiri dari (i) pengeluaran pembangunan dalam bentuk pembiayaan rupiah, yang pendanaannya bersumber dari dalam negeri dan dari luar negeri dalam bentuk pinjaman program, dan (ii) pengeluaran pembangunan dalam bentuk pembiayaan proyek, yang pendanaannya bersumber dari luar negeri dalam bentuk pinjaman proyek. Selanjutnya, sebagaimana diamanatkan oleh UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, maka sistem penganggaran mengacu pada praktek-praktek yang berlaku secara internasional. Menurut GFS (Government Financial Statistics) Manual 2001, sistem penganggaran belanja negara secara implisit menggunakan sistem unified budget (anggaran terpadu), dimana tidak ada pemisahan antara pengeluaran rutin dan pembangunan, sehingga klasifikasi

menurut ekonomi akan berbeda dari klasifikasi sebelumnya. Dalam hal ini, belanja negara menurut klasifikasi ekonomi dikelompokkan ke dalam (1) kompensasi untuk pegawai; (2) penggunaan barang dan jasa; (3) kompensasi dari modal tetap berkaitan dengan biaya produksi yang dilaksanakan sendiri oleh unit organisasi pemerintah; (4) bunga hutang; (5) subsidi; (6) hibah; (7) tunjangan sosial (social benefits); dan (8) pengeluaran-pengeluaran lain dalam rangka transfer dalam bentuk uang atau barang, dan pembelian barang dan jasa dari pihak ketiga untuk dikirim kepada unit lainnya. Dalam melaksanakan perubahan format dan struktur belanja negara telah dilakukan dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian, namun tetap mengacu GFS Manual 2001 dan UU No. 17 Tahun 2003. Beberapa catatan penting berkaitan dengan perubahan dan penyesuaian format dan struktur belanja negara yang baru antara lain : 1. Dalam format dan struktur I-account yang baru, belanja negara tetap dipisahkan antara belanja pemerintah pusat dan belanja untuk daerah, karena pos belanja untuk daerah yang berlaku selama ini tidak dapat diklasifikasikan ke dalam salah satu pos belanja negara sebagaimana diatur dalam UU No.17 Tahun 2003. 2. Semua pengeluaran negara yang sifatnya bantuan/subsidi dalam format dan struktur baru diklasifikasikan sebagai subsidi. 3. Semua pengeluaran negara yang selama ini mengandung nama lain-lain yang tersebar di hampir semua pos belanja negara, dalam format dan struktur baru diklasifikasikan sebagai belanja lain-lain. Tumpang Tindih Belanja Dengan berbagai perubahan dan penyesuaian tersebut, belanja negara menurut klasifikasi ekonomi (jenis belanja) terdiri dari (i) belanja pegawai, (ii) belanja barang, (iii) belanja modal, (iv) pembayaran bunga utang, (v) subsidi, (vi) hibah, (vii) bantuan sosial, dan (viii) belanja lain-lain. Sedangkan belanja untuk daerah, sebagaimana yang berlaku selama ini terdiri dari (i) dana perimbangan, dan (ii) dana otonomi khusus dan penyesuaian. Dengan adanya perubahan format dan struktur belanja negara menurut jenis belanja maka

secara otomatis tidak ada lagi pemisahan antara belanja rutin dan belanja pembangunan (unified budget). Beberapa pengertian dasar terhadap komponen-komponen penting dalam belanja tersebut, antara lain : Belanja pegawai menampung seluruh pengeluaran negara yang digunakan untuk membayar gaji pegawai, termasuk berbagai tunjangan yang menjadi haknya, dan membayar honorarium, lembur, vakasi, tunjangan khusus dan belanja pegawai transito, serta membayar pensiun dan asuransi kesehatan (kontribusi sosial). Dalam klasifikasi tersebut termasuk pula belanja gaji/upah proyek yang selama ini diklasifikasikan sebagai pengeluaran pembangunan. Dengan format ini, maka akan terlihat pos yang tumpang tindih antara belanja pegawai yang diklasifikasikan sebagai rutin dan pembangunan. Disinilah nantinya efisiensi akan bisa diraih. Demikian juga dengan belanja barang yang seharusnya digunakan untuk membiayai kegiatan operasional pemerintahan untuk pengadaan barang dan jasa, dan biaya pemeliharaan aset negara. Demikian juga sebaliknya sering diklasifikasikan sebagai pengeluaran pembangunan. Belanja modal menampung seluruh pengeluaran negara yang dialokasikan untuk pembelian barang-barang kebutuhan investasi (dalam bentuk aset tetap dan aset lainnya). Pos belanja modal dirinci atas (i) belanja modal aset tetap/fisik, dan (ii) belanja modal aset lainnya/non-fisik. Dalam prakteknya selama ini belanja lainnya non-fisik secara mayoritas terdiri dari belanja pegawai, bunga dan perjalanan yang tidak terkait langsung dengan investasi untuk pembangunan. Subsidi menampung seluruh pengeluaran negara yang dialokasikan untuk membayar beban subsidi atas komoditas vital dan strategis tertentu yang menguasai hajat hidup orang banyak, dalam rangka menjaga stabilitas harga agar dapat terjangkau oleh sebagian besar golongan masyarakat. Subsidi tersebut dialokasikan melalui perusahaan negara dan perusahaan swasta. Sementara itu, selama ini ada jenis subsidi yang sebetulnya tidak ada unsur subsidinya, maka belanja tersebut akan dikelompokkan sebagai bantuan sosial. Bantuan sosial menampung seluruh pengeluaran negara yang dialokasikan sebagai transfer

uang/barang

yang

diberikan

kepada

penduduk,

guna

melindungi

dari

kemungkinan terjadinya resiko sosial, misalnya transfer untuk pembayaran dana kompensasi sosial. Sementara itu, belanja untuk daerah menampung seluruh pengeluaran pemerintah pusat yang dialokasikan ke daerah, yang pemanfaatannya diserahkan sepenuhnya kepada daerah. Secara sederhana, maka struktur APBN dapat ditunjukkan sebagai berikut : Pendapatan Negara dan Hibah terdiri atas: 1. Penerimaan Dalam Negeri, terdiri atas: a. Penerimaan Perpajakan, terdiri atas 1) Pajak Dalam Negeri, terdiri atas Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Cukai, dan pajak lainnya. 2) Pajak Perdagangan Internasional, terdiri atas Bea Masuk dan Tarif Ekspor. 3) Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), terdiri atas: a) Penerimaan SDA (Migas dan Non Migas) b) Bagian Laba BUMN c) PNBP lainnya 2. Hibah yaitu bantuan yang berasal dari swasta, baik dalam negeri maupun luar negeri, dan pemerintah luar negeri a. Belanja terdiri atas dua jenis: 1) Belanja Pemerintah Pusat, adalah belanja yang digunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan Pemerintah Pusat, baik yang dilaksanakan di pusat maupun di daerah (dekonsentrasi dan tugas pembantuan). Belanja Pemerintah Pusat dapat dikelompokkan menjadi: Belanja Pegawai, Belanja Barang, Belanja Modal, Pembiayaan Bunga Utang, Subsidi BBM dan Subsidi Non-BBM, Belanja Hibah, Belanja

Sosial (termasuk Penanggulangan Bencana), dan Belanja Lainnya. 2) Belanja Daerah, adalah belanja yang dibagi-bagi ke Pemerintah Daerah, untuk kemudian masuk dalam

pendapatan APBD daerah yang bersangkutan. Belanja Daerah meliputi: a) Dana Bagi Hasil b) Dana Alokasi Umum c) Dana Alokasi Khusus d) Dana Otonomi Khusus. b. Pembiayaan meliputi: 1) Pembiayaan Dalam Negeri, meliputi Pembiayaan Perbankan, Privatisasi, Surat Utang Negara, serta penyertaan modal negara. 2) Pembiayaan Luar Negeri, meliputi: a) Penarikan Pinjaman Luar Negeri, terdiri atas Pinjaman Program dan Pinjaman Proyek b) Pembayaran Cicilan Pokok Utang Luar Negeri, terdiri atas Jatuh Tempo dan Moratorium.

C. Penyusunan dan Penetapan APBN 1. APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan tiap tahun dengan Undang-Undang 2. APBN terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan 3. Pendapatan Negara terdiri atas penerimaan pajak, pajak, dan hibah 4. Belanja negara dipergunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan pusat dan pelaksanaan perimbangan keuangan antara penerimaan bukan

pemerintah pusat dan daerah 5. Belanja negara dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja

6. Pemerintah Pusat mengajukan Rancangan Undang-undang tentang APBN, disertai nota keuangan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPR pada bulan Agustus tahun sebelumnya. 7. Pembahasan Rancangan Undang-undang tentang APBN dilakukan sesuai dengan undang-undang yang mengatur susunan dan kedudukan DPR. 8. DPR dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah

penerimaan dan pengeluaran dalam Rancangan Undang-undang tentang APBN. 9. Pengambilan keputusan oleh DPR mengenai Rancangan Undang-undang tentang APBN dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan. 10. APBN yang disetujui DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. 11. Apabila DPR tidak menyetujui Rancangan Undang-undang tentang APBN, Pemerintah Pusat dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya.

D. Fungsi APBN APBN merupakan instrumen untuk mengatur pengeluaran dan pendapatan negara dalam rangka membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan, mencapai pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan nasional, mencapai stabitas perekonomian, dan menentukan arah serta prioritas pembangunan secara umum. APBN mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam suatu tahun anggaran harus dimasukkan dalam APBN. Surplus penerimaan negara dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran negara tahun anggaran berikutnya. 1. Fungsi otorisasi, mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan,

Dengan

demikian,

pembelanjaan

atau

pendapatan

dapat

dipertanggungjawabkan kepada rakyat. 2. Fungsi perencanaan, mengandung arti bahwa anggaran negara dapat menjadi pedoman bagi negara untuk merencanakan kegiatan pada tahun tersebut. Bila suatu pembelanjaan telah direncanakan sebelumnya, maka negara dapat membuat rencana-rencana untuk medukung pembelanjaan tersebut. Misalnya, telah direncanakan dan dianggarkan akan membangun proyek pembangunan jalan dengan nilai sekian miliar. Maka, pemerintah dapat mengambil tindakan untuk mempersiapkan proyek tersebut agar bisa berjalan dengan lancar. 3. Fungsi pengawasan, berarti anggaran negara harus menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian akan mudah bagi rakyat untuk menilai apakah tindakan pemerintah menggunakan uang negara untuk keperluan tertentu itu dibenarkan atau tidak. 4. Fungsi alokasi, berarti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya serta meningkatkan efesiensi dan efektivitas perekonomian. 5. Fungsi distribusi, berarti bahwa kebijakan anggaran negara harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan 6. Fungsi stabilisasi, memiliki makna bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental

perekonomian. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan instrument utama kebijakan fiskal yang sangat mempengaruhi jalannya perekonomian dan keputusan-keputusan investasi yang dilakukan para pelaku pasar. Hal ini disebabkan APBN secara umum menjabarkan rencana kerja dan kebijakan yang akan diambil pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan, alokasi sumbersumber ekonomi yang dimiliki, distribusi pendapatan dan kekayaan melalui intervensi kebijakan dalam rangka mempengaruhi permintaan dan penawaran faktor produksi serta stabilisasi ekonomi makro. Dengan demikian strategi dan

pengelolaan APBN menjadi isu yang sangat sentral dan penting dalam perekonomian suatu negara. Pada saat APBN disusun, setidaknya terdapat tujuh sumber ketidakpastian yang berpengaruh besar dalam penentuan volume APBN baik sisi pendapatan maupun belanja. Sumber ketidakpastian itu menjadi asumsi dasar yang digunakan sebagai pedoman dalam menyusun APBN. Asumsi dasar tersebut adalah sebagai berikut : NO 1 ASUMSI APBN Pertumbuhan ekonomi tahunan (%) FAKTOR YANG MEMPENGARUHI Pertumbuhan ekonomi tahun sebelumnya Perkembangan ekonomi global dan tahun berjalan Kondisi sosial, politik dan keamanan dalam negeri tahun berjalan Kebijakan restrukturisasi di berbagai bidang yang akan dilaksanakan dalam tahun berjalan Kebijakan ekonomi makro yang dilaksanakan pada tahun berjalan Pertumbuhan ekonomi : konsumsi swasta, investasi, ekspor 2 Produk Domestik Bruto (PDB) dalam rupiah 3 Inflasi (%) Kenaikan TDL Menguatnya rupiah Lancarnya distribusi barang Kebijakan fiskal dan moneter yang hati-hati 4 Nilai tukar rupiah per Koreksi undervalued, membaiknya konsisi

USD
5 Suku bunga SBI 3 bulan (%) 6 Harga minyak indonesia (USD/barel) 7 Produksi minyak Indonesia (barel/hari)

keamanan, social, politik Menguat atau melemahnya nilai tukar rupiah

Permintaan dan penawaran minyak dunia

Kuota OPEC, kapasitas sumur yang semakin menurun sementara penemuan sumur baru relatif kecil, gangguan keamanan

E. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Suatu negara dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi apabila terjadi peningkatan GNP riil di negara tersebut. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara. Pembangunan ekonomi tak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi (economic growth), pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya pertumbuhan ekonomi memperlancar proses pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan ekonomi. Akan terjadi pertumbuhan ekonomi bila ada

pembangunan ekonomi karena pembangunan ekonomi mengakibatkan perubahan pada sektor ekonomi. Pendirian pabrik-pabrik baru dan meningkatnya kegiatan ekspor dan impor akan membawa perubahan dalam sector industri dan perdagangan. Sektor pertanian juga akan berubah melalui pembangunan di bidang sarana dan prasarana seperti penambahan ruas jalan. Perubahan-perubahan pada berbagai sector ekonomi tersebut akan mengakibatkan terjadinya pertumbuhan

ekonomi yang ditandai dengan naiknya produksi nasional, pendapatan nasional dan pendapatan perkapita. Perbedaan antara keduanya adalah pertumbuhan ekonomi keberhasilannya lebih bersifat kuantitatif, yaitu adanya kenaikan dalam standar pendapatan dan tingkat output produksi yang dihasilkan, sedangkan pembangunan ekonomi lebih bersifat kualitatif, bukan hanya pertambahan produksi, tetapi juga terdapat perubahan-perubahan dalam struktur produksi dan alokasi input pada berbagai sektor perekonomian seperti dalam lembaga, pengetahuan, dan teknik. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi: Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, namun pada hakikatnya faktor-faktor tersebut dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu faktor ekonomi dan faktor nonekonomi. 1. Faktor ekonomi yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi diantaranya adalah sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya modal, dan keahlian atau kewirausahaan. Sumber daya alam, yang meliputi tanah dan kekayaan alam seperti kesuburan tanah, keadaan iklim/cuaca, hasil hutan, tambang, dan hasil laut, sangat mempengaruhi pertumbuhan industri suatu negara, terutama dalam hal penyediaan bahan baku produksi. Sementara itu, keahlian dan kewirausahaan dibutuhkan untuk mengolah bahan mentah dari alam, menjadi sesuatu yang memiliki nilai lebih tinggi (disebut juga sebagai proses produksi). Sumber daya manusia juga menentukan keberhasilan pembangunan nasional melalui jumlah dan kualitas penduduk. Jumlah penduduk yang besar merupakan pasar potensial untuk memasarkan hasil-hasil produksi, sementara kualitas penduduk menentukan seberapa besar produktivitas yang ada. Sementara itu, sumber daya modal dibutuhkan manusia untuk mengolah bahan mentah tersebut. Pembentukan modal dan investasi ditujukan untuk menggali dan mengolah kekayaan. Sumber daya modal berupa barang-barang modal sangat penting bagi perkembangan dan kelancaran pembangunan ekonomi karena barang-barang modal juga dapat meningkatkan produktivitas.

2.

Faktor nonekonomi mencakup kondisi sosial kultur yang ada di masyarakat, keadaan politik, dan sistem yang berkembang dan berlaku.

F. Hubungan antara APBN 2013 dengan Pertumbuhan Ekonomi : APBN dan pertumbuhan ekonomi merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Alokasi dana yang terdapat di dalam APBN digunakan untuk pembangunan. Dengan adanya pembangunan ekonomi akan tercipta pertumbuhan ekonomi. APBN dan pertumbuhan ekonomi merupakan dua indikator yang penting dalam menentukan tingkat kemakmuran rakyat. Indikator-indikator yang menjadi asumsi di dalam penyusunan APBN adalah indikator makro ekonomi yang menjadi indikator dalam proses pertumbuhan ekonomi. Beberapa kebijakan dalam pengelolaan APBN senantiasa diarahkan kepada terciptanya pertumbuhan ekonomi, walaupun pertumbuhan ekonomi itu sendiri tidak bisa dipaksakan. Ada berapa contoh pandangan ekonom yang menganalisa hubungan antara APBN dengan pertumbuhan ekonomi. Seperti yang ditulis oleh M. Sadli dalam Kliping Berita Ekonomi dan Opini Ekonomi pada tahun 2007 yang berjudul : Pertumbuhan Ekonomi Tidak Bisa Dipaksakan Ada beberapa alasan yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi bergerak lambat walaupaun stabilitas ekonomi makro sudah tercapai : 1. Masih tingginya pengangguran dan kerentanan pasar tenaga kerja. Pengangguran yang tinggi terkait kepada pertambahan penduduk dan kualitas pendidikan dan skill sebagian terbesar SDM kita. Di lain fihak pasar tenaga kerja juga kurang fleksibel, artinya, amat mahal bagi perusahaan untuk mengurangi tenaga kerjanya kalau pasarnya menciut. Biaya pesangon untuk pemutusan hubungan kerja amat tingginya. Karena hubungan industrial di Indonesia kurang menguntungkan perusahaan maka banyak bakal investor internasional memilih lokasi Cina dan Vietnam ketimbang Indonesia. 2. Lemahnya kegiatan investasi dan permasalahan fundamental

terkait.Lemahnya kegiatan investasi baru juga oleh karena bagi pengusaha kepastian hukum sejak reformasi telah berkurang. Pelaksanaan otonomi daerah menambah ketidak pastian. Indonesia sekarang terkenal sebagai high-

cost economy. Salah suatu sumber ekonomi biaya tinggi adalah kurang memadainya infra-struktur, karena sejak 1998 praktis tidak ada investasi pemerintah di bidang infra-struktur ini. Sebetulnya masih ada suatu rintangan fundamental, yakni intermediasi sistim perbankan belum bisa bekerja secara normal, karena ketatnya prudential rules yang baru dan masih ada trauma kredit macet. Pemerintah belanjanya, sendiri misalnya harus memaksimalkan membangun investasi lewat anggaran tidak

untuk

infra-struktur

yang

menguntungkan bagi investor swasta. Tetapi, pengelolaan APBN ini masih mengandung permasalahan sendiri, yang juga terkait dengan prinsip kehatihatian (prudence). 3. Tingginya potensi tekanan inflasi secara struktural. Di level teknis sudah ada kesepakatan antara Pemerintah dan Bank Indonesia untuk membawa tingkat inflasi jangka panjang ke kisaran 3% setahun. Untuk tahun 2005 sasaran BI adalah 6% plus-minus 1%, untuk tahun 2006 5,5% plus-minus 1% dan untuk tahun 2007 5% plus-minus 1%. Begitu juga untuk tahun 2008 dan 2009. Pengendalian inflasi masih menghadapi resiko intern dan ekstern yang cukup besar. Sasaran Presiden SBY yang dikumandangkan di masa kampanye tahun 2004 sebetulnya terlalu ambisius (misalnya mencapai laju pertumbuhan rata-rata 6,6% dalam lima tahun). Laju pertumbuhan di tahun pertama (2005) mungkin sekali (baru) 5,5%. Apa laju pertumbuhan tahun 2009 bisa mencapai 7,6%? Potensinya ada, akan tetapi apakah bisa dipaksakan? Ada yang mau memaksakan dengan memperbesar defisit APBN (menjadi lebih besar dari 1% PDB). Masalahnya adalah bagaimana membiayainya ? Dengan menambah utang luar negeri ? Bisa dengan menambah utang dalam negeri akan tetapi harus dijaga jangan crowding out pasar kredit bagi sektor swasta. Sebetulnya, (mantan) Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Boediono sudah mulai menempuh jalan itu. Ada yang menganjurkan jangan takut inflasi naik walaupun diibaratkan sebagai main dengan api. Sekali inflasi tertiup maka masyarakat ingat zaman yang lalu, sedangkan BI mau mengusahakan agar expectations ini forward looking.

Sementara itu, Ekonom Senior dari Advisory Group in Economics, Industry, and Trade (Econit), Rizal Ramli memprediksi pertumbuhan ekonomi pada 2009 merosot menjadi 3,5 persen dari tahun sebelumnya sebesar 6 persen. Hal ini dikarenakan adanya potensi pemutusan hubungan kerja di tahun 2009 juga sangat terbuka sebagai akibat dampak krisis global. Untuk mengatasinya, pemerintah harus mengaloksikan dana yang lebih besar terhadap pengeluaran langsung, diantaranya untuk sektor industri dan infrastruktur. Soalnya, kedua sektor itu banyak menyerap jumlah tenaga kerja. Ada pemutusan hubungan kerja (PHK) baru yang mencapai sekitar 2 juta orang yang akan memperparah daya beli masyarakat, katanya. Sementara, Menkeu meramalkan pertumbuhan ekonomi hanya melorot 4,7 persen. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan pertumbuhan ekonomi di tahun 2009 akan kembali menurun dari 6 persen menjadi 4,7 persen. Namun, besaran tersebut masih dalam kisaran proyeksi pemerintah yaitu 4,5 sampai 5,5 persen. Pemerintah melihat perkembangan krisis dunia dan pengaruhnya bagi kita, kami juga monitor terus bagaimana pengaruh kepada indikator-indikator makro, kata Menkeu. Untuk saat ini pemerintah telah mengalokasikan dana stimulus fiskal pada APBN 2009 sebesar Rp71,3 triliun. Jumlah itu setara 1,4 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Insentif itu digunakan untuk penghematan pajak sebesar Rp43 triliun, subsidi pajak Rp13,3 triliun dan subsidi serta belanja negara untuk dunia usaha sebesar Rp15 triliun. Dengan struktur pengalokasian dana seperti itu, sekitar 80 persen dari total dana diperuntukkan dalam bentuk keringanan pajak. Sisanya yang 20 persen dalam bentuk insentif non pajak termasuk di dalamnya sektor infrastruktur. Dana untuk insentif keringanan pajak yang sekitar 80 persen sangat tidak masuk akal karena akan mubazir dan tidak tepat sasaran. Begitu juga dengan tidak adanya ketentuan yang mendorong pemakaian produk dalam negeri, terangnya. Oleh karena itu, kata Rizal, pemerintah seharusnya membalikkan porsi alokasi dana stimulus. Untuk keringanan pajak sebesar 20 persen, sedangkan subsidi nonpajak menjadi 80 persen, tambahnya.

Selain itu Rizal menilai pemerintah telah gagal mengoreksi manajemen fiskal. Buktinya, kata dia, realisasi APBN tahun 2008 untuk pos belanja modal hingga Oktober, baru terealisasi 56 persen. Bahkan, pada akhir tahun terdapat sisa anggaran yang tidak bisa direalisasikan sekitar Rp50 triliun. Pemerintah mengklaim bahwa sisa anggaran 2008 adalah sebuah stimulus yang diberikan pemerintah. Padahal, sisa anggaran itu diperoleh dari tidak terserapnya anggaran, katanya. Di bidang lain, pada 2008 pertumbuhan ekspor dinilai cukup signifikan, yakni sekitar 20 persen. Namun dengan adanya krisis global, pada 2009 ekspor diperkirakan anjlok sehingga pertumbuhannya hanya sekitar 5 persen. Untuk konsumsi swasta, diperkirakan pada 2009 hanya mencapai 3,5 persen, padahal tahun lalu mencapai 5,1 persen. Menurunnya konsumsi swasta ini, jelas Rizal, dipengaruhi oleh daya beli masyarakat yang menurun. Dari sisi investasi juga tidak jauh berbeda. Rizal meprediksi, pada tahun kerbau ini akan banyak modal asing yang pulang kampung. Jadi jangan berharap akan banyak investasi portofolio di tahun ini selagi krisis global masih membelit, imbuhnya.

G. RAPBN 2013 APBN Tahun 2013 sebagian besar akan ditopang oleh sumber-sumber penerimaan negara yang berasal dari kemampuan bangsa Indonesia sendiri. Dalam tahun 2013, Pendapatan Negara direncanakan Rp1.507,7 T, naik 11 % dari target APBN-P 2012, atau meningkat dua kali lipat dibanding realisasi tahun 2007. Dalam lima tahun terakhir, peranan Penerimaan Pajak dalam Pendapatan Negara meningkat dari 60% menjadi hampir 70%, kontribusi

Penerimaan Kepabeanan & Cukai stabil sekitar 10%, sedangkan sumbangan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) menurun dari 30% menjadi lebih dari 20%.

RAPBN Indonesia Tahun 2013 (dalam triliun Rupiah) : PENDAPATAN NEGARA : - Penerimaan Pajak - Penerimaan Bea dan Cukai - Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) - Hibah PEMBIAYAAN BELANJA NEGARA : - Belanja Pemerintah Pusat - Belanja Ke Pemerintah Daerah 1.507,7 1.031,7 147,2 324,3 4,5 150,2 1.657,9 1.139,0 518,9

Penjelasan RAPBN Indonesia Tahun 2013 (dalam triliun Rupiah) adalah sebagai berikut :

Penerimaan Pajak Rp1.031,7 Triliun : 1. Penerimaan Pajak dalam RAPBN 2013 ditargetkan Rp1.031,7 T, naik 5,2 % dari target APBN-P 2012, atau meningkat lebih dari dua kali lipat dibanding realisasi tahun 2007. 2. Penerimaan PPh dan PPN menjadi andalan dalam pencapaian target penerimaan pajak tahun 2013. Penerimaan PPh berperan lebih dari 50 %, sedangkan penerimaan PPN & PPnBM menopang lebih dari 40% total Penerimaan Pajak. 3. Dengan peningkatan penerimaan pajak yang signifikan pada RAPBN 2013 tersebut, maka perbandingan (rasio) penerimaan perpajakan (pusat) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau tax ratio (dalam arti sempit), meningkat dari 11,9 % pada APBNP 2012 menjadi 12,7 % di tahun 2013. Jika dimasukkan unsur penerimaan sumber daya alam serta pajak daerah, tax ratio (dalam arti luas), telah meningkat dari 14,1 % pada 2009 menjadi 15,6 % di tahun 2013. 4. Peningkatan target penerimaan pajak tahun 2013 akan dicapai dengan melanjutkan langkah-langkah reformasi perpajakan.

Penerimaan Kepabeanan dan Cukai Rp147,2 Triliun: 1. Dalam RAPBN 2013, Penerimaan Kepabeanan dan Cukai ditargetkan Rp147,2 T, naik 12,2% dari target APBNP tahun 2012, atau meningkat hampir dua kali lipat dari realisasi tahun 2007. 2. Upaya pengamanan pencapaian target penerimaan Kepabeanan dan Cukai didukung dengan langkahlangkah kebijakan optimalisasi penerimaan.

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp324,3 Triliun : 1. Sampai saat ini PNBP masih didominasi oleh penerimaan dari Sumber Daya Alam (SDA), khususnya SDA migas yang sangat dipengaruhi oleh volatilitas harga minyak, serta lifting minyak dan gas. 2. Dalam tahun 2013, PNBP ditargetkan Rp324,3 T, turun hampir 5% dari target APBN-P 2012, terutama akibat lebih rendahnya asumsi harga minyak (dari US$105/barel menjadi US$100/barel) dan turunnya asumsi lifting minyak (dari 930 ribu barel per hari menjadi 900 ribu barel per hari), namun naik 50% bila dibanding dengan realisasi tahun 2007. 3. Untuk mencapai target PNBP 2013 akan ditempuh upaya optimalisasi dan perbaikan kebijakan dan administrasi PNBP.

Pembiayaan Rp.150,2 Triliun : 1. Pembiayaan melalui utang dan non-utang diperlukan untuk membiayai defisit yang dibutuhkan guna mendanai kebutuhan pembangunan, memenuhi kebutuhan investasi pemerintah, penjaminan infrastruktur dan penyertaan modal negara. 2. Seiring dengan kebutuhan dana pembangunan dan kesejahteraan rakyat yang semakin meningkat, kebutuhan pembiayaan anggaran tahun 2013 direncanakan Rp150,2 T; 3. Sumber pembiayaan APBN 2013 didominasi dari penerbitan Surat Utang Negara berdenominasi Rupiah. Hal ini menunjukkan bahwa

pembiayaan ke depan akan lebih bersumber dari dalam negeri, sehingga bebas dari risiko nilai tukar. 4. Perbandingan jumlah utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami penurunan dari 35 % tahun 2007 menjadi 23 % tahun 2013.

Belanja Pemerintah Pusat Rp1.139,0 Triliun terdiri dari : 1. Pendidikan Murah dan Terjangkau (Rp331,8 Triliun). 2. Kesehatan Murah untuk Masyarakat (Rp50,9 Triliun). 3. Ketahanan Pangan untuk Stabilisasi Harga dan Memenuhi Kebutuhan Pangan Rakyat (Rp64,3 Triliun). 4. Penanggulangan Kemiskinan (Rp106,8 Triliun). 5. Tanggap Darurat Bencana untuk Antisipasi, Perlindungan Masyarakat, serta Penanganan Pra, Saat dan Paska Bencana (Rp4 Triliun). 6. Subsidi untuk Meringankan Beban Masyarakat (Rp316,1 Triliun). 7. Infrastruktur Perhubungan (Rp62,1 Triliun). 8. Infrastruktur Irigasi (Rp18,7 Triliun). 9. Infrastruktur Energi dan Lainnya (Rp56,6 Triliun). 10. Infrastruktur Perumahan dan Permukiman (Rp18,1 Triliun). 11. Bidang Pertahanan (Rp77,7 Triliun). 12. Bidang Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Rp34,0 Triliun)

Belanja Ke Daerah Rp518,9 Triliun terdiri dari : 1. Dana Perimbangan dialokasikan ke daerah sebesar Rp435,3 Triliun , dialokasikan untuk Dana Bagi Hasil (DBH) Rp99,4 T, Dana Alokasi Umum (DAU) Rp306,2 T, Dana Alokasi Khusus (DAK) Rp29,7 T, dan DAK ke daerah tertinggal Rp13,06 triliun 2. Dana Otonomi Khusus (Otsus) Rp13,2 Triliun, dialokasikan masing-masing untuk Provinsi Papua Rp4,3 T; Papua Barat Rp1,8 T; dan Aceh Rp6,1 T. 3. Dana Penyesuaian Rp70,4 Triliun.

You might also like