You are on page 1of 40

BAB I STATUS PASIEN

IDENTITAS PASIEN

Nama Jenis kelamin Usia Agama Pekerjaan Alamat Tanggal Masuk

: Ny. D : Perempuan : 79 tahun : Islam : Ibu rumah tangga : Kemayoran : 18 April 2013

ALLO-AUTOANAMNESIS Keluhan Utama : Luka robek dan mimisan akibat jatuh sejak 1 jam SMRS Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang dengan keluhan luka robek dan mimisan sejak 1 jam sebelum masuk rumah sakit. Pada awalnya sekitar pukul 04.30 pagi saat pasien hendak keluar rumah, pasien terpeleset dan akhirnya jatuh. Saat berjalan pasien menggunakan walker sejak 2 tahun lalu karena kedua kaki pasien tidak sama panjang akibat patah tulang. Saat terjatuh, kepala pasien membentur motor yang berada didepannya. Karena membentur motor pelipis kanan pasien luka robek 3 cm dan mengeluarkan banyak darah. Selain itu pasien juga mimisan gelas. Selain itu kelopak mata kanan pasien bengkak, memar, dan terasa sangat nyeri. Setelah jatuh pasien muntah 1x, muntah berisi makanan yang dimakan pasien sebelumnya. Selain itu, mata kanan pasien juga memar dan bengkak. Keluhan pingsan setelah jatuh disangkal dan pasien masih dapat mengingat kejadian yang baru terjadi. Keluhan kelemahan, baal atau kesemutan pada anggota gerak
1

disangkal. Gangguan menelan, gangguan penciuman, gangguan pengecapan disangkal. Penglihatan menghilang, buram, penglihatan ganda disangkal. BAK dan BAK tidak ada keluhan. Riwayat Penyakit Dahulu Sebelumnya pasien belum pernah mengalami keluhan serupa. Riwayat Stroke, Hipertensi, DM, Asma, dan Penyakit jantung disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat Stroke, Hipertensi, DM, Asma, dan Penyakit jantung di keluarga tidak diketahui. Riwayat Pengobatan Pasien tidak sedang mengkonsumsi obat dalam jangka waktu yang lama Riwayat Psikososial Pola makan tidak teratur. Riwayat merokok, konsumsi kopi, dan alcohol disangkal.

PEMERIKSAAN FISIK Keadaan umum Kesadaran Tanda Vital TD N RR S : 110 /80 mmHg : 88 kali/menit (reguler) : 22 kali/menit (reguler) : 360C : Tampak sakit sedang : Composmentis

Status Generalis Kepala Alis Mata : normochepal : Madarosis (-) : Refleks cahaya (+/+), pupil isokor, konjungtiva anemis (-/-), sklera

ikterik (+/+), Edema palpebra (+/-)


2

Hidung inferior eutrofi Mulut

: Mukosa edema (-/-), hiperemis (-/-), sekret (-/-), darah (+/-), Konka

: mukosa bibir kering (-), sianosis (-), lidah tremor (-), faring

hiperemis (-), tonsil T1-T1, gigi geligi tidak lengkap Telinga intak/intak Leher Mulut Thorax Paru Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi Jantung Inspeksi Palpasi Perkusi : Ictus cordis tidak terlihat : Ictus cordis teraba di ICS IV linea midclavicula kiri : Batas kanan; ICS IV linea parasternalis dekstra Batas kiri; ICS IV linea midclavicula kiri Auskultasi : Bunyi jantung I & II murni, regular, murmur (-), gallop (-) : : Pergerakan dinding dada simetris : KGB tidak membesar : Mukosa bibir lembab, sianosis (-), Lidah kotor (-) : CAE edema (-/-), sekret (-/-), hiperemis (-/-), darah (-), MT

: Vokal fremitus sama dikedua lapang paru : Sonor dikedua lapang paru : Vesikular (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)

Abdomen Inspeksi Perkusi Palpasi Auskultasi : bentuk datar : timpani : supel, nyeri tekan epigastrium (+), organomegali (-) : BU (+) normal

Ekstremitas Atas : akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-/-), sianosis (-/-)

Bawah : akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-/-),sianosis (-/-)

STATUS NEUROLOGIK Kesadaran GCS Kemampuan berbicara : Composmentis : E4V5M6 : Disartria

Tanda Rangsang Meningeal Kaku Kuduk Laseque/Kernig Brudzinki I/II/III : (-) : (-/-) : (-/-/-)

Tanda Peningkatan tekanan intrakranial Sakit kepala Penglihatan kabur Bradikardia Papil edema :::: tidak diperiksa

Saraf Kranial N.I (Olfaktorius) Daya Pembau : Normosmia/Normosmia

N.II (Optikus ) Visus Lapang Pandang Lihat warna Funduskopi

Kanan : tidak dilakukan : sulit dinilai : baik : tidak dilakukan

Kiri tidak dilakukan normal baik tidak dilakukan

N.III (Okulomotorius)/IV (Troklearis)/VI(Abducens) Kanan Kedudukan bola mata Ptosis Eks/en-oftalmus Diplopia : : : : di tengah Kiri di tengah -

Gerakan Bola Mata Atas Bawah Medial Lateral Pupil Refleks cahaya langsung Refleks cahaya tidak langsung Akomodasi : : : : : : : : sulit dinilai sulit dinilai sulit dinilai sulit dinilai / / / / baik baik baik baik

bulat, isokor, ODS (3-3) mm + + sulit dinilai / / + + baik

N.V (Trigeminus) Motorik o Menggigit o Membuka Mulut o Menggerakkan rahang Sensorik o Oftalmikus o Maksilaris o Mandibularis Reflek kornea : : : : sulit dinilai + + + + + + + : : : normal normal normal

N.VII (FASIALIS) Raut wajah Kerutan kulit dahi Menutup mata kuat Mengangkat alis Menyeringai Mencucurkan bibir Daya Kecap Lidah 2/3 depan : : : : : : :

Kanan simetris normal normal normal normal normal tidak diperiksa

Kiri

normal normal normal normal +

N.VIII (Vestibulochoclearis) N. Vestibularis o Vertigo :-

KANAN

KIRI

o Nistagmus o Keseimbangan N Koklearis o Tinnitus o Gesekan jari o Tes Rinne o Tes Weber o Tes Schwabach

::-

: :

: tidak dilakukan : tidak dilakukan : tidak dilakukan

N. IX (Glosofaringeus) Dan N. X (Vagus) Suara Arkus faring : Normal : Simetris

Daya kecap lidah 1/3 belakang : Tidak dilakukan Uvula Menelan Refleks faring : letak ditengah, simetris : Normal :+

N. XI (Aksesorius) Memalingkan Kepala Mengangkat Bahu

Kanan : : baik baik

Kiri baik baik

N.XII (Hipoglosus) Disartria Posisi lidah Atropi otot lidah Tremor lidah Fasikulasi lidah : (-) : Ditengah : (-) : (-) : (-)

Motorik Kekuatan Otot 5 5

Trofik Klonus

: eutrofik/eutrofik : -/-

Berjalan Langkah Lenggang lengan Di atas tumit Jinjit : tidak dilakukan : tidak dilakukan : tidak dilakukan : tidak dilakukan

Tonus otot Lengan o Saat istirahat : normotonus/normotonus o Gerakan pasif : normotonus/normotonus o Rigiditas Tungkai o Saat istirahat : normotonus/normotonus o Gerakan pasif : normotonus/normotonus o Rigiditas : -/: -/-

Sensorik Permukaan Nyeri : Ektremitas Atas Kanan : normal Kiri normal normal normal normal

Ekstremitas Bawah : normal Raba : Ektremitas Atas : normal

Ekstremitas Bawah : normal Suhu : tidak dilakukan

Dalam Rasa gerak Sikap dan arah Rasa getar Diskriminasi 2 titik

Kanan : baik : baik : tidak dilakukan : baik

Kiri baik baik

baik

Reflek Fisiologis Reflek bisep Reflek trisep : +/+ : +/+

Refleks Patologis Babinski Chaddock Oppenheim Gordon Schaeffer : -/: -/: -/: -/: -/-

Reflek brachioradialis : +/+ Reflek patella Reflek Achilles : +/+ : +/+

Koordinasi dan fungsi serebelar Stasis o Duduk o Berdiri o Intention tremor o Disdiadokoninesia : baik : tidak dapat dinilai : -/: -/-

o Rebound phenomena : -/Dinamis o Telunjuk-telunjuk o Telunjuk-hidung o Tumit-tumit : baik/baik : baik/baik : baik

Sistem otonom Miksi Defekasi Sekresi keringat : baik : baik : baik

Fungsi luhur MMSE Afasia motorik Afasia sensorik Daya ingat Apraksia : skor 24 (tidak ada gangguan fungsi kognitif) ::: baik :-

Tanda regresi Refleks glabela Refleks mencucur Refleks pegang :::-

CT Scan Dilakukan CT scan dengan potongan axial sejajar OM line, slice 3 mm 08 mm tanpa kontras: Fraktur dinding sinus maksilaris kanan dengan perselubungan didalamnya, fraktur dinding lateral orbita kanan Ventrikel lateralis dan ventrikel III lebar, tidak tampak deviasi midline Tak tampak lesi hipo/hiperdens didaerah cortex cerebri, basal ganglia, dan thalamus Sulci cerebri dan fissura lateralis sylvii & cisterna basalis lebar dengan subdural fluid collection frontalis kanan-kiri. Tak tampak epidural/subdural hematom Tak tampak lesi hipo/hiperdens didaerah batang otak dan cerebellum Mastoid dan orita kanan-kiri baik Perselubungan sinus frontalis dan ethmoidalis kanan

Kesan: Fraktur dinding2 sinus maksilaris dextra dan dinding lateral orbita dextra Perselubungan sinus frontalis dx & ethmoidalis dx & maksilaris dx (hematom) Atrofi cerebri

RESUME Seorang perempuan, usia 79 tahun datang dengan keluhan luka robek dan mimisan akibat jatuh sejak 1 jam SMRS. Sebelumnya pasien terpeleset dan akhirnya jatuh. Saat berjalan pasien menggunakan walker sejak 2 tahun lalu karena kedua kaki pasien tidak sama panjang akibat patah tulang. Saat terjatuh, kepala pasien membentur motor yang berada didepannya. Sehingga pelipis kanan pasien luka robek 3 cm dan mengeluarkan banyak darah. Selain itu pasien juga mimisan gelas. Selain itu kelopak mata kanan pasien bengkak, memar, dan terasa sangat nyeri. Setelah jatuh pasien muntah 1x, muntah
9

berisi makanan yang dimakan pasien sebelumnya. Selain itu, mata kanan pasien juga memar dan bengkak. pasien masih dapat mengingat kejadian yang baru terjadi.

Pemeriksaan fisik Keadaan umum Kesadaran Tanda Vital TD N RR S Status Generalis epigastrium Status neurologis Dalam batas normal N. III, IV, & VI dextra sulit dinilai : : 110 /80 mmHg : 88 kali/menit (reguler) : 22 kali/menit (reguler) : 360C : Edema palpebra dextra, epistaksis masif CN dextra, nyeri tekan : Tampak sakit sedang : Composmentis

CT Scan Kesan: Fraktur dinding2 sinus maksilaris dextra dan dinding lateral orbita dextra Perselubungan sinus frontalis dx & ethmoidalis dx & maksilaris dx (hematom) Atrofi cerebri

DIAGNOSIS

Diagnosis Klinis Diagnosis Topis

: Cedera Kepala Ringan : Linear fracture dinding sinus maksilaris kanan dan dinding lateral orbita kanan

Diagnosis Etiologi Diagnosis Patologi

: Trauma Kapitis : Commotio cerebri

Diagnosis Tambahan Diagnosis Banding

: Dispepsia : Cedera Kepala Sedang


10

RENCANA PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium Imaging EKG Thoraks Foto Pemeriksaan darah rutin (Hb, Ht, Leukosit, Trombosit) Gula darah sewaktu Ureum kreatinin SGOT/SGPT

PENATALAKSANAAN Tujuan penatalaksanaan pada pada cedera kepala yaitu untuk sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit Tindakan awal ABC Pantau defisit neurologis Bed rest Kepala dan tubuh atas dalam posisi 30 Tampon anterior CN dextra

Diet cukup kalori Medikamentosa IVFD Asering 20 tpm Tinoridine HCl cap 50 mg, 3dd1 Dexketoprofen trometamol 50 mg IV, 3dd1 Ranitidin 50mg IV, 2dd1

Konsul THT

PROGNOSIS Quo ad vitam Quo ad functionam : dubia ad bonam : dubia ad bonam


11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Trauma kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat temporer ataupun permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of America, trauma kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan / benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.

2.2. Epidemiologi

Trauma kepala merupakan urutan kedua penyebab kematian pada usia antara 1-35 tahun, kurang lebih setiap tahun 77.000 orang meninggal dan sekitar 50.000 orang menderita kelumpuhan setiap tahunnya di Amerika Serikat karena trauma kepala. Di Indonesia sendiri, walaupun belum ada data pasien mengenai angka kejadian trauma kepala, tetapi yang jelas trauma sering dan banyak terjadi di rumah sakit di seluruh Indonesia. Penyebab trauma kepala adalah benturan pada kepala, seperti kecelakaan kerja, lalu lintas dan jatuh. trauma kepala lebih berbahaya dari trauma pada organ lainnya, karena trauma ini mengenai otak. Selain itu sekali neuron rusak tidak dapat diperbaiki lagi. Trauma ini mengakibatkan malapetaka besar bagi seorang individu. Beberapa masalah disebabkan langsung dan banyak lainnya karena efek sekunder dari trauma. Penderita dapat meninggal atau menjadi cacat, invalid, tergantung pada orang lain dan menjadi beban bagi keluarga. Statistik dari negara-negara yang sudah maju menunjukkan bahwa trauma kepala mencakup 26% dan jumlah segala macam kecelakaan yang mengakibatkan seorang tidak bisa bekerja lebih dari satu hari sampai selama jangka panjang kurang lebih 33% kecelakaan yang berakhir pada kematian menyangkut cedera kapitis. Di luar medan peperangan lebih dari 50% dari trauma kepala terjadi karena kecelakaan lalu lintas,
12

selebihnya dikarenakan pukulan atau jatuh. Orang-orang yang mati karena kecelakaan antara 40% sampai 50% meninggal sebelum mereka tiba di rumah sakit. Dan mereka yang dimasukkan dalam keadaan masih hidup 40% meninggal dalam satu hari dan 35 % meninggal dalam satu minggu dalam perawatan. Jika kita meneliti sebab dari kematian dan cacat yang menetap akibat trauma kepala, maka 50% ternyata disebabkan oleh cedera secara langsung dan 50% yang tersisa disebabkan oleh gangguan peredaran darah sebagai komplikasi yang terkait secara tidak langsung pada cedera.

2.3. Etiologi

Penyebab terbanyak trauma kepala adalah kecelakaanlalu lintas dimana lebih dari setengah kasus terjadi lebih sering pada daerah perkotaan. Penyebab lainnya adalah jatuh dari tempat tinggi, korban kekerasan, trauma akibat o l a h r a g a , d a n t r a u m a p e n e t r a s i . T r a u m a k e p a l a d u a sampai empat kali lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan pada perempuan, dan lebih sering terjadi pada umur kurang dari 35 tahun

2.4. Klasifikasi Klasifikasi trauma kepala berdasarkan: 1. Patologi 1.1.Commotio Cerebri Commotio cerebri (geger otak) adalah keadaan pingsan yang berlangsung tidak lebih dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak disertai kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin

muntah dan tampak pucat.


13

Vertigo dan muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin atau terangsangnya pusat-pusat dalam batang otak. Pada commotio cerebri mungkin pula terdapat amnesia retrograde, yaitu hilangnya ingatan sepanjang masa yang terbatas sebelum terjadinya kecelakaan. Amnesia ini timbul akibat terhapusnya rekaman kejadian di lobus temporalis. Pemeriksaan tambahan yang selalu

dibuat adalah foto tengkorak, EEG, pemeriksaan memori. Terapi simptomatis, perawatan selama 3-5 hari untuk observasi kemungkinan terjadinya komplikasi dan mobilisasi bertahap.

1.2. Contusio Cerebri Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuronneuron mengalami kerusakan atau terputus. Yang penting untuk terjadinya lesi contusio ialah adanya akselerasi kepala yang seketika itu juga menimbulkan pergeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat berarti pula hiperekstensi kepala. Oleh karena itu, otak membentang batang otak terlalu kuat, sehingga menimbulkan blockade reversible terhadap lintasan asendens retikularis difus. Akibat blockade itu, otak tidak mendapat input aferen dan karena itu, kesadaran hilang selama blockade reversible berlangsung. Timbulnya lesi contusio di daerah coup , contrecoup, dan intermediate menimbulkan gejala deficit neurologik yang bisa berupa refleks babinsky yang positif dan kelumpuhan UMN. Setelah kesadaran pulih kembali, si penderita biasanya menunjukkan organic brain syndrome. Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang beroperasi pada trauma kapitis tersebut di atas, autoregulasi pembuluh darah cerebral terganggu, sehingga terjadi vasoparalitis. Tekanan darah menjadi rendah dan nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat dan lemah. Juga karena pusat vegetatif terlibat, maka rasa mual, muntah dan gangguan pernafasan bisa timbul. Pemeriksaan penunjang seperti CT-Scan berguna untuk melihat letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek. Terapi dengan antiserebral edem, anti perdarahan, simptomatik, neurotropik dan perawatan 7-10 hari.

1.3.Laserasio serebri
14

Dikatakan laceratio cerebri jika kerusakan tersebut disertai dengan robekan piamater. Laceratio biasanya berkaitan dengan adanya perdarahan subaraknoid traumatika, subdural akut dan intercerebral. laceratio langsung dan tidak langsung. Laceratio langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang disebabkan oleh benda asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama pada fraktur depressed terbuka. Sedangkan laceratio tidak langsung disebabkan oleh deformitas jaringan yang hebat akibat kekuatan mekanis. Laceratio dapat dibedakan atas

2. Lokasi lesi 2.1.Lesi diffuse Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada cedera kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan dari komosio ini adalah keadaan bingguung dan disorientasi tanpa amnesia. Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.cedera komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan binggung disertai amnesia retrograde dan amnesia antegrad (American college of surgeon, 1997). Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya atau hilanggnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cidera. Dalam bebberapa penderita dapat timbul defisist neurologis untuk beberapa waktu. Edfisit neurologis itu misalnya kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala lain. Gejala-gajala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat. Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan diman pendeerita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama ddan tidak diakibatkan oleh suatu lesi mas aatau serangan iskemik. Biasanya penderita dalam keadaan kooma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktuu. Penderita sering menuunjukan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita
15

seringg menunjukan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedeera aksonal difus dan cedeera otak kerena hiipoksiia secara klinis tidak mudah, dan memang dua keadaan tersebut seringg terjadi bersamaan (American college of surgeon,1997)

2.2.Lesi kerusakan vaskular otak 2.3.Lesi fokal 2.3.1 2.3.2 Kontusio dan laserasi serebri Hematoma intrakranial 2.3.2.1 Hematoma epidural Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial antara tabula interna dan duramater dengan cirri berbentuk bikonvek atau menyerupai lensa cembung. Paling sering terletak diregio temporal atau temporoparietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadangkadang, hematoma epidural akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior. Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan darah yang terjadi tidak berlangsungg lama. Keberhasilan pada penderita pendarahan epidural berkaitan langsung denggan status neurologis penderita sebelum

pembedahan. Penderita dengan pendarahan epidural dapat menunjukan adanya lucid interval yang klasik dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba meningggal (talk and die), keputusan perlunya tindakan bedah memnang tidak mudah dan memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah saraf Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak selalu homogeny, bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat pada tabula interna dan mendesak ventrikel ke sisi kontralateral ( tanda space occupying lesion ). Batas dengan corteks licin, densitas duramater

16

biasanya jelas, bila meragukan dapat diberikan injeksi media kontras secara intravena sehingga tampak lebih jelas.

2.3.2.2 Hematoma subdural Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak. Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif. Subdural hematom terbagi menjadi akut dan kronis. 1) SDH Akut Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan sabit ) dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom. Batas medial hematom seperti bergerigi. Adanya hematom di daerah fissure interhemisfer dan tentorium juga menunjukan adanya hematom subdural (Bernath, 2009). 2) SDH Kronis Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi yang disebabkan oleh bermacammacam perubahan, oleh karenanya tidak ada pola tertentu. Pada CT Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens, berbentuk bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi pada prinsipnya, gambaran
17

hematom subdural akut adalah hiperdens, yang semakin lama densitas ini semakin menurun, sehingga terjadi isodens, bahkan akhirnya menjadi hipodens.

2.3.2.3 Hematoma intraparenkim 1.1.2.3.1 Hematoma subarachnoid

Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan tiba-tiba ke dalam rongga diantara otak dan selaput otak (rongga subaraknoid). Diantara lapisan dalam (pia mater) dan lapisan tengah (arachnoid mater) para jaringan yang melindungan otak (meninges). Subarachnoid hemorrhage adalah gangguan yang mengancam nyawa yang bisa cepat menghasilkan cacat permanen yang serius. Perdarahan subarachnoid, dapat diidentifikasi pada CT-scan sebagai jaringan dengan densitas tinggi (40 90 Hu). Menggantikan cairan serebrospinal di interhemisfer atau fissura silvii, sulcus cerebral atau sisterna basalis. Jika pendarahan subarachnoid luas maka bentuk arah infundibulum atau cabang arteri karotis pada sisterna nampak sebagai filing deffect pada darah intrasisternal yang hiperdens. Meskipun pemeriksaan CT-scan sangat akurat untuk mendeteksi pendarahan subarachnoid yang baru untuk mengetahui adanya darah disubarachnoid di interhemisferik falxcerebri yang relatif memiliki densitas dan sulit dideteksi. Pendarahan subarachnoid biasanya meluas sampai pada sulcus paramedian, mengakibatkan penampakan densitas dan irreguler, setelah beberapa hari pemeriksaan CT Scan biasanya menunjukkan pembersihan darah subarachnoid disekitar falxcerebri, sebaliknya pendarahan subdural interhemisferik secara tipikal terlihat sebagai bentuk baji, tepi halus, zona densitas tinggi. Pada pasien dengan trauma kepala, pendarahan subarachnoid saat muncul biasanya terbatas pada satu atau dua sulci, pendarahan subarachnoid yang luas, menunjukkan adanya ruptur dari aneurisma atau pseudoaneurisma dan kadang merupakan indikasi untuk pemeriksaan
18

angiografi. Aneurisma konsenital biasanya berlokasi pada ciculus willisi dan pseudoaneurisma berlokasi pada pembuluh darah yang dapat merengang akibat pergeseran otak misalnya arteri cerebral anterior dibawah falxcerebri.

1.1.2.3.2

Hematoma intraserebral Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi otak hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari. Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan.

19

1.1.2.3.3

Hematoma intraserebellar

3. Derajat kesadaran berdasarkan GCS 3.1 CKR (Cedera Kepala Ringan) GCS > 13 Tidak terdapat kelainan pada CT scan otak Tidak memerlukan tindakan operasi Lama dirawat di RS < 48 jam

3.2 CKS (Cedera Kepala Sedang) GCS 9-13 Ditemukan kelainan pada CT scan otak Memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial Dirawat di RS setidaknya 48 jam

3.3 CKB (Cedera Kepala Berat) Bila dalam waktu 48 jam setelah trauma, GCS < 9

2.5. Patofisiologi

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi deselarasi gerakan kepala Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).

20

Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.

Cedera kepala TIK

Odema hematoma

Respon biologi

Hipoksemia

Kelainan metabolisme

Cedera otak primer

cedera otak sekunder

Kontusio cerebri

Kerusakan ced otak

Gangguan autoregulasi

rangsangan simpatis

stress

Aliran darah ke otak

tahanan vaskuler Sistemik &TD

katekolamin sekresi asam lambung


21

O2 gg. Metabolisme muntah

tek pemb. Darah

mual,

Asam laktat

tekanan hidrostatik

asupan nutrisi

Odema otak

kebocoran cairan kapiler

Gangguan perfusi jaringan Cerebral

Odema paru

Difusi O2 terhambat ggn. Perfusi jaringan

Ggn. Pola napas hipoksemia, hiperkapnea

2.6. Diagnosis

1 . Anamnesis Diagnosis cedera kepala biasanya tidak sulit ditegakkan riwayat kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja atau perkelahian hampir selalu ditemukan. Pada orang tua dengan kecelakaan yang terjadi di rumah, misalnya jatuh dari tangga, jatuh di kamar mandi atau sehabis bangun tidur, harus dipikirkan kemungkinan gangguan pembuluh darah otak (stroke) karena keluarga kadang-kadang tak mengetahui pasti urutan kejadiannya : jatuh kemudian tidak sadar atau kehilangan kesadaran lebih dahulu sebelum jatuh.

Anamnesis yang lebih terperinci meliputi : 1. Sifat kecelakaan.


22

2. 3. 4.

Saat terjadinya, beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit. Ada tidaknya benturan kepala langsung. Keadaan penderita saat kecelakaan dan perubahan kesadaran sampai saat diperiksa. Bila si pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peris tiwanya sejak sebelum terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk mengetahui kemungkinan adanya amnesia retrograd. Muntah dapat disebabkan oleh tingginya tekanan intrakranial. Pasien tidak selalu dalam keadaan pingsan (hilang/ turun kesadarannya), tapi dapat kelihatan bingung/disorientasi (kesadaran berubah)

2. Pemeriksaan fisik

Hal terpenting yang pertama kali dinilai ialah status fungsi vital dan status kesadaran pasien. Ini tiaras dilakukan sesegera mungkin bahkan mendahului anamnesis yang teliti. 4.1 Status fungsi vital Seperti halnya dengan kasus kedaruratan lainnya, hal terpenting yang dinilai ialah : a.Jalan nafas airway b.Pernafasan breathing c.Nadi dan tekanan darah cireulation Jalan nafas harus segera dibersihkan dari benda asing, lendir atau darah, bila perlu segera dipasang pipa naso/orofaring; diikuti dengan pemberian oksigen. Manipulasi leher harus berhati-hati bila ada riwayat/dugaan trauma servikal (whiplash injury), jamb dengan kepala di bawah atau trauma tengkuk. Gangguan yang mungkin ditemukan dapat berupa : a.Pernafasan Cheyne Stokes. b.Pernafasan Biot/hiperventilasi. c.Pernafasan ataksik.

Pemantauan fungsi sirkulasi dilakukan untuk menduga adanya shock, terutama bila terdapat juga trauma di tempat lain, misalnya trauma thorax, trauma abdomen, fraktur
23

ekstremitas. Selain itu peninggian tekanan darah yang disertai dengan melambatnya frekuensi nadi dapat merupakan gejala awal peninggian tekanan intrakranial, yang biasanya dalam fase akut disebabkan oleh hematoma epidural. 3. Pemeriksaan Umum Selama proses penstabilan kardiopulmoner, dilakukan pemeriksaan umum secara cepat untuk mencari cedera lain. Perhatian khusus diberikan pada: 1. Cedera kepala dan leher: laserasi, tempat mata racoon (ekkhimosis periorbital). 2. Cedera toraks: fraktura iga, pneumotoraks atau hemotoraks, tamponad perdarahan, otorrhea, rhinorrhea,

kardiak, (dengan bunyi jantung lemah, distensi vena jugular, dan hipotensi), aspirasi, atau ARDS. 3. Cedera abdominal: terutama laserasi hati, limpa atau ginjal. Perdarahan biasanya

berakibat tenderness,guarding atau distensi abdominal. Namun tanda-tanda ini mungkin tidak muncul dini dan mungkin tersembunyi pada pasien koma. Adanya bising usus biasanya pertanda tenang. 4. Cedera pelvik: Cedera pada pasien yang tidak koma bisa ditetapkan secara klinis. Konfirmasi radiologis biasanya diperlukan. Pemeriksaan rektal mungkin berguna. Cedera pelvik sering bersamaan dengan kehilangan darah tersembunyi dalam jumlah besar. 5. Cedera tulang belakang: Trauma kepala dan tulang belakang mungkin bersamaan, dan kombinasi tersebut harus selalu dicari walau kejadiannya hanya 2 hingga 5% dari pasien cedera kepala berat. Tulang belakang leher paling sering dikenai. 6. Cedera ekstremitas: Mungkin terjadi kerusakan tulang atau jaringan lunak (otot, saraf, pembuluh darah). Fraktura pada pasien gelisah harus dibidai segera untuk mencegah kerusakan saraf dan pembuluh bersangkutan. Tindakan definitif pada kebanyakan pasien cedera ekstremitas dapat ditunda hingga setelah tindakan terhadap masalah yang mengancam nyawa.

4. Pemeriksaan Neurologis

Pemeriksaan neurologis awal pada cedera kepala

24

4.1 Skala Koma Glasgow

4.2 Pupil Pemeriksaan teliti ukuran pupil serta reaksinya terhadap cahaya adalah paling penting pada pemeriksaan pertama. Tanda dini herniasi lobus temporal yang diketahui dengan baik adalah dilatasi ringan pupil serta respons cahaya pupil yang lambat. Baik kompresi maupun distorsi saraf okulomotor saat herniasi tentorial-unkal mengganggu fungsi akson parasimpatetik yang menghantarkan sinyal eferen untuk konstriksi pupil, berakibat dilatasi pupil ringan. Mencari kelainan pupil lain yang dapat terjadi pada pasien tidak sadar sangat perlu pada pasien cedera kepala.Pupil kecil bilateral menunjukkan pasien menggunakan obat tertentu, terutama opiat, atau mengalami satu atau beberapa ensefalopati metabolik atau lesi destruktif dari pons. Dalam hal ini refleks cahaya pupil. Akhirnya, pupil yang berdilatasi dan fixed bilateral pada pasien dengan cedera kepala mungkin akibat perfusi vaskular serebral yang inadekuat. Keadaan ini mungkin akibat hipotensi sekunder terhadap kehilangan darah peninggian tekanan intrakranial atau oleh

pada tingkat yang mengganggu aliran darah

serebral. Kembalinya respons pupil mungkin terjadi segera setelah perbaikan aliran darah bila masa perfusi yang inadekuat tidak terlalu lama.

4.3 Gerakan Mata


25

Gerakan bola mata merupakan indeks yang paling penting untuk penilaian aktivitas fungsional batang otak (formatio retikularis). Penderita yang sadar penuh, dan mempunyai gerakan bola mata yang baik menandakan intaknya sistem motorik okuler di batang otak.

4.4 Fungsi Motor Pemeriksaan dasar dilengkapi dengan pemeriksaan motor sederhana karena pasien dengan cedera kepala berat tidak cukup responsif terhadap setiap nilai pemeriksaan hingga dapat dipercaya. Setiap ekstremitas diperiksa dan dinilai dengan skala berikut yang digunakan secara internasional:

Kekuatan normal Kelemahan sedang Kelemahan berat (antigravity) Kelemahan berat (not antigravity) Gerakan trace Tak ada gerakan

5 4 3 2 1 0

4.5 Fungsi sensorik Tujuan pemeriksaan sensorik Menetapkan adanya gangguan sensorik. Mengetahui modalitasnya. Menetapkan polanya. Menyimpulkan jenis dan lokasi lesi yang mendasari gangguan akhirnya dinilai bersama sama dengan pemeriksaan motorik 4.6. Post Traumatic Amnesia Indeks yang digunakan untuk menentukan tingkat cedera kepala. PTA didefinisikan sebagai lamanya waktu setelah cedera kepala saat pasien merasa bingung, disorientasi, konsentrasi menurun, atensi menurun, dan atau ketidakmampuan untuk membentuk memori baru. sensorik yang

26

PTA 1 hari atau kurang

Perbaikan yang cepat dan sepenuhnya dengan terapi yang sesuai. Pada beberapa kasus ditemukan disabilitas yang menetap, biasanya post-ok syndrome

PTA lebih dari 1 hari, tapi Masa penyembuhan lebih panjang, biasanya kurang dari seminggu beberapa minggu sampai bulan. Penyembuhan sepenuhnya sangat mungkin dengan perawatan yang baik PTA 1-2 minggu Penyembuhan memerlukan waktu beberapa bulan, pada beberapa pasien masih terdapat gejala sisa. Pada umumnya dapat kembali berkerja, pasien dapat melakukan aktivitas social dengan perawatan yang baik. PTA 2-4 minggu Proses penyembuhan berlangsung lama,

biasanya 1 tahun atau lebih. Didapatkan deficit permanen, sebagian tidak dapat melakukan aktivitas fungsional (bekerja atau melakukan aktivitas social) PTA lebih dari 4 minggu Terdapat defisit dan disabilitas yang permanen, dibutuhkan pelatihan dan perawatan jangka panjang

Pemeriksaan Tambahan

A. Rontgen Peranan foto rontgen tengkorak banyak diperdebatkan manfaatnya, meskipun beberapa rumah sakit melakukannya secara rutin. Selain indikasi medik, foto Rontgen tengkorak dapat dilakukan atas dasar indikasi legal/hukum. Foto R tengkorak biasa (AP dan Lateral) umumnya dilakukan pada keadaan : a. Defisit neurologik fokal b. Liquorrhoe
27

c. Dugaan trauma tembus/fraktur impresi d. Hematoma luas di daerah kepala. Pada keadaan tertentu diperlukan proyeksi khusus, seperti proyeksi tangensial pada dugaan fraktur impresi, proyeksi basis path dugaan fraktur basis dan proyeksi khusus lain pada dugaan fraktur tulang wajah.

B. CT SCAN

Indikasi.

CT

scanning jelas

merupakan

prosedur pilihan dalam memperbaiki secara jelas

mengevaluasi pasien cedera kepala dan kemungkinan

outcome pasien dengan cedera kepala. Setiap kali muncul scanner generasi baru, selalu disertai dengan perbaikan informasi yang diberikan. Dianjurkan sekali bahwa CT scan emergensi harus dilakukan sesegera mungkin (dalam setengah jam) setelah pasien dengan cedera kepala berat datang. Lesi densitas tinggi (hematoma epidural, subdural, intraserebral) dianggap memerlukan tindakan operasi dekompresi bila menyebabkan pergeseran garis tengah 5 mm atau lebih. Dengan kata lain, dasar pemikiran ditekankan pada derajat pergeseran garis tengah dalam menentukan pasien mana yang harus dioperasi. Pergeseran garis tengah yang bermakna pada pasien cedera kepala sudah dibuktikan ada kaitannya dengan tingkat kesadaran.

Indikasi CT Scan adalah : 1. Nyeri kepala menetap atau muntah muntah yang tidak menghilang setelah pemberian obatobatan analgesia/anti muntah. 2. Adanya kejang kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi intrakranial dicebandingkan dengan kejang general. 3. Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor faktor ekstracranial telah disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock, febris, dll). 4. Adanya lateralisasi. 5. Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan. 6. Luka tembus akibat benda tajam dan peluru 7. Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
28

8. Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).

Pada CT scan, edema tampak sebagai zona densitas rendah. Edema mungkin fokal, multi fokal atau diffusa. Dengan edema serebral difusa, mungkin sulit untuk memastikan densitas yang lebih rendah karena tidak ada area otak normal sebagai pembandingnya. Kontusi serebral tampak sebagai area densitas tinggi yang tak homogen yang tersebar diantara area densitas rendah. Walau tidak selalu mungkin

membedakan antara hematoma subdural dan epidural pada CT scan, yang terakhir ini khas dengan bentuk bikonveks atau lentikular, karena perlekatan yang erat antara dura dengan tabula interna mencegah hematoma mengalami penyebaran. Hematoma subdural yang khas cenderung menjadi lebih difus dibanding hematoma epidural dan memiliki tepi dalam yang konkaf yang mengikuti permukaan otak. Perbedaan antara lesi akuta, subakuta dan kronik agak tidak pasti. Hematoma intraserebral traumatika biasanya berlokasi dilobus frontal dan temporal anterior, walau bisa terjadi dimana saja. Infarksi iskemik akuta mungkin tampak sebagai area densitas rendah dibanding otak sekitarnya. Infarksi dapat dideteksi CT scan dalam 24 jam dari onsetnya, dan lebih dari 60% jelas tampak pada hari ketujuh.

C. MRI MRI kepala, adalah tehnik pencitraan yang lebih sensitif dibandingkan dengan CT scan, kelainan yang tidak tampak pada CT scan dapat dilihat oleh MRI. Namun dibutuhkan waktu pemeriksaan lebih lama dibandingkan dengan CT scan sehingga tidak sesuai dalam situasi gawat darurat. D. PET SCAN PET atau SPECT. Positron Emission Tomography (PET) dan Single Photon Emission Computer TomographyI (SPECT) mungkin dapat memperlihatkan abnormalitas pada fase akut dan kronis meskipun CT scan atau MRI dan pemeriksaan neurologis tidak memperlihatkan kerusakan. Namun, spesifisitas penemuan abnormalitas tersebut masih dipertanyakan. Saat ini, penggunaan PET atau SPECT pada fase awal kasus CKR masih belum direkomendasikan.

29

2.7.Penatalaksanaan Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat. Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak. Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat antara lain: a. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam) b. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit) c. Penurunan tingkat kesadaran d. Nyeri kepala sedang hingga berat e. Intoksikasi alkohol atau obat f. Fraktura tengkorak g. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea h. Cedera penyerta yang jelas i. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung jawabkan j. CT scan abnormal(Ghazali, 2007)

Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi, pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan antikonvulsan. Pada penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan tindakan operatif. Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai berikut: a. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih
30

b. dari 20 cc di daerah infratentorial c. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis d. tanda fokal neurologis semakin berat e. terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat f. pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm g. terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg. h. terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan i. terjadi gejala akan terjadi herniasi otak j. terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis

PEDOMAN RESUSITASI DAN PENILAIAN AWAL 1. Menilai jalan nafas : bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan; lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris dgn badan dgn memasang collar cervikal, pasang guedel/mayo bila dpt ditolerir. Jika cedera orofasial mengganggu jalan nafas, maka pasien harus diintubasi. 2. Menilai pernafasan ; tentukan apakah pasien bernafas spontan/tidak. Jika tidak beri O2 melalui masker O2. Jika pasien bernafas spontan selidiki dan atasi cedera dada berat untuk spt pneumotoraks e x tensif, hemopneumotoraks. Pasang oksimeter nadi menjaga saturasi O2 minimum 95%. Jika jalan nafas pasien tidak

terlindung bahkan terancam/memperoleh O2 yg adekuat ( Pa O2 >95% dan Pa CO2<40% mmHg serta saturasi O2 >95%) atau muntah maka pasien harus diintubasi serta diventilasi oleh ahli anestesi 3. Menilai sirkulasi ; otak yg rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan adanya cedera intra

abdomen/dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan darah, pasang EKG, pasang jalur intravena yg besar. Berikan larutan koloid

sedangkan larutan kristaloid menimbulkan eksaserbasi edema. 4. Obati kejang ; Kejang konvulsif dpt terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati mula-mula diberikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dpt diulangi 2x jika masih kejang. Bila tidak berhasil diberikan fenitoin 15mg/kgbb

31

5. Menilai tingkat keparahan : CKR,CKS,CKB. 6. Pada semua pasien dengan cedera kepala dan atau leher, lakukan foto tulang belakang servikal ( proyeksi A-P, lateral dan odontoid ), kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh servikal C1-C7 normal. 7. Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat : Pasang infus dgn larutan normal salin ( Nacl 0,9% ) atau RL cairan isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskular daripada cairan hipotonis dan larutan ini tdk menambah edema cerebri Lakukan pemeriksaan ; Ht, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia darah Lakukan CT scan

Pasien dengan CKR, CKS, CKB harus dievaluasi adanya : 1. Hematoma epidural 2. Darah dalam sub arachnoid dan intraventrikel 3. Kontusio dan perdarahan jaringan otak 4. Edema cerebri 5. Pergeseran garis tengah 6. Fraktur kranium 8. Pada pasien yg koma ( skor GCS <8) atau pasien dgn tanda-tanda herniasi lakukan : Elevasi kepala 30 Hiperventilasi Berikan manitol 20% 1gr/kgBB intravena dlm 20-30 menit. Dosis ulangan dapat diberikan 4-6 jam kemudian yaitu sebesar dosis semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam I. Infuse manitol 20% 500 ml, berarti terdapat kandungan manitol 100 gram. Misal ada pasien dengan berat berat badan 50 kg, maka dia membutuhkan 1 x 50 gram manitol = 50 gram manitol Berarti dia butuh 250 ml cairan infuse, 250 ml cairan infuse manitol harus habis dalam waktu 30 menit, Kita memakai infuse makro yaitu 1ml = 20 tetes. Karena disini 250 ml, maka jumlah total tetesan 5000 tetes dan harus habis
32

dalam waktu 30 menit, Maka 1 menit harus keluar 167 tetes, Yang berarti dalam waktu 1 detik harus keluar 3 tetes. Pasang kateter foley Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi (hematom epidural besar, hematom sub dural, cedera kepala terbuka, fraktur impresi >1 diplo).

Penanganan Cedera Kepala Ringan (GCS 14-15) Sekitar 80% dari semua pasien cedera kepala dikategorikan sebagai cedera kepala ringan. Pasien sadar tetapi mungkin mengalami hilang ingatan atas kejadian yang melibatkan cederanya. Bisa terdapat riwayat singkat terjadinya pingsan namun sulit untuk diketahui. Gambaran ini sering berhubungan dengan alcohol atau zat intoksikan lainnya. Kebanyakan pasien dengan cedera kepala ringan sembuh tanpa penanganan

berarti. Tetapi, sekitar 3% mengalami komplikasi yang tidak terduga, mengakibatkan disfungsi neuroligik berat jika penurunan status mental terlambat dideteksi. Pemeriksaan CT scan perlu dipertimbangkan pada semua pasien yang mengalami pingsan lebih dari lima menit, amnesia, nyeri kepala berat, dan GCS<15 atau defisit neurologic fokal yang berhubungan dengan otak. Foto cervical X-ray perlu dilakukan jika terdapat nyeri leher atau nyeri saat palpasi. Pemerikasaan CT scan adalah metode yang lebih disukai. Jika tidak tersedia, skull X-ray bisa dilakukan terhadap cedera kepala tumpul dan penetrans. Yang harus diperhatikan pada foto kepala: 1. Fraktur linear atau depressed 2. Posisi midline pineal gland jika ada kalsifikasi 3. Level udara cairan pada sinus 4. Pneumocephals 5. Fraktur fasial 6. Benda asing

33

Indikasi rawat pasien cedera kepala ringan yaitu :

- Pingsan > 15menit - Post Traumatic Amnesia > 1Jam - Pada observasi penurunan kesadaran - Sakit Kepala >> - Fraktur - Otorhoe / Rinorhoe - Cedera penyerta, - CT-Scan Abnormal - Tidak ada keluarga - Intoksikasi alkohol / Obat-obatan.

Jika pasien asimtomatik, sadar penuh, normal secara neurologis, maka pasien diamati selama beberapa jam, diperiksa ulang, dan jika masih normal, akan dipulangkan. Pesan untuk penderita / keluarga, Segera kembali ke Rumah Sakit bila dijumpai hal-hal sbb : - Tidur / sulit dibangunkan tiap 2 jam - Mual dan muntah yang terus memburuk - Sakit Kepala yang terus memburuk - Kejang - Kelemahan tungkai & lengan (hemiparese) - Bingung / Perubahan tingkah laku /gaduh gelisah - Pupil anisokor - Nadi naik / turun (bradikardi)

34

PENANGANAN CEDERA KEPALA SEDANG (GCS 9-13) Kira-kira sekitar 10% dari pasien cedera kepala adalah termasuk cedera kepala sedang. Pasien masih dapat mengikuti perintah sederhana tetapi pasien biasanya bingung dan somnolen dan mungkin terdapat defisit neurologis fokal seperti hemiparesis. Sekitar 10-20% dari pasien ini mengalami penurunan kesadaran hingga koma. Sebelum dilakukan penanganan neurologis, anamnesa singkat dilakukan dan kardiopulmoner distabilkan terlebih dahulu. CT scan kepala perlu dilakukan dan dokter bedah saraf dihubungi. Semua pasien ini memerlukan observasi di ruang ICU atau unit serupa yang memudahkan observasi dan evaluasi neurologis ketat untuk 12 hingga 24

35

jam pertama. CT scan untuk follow up dalam 12-24 jam dianjurkan jika hasil CT scan awal abnormal atau jika terjadi penurunan pada status neurologis pasien.

Penanganan Cedera Kepala Berat (GCS 3-8) Pasien yang mengalami cedera kepala berat tidak mampu untuk mengikuti perintah sederhana bahkan setelah stabilisasi kardiopulmoner. Pendekatan wait and see pada pasien ini bisa berakibat fatal, maka diangnosis dan penanganan cepat sangatlah penting. Jangan menunda CT scan. A. Primary Survey dan Resusitasi Cedera kepala sering tidak disebabkan oleh cedera sekunder. Hipotensi pada pasien dengan cedera kepala berat berhubungan dengan tingkat mortalitas yang meningkat dua kali lipat disbanding pasien tanpa hipotensi (60% vs 27%). Adanya
36

hipoksia ditambah hipotensi berhubungan dengan tingkat mortalitas yang mencapai 75%. Maka dari itu, stabilisasi kardiopulmoner pada pasien cedera kepala berat adalah prioritas dan dan harus segera tercapai. Transient respiratory arrest dan hipoksia dapat menyebabkan cedera otak sekunder. Pada pasien koma, intubasi endotrakeal harus dilakukan segera. Pasien diberi oksigen 100% sampai didapat gas darah, lalu penysuaian tepat terhadap FIO2. Pulse oxymetri adalah pembantu yang berguna dan diharapkan didapat saturasi O2 > 98%. Hiperventilasi harus digunakan pada pasien dengan cedera kepala berat secara hati-hati dandipakai hanya saat terjadi penurunan tingkat neurologic. Hipotensi biasanya tidak terkait dengan cedera kepala itu sendiri kecuali pada stadium terminal saat terjadikegagalan vena medular. Perdarahan intrakranila tidak menyebabkan syok hemoragik. Euvolemia harus segera dilakukan jika pasien hipotensi. Hipotensi adalah penanda kehilangan banyak darah, walau tidak terlalu jelas. Penyebab yang harus diperhatikan yaitu cedera spinal cord, kontusio jantung atau tamponade dan tension pneumothorax. B. Pemeriksaan Neurologis

Segera setelah status kardiopulmoner pasien stabil, pemeriksaan neurologis yang cepat dan langsung. Terdiri dari pemeriksaan GCS dan reflex cahaya pupil. Pada pasien koma, respon motorik dapat dilakukan dengan mencubit otot trapezius atau dengan nail-bed pressure. C. Secondary Survey Pemeriksaan seperti GCS, lateralisasi dan reaksi pupil sebaiknya dilakukan untuk mendeteksi penurunan neurologik sedini mungkin. D. Prosedur Diagnostik CT scan kepala emergensi harus dilakukan sedini mungkin setelah hemodinamik stabil. CT scan juga harus diulang bila ada perubahan pada status klinis dan secara rutin 12-24 jam setelah cedera untuk pasien dengan kontusio atau hematom pada CT scan awal.

37

2.8.Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi bila trauma kepala merupakan cedera yang berat atau cedera ringan/sedang yang tidak tertangani maka dapat terjadi: 1. Gangguan neurologik, cedera saraf otak dapat berupa anosmia, gangguan visus, strabismus, gangguan pendengaran atau keseimbangan, disarti hingga hemiparesis. 2. Sindrom pascatrauma, biasanya pada cedera kepala ringan, atau pingsan yang tidak lebih dari 20 menit. Keluhan dapat berupa nyeri kepala, kepala terasa berat, mudah lupa, daya konsentrasi menurun, dan lain-lain. 3. Ensefalopati pascatrauma, gambaran klinis tampak sebagai demensia, penurnan kesiagaan, dan yang lainnya. 4. Epilepsi pascatrauma, biasanya terjadi karena cedera koortikal 5. Koma,penderita dengan trauma kepala berat dapat berakhir dengan keadaan korteks serebrum tidak berfungsi lagi semua rangsangan dari luar dapat diterima namun tidak disadari. Penderita biasanya dalam keadaan tutup mata dan terdapat siklus banngun tidur. Penderita dapat bersuara, gerakan ototnya lemah atau tidak ada sama sekali. 6. Mati otak, pada keadaan mati otah selain henti napas, semua refleks batang otak tidak dapat ditimbulkan, seperti refleks, pupil, kornea, refleks muntah dan batuk.
38

2.9.Prognosis Prognosis ditetapkan berdasarkan keadaan kesadaran pada saat pasien masuk semua penderita mendapat terapi agresif menurut konsultasi dari ahli bedah saraf. Terutama pada anak-anak yang mempunyai daya pemulihan yang baik. Penderita usia lanjut biasanya mempunyai kemungkinan yang lebi rendah untuk pemulihan dari cedera kepala. Pasien dengan GCS yang rendah pada 6-24 jam setelah trauma, prognosisnya lebih buruk daripada pasien dengan GCS 15.

39

DAFTAR PUSTAKA

Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4, Anugrah P. EGC, Jakarta,1995, 1014-1016 Anonym, Intracranial Hemorrhage, www.ispub.com A Pierce. Dkk. At a Glance Ilmu Bedah. Penerbit Erlangga. Jakarta.2006 Buergener F.A, Differential Diagnosis in Computed Tomography, Baert A.L. Thieme Medical Publisher, New York,1996, 22 Dahnert W, MD, Brain Disorders, Radioogy Review Manual, second edition, Williams & Wilkins, Arizona, 1993, 117 178 Dewanto, George, dkk. Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf.EGC. Jakarta. 2009 Iskandar J, Cedera Kepala, PT Dhiana Populer. Kelompok Gramedia, Jakarta, 1981 Konsensus Nasional. Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Jakarta. 2006. Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua, Harsono, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, 314 Mardjono M. Sidharta P., Mekanisme Trauma Susunan Saraf, Neurologi Kilinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2003, 254-259 Schwartz, dkk. Intisari Prinsp-Prinsip Ilmu Bedah. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000. Sjamsuhidajat, dkk. Buku Ajar Ilmu Bedah. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.2005

40

You might also like