You are on page 1of 20

TINJAUAN PUSTAKA DEFiNISI Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keaadaan yang ditandai oleh bangkitan (seizure) berulang sebagai

akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermiten, yang disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara pparoksismal, dan disebabkan oleh berbagai etiologi. Sedangkan bangkitan epilepsi (epileptic seizure) adalah manifestasi klinik dari bangkitan serupa (stereotipik),berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak, bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked) ETIOLOGI Penyebab bangkitan berulang yang dimuali pada usia 35-60 tahun dipikirkan kemungkinan penyebab seperti trauma, neoplasma, penyakit vaskuler, withdrawal alkohol atau obat sedatifhipnotif lainnya. Sedangkan pada usia lebih dari 60 tahun dipikirkan penyakit vaskuler, tumor penyakit degeneratif, trauma, oleh karena itu late onset epilepsy memerlukan perhatian khusus serta dievaluasi dan dicari penyebabnya. Menurut Shapiro Menurut Shapiro dan kawan-kawan (1990) penyebab late onset epilepsi sebagian besar masih belum diketahui. Pendapat ini juga didukung oleh penelitian Jimenez dan kawan-kawan (1990), dimana penyebab epilepsi 53% tidak diketahui, 20% penyakit serebrovaskuler, 10% peminum alkohol kronis, 6,3% tumor dan 2,5% post trauma kapitis. Apabila terjadi setelah usia 60 tahun penyebab terserung adalah penyakit serebrovaskuler. Menurut Dam (1985), penyebab late onset epilepsy 38%, tak diketahui, 16% tumor, 14% Infark serebri, 23% peminum alkohol kronis, 4% trauma kepala, 4,5% karena penyebab lain (skuele ensefalitis, abses otak, pecahnya aneurysma, leukoencephalopathy, angioma vena serebral). Tumor Otak Tumor otak sebagai kemungkinan penyebab late onset epilepsy telah menarik perhatian semenjak jasper dan Penfield (1954) meneliti penyebab epilepsi pada orang dewasa muda dan usia pertengahan, dan penyebab tersering adalah tumor otak. Insiden tumor otak sebagai penyebab late onset epilepsy bervariasi, tergantung dari kriteria seleksi dan metode penelitian.

Sebelum era computerized tomography (CT) scan, tumor otak didiagnose sekitar 1-40% dari pasen late onset epilepsy (marlis, 1974). Setelah era CT Scan, prosentase pasen tumor otak bervariasi sekitar 3-16% (Gastaut 1977). Walaupun CT scan memperbaiki dalam mendiagnose tumor otak, namun kadang juga memberikan gambaran yang salah. Wendt (1982) melaporkan beberapa kasus late onset epilepsy yang disebabkan tumor otak yang tidak terdiagnosa sampai beberapa tahun setelah onset epilepsi dan setelah beebrapa kali dilakukan CT scan. Penemuan ini sesuai dengan yang diteliti oleh Young 1982. Insiden tumor otak meningkat secara bertahap pada kasus bengkitan fokal, dimana sekitar 3040% memberikan gejala bangkitan fokal. Sebagian besar tumor otak yang menyebabkan bangkitan terletak pada kortesk serebri, dan biasanya pada tumor jinak yaitu meningioma glioma jinak, sedangkan glioma ganas lebih jarang menyebabkan bangkitan. Insiden timbulnya bangkitan pada meningioma 67%, astrocytoma 70%, malignan glioma 37%. Tumor otak 40% umumnya memberikan gejala bangkitan. Jarak antara timbulnya bangkitan dengan gejala yang lain akibat tumor otak bervariasi, ada yang segera diikuti oleh gejala neurologi fokal terutama yang disebabkan oleh malignan glioma, namun ada juga yang sampai 20 tahun setelah timbul gejala bangkitan baru timbul gejala lain.4 Kenapa beberapa pasien tumor otak bisa timbul bangkitan sedang beberapa pasien lain tidak masih belum diketahui dengan jelas, karena setelah tumornya diangkat sering bangkitan tidak berhenti. Hal ini dianggap bahwa kerusakan korteks serebri sebagai sumber bangkitan tetapi penyebab karena lesi struktural, fungsional atau biokimia masih belum diketahui.4

Penyakit serebrovaskuler Kelainan vaskuler diperkirakan sekitar 10-20% sebagai penyebab late onset epilepsy. Epilepsi yang terjadi pada usia lebih dari 50 tahun sekitar 50% atau lebih penyebabnya karena vaskuler. Diperkirakan 25 % karena Infark di kortikal. 50% pasien timbul bangkitan pada minggu pertama setelah stroke, dan makin awal timbul bangkitan biasanya remisi spontan daripada yang timbul akhir. Bangkitan terbanyak berupa bangkitan parsial sederhana. Penelitian Shapiro (1990), pada 50 pasen late onset epilepsy yang berusia 50 tahun keatas, yang tidak diketahui sebabnya, ternyata mereka mempunyai factor resiko vaskuler lebih tinggi dibanding normal kotrol. Faktor resiko tersebut adalah hipertensi, ischemic hard disease, diabetes mellitus dan merokok, sehingga dianggap bahwa pada pasien penelitian ini telah terjadi stroke lakuner sebagai penyebab epilepsi. Vaskuler malformation dan anurysma dapat menimbulkan bangkitan kronik akibat bocornya

darah kesekitar di korteks atau karena adanya efek iritasi dari masa tersebut. Vaskular malformation, 25-40% gejala pertamanya berupa kejang. Pada sebagian besar pasen mulai timbul gejala bangkitan fokal atau umum pada usia remaja atau dewasa muda. Gejala bangkitan fokal mungkin tidak diketahui bila segera diikuti bangkitan umum. Vaskuler malformation sering terletak di lobus parietal atau occipital, maka gejala bangkitan fokal berbentuk sensorik atau visual. Bila seorang usia muda mendapat serangan ilusi atau halusinasi visual secara episodik maka kemungkinan AVM sebaiknya dipikirkan. Anuerysma kadang menimbulkan kejang, mungkin disebabkan penekanan pada jaringan korteks. Aneurysma yang terleatk pada percabangan pertama dan kedua arteri serebri media yang berjalan didalam fissura sylvii memberikan gejala kardinal berupa hemiplegi, dyspasia, gangguan lapang pandang, dan bangkitan fokal.4

Trauma Kapitis Untuk mempelajari hubungan trauma kapitis dengan epilepsi banyak peneliti memakai data dari perang sipil di Korea atau di Vietnam, juga pada berdasarkan data kedua perang dunia. Anneger dan kawan-kawan (1980), melakukan penelitian pada 2747 pasen trauma kapitis di klinik Mayo Minnesota. Trauma kapitis diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Berat Kontusio serebri, hematom intrakranial atau intra serebral atau hilangnya kesadaran atau amnesia lebih dari 24 jam. 2. Moderat Fraktur tulang kepala, atau 30 menit sampai 24 jam hilangnya kesadaran atau amnesia. 3. Ringan Hilang kesadaran atau amnesia sejenak. Bangkitan yang terjadi pada minggu pertama (early seizures) dari semua klassifikasi tersebut 2,1%, untuk trauma kapitis yang berat early seizures terjadi pada 10,3% pada pasen dewasa. Bangkitan yang terjadi lewat minggu pertama (late seizures) pada trauma kapitis berat, bangkitan yang terjadi pada satu tahun kemudian 7,1% , 5 tahun kemudian 1,6%, untuk trauma kapitis moderat 0,7% dan 1,6%, dan untuk trauma kapitis ringan 0,1% dan 0,6%. Insiden bangkitan setelah trauma kapitis ringan tak signikan lebih besar dibanding populasi umum. Pada early seizure kemungkinan menjadi late onset epilepsy 4 kali lebih banyak daripada yang tanpa early seizure, terutama pada trauma kapitis berat dan moderat. Penelitian pada tentara korban perang di Korea sebanyak 109 kasus menunjukkan postconcussion

traumatik epilepsi terjadi pada tahun pertama sekitar 50-60%, pada dua tahun setelah trauma kapitis berkembang menjadi 85%.4 Infeksi Abses Otak Epilepsi sering sebagai komplikasi dari abses otak supratentorial. Pada penelitian oleh Legg dan kawan-kawan(1973), 72% dari 70 pasen dengan abses supratentorial timbul bangkitan pada 1 bulan kemudian hingga 15 tahun, namun tersering setelah 1 tahun pengobatan. Bentuk epilepsi 50% grandmal. Cysticerocosis Cysticerocosis adalah terinfeksi bentuk larva atau stadium intermidiete dari Taenia sollium. Cysticerocosis bisa menyebabkan epilepsi dan kelainan neurologis yang lain. Biasanya penyakit ini menimbulkan lesi kasifikasi yn multipel di otot paha, betis, bahu dan serebrum. Manifestasi Cerebral berhubungan dengan bentuk kista dan selanjutnya mengalami klassifikasi dari larva didalam parenkim serebral, ruang subarakhnoid dan ventrikel. Gejala neurologis tersering adalah timbulnya bangkitan, walaupun kadang tanpa gejala dan kista ditemukan saat pemeriksaan radiologi. Meningitis dan ensefalitis dapat menimbulkan epilepsi akut, setelah terapi yang efektif, perubahan struktur dapat menimbulkan lesi epileptogenik yang kronik. Sekarang Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) merupakan penyebab neurologis yang penting, disfungsi dari serebral akibat infeksi oportunistik berhubungan dengan lympohomas susunan saraf pusat dan ensefalpati yang disebabkan langsung oleh virus human immuno difisiensi (HIV) dimana hal bisa menimbulkan bangkitan epilepsi, dilaporkan 14% bangkitan terjadi pada pasen AIDS dewasa dengan lympomas susunan saraf pusat.4 Alkohol Dalam hal ini adalah peminum alkohol kronik tidak termasuk bangkitan akibat withdrawal. Pada alkohol kronis bisa menimbulkan serebral atropi, diagnose serebral atropi biasanya berdasarkan pemeriksaan radiologis. Pada alkoholik muda, dengan atau tanpa gejala penyakit serebral, memprlihatkan penyakit serbral, memperlihatkan pelebaran ventrikel dan sulkus, terutama di lobus frontal, hal ini juga ditemukan alkoholik kronis pada pemeriksaan dengan CT scan. Hubungan secara klinis dengan kelainan radiologis tersebut memang belum jelas. Pada beberapa pasen serebral atropi dianggap sebagai komplikasi penggunaan alkohol, sebagai contoh pasen yang di otopsi dengan Wernicke-Korsakoff syndrome memperlihatkan pelebaran ventrikel laterale dan ventrikel tiga serta atropi lobus frontalis. Pada pasen

alkoholik dengan riwayat sering timbul bangkitan dan tidak ditemukan penyebab lain, juga didapatkan pelebaran ventrikel. Dam (1985), meneliti pasen late onset epilepsy yang alkoholik, 74% didapatkan serbral atropi. Penyakit Degeneratif Penyakit degeneratif kadang-kadang bangkitan epilepsi. 2% pasen dengan multi sklerosis didapatkan bangkitan. Pasen dengan demensia presenilis atau senilis tyope Alzheimer mempunyai kemungkinan terjadinya epilepsi 10 kali lipat. Penyebab tak diketahui (unknown couse) Disini baik secara anamnesa maupun periksaan klinis serta CT scan tak ditemukan sebagai penyebab dari late onset epilepsy. Menurut penelitian Dam (1985), maupun menurut Saphiro penyebab late onset epilepsy sebagian besar tidak diketahui, namun untuk kelompok usia diatas 50 tahun adanya faktor resiko vaskuler perlu dicari.

PATOFISIOLOGI Bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi neurotransmiter eksitatorik dan inhibitorik di otak. Keadaan ini bisa disebabkan sekresi neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik yang selanjutnya berperan pada reseptor NMDA atau AMPA di post-sinaptik. Keterlibatan reseptor NMDA subtipe dari reseptor glutamat (NMDAR) disebut-sebut sebagai patologi terjadinya kejang dan epilepsi. Secara farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR ini merupan prinsip kerja dari obat antiepilepsi. Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan adanya beberapa faktor yang bertanggungjawab atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan pada ligand-gate (sub unit dari reseptor nikotinik) begitu juga halnya dengan voltage-gate (kanal natrium dan kalium). Hal ini terbukti pada epilepsi lobus frontalis yang ternyata ada hubungannya dengan terjadinya mutasi dari resepotor nikotinik subunit alfa 4.9 Berbicara mengenai kanal ion maka peran natrium, kalium dan kalsium merupakan ion-ion yang berperan dalam sistem komunikasi neuron lewat reseptor. Masuk dan keluarnya ion-ion ini menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan dalam komunikasi sesame neuron.9 Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka bangkitan listrik akan juga terganggu sebagaimana pada penderita epilepsi. Kanal ion ini berperan dalam kerja reseptor neurotransmiter tertentu.

Dalam hal epilepsi dikenal beberapa neurotransmiter seperti gamma aminobutyric acid (GABA) yang dikenal sebagai inhibitorik, glutamat (eksitatorik), serotonin (yang sampai sekarang masih tetap dalam penelitian kaitan dengan epilepsi, asetilkholin yang di hipokampus dikenal sebagai yang bertanggungjawab terhadap memori dan proses belajar.2,6

KLASIFIKASI Terdapat berbagai cara klasifikasi, klafikikasi yang ditetapkan oleh International League Against Epilepsy (ILAE) terdiri dari jenis klasifikasi, yaitu klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi dan klasifikasi untuk sindrom, untuk kepentingan klinis, biasanya digunakan kiasifikasi berdasarkan sifat serangan:2,5 Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsy. I. Serangan parsial. A. Serangan sederhana Dengan manifestasi motorik Dengan manifestasi sensorik Dengan manifestasi autonomik Dengan manifestasi psikik B. Serangan parsial kompleks (dapat diikuti dengan automatisme) Dengan gambaran parsial sederhana (AlA4) pada awalnya, disusul serangan lena (absence) Dengan serangan lena pada awalnya C. Serangan umum sekunder dengan evolusi dan serangan parsial sederhana/kompleks menjadi serang umum. Parsial sederhana yang menjadi umum tonik-klonik Parsial kompleks menjadi umum tonik klonik Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik2,5 II. Serangan umum A. Serangan lena (petit mal) B. Serangan mioklonik C. Serangan klonik D. Serangan tonik E. Serangan tonik-klonik (grand mal)

F. Serangan atonik III. Serangan tak tergolongkan

MANIFESTASI KLINIS Epilepsi parsial ( 20% dari seluruh kasus epilepsi). Bangkitan parsial sederhana Dimulai dengan muatan listrik di bagian otak tertentu dan muatan ini tetap terbatas di daerah tersebut, dimana tidak terjadi perubahan kesadaran. Penderita mengalami sensasi, gerakan atau kelainan psikis yang abnormal, tergantung kepada daerah otak yang terkena. Jika terjadi di bagian otak yang mengendalikan gerakan otot lengan kanan, maka bangkitan dimulai dari lengan kanan yang akan bergoyang dan mengalami sentakan, tungkai atau muka (unilateral/fokal) kemudian menyebar pada sisi yang sama (jacksonian march), kepala juga mungkin berpaling kea rah bagian tubuh yang mengalami kejang (adversif). Jika terjadi pada lobus temporalis anterior bagian dalam, maka penderita akan mencium bau yang sangat menyenangkan atau sangat tidak menyenangkan. Pada penderita yang mengalami kelainan psikis bisa mengalami deja vu (merasa pernah mengalami keadaan sekarang di masa yang lalu). Bangkitan sensorik Bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus epileptogen pada koteks sensorik. Bangkitan somato sensorik dengan focus terletak di gyrus post centralis memberi gejala kesemutan, nyeri pada salah satu bagian tubuh, perasaan posisi abnormal atau perasaan kehilangan salah satu anggota badan. Aktivitas listrik pada bangkitan ini dapat menyebar ke neuron sekitarnya dan dapat mencapai korteks motorik sehingga terjadi kejangkejang. Bangkitan parsial kompleks Bangkitan fokal disertai terganggunya kesadaran, yang sering diikuti oleh automatisme yang stereotipik seperti mengunyah, menelan, tertawa, dan kegiatan motorik lainnya tanpa tujuan yang jelas, atau kepala mungkin berpaling ke arah bagian tubuh yang mengalami kejang (adversif).

Bangkitan umum sekunder Berkembang dari bangkitan parsial sederhana atau kompleks yang dalam waktu singkat menjadi bangkitan umum, bangkitan parsial dapat berupa aura, dan bangkitan umum yang terjadi biasanya bersifat kejang tonik-klonik. Gejala kejang berdasarkan sisi otak yang terkena Sisi otak yang terkena Lobus frontalis/precentral Lobus oksipitalis Lobus parietalis tertentu Lobus temporalis kompleks misalnya berjalan berputar-putar Lobus temporalis anterior Lobus temporalis anterior sebelah dalam yang tidak menyenangkan DIAGNOSIS Ada 3 langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu: Langkah pertama : memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksismal menunjukkan bangkitan epilepsy atau bukan epilepsy Langkah kedua: apabila benar terdapat bangkitan epilepsy, maka tentukanlah bangkitan yang ada termasuk jenis bangkitan yang mana Langkah ketiga: tentukan etiologi, sindrom epilepsi apa yang ditunjukkan oleh bangkitan tadi, atau epilepsi apa yang diderita oleh pasien. Diagnosis epilepsy ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda klinik dalam bentuk bangkitan epilepsy berulang (minimum 2 kali) yang ditunjang oleh gambaran epileptiform pada EEG. Secara lengkap urutan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis adalah sebagai berikut: 1. Anamnesis (auto dan alo-anamnesis) Pola/ bentuk bangkitan Lama bangkitan Gejala sebelum, selama dan pasca bangkitan Frekuensi bangkitan Gerakan mengunyah, gerakan bibir mencium Halusinasi bau, baik yg menyenangkan maupun Halusinasi gambaran dan perilaku repetitif yang Gejala Kedutan pada otot tertentu Halusinasi kilauan cahaya Mati rasa atau kesemutan di bagian tubuh

Factor pencetus Ada/ tidak adanya penyakit lain yang diderita sekarang Usia pada saat terjadinya bangkitan pertama Riwayat pada saat dalam kandungan, kelahiran dan perkembangan bayi/ anak Riwayat terapi epilepsy sebelumnya Riwayat penyakit epilepsy dalam keluarga

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologic Melihat adanya tanda-tanda dari gangguann yang berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologic fokal atau difus, kecanduan alcohol atau obat terlarang dan kanker. 3. Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai dengan indikasi dan bila memungkinkan Pemeriksaan elektro-ensefalografi (EEG) o Rekaman EEG sebaiknya dilakukan pada saat bangun, tidur, dengan stimulasi fotik, hiperventilasi, stimulasi tertentu sesuai pencetus bangkitan (pada epilepsy reflex) o Kelainan epileptiform EEG interiktal (di luar bangkitan) pada orang dewasa dapat ditemukan sebesar 29-38%, pada pemeriksaan ulang gambaran epileptiform dapat meningkat menjadi 59-77%. o Bila EEG pertama normal sedangkan persangkalan epilepsy sangat tinggi, maka dapat dilakukan EEG ulangan dalam 24-48 jam setelah bangkitan atau dilakukan dengan persyaratan khusus, misalnya kurangi tidur (sleep deprivation), atau dengan menghentikan obat anti-epilepsi (OAE). o Indikasi pemeriksaan EEG : 1. Membantu menegakkan diagnosis epilepsi. 2. Menentukan prognosis pada kasus tertentu 3. Pertimbangan dalam penghentian OAE 4. Membantu dalam menentukan letak focus 5. Bila ada perubahan bentuk bangkitan dari bangkitan sebelumnya. Pemeriksaan pencitraan otak (brain imaging), dengan indikasi : o Semua kasus bangkitan pertama yang diduga ada kelainan structural o Adanya perubahan bentuk bangkitan o Terdapat defisit neurologik fokal o Epilepsi dengan bangkitan parsial

o Bangkitan pertama di atas usia 25 tahun o Untuk persiapan tindakan pembedahan epilepsi Magnetic Resonance Imaging (MRI) o MRI merupakan prosedur pencitraan pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan Computed Tomography (CT scan) o MRI dapat mendeteksi sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa o Pemeriksaan MRI diindikasikan untuk epilepsi yang sangat mungkin memerlukan terapi pembedahan. Pemeriksaan Laboratorium o Darah : hemoglobin, lekosit, hematokrit, trombosit, apusan darah tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnesium), kadar gula, fungsi hati (SGOT, SGPT, Gamma GT, alkali fosfatase), ureum, kreatinin, dan lainnya atas indikasi. o Cairan serebrospinal : bila dicurigai ada infeksi SSP o Pemeriksaan-pemeriksaan lain dilakukan atas indikasi misalnya ada kelainan metabolic bawaan.3,5

Diagnosis Banding Sinkop, dapat bersifat vasovagal attack, kardiogenik, hipovolumik, hipotens dan sinkope saat miksi (micturition syncope). Serangan iskemik sepintas (Transient Ischemic Attack) Vertigo Transient global amnesia Narkolepsi Bangkitan panic, psikogenik Sindrom menier Tics

PENATALAKSANAAN Jika penyebabnya adalah tumor, infeksi atau kadar gula maupun natrium yang abnormal, maka keadaan tersebut harus diobati terlebih dahulu. Jika keadaan tersebut sudah teratasi, maka kejangnya sendiri tidak memerlukan pengobatan. Jika penyebabnya tidak dapat disembuhkan atau dikendalikan secara total, maka diperlukan obat anti-kejang untuk mencegah terjadinya kejang lanjutan. Sekitar sepertiga penderita mengalami kejang kambuhan, sisanya biasanya hanya mengalami 1 kali serangan. Obat-obatan biasanya diberikan kepada penderita yang mengalami kejang kambuhan.

KARBAMAZEPIN Obat ini telah digunakan sebagai obat antiepilepsi sejak 1974, merupakan senyawa iminostilbene. Terutama efektif untuk epilepsi psikomotor, meskipun juga bermanfaat untuk jenis tonik-klonik umum atau fokal motorik. Tidak efektif untuk jenis lena dan jenis m ioklonik Obat ini tidak menimbulkan sedasi dan dilaporkan membenikan efek psikotropik berupa meningkatnya inisiatif dan perbaikan tingkah laku; selain itu juga diduga mempunyai efek antidepresi karena struktur kimianya yang mirip imipramin. Aktivitas antikonvulsinya mirip dengan fenitoin; pada dosis terapeutik mampu menghambat aktivitas fokal yang dibangkitkan oleh rangsng kimia ataupun elektrik dalam laboratorium. Mekanisme kerjanya secara pasti belum diketahui. Karbamazepin diserap dengan cepat setelah penggunaan per-oral, kadar puncak plasma tercapai dalam26 jam; waktu paruhnya dalam penggunaan jangka lama berkisar antara 1317 jam; dalam darah 80% terikat dengan protein. Obat ini dimetabolisme menjadi 10,11-epoksid yang juga mempunyai aktivitas antikonvulsan. Karena merangsang metabolisme hepar, obat ini dapat memperpendek waktu paruh obat (antiepilepsi) lain yang diberikan bersamaan. Obat ini juga bermanfaat untuk mengatasi neuralgia trigeminal. Dosis umumnya berkisan antara 6001200 mg/hari untuk dewasa dan 2030 mg/kgbb/hari untuk anak-anak, dibagi 23 dosis. Dimulai dari dosis rendah untuk menghindani efek samping dan dinaikkan setiap 46 minggu sampai tercapai dosis optimal. Kadar plasma yang efektif berkisar 68 ug/ml, efek samping mulai muncul pada kadar plasma 8,510 ug/ml. Efek samping yang mungkin dijumpai berupa diplopi, pandangan kabur, mengantuk, pusing, muntah, mual dan ataksia, selain itu pernah dilaporkan menyebabkan depresi sumsum tulang yang fatal, ikterus dan sindrom Steven-Johnson. Ada yang menganjurkan pemeriksaan darah

berkala pada penggunaan karbamazepin yang terus menerus. Karbamazepin tersedia dalam bentuk tablet 100 mg, 200 mg. tablet controlled release 200 mg dan sirup 100 mg/5 ml.9 FENITOIN/DIFENILHIDANTOIN Fenitoin telah diperkenalkan sebagai obat antiepilepsi sejak 1938, merupakan hasil riset yang khusus mencari obat anti epilepsi. Obat ini menekan penyebaran lepas muatan listrik dan fokus epileptik ke korteks normal di sekitarnya; efek ini diduga karena fenitoin mengurangi kadar natrium intraseluler sehingga mengurangi iritabilitas neuron bersangkutan terutama di sel-sel piramidal dan sel-sel neuron perantara. Obat ini efektifdan banyak digunakan untuk epilepsi umum, terutama jenis tonik-klonik, juga untuk jenis fokal dan psikomotor, tetapi tidak efektif untuk jenis lena atau untuk kejang demam. Pada pemberian per oral, diserap di traktus gastrointestinal dan dimetabolisme di hati; waktu paruhnya 22 jam pada pemberian per oral dan 1015 jam bila diberikan intravena. Konsentrasi maksimal tercapai dalam 424 jam dan keadaan mantap tercapai setelah 710 hari. Ekskresinya terutama dalam bentuk termetabolisme melalui urine, hanya <5% yang diekskresi dalam bentuk utuh. Obat ini diketahui mempunyai sifat farmakokinetik yang sulit karena adanya sifat kejenuhan atau kemampuan maksimum hepar untuk memetabolisme obat ini sehingga perubahan dosis yang melampaui batas maksimum akan sangat menaikkan kadarnya dalam plasma. Bila efek terapeutiknya belum memuaskan, dianjurkan untuk mengukur kadarnya dalam plasma; bila <8 mg/l (20 umol/l) dosis ditambah 100 mg, bila kadarnya 812 mg/I (2060 umol/I) dosis ditambah 50 mg., sedangkan bila kadarnya> 12 mg/l (60 umol/l) cukup dengan penambahan 25 mg. Dosis umumnya 47 mg/kgbb/hari dibagi dalam tiga dosis terutama efektif untuk jenis tonikklonik umum atau fokal dan jenis parsial kompleks. Efek samping dapat berupa alergi. Manifestasi alergi berupa ruam kulit dapat muncul 1014 hari setelah pengobatan dimulai, juga dapat menyebabkan sindrom Steven-Johnson. Hiperplasi gingiva dan hipertnikosis merupakan efek samping yang tidak tergantung dosis; dijumpai terutama pada anak-anak setelah 23 bulan pengobatan. Fenitoin juga pernah dilaporkan meningkatkan kejadian labio/palatoschizis pada bayi yang ibunya menggunakan obat tersebut. Fenitoin tersedia dalam bentuk kapsul/tablet 50 mg., 100 mg. dan preparat per enteral 100 mg/2 ml.

PROGNOSIS Pasien epilepsy yang berobat teratur,1/3 akan bebas dari serangan paling sedikit 2 tahun,dan bisa lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir obat dihentikan,pasien tidak mengalami sawan lagi,dikatakan telah mengalami remisi.Diperkirakan 30% pasien tidak mengalami remisi meskipun minum obat dengan teratur. Sesudah remisi,kemungkinan munculnya serangan ulang paling sering didapat pada sawan tonik-klonik dan sawan parsial kompleks.Demikian pula usia muda lebih mudah mengalami relaps sesudah remisi. KESIMPULAN Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf kronik kejang berulang muncul tanpa diprovokasi. Penyebabnya adalah kelainan bangkitan listrik jaringan saraf yang tidak terkontrol baik sebagian maupun seluruh bagian otak. Keadaan ini bisa di indikasikan sebagai disfungsi otak. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala yang disampaikan oleh orang lain yang menyaksikan terjadinya serangan epilepsi pada penderita. EEG (elektroensefalogram) merupakan pemeriksaan yang mengukur aktivitas listrik di dalam otak. Pemeriksaan ini tidak menimbulkan rasa sakit dan tidak memiliki resiko. Elektroda ditempelkan pada kulit kepala untuk mengukur impuls listrik di dalam otak. Setelah terdiagnosis, biasanya dilakukan pemeriksaan lainnya untuk menentukan penyebab yang bisa diobati. Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah, menilai fungsi hati dan ginjal, menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat menunjukkan adanya infeksi). EKG (elektrokardiogram) dilakukan untuk mengetahui adanya kelainan irama jantung sebagai akibat dari tidak adekuatnya aliran darah ke otak, yang bisa menyebabkan seseorang mengalami pingsan. Pemeriksaan CT scan dan MRI dilakukan untuk menilai adanya tumor atau kanker otak, stroke, jaringan parut dan kerusakan karena cedera kepala. Kadang dilakukan pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak.

Laporan Kasus Identitas Pasien Nama : Ny. R Umur: 68 th Pekerjaan : ibu Rumah tangga Alamat: Bandar Buat Padang Anamnesis Seorang pasien wanita umur 68 tahun datang ke IGD RSUP DR. M.Djamil Padang pada tanggal 20 Oktober 2011 dengan : Keluhan Utama: kejang berulang Riwayat Penyakit Sekarang: Kejang berulang sejak 2 hari sebelum masuk RS. Saat itu pasien terbangun dari tidurnya ,pasien kemudian tiba-tiba kejang pada anggota tubuh sebelah kanan selama +1/2 jam, kejang berupa kaku pada lengan dan tungkai kanan, dengan posisi lengan dan tungkai menekuk dan kelojotan, mata melirik ke kanan atas, mulut dan wajah mencong ke kanan. Mulut berbuih (-). Bila dipanggil atau diajak bicara pasien tidak menyahut. Setelah kejang berhenti pasien terlihat bingung. Pasien juga terlihat lebih aktif menggunakan lengan kiri daripada kanan. Tidak terlihat mulut mencong dan pasien tidak tersedak bila minum air. Setengah jam kemudian lengan dan tungkai kanan pasien mulai menyentak-nyentak 1-2x setiap 10-30 detik. Saat itu pasien tetap sadar dan bisa minum dengan dibantu. Pasien tidak bisa tidur karena kejang berlangsung terus. Mulut mencong(-). Kejang seperti ini berlangsung sampai dibawa ke rumah sakit. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat hipertensi diketahui sejak tahun yang lalu, tidak berobat teratur, terdapat riwayat dirawat di RS 2x, pertama tahun 2005, pasien kejang seluruh tubuh berupa kaku, tidak kelojotan lama 1/2 jam, hanya 1x, tekanan darah 180/?, di ct scan kepala, dikatakan ada pembengkakan otak, dirawat 10 hari, dan sepulangnya sudah bisa beraktifitas seperti biasa. Yang terakhir bulan oktober 2010, pasien dengan kelemahan lengan dan tungkai kanan, mulut mencong, bicara pelo, dan sesak nafas, dikatakan menderita stroke ,dirawat 10 hari. Sepulang dari rumah sakit pasien masih pelo sedikit, kelemahan sudah mulai membaik. Riwayat penyakit kencing manis disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat penyakit seperti ini dalam keluarga (-), penyakit tumor (-). Riwayat Sosio ekonomi dan budaya Pasien seorang ibu rumah tangga, aktivitas fisik cukup. Pemeriksaan Fisik Umum Kesadaran somnolen Tekanan darah 150/90 mmHg Frekuensi nadi 102 x/menit, reguler Frekuensi pernapasan 24 x / menit Suhu 37,5 C. Mata: Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik. Leher : JVP 5-2 cm H2O. Torak Paru Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi
Jantung

: simetris : sukar dinilai : sonor : vesikuler, ronchi (-), wheezing (-)

Inspeksi Palpasi Perkusi


Auskultasi Abdomen

: Iktus tidak terlihat : Iktus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V : Batas jantung dalam batas normal
: Irama teratur, bising tidak ada : tidak membesar

: Inspeksi

Palpasi Perkusi

: hepar dan lien tidak teraba. : timpani

Auskultasi : BU (+) N
Corpus vertebralis : tidak ada kelainan Genitalia : tidak diperiksa

Pemeriksaan Neurologis GCS E4M5V4, pupil bulat isokor diameter 3mm/3mm, refleks cahaya langsung dan tidak langsung +/+.
Tanda rangsangan selaput otak : kaku kuduk laseque : (-) brudinski II : (-) : (-) kernig brudzunski I : (-) : (-)

Gejala dan Tanda peningkatan TIK muntah proyektil sakit kepala progresif : (-) : (-)

Pupil isokor 3mm/3mm, RC +/+, Reflek Kornea +/+

N. Cranialis :pupil isokor 3mm/3mm, RC +/+, reflek kornea, wajah simetris, arkus faring simetris, uvula ditengah, reflek muntah (+). Motorik : dengan tes jatuh anggota gerak kanan lebih dahulu jatuh, eutonus, eutrofi. Refleks fisiologis biseps ++/++, trisep ++/++, APR ++/++ KPR ++/++ klonus -/-. Tidak didapatkan refleks patologis. Sensorik dengan respon nyeri (+) Otonom: BAB dan BAK lancar

Pemeriksaan penunjang Laboratorium (20-10-2011) Hemoglobin 11,5 g/dl Hematokrit 34% Leukosit 9600 /mm3, Trombosit 399.000 / mm3 GDS 90 . Natrium 137 meq/l, K 3,9 meq/l,

Cl 96 meq/l. EKG: SR, HR 100x/menit, LVH (-), RVH (-), ST depresi/elevasi(-), Tdepresi (-). Kesan : sinus takikardi Diagnosis Diagnosis klinis: Diagnosis topis:

Hemiparesis dekstra, kejang parsial dengan status epileptikus intrakranial

Diagnosis etiologis: simptomatik ( post stroke) Diagnosis Sekunder : hipertensi derajat I

Terapi: Umum: elevasi kepala 30 O2 3 l/ IVFD NaCl 0,9% 12 jam / kolf Khusus: Bolus diazepam 10 mg Fenitoin tab 3x100 mg Citicolin 2 x 500 mg

Follow up: Tanggal 21-10-2011 S/ Kejang (-) O/ KU : sedang Kesadaran: Komposmentis TD : 140/90 mmHg Nadi : 88 x/ menit Nafas: 20 x/ menit Suhu : 36, 8C

Status Neurologikus GCS 15 TRM (-) , tanda peningkatan TIK (-) N. Cranialis : penciuman baik, pupil isokor 3mm/3mm, RC +/+, reflek kornea +/+, bola mata bebas bergerak ke segala arah, dapat mengerutkan dahi, bersiul, wajah simetris, pendengaran baik, reflek menelan baik. Motorik : Ekstremitas superior inferior dextra 333/333, eutonus, eutrofi Ekstremitas superior inferior sinistra 555/555, eutonus, eutrofi Sensorik : eksteroseptif dan proprioseptif baik Otonom : BAB dan BAK lancar A/ post stroke seizure Th/ Umum: elevasi kepala 30 IVFD NaCl 0,9% 12 jam / kolf Khusus: fenitoin 3x100mg, kaptopril 2x25mg, piracetam 2x1200mg, aspilet 1x80mg, Rencana : EEG

DISKUSI Telah dirawat seoran pasien wanita umur 68 tahun dengan diagnosis hemiparesis dekstra, kejang parsial dengan status epileptikus. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis diketahui terdapat kejang berulang sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, terjadi tiba-tiba ketika bangun dari tidur, kejang pada anggota tubuh sebelah kanan selama +1/2 jam, kejang berupa kaku pada lengan dan tungkai kanan, dengan posisi lengan dan tungkai menekuk dan kelojotan, mata melirik ke kanan atas, mulut dan wajah mencong ke kanan. Mulut berbuih (-). Bila dipanggil atau diajak bicara pasien tidak menyahut. Setelah kejang berhenti pasien terlihat bingung. Pasien juga terlihat lebih aktif menggunakan lengan kiri daripada kanan. Tidak terlihat mulut mencong dan pasien tidak tersedak bila minum air. Setengah jam kemudian lengan dan tungkai kanan pasien mulai menyentak-nyentak 1-2x setiap 10-30 detik. Saat itu pasien tetap sadar dan bisa minum dengan dibantu. Pasien tidak bisa tidur karena kejang berlangsung terus. Mulut mencong(-). Kejang seperti ini berlangsung sampai dibawa ke rumah sakit. Dari anamnesis ini dapat dinilai bahwa telah terjadi bangkitan kejang parsial yang terjadi akibat adanya muatan listrik di
bagian otak tertentu dan muatan ini tetap terbatas di daerah tersebut. Kejang ini juga telah terjadi selama lebih dari 30 menit yaitu selama 2 hari, maka pasien dalam keadaan status epileptikus. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kesadaran somnolen GCS 13 ( E4M5V4) TD 150/90

mmHg ,Frekuensi nadi 102 x/menit, reguler ,Frekuensi pernapasan 24 x / menit, TRM (-) ,Gejala peningkatan TIK (-), N. Cranialis :pupil isokor 3mm/3mm, RC +/+, reflek kornea, wajah simetris, arkus faring simetris, uvula ditengah, reflek muntah (+). Motorik : dengan tes jatuh anggota gerak kanan lebih dahulu jatuh, eutonus, eutrofi. Refleks fisiologis biseps ++/++, trisep ++/++, APR ++/++ KPR ++/++ klonus -/-. Tidak didapatkan refleks patologis. Sensorik dengan respon nyeri (+). Otonom: BAB dan BAK terkontrol. Dari pemeriksaan ini didapatkan hipertensi pada pasien serta hemiparese dekstra. Dari pemeriksaan penunjang, didapatkan kadar gula darah dan elektrolit normal. Tidak terdapat kelainan pada jantung. Sehingga etiologi dari kejang pada pasien ini masih diperkirakan dari kelainan vaskuler (pada pasien dengan umur diatas 50 tahun, 50% etiologi epilepsi yaitu kelainan vaskuler) .

Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien ini yaitu Umum: elevasi kepala 30, O2 3 l/, IVFD NaCl 0,9% 12 jam / kolf, serta khusus: bolus diazepam 10 mg ,Fenitoin tab 3x100 mg, Citicolin 2 x 500 mg.

You might also like