You are on page 1of 14

Tugas Hukum Tata Negara:

KLIPING ARTIKEL MEDIA CETAK dan ONLINE MASALAH-MASALAH KETATANEGARAAN

Nama : ANDRI HERMAWAN NIM : 11401244004 PKnH B 2011

Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2013

Kedudukan Wakil Menteri Tetap Belum Jelas

JAKARTA, KOMPAS.com Penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60 tahun 2012 untuk merespons putusan Mahkamah Konstitusi mengenai kedudukan wakil menteri ternyata belum menyelesaikan persoalan. Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, menilai kedudukan wakil menteri yang diatur dalam Perpres 60/2012 masih bertentangan dengan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Menurut Perpres 60/2012, wakil menteri berada (di bawah) dan bertanggung jawab kepada menteri. Tugasnya membantu menteri dalam memimpin pelaksanaan tugas kementerian. Rincian tugas wakil menteri (wamen) diuraikan secara rinci dalam Pasal 3 Perpres tersebut, antara lain:

a. membantu menteri dalam proses pengambilan keputusan kementerian; b. membantu menteri dalam melaksanakan program kerja dan kontrak kerja; c. memberikan rekomendasi dan pertimbangan kepada menteri berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi kementerian.

d. melaksanakan pengendalian dan pemantauan pelaksanaan tugas dan fungsi kementerian; e. membantu menteri dalam penilaian dan penetapan pengisian jabatan di lingkungan kementerian. Menurut Yusril, kedudukan wamen yang disebutkan berada di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri sebagaimana disebutkan dalam Perpres 60/2012 itu tidaklah sejalan dengan ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 yang mengatur struktur organisasi kementerian. Disebutkan dalam pasal itu bahwa struktur organisasi kementerian terdiri atas pimpinan, yakni menteri, sekretariat jenderal sebagai pembantu pimpinan, direktur jenderal sebagai pelaksana tugas pokok, dan seterusnya.

Keberadaan wamen tidak ada dalam struktur organisasi kementerian. Namun, keberadaannya disebutkan dalam Pasal 10 yang mengatakan, "Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu". Kebingungan yang disebabkan oleh pengaturan yang tidak jelas dalam UU Kementerian Negara itu akhirnya diatur sendiri oleh Perpres 60/2012. Wamen ditempatkannya secara struktural berada "(di bawah) dan bertanggung jawab kepada menteri". Tugasnya adalah "membantu menteri dalam memimpin pelaksanaan tugas kementerian". Tugas wamen dalam Perpres 60/2012 ini amatlah luas, yakni membantu menteri dalam memimpin dan melaksanakan hampir seluruh tugas kementerian sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU Kementerian Negara. Padahal, Pasal 10 UU Kementerian Negara menyebutkan, keberadaan wamen hanya untuk melaksanakan beban kerja yang memerlukan penanganan secara khusus pada kementerian tertentu, bukan untuk membantu menteri dalam memimpin pelaksanaan tugas kementerian yang begitu luas sebagaimana diatur Pasal 8 UU Kementerian Negara. Dilihat dari sudut ini, jelaslah bahwa Perpres 60/2012 itu bertentangan dengan ketentuan Pasal 10 UU Kementerian Negara. "Presiden SBY dan para legal drafter-nya nampak gagal memahami makna Pasal 10 UU Kementerian Negara, dikaitkan dengan tugas pokok kementerian dan struktur organisasinya sebagaimana diatur dalam Pasal 8 dan 9 undang-undang tersebut. "Keberadaan wamen, yang tugasnya terbatas hanya untuk melaksanakan beban kerja yang memerlukan penanganan khusus, haruslah dirujuk pada Pasal 8, yakni apa sajakah tugas pokok kementerian tertentu yang dirasakan memerlukan penanganan secara khusus itu," kata Yusril.

Secara lebih rinci, beban tugas kementerian tertentu terdapat dalam organiasi dan tata laksana (orta) kementerian yang bersangkutan. Dari rincian itulah dapat dipilah-pilah, mana beban kerja yang memerlukan penanganan secara khusus pada kementerian itu, dan mana yang tidak. Pada Kementerian Hukum dan HAM, misalnya, terdapat beban kerja yang memerlukan penanganan khusus, yakni mempersiapkan dan mengharmonisasikan rancangan peraturan perundang-undangan, serta beban mewakili Presiden membahas RUU dengan DPR. Maka, Wamenkumham seharusnya tugasnya menangani bidang ini saja, bukan yang lain. Ini agar Menkumham tidak perlu menghabiskan sebagian besar waktunya di DPR, sehingga kurang waktu mengerjakan tugas-tugas lain. Akan tetapi, dengan Perpres No 60/2012, Wamenkumham bukan lagi berfungsi melaksanakan beban kerja yang memerlukan penanganan secara khusus, melainkan membantu Menkumham melaksanakan hampir semua tugas pokok kementerian. "Bukan itu maksud ketentuan Pasal 10 UU Kementerian Negara," kata Yusril. Yusril menjelaskan, tugas Wamen dalam Pasal 10 UU Kementerian Negara hampir sama dengan kedudukan Menteri Muda sejak Kabinet Amir Sjarifuddin sampai Kabinet Soeharto, yakni membantu menteri untuk menangani tugas tertentu. Dr Daoed Joesoef misalnya menjadi Mendikbud dan Dr Abdul Gafur menjadi Menmud Pemuda dan Olah Raga. Tugas Gafur hanya menangani pemuda dan olahraga. Dia tidak membantu Daoed Joesoef menangani kurikulum SD atau pengadaan buku-buku di sekolah dan perguruan tinggi. Demikian pula Menmud Sekkab Saadillah Mursyid yang membantu Mensesneg Moerdiono. Tugasnya jelas hanya menangani bidang-bidang tertentu yang

memerlukan penanganan khusus, administrasi sidang kabinet, serta penanganan laporan dan arahan Presiden kepada para menteri. Semua menteri muda, baik Kabinet Amir maupun Kabinet Soeharto adalah anggota kabinet. Dalam melaksanakan tugas tertentu itu, mereka berkoordinasi dengan menteri, tetapi bertanggung jawab kepada presiden karena presiden yang mengangkat menteri muda itu.

Presiden Bisa Perintahkan Kapolri Hentikan Penyidikan

JAKARTA, KOMPAS.com Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Sumatera Barat, Saldi Isra, berpendapat, penyelesaian sengketa kewenangan antara Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penyidikan kasus dugaan korupsi Korlantas Polri tidak perlu melalui mekanisme uji materi Mahkamah Konstitusi (MK). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bisa turun tangan menengahi karena posisi Polri berada di bawah Presiden. "Yang harus menengahi sengketa penyidikan perkara itu (dugan korupsi simulator SIM Korlantas Polri) adalah Presiden. MK tidak berwenang karena Polri ada di bawah Presiden. Jadi, Presiden SBY-lah yang harus menengahi sengketa tersebut," ujar Saldi Isra ketika dihubungi Kompas.com, Jakarta, Selasa (7/8/2012). Menurut Saldi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU KPK) sudah jelas menyatakan bahwa lembaga penegak hukum lain harus mundur jika

KPK sudah lebih dulu menyelidiki satu perkara. Presiden, kata dia, seyogianya memahami amanat undang-undang ini. "Presiden harus segera memerintahkan Kapolri menghentikan penyidikan. Presiden harus memberikan ruang bagi KPK. Jangan sampai ada pendapat bahwa permasalahan ini berlarut karena Presiden yang tidak tanggap," ungkapnya. Ditemui dalam kesempatan terpisah, Koordinator Indonesia Corruption Watch, Danang Widoyoko, mengemukakan hal yang sama. Menurutnya, uji materi tidak akan berpengaruh dalam penyelesaian sengketa. Sebab, apa pun keputusan MK tidak berlaku surut, sementara penyidikan tidak bisa dihentikan semata-mata hanya menunggu putusan MK. Oleh karena itu, menurut dia, langkah yang paling tepat adalah Presiden meminta Polri tunduk pada UU KPK. "Keputusan MK atas uji materi UU KPK tidak berpengaruh, kan, sifat putusan MK tidak berlaku surut. Kalau sekarang baru mengajukan uji materi ke MK, keputusan diterima atau tidaknya, kan, masih beberapa bulan ke depan, sementara proses penyidikan tidak dapat dihentikan," papar Danang.

Polemik Bendera Aceh Selesaikan Soal Bendera Aceh secara Bijaksana


JAKARTA, KOMPAS.com Pemerintah diharapkan tidak bereaksi terlalu keras terhadap keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh untuk menggunakan bendera tertentu. Masalah ini sebaiknya dipecahkan secara bijaksana agar tetap bisa menjaga perdamaian yang sudah dicapai beberapa tahun ini dan tetap mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945. Harapan itu disampaikan pengamat hukum tata negara, Andi Irmanputra Sidin, di Jakarta, Senin (1/4/2013).

Polemik bendera dan lambang Aceh terjadi setelah pekan lalu ketika DPR Aceh menetapkan Qanun Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh. Bendera itu dinilai mirip bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kementerian Dalam Negeri meminta qanun itu dievaluasi kembali. Menurut Irmanputra, pesoalan bendera Aceh sebenarnya tidak perlu terlalu dikhawatirkan karena bentuk bendera partai politik, bendera klub sepak bola, atau bendera kelompok lain juga bermacam-macam. Reaksi keras diperlukan jika bendera itu dianggap menjadi bagian dari upaya atau rangkaian dari rencana suatu perbuatan merongrong kewibawaan UUD 1945. Jika bisa dibuktikan demikian, maka hal itu layak untuk diwaspadai. "Pemerintah jangan sampai bereaksi terlalu berlebihan yang kemudian dapat mengganggu kedamaian yang terjadi di suatu wilayah, termasuk di Aceh. Sebaiknya masalah ini didekati secara bijaksana oleh semua pihak. Jangan diselesaikan secara linear hitam-putih. Namun, yang utama, semuanya jangan menabrak UUD 1945 sebagai hukum tertinggi di Negara Kesatuan Republik Indonesia," tuturnya.

Grasi Tidak Bisa Dicabut


Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak dapat mencabut grasi yang diberikan kepada terpidana mati kasus narkotika, Meirika Franola (42) alias Ola. Meski dalam tatanan hukum formal tidak ada larangan pencabutan grasi, pencabutan grasi melanggar konvensi dan akan menimbulkan

ketidakpastian hukum. Selain itu, tidak ada alasan materiil seperti kesalahan identitas penerima grasi untuk mencabut grasi yang telah diberikan kepada Ola. Upaya yang harus dilakukan adalah mengevaluasi mengapa Ola dapat mengendalikan bisnis narkoba di lembaga pemasyarakatan dan segera memproses hukum kasus ini.

Demikian dikatakan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Krisnadwipayana Indriyanto Seno Adji, pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie, pengamat hukum tata negara Andi Irmanputra Sidin, dan Ketua Departemen Penegakan Hukum Partai Demokrat Benny K Harman secara terpisah di Jakarta, Rabu (7/11). Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana juga mengatakan, langkah penting saat ini adalah memproses hukum kasus baru Ola dengan cepat. Jika Ola tetap menjadi pengedar narkotika meski telah mendapat grasi, dia yang salah karena membalas niat baik Presiden dengan tetap melakukan kejahatan, ucap Denny. Seperti diberitakan sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto menyatakan bahwa Presiden mempertimbangkan kemungkinan mencabut grasi yang diberikan kepada Ola (Kompas, 7/11). Hal ini karena Ola ditengarai mengotaki peredaran narkoba, seperti dalam kasus yang diungkap Badan Narkotika Nasional, beberapa waktu lalu. Lebih berat Jimly menyarankan, jika memang benar Ola terlibat lagi dalam peredaran narkoba, Ola diproses hukum dengan hukuman yang lebih berat. Untuk itu, penegak hukum harus tegas, ancaman hukumannya harus dibikin berlipat. Dan itu sudah pantas diajukan hukuman mati. Dengan begitu, kita tidak merusak sistem, tapi ketegasan kita sebagai negara tecermin dalam sikap itu, katanya. Di sisi lain, Jimly menilai, kasus Ola ini menjadi pembelajaran agar pemberian grasi ke depan harus dengan pertimbangan yang matang dan melibatkan pihakpihak terkait yang berkompeten. Menurut Irmanputra Sidin, tidak matangnya proses pemberian grasi kepada seseorang oleh Presiden bisa menjadi indikator bahwa Presiden tidak serius mengelola negara.

Menurut Denny maupun Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin, tidak adil jika Presiden dinilai negatif atas pemberian grasi kepada Ola yang ternyata diduga terlibat lagi peredaran narkoba. Kesalahan tidak pada Presiden yang memberikan grasi, tapi pada Ola yang diberi grasi yang membalasnya dengan air tuba, kalau memang Ola dan kawan -kawan terbukti melakukan yang disangkakan, katanya. Secara terpisah, Djoko Suyanto membantah anggapan bahwa Presiden salah menerima masukan saat memutuskan grasi bagi Ola. Dulu (grasi) diberikan karena yang bersangkutan itu tidak melakukan apa-apa. Dia bukan pengedar, tapi waktu itu hanya kurir. Kalau sekarang di penjara masih seperti itu, kemungkinan besar (grasi) akan dicabut, katanya. Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Thohari mendukung jika Presiden mencabut grasi yang telah diberikan kepada Ola. Perlu juga ditelusuri bagaimana proses pengusulan dan pertimbangan grasi yang tidak akurat itu bisa masuk kepada Presiden. Menurut anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Albert Hasibuan, grasi bisa saja dicabut. Namun, grasi baru bisa dicabut kalau ada putusan pengadilan yang menyatakan Ola mengendalikan perdagangan narkoba dari LP.

Analisis

Dari beberapa artikel dari media cetak maupun media online di atas dapat dikatakan bahwa masalah ketatanegaraan di Indonesia masih sangat banyak, mulai pemberian grasi Presiden hingga munculnya peraturan tentang harus ada perwakilan 30% caleg perempuan yang dianggap peraturan yang terlalu dini dikeluarkan karena tingkat partisipasi perempuan yang masih minim. Selain itu polemic muncul karena posisi Wakil Menteri dianggap membingungkan karena tidak sesuai konstitusi dan tidak terdapat dalam ketentuan Pasal 9 UndangUndang Nomor 39 Tahun 2008 yang mengatur struktur organisasi kementerian. Disebutkan dalam pasal itu bahwa struktur organisasi kementerian terdiri atas pimpinan, yakni menteri, sekretariat jenderal sebagai pembantu pimpinan, direktur jenderal sebagai pelaksana tugas pokok, dan seterusnya. Walaupun hal ini sudah dibantah Mahkamah Konstitusi dengan mengeluarkan putusan MK Nomor
79/PUU-IX/2011 yang mempertegas Perpres 60/2012.

Posisi wakil menteri sendiri mucul karena beberapa alas an. Menurut Presiden, terdapat sejumlah Kementrian yang beban tugasnya sangat besar. Presiden mencontohkan Kementrian Keuangan. Menteri Keuangan (Menkeu) menurutnya memiliki beban tugas yang sangat berat dan menghabiskan waktunya dengan DPR untuk membahas soal anggaran. Apalagi Menkeu juga dirasa penting untuk menghadiri sejumlah forum ekonomi internasional.Sejumlah asas kehematan dan kemanfaatan terkait pengangkatan sejumlah Wamen telah menjadi perhatian dalam pertimbangan Presiden mengambil kebijakan pengangkatan sejumlah Wamen. Dengan kata lain pengangkatan beberapa wakil menteri tersebut bertujuan untuk optimalisasi kementrian. Begitulah jika dilihat dari sudut pandang Presiden. Namun masih banyak juga yang menganggap terlalu banyak kelemahan, salah satunya adalah pemborosan anggaran.

Sedangkan dalam masalah lain mengenai keterwakilan perempuan dalam politik, terutama parlemen. Dalam rangka kesetaraan Gender,

Undang-undang No. 10

tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-undang No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik (Parpol), mengatur bahwa kuota keterlibatan perempuan dalam dunia politik adalah sebesar 30 persen, terutama untuk duduk di dalam parlemen. Bahkan dalam Pasal 8 Butir d UU No. 10 tahun 2008, disebutkan penyertaan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat sebagai salah satu persyaratan parpol untuk dapat menjadi peserta pemilu. Dan Pasal 53 UU mengatakan bahwa daftar bakal calon peserta pemilu juga harus memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan. Ada yang pro dan ada yang kontra pastinya. Namun ketetapan itu sudah ada sejak awal tahun 2004 lalu, melalui UU No 12 tahun 2003 tentang Pemilu, yang secara khusus termaktub di pasal 65 ayat 1. Aturan ini dianggap masih terlalu premature jika ditetapkan karena tingkat partisipasi kaum perempuan ini masih sangat rendah. Hal inilah yang dianggap menjadi salah satu penyebab makin merosotnya kinerja Parlemen karena parlemen banyak diisi oleh orang ang tidak berkompeten. Memang partai politik dalam proses kaderisasi terkesan asal-asalan untuk memenuhi kuota tersebut dan kebanyakan partai politik hanya mengejar kuantitas dan bukan kualitasnya. Situasi tersebut diataslah yang dikhawatirkan juga berpengaruh kepada munculnya banyak kebijakan yang akan menibulkan kontroversi dan polemic di masyarakat. Namun tidak sedikit pula yang beranggapan bahwa kaum perempuan dapat memberkan perubahan pada parlemen dengan mampu melakukan perbaikan kebijakan. Memang tidak semua kebijakan mampu berjalan dengan baik, banyak juga kebijakan yang bertujuan baik tetapi dianggap bertentangan dengan kebijakan lain. Hal ini dapat dilihat dalam pemberian grasi oleh Presiden kepada Meirika Franola (42) alias Ola. Memang Grasi merupakan hak prerogratif Presiden melalui

pertimbangan Mahkamah Agung. Namun pemberian grasi kepada Olla dianggap bertentangan dengan upaya pemberantasan narkoba. Terlepas dari siapa yang bersalah, entah Presiden atau yang memberi pertimbangan dalam hal ini Mahkamah Agung, namun grasi ini tidak bias dicabut begitu saja. Meski dalam tatanan hukum formal tidak ada larangan pencabutan grasi, pencabutan grasi melanggar konvensi dan akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Selain itu, tidak ada alasan materiil seperti kesalahan identitas penerima grasi untuk mencabut grasi yang telah diberikan kepada Ola. Upaya yang harus dilakukan adalah mengevaluasi mengapa Ola dapat mengendalikan bisnis narkoba di lembaga pemasyarakatan dan segera memproses hukum kasus ini. Tentu saja hal ini berimbas pada munculnya ada mafia dilingkungan istana yang memudahkan Olla untuk mendapatkan Grasi. Memang persoalan kemanusiaan yang menjadi dasar Presiden memberikan grasi kepada Olla adalah hak setiap orang dan Negara harus melindunginya. Tetapi pemberian grasi ini dianggap melindungi kemanusiaan hanya bagi pengedar narkoba, tetapi mengabaikan pihak korban dari kejahatan narkoba itu sendiri. Polemik kembali muncul ketika Olla disebut-sebut bermain kembali dalam bisnis haram tersebut. Jika memang ini benar terjadi maka grasi yang banyak pihak menentang, menjadi sia-sia. Dan jika tertangkap kembali, Olla harus dihukum yang lebih berat sesuai dengan Undang-Undang. Persoalan lain muncul ketika terjadi perselisihan antara KPK dan POLRI. Kedua lembaga Negara saling mnganggap institusi masing-masinglah yang berwenang untuk menyidik kasus korupsi yang menjerat salah satu petinggi POLRI. Banyak pihak yang mendukung KPK untuk menangani kasus ini, sesuai dengan UndangUndang Nomor 30 Tahun 202 tetang pemberantasan tindak pidana korupsi. Selain itu dalam pasal 50 ayat 3 dan 4, UU No 20 Tahun 2002 tentang KPK, menyebutkan: Ayat 3: "Dalam hal KPK sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, kepolisian dan kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan".

Pasal 4: "Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/ atau kejaksaan dan KPK, penyidikan yang dilakukan kepolisian dan kejaksaan tersebut segera dihentikan". Tentu saja hal ini membuat banyak pihak mendukung KPK. Selain itu KPK dinilai sebagai Lembaga yang independen dan tingkat kredibilitasnya dinilai masyarakat tinggi, dibandingkan dengan Polri yang banyak dianggap berbagai pihak tidak mampu menindak jenderal tersebut dengan objektif dan banyak yang memprediksi jika kasus ini ditangani oleh POLRI maka akan muncul skenarioskenario tertentu yang akan menguntungkan Djoko Susilo. Dari perspektif ketatanegaraan Presiden sebenarnya bisa memerintahkan POLRI untuk menghentikan penyidikan, karena POLRI berada di bawah kedudukan Presiden. Hal ini sesuai dengan pasal 8 dan pasal 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang membahas kedudukan Polri yang langsung di bawah Presiden, selain itu sesuai dengan kontitusi pasal 10 yang menyebutkan bahwa Presiden merupakan Panglima tertinggi angkatan darat, laut maupun udara. Masalah yang terbaru adalah mengenai qanun atau peraturan daerah aceh mengenai lambang dan bendera daerah aceh yang baru-baru ini disahkan oleh DPR aceh. Bendera Aceh yang hampir identik dengan bendera Gerakan Aceh Merdeka(GAM). Hal ini berdasarkan pada Qanun Aceh Nomor 3/2013 tentang Bendara dan Lambang Aceh yang menetapkan bendera GAM (Gerakan Aceh Merdeka) sebagai bendera Propinsi. DPRAceh berdalih bahwa pemakaian bendera tersebut adalah untuk mengenang masa kejayaan Aceh di masa kerajaan dan untuk mengenang pahlawan aceh. Namun hal itu akan menimbulkan problem psikologis di kalangan masyarakat. Pemakaian symbol dan bendera tersebut dikhawatirkan akan membangkitkan kenangan lama yang bisa mengganggu proses perdamaian yang tercantum dalam nota kesepakatan dan MoU Helsinki.

Sesuai MoU Between The Government Of The Republic Of Indonesia And The Free Aceh Movement (MoU Helsinki). Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan hymne.

Selanjutnya sesuai dengan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang merupakan turunan dari MoU Helsinki, dalam Pasal 246 yaitu : 1. Bendera Merah Putih adalah bendera nasional dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Selain Bendera Merah Putih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera daerah Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan. 3. Bendera daerah Aceh sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan merupakan simbol kedaulatan dan tidak diberlakukan sebagai bendera kedaulatan di Aceh. 4. Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk bendera sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat diatur dalam Qanun Aceh yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Selain itu sesuai dengan undang-undang Pemerintahan Aceh yaitu UU no 11/2006 dan Peraturan Pemerintah no 77 tahun 2007, yang melarang pemakaian logo dan bendera separatis, yaitu logo dan bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dari hal tersebut sudah terlihat jelas bahwa pemaksaan pemakaian lambang dan bendera GAM tersebut telah melanggar MoU yang telah ditanda tangani sebelumnya.

You might also like