You are on page 1of 11

BAB XV KOMPLIKASI REGIONAL ANESTESI PADA ANAK Linn M. Broadman Diterjemahkan oleh dr.

Imam Sudrajat Popularitas tehnik regional anestesi pada anak terus meningkat sejak pertengahan 1980-an. Sebuah literatur melaporkan komplikasi yang mengikuti tehnik ini terbagi empat tingkat emergensi: (1) suntikan tunggal blok kaudal sangat aman; (2) caudalepidural catheter beresiko rendah untuk infeksi , tetapi mungkin lebih sulit untuk mencapai cephalad pada level thorax dibandingkan tindakan biasanya; (3) infus kontinyu epidural dengan bupivacain dapat menimbulkan beberapa komplikasi neurologis dan toksisitas jantung; dan (4) saat ini digunakan spinal-axis opioid pada anak yang menimbulkan masalah yang sama dengan pemakaian orang dewasa. Sang dkk akhir-akhir ini mempublikasikan hasil survei komplikasi pada regional anestesi anak. 14 institusi dengan kemampuan menangani nyeri anak diminta melaporkan seluruh komplikasi yang tercatat dalam tujuh tahun mulai 1985 1992. Dari 48.345 anak yang dilakukan tindakan regional yang dilaporkan (26.693 suntikan tunggal dan 12.718 infus kontinyu) didapatkan 34 komplikasi berbahaya (24 kejadian depresi nafas dan 10 kejang), dan 16 tidak berbahaya tetapi merupakan komplikasi yang secara klinis signifikan (termasuk tiga terinfeksi, satu lesi akar saraf, empat nyeri tumit, dan satu tertahannya kateter). Sayangnya data dari penelitian yang luas tentang topik ini terbatas. Sebagian besar informasi termasuk keamanan dan komplikasi yang berhasil ditemukan berasal dari survai retrospektif beberapa center atau laporan kasus tunggal. KEAMANAN DAN KOMPLIKASI SUNTIKAN TUNGGAL CAUDAL Penelitian Luas, Survei, dan Laporan Kasus-kasus Penting Walau banyak keuntungannya pada pengalaman klinik penggunaan caudal blok pada pediatrik pada 10-15 tahun terakhir, hanya pada akhir-akhir ini saja laporan yang luas dipublikasikan. Pada 1991 residen program pendidikan anak dan anestesi menemukan komplikasi yang terjadi pada pelaksanaan lebih dari 150.000 blok caudal. Gunter menyatakan rata-rata komplikasi catastropic selama dilaksanakannya suntikan tunggal berkisar satu dibanding 40.000. Pada penelitian yang lebih luas pada Childrens National Medical Center selama periode 1983 1995 yang meliputi lebih dari 7.800 blok caudal pada infant dan anak hanya tercatat tiga komplikasi: dua dural puncture dan satu spinal tinggi pada suatu perawatan bertingkat termasuk blok caudal yang menyertai spinal anestesi yang gagal. Hipotensi dan retensi urin tidak dilaporkan pada penelitian ini. Seluruh penulis menekankan kunci keamanan dari prosedur ini adalah pengetahuan anatomi anak, kecermatan yang mendetail mengenai seleksi dan preparasi dari sisi (yang akan disuntik, id), dan aspirasi yang hati-hati sebelum menyuntikan obat. Ketika pengukuran-pengukuran telah dilakukan, suntikan tunggal blok caudal merupakan tehnik yang paling aman. Terlihat adanya peningkatan resiko untuk injeksi intravaskuler yang tak dikenali pada anak dengan berat badan kurang dari 10 kg. Veyckemans dll melapokan suatu penelitian yang terdiri dari 1.100 blok caudal pada anak yang lebih muda dari 7 tahun, 463 anak dengan berat kurang dari 10 kg. Mereka mencatat 76 perdarahan (bloody taps),

dengan 8 dikenali sebagai reaksi sistemik (didefinisikan sebagai peningkatan denyut jantung lebih banyak dari 20X /menit, biasanya disertai dengan perubahan EKG, vasokonstriksi daerah kulit, dan beberapa hipertensi arterial). Efinefrin 1 : 200.000 yang selalu menyertai lokal anestesi bekerja sebagai suatu tanda intravaskuler. 8 reaksi sistemik semuanya terjadi pada anak dengan BB < 10 kg; 6 dihubungkan dengan aspirasi negatif pada darah dan disebut concealed bloody taps. Hal ini merupakan kesan dari penulis bahwa concealed bloody taps dapat disebabkan oleh injeksi intraosseous. Seluruh episode berespon terhadap hiperventilasi oksigen; tidak ditemukan adanya konvulsi atau episode kolaps kardiosirkuler. Juga pada laporan baru lainnya ditemukan gangguan jantung pada anak BB < 10 kg yang diberikan blok caudal. Dua anak dengan berat 4 dan 8 kg, mengalami episode ventrikular takikardi dan kolaps kardiovaskuler setelah dilakukan blok caudal dengan bupivacain-epinefrin baru-baru ini dilaporkan oleh Ved dkk. Terjadi aspirasi negatif pada kedua kondisi tersebut Dan penulis percaya bahwa irama jantung malignan disebabkan oleh keracunan epinefrin, dan bahwa pemberian larutan lokal anestesi yang perlahan-lahan sangatlah penting. Aspirasi negatif tidak akan meghilangkan potensi ujung jarum atau catheter berada dalam pembuluh darah. Mc Gowen, dalam sebuah penelitian pada 500 anak yang dilakukan blok kaudal melaporkan 7% kejadian tidak sengajanya obat masuk kedalam pembuluh darah epidural caudal. Dalens dan Hasnaoui melaporkan 10,6% kejadian blood return pada penelitian 750 blok caudal ketika dipakai jarum panjang. Penyuntikan iv dapat dihindari dengan mengulang aspirasi secara lembut/hati-hati setiap kali jarum dipindahkan. Penggunaan kekuatan yang besar selama aspirasi dapat menghilangkan tampakan darah bila sedotan yang kuat mengakibatkan vena kolap. Hampir semua aspirasi yang berdarah terjadi pada penempatan jarum di interosseus dibandingkan iv. Massa cancellous pada tulang sacral diselimuti oleh wafer tipis, lapisan rapuh cortex, yang dapat mudah rusak. Komplikasi ini sebaiknya dihindari dengan memasukan jarum kedalam canalis sacral, hindari penggunaan kekuatan yang besar, dan menjaga arah jarum langsung menurun maka jika terpeleset berada diatas anterior plate sacrum. Air Loss of Resistance Untuk Menentukan Ruang Epidural Tehnik air loss of resistance untuk blok caudal atau epidural sebaiknya dihindari pada pasien pediatrik. Ada indikasi bahwa anak bisa mengalami emboli udara pada vena yang berasal dari udara dalam jumlah sedikit selama penggunaan loss of resistance untuk mengedintifikasi caudal epidural space. Schwartz dan Eisencraft melaporkan kolap sirkulasi pada anak umur 9 bulan yang diberikan 3 ml injeksi udara kedalam ruang lumbal epidural. Kenyataannya anak mempunyai resiko lebih besar dibanding dewasa karena insiden yang tinggi terdapatnya probe-patent foramen ovale (> 5% pada anak yang lebih muda dari 5 tahun). Karena ekstensi yang lebih rendah dari dural sac, resiko dural puncture secara teoritis lebih tinggi pada infant dan anak kecil dibanding orang dewasa dan anak lainnya. Bagaimanapun komplikasi ini tergantung tehnik dan mudah dikenali jika aspirasi yang lembut dilakukan setelah penempatan jarum dan sebelum suntikan pertama obat. Jika dural puncture terjadi, lebih baik menghindari blok caudal karena resiko blok total spinal.

Resiko Infeksi Setelah Pemberian Blok Caudal Infeksi merupakan komplikasi yang terdengar sering terjadi pada suntikan tunggal blok caudal dan tehnik caudal catheter; bagaimanapun infeksi post blok caudal jarang tercatat dalam praktek klinik. Penelitian yang sangat baru oleh Strafford dkk dipercaya bahwa infeksi epidural setelah pelaksanaan anestesia epidural kontinyu melalui indwelling catheter sangat jarang walaupun pada infant dan anak. Para penulis secara retrospektif mencatat 1.620 pemberian caudal epidural catheter pada infant dan anak selama lebih dari 6 tahun. Catheter berada ditempat selama 14 hari (median 2,4 hari). 70 catheter ditempatkan melalui pendekatan caudal (3,7 %); sedangkan terbanyak melalui lumbal epidural catheter (93 %). Kombinasi bupivacaine dan fentanyl merupakan suntikan yang paling sering. Penelitian ini melaporkan 0% kejadian yang secara klinis signifikan merupakan infeksi pasien post operatif, rata-rata secara statistik tidak berbeda dari abses spontan berkisar 0,2 1,2 kasus per 10.000. Abses epidural bukan merupakan komplikasi yang dilaporkan dari pasien yang mendapatkan analgesia postoperatif lawat caudal-epidural catheter. Satu anak dengan penyakit terminal dengan tumor nekrotik epidural terjadi kolonisasi candida pada ruang epidural. Strafford dkk menekankan bahwa, dengan penempatan yang aseptik, inspeksi setiap hari pada catheter dan titik suntik, dan pemindahan catheter ketika pertama kali terasa kesulitan, analgesi kontinyu caudal-epidural pada infant dan anak dapat sangat aman dan tehnik yang tepat untuk menyediakan analgesia yang berkelanjutan. Terdapat 3 laporan kasus yang terkini mengenai komplikasi infeksi yang menyertai penempatan indwelling epidural catheter pada infant dan anak yang bergeser cateternya setelah dipasang sesuai dengan Strafford guidelines. Dua dari laporan berhubungan dengan pustula pada kulit ditempat masuknya catheter. Emanuel melaporkan anak 4 tahun yang mendapat kontinyus caudal epidural analgesi selama 29 jam setelah repair hipopasdia. Catheter ditempatkan aseptik, filter bakteri terpasang dan steril, selubung adesif transparan menyelimuti tempat masuknya cateter sampai tempat infus. Pada hari ke 10 pustula kecil ditemukan ditempat insersi catheter, dan pada hari ke 14 abses kecil ekstra dural diincisi dan didrainase pada tempat yang sama. Spesimen dan sedikit pus dikultur, tetapi tidak ada bakteri yang terisolasi atau teridentifikasi. Si anak dapat sembuh. Lebih baru lagi, Meunir dkk melaporkan dua kasus pada infant dengan atresia biliari yang mengalami infeksi kulit lokal pada tempat suntikan lumbal epidural. Kedua anak menggunakan prosedur Kasai dan diberikan epidural analgesi selama 48 jam postoperasi, pada setiap saat cateter dipindahkan. Pada 5 hari postoperasi setiap anak tercatat terdapat daeah indurasi dan pustule kacil pada daerah tempat masuk catheter. Dalam setiap kasus, diambil pus dan dilakukan kultur. Tidak ditemukan organisme pada kasus pertama, maka antibiotik tidak diberikan. Anak kedua tercatat adanya pengumpulan material subcutaneus yang recuren pada tempat insersi catheter dan dilakukan incisi serta drainase abses subcutan pada hari ke 6 dan 12 post operasi. Infeksi staphylococcus aureus juga diobati dengan oxacillin. Laporan kasus yang paling ditekankan adalah laporan Larsson dkk, yang mendokumentasikan abses epidural pada anak umur 1 tahun disertai nyeri visceral sekunder pada kondisi yang jarang, chronic intestinal pseudo-obstruction. Nyeri tidak dapat hilang dengan pemberian narkotik parenteral, dan selama lebih dari enam bulan,

dari umur 7 bulan sampai 1 tahun, ia mendapatkan 3X lumbar epidural catheter untuk mengontrol nyeri. Setiap kali ditempatkan berkisar 3-12 hari. Pada pemasangan catheter ketiga penempatannya lebih cephalad dari sebelumnya, untuk mendapatkan target area yang lebih baik pada nyeri kronis visceral nonopeeratif dan meminimalisasi sarat infusi bupivacain. Maka ditempatkan pada L1-L2 dan ujung catheter ditempatkan cephalad pda T11-T12. 11 hari setelah ditempatkannya catheter ketiga konsentrasi bupivacain harus dinaikan dari 0,125% ke 0,375%. Meskipun dosis besar dari bupivacain telah diinfuskan (1,1 mg/kg perjam),nyeri pada anak tidak terkontrol adekuat dan diberikan juga narkotik parenteral. Pada hari berikutnya (ke 12), tercatat pada daerah penetrsi cateter epidural sedikit basah. Catheter segera dilepas. Kultur bakteri dari ujung catheter menunjukan pertumbuhan Pseudomonas aeruginosa yang sensitif terhadap tobramycin. MRI menunjukan adanya epidural abses pada T5-L5. Abses mendeformasi dan mendislokasi medulla pada area tersebut. Yang mengejutkan, tidak ditemukan simptom neurologis pada anak. Maka diterapi non bedah dengan antibiotika iv. Abses tidak dapat dideteksi lewat follow up computed tomografi pada hari ke 11 setelah terapi antibiotika. Ia selamat dari kejadian ini tanpa sekuel. Para penulis memberikan pesan berharga. Ketika observasi mendadak dan terjadi kenaikan yang tidak dapat dijelaskan tentang kebiasaan efektivitas epidural catheter kontinyu sebelumnya untuk mendapatkan kontrol nyeri adekuat, abses epidural harus disertakan dalam daftar differential problem. Larsson dkk berpendapat bahwa bakterimia yang terus-menerus dari nekrosis enterocollitis mungkin dapat membawa bibit pada epidural catheter dan berkembang menjadi epidural abses. Kedua anak yang dilaporkan Meunier diketahui mempunyai congenital biliari atresia dengan prosedur Kassai; dan; terdapat kemungkinan ascending cholangitis dan bakteremia. Hal ini merupakan pendapat penulis anak yang diketahui atau tersangka bakteriemia atau septicemia kemungkinan tidak layak untuk analgesia extradural. Akhirnya, penulis percaya bahwa extradural catheter dapat digunakan secara aman untuk memberikan penekan nyeri secara lama dan efektif untuk pasien pediatrik terpilih. Penggunaan luas dari jarum modern single use, alat-alat caudal atau epidural kateter yang dibuat untuk anak, tehnik aseptik selama penempatan caudal-epidural kateter, in-line bacterial filter dan selubung transparan untuk menutup kateter dan ujung jarum dapat menghilangkan banyak faktor yang potensial mengakibatkan infeksi postblok. Meunir dkk mengindikasikan bahwa mereka mendapatkan hanya dua komplikasi infeksi dari 2.000 pemasangan kateter extra dural selama periode lebih dari 10 tahun. Nampaknya penulis dkk mendapatkan hasil yang similar, bahwa tidak didapatkan satu infeksipun selama pemasangan 23.500 indweling pediatric caudal catheter. Permasalahan Seputar Tes Dosis Belum ada tes dosis atau tehnik yang efektif untuk deteksi yang dipercaya dari injeksi intravaskuler larutan anestesi selama penempatan blok pada anak dibawah pengaruh GA dengan volatile agent. Desparmet dkk, mempelajari 65 anak, umur 1 bulan sampai 11 tahun, dan menemukan bahwa anak yang menerima larutan yang mengandung efinefrin iv tanpa pemberian athropin sebelumnya tidak memperlihatkan kenaikan denyut jantung yang konsisten. Lebih jauh lagi, 94% anak yang menerima premedikasi atropin

diikuti oleh efinefrin iv hanya mengalami kenaikan denyut jantung >10X/menit (puncaknya pada 45 detik dan berakhir sampai 60 detik postinjection). Harus ditekankan bahwa injeksi atropin pada penelitian ini diberikan pada pasien dengan konsentrasi end tidal halotan yang stabil yaitu 1,0%. Kenaikan denyut jantung >10X/menit mungkin diukur saat penempatan jarum pada anak dengan anestesi yang tidak dalam. Perillo dkk melakukan penelitian yang sama, membandingkan isoproterenol iv dengan dosis 0,05 dan 0,075 g/kg. Seperti halnya penelitian efinefrin oleh desparmet, Perillo tidak dapat memperlihatkan konsistensi atau perkiraan hubungan antara infus dari tes dosis tersebut dan kenaikan denyut jantung. Seperti pada orang dewasa, penting untuk memberikan lokal anestesi dosis tambahan untuk kelemgkapan suatu tes dosis. Bagaimanapun setelah jarum ditempatkan, lokal anestesi sebaiknya disuntikan sedikit dengan monitoring hatihati terhadap tanda-tanda keracunan sistemik. CAUDAL CATHETER Keuntungan Caudal Catheter Anestesi epidural lumbal dan thorax mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan anestesi caudal pada infant dan anak pada prosedur diatas abdomen dan thorax. Kedua bentuk tehnik boleh untuk tujuan larutan lokal anestesi pada sisi pembedahan dan dapat mengurangi potensial toksik obat dan morbiditas lain. Penempatan tehnik lumbal dan torax telah dilaksanakan dengan baik pada anak, keduanya mungkin merupakan tehnik yang sulit dan ganjil untuk dilakukan pada infant dan anak. Pada sisi lain, caudal catheter sangat mudah ditempatkan, dan ujung catheter mungkin dapat ditempatkan cephalad untuk meningkatkan level, hal ini merupakan keuntungan untuk melakukan anestesi atau analgesi thoracoabdominal tanpa meningkatkan resiko trauma spinal cord dan keracunan lokal anestesi. Penelitian Awal Penempatan Caudal Catheter Tahun 1988 Bosenberg dkk mendemonstrasikan, pada 20 neonatus dan infan yang lebih tua pada bedah traktus biliari, bahwa merupakan hal yang mungkin untuk menempatkan caudal epidural catheter dan mudah untuk menempatkan ujung catheter cephalad ke dalam regio thorax. Mereka menggunakan peralatan dewasa (iv catheter 16G sebagai introducer dan epidural catheter 18-G). Pada semua kasus, ujung epidural catheter berhasil masuk kedalam regio thorax. Pada 19 dari 20 kasus ujung catheter melewati satu vertebra dari level yang diinginkan yaitu T8. Seluruh ujung yang ditempatkan dikonfirmasi secara radiographic, dan seluruh catheter dengan mudah dilepas pada akhir operasi. Tidak ditemukan komplikasi pada pasien yang diteliti. Pada penelitian selanjutnya Gunter dan Eng meneliti penempatan caudal catheter pada thorax lewat rute caudal pada 20 anak. Mereka menempatkan secara benar 17 dari 20 anak dengan menggunakan stilet microcateter 24-G pada kesempatan pertama. Seluruh microcatheter lebih lanjut melewati iv catheter pediatrik sebagai introducer kedalam ruang caudal epidural anak. Dua lainnya dimanipulasi dan akhirnya berhenti dalam posisi yang tepat. Bosenberg dan Gunter memperlihatkan betapa perlunya memanipulasi catheter pada posisi yang tepat pada regio lumbar dan thorax. Keduanya memperlihatkan bahwa hal tersebut secara tehnik yang lebih mudah dan lebih aman menuju ruang epidural lumbar atau thorax lewat rute caudal. Potensi trauma spinal cord didapat pada infant dan

anak pada penempatan langsung thorax dan lumbar epidural catheter, resiko ini dapat hilang dengan pendekatan caudal. Gunter dan Eng percaya beberapa hal yang mungkin sekali membuat lebih aman pada penggunaan pediatrik epidural catheter pada regio thorax: (1) Jika ditemukan resistensi selama insersi epidural catheter, tarik kembali dalam jarak pendek dan putar sebelum reinsersi. (2) Jika resistensi berlanjut, tarik kembali dalam jarak pendek dan tekuk lutut anak ke dada untuk memanipulasi spina lebih ramping untuk menempatkan, memasukan kembali catheter. (3) Jangan pernah memasukan catheter melawan resistensi. Masalah Yang Ditemukan Dalam Memasukan Secara Cephalad Lumbar Epidural Catheter Artikel terbaru Blanco dkk mendemonstrasikan betapa sulitnya dan terkadang tidak mungkin untuk memasukan catheter yang telah ditempatkan ruang lumbar epidural cephalad pada level thorax pada infant dan anak yang lebih tua dari 1 tahun. Kelompok Blanco mempelajari 39 infant dan anak yang berkisar dari newborn sampai 96 bulan. Mereka mewborn sampai 96 bulan. Mereka mik air loss resistance untuk mengidentifikasi epidural space L4-5 interspace pada semua pasien. Sayangnya hanya 7 dari 19 jarum, cateter unstyleted, polyethelene, multiorifice yang dapat ditempatkan cephalad sampai T12. 23 dari 39 catheter (60%) berputar pada atau sekitar L4-5. Delapan catheter sulit ditempatkan. Pada sisi lain, mudah masuknya catheter tidak secara positif berhubungan dengan mudahnya memasukan ujung catheter cephalad. Tidak ada kecerobohan penusukan sampai dural, dan seluruh cateter dapat dilepas dengan mudah. Mengapa Grup Blanco bermasalah sangat sulit memasukan ke-19 catheter cephalad ketika Bosenberg dan Gunter tidak? Mungkin hal tersebut berhubungan dengan kenyataan bahwa Bosenberg menempatkan catheter pada infant yang lebih muda dari 1 tahun, dan ada kecurigaan bahwa seluruh infant yang diteliti Bosenberg tidak dalam posisi tegak lurus. Karena tidak memakai cara lumbar lordosis, maka 19 dari 20 catether Bosenberg dengan mudah melewati cephalad. Gunter menghindari masalah ini pada infant dan anak yang lebih tua dengan menggunakan stilet kawat microcatheter. Penulis pernah menggunakan stilet kawat, open end, microcatheter selama lebih dari 2 tahun dan belum menemukan kesulitan (Sims 20/24 Microcatheter System). INFUSI EPIDURAL DENGAN LOKAL ANESTESI Toksisitas Lokal Anestesi Bupivacaine adalah salah satu obat lokal anestesi yang paling umum untuk blok caudal dan epidural anak. Obat ini dapat dipakai dengan aman jika diawasi batas dosis maksimal; Bagaimanapun, pernah dilaporkan komplikasi yang berhubungan dengan toksisitas neurologis dan cardiac. Kadar toksik bupivacaine dalam plasma berkisar 4,0 g/ml, kadar untuk infant dan anak tidak diketahui. Kadar plasma <2,0 g/ml diperkirakan aman untuk anak dan tidak mengakibatkan toksisitas neurologis atau cardiac. Bagaimanapun beberapa data indikasi penyebab untuk dewasa dapat dipakai untuk anak. Metabolisme lokal anestesi banyak berkurang pada neonatus, karena kurangnya plasma pseudokolinesterase dan kurangnya aktivitas microsomal hati. Juga konsentrasi alpha1-acid-glycoprotein (1Agp) agak rendah pada infant umur <2 bulan, dan tidak dapat mencapai level dewasa sampai

umur 1 tahun. 1AGP penting sebagai primery binding subtrate bagi carionic drugs seperti lokal anestesi. Albumin dan protein plasma lainnya berfungsi sangat kecil dalam pengikatan larutan lokal anstesi. Rendahnya level 1Agp mengakibatkan larutan lokal anestesi banyak berada dalam bentuk bebas, dan hanya fraksi yang tidak terikat pada lokal anestesi yang dapat mengakibatkan reaksi toksik seperti kejang dan depresi myocardial. Eliminasi obat pada anak lebih lebih cepat dibanding newborn dan infant tetapi lebih lambat dibanding dewasa. Eliminasi yang lebih lambat menuntut perhatian selama infus kontinyu lokal anestesi. Cardiac output yang lebih besar pada pasien pediatrik merupakan faktor relatif cepat meningkatnya blood level lokal anestesi terutama pada daerah yang kaya perdarahan seperti otak dan jantung. Faktor-faktor lain yang berpotensi meningkatkan suceptibilitas toksisitas bupivacain termasuk pemberian bersama volatile agent, asidosis hipoksia, hiponatremi dan hipokalemi, sama kuatnya dalam meningkatkan level plasma bupivacaine. Beberapa penelitian telah mengevaluasi level plasma bupivacaine setelah bolus dosis tunggal. Penggunaan lumbal epidural dengan 0,25% bupivacaine (3.0 mg/kg), Eyres dkk mencatat level plasma memuncak pada 20 menit dan berkisar sekitar 1,0 sampai 2,0 g/ml. Ecoffey mempelajari 10 infant yang berumur 3-36 bulan. Enam dipasang torax epidural catheter, dan 4 lumbar catheter. Semua disuntik dengan bupivacaine 0,5% (3,75 mg/kg). Puncak level plasma tercapai dalam 20 menit, dengan perkecualian salah satu anak dengan level plasma 2,2 g/ml, seluruh level < 1,8 g/ml. Eyeres dkk menemukan bahwa konsentrasi plasma bupivacaine setelah injeksi caudal 0,25% bupivacaine (3mg/kg) berkisar 1,2-1,4 g/ml pada anak. Mazoit dkk mempelajari infant yang diberikan 2,5 mg/kg bupivacaine untuk caudal analgesi, dan menemukan level serum dan plasma berkisar 0,5-1,9 g/ml. Stow dkk mencatat puncak konsentrasi plasma dicapai sekitar 20 menit setelah pemberian caudal. Pada setiap penelitian, puncak level plasma bupivacaine lebih rendah dari dosis yang dapat mengakibatkan toksik pada dewasa, dan puncak level plasma tercapai 20 menit setelah injeksi caudal, lumbar, dan torak. Despartment mengevaluasi level plasma bupivacaine pada 6 anak yang diberikan loading dose 0,25% bupivacaine (0,5 ml/kg) tanpa penyuntikan epinefrin kedalam ruang lumbar epidural, dilanjutkan dalam 30 menit dengan infus obat yang sama dengan laju 0,08 ml/kg/jam. Level plasma bupivacaine diuji dari spesimen dengan interval 4 jam antara 24-48jam setelah dimulainya infus, dan setiap 2 jam sampai 10 jam setelah selesai pemberian infus. Level plasma pada keenam anak sangat bervariasi, berkisar dari 0,2-1,2 g/ml. Tidak ditemukan kenaikan pada level plasma antara 24 dan 48 jam; sedangkan penelitian pada orang dewasa memperlihatkan infus epidural kontinyus bupivacaine menghasilkan level plasma yang tetap sampai sekitar 50 jam setelah dimulainya infusi ketika tercapai suatu peningkatan yang dramatis. Mc Ilvine mengevaluasi level plasma bupivacaine pada anak yang mendapatkan infus intra pleural berkisar 0,5-2,5 mg/kg/jam. Level plasma bupivacaine berkisar 1,0-7,0 g/ml. Tidak ada dari anak-anak ditemukan tanda-tanda keracunan; Bagaimanapun hal ini mungkin disebabkan sedikitnya jumlah penderita pada penelitian atau kenyataan bahwa beberapa anak menerima diazepam pada 24 jam pertama setelah pembedahan.

Agarwal dkk melaporkan dua kasus neurotoksisiti berhubungan dengan infus bupiuvacaine kontinyus. Kedua pasien menerima 0,25% bupivacaine dengan 1;200.000 epinefrin. Kasus pertama melibatkan anak perempuan 3 tahun dengan berat 9,4 kg, menderita penyakit paru kronis interstitial yang dijadwal untuk biopsi lobus medialis paru kanan. Saat pelaksanaan, ditempatkan catheter intrapleural. Sebagaimana diketahui bahwa absorbsi sistemik obat anastesi lokal lebih besar pada ruang intrapleura dibandingkan ruang intercostal atau caudal. Satu jam setelah bolus 0,66 mg/kg diberikan, infus 0,25 mg/kg/jam mulai diberikan. Lima jam kemudian infus ditingkatkan menjadi 0,5 mg/kg/jam, didapatkan keluhan ketidaknyamanan kenaikan. 21 jam setelah dimulainya kenaikan infus, dua pasien kejang tonik-klonik, masing-masing diobati dengan 100 mg fenobarbital iv. Level bupivacaine pasien 5,6 g/ml pada saat kejang. Pasien kedua yang mengalami kejang karena akumulasi bupivacaine adalah anak lelaki 9 tahun, berat 26 kg dengan cerebral palsy. Ia dilahirkan prematur, tetapi pada saat dilaporkan ia adalah anak sehat yang akan dilakukan selektif dorsal rhizotomi. Setelah bolus bupivacaine 1,25 mg/kg diinjeksikan kedalam caudal ephidural catheter, infus dengan laju 1,25 mg/kg/jam dimulai. 56 jam setelah dimulainya infusi, pasien mengalami 3 serangan tonik-klonik yang berhasil diobati dengan fenobarbital. Level bupivacaine pada saat kejang pertama adalah 5,4 g/ml. Yang menarik dari laporan Agarwal dkk adalah tidak adanya gejala prodormal yang dapat memperingatkan pemberi untuk menghindari akut neurotoksik bupivacaine. Kedua pasien dilaporkan kalem, kooperatif dan tenang. Hanya keluhan yang tidak biasa didapati pada pasien kedua, yang merasakan sensasi jatuh atau berguling beberapa jam sebelum kejang. Manifestasi awal keracunan pada CNS mungkin tidak jelas terlihat pada anak, karena mereka kurang dapat mengeluhkan gejalanya. Pada infant atau anak yang baru belajar berjalan, gejala mungkin disalahartikan sebagai iritabilitas atau rewel. Tanda pertama pada keracunan lokal anestesi pada pasien pediatrik dapat berupa disritmia atau kolap cardiovaskuler. McCloskey dkk melaporkan 3 anak yang mengalami efek samping keracunan akibat infusi epidural kontinyu dengan bupivacaine. Bupivacaine 0,25% dengan 1:200.000 epinefrin digunakan pada ketiga pasien. Anak pertama 3,89 kg umur 1 hari direncanakan pendekatan langsung extrophi kandung kemih. Larutan lokal anestesi berupa bolus dengan dosis 2,5, 1,87 dan 1,87 mg/kg diberikan berturut-turut pada jam 0, 1,5 dan 3,0. Pada jam 4,5 infus bupivacaine diberikan dengan laju 2,5 mg/kg/jam. 10 jam setelah dimulainya infus, pasien mengalami takikardi dan hipotensi. Infus dihentikan, dan anak segera diintubasi. Diberikan ventilasi dengan oksigen dan epinefrin (10 g/kg) diberikan iv. Sinus bradikardi segera berubah menjadi ventrikel takikardi, dimana respon parsial terhadap lidokain (1 mg/kg) dan sodium bicarbonat (1 mEq/kg). Normal sinus rhythm dicapai dengan phenytoin (5 mg/kg); 2 jam kemudian terjadi kembali ventrikel takikardi disertai kejang umum tonik-klonik. Keduanya berhasil diobati dengan diazepam iv 0,25 mg/kg, dan pemberian serial phenytoin yang total mencapai 7 mg/kg. Level plasma bupivacaine pada saat infus dihentikan adalah 5,6 g/ml, dan setelah 12 jam berkurang menjadi 3,7 g/ml. Si anak tidak didapati sequele neurologis dan sembuh total. Infus rata-rata untuk ketiga pasien tersebut terlalu tinggi. Hal ini membawa McCloskey membuat pedoman infus berdasar pada extrapolasi dari linear pharmacokinetic projection untuk level bupivacain pada bolus caudal dan epidural. Mereka berkeyakinan 0,4 mg/kg/jam untuk anak kurang dari 6 bulan dan 0,75 mg/kg/jam

untuk anak yang lebih tua. Aliran infus yang lebih rendah, yang menghasilkan analgesi yang adekuat akan menurunkan potensi komplikasi toksik, sudah dibuktikan oleh Berde. Ia merekomendasikan petunjuk dosis untuk infus epidural bupivacaine meliputi loading dose 2,0-2,5 mg/kg dan aliran infus tidak melebihi 0,4-0,5 mg/kg/jam untuk infant yang lebih tua, anak yang baru belajar jalan dan anak, dan kurang dari 0,2-0,25 mg/kg/jam untuk neonatus. 10 kejang tercatat oleh Sang, 8 terjadi setelah dosis ulangan bolus bupivacaine atau aliran infus lebih besar dari 0,5 mg/kg/jam. Komplikasi kedua yang berhubungan dengan keracunan bupivacaine adalah disritmia jantung. Hal ini mungkin merupakan komplikasi yang lebih serius, mungkin sulit disembuhkan dengan pengobatan konvensional. Maxwell dkk berhasil dengan menggunakan phenytoin dalam pengobatan 2 pasien keracunan jantung akibat bupivacaine. Jika analgesia adekuat terjadi setelah pemberian dosis maksimal bupivacain dan penempatan jarum tidak benar dan masalah tehnik diabaikan, tidaklah bijaksana untuk memberikan bupivacaine dalam dosis biasa. Baik epidural maupun sistemik opioid dapat memberikan hasil seperti infus epidural, atau epidural dapat dihentikan menjadi opioid sistemik atau analgesik lainnya. Beberapa praktisi menganjurkan infus kontinyu lidocain pada caudal atau epidural dibandingkan bupivacaine karena keadaan lebih cepat dan mudahnya monitor konsentrasi plasma dari sediaan obat pada hampir seluruh laboratorium rumah sakit. OPIOID EPIDURAL DAN CAUDAL Mungkin tidak ada penanganan nyeri postoperatif pada pediatrik yang lebih berkembang pada dekade terakhir dari pada penggunaan spinal axis opioid dan infus lokal anestesi. Bagaimanapun delayed depresi nafas selalu mungkin, tidak masalah apakah opioid diberikan lewat caudal, epidural atau spinal, terutama pada anak kecil. Hal ini sebagian sama dengan pemberian opioid sistemik. Dari 24 kejadian depresi nafas yang diamati oleh Sang dkk, 22 pasien mendapatkan opioid neuraxil dan 12 dari 24 menerima tambahan sedatif iv. Observasi parameter farmakokinetik setelah epidural dengan morfin pada anak yang lebih tua telah ditemukan dengan menyesuaikan pengukuran pada dewasa, termasuk peningkatan yang signifikan terhadap respon ventilasi semenit terhadap tekanan end-tidal karbondioksida 55 mm Hg. Pernafasan sebagai suatu campuran merupakan penyebab yang signifikan dari pergeseran kurva respon CO2 untuk lebih dari 22 jam setelah pemberian morfin epidural. Krane dkk mendemonstrasikan bahwa morfin untuk caudal pada dosis 33 g/mg menghasilkan analgesi yang baik dengan insiden yang rendah terhadap depresi delayed respirasi. Depresi delayed respirasi sebelumnya dilaporkan oleh Krane dengan dosis yang lebih besar yaitu 100 g/kg diberikan pada anak 2,5 tahun. Valley dan Bailey melaporkan penggunaan morfin kaudal 70 g/kg, dilarutkan dengan normal saline pada 138 anak yang dilakukan bedah mayor abdomen, thoraks dan ortopedi. Anak dengan berat < 5 kg menerima 3,0 ml larutan; berat 5-15 kg mendapat 5,0 ml, dan berat > 15 kg mendapatkan 10 ml. Depresi respirasi tercatat mencapai 11 anak. Dari 11 anak, 10 belum berumur 1 th dan seluruhnya telah menerima bersamaan opioid sistemik sepanjang pemberian opioid ekstradural. Waktu yang dibuthkan sejak pemberian morfin caudal sampai terjadinya depresi respirasi pada grup ini adalah 3,8 jam; tidak ada

depresi respirasi yang terjadi lebih lama dari 12 jam setelah dosis terakhir. Seluruh depresi respirasi berhasil sembuh dengan pemberian naloxon, 5-20 g/kg diikuti dengan infus 2-10 g/kg/jam. Bailey dkk membandinghkan efikasi dari caudal, epidural dan iv butorphanol dalam mereduksi efek samping yang berhubungan dengan morfin ephidural. Tidak ditemukan perbedaan pengurangan efek samping antara anak yang mendapat butorphanol dan yang tidak. Lawhorn dan Brown menemukan penurunan kejadian komplikasi yang berhubungan dengan opioid ketika butophanol (40g/kg) dicampurkan dengan morfin (80g/kg). Pemberian clonidin pada morfin epidural bermaksud memanjangkan analgesia tanpa meningkatkan insiden berupa efek samping. SPINAL ANESTESI Postdural Puncture Headache (PDPH) Kejadian PDPH pada anak setelah anestesi spinal atau kecerobohan wet taps selama penempatan blok epidural, cukup rendah, dan kejadiannya sangat jarang terjadi pada anak <12 tahun. Penyuntikan dengan jarum no 20 atau 22 sebagai prosedur diagnostik yang sering digunakan pada pasien pediatrik dan sering digunakan untuk kemoterapi anak. Walau dalam keadaan ini, PDPH tidak sering dan jarang memerlukan terapi. Epidural blood patch merupakan pengobatan yang efektif untuk PDPH pada pasien pediatrik jika tidak respon oleh terapi konvensional dan simptom menetap lebih dari satu mingggu. Sedasi dan EMLA cream dapat lebih menguntungkan untuk mengurangi nyeri dan trauma emosi karena blood patch therapi. Praktisi sebaiknya mempertimbangkan umur pasien dan tingkat maturitas guna menetapkan pasien tetap sadar atau perlu diberi anestesi dalam. Volume autologous blood yang dianjurkan bervariasi dari 0,5-0,75 ml/kg, dan sebaiknya disuntikan perlahan. Opioid Spinal Nichols dkk mempelajari efek disposisi dan respirasi dari morfin subarachnoid pada 10 infant dan anak yang menjalani bedah craniofacial. Seluruh anak dilakukan drainase cairan cerebrospinal (CSF) sebagai bagian dari prosedur operasi; dan disempurnakan dengan penempatan kateter subarachnoid pada interspace L4-L5. Cateter yang sama juga dipergunakan untuk memberikan morfin subarachnoid (2,0 g/kg) sebelum akhir dari pembedahan juga sebagai contoh dan pengukuran konsentrasi morfin di CSF pada jam ke 6, 12, 18. Konsentrasi morfin plasma ditetapkan dengan radioimmunoassay. Morfin subarachnoid menghasilkan reduksi baik pada slope dan intercept dari kurve respon ventilasi; Reduksi terbesar adalah 6 jam setelah pemberian morfin, dan respon ventilasi membaik bertahap setelah 12 dan 18 jam kemudian. Penelitian ini mencatat bahwa infant dan anak mungkin mengalami depresi respirasi sampai 18 jam setelah pemberian morfin subarachnoid dan mutlak dibutuhkan monitoring dan kesiapan penyelamatan.

KESIMPULAN 1. Blok caudal dengan suntikan tunggal aman untuk infant dan anak selama mengikuti petunjuk sederhana; monitor anak; kenali anatomi; dan batas dari dosis bupivacaine 2,5-3,0 mg/kg. 2. Tes dosis tidak dapat dipercaya untuk infant dan anak, begitu juga aspirasi lembut. Harus dibatasi dosis bupivacaine dan gunakam perkecualian dasar untuk menghindari komplikasi catastropic. Penulis menyarankan bupivacaine 0,125%, digunakan untuk semua caudal blok dan volume dibatasi sampai 1,0 ml/kg. Akhirnya, penting sekali pemberian larutan lokal anestesi perlahan dan disebarkan dalam dosis kecil dan bertahap. 3. Emboli udara dapat terjadi pada infant dan anak bila menggunakan tehnik air loss of resistance. Udara sebaiknya tidak digunakan untuk penempatan ruang epidural caudal atau lumbar pada infant dan anak. Saline yang sebaiknya digunakan. 4. Infus kontinyus bupivacaine dapat menghasilkan analgesi yang lama dan efektif, tetapi juga dapat mengakibatkan konvulsi, disritmia dan komplikasi yang lain. Dengan membatasi dosis bolus lokal anestesi seperti aliran infus,dapat dicapai tehnik kontnyus yang aman dan efektif. Berde berkeyakinan bahwa loading dose tidak melebihi 2,0-2,5 mg/kg. Aliran infus untuk anak yang lebih tua, yang baru belajar berjalan, dan anak tidak boleh melebihi 0,4-0,5 mg/kg/jam, dan untuk infant dan neonatus dosis infus tidak boleh lebih dari 0,2-0,25 mg/kg/jam. 5. Axis opioid spinal dan epidural dapat menghasilkan analgesia postoperative yang baik dengan efek samping minimal. Dosis yang lebih rendah dari pemberian morfin epidural, seperti 33 g/kg, dapat menghasilkan analgesia yang sama efektifnya dengan dosis yang lebih besar, seperti 80-100 g/kg yang mungkin mengakibatkan beberapa efek samping. Depresi respirasi belum pernah dinilai pada anak lebih dari 12 jam setelah injeksi bolus tunggal morfin epidural. Karenanya dapat menjadi suatu tanda batas monitoring dan perawatan untuk anak yang mendapatkan axis spinal opioid.

You might also like