You are on page 1of 8

Sindrom Meigs merupakan gejala yang terdiri dari tumor ovarium benigna dengan ascites dan efusi pleura

yang menghilang setelah reaksi tumor. Tumor ovarium pada Sindrom Meigs adalah jenis fibroma. Pada tahun 1934, Salmon menjelaskan hubungan antara efusi pleura dengan tumor jinak pelvis. Pada tahun 1937, Meigs dan Cass menjelaskan 7 kasus dari fibroma ovarium yang berhubungan dengan ascites dan efusi pleura. Pada tahun 1954, Meigs mengajukan batasanbatasan dari Sindrom Meigs tentang tumor ovarium yang jinak dan solid yang diikuti dengan ascites dan efusi pleura, di mana setelah pengangkatan tumor, pasien tidak mengalami kekambuhan. Sindrom Pseudo-Meigs terdiri dari efusi pleura, ascites dan tumor jinak ovarium selain jenis fibroma. Tumor jinak ini termasuk tumor tuba fallopi atau uterus dan matur teratoma, struma ovari dan ovarium leiomyomas. Juga untuk metastase dari keganasan gastrointestinal. Pseudo-pseudo Meigs Sindrom juga terdapat pada pasien Sistemik Lupus Eritematous. Di AS tumor ovarium banyak pada masyarakat sosio ekonomi rendah. Fibroma ovarium didapatkan pada 2-5 % tumor ovarium dan Meigs Sindrom ditemukan jumlah 1 %. Ascites ditemukan pada 10-15 % dan fibroma ovarium dan hidrotoraks pada 1 % pasien terutama dengan lesi yang besar. 40 % dari kasus-kasus fibroma ovarium ditemukan ascites dan hidrotoraks. Insiden dari tumor ovarium meningkat pada decade ketiga dan meningkat secara progresif hingga puncaknya pada dekade ketujuh. Patofisiologi ascites pada Meigs Sindrom masih merupakan spekulasi. Meigs menduga bahwa iritasi dari peritoniumdari tumor ovarium yang keras dan solid menstimulasi produksi cairan peritoneum. Samanth dan Black menemukan bahwa ascites hanya terdapat pada tumor dengan diameter lebih dari 10 cm dengan komponen myxoid sampai struma. Mekanisme lain yang diajukan adalah tekanan langsung pada aliran limfe atau vena, stimulasi hormonal, dan torsi tumor. Terjadinya ascites dapat juga disebabklan oleh pelepasan mediator-mediator (seperti activated complements histamine fibrin degradation products) dari tumor, menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler.Pasien dengan Meigs Sindrom mempunyai keluarga dengan riwayat kanker ovarium. Keluhan utama tidak jelas dan terjadi sepanjang waktu. Etiologi dari efusi pleura tidak jelas. Teori dari Efskind dan Terade dkk mengatakan bahwa cairan ascites berpindah melalui transdiaphragmatic lympathic channels. Besarnya efusi pleura sebanding dengan jumlahnya ascites. Cairan ascites dan efusi pleura pada Meigs Sindrom dapat berupa transudat atau eksudat. Meigs melakukan elektroforesis pada beberapa kasus dan menemukan bahwa pada dasarnya cairan pleura dan cairan ascites mempunyai sifat yang sama. Semua tumor ovarium yang padat adalah neoplasma tetapi tidak semua ganas meskipun semuanya mempunyai potensi maligna. Potensi menjadi ganas sangat berbeda pada berbagai jenis, umpamanya sangat rendah pada fibroma ovarium dan sangat tinggi pada teratoma embrional yang padat. Frekwensi fibroma ovarium 5 % dari semua neoplasma ovarium dan paling sering ditemukan pada penderita dalam masa menopause dan sesudahnya. Gambaran klinik tumor dapat mencapai diameter 2-30 cm, dan beratnya dapat mencapai 20 kg dengan 90 % unilateral. Permukaan tidak rata, konsistensi keras, warna merah jambu keabu-abuan. Pasien dengan Meigs Sindrom mempunyai keluarga dengan riwayat kanker ovarium. Keluhan utama tidak jelas dan terjadi sepanjang waktu yaitu kelelahan, napas yang pendek, peningkatan lingkar perut,penurunan berat badan, batuk yang tidak produktif,bengkak (Udem), amenorea pada wanita premenopause,dan menstruasi yang tidak teratur.

PERITONITIS
Defenisi Peritonitis adalah inflamasi peritoneum- lapisan membrane serosa rongga abdomen dan meliputi visera merupakan penyakit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis/ kumpulan tanda dan gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans muscular, dan tanda-tanda umum inflamasi. Peritonitis merupakan sebuah proses peradangan pada membrane serosa yang melingkupi kavitas abdomen dan organ yang terletak didalamnyah. Peritonitis sering disebabkan oleh infeksi peradangan lingkungan sekitarnyah melalui perforasi usus seperti rupture appendiks atau divertikulum karena awalnya peritonitis merupakan lingkungan yang steril. Selain itu juga dapat diakibatkan oleh materi kimia yang irritan seperti asam lambung dari perforasi ulkus atau empedu dari perforasi kantung empeduatau laserasi hepar. Padawanita sangat dimungkinkan peritonitis terlokalisasi pada rongga pelvis dari infeksi tuba falopi atau rupturnya kista ovari. Kasus peritonitis akut yang tidak tertangani dapat berakibat fatal. Etiologi Bentuk peritonitis yang paling sering ialah SpontaneousBacterial Peritonitis (SBP) dan peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan karena ninfeksi intra abdomen,tetapi biasanya terjadi pada pasien yangasites terjadi kontaminasi hingga kerongga peritoneal sehingganmenjadi translokasi bakteri munuju dinding perut atau pembuluh limfe mesenterium, kadang terjadi penyebaran hematogen jika terjadi bakterimia dan akibat penyakit hati yang kronik. Semakin rendah kadar protein cairan asites, semakin tinggi risiko terjadinya peritonitis dan abses. Ini terjadi karena ikatan opsonisasi yang rendah antar molekul komponen asites pathogen yang paling sering menyebabkan infeksi adalah bakteri gram negative E. Coli 40%, Klebsiella pneumoniae 7%, spesies Pseudomonas, Proteus dan gram lainnya 20% dan bakteri gram positif yaitu Streptococcus pnemuminae 15%, jenis Streptococcus lain 15%,dan golongan Staphylococcus 3%, selain itu juga terdapat anaerob dan infeksi campur bakteri. Peritonitis sekunder yang paling sering terjadi disebabkan oleh perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ dalam dengan inokulasi bakteri rongga peritonealterutama disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari saluran cerna bagian atas. Peritonitis tersier terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah mendapatkan terapi SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, bukan berasal dari kelainan organ, pada pasienperitonisis tersier biasanya timbul abses atau flagmon dengan atau tanpa fistula. Selain itu juga terdapat peritonitis TB, peritonitis steril atau kimiawi terjadi karena iritasi bahan-bahan kimia, misalnya cairan empedu, barium, dan substansi kimia lain atau prses inflamasi transmural dari organ-organ dalam. Ada beberapa hal yang merupakan etiologi/penyebab timbulnya peritonitis, yaitu sebagai berikut : 1.

Infeksi bakteri Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal, misalnya : Appendisitis yang meradang dan perforasi Tukak peptik (lambung / dudenum) Tukak thypoid Tukan disentri amuba / colitis Tukak pada tumor Salpingitis Divertikulitis

Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus dan b hemolitik, stapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah clostridium wechii. 2.

Secara langsung dari luar. Operasi yang tidak steril Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi peritonitisyang disertai pembentukan jaringan granulomatosa sebagai respon terhadap benda asing, disebut juga peritonitis granulomatosa serta merupakan peritonitis lokal.

Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa. Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis. Terbentuk pula peritonitis granulomatosa.

3. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang saluran pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis. Penyebab utama adalah streptokokus atau pnemokokus. KLASIFIKASI Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut: A. Peritonitis Bakterial Primer 1. Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavumperitoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus atau Pneumococus. Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu: Spesifik : misalnya Tuberculosis 2. Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis an Tonsilitis. Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi. Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites. B. Peritonitis Bakterial Akut Sekunder (Supurativa) Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organism tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis yangfatal. Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakteriianaerob, khususnya spesies Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi. Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat suatu peritonitis. Kuman dapat berasal dari: Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam cavum peritoneal. Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang disebabkan oleh bahankimia, perforasi usus sehingga feces keluar dari usus. Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya appendisitis. C. Peritonitis tersier, misalnya: -Peritonitis yang disebabkan oleh jamur -Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan. Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya empedu, getah lambung, getah pankreas, dan urine. D. Peritonitis Bentuk lain dari peritonitis: a. Aseptik/steril peritonitis b. Granulomatous peritonitis c. Hiperlipidemik peritonitis d. Talkum peritonitis Patofisiologi Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus. Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalamikebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapatmenimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia. Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebutmeninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum

dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus. Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaituobstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis. Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S. Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defansmuskuler, dan keadaan umum yang merosot karena toksemia. Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang mulai di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perutmenimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsanganperitoneum berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria. Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalamibendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general. Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mulamula tidak terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untukberkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan peritoneum. Peritonitis menimbulkan efek sistemik. Perubahan sirkulasi, perpindahan cairan, masalah pernafasan menyebabkan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sistem sirkulasi mengalami tekanan dari beberapa sumber. Respon inflamasi mengirimkan darah ekstra ke area usus yang terinflamasi. Cairan dan udara ditahan dalam lumen ini, meningkatkan tekanan dan sekresi cairan ke dalam usus. Sedangkan volume

sirkulasi darah berkurang, meningkatkan kebutuhan oksigen, ventilasi berkurang dan meninggikan tekanan abdomen yang meninggikan diafragma. Manifestasi klinik Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia, tatikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme antisipasi penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasinya yang menyakinkan atau tegang karenairitasi peritoneum.

Syok (neurogenik, hipovolemik atau septik) terjadi pada beberpa penderita peritonitis umum. Demam Distensi abdomen Nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus, atrofi umum, tergantung pada perluasan iritasi peritonitis. Bising usus tak terdengar pada peritonitis umum dapat terjadi pada daerah yang jauh dari lokasi peritonitisnya. Nausea Vomiting Penurunan peristaltik.

Pada wanita dilakukan pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan nyeri akibat pelvic inflammatoru disease. Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada penderita dalam keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan steroid, pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan kesadaran (misalnya trauma cranial, ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan analgesic), penderita dnegan paraplegia dan penderita geriatric. Adanya nyeri abdomen (akut abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas lokasinya (peritoneum visceral). Kemudian lama kelamaan menjadi jelas lokasinya (peritoneum parietal). Pada keadaan peritonitis akibat penyakit tertentu, misalnya : perforasi lambung, duodenum, pankreatitis akut yang berat/ iskemia. Tanda-Tanda Peritonitis, yaitu sebagai berikut : Demam tinggi Pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia Takikardi Dehidrasi Hipotensi Pemeriksaan Diagnostik a. Test laboratorium 1. Leukositosis 2. Hematokrit meningkat 3. Asidosis metabolic (dari hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien peritonitis didapatkan PH =7.31, PCO2= 40, BE= -4 ) 4. X. Ray Dari tes X Ray didapat: Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan: 1. Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis. 2. Usus halus dan usus besar dilatasi. 3. Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.

3. Gambaran Radiologis Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu : 1. Tiduran terlentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi anteroposterior. 2. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar dari arah horizontal proyeksi anteroposterior. 3. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal proyeksi anteroposterior. Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat mencakup seluruh abdomen beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset dan film ukuran 3543 cm. Sebelum terjadi peritonitis, jika penyebabnya adanya gangguan pasase usus (ileus) obstruktif maka pada foto polos abdomen 3 posisi didapatkan gambaran radiologis antara lain: 1) Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada tidaknya penjalaran. Gambaran yang diperoleh yaitu pelebaran usus di proksimal daerah obstruksi, penebalan dinding usus, gambaran seperti duri ikan (Herring bone appearance). 2) Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi usus. Dari air fluid level dapat diduga gangguan pasase usus. Bila air fluid level pendek berarti ada ileus letak tinggi, sedang jika panjangpanjang kemungkinan gangguan di kolon.Gambaran yang diperoleh adalah adanya udara bebas infra diafragma dan air fluid level. 3) Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh adanya air fluid level dan step ladder appearance. KOMPLIKASI Komplikasi yang timbul dari peritonitis adalah sebagai berikut : - Eviserasi Luka. - Pembentukan abses. Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu: 1. Komplikasi dini. 1. Septikemia dan syok septic. 2. Syok hipovolemik. 3. Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multisystem. 4. Abses residual intraperitoneal. 5. Portal Pyemia (misal abses hepar). 2. Komplikasi lanjut. 1. Adhesi. 2. Obstruksi intestinal rekuren. PENGOBATAN Penggantian cairan, koloid dan elektrolit adalah focus utama. Analgesik diberikan untuk mengatasi nyeri anti emetic dapat diberikan sebagai terapi untuk mual dan muntah. Terapi oksigen dengan kanula nasal atau masker akan meningkatkan oksigenasi secara adekuat, tetapi kadang-kadang inkubasi jalan napas dan bantuk ventilasi diperlukan. Tetapi medikamentosa nonoperatif dengan terapi antibiotik, terapi hemodinamik untuk paru dan ginjal, terapi nutrisi dan metabolic dan terapi modulasi respon peradangan. Penatalaksanaan pasien trauma tembus dengan hemodinamik stabil di dada bagian bawah atau abdomen berbeda-beda namun semua ahli bedah sepakat pasien dengan tanda peritonitis atau hipovolemia harus menjalani explorasi bedah, tetapi hal ini

tidak pasti bagi pasien tanpa tanda-tanda sepsis dengan hemodinamik stabil. Semua luka tusuk di dada bawah dan abdomen harus dieksplorasi terlebih dahulu. Bila luka menembus peritoneum, maka tindakan laparotomi diperlukan. Prolaps visera, tanda-tanda peritonitis, syok, hilangnya bising usus, terdapat darah dalam lambung, buli-buli dan rectum, adanya udara bebas intraperitoneal dan lavase peritoneal yang positif juga merupakan indikasi melakukan laparotomi. Bila tidak ada, pasien harus diobservasi selama 24-48 jam. Sedangkan pada pasien luka tembak dianjurkan agar dilakukan laparotomi. penatalaksanaan pada peritonitis adalah sebagai berikut : a. Penggantian cairan, koloid dan elektrolit merupakan focus utama dari penatalaksanaan medik. b. Analgesik untuk nyeri, antiemetik untuk mual dan muntah. c. Intubasi dan penghisap usus untuk menghilangkan distensi abdomen. d. Terapi oksigen dengan nasal kanul atau masker untuk memperbaiki fungsi ventilasi. e. Kadang dilakukan intubasi jalan napas dan bantuan ventilator juga diperlukan. f. Therapi antibiotik masif (sepsis merupakan penyebab kematian utama). g. Tujuan utama tindakan bedah adalah untuk membuang materi penginfeksi dan diarahkan pada eksisi, reseksi, perbaikan, dan drainase. h. Pada sepsis yang luas perlu dibuat diversi fekal. PROGNOSIS

Mortalitas tetap tinggi antara 10 % 40 %. Prognosa lebih buruk pada usia lanjut dan bila peritonitis sudah berlangsung lebih dari 48 jam. Lebih cepat diambil tindakan lebih baik prognosanya.

1.2.Kista Ovarium Terpuntir Torsi/putaran tangkai dapat terjadi pada tangkai kista ovarium dengan diameter 5 cm atau lebih. Kondisi yang mempermudah torsi adalah kehamilan dan sesudah persalinan. Pada kehamilan, uterus yang membesar akan merubah letak kista, sedangkan pada sesudah persalinan dapat terjadi perubahan mendadak dalam rongga abdomen. Torsi pada tangkai tumor akan menyebabkan gangguan sirkulasi karena vena mudah tertekan, terjadi bendungan darah dalam tumor yang berakibat tumor makin besar dengan perdarahan didalamnya. Jika torsi berlanjut akan terjadi nekrosis hemoragik dan jika dibiarkan dapat terjadi robekan pada dinding kista dengan akibat perdarahan intra adominal atau peradangan sekumder dengan manifestasi klinik dengan akut abdomen. Gejala klinis :

Sebelumnya ada terasa ada bengkak pada perut bagian bawah Adanya riwayat massage/pijat abdomen Bisa disertai dengan hamil Nyeri perut mendadak, kadang disertai mual dan muntah

USG : ada gambaran kista

Penatalaksanaan : laparotomi kista diangkat

You might also like