You are on page 1of 39

PENDAHULUAN

Resusitasi Jantung Paru (RJP) adalah metode untuk mengembalikan fungsi pernapasan dan sirkulasi pada pasien yang mengalami henti napas dan henti jantung yang tidak diharapkan mati pada saat itu. Metode ini merupakan kombinasi pernapasan buatan dan bantuan sirkulasi yang bertujuan

mencukupi kebutuhan oksigen otak dan substrat lain sementara jantung dan paru tidak berfungsi.

Keberhasilan RJP dimungkinkan oleh adanya interval waktu antara mati klinis dan mati biologis, yaitu sekitar 4-6 menit. Dalam waktu tersebut mulai terjadi kerusakan sel-sel otak yang kemudian dikiuti organ-organ tubuh lain. Dengan demikian pemeliharaan perfusi serebral merupakan tujuan utama pada RJP.

Mati klinis merupakan periode dini suatu kematian yang ditandai dengan henti napas dan henti jantung/ sirkulasi serta terhentinya aktivitas sementara (reversible). Mati biologis mengikuti mati klinis bila tidak dilakukan RJP atau bila RJP tidak berhasil. Pada mati biologis terjadi proses nekrotisasi semua jaringan. Proses ini dimulai dari neuron-neuron serebral yang seluruhnya akan rusak dalam waktu 1 jam dan diikuti organ-organ lain, seperti jantung, ginjal dan hati yang akan rusak dala 2 jam.

Dikenal pula istilah mati social, yaitu suatu kerusakan otak yang hebat dan irreversible sehingga pasien tidak sadar dan tidak responsif, tetapi EEG aktif daneberapa reflex masih utuh. Pernafasan bisa spontan atau dibantu dengan alat bantu napas (respirator). Kesadaran koma, kadang-kadang seperti bangun dan membuka mata, tetapi tidak bisa kontak dengan dunia luar.

Biasanya setiap Negara membuat petunjuk untuk melakukan RJP dan sering merujuk pada petunjuk resusitasi yang telah dibuat oleh Negara maju seperti Dewan Resusitasi Eropa, Inggris, Australia dan Amerika Serikat. Selar membagi resusitasi menjadi beberapa tahap yaitu:

1. Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support) Resusitasi ABC (Airway control atau Assessment, Breathing support, Circulatory support). Oksigenasi darurat (emergency oxygenation).

2. Bantuan Hidup Lanjut (Advanced Life Support) Resusitasi DEF (Drugs and Fluids, ECG Diagnosis, Fibrillation treatment). Pengembalian sirkulasi spontan.

3. Bantuan Hidup Perpanjangan (Prolonged Life Support) Resusitasi GHI (Gauging, Human mentation, Intensive Care). Resusitasi otak, terapi otak pasca resusitasi.

Tatalaksana resusitasi ini mengalami perbaikan terus menerus akibat kemajuan dalam bidang kedokteran termasuk ditemukannya alat, obat dan cara-cara yang lebih efisen. Dalam referat ini hanya akan membincangkan tentang perkara pertama dan kedua yaitu Bantuan Hidup Dasar dan Bantuan Hidup Lanjut.

INDIKASI RESUSITASI

Indikasi dilakukannya resusitasi adalah henti napas (apnoe) dan henti jantung (cardiac arrest).

1. Henti napas (apnoe) Henti napas dapat disebabkan oleh sumbatan jalan napas atau akibat depresi pernapasan, baik di sentral maupun perifer. Bila terjadi henti napas primer, jantung dapat terus memompa darah selama beberapa menit selama ada sisa oksigen didalam paru yang beredar ke otak dan organ vital lain. Penanganan dini pada pasien dengan henti napas atau sumbatan jalan napas dapat mencegah henti jantung. Sumbatan jalan napas dapat dikenali dengan cara ini; a. Sumbatan jalan napas total Aliran udara di mulut atau hidung tidak dapat didengar atau dirasakan. Pada pergerakan napas spontan terlihat retraksi supraklavikula dan sela iga serta tidak ada pengembangan dada pada inspirasi. Adanya kesulitan inflasi paru dalam usaha memberikan ventilasi buatan. Pada bayi, sering ditemui pernapasan paradoksal

b. Sumbatan jalan napas parsial Terdengar suara napas tambahan, yaitu bunyi dengkur (snoring) yangmenandakan sumbatan parsial hipofaring yang disebabkan oleh adanya jaringan lunak, misalnya jatuhnya dasar lidah, dan hipertrofi tonsil. Bunyi lengking (crowing) yang menandakan laringospasme; bunyi kumur (gargling) yang menandakan adanya benda asing berupa cairan; dan bunyi bengek (wheezing) yang menandakan terdapat sumbatan jalan napas bawah setelah bronkiolus respiratorius. Dapat juga disertai retraksi.

Gejala akibat sumbatan jalan napas yang segera dapat diketahui dari keadaan klinis; a. Hiperkarbia; yaitu penurunan kesadaran. Dipastikan dengan peninggian PCO arteri. b. Hipoksemia; yaitu takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis. Keadaan hipokseia dipastikan dengan penurunan PO arteri. 2. Henti jantung (cardiac arrest) Bila terjadi henti jantung primer, oksigen tidak beredar dan oksigen yang tersisa dalam organ vital akan habis dalam beberapa detik. Henti jantung dapat disebabkan oleh factor intrinsic atau ekstrinsik. a. Faktor intrinsic Penyakit kardiovaskular seperti asistol, fibrilasi ventrikel, dan disosiasi

elektromekanik b. Faktor ekstrinsik Kekurangan oksigen akut (henti napas sentral/ perifer, sumbatan jalan napas, dan inhalasi asap) Kelebihan dosis obat (digitalis, kuinidin, antidepresan trisiklik, propoksifen, adrenalin dan isoprenalin) Gangguan asam basa/elektrolit (hipo/hiperkalemia, hipo/hipermagnesia,

hiperkalsemia, asidosis) Kecelakaan (syok listrik, tenggelam dan cedera kilat petir) Syok (Hipovolemik, neurogenik, toksik dan anafilatik) Refleks vagal, anestesi dan pembedahan.

Tanda-tanda henti jantung adalah sebagai berikut; Hilangnya kesadaran dalam waktu 10-20 detik setelah henti jantung Henti napas (apnoe) atau megap-megap (gasping) yang muncul setelah 15-30 detik henti jantung. Terlihat seperti mati (death like appearance) dengan warna kulit pucat sampai kelabu. Pupil dilatasi dalam waktu 45 detik setelah henti jantung Tidak teraba denyut arteri besar, yaitu arteri femoralis dan karotis pada orang dewasa atau brachialis pada anak kecil dan bayi. Tanda ini muncul segera setelah henti jantung.

Diagnosis henti jantung sudah dapat ditegakkan bila pasien tidak sadar dan tidak teraba denyut arteri besar. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah;

Tekanan darah sistolik 50mmHg mungkin tidak menghasilkan denyut nadi yang dapat diraba. Aktivitas elektrokardiogram (EKG) mungkin terus berlanjut meskipun tidak ada kontraksi mekanis terutama pada asfiksia. Gerakan kabel EKG dapat menyerupai irama yang tidak mantap.

Resusitasi harus dilakukan pada infark jantung kecil yang mengakibatkan kematian listrik, serangan Adam-Stokes, hipoksia akut, keracunan dan kelebihan dosis obat-obatan, serangan listrik, reflex vagal, tenggelam dan kecelakaan-kecelakaan lain yang masih memberikan peluang hidup. TAHAP-TAHAP RESUSITASI

Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support)

Bantuan hidup dasar atau disebut juga ABC RJP bertujuan melakukan oksigenisasi darurat secara efektif pada organ vital seperti otak dan jantung melalui ventilasi buatan dan sirkulasi buatan sampai paru dan jantung dapat menyediakan oksigen dengan kekuatan sendiri secara normal.

Resusitasi mencegah agar supaya sel-sel tidak rosak akibat kekurangan oksigen. BHD terdiri dari menjaga jalan napas tetap paten (A= Airway), membuat napas buatan (B= Breathing) dan membuat sirkulasi buatan dengan pijatan jantung (C= Circulation). Tindakan ini dilakukan tanpa alat atau dengan alat yang sederhana dan harus dilakukan dengan cepat dalam waktu kurang dari 4 menit pada suhu normal secara baik dan terarah. Apabila BHD dilakukan cukup cepat, kematian mungkin dapat dihindari seperti tambak pada tabel tersebut ini. Keterlambatan 1 menit 4 menit 10 menit Kemungkinan berhasil 98 % 50 % 1%

Catatan : bila ada tanda kematian pasti seperti kaku mayat atau lebam mayat, sudah sia-sia untuk melakukan BHD

Pada awal langkah BHD dilakukan penilaian kesadaran dengan memberikan goncangan dan teriakan. Bila tidak ada tanggapan, korban/ pasien diletakkan dalam posisi terlentang dan bantuan hidup dasar segera diberikan. Sementara itu penolong dapat meminta pertolongan dan bila mungkin mengaktifkan system pelayanan medis darurat.

Comprehensive emergency cardiac care algorithm. BLS, basic life support; CPR, cardiopulmonary resuscitation; IV, intravenous(ly); PEA, pulseless electrical activity; VF, ventricular fibrillation; VT, ventricular tachycardia. (Reprinted with permission from American Heart Association: Guidelines 2000 for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care: International consensus on science. Circulation 102:I)

P.1506

AIRWAY

Oleh karena sistem pernafasan sangat dititikberatkan dalam melakukan bantuan hidup dasar, komponen-komponen dalam sistem pernafasan perlu dikuasai. Komponen yang penting dari sistem pernapasan adalah hidung dan mulut, faring, epiglotis, trakea, laring, bronkus dan paru.

Anatomi sistem pernapasan Hidung dan mulut Normalnya, manusia akan berusaha bernapas melalui hidung, dan pada keadaan tertentu akan bernapas melalui mulut. Udara yang masuk akan mengalami proses penghangatan dan pelembapan. Pada korban yang tidak sadar, lidah akan terjatuh kebelakang rongga mulut. hal ini dapat menyebabkan gangguan pada airway. Lidah pada bayi lebih besar secara relatif sehingga lebih mudah menyumbat airway.

Faring Kalau kita membuka mulut lebar-lebar, maka akan terlihat suatu ruangan pada dinding belakang, yang dikenal sebagai faring. Udara dari hidung dan mulut, serta makanan dari mulut harus melalui faring ini. Udara dari mulut masuk melalui lubang mulut ke faring yang dikenal sebagai orofaring. Udara yang masuk melalui hidung akan ke bagian faring yang dinamakan nasofaring. Pada bagian bawah, faring terbagi menjadi dua saluran. Saluran pertama disebut sebagai esofagus (kerongkongan) yang merupakan jalur masuk makanan ke lambung. Saluran kedua disebut sebagai laring (tenggorokan), yang merupakan jalur pernapasan dan akan bersambungan dengan paru.

Epiglotis Trakea dilindungi oleh sebuah flap berbentuk daun yang berukuran kecil yang dinamakan epiglotis. Normalnya, epiglotis menutup laring pada saat makanan atau minuman masuk melalui mulut, sehingga akan diteruskan ke esofagus. Tetapi, pada keadaan tertentu seperti trauma atau penyakit, refleks ini tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya, sehingga dapat terjadi masuknya benda padat atau cair ke laring yang dapat mengakibatkan tersedak. Laring dan trakea Laring adalah bagian paling pertama dari saluran pernapasan. Pada bagian ini terletak pita suara. Setelah melalui laring, udara akan melalui trakea. Pada bayi, trakea berukuran lebih kecil, sehingga tindakan mendongakkan kepala secara berlebihan (hiperekstensi) akan menyebabkan sumbatan pada airway.

Bronkus dan paru Ujung bawah trakea akan bercabang menjadi dua, yaitu bronkus kanan dan bronkus kiri. Setiap bronkus akan terbagi-bagi lagi menjadi bagian yang lebih kecil yang disebut bronkiolus. Dapat dibayangkan seperti ranting-ranting dan cabang-cabangnya pada sebuah pohon. Pada ujung terakhir, ada yang disebut alveolus. Pada alveolus akan terjadi pertukaran oksigen dengan karbon dioksida.

Obstruksi Jalan Napas Obstruksi jalan napas merupakan pembunuh tercepat, lebih cepat dibandingkan gangguan breathing dan circulation. Lagi pula perbaikan breathing tidak mungkin dilakukan bila tidak airway yang paten. Obstruksi jalan napas dapat total dan parsial :

Obstruksi total Pada obstruksi total mungkin penderita ditemukan masih sadar atau dalam keadaan tidak sadar. Pada obstruksi total yang akut biasanya disebabkan tertelannya benda asing yang lalu menyangkut dan menyumbat di pangkal larink. Bila obstruksi total timbul perlahan (insidious) maka akan berawal dari obstruksi parsial yang kemudian menjadi total. Bila penderita masih sadar, penderita akan memegang leher. Dalam keadaan sangat gelisah. Sianosis mungkin ditemukan dan mungkin ada kesan masih bernapas (walaupun tidak ada ventilasi). Dalam keadaan ini harus dilakukan Heimlich manuver (abdominal thrust). Kontra indikasi dari Heimlich

manuver adalah kehamilan tua (harus dilakukan sterna thrust) dan bayi (dilakukan abdominal thrust dan back thrust). Bila penderita ditemukan tidak sadar, tidak ada gejala apa pun, mungkin hanya sianosis saja. Pada saat melakukan pernapasan buatan mungkin ditemukan resistensi (tahanan) terhadap ventilasi. Dalam keadaan ini harus ditentukan dengan cepat adanya obstruksi total dengan sapuan jari (finger sweep) ke dalam faring sampai di belakang epiglotis. Apabila tidak berhasil mengeluarkan dengan finger sweep dan tidak ada perlengkapan sesuai (faringoskop atau forseps) maka terpaksa dilakukan abdominal thrust dalam keadaan penderita berbaring.

Standard Approach to the Unconscious Patient 1. Determine unresponsiveness. 2. Activate emergency medical services or team. 3. Position victim supine on firm surface. 4. Open airway. 5. Determine absence of breathing. 6. Perform ventilation by giving 2 breaths. 7. Determine absence of pulse. 8. Initiate chest compressions. 9. Alternate 15 compressions with 2 breaths.

Abdominal thrust

Sternal thrust

Finger sweep

Back thrust

Abdominal thrust

Obstruksi parsial

Obstruksi parsial dapat disebabkan berbagai hal. Biasanya penderita masih dapat bernapas sehingga timbul beraneka ragam suara, tergantung penyebabnya. Cairan (darah, sekret, aspirasi lambung, dsb) : timbul suara gurgling suara bernapas bercampur suara cairan. Dalam keadaan ini harus dilakukan penghisapan (suksion) Lidah yang jatuh ke belakang : keadaan ini dapat karena keadaan tidak sadar (koma) atau patah tulang rahang bilateral. Timbul suara mengorok (snoring) yang harus diatasi dengan perbaikan airway manual atau dengan alat. Penyempitan di laring atau trakhea : dapat disebabkan edema karena berbagai hal (luka bakar, radang, dll) ataupun desakan neoplasma. Timbul suara crowing atau stridor respiratoir. Keadaan ini hanya dapat diatasi dengan perbaikan airway distal dari sumbatan misalnya dengan trakheostomi.

Pengelolaan Jalan Napas Bila ada sumbatan jalan napas, sudah jelas bahwa sumbatan tersebut harus diatasi. Walaupun demikian dalam keadaan tertentu misalnya penderita dengan koma, tetap dilakukan pemasangan alat jalan napas, karena sumbatan dalam keadaan ini adalah mengancam (impending). Penghisapan (suksion)

Suksion dapat dilakukan dengan kateter suksion (kateter lunak, soft/flexible tipped) atau alat suksion khusus seperti yang dipakai di kamar operasi (rigid tip, tonsil tip atau Yankauer tip). Untuk cairan (darah, sekret, dll) dapat dipakai soft tip, tetapi untuk materi yang kental (sisa makanan, dll) sebaiknya memakai tipe yang rigid. Soft tip kateter dapat dipakai untuk melakukan suksion daerah hidung atau nasofaring serta dapat dimasukkan melalui tube endo tracheal (ETT). Rigid tip dapat menyebabkan timbulnya refleks muntah bila tersinggung dinding faring. atau bahkan dapat menimbulkan perdarahan. Walaupun demikian rigid tip lebih disukai karena manipulasi alat lebih mudah dan suksion lebih efisien.

Bila memakai rigid tip maka ujung tip harus selalu terlihat (jangan suksion secara membabi buta), bila memakai soft tip boleh sampai masuk secara hati-hati ke belakang pangkal lidah. Bila memakai soft tip masuk ke arah nasofaring harus selalu diukur, jangan sampai terlalu jauh. Pada fraktur basis cranii alat yang dimasukkan lewat hidung ada kemungkinan masuk rongga tengkorak.

Bila penderita muntah dan nampaknya suksion tidak akan menolong, maka kepala harus dimiringkan, bila penderita trauma maka jangan sekali-kali memiringkan kepala saja tetapi seluruh penderita harus dimiringkan dengan log roll.

Prosedur suksion akan juga menghisap oksigen yang ada dalam jalan napas karena itu lamanya suksion maksimal 15 detik pada orang dewasa dan 5 detik pada anak kecil.

Menjaga jalan napas secara manual

Pada orang sadar biasanya jalan napas sudah terjaga oleh penderita sendiri, walaupun mungkin terganggu karena sebab lain seperti sumbatan karena neoplasma dll. Bila penderita tidak sadar maka lidah dapat dihindarkan jatuh ke belakang dengan memakai : Head tilt & chin lift maneuver Prosedur ini tidak boleh dipakai bila ada kemungkinan patah tulang servikal. Tangan kanan diletakkan pada dahi penderita, sedangkan tangan kiri pada ujung dagu mengait dagu dan menarik mandibula ke depan. Mulut tidak boleh terkatup. Bila perlu ujung dagu dijepit dan ditarik ke depan. Jangan meletakkan ibu jari dalam mulut penderita bila tidak ingin terluka. Jaw thrust Petugas di belakang kepala penderita dan dengan kedua tangan di belakang sudut rahang bawah mendorong rahang bawah ke anterior.

Head tilt

Chin lift

Jaw thrust

Jalan napas sementara Dengan alat dimasukkan lewat hidung (nasopharingeal airway) atau lewat mulut (oropharingeal airway). Oro pharingeal airway Alat ini lebih populer sebagai guedel walaupun ada tipe yang lain seperti misalnya tipe mayo atau williams. Satu hal yang harus diperhatikan adalah bahwa oropharingeal airway tidak boleh dipasang pada penderita sadar atau pada penderita setengah sadar yang berusaha menolak alat ini. Pemaksaan pemasangan alat ini akan menimbulkan gag refleks atau muntah yang mungkin menyebabkan aspirasi. Ukuran panjang oropharingeal airway dihitung dari sudut mulut ke angulus mandibulae (sudut rahang bawah). Pemasangan alat ini bisa dengan 2 cara : yang pertama, mulut dibuka lalu dimasukkan terbalik dan bila sudah mencapai palatum mole lalu dilakukan rotasi. Yang kedua, mulut dibuka dengan tongue spatel lalu dengan hati-hati dimasukkan ke belakang. Pada anak kecil sebaiknya memakai cara kedua karena proses rotasi mungkin menyebabkan patahnya gigi atau kerusakan farings. Naso pharingeal airway Alat ini tidak boleh dipsang bila ada kemungkinan fraktur basis kranii anterior (keluar darah dari hidung atau mulut dan ada brill hematom), karena mungkin alat ini bisa masuk ke otak. Pada keadaan ini pemasangan hanya boleh dilakukan oleh dokter dengan memakai mandrin atau stylet. Panjang tube dapat dihitung dari pangkal cuping hidung sampai cuping telinga. Cara pemasangan : dengan selalu mengusahakan masuk melalui lubang hidung sebelah kanan walaupun yang kiri juga diperbolehkan, tube diberi pelumas terlebih dahulu lalu dimasukkan perlahan ke belakang, bila ada hambatan langsung ditarik keluar dan dicoba di sebelahnya. Tube akan terlalu panjang bila setelah pemasangan tidak ada hembusan udara melalui lumen dari tube berarti masuk ke dalam esophagus. Jalan napas definitive Nasotracheal airway Orotracheal airway Crico-thyroidotomy Tracheostomy

Oro-tracheal airway

Naso-tracheal airway

The American Society of Anesthesiologists Difficult Airway Algorithm. (Adapted from Practice guidelines for the management of the difficult airway: An updated report by the American Society of Anesthesiologists Task Force on Management of the Difficult Airway. Anesthesiology 98:1269, 2003.)

Kematian karena masalah airway pada trauma disebabkan oleh : Kegagalan dalam mengenal airway yang tersumbat sebagian dan atau ketidakmampuan penderita untuk berventilasi dengan cukup. Gabungan obstruksi jalan napas dengan ketidakcukupan ventilasi dapat menyebabkan hipoksia yang

mengancam jiwa. Kombinasi ini mungkin terlupakan bila ditemukan perlukaan yang tampaknya serius; Ingat airway dan ventilasi tetap merupakan prioritas yang pertama. Terlambatnya menjaga jalan napas Keterlambatan dalam menjaga ventilasi Adanya kesulitan teknis dalam menjaga jalan napas dan atau membantu ventilasi ; intubasi yang salah dan masuk ke esofagus akan memperburuk ventilasi dan dengan cepat dapat mengakibatkan kematian bila tidak dikenali secara dini Aspirasi isi gaster

BREATHING Bernapas adalah usaha seseorang secara tidak sadar/otomatis untuk melakukan pernafasan. Bila airway sudah baik, belum tentu pernapasan akan baik sehingga perlu selalu dilakukan pemeriksaan apakah pernapasan penderita sudah adekuat atau belum. Pernapasan normal Kecepatan bernapas manusia adalah : Dewasa Anak : 12-20 kali/menit : 15-30 kali/menit

Bayi baru lahir : 30-50 kali/menit Pada orang dewasa, abnormal bila pernapasan >30 kali/menit atau <10 kali/menit. Pernapasan umumnya thoraco abdominal, pada penderita trauma yang tidak sadar akan dijumpai pernapasan abdominal, selalu dipikirkan kemungkinan cedera tulang belakang. Pada anak-anak pernapasan abdominal lebih dominan. Sesak napas Sesak napas dapat dilihat atau mungkin juga tidak, bila terlihat mungkin akan ditemukan : Penderita mengeluh sesak Pernapasan cuping hidung Pemakaian otot bantu pernapasan : Retraksi supra sternal Retraksi inter costal Retraksi sternum Retraksi infra sterna Bernapas cepat (takipnea) Mungkin dijumpai sianosis

Pemeriksaan fisik Inspeksi : rate, ritme dan bentuk pernapasan, juga diperiksa peranjakan paru apakah simetris atau tidak dan dilihat adanya tanda apnea Auskultasi : bising napas vesikuler tanpa ronkhi, tempat pemeriksaan dibawah klavikula dan pada garis aksilaris anterior, bising napas harus simetris kanan dan kiri Perkusi : pada daerah paru selalu sonor, pada daerah jantung menjadi pekak dan di atas lambung menjadi tympani, juga perkusi harus simetris kanan dan kiri. OKSIGENASI Oksigenasi sebaiknya diberikan melalui suatu masker yang terpasang dengan baik dengan flow 10-12 liter per menit. Cara pemberian oksigen lain adalah dengan nasal kateter, kanul dan sebagainya juga dapat memberikan oksigenasi. Karena perubahan kadar oksigen darah dapat berubah dengan cepat dan tidak mungkin dikenali secara klinis maka harus dipertimbangkan pemakaian pulse oksimetri bila diduga ada masalah intubasi atau ventilasi. Ini termasuk pada saat mentransport penderita luka parah.

Kanul nasal

Rebreathing mask

Non-rebreathing mask

Tindakan-tindakan ini dapat dilakukan bila pernapasan seseorang terganggu:

Cek pernapasan dengan melihat dada pasien dan mendekatkan pipi dan telinga ke hidung dan mulut korban dengan mata memandang ke arah dada korban (max 10 detik)

Bila korban masih bernapas namun tidak sadar maka posisikan korban ke posisi mantap (posisikan tubuh korban miring ke arah kiri) dan pastikan jalan napas tetap terbuka; segera minta bantuan dan pastikan secara berkala (tiap 2 menit) di cek pernapasannya apakah korban masih bernapas atau tidak

Gambar : Posisi mantap

Jika korban bernapas tidak efektif (bernapas satu-satu, ngap-ngap, atau tidak bernapas) :

Aktifkan sistem gawat darurat (bila ada orang lain minta orang lain untuk mencari/menghubungi gawat darurat)

Buka jalan napas dengan menengadahkan kepala korban dan menopang dagu korban (head tilt dan chin lift)

(i)

(ii)

(iii)

Gambar : (i) Buka jalan nafas; mendengar, melihat dan merasakan hembusan nafas, (ii)mulut ke mulut (iii) mulut ke stoma

Pastikan tidak ada sumbatan dalam mulut korban; bila ada sumbatan dapat dibersihkan dengan sapuan jari-balut dua jari anda dengan kain dan usap dari sudut bibir sapu ke dalam dan ke arah luar

Berikan napas buatan dengan menarik napas biasa lalu tempelkan bibir anda ke bibir korban dengan perantaraan alat pelindung diri (face mask, face shield) lalu hembuskan perlahan >1 detik sambil jari tangan anda menutup hidung korban dan mata anda melihat ke arah dada korban untuk menilai pernapasan buatan yang anda berikan efektif atau tidak (dengan naiknya dada korban maka pernapasan buatan dikatakan efektif)

Berikan nafas buatan 2x lalu periksa denyut nadi korban (menggunakan jari telunjuk dan jari tengah raba bagian tengah jakun, lalu geser ke arah samping hingga teraba lekukan di

pinggir jakun tersebut) didaerah leher seperti pada gambar; bila tidak ada denyut maka masuk ke langkah CPR

Gambar : Periksa denyut pembuluh darah arteri karotis

Bila ada denyut nadi maka berikan napas buatan dengan frekuensi 12x/ menit atau dengan kata lain tiap 5 detik sampai korban sadar dan bernapas kembali atau tenaga paramedis dating. Selain itu, selalu periksa denyut nadi korban apakah masih ada atau tidak setiap dua menit.

CIRCULATION

Sistem sirkulasi atau pompa darah pada tubuh manusia dilakukan oleh jantung. Jantung terdiri dari empat ruangan, yaitu atrium kanan, atrium kiri, bilik kanan dan bilik kiri. Jantung berfungsi memompa darah ke seluruh tubuh. Kepentingan sirkulasi adalah untuk mempertahankan aliran darah bersamaan dengan tindakan untuk menghentikan perdarahan (control of hemorrarghic).

Frekwensi denyut jantung Frekwensi denyut jantung pada orang dewasa adalah 60-80 kali per menit. Bila kurang dari 50 kali per menit disebut bradikardi dan bila lebih dari 100 kali per menit disebut takikardi. Bradikardi sering ditemukan pada atlit yang terlatih. Pada bayi frekwensi denyut jantung 85-200 kali per menit sedangkan pada anak-anak 2-10 th adalah 60-140 kali per menit. Pada syok bila ditemukan bradikardi merupakan tanda prognosa yang buruk.

Tekanan darah Tekanan darah sistolik dewasa adalah 90-140 mmHg. Pada anak-anak dapat dipakai rumus : tekanan sistolik minimal = 70 + (2 x usia (th). Tekanan darah tidak dapat dipercaya sebagai indikator dini pada syok karena: tekanan darah sistolik bisa tidak turun sampai kehilangan darah lenih dari 30% volume darah (baru akan turun jika sudah melebihi ini) pada penderita hipertensi tekanan darah mungkin turun tetapi masih dapat dianggap normal. Penentuan denyut nadi Pada orang dewasa dan anak anak denyut nadi diraba pada arteri karotis yaitu medial dari muskulus sterno kledomastoideus. Pada bayi meraba denyut nadi pada arteri brachialis yaitu pada sisi medial lengan atas. Dalam penilaian sirkulasi, nilai apakah ada tanda dan gejala syok dan henti jantung.

SYOK Syok dapat disebabkan berbagai hal. Apapun penyebabnya penderita selalu dipasang infus. Gejala syok : Kulit pucat dan dingin (gangguan perfusi kulit) Takikardi Berkurangnya urin (oliguria sampai anuria karena gangguan perfusi ginjal) Gangguan kesadaran (gangguan perfusi otak) Turunnya tekanan darah (bukan merupakan gejala dini) Pengelolaan syok ditujukan pada penyebabnya, misalnya syok karena perdarahan maka perdarahannya harus dihentikan.

HENTI JANTUNG Gejala henti jantung adalah gejala syok yang sangat berat. Penderita mungkin masih akan berusaha menarik napas satu atau dua kali setelah itu akan berhenti bernapas. Penderita akan ditemukan dalam keadaan tidak sadar. Pada saat perabaan nadi tidak ditemukan denyut arteri karotis. Bila ditemukan henti jantung maka harus dilakukan masase jantung luar yang merupakan bagian dari resusitasi jantung paru (RJP / CPR). RJP hanya menghasilkan 25-30% dari curah jantung (cardiac output) sehingga oksigen tambahan mutlak diperlukan.

RESUSITASI JANTUNG PARU (RJP) Langkah yang harus diambil sebelum memulai RJP (American Heart Association) Tentukan tingkat kesadaran (respons penderita) Dilakukan dengan mengoyang penderita, bila penderita menjawab maka ABC dalam keadaan baik, bila tidak ada respon maka : Panggil bantuan (call for help) Bila petugas sendiri jangan mulai RJP sebelum memanggil bantuan. Posisi penderita Penderita harus dalam keadaan telentang. Bila telungkup penderita dibalikkan, pada keadaan trauma pembalikan dilakukan dengan log roll

Periksa pernapasan Periksa dengan inspeksi, palpasi dan auskultasi. Pemeriksaan ini paling lama 3-5 detik, bila penderita bernapas tidak memerlukan RJP Berikan pernapasan buatan 2 kali Bila pernapasan buatan 1 kali tidak berhasil maka posisi kepala diperbaiki atau mulut lebih dibuka. Bila pernapasan buatan kedua tidak berhasil (karena retensi/tahanan yang kuat) maka airway harus dibersihkan dari obstruksi (Heimlich maneuver, finger sweep, dll) Periksa pulsasi arteri karotis (5-10 detik) Bila ada pulsasi dan penderita bernapas, dihentikan napas buatan. Bila ada pulsasi dan penderita tidak bernapas, diteruskan napas buatan. Bila tidak ada pulsasi dilakukan RJP.

Teknik Resusitasi Jantung Paru RJP dapat dilakukan satu atau dua orang. Posisi penderita Penderita dalam keadaan telentang pada dasar keras (lantai, back board, short spine board). Jangan menunda RJP untuk mencari alas keras, bila perlu penderita dipindah ke lantai. Bila penderita terjepit dalam kendaraan, prinsip ekstrikasi dapat diabaikan kecuali proteksi servikal dengan segera menariknya keluar. Posisi petugas Posisi petugas setinggi bahu penderita bila yang akan melakukan RJP satu orang maka penderita diletakkan di lantai, petugas berlutut setinggi bahu di sisi kanan penderita. Posisi paling ideal adalah jika petugas menunggangi penderita tetapi sering tidak dilakukan karena tidak dapat diterima oleh keluarga penderita. Tempat kompresi Tepatnya 2 inchi di atas prosesus xyphoideus pada tengah sternum. Jari tengah kanan diletakkan pada prosesus xyphoideus dan jari telunjuk mengikuti. Telapak tangan kiri diletakkan di sisi tangan kanan dengan tetap mengarah ke depan. Jari-jari kedua tangan dapat dirangkum, namun tidak boleh menyinggung dada penderita. Pada anak < 8 tahun cukup satu telapak tangan, satu jari di atas prosesus xyphoideus, pada bayi dengan 2 atau 3 jari pada garis yang menghubungkan kedua papila mammae.

Kompresi Dilakukan dengan meluruskan siku, beban pada bahu bukan pada siku. Kompresi dilakukan sedalam 2-5 cm. Cara lain untuk memeriksa efisiensi kompresi adalah dengan petugas lain memeriksa pulsasi arteri carotis yang seharusnya ada pada tiap kompresi. Dalamnya kompresi pada bayi dan anak adalah 1/3-1/2 dalamnya dada (1-2 cm pada bayi, 2-3 cm pada anak < 8 tahun). Kompresi dilakukan secara ritmik bukan dengan penekanan tiba-tiba. Baik saat kompresi maupun amengangkat waktunya harus sama (50-50 rule). Pada saat akan dilakukan ventilasi, kompresi berhenti sejenak (1-1,5 detik).

Perbandingan kompresi-ventilasi Baik pada dewasa (2 maupun 1 petugas), anak maupun bayi perbandingan kompresi adalah 30:2, dengan 4 siklus selama 1 menit sehingga frekwensi resusitasi paru adalah 100x/menit. Memeriksa pulsasi dan pernapasan Pada RJP dengan 1 orang, pemeriksaan dilakukan setiap 4 siklus (per menit). Pada RJP dengan 2 orang, petugas yang melakukan ventilasi dapat sekaligus melakukan pemeriksaan pulsasi karotis. Setiap beberapa menit dapat dihentikan RJP untuk memeriksa apakah denyut jantung sudah kembali. Menghentikan RJP Bila RJP dilakukan dengan efektif, kematian biologis akan tertunda. Saat menghentikan RJP merupakan keputusan yang sulit tergantung dari : Lamanya kematian klinis Prognosis penderita (ditinjau dari sebab henti jantung) Penyebab henti jantung (pada henti jantung karena listrik minimal 1 jam) Sebaiknya keputusan menghentikan RJP diserahkan kepada dokter. Komplikasi RJP Fraktur iga, sering terjadi pada orang tua, RJP diteruskan meskipun ada fraktur iga, fraktur iga mungkin terjadi bila posisi tangan salah. Perdarahan intra abdominal, posisi tangan yang terlalu rendah akan menekan prosesus xyphoideus ke arah hepar atau limpa. Distensi lambung krena pernafasan buatan

Gambar: Teknik melakukan RJP

100x dalam 1 menit

Gambar : Teknik melakukan resusitasi jantung paru (RJP)

BANTUAN HIDUP LANJUT Bantuan Hidup Lanjut (BHL) bertujuan memulai kembali sirkulasi spontan dan mempertahankan system jantung paru dengan cara memulihkan transport oksigen arteri mendekati normal. BHL dilakukan setelah dilakukan ABC RJP dan belum timbul denyut jantung spontan. Yang termasuk dalam BHL adalah DEF RJP, yaitu; D= Drug and Fluid; E= Elektrocardiografi (EKG); F= Fibrillation Treatment DRUGS AND FLUIDS INTRAVENOUS INFUSION Setelah penilaian terhadap hasil bantuan hidup dasar, dapat diteruskan dengan bantuan hidup lanjut (korban dinyatakan belum mati dan belum timbul denyut jantung spontan), maka bantuan hidup lanjut dapat diberikan berupa obat-obatan. Obat-obatan tersebut dibagi dalam 2 golongan yaitu, Penting, yaitu :

Adrenalin Natrium bikarbonat Sulfat Atropin Lidokain

Berguna, yaitu :

Isoproterenol Propanolol Kortikosteroid. Natrium bikarbonat

Penting untuk melawan metabolik asidosis, diberikan iv dengan dosis awal : 1 mEq/kgBB, baik berupa bolus ataupun dalam infus setelah selama periode 10 menit. Dapat juga diberikan intrakardial, begitu sirkulasi spontan yang efektif tercapai, pemberian harus dihentikan karena bisa terjadi metabolik alkalosis, takhiaritmia dan hiperosmolalitas. Bila belum ada sirkulasi yang efektif maka ulangi lagi pemberian dengan dosis yang sama. Adrenalin

Mekanisme kerja merangsang reseptor alfa dan beta, dosis yang diberikan 0,5 1 mg iv diulang setelah 5 menit sesuai kebutuhan dan yang perlu diperhatikan dapat meningkatkan pemakaian O2 myocard, takiaritmi, fibrilasi ventrikel. Lidokain Meninggikan ambang fibrilasi dan mempunyai efek antiaritmia dengan cara meningkatkan ambang stimulasi listrik dari ventrikel selama diastole. Pada dosis terapeutik biasa, tidak ada perubahan bermakna dari kontraktilitas miokard, tekanan arteri sistemik, atau periode refrakter absolut. Obat ini terutama efektif menekan iritabilitas sehingga mencegah kembalinya fibrilasi ventrikel setelah defibrilasi yang berhasil, juga efektif mengontrol denyut ventrikel prematur yang mutlti fokal dan episode takhikardi ventrikel. Dosis 50-100 mg diberikan iv sebagai bolus, pelan-pelan dan bisa diulang bila perlu. Dapat dilanjutkan dengan infus kontinu 1-3 mg.menit, biasanya tidak lebih dari 4 mg.menit, berupa lidocaine 500 ml dextrose 5 % larutan (1 mg/ml). Sulfat Atropin Mengurangi tonus vagus memudahkan konduksi atrioventrikuler dan mempercepat denyut jantung pada keadaan sinus bradikardi. Paling berguna dalam mencegah arrest pada keadaan sinus bradikardi sekunder karena infark miokard, terutama bila ada hipotensi. Dosis yang dianjurkan mg, diberikan iv. Sebagai bolus dan diulang dalam interval 5 menit sampai tercapai denyut nadi > 60 /menit, dosis total tidak boleh melebihi 2 mg kecuali pada blok atrioventrikuler derajat 3 yang membutuhkan dosis lebih besar. Isoproterenol Merupakan obat pilihan untuk pengobatan segera (bradikardi hebat karena complete heart block). Ia diberikan dalam infus dengan jumlah 2 sampai 20 mg/menit (1-10 ml larutan dari 1 mg dalam 500 ml dectrose 5 %), dan diatur untuk meninggikan denyut jantung sampai kira-kira 60 kali/menit. Juga berguna untuk sinus bradikardi berat yang tidak berhasil diatasi dengan Atropine. Propranolol Suatu beta adrenergic blocker yang efek anti aritmianya terbukti berguna untuk kasus-kasus takhikardi ventrikel yang berulang atau fibrilasi ventrikel berulang dimana ritme jantung tidak dapat diatasi dengan

Lidocaine. Dosis umumnya adalah 1 mg iv, dapat diulang sampai total 3 mg, dengan pengawasan yang ketat. Kortikosteroid Sekarang lebih disukai kortikosteroid sintetis (5 mg/kgBB methyl prednisolon sodium succinate atau 1 mg/kgBB dexamethasone fosfat) untuk pengobatan syok kardiogenik atau shock lung akibat henti jantung. Bila ada kecurigaan edema otak setelah henti jantung, 60-100 mg methyl prednisolon sodium succinate tiap 6 jam akan menguntungkan. Bila ada komplikasi paru seperti pneumonia post aspirasi, maka digunakan dexamethason fosfat 4-8 mg tiap 6 jam.

Adult Advanced Cardiac Life Support Drugs And Doses (Intravenous) Pulseless electrical activity (PEA) algorithm. ACS, acute coronary syndrome; CPR, cardiopulmonary resuscitation; EMT, emergency medical technician; IV, intravenous(ly); OD, overdose; VF, ventricular fibrillation; VT, ventricular tachycardia. (Reprinted with

permission from American Heart Association: Guidelines 2000 for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care: International consensus on science. Circulation 102:I-151, 2000.)

Asystole: The silent heart algorithm. CPR, cardiopulmonary resuscitation; IV, intravenous(ly); VF, ventricular fibrillation; VT, ventricular tachycardia. (Reprinted with permission from American Heart Association: Guidelines 2000 for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care: International consensus on science. Circulation 102:I-153, 2000.)

Bradycardia algorithm. ABCs, airway, breathing, and circulation; AV, atrioventricular; BP, blood pressure; ECG, electrocardiogram; IV, intravenous(ly). (Reprinted

with permission from American Heart Association: Guidelines 2000 for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care: International consensus on science. Circulation 102:I-156, 2000.)

The tachycardia overview algorithm. CHF, congestive heart failure; DC, direct current; ECG, electrocardiogram; SVT, supraventricular tachycardia; VT, ventricular tachycardia. (Reprinted with permission from American Heart Association: Guidelines 2000

for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care: International consensus on science. Circulation 102:I-159, 2000.)

The acute pulmonary edema, hypotension, and shock algorithm. AMI, acute

myocardiol infarction; BP, blood pressure; IV, intravenous(ly); SL, sublingucal. (Reprinted with permission from American Heart Association: Guidelines 2000 for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care: International consensus on science. Circulation 102:I-189, 2000. ELEKTROKARDIOGRAM (EKG) Monitoring EKG dilakukan untuk meliht bentuk henti jantung apakah asistol ventricular, fibrilasi ventricular atau kompleks aneh yang lain seperti disosiasi elektromekanis.

Gambar : Asistol ventrikular

Gambar : Fibrilasi Ventrikular

Gambar : Disosiasi elektromekanis

FIBRILLATION TREATMENT Tindakan defibrilasi untuk mengatasi fibrilasi ventrikel. Elektroda dipasang sebelah kiri puting susu kiri dan di sebelah kanan sternum atas. Defibrilasi dilakukan pada penderita ventrikel takikardi tanpa nadi, atau ventrikel fibrilasi. Defibrilasi dilakukan dengan menggunakan defibrilator. Defibrilator adalah alat yang digunakan untuk : Pemantauan irama jantung (dengan menggunakan Paddle atau elektroda) Defibrilasi Kardioversi Pacu Jantung Transkutan (TCP) Syarat-syarat untuk melakukan defibrilasi: Dinding dada harus terbuka Letak elektroda tidak mengganggu penempatan paddle Gelombng EKG harus jelas, umumnya di Lead I Prosedur defibrilasi : Hidupkan defibrilasi Piilih energi yang diperlukan ; 200, 200-300, 360 J Pilih paddle (Lead I, II atau III) Oleskan jeli pada paddle Letakkan paddle pada apeks dan sternum Nilai kembli irama jantung VF atau VT tanpa nadi Tekan tombol pengisi energi (charge) Setelah energi tercapai, berikan aba-aba dengan suara keras, agar orang lain tidak menyentuh pasien, tempat tidur dan peralatan lain. Berikan tekanan 10-12 Kg pada kedua paddle Nilai kembali irama pada monitor VF-VT tanpa nadi, tekan tombol discharge pada kedua paddle Nilai kembali irama pada monitor apakah masih VF-VT tanpa nadi, periksa nadi dan elektroda Bila irama masih tetap, energi dinaikkan sampai 360J, bila tidak berubah ACLS berikutnya

Lokasi defibrillator

Paddle

KARDIOVERSI Kardioversi adalah suatu pengobatan dengan aliran listrik sinkron. Tindakan kardioversi ini adalah untuk pasien SVT, VT dengan nadi teraba, dan atrial flutter. Untuk VT dengan nadi teraba, energi awal yang dibutuhkan adalah 100J sementara SVT dan atrial flutter dimulai dengan 50J. Prosedur kardioversi: Siapkan alat-alat resusitasi Bila pasien sadar berikan sedasi dengan/ tanpa analgetik Selanjutnya seperti prosedur defibrilasi, pilih energi 50 J untuk SVT dan 100J untuk VT dengan nadi teraba Paddle tidak boleh segera diangkat setelah pelepasan energi

FIGURE 58-2. Ventricular fibrillation (VF)/pulseless ventricular tachycardia (VT) algorithm. CPR, cardiopulmonary resuscitation; IV, intravenous(ly). (Reprinted with permission from American Heart Association: Guidelines 2000 for cardiopulmonary resuscitation and

emergency cardiovascular care: International consensus on science. Circulation 102:I-147, 2000.)

Synchronized cardioversion algorithm. IV, intravenous. (Reprinted with permission from American Heart Association: Guidelines 2000 for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care: International consensus on science. Circulation 102:I-164, 2000.)

DAFTAR PUSTAKA Arif, Suprohaita, Wahyu, Wiwiek, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga Jilid Kedua, Media Aesculapius. Barash, P.G., Cullen, B.F., Stoelting, R.K. 1993 Management of the airway dalam Handbook of clinical anesthesia 2nd ed. J.B. Lippincott Company Philadelphia. Morgan Edward G, Maged S Mikhail, Michael J Murray; Clinical Anaesthesiology;Fourth Edition; 2006; LANGE Medical Books/Mc Graw Hill. Morgan, Edward G. 1996 Airway management dalam Clinical anaesthesiology International Anesthesia Research Society Cleveland Ohio. Paul G Barash, Bruce F Cullen, Robert K Stoelting;Clinical Anaesthesia; Fifth Edition;2006; Lippincott Williams and Wilkins. Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2006 Anatomi dan fisiologi sistem pernafasan dalam Patofisiologi vol. 2 ed. 6 Penerbit Buku Kedokteran EGC Jakarta. Said A.Latief, Kartini, M.Ruswan, 2001, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi Kedua, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://www.learntheheart.com

You might also like