You are on page 1of 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A.

Definisi dan Peran Toksikologi Forensik Toksikologi (berasal dari kata Yunani, toxicos dan logos) merupakan studi

mengenai perilaku dan efek yang merugikan dari suatu zat terhadap organisme/mahluk hidup. Toksikologi merupakan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan sumber, karakteristik dan kandungan racun, gejala dan tanda yang disebabkan racun, dosis fatal, periode fatal, dan penatalaksanaan kasus keracunan. Periode fatal merupakan selang waktu antara masuknya racun dalam dosis fatal rata-rata sampai menyebabkan kematian pada rata-rata orang sehat (1). Dalam berbagai kepustakaan, terdapat berbagai pengertian tentang keracunan (poisoning) dan intoksikasi. Beberapa kepustakaan menyatakan pengertian keracunan dan intoksikasi berbeda, dimana keracunan dinyatakan sebagai over dosis yang mempunyai efek sentral sedangkan intoksikasi merupakan over dosis yang bersifat umum baik sentral maupun perifer. Namun kepustakaan lain menyatakan keracunan dan intoksikasi memiliki pengertian yang sama (2). Toksikologi forensik merupakan penerapan toksikologi untuk membantu investigasi medikolegal dalam kasus kematian, keracunan maupun penggunaan obat-obatan. Dalam hal ini, toksikologi mencakup pula disiplin ilmu lain seperti kimia analitik, farmakologi, biokimia dan kimia kedokteran. Seorang ahli toksikologi forensik harus mempertimbangkan keadaan suatu investigasi,

khususnya adanya catatan mengenai gejala fisik, dan adanya bukti apapun yang berhasil dikumpulkan dalam lokasi kriminal/kejahatan yang dapat mengerucutkan pencarian, misalnya adanya barang bukti seperti botol obat-obatan, serbuk, residu jejak dan zat toksik (bahan kimia) apapun yang ditemukan (2). Ahli toksikologi forensik harus dapat menentukan senyawa toksik apa yang terdapat dalam sampel, dalam konsentrasi berapa, dan efek yang mungkin terjadi akibat zat toksik tersebut terhadap seseorang (korban). Dalam mengungkap kasus kejahatan lingkungan, toksikologi forensik digunakan untuk memahami perilaku pencemar, mengapa dapat bersifat toksik terhadap biota dan manusia, dan sejauhmana risikonya, serta mengidentifikasi sumber dan waktu pelepasan suatu bahan pencemar (2).

B.

Prinsip Dasar dalam Investigasi Toksikologi Dalam menentukan jenis zat toksik yang menyebabkan keracunan,

seringkali menjadi rumit karena adanya proses yang secara alamiah terjadi dalam tubuh manusia. Jarang sekali suatu bahan kimia bertahan dalam bentuk asalnya di dalam tubuh. Bahan kimia, ketika memasuki tubuh akan mengalami proses ADME, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Zat toksik juga kemungkinan dapat mengalami pengenceran dengan adanya proses penyebaran ke seluruh tubuh sehingga sulit untuk terdeteksi (3). Walaupun zat racun yang masuk dalam ukuran gram atau miligram, sampel yang diinvestigasi dapat mengandung zat racun atau biomarkernya dalam ukuran mikrogram atau nanogram, bahkan hingga pikogram. Zat toksik dapat berada dalam bentuk fisik (seperti radiasi), kimiawi (seperti arsen, sianida) maupun

biologis (bisa ular). Juga terdapat dalam beragam wujud (cair, padat, gas). Beberapa zat toksik mudah diidentifikasi dari gejala yang ditimbulkannya, dan banyak zat toksik cenderung menyamarkan diri (3). Sulit untuk mengkategorisasi suatu bahan kimia sebagai aman atau

beracun. Tidak mudah untuk membedakan apakah suatu zat beracun atau tidak. Prinsip kunci dalam toksikologi ialah hubungan dosis-respon/Efek. Kontak zat toksik (paparan) terhadap organisme/tubuh dapat melalui jalur tertelan (ingesti), terhirup (inhalasi) atau terabsorpsi melalui kulit. Zat toksik umumnya memasuki organisme/tubuh dalam dosis tunggal dan besar (akut), atau dosis rendah namun terakumulasi hingga jangka waktu tertentu (kronis) (3).

C.

Toksisitas Racun Dalam pemeriksaan keracunan harus diperhatikan kondisi-kondisi yang

mempengaruhi fatalitas racun pada korban, baik pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan. Banyak substansi yang hanya bersifat toksik dalam jumlah yang besar tetapi ada yang bersifat toksik meskipun jumlahnya kecil. Demikian juga adanya substansi tertentu secara tersendiri tidak bersifat toksik atau toksisitasnya rendah tetapi dengan adanya substansi lain, menyebabkan substansi tersebut menjadi toksik. Hal yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan korban hidup, antara lain (4): 1) Toksisitas intrinsik Ikatan kimia (struktur kimia) suatu zat secara intrinsik membentuk sifat racun zat tersebut, misalnya unsur sodium. Ikatan sodium dengan unsur klorida menjadi NaCl tidak bersifat toksik dan hanya bersifat toksik dalam jumlah yang

sangat besar. Sedangkan ikatan sodium dengan sianida menjadi NaCN bersifat toksik meskipun dalam jumlah yang kecil. 2) Dosis dan bioavailabilitas Farmakokinetik untuk substansi yang bersifat sistemik sangat tergantung dosis zat yang masuk ke dalam tubuh dan kecepatan metabolisme zat terutama di organ detoksifikasi (hati). Metabolisme zat di dalam hati sebelum beredar ke dalam sirkulasi sistemik (first pass effect) sangat menentukan toksisitas zat yang masuk ke dalam tubuh secara oral. 3) Konsentrasi Fatalitas beberapa zat tergantung konsentrasi seperti halnya gas karbon monoksida (CO), asam kuat dan basa kuat. 4) Frekuensi dan waktu paruh Seringnya kontak, lama kontak (durasi) dan waktu paruh zat yang kontak juga mempengaruhi toksisitas racun seperti akumulasi logam berat (keracunan arsen, timah hitam). 5) Cara masuk zat ke dalam tubuh Cara masuk zat ke dalam tubuh sangat menentukan kecepatan absorbsi dan beredarnya zat secara sistemik. Penggunaan zat per oral relatif lebih lambat dibandingkan secara injeksi dan inhalasi sebab dipengaruhi oleh berbagai enzim pencernaan dan mengalami metabolisme awal di hati sebelum beredar ke dalam sirkulasi sistemik.

6)

Ko-medikasi Adanya zat lain (ko-medikasi) dapat meningkatkan toksisitas zat dengan

toksisitas rendah atau mengubah zat yang tidak toksik menjadi toksik. Alkohol merupakan ko-medikasi yang paling sering digunakan, yang dapat meningkatkan efek depresan dari obat-obat yang menekan sistem saraf pusat. Penggunaan kombinasi dari obat-obat terlarang merupakan ko-medikasi yang sering menimbulkan bahaya. 7) Kondisi pemakai Kondisi korban harus diperiksa dengan teliti terhadap adanya penyakitpenyakit yang melibatkan sistem metabolisme dan detoksifikasi, dimana penyakit tersebut dapat meningkatkan toksisitas suatu zat. Demikian juga halnya faktor umur, jenis kelamin, status gizi, reaksi alergi, dan idiosinkrasi.

D.

Bentuk Keracunan Berdasarkan Motif Salah satu tujuan pelayanan forensik klinik adalah memberikan informasi

atau fakta-fakta yang membuat terang kasus keracunan yang mencurigakan termasuk motif yang melatarbelakangi kasus tersebut. Dalam kasus tindak pidana harus dibuktikan adanya perbuatan yang salah (actua rheus) dan situasi batin yang melatarbelakangi tindakan tersebut (men rhea). Motif keracunan harus ditentukan sebagai unsur men rhea, apakah timbul akibat kecerobohan (recklessness), kealpaan (negligence) atau kesengajaan (intentional) (4). Secara umum, motif keracunan dapat dibedakan menjadi dua bentuk (tipe) berdasarkan korban keracunan, yaitu (4):

1)

Tipe S (spesific target) Menunjukkan bahwa korban keracunan hanya orang tertentu dan biasanya

antara pelaku dan korban sudah saling kenal. Motivasi yang biasanya melatarbelakangi, antara lain: uang, membunuh, pembunuhan lawan politik dan balas dendam. Keracunan tipe S berdasarkan terjadinya dibagi ke dalam dua sub grup yaitu: a. Sub grup S tipe S/S (spesific/slow) dimana keracunan terjadi secara perlahan dan direncanakan oleh pelaku. b. Sub grup Q tipe S/Q (spesific/quick) dimana keracunan terjadi secara mendadak dan tanpa perencanaan sebelumnya. 2) Tipe R (random target) Terjadi pada korban yang acak. Motivasi bentuk keracunan ini biasanya ego, sadistik, dan teror. Berdasarkan kejadiannya keracunan tipe R dibagi: a. Sub grup S tipe R/S (random/slow), terorisme merupakan salah satu benuk keracunan tipe ini bila racun yang dipakai sebagai alat untuk menjalankan teror. b. Sub tipe Q tipe R/Q

E.

Kriteria Diagnosis Kasus Keracunan Pemeriksaan korban keracunan pada prinsipnya sama secara medis maupun

secara forensik klinis meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan. Perbedaan yang ada adalah pada hasil akhir pemeriksaan, berupa sertifikasi yang memberi batuan pembuktian hukum terhadap korban. Sertifkasi yang dimaksud adalah diterbitkannya visum et repertum peracunan (5).

1)

Anamnesa yang menyatakan bahwa korban benar-benar kontak dengan racun (secara injeksi, inhalasi, ingesti, absorbsi, melalui kulit atau mukosa). Pada umumnya anamnesa tidak dapat dijadikan pegangan sepenuhnya

sebagai kriteria diagnostik, misalnya pada kasus bunuh diri keluarga korban tentunya tidak akan memberikan keterangan yang benar, bahkan malah cenderung untuk menyembunyikannya, karena kejadian tersebut merupakan aib bagi pihak keluarga korban (5). Dalam pemeriksaan forensik klinis, anamnesis dapat bersifat autoanamnesis bila korban kooperatif atau alloanamnesis baik terhadap keluarga korban atau penyidik. Beberapa hal yang perlu ditekankan dalam anamnesis meliputi (5): Jenis racun Cara masuk racun (route of administration) Data tentang kebiasaan dan kepribadian korban Keadaan psikiatri korban Keadaan kesehatan fisik korban Faktor yang menigkatkan efek letal zat yang digunakan seperti penyakit, riwayat alergi atau idiosinkrasi atau penggunaan zat-zat lain (ko-medikasi) 2) Tanda dan gejala-gejala yang sesuai dengan tanda / gejala keracunan zat yang diduga. Adanya tanda/gejala klinis biasanya hanya terdapat pada kasus yang bersifat darurat dan pada prakteknya lebih sering kita terima kasus-kasus tanpa disertai dengan data-data klinis tentang kemungkinan kematian karena kematian sehingga

harus dipikirkan terutama pada kasus yang mati mendadak, non traumatik yang sebelumnya dalam keadaan sehat (5). Tabel 1. Contoh zat-zat toksik dan gejalanya. Zat Toksik Asam (nitrat, hidroklorat, sulfat) Gejala Luka bakar pada kulit, mulut, hidung, membran mukosa

Anilin Arsen Atropin Basa (kalium, hidroksida) Kulit muka dan leher menghitam (gelap) Diare parah Pelebaran pupil mata Luka bakar pada kulit, mulut, hidung, membran mukosa Asam karbolat (atau fenol lainnya) Karbon monoksida Sianida Keracunan makanan Senyawa logam Nikotin Asam oksalat Natrium fluorida Striknin Bau desinfektan Kulit berwarna merah terang Kematian cepat, kulit memerah Muntah, nyeri perut Diare, muntah, nyeri perut Kejang Bau bawang putih Kejang Kejang, muka dan leher menghitam (gelap)

3)

Secara analisa kimia dapat dibuktikan adanya racun di dalam sisa makanan / obat / zat yang masuk ke dalam tubuh korban. Kita selamanya tidak boleh percaya bahwa sisa sewaktu zat yang digunakan

korban itu adalah racun (walaupun ada etiketnya) sebelum dapat dibuktikan secara analisa kimia, kemungkinan-kemungkinan seperti tertukar atau disembunyikannya

10

barang bukti, atau si korban menelan semua racun, kriteria ini tentunya tidak dapat dipakai (5). 4) Ditemukannya kelainan-kelainan pada tubuh korban, baik secara makroskopik atau mikroskopik yang sesuai dengan kelainan yang diakibatkan oleh racun yang bersangkutan. Bedah mayat (otopsi) mutlak harus dilakukan pada setiap kasus keracunan, selain untuk menentukan jenis-jenis racun penyebab kematian, juga penting untuk menyingkirkan kemungkinan lain sebagai penyebab kematian. Otopsi menjadi lebih penting pada kasus yang telah mendapat perawatan sebelumnya, dimana pada kasus-kasus seperti ini kita tidak akan menemukan racun atau metabolitnya, tetapi yang dapat ditemukan adalah kelainan-kelainan pada organ yang bersangkutan (5). 5) Secara analisa kimia dapat ditemukan adanya racun atau metabolitnya di dalam tubuh / jaringan / cairan tubuh korban secara sistemik. Pemeriksaan toksikologi (analisa kimia) mutlak harus dilakukan. Tanpa pemeriksaan tersebut, visum et repertum yang dibuat dapat dikatakan tidak memiliki arti dalam hal penentuan sebab kematian. Sehubungan dengan pemeriksaan toksikologis ini, kita tidak boleh terpaku pada dosis letal sesuatu zat, mengingat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kerja racun. Penentuan ada tidaknya racun harus dibuktikan secara sistematik, diagnosa kematian karena racun tidak dapat ditegakkan misalnya hanya berdasar pada ditemukannya racun dalam lambung korban (5).

11

Dari kelima kriteria diagnostik dalam menentukan sebab kematian pada kasus-kasus keracunan seperti tersebut di atas, maka kriteria keempat dan kelima merupakan kriteria yang terpenting dan tidak boleh dilupakan (5).

F.

Pemeriksaan Forensik Kasus Keracunan terhadap Koban yang Sudah Meninggal Beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan

keracunan pada korban yang sudah meninggal antara lain (6): 1) Pemeriksaan post mortem a. Pemeriksaan luar Pada pemeriksaan luar untuk kasus keracunan, kemungkinan didapatkan: Racun jenis tertentu mengeluarkan bau aroma yang khas, misalnya asam hidrosianida, asam karbonat, kloroform, alkohol, dll. Untuk menjaga keutuhan jenazah tidak boleh menggunakan cairan desinfektan yang mempunyai bau (aroma). Pada permukaan tubuh jenazah mungkin ditemukan bercak-bercak yang berasal dari muntahan, feses dan kadang-kadang jenis racun itu sendiri. Perubahan warna kulit, misalnya menjadi kuning pada keracunan fosfor dan keracunan akut akibat unsur tembaga sulfat. Keadaan pupil mata dan jari tangan yang lemas atau mengepal. Pemeriksaan lubang pada tubuh jenazah untuk melihat adanya tanda-tanda bekas zat korosif atau benda asing.

12

Livor mortis yang khas, merah terang, cherry red atau merah coklat (bila racunnya menyebabkan perubahan warna darah sehingga warna lebam jenazah mengalami perubahan.

b. Pemeriksaan dalam Pada umumnya tanda-tanda keracunan tampak pada traktus gastrointestinal, terutama jika keracunan akibat zat korosif atau iritan. Perubahan yang terjadi adalah (6): Hiperemia Warna kemerahan pada membran mukosa paling jelas terlihat pada bagian kardiak lambung dan pada bagian kurvatura mayor. Warnanya adalah merah gelap dan hiperemia ini bentuknya bisa merata atau bercak, misalnya pada keracunan arsen hiperemia adalah merah merata. Perubahan warna juga bisa muncul karena berbagai unsur lainnya seperti sari buah. Asam nitrat menyebabkan warna kuning pada usus. Hiperemia harus dibedakan dengan kongesti vena secara menyeluruh yang terjadi pda kematian akibat asfiksia. Gambaran yang membedakan dengan hiperemia yang disebabkan oleh penyakit adalah pada hiperemia karena penyakit sifatnya merata dan terdapat pada seluruh permukaan serta tidak berupa bercak, selain itu gambaran membran mukosa lebih banyak terkena pada kasus keracunan. Perlunakan Keadaan ini terjadi pada keracunan korosif, lebih sering terlihat pada kardiak lambung, kurvatura mayor, mulut, tenggorokan dan esofagus. Jika

13

disebabkan karena penyakit, gambaran ini hanya tampak pada lambung. Juga harus dibedakan dengan perlunakan post mortem yang terdapat pada bagian yang lebih rendah dan mengenai seluruh lapisan dinding lambung. Pada bagian yang mengalami perlunakan tidak ada tanda-tanda inflamasi. - Ulserasi Paling sering ditemukan ditemukan pada kurvatura mayor lambung dan harus dibedakan dengan tukak peptik yang paling sering terdapat di kurvatura minor lambung dan ditandai dengan adanya hiperemia di sekitar tukak tersebut. - Perforasi Sangat jarang terjadi, kecuali pada kasus keracunan asam sulfat. Perforasi juga bisa terjadi akibat tukak kronis, tetapi bentuk perforasi pada kasus ini biasannya lonjong atau bulat, pinggirnya melekuk ke arah luar dan lambung menunjukkan tanda-tanda perlekatan dengan jaringan sekitar. 2) Pemeriksaan kimia/toksikologi pada organ tubuh bagian dalam Ditemukannya jenis racun pada darah, feses, urin atau dalam organ tubuh merupakan bukti yang memastikan bahwa telah terjadi keracunan. Racun bisa ditemukan dalam lambung, usus halus, dan kadang-kadang pada hati, limpa dan ginjal. Organ tubuh dan bahan yang diperiksa antara lain (3): Urin dan feses Darah Lambung dan isinya Bagian dari usus halus (duodenum dan jejunum)

14

Hati Setengah bagian dari masing-masing ginjal Otak dan korda spinalis, terutama pada keracunan striknin Uterus dan organ-organ yang berkaitan dengan uterus, jika ada kecurigaan abortus kriminalis

3)

Paru-paru terutama pada keracunan kloroform Tulang, rambut, gigi dan kuku Organ tubuh lainnya yang dicurigai mengandung racun. Pengumpulan bukti-bukti dari sekitar tempat kejadian

G.

Analisis Toksikologi Analisis toksikologi merupakan pemeriksaan laboratorium yang berfungsi

untuk (4): 1. Analisa tentang adanya logam berat yang berbahaya. 2. Analisa tentang adanya racun. 3. Analisa tentang adanya asam sianida, fosfor dan arsen. 4. Analisa tentang adanya pestisida baik golongan organochlorin maupun organophospat. 5. Analisa tentang adanya obat-obatan misalnya: transquilizer, barbiturate, narkotika, ganja, dan lain sebagainya. Analisis toksikologi meliputi isolasi, deteksi, dan penentuan jumlah zat yang bukan merupakan komponen normal dalam material biologis yang didapatkan dalam otopsi. Terkadang material didapatkan dari pasien yang masih hidup, misalnya darah, rambut, potongan kuku atau jaringan hasil biopsi. Hasil

15

toksikologi disini membantu dalam menentukan kasus-kasus yang diduga keracunan. Jaringan tubuh masing-masing memiliki afinitas yang berbeda terhadap racun-racun tertentu, misalnya (4): Hepar dan ginjal adalah material yang paling baik untuk menentukan keracunan logam berat yang akut. Darah, tulang, kuku, dan rambut merupakan material yang baik untuk pemeriksaan keracunan logam yang bersifat kronis. Darah dan urin adalah material yang paling baik untuk analisa zat organik non volatile, misalnya obat sulfa, barbiturate, salisilat dan morfin. Jaringan otak adalah material yang paling baik untuk pemeriksaan racunracun organis, baik yang mudah menguap maupun yang tidak mudah menguap. Pada racun yang efeknya sistemik, harus dapat ditemukan dalam darah atau organ parenkim ataupun urin. Bila hanya ditemukan dalam lambung saja maka belum cukup untuk menentukan keracunan zat tersebut. Penemuan racun-racun yang efeknya sistemik dalam lambung hanyalah merupakan penuntun bagi seorang analis toksikologi untuk memeriksa darah, organ, dan urin ke arah racun yang dijumpai dalam lambung tadi. Untuk racun-racun yang efeknya lokal, maka penentuan dalam lambung sudah cukup untuk dapat dibuat diagnosa (4). Secara umum tugas analisis toksikolog forensik (klinik) dalam melakukan analisis dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahap yaitu: 1) penyiapan sampel sample preparation, 2) analisis meliputi uji penapisan screening test atau dikenal juga dengan general unknown test dan uji konfirmasi yang meliputi uji

16

identifikasi dan kuantifikasi, 3) langkah terakhir adalah interpretasi temuan analisis dan penulisan laporan analisis. Berbeda dengan kimia analisis lainnya (seperti: analisis senyawa obat dan makanan, analisis kimia klinis) pada analisis toksikologi forensik pada umumnya analit (racun) yang menjadi target analisis, tidak diketahui dengan pasti sebelum dilakukan analisis. Tidak sering hal ini menjadi hambatan dalam penyelenggaraan analisis toksikologi forensik, karena seperti diketahui saat ini terdapat ribuan atau bahkan jutaan senyawa kimia yang mungkin menjadi target analisis. Untuk mempersempit peluang dari target analisis, biasanya target dapat digali dari informasi penyebab kasus forensik (keracunan, kematian tidak wajar akibat keracunan, tindak kekerasan dibawah pengaruh obat-obatan), yang dapat diperoleh dari laporan pemeriksaan di tempat kejadian perkara (TKP), atau dari berita acara penyidikan oleh polisi penyidik (4). Analisis toksikologi forensik tidak diketemukan senyawa induk, melainkan metabolitnya. Sehingga dalam melakukan analisis toksikologi forensik, senyawa metabolit juga merupakan target analisis. Sampel dari toksikologi forensik pada umumnya adalah spesimen biologi seperti: cairan biologis (darah, urin, air ludah), jaringan biologis atau organ tubuh. Preparasi sampel adalah salah satu faktor penentu keberhasilan analisis toksikologi forensik disamping kehadalan penguasaan metode analisis instrumentasi. Berbeda dengan analisis kimia lainnya, hasil indentifikasi dan kuantifikasi dari analit bukan merupakan tujuan akhir dari analisis toksikologi forensik. Seorang toksikolog forensik dituntut harus mampu menerjemahkan apakah analit (toksikan) yang diketemukan dengan kadar tertentu dapat dikatakan sebagai penyebab keracunan (pada kasus kematian) (4).

17

H.

Kunci Pembuktian Kasus Keracunan Dalam pembuktian kasus keracunan sebagai tindak pidana, banyak hal yang

harus dibuktikan dan dalam pembuktiannya banyakmelibatkan dokter forensik klinis. Hal yang dibuktikan antara lain (3): 1) Bukti hukum (legally proving): bukti hukum yang dapat diterima di pengadilan (adminissible) sangat tergantung dari keaslian bukti tersebut sehingga penatalaksanaan terhadap bukti-bukti pada korban sangat diperlukan. Terlebih lagi pada kasus tindak pidana yang memerlukan standar pembuktian dengan tingkat kepercayaan yang lebih tinggi yaitu sampai tidak ada keraguan yang beralasan. 2) 3) Pembuktian motif keracunan Kondisi yang memungkinkan dapat diperolehnya racun seperti adanya resep, toko obat atau toko yang menyediakan substansi yang digunakan. 4) Bukti-bukti pada korban seperti kebiasaan korban, gangguan kepribadian, kondisi kesehatan, dan penyakit serta kesempatan dilibatkannya racun. 5) 6) Bukti kesengajaan (intentional) Bila korban meninggal harus ditentukan sebab kematian korban adalah racun dengan menyingkirkan sebab kematian yang lainnya. 7) Bukti peracunan adalah homicide. Dari 7 bukti pembuktian kasus keracunan, tampak bantuan dokter sangat diperlukan dalam beberapa langkah terutama (3): Pengumpulan, pencatatan dan interpretasi bukti keracunan medis dalam upaya memberikan pembuktian hukum

18

Menemukan bukti-bukti pada korban seperti kebiasaan, kondisi fisik dan keadaan psikiatri korban

Penentuan sebab kematian bila korban dengan mengeklusi penyebab kematian lainnya.

I. 1)

Jenis-Jenis Keracunan Keracunan Karbon Monoksida (CO) Karbon monoksida (CO) adalah racun yang tertua dalam sejarah manusia.

Sejak dikenal cara membuat api, manusia senantiasa terancam oleh asap yang mengandung CO. Gas CO adalah gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan tidak meransang selaput lendir, sedikit lebih ringan dari udara sehingga mudah menyebar (7). Pemeriksaan Kedokteran Forensik Keracunan CO Diagnosis keracunan CO pada korban hidup biasanya berdasarkan anamnesis adanya kontak dan di temukannya gejala keracunan CO. Pada korban yang mati tidak lama setelah keracunan CO, ditemukan lebam mayat berwarna merah terang (cherry pink colour) yang tampak jelas bila kadar COHb mencapai 30% atau lebih. Warna lebam mayat seperti itu juga dapat ditemukan pada mayat yang di dinginkan, pada korban keracunan sianida dan pada orang yang mati akibat infeksi oleh jasad renik yang mampu membentuk nitrit, sehingga dalam darahnya terbentuk nitroksi hemoglobin. Meskipun demikian masih dapat di bedakan dengan pemeriksaan sederhana (7).

19

Gambar 1. Cherry pink colour Pada mayat yang didinginkan dan pada keracunan CN, penampang ototnya berwarna biasa, tidak merah terang. Juga pada mayat yang di dinginkan warna merah terang lebam mayatnya tidak merata selalu masih ditemukan daerah yang keunguan (livid). Sedangkan pada keracunan CO, jaringan otot, visera dan darah juga berwarna merah terang. Selanjutnya tidak ditemukan tanda khas lain (6). Kadang-kadang dapat ditemukan tanda asfiksia dan hiperemia visera. Pada otak besar dapat ditemukan petekiae di substansia alba bila korban dapat

bertahan hidup lebih dari jam. Pada analisa toksikologi darah akan di temukan adanya COHb pada korban keracunan CO yang tertunda kematiannya sampai 72 jam maka seluruh CO telak di eksresi dan darah tidak mengandung COHb lagi, sehingga ditemukan lebam mayat berwarna livid seperti biasa demikian juga jaringan otot, visera dan darah (7). Kelainan yang dapat di temukan adalah kelainan akibat hipoksemia dan komplikasi yang timbul selama penderita di rawat. Otak, pada substansia alba dan korteks kedua belah otak, globus palidus dapat di temukan petekie. Kelainan ini tidak patognomonik untuk keracunan CO, karena setiap keadaan hipoksia otak

20

yang cukup lama dapat menimbulkan petekiae. Pemeriksaan mikroskopik pada otak memberi gambaran (7): Pembuluh-pembuluh halus yang mengandung trombihialin Nekrosis halus dengan di tengahnya terdapat pembuluh darah yang mengandung trombihialin dengan pendarahan di sekitarnya, lazimnya

disebut ring hemorrage Nekrosis halus yang di kelilingi oleh pembuluh-pembuluh darah yang mengandung trombi Ball hemorrgae yang terjadi karena dinding arterior menjadi nekrotik akibat hipoksia dan memecah. Pada miokardium di temukan perdarahan dan nekrosis, paling sering di muskulus papilaris ventrikal kiri. Pada penampang memanjangnya, tampak bagian ujung muskulus papilaris berbercak-bercak perdarahan atau bergaris-garis seperti kipas berjalan dari tempat insersio tendinosa ke dalam otak. Ditemukan eritema dan vesikal / bula pada kulit dada, perut, luka, atau anggota gerak badan, baik di tempat yang tertekan maupun yang tidak tertekan. Kelainan tersebut di sebabkan oleh hipoksia pada kapiler-kapiler bawah kulit. Pneunomonia hipostatik paru mudah terjadi karena gangguan peredaran darah. Dapat terjadi trombosis arteri pulmonalis.

21

2)

Keracunan Sianida Sianida (CN) merupakan racun yang sangat toksik, karena garam sianida

dalam takaran kecil sudah cukup untuk menimbulkan kematian pada seseorang dengan cepat. Kematian akibat keracunan CN umumnya terjadi pada kasus bunuh diri dan pembunuhan. Tetapi mungkin pula terjadi akibat kecelakaan di laboratorium, pada penyemprotan (fumigasi) dalam pertanian dan penyemprotan di gudang-gudang kapal (7). Pemeriksaan Kedokteran Forensik Keracunan Sianida Pada pemeriksaan korban mati, pada pemeriksaan bagian luar jenazah, dapat tercium bau amandel yang patognomonig untuk keracunan CN, dapat

tercium dengan cara menekan dada mayat sehingga akan keluar gas dari mulut dan hidung. Bau tersebut harus cepat dapat ditentukan karena indra pencium kita cepat teradaptasi sehingga tidak dapat membaui bau khas tersebut. Harus dingat bahwa tidak semua orang dapat mencium bau sianida karena kemampuan untuk mencium bau khas tersebut bersifat genetik sex-linked trait (7). Sianosis pada wajah dan bibir, busa keluar dari mulut, dan lebam mayat berwarna terang, karena darah vena kaya akan oksi-Hb. Tetapi ada pula yang mengatakan karena terdapat Cyanmet-Hb. Pada pemeriksaan bedah jenazah dapat tercium bau amandel yang khas pada waktu membuka rongga dada, perutdan otak serta lambung (bila racun melalui mulut) darah, otot dan penampang tubuh dapat berwarna merah terang. Selanjutnya hanya ditemukan tanda-tanda asfiksia pada organ tubuh (7).

22

Pada korban yang menelan garam alkalisianida, dapat ditemukan kelainan pada mukosa lambung berupa korosi dan berwarna merah kecoklatan karena terbentuk hematin alkali dan pada perabaan mukosa licin seperti sabun. Korosi dapat mengakibatkan perforasi lambung posmortal (7). yang dapat terjadi antemortal atau

3)

Keracunan Arsen (As) Senyawa arsen dahulu sering mengunakan sebagai racun untuk membunuh

orang lain, dan tidaklah mustahil dapat ditemukan kasus keracunan dengan arsen dimasa sekarang ini. Disamping itu keracunan arsen kadang-kadang dapat terjadi karena kecelakaan dalam industri dan pertanian akibat memakan/meminum makanan/minuman yang terkontaminasi dengan arsen. Kematian akibat keracunan arsen sering tidak menimbulkan kecurigaan karena gejala keracunan akutnya menyerupai gejala gangguan gastrointestinal yang hebat sehingga dapat didiagnosa sebagai suatu penyakit (7). Pemeriksaan Kedokteran Forensik As Korban mati keracunan akut. Pada pemeriksaan luar ditemukan tanda-tanda dehidrasi. Pada pembedahan jenazah ditemukan tanda-tanda iritasi lambung, mukosa berwarna merah, kadang-kadang dengan perdarahan (flea bitten appearance). Iritasi lambung dapat menyebabkan produksi musin yang menutupi mukosa dengan akibat partikel-partikel As berwarna kuning sedangkan As2O3 tampak sebagai partikel berwarna putih (7). Pada jantung ditemukan perdarahan sub-endokard pada septum. Histologik jantung menunjukkan infiltrasi sel-sel radang bulat pada miokard. Sedangkan

23

organ lain parenkimnya berwarna putih. Korban mati akibat keracunan arsin. Bila korban cepat meninggal setelah menghirup arsen, akan terlihat tanda-tanda kegagalan kardiorespirasi akut. Bila meninggalnya lambat, dapat ditemukan ikterus dengan anemia hemolitik, tanda-tanda kerusakan ginjal berupa degenerasi lemak dengan nekrosis fokal serta nekrosis tubuli. Korban mati akibat keracunan kronik. Pada pemeriksaan luar tampak keadaan gizi buruk. Pada kulit terdapat pigmentasi coklat (melanosis arsenik) (7).

Gambar 2. Melanosis arsenik 4) Keracunan Alkohol Alkohol banyak terdapat dalam berbagai minuman dan sering menimbulkan keracunan. Keracunan alkohol menyebabkan penurunan daya reaksi atau kecepatan, kemampuan untuk menduga jarak dan ketrampilan mengemudi sehingga cenderung menimbulkan kecelakaan lalu-lintas di jalan, pabrik dan sebagainya. Penurunan kemampuan untuk mengontrol diri kapasitas untuk berfikir kritis mungkin menimbulkan dan hilangnya yang

tindakan

melanggarhukum seperti perkosaan, penganiayaan, dan kejahatan lain ataupun tindakan bunuh diri (7).

24

Pemeriksaan Kedokteran Forensik Keracunan Alkohol Pada orang hidup, bau alkohol yang keluar dari udara pernapasan

merupakan petunjuk awal. Petunjuk ini harus dibuktikan dengan pemeriksaan kadar alkohol darah, baik melalui pemeriksaan udara pernapasan atau urin,

maupun langsung dari darah vena. Kelainan yang ditemukan pada korban mati tidak khas, Mungkin ditemukan gejala-gejala yang sesuai dengan asfiksia.

Seluruh organ menunjukkan tanda perbendungan, darah lebih encer, berwarna merah gelap. Mukosa lambung menunjukkan tanda perbendungan, kemerahan dan tanda inflamasi tapi kadang-kadang tidak ada kelainan (7). Organ-organ termasuk otak dan darah berbau alkohol. Pada pemeriksaan histopatologik dapat dijumpai edema dan pelebaran pembuluh darah otak dan selaput otak, degenerasi bengkak keruh pada bagian parenkim organ dan inflamasi mukosa saluran cerna. Pada kasus keracunan kronik yang, meninggal, jantung dapat memperlihatkan fibrosis interstisial, hipertrofi serabut otot jantung, sel-sel radang kronik pada beberapa tempat, gambaran seran lintang otot jantung

menghilang, hialinisasi, edema dan vakuolisasi serabut otot jantung. Schneider melaporkan miopati alhokolik akut dengan miohemoglobinuri yang disebabkan oleh nekrosis tubuli ginjal dan kerusakan miokardium (7).

25

You might also like

  • Laporan
    Laporan
    Document1 page
    Laporan
    Shinta Kartika Nur Aisah
    No ratings yet
  • Alergi
    Alergi
    Document10 pages
    Alergi
    Shinta Kartika Nur Aisah
    No ratings yet
  • Bab I
    Bab I
    Document2 pages
    Bab I
    Shinta Kartika Nur Aisah
    No ratings yet
  • New Threat Found
    New Threat Found
    Document2 pages
    New Threat Found
    Shinta Kartika Nur Aisah
    No ratings yet
  • Interaksi Obat
    Interaksi Obat
    Document1 page
    Interaksi Obat
    Shinta Kartika Nur Aisah
    No ratings yet
  • Bab I
    Bab I
    Document2 pages
    Bab I
    Shinta Kartika Nur Aisah
    No ratings yet
  • Bab I
    Bab I
    Document2 pages
    Bab I
    Shinta Kartika Nur Aisah
    No ratings yet
  • Bab I
    Bab I
    Document2 pages
    Bab I
    Shinta Kartika Nur Aisah
    No ratings yet
  • Apakah Demam Dengue
    Apakah Demam Dengue
    Document2 pages
    Apakah Demam Dengue
    Henni Pus Vera
    No ratings yet
  • Pemeriksaan Makanan Dan Minuman
    Pemeriksaan Makanan Dan Minuman
    Document25 pages
    Pemeriksaan Makanan Dan Minuman
    Shinta Kartika Nur Aisah
    No ratings yet
  • Protein
    Protein
    Document3 pages
    Protein
    Shinta Kartika Nur Aisah
    No ratings yet
  • Lampiran 1
    Lampiran 1
    Document1 page
    Lampiran 1
    Shinta Kartika Nur Aisah
    No ratings yet
  • Referat Luka Tembak
    Referat Luka Tembak
    Document19 pages
    Referat Luka Tembak
    Shinta Kartika Nur Aisah
    No ratings yet
  • Tugas Forensik
    Tugas Forensik
    Document19 pages
    Tugas Forensik
    Shinta Kartika Nur Aisah
    No ratings yet
  • Tuberkulosis Milier
    Tuberkulosis Milier
    Document15 pages
    Tuberkulosis Milier
    Shinta Kartika Nur Aisah
    No ratings yet