You are on page 1of 33

LAPORAN TUTORIAL KELOMPOK A 7 SKENARIO II BLOK KEDARURATAN MEDIK KETOASIDOSIS DIABETIK

Disusun Oleh:
G0009001 G0009039 G0009065 G0009073 G0009077 G0009117 G0009149 G0009157 G0009175 G0009177 G0009213 ENSAN GALUH PERTIWI BOBBI JUNI SAPUTRA DWI RACHMAWATI H EMA NUR FITRIANA FARIDA NUR K KRISTIANA MARGARETA NIMAS AYU SURI P NUR ZAHRATUL JANNAH PUTRI DINI AZIKA RADEN ARTHESWARA S. WISNU YUDHO HUTOMO

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET BAB I PENDAHULUAN Bapak Kabul 49 tahun diantar keluarga ke IGD RSDM. Anamnesis didapat kurang lebih 4 jam sebelumnya pasien tiba-tiba tidak sadar, saat dipanggil dan digoyang badannya, pak Kabul tidak membuka mata. Pak Kabul penderita DM dan hipertensi tidak pernah kontrol tapi rutin minum Gibenclamid. Pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 240/140 mmHg suhu 39,9, laju pernapasan 40 kali/menit Kussmaull. Nadi 130 kali/menit lemah. Setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil Hb 10,99 gr%, leukosit 20.100/L, trombosit 173.000/L, GDS 432 mg/dL, ureum 40 mg/dl, creatinin 1,5 mg/dl, kalium 3,3 mmol/L. Pada saat di UGD diberikan infus RL tetesan cepat, pasien selanjutnya di rawat di HCU melati 1 dan diberi insulin.

BAB II DISKUSI DAN PEMBAHASAN

JUMP I Memahami skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam skenario. 1. HCU : High Care Unit, ruang perawatan setelah dari ICU dengan pengawasan yang ketat, pasien tidak mengalami penurunan daya tahan tubuh dan kesadaran. 2. Kusmaull : Tipe pernapasan yang cepat dan dalam, fisiologis pada orang yang setelah olahraga, patologis pada asidosis metabolik. 3. Glibenclamid 4. Ureum 5. Kalium : Senyawa sulfonilurea yang digunakan sebagai obat DM tipe II, pemakaian secara oral. : Produk akhir dari metabolisme nitrogen, disintesis dari amoniak, CO2 dan nitrogen amida aspartat. : Elektrolit yang mempengaruhi kinerja otot dan saraf dan mengatur keseimbangan elektrolit dalam tubuh. Nilai normal 3,5-5 mmol/L. 6. Kreatinin : Produk akhir metabolisme kreatin, kadar normal L : 0,6 1,2 mg/dl, <50 th : P <1,1 mg/dl, L <1,3 mg/dl, >50 th kadar < 1,9 mg/dl (menunjukkan fungsi ginjal). 7. Insulin : Hormon yang dihasilkan pankreas, mengontrol kadar gula dalam darah, memproses karbohidrat, lemak, protein, mengubah glukosa menjadi glikogen. Jump II Menentukan/mendefinisikan permasalahan.
3

1. Bagaimanakah patofisiologi manifestasi klinis dalam skenario diatas? 2. Apa yang menyebabkan pasien tiba-tiba tidak sadar? 3. Adakah hubungan penyakit DM dan hipertensi dengan keadaan tiba-tiba tidak sadar selama 4 jam sebelumnya? 4. Adakah hubungan antara tidak kontrol dan rutin glibenclamid dengan manifestasi klinis pada pasien? 5. Adakah kaitan antara usia dengan keadaan pasien? 6. Adakah efek samping dari konsumsi obat glibenclamid yang berulang? 7. Apakah interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium? 8. Kenapa pasien diberi RL tetesan cepat? 9. Kenapa pasien dimasukkan ke HCU dan diberi insulin? 10. Apakah diagnosis banding dan penatalaksanaan yang tepat untuk pasien?

Jump III Menganalisis permasalahan dan membuat pernyataan sementara mengenaai permasalahan (tersebut dalam langkah 2). A. Ketoasidosis Diabetik 1. Definisi Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut diabetes melitus yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai menyebabkan syok. Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan komplikasi akut diabetes melitus yang ditandai dengan dehidrasi, kehilangan elektrolit dan asidosis. Ketoasidosis diabetik merupakan akibat dari defisiensi berat insulin dan disertai gangguan metabolisme protein, karbohidrat dan lemak. Keadaan ini merupakan gangguan metabolisme yang paling serius pada diabetes ketergantungan insulin (Carpenito and Lynda Juall, 2000).
4

2. Etiologi Ada sekitar 20% pasien KAD yang baru diketahui menderita DM untuk pertama kali. Pada pasien yang sudah diketahui DM sebelumnya, 80% dapat dikenali adanya faktor pencetus. Mengatasi faktor pencetus ini penting dalam pengobatan dan pencegahan ketoasidosis berulang. Faktor pencetus yang berperan untuk terjadinya KAD adalah pankreatitis akut, penggunaan obat golongan steroid, serta menghentikan atau mengurangi dosis insulin. Tidak adanya insulin atau tidak cukupnya jumlah insulin yang nyata, yang dapat disebabkan oleh : a. Insulin tidak diberikan atau diberikan dengan dosis yang dikurangi. b. Keadaan sakit atau infeksi. c. Manifestasi pertama pada penyakit diabetes yang tidak terdiagnosis dan tidak diobati (Carpenito and Lynda Juall, 2000). 3 . Patofisiologi Ketoasidois terjadi bila tubuh sangat kekurangan insulin. Karena dipakainya jaringan lemak untuk memenuhi kebutuhan energi, maka akan terbentuk keton. Bila hal ini dibiarkan terakumulasi, darah akan menjadi asam sehingga jaringan tubuh akan rusak dan bisa menderita koma. Hal ini biasanya terjadi karena tidak mematuhi perencanaan makan, menghentikan sendiri suntikan insulin, tidak tahu bahwa dirinya sakit diabetes mellitus, mendapat infeksi atau penyakit berat lainnya seperti kematian otot jantung, stroke, dan sebagainya (Price and Sylvia, 1995). Faktor faktor pemicu yang paling umum dalam perkembangan ketoasidosis diabetik (KAD) adalah infeksi, infark miokardial, trauma, ataupun kehilangan insulin. Semua gangguan gangguan metabolik yang ditemukan pada ketoasidosis diabetik (KAD) adalah tergolong konsekuensi langsung atau tidak langsung dari kekurangan insulin. Menurunnya transport glukosa kedalam jaringan jaringan tubuh akan menimbulkan hiperglikemia yang meningkatkan glukosuria. Meningkatnya lipolisis akan menyebabkan kelebihan produksi asam asam lemak, yang sebagian diantaranya akan dikonversi (diubah) menjadi keton, menimbulkan ketonaemia, asidosis metabolik dan ketonuria. Glikosuria akan menyebabkan diuresis osmotik, yang menimbulkan kehilangan air dan elektrolit seperti sodium, potassium, kalsium, magnesium, fosfat dan klorida. Dehidrsi terjadi bila terjadi secara hebat, akan menimbulkan uremia pra renal dan dapat menimbulkan syok hipovolemik. Asidodis metabolik yang hebat
5

sebagian akan dikompensasi oleh peningkatan derajad ventilasi (peranfasan Kussmaul). Muntah-muntah juga biasanya sering terjadi dan akan mempercepat kehilangan air dan elektrolit. Sehingga, perkembangan KAD adalah merupakan rangkaian dari siklus interlocking vicious yang seluruhnya harus diputuskan untuk membantu pemulihan metabolisme karbohidrat dan lipid normal (Price and Sylvia, 1995). Apabila jumlah insulin berkurang, jumlah glukosa yang memasuki sel akan berkurang juga . Disamping itu produksi glukosa oleh hati menjadi tidak terkendali. Kedua faktor ini akan menimbulkan hiperglikemi. Dalam upaya untuk menghilangkan glukosa yang berlebihan dari dalam tubuh, ginjal akan mengekskresikan glukosa bersama-sama air dan elektrolit (seperti natrium dan kalium). Diuresis osmotik yang ditandai oleh urinasi yang berlebihan (poliuri) akan menyebabkan dehidrasi dan kehilangna elektrolit. Penderita ketoasidosis diabetik yang berat dapat kehilangan kira-kira 6,5 L air dan sampai 400 hingga 500 mEq natrium, kalium serta klorida selama periode waktu 24 jam. Akibat defisiensi insulin yang lain adlah pemecahan lemak (lipolisis) menjadi asam-asam lemak bebas dan gliserol. Asam lemak bebas akan diubah menjadi badan keton oleh hati. Pada ketoasidosis diabetik terjadi produksi badan keton yang berlebihan sebagai akibat dari kekurangan insulin yang secara normal akan mencegah timbulnya keadaan tersebut. Badan keton bersifat asam, dan bila bertumpuk dalam sirkulasi darah, badan keton akan menimbulkan asidosis metabolik (Price and Sylvia, 1995). 4. Manifestasi klinis Manifestasi klinis dari KAD adalah : a. Hiperglikemi b. Poliuri dan polidipsi (peningktan rasa haus) c. Penglihatan yang kabur d. Kelemahan e. Sakit kepala f. Pasien dengan penurunan volume intravaskuler yang nyata mungkin akan menderita hipotensi ortostatik (penurunan tekanan darah sistolik sebesar 20 mmHg atau lebih pada saat berdiri). g. Penurunan volume dapat menimbulkan hipotensi yang nyata disertai denyut nadi lemah dan cepat. h. Anoreksia, mual, muntah dan nyeri abdomen.

i. Pernapasan Kussmaul ini menggambarkan upaya tubuh untuk mengurangi asidosis guna melawan efek dari pembentukan badan keton. j. Mengantuk (letargi) atau koma. k. Glukosuria berat. l. Asidosis metabolik. m. Diuresis osmotik, dengan hasil akhir dehidrasi dan penurunan elektrolit. n. Hipotensi dan syok. o. Koma atau penurunan kesadaran (Price and Sylvia, 1995). 5. Penatalaksanaan

Penanganan KAD (ketoasidosis diabetikum) memerlukan pemberian tiga agen berikut: a. Cairan. Pasien penderita KAD biasanya mengalami depresi cairan yang hebat. NaCl 0,9 % diberikan 500-1000 ml/jam selama 2-3 jam. Pemberian cairan normal salin hipotonik (0,45 %) dapat digunakan pada pasien-pasien yang menderita hipertensi atau hipernatremia atau yang beresiko mengalami gagal jantung kongestif. Infus dengan kecepatan sedang hingga tinggi (200-500 ml/jam) dapat dilanjutkan untuk beberapa jam selanjutnya. b. Insulin. intravena paling umum dipergunakan. Insulin intramuskular adalah alterantif bila pompa infusi tidak tersedia atau bila akses vena mengalami kesulitan, misalnya pada anak anak kecil. Asidosis yang terjadi dapat diatasi melalui pemberian insulin yang akn menghambat pemecahan lemak sehingga menghentikan pembentukan senyawasenyawa yang bersifat asam. Insulin diberikan melalui infus dengan kecaptan lambat tapi kontinu ( misal 5 unti /jam). Kadar glukosa harus diukur tiap jam. Dektrosa ditambahkan kedalam cairan infus bila kadar glukosa darah mencpai 250 300 mg/dl untuk menghindari penurunan kadar glukosa darah yang terlalu cepat. c. Potassium. Meskipun ada kadar potassium serum normal, namun semua pasien penderita KAD mengalami depresi kalium tubuh yang mungkin terjadi secara hebat. Input saline fisiologis awal yang tinggi yakni 0.9% akan pulih kembali selama defisit cairan dan elektrolite pasien semakin baik. Insulin intravena diberikan melalui infusi kontinu dengan menggunakan pompa
7

otomatis, dan suplemen potasium ditambahkan kedalam regimen cairan. Bentuk penanganan yang baik atas seorang pasien penderita KAD (ketoasidosis diabetikum) adalah melalui monitoring klinis dan biokimia yang cermat (Doengoes and Marilyn, 1989). 7.Komplikasi Komplikasi dari ketoasidoisis diabetikum dapat berupa: a. Ginjal diabetik ( Nefropati Diabetik ) Nefropati diabetik atau ginjal diabetik dapat dideteksi cukup dini. Bila penderita mencapai stadium nefropati diabetik, didalam air kencingnya terdapat protein. Dengan menurunnya fungsi ginjal akan disertai naiknya tekanan darah. Pada kurun waktu yang lama penderita nefropati diabetik akan berakhir dengan gagal ginjal dan harus melakukan cuci darah. Selain itu nefropati diabetik bisa menimbulkan gagal jantung kongesif. b. Kebutaan ( Retinopati Diabetik ) Kadar glukosa darah yang tinggi bisa menyebabkan sembab pada lensa mata. Penglihatan menjadi kabur dan dapat berakhir dengan kebutaan. Tetapi bila tidak terlambat dan segera ditangani secara dini dimana kadar glukosa darah dapat terkontrol, maka penglihatan bisa normal kembali c. Syaraf ( Neuropati Diabetik ) Neuropati diabetik adalah akibat kerusakan pada saraf. Penderita bisa stres, perasaan berkurang sehingga apa yang dipegang tidak dapat dirasakan (mati rasa). Telapak kaki hilang rasa membuat penderita tidak merasa bila kakinya terluka, kena bara api atau tersiram air panas. Dengan demikian luka kecil cepat menjadi besar dan tidak jarang harus berakhir dengan amputasi. d. Kelainan Jantung. Terganggunya kadar lemak darah adalah satu faktor timbulnya aterosklerosis pada pembuluh darah jantung. Bila diabetesi mempunyai komplikasi jantung koroner dan mendapat serangan kematian otot jantung akut, maka serangan tersebut tidak disertai rasa nyeri. Ini merupakan penyebab kematian mendadak. Selain itu terganggunya saraf otonom yang tidak berfungsi, sewaktu istirahat jantung berdebar cepat. Akibatnya timbul rasa sesak, bengkak, dan lekas lelah. e. Hipoglikemia. Hipoglikemia terjadi bila kadar gula darah sangat rendah. Bila penurunan kadar glukosa darah terjadi sangat cepat, harus diatasi dengan
8

segera. Keterlambatan dapat menyebabkan kematian. Gejala yang timbul mulai dari rasa gelisah sampai berupa koma dan kejang-kejang. f. Impotensi. Sangat banyak diabetisi laki-laki yang mengeluhkan tentang impotensi yang dialami. Hal ini terjadi bila diabetes yang diderita telah menyerang saraf. Keluhan ini tidak hanya diutarakan oleh penderita lanjut usia, tetapi juga mereka yang masih berusia 35 40 tahun. Pada tingkat yang lebih lanjut, jumlah sperma yang ada akan menjadi sedikit atau bahkan hampir tidak ada sama sekali. Ini terjadi karena sperma masuk ke dalam kandung seni (ejaculation retrograde). Penderita yang mengalami komplikasi ini, dimungkinkan mengalami kemandulan. Sangat tidak dibenarkan, bila untuk mengatasi keluhan ini penderita menggunakan obat-obatan yang mengandung hormon dengan tujuan meningkatkan kemampuan seksualnya. Karena obat-obatan hormon tersebut akan menekan produksi hormon tubuh yang sebenarnya kondisinya masih baik. Bila hal ini tidak diperhatikan maka sel produksi hormon akan menjadi rusak. Bagi diabetes wanita, keluhan seksual tidak banyak dikeluhkan. Walau demikian diabetes millitus mempunyai pengaruh jelek pada proses kehamilan. Pengaruh tersebut diantaranya adalah mudah mengalami keguguran yang bahkan bisa terjadi sampai 3-4 kali berturut-turut, berat bayi saat lahir bisa mencapai 4 kg atau lebih, air ketuban yang berlebihan, bayi lahir mati atau cacat dan lainnya. g. Hipertensi. Karena harus membuang kelebihan glokosa darah melalui air seni, ginjal penderita diabetes harus bekerja ekstra berat. Selain itu tingkat kekentalan darah pada diabetisi juga lebih tinggi. Ditambah dengan kerusakan-kerusakan pembuluh kapiler serta penyempitan yang terjadi, secara otomatis syaraf akan mengirimkan signal ke otak untuk menambah takanan darah (Carpenito and Lynda Juall, 2000). 8. Prognosis Prognosis dari ketoasidosis diabetik biasanya buruk, tetapi sebenarnya kematian pada pasien ini bukan disebabkan oleh sindom hiperosmolarnya sendiri tetapi oleh penyakit yang mendasar atau menyertainya. Angka kematian masih berkisar 30-50%. Di negara maju dapat dikatakan penyebab utama kematian adalah infeksi, usia lanjut dan osmolaritas darah yang sangat tinggi. Di negara maju angka kematian dapat ditekan menjadi sekitar 12%.

Ketoasidosis diabetik sebesar 14% dari seluruh rumah sakit penerimaan pasien dengan diabetes dan 16% dari seluruh kematian yang berkaitan dengan diabetes. Angka kematian keseluruhan adalah 2% atau kurang saat ini. Pada anak-anak muda dari 10 tahun, ketoasidosis diabetikum menyebabkan 70% kematian terkait diabetes (Carpenito and Lynda Juall, 2000). B. Insulin 1. Definisi

Insulin adalah hormon alami yang dikeluarkan oleh pankreas.Insulin dibutuhkan oleh sel tubuh untuk mengubah dan menggunakan glukosa darah (gula darah), dari glukosa, sel membuat energi yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsinya. Pasien diabetes mellitus (kencing manis) tidak memiliki kemampuan untukmengambil dan menggunakan gula darah, sehingga kadar gula darah meningkat. Pada diabetes tipe I, pancreas tidak dapat memporduksi insulin.Sehingga pemberian insulin diperlukan.Pada diabetes tipe 2, pasien memproduksi insulin, tetapi sel tubuh tidak meerespon insulin dengan normal.Namun demikian, insulin juga digunakan pada diabetes tipe 2 untuk mengatasi resistensi sel terhadap insulin. Dengan peningkatan pengambilan glukosa oleh sel dan menurunnya kadar gula darah, akan mencegah dan mengurangi komplikasi lebih lanjut dari diabetes, seperti kerusakan pembuluh darah, mata, ginjal, dan saraf. Insulin diberikan dengan cara disuntikan di bawah kulit (subkutan). Jaringan subkutan perut adalah yang terbaik karena penyerapan insulin lebih konsistendisbanding tempat lainnya.Terdapat banyak bentuk insulin. Insulin dikasifikasikan berdasarkan dari berapa cepat insulin mulai bekerja dan berapa lama insulin bekerja (Handoko and Suharto, 2004). 2. Tipe Insulin Tipe insulin terdiri dari : a. b. c. d. Aksi cepat (rapid acting) Aksi pendek short acting) Aksi menengah (intermediate acting) Aksi lama (long-acting)
10

e. 3.

Campuran (Pre-mixed) (Handoko and Suharto, 2004).

Penggunaan Insulin Pemilihan tipe insulin tergantung pada beberapa factor, yaitu :

a.

Respon tubuh individu terhadap insulin (berapa lama menyerap insulin ke dalam tubuh dan tetap aktif di dalam tubuh sangat bervariasi dari setiap individu)

b.

Pilihan gaya hidup seperti : jenis makanan, berapa banyak konsumsi alcohol, berapa sering berolah raga, yang semuanya mempengaruhi tubuh untuk merespon insulin.

c. d. e. f.

Berapa banyak suntikan per hari yang ingin dilakukan. Berapa sering melakukan pengecekan kadar gula darah. Usia Target pengaturan gula darah (Soegondo S, 2004).

Masih terdapatnya beberapa kendala penggunaan insulin sering menyebabkan keterlambatan kendali glukosa darah yang baik bagi pasien Diabetes mellitus. Menurut Gklinis (2004), Pasien DM Tipe 2 (DMT2) yang memiliki control glukosa darah yang tidakbaik dengan penggunaan obat antidiabetik oral perlu dipertimbangkan untuk penambahan insulin sebagai terapi kombinasi dengan obat oral atau insulin tunggal. Insulin yang diberikan lebih dini dan dan lebih agresif menunjukkan hasil klinis yang lebih baik terutama berkaitan dengan masalah glukotoksisitas.Hal tersebut diperlihatkan oleh perbaikan fungsi sel beta pancreas.Insulin juga memiliki efek lain yang menguntungkan dalam kaitannya dengan komplikasi DM. Terapi insulin dapat mencegah kerusakan endotel, menekan proses inflamasi, mengurangi kejadian apoptosis, dan memperbaiki profil lipid. Dengan demikian, secara ringkas dapat dikatakan bahwa luaran klinis pasien yang diberikan terapi insulin akan lebih baik. Insulin, terutama insulin analog, merupakan jenis yang baik karena memiliki profil sekresi yang sangat mendekati pola sekresi insulin normal atau fisiologis. Pada awalnya, terapi insulin hanya ditujukan bagi pasien diabetes mellitus tipe 1 (DMT1), namun demikian pada kenyataannya, insulin
11

lebih banyak digunakan oleh pasien DMT2 karena prevalensi DMT2 jauh lebih banyak dibandingkan DMT1. Terapi insulin pada DMT2 dapat dimulai antara lain untuk pasien dengan kegagalan terapi oral, kendali kadar glukosa darah yang buruk (A1c > 7,5 % atau kadar glukosa darah puasa > 250 mg/dl), riwayat pankreatektomi atau disfungsi pancreas, riwayat fluktuasi kadar glukosa darah yang lebar, riwayat ketoasidodis, riwayat penggunaan insulin lebih dari 5 tahun dan penyandang DM lebih dari 10 tahun. Pada pasien DMT1, pemberian insulin yang dianjurkan adalah injeksi harian multiple dengan tujuan mencapai kendali kadar gluksa darah yang baik. Selain itu, pemberian dapat juga dilakukan dengan menggunakan pompa insulin (continous subcutaneous insulin infusion,CSII). Ada beberapa cara untuk memulai dan menyesuaikan dosis terapi insulin untuk pasien DMT2. Salah satu cara yang paling mutakhir dan dapat dipakai sebagai acuan adalah hasil Konsensus PERKENI 2006 dan Konsensus ADAEASD tahun 2006. Sebagai pegangan, jika kadar glukosa darah tidak terkontrol dengan baik, Hb (A1C>7,5%) dalam jangka waktu 3 bulan dengan 2 obat oral, maka sudah ada indikasi untuk memulai terapi kombinasi obat antidiabetik oral dan insulin. Pada keadaan tertentu dimana kendali glikemik amat buruk dan disertai kondisi katabolisme, seperti kadar glukosa darah puasa > 250mg/dl, kadar glukosa darah acak menetap > 300mg/dl, Hb A1C > 10 %, atau ditemukan ketonuria, maka terapi insulin dapat mulai diberikan bersamaan dengan intervensi pola hidup. Selain itu, terapi insulin juga dapat langsung diberikan pada pasien DM yang memiliki gejala nyata (poliuri, polifagia pan penurunan berat badan).Kondisi-kondisi tersebut sering ditemukan pada pasien DMT1 atau DMT2dengan defisiensi insulin yang berat.Apabila gejala hilang, obatanti diabetik oral dapat ditambahkan dan penggunaan insulin dapat dihentikan. Seperti telah diketahui, pada pasien DM terjadi gangguan sekresi insulin basal dan prandial untuk mempertahankan kadar glukosa darah dalam batas normal baik pada keadaan puasa maupun setelah makan. Dengan demikan bahwa hakikat pengobatan DM adalah menurunkan kadar glukosa darah baik puasa maupun setelah makan. Dalam rangka mencapai sasaran pengobatan yang baik, maka diperlukan insulin dengan karakteristik menyerupai orang sehat, yaitu kadar insulin yang yang sesuai dengan kebutuhan basal dan prandial.
12

Pemberian insulin basal, selain insulin prandial, merupakan salah satu strategi pengobatan untuk memperbaiki kadar glukosa darah puasa atau sebelum makan. Oleh karena glukosa darah setelah makan merupakan keadaan yang dipengaruhi oleh kadar glukosa darah puasa, maka diharapkan dengan menurunkan kadar glukosa darah basal, kadar glukosa darah setelah makan juga ikut turun. Cara pemberian insulin basal dapat dilakukan dengan pemberian insulin kerja cepat drip intravena (hanya dilakukan pada pasien rawat inap), atau dengan pemberian insulin kerja panjang secara subkutan. Idealnya, sesuai dengan keadaan fisiologis tubuh, terapi insulin diberikan sekali untuk kebutuhan basal dan tiga kali dengan insulin prandial untuk kebutuhan setelah makan. Namun demikian, terapi insulin yang diberikan dapat bervariasi sesuai dengan kenyamanan penderita selama terapi insulin mendekati kebutuhan fisiologis. Walaupun banyak cara yang dapat dianjurkan, namun prinsip dasarnya adalah sama ; yaitu insulin prandial dikombinasikan dengan insulin basal dalam usaha untuk menirukan sekresi insulin fisiologis (Soegondo S, 2004).

C.

Glibenclamid Glibenklamid merupakan antidiabetik golongan kedua sulfonilurea.Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas.Glibenklamid memiliki durasi aksi yang panjang dan cukup diberikan sekali sehari (Soegondo S, 2004). Farmakodinamik : Memiliki efek hipoglikemik yang poten (200 kali lebih kuat daripada Tolbutamida) sehingga pasien perlu diingatkan untuk melakukan jadwal makan yang ketat.Glibenklamid efektif dengan pemberian dosis tunggal. Farmakokinetik : Absorpsi OHO sulfonilurea melalui usus baik sehingga dapat diberikan per oral.Setelah diabsorbsi, obat ini tersebar ke seluruh cairan ekstra sel. Dalam plasma sebagian besar pada protein plasma terutama albumin (70-99%).pada protein plasma terutama albumin (70-99%).Studi menggunakan glibenklamid yang dilabel radioaktif menunjukkan bahwa,
13

glibenklamid diserap sangat baik (84 9%).libenklamid diserap sangat baik (84 9%).Mula kerja (onset) glibenklamid: kadar insulin serum mulai meningkat 15-60 menit setelah pemberian dosis tunggal. Kadar puncak dalam darah tercapai setelah 2-4 jam. Setelah itu kadar mulai menurun, 24 jam setelah pemberian kadardalam plasma hanya tinggal sekitar 5%.Metabolisme glibenklamid sebagian besar berlangsung dengan jalan hidroksilasi gugus sikloheksil pada glibenklamid, menghasilkan satu metabolit dengan aktivitas sedang dan beberapa metabolit inaktif.Metabolit utama (M1) merupakan hasil hidroksilasi pada posisi 4-trans, metabolit kedua (M2) merupakan hasil hidroksilasi 3-cis, sedangkan metabolit lainnya belum teridentifikasi.Semua metabolit tidak ada yang diakumulasi.Hanya 25-50 % metabolit diekskresi melalui ginjal, sebagian besar diekskresi melalui empedu dan dikeluarkan bersama tinja.Waktu paruh eliminasi sekitar 15-16 jam, dapat bertambah panjang apabila terdapat kerusakan hati atau ginjal.Bila pemberian dihentikan, obat akan bersih keluar dari serum setelah 36 jam.Glibenklamid tidak diakumulasi di dalam tubuh, walaupun dalam pemberian berulang (Soegondo S, 2004). Kontraindikasi Hipersensitif terhadap glibenklamid atau senyawa OHO golongan sulfonilurea lainnya.Porfiria.Ketoasidosis diabetik dengan atau tanpa koma.Penggunaan OHO golongan sulfonilurea pada penderita gangguan fungsi hati dan ginjal merupakan kontraindikasi, namun glibenklamid dalam batas-batas tertentu masih dapat diberikan pada beberapa pasien dengan kelainan fungsi hati dan ginjal ringan.Diperkirakan mempunyai efek terhadap agregasi trombosit. Efek Samping Efek samping OHO golongan sulfonilurea umumnya ringan dan frekuensinya rendah, antara lain gangguan saluran cerna dan gangguan susunan syaraf pusat. Gangguan saluran cerna berupa mual, diare, sakit perut, dan hipersekresi asam lambung.Gangguan susunan syaraf pusat berupa sakit kepala, vertigo, bingung, ataksia dan lain sebagainya.Gejala hematologik termasuk leukopenia, trombositopenia, agranulositosis dan anemia aplastik dapat terjadi walau jarang sekali.Hipoglikemia dapat terjadi apabila dosis tidak tepat atau diet terlalu ketat, juga pada gangguan fungsi hati atau ginjal atau pada lansia.Hipogikemia sering diakibatkan oleh obat-obat antidiabetik oral dengan masa kerja

14

panjang.Golongan sulfonilurea cenderung meningkatkan berat badan (Soegondo S, 2004).

D.

Gangguan Kesadaran 1. Penyebab Pasien Tidak Sadar Pemantauan status kesadaran menggunakan GCS (Glasgow Coma Scale). Skala tersebut menggambarkan fungsi neurologis seseorang. GCS mengambarkan kerusakan di sistem saraf pusat, bukan saraf perifer. Penyebab gangguan di SSP yang non traumatologi adalah sebagai berikut: a. b. Pecahnya pembuluh darah di otak karena hipertensi atau thrombus, sehingga terjadi peningkatan TIK. Saturasi O2 yang menurun. Hal ini dapat diakibatkan oleh obstruksi jalan nafas, keracunan inhalasi CO sehingga

menyebabkan otak kekurangan O2, kemudian penurunan fungsi otak dan akhirnya tidak sadar. c. Kelainan keseimbangan asam basa. Peningkatan maupun penurunan pH mengganggu metabolisme dari tubuh. Hal ini dapat menyebabkan keadaan sebagai berikut. 1) Asidosis respiratorik, Asidosis Respiratorik adalah keasaman darah yang berlebihan karena penumpukan karbondioksida dalam darah sebagai akibat dari fungsi paru-paru yang buruk atau pernafasan yang lambat. Keadaan ini timbul akibat ketidakmampuan paru untuk mengeluarkan CO2 hasil metabolisme (keadaan

15

hipoventilasi). Hal ini menyebabkan peningkatan H2CO3 dan konsentrasi ion hidrogen sehingga menghasilkan asidosis. Gejala yang ditimbulkan biasanya adalah meningkatnya nadi dan tingkat pernapasan, pernapasan dangkal, dyspnea, pusing, convulsi, letargi, kelemahan dan sakit kepala. 2) Asidosis metabolik Asidosis berlebihan,yang kadar bikarbonat dalam metabolik adalah keasaman dengan Asidosis darah yang dapat

ditandai darah.

rendahnya metabolik

disebabkan oleh beberapa penyebab umum seperti : a) Kegagalan ginjal untuk mengekresikan asam metabolik

yang normalnya dibentuk di tubuh. b) tubuh. c) Penambahan asam metabolik kedalam tubuh melalui Pembentukan asam metabolik yang berlebihan dalam

makanan d) Kehilangan basa dari cairan tubuh (faal) Gejala yang dialami pada keadaan ini adalah napas berbau, napas kussmaul (dalam dan cepat), letargi, sakit kepala, kelemahan dan disorientasi. Pada penderita diabetes melitus, penderita mengalami kegagalan sekresi insulin oleh pankreas yang menghambat penggunaan glukosa dalam metabolisme. Oleh karena itu, terjadi pemecahan lemak menjadi asam asetoasetat dan asam ini di metabolisme oleh jaringan untuk menghasilkan energi, menggantikan glukosa. Pada DM yang berat kadar asetoasetat

16

dalam darah meningkat sangat tinggi sehingga menyebabkan asidosis metabolik yang berat. 3) Alkalosis respiratorik Alkalosis Respiratorik adalah suatu keadaan dimana darah menjadi basa karena pernafasan yang cepat dan dalam, sehingga menyebabkan kadar karbondioksida dalam darah menjadi rendah. Penyebabnya adalah pernafasan yang cepat dan dalam disebut hiperventilasi, yang menyebabkan terlalu banyaknya jumlah karbondioksida yang dikeluarkan dari aliran darah. Penyebab hiperventilasi yang paling sering ditemukan adalah kecemasan.

4)

Alkalosis metabolik Alkalosis Metabolik adalah suatu keadaan dimana darah

dalam keadaan basa karena tingginya kadar bikarbonat. Alkalosis metabolik terjadi jika tubuh kehilangan terlalu banyak asam. Sebagai contoh adalah kehilangan sejumlah asam lambung selama periode muntah yang berkepanjangan atau bila asam lambung disedot dengan selang lambung (seperti yang kadang-kadang dilakukan di rumah sakit, terutama setelah pembedahan perut). Pada kasus yang jarang, alkalosis metabolik terjadi pada seseorang yang mengkonsumsi terlalu banyak basa dari bahan-bahan seperti soda bikarbonat. Selain itu, alkalosis metabolik dapat terjadi bila kehilangan natrium atau kalium dalam jumlah yang banyak mempengaruhi kemampuan ginjal dalam mengendalikan keseimbangan asam basa darah. Penyebab utama akalosis metabolik: a) b) Penggunaan diuretik (tiazid, furosemid, asam etakrinat) Kehilangan asam karena muntah atau pengosongan

17

lambung c) Kelenjar adrenal yang terlalu aktif (sindroma Cushing atau akibat penggunaan kortikosteroid). Keempat keadaan di atas dapat membuat pasien menjadi tidak sadar. d. Sepsis

(Sustrani L et al., 2004).

2. a.

Krisis Hipertensi Hipertensi emergensi/emergency hipertension (darurat) Ditandai dengan TD Diastolik > 120 mmHg, disertai kerusakan

berat dari organ sasaran yang bersifat progresif yang disebabkan oleh satu atau lebih penyakit/kondisi akut. Tekanan darah harus diturunkan dengan segera (dalam menit sampai jam) dengan obat antihipertensi parenteral, keterlambatan pengobatan akan menyebebabkan dirawat di timbulnya sequele atau kematian. Penderita perlu

ruangan intensive care unit. Kerusakan yang dapat terjadi antara lain : 1) Neurologik : Encephalopati Hipertensi, stroke hemoragik

(intraserebral atau subdural) atau iskemik, papil edema. 2) Kardiovaskuler : Unstable angina, infark miokardium akut, gagal

jantung dengan edema peru, diseksi aorta. 3) Renal : Proteinuria, hamaturia, gagal ginjal akut, krisis ginjal

scleroderma. 4) 5) Mikroangiopati : anemia hemolitik. Preeklampsia dan eklampsia (Sustrani L et al., 2004).

18

b.

Hipertensi urgensi/urgency hipertension (mendesak)

Terdapat peningkatan tekanan darah yang bermakna (tekanan darah sistolik > 220 mmHg atau tekanan darah diastolik > 120 mmHg) dan dengan tanpa kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran, sehingga penurunan tekanan darah dapat dilaksanakan lebih lambat (dalam hitungan jam sampai hari) (Sustrani L et al., 2004). 3. Syndrom Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik (SHHNK) Merupakan keadaan yang didominasi oleh hiperosmolaritas dan hipergklikemia yang disertai perubahan tingkat kesadaran (Sense of Awareness). Keadaan hiperglikemia persisten menyebabkan diuresis osmotik sehingga terjadi kehilangan cairan dan elektrolit. Untuk mempertahankan keseimbangan osmotik, cairan akan berpindah dari intrasel keruang ekstrasel. Dengan adanya glukosuria dan dehidrasi, maka akan dijumpai keadaan hipernatremia dan peningkatan osmolaritas (Gustaviani R, 2007).

E. HCU 1. High Care Unit (HCU) High Care Unit adalah unit pelayanan di Rumah Sakit bagi pasien dengan kondisi repirasi, hemodinamik, dan kesadaran kurang stabil yang masih memerlukan pengobatan, perawatan dan observasi secara ketat. Ruang lingkup pemantauan yang harus dilakukan antara lain: a. b. c. Tingkat kesadaran Fungsi pernapasan dan sirkulasi dengan interval waktu minimal 4 jam atau disesuaikan dengan keadaan pasien Oksigenasi dengan menggunakan oksimeter secara terus menerus
19

d.

Keseimbangan cairan dengan interval waktu minimal 8 jam atau disesuaikan dengan keadaan pasien.

Tindakan medik dan asuhan keperawatan yang dilakukan: a. Bantuan hidup dasar dan Bantuan hidup lanjut meliputi Airway (membebaskan jalan nafas sampai dengan melakukan intubasi endotrakeal), Breathing (mampu melakukan bantuan nafas), dan Circulation (Mampu melakukan resusitasi cairan, defibrilasi, dan kompresi jantung luar). b. c. Terapi Oksigen Penggunaan obat-obatan untuk pemeliharaan/stabilisasi obat inotropik, obat anti nyeri, obat aritmia jantung, obat-obat yang bersifat vasoaktif, dan lain-lain). d. e. f. a. 1) 2) b. 1) 2) c. 1) 2) Nutrisi enteral atau parenteral Fisioterapi sesuai dengan keadaan pasien Evaluasi seluruh tindakan dan pengobatan yang telah diberikan Indikasi masuk Pasien dengan gagal organ tunggal yang mempunyai risiko tinggi untuk terjadi komplikasi. Pasien yang memerlukan perawatan perioperatif. Indikasi keluar Pasien sudah stabil yang tidak lagi membutuhkan pemantauan yang ketat Pasien yang memburuk sehingga perlu pindah ke ICU Yang tidak perlu masuk HCU Pasien dengan fase terminal suatu penyakit (seperti: kanker stadium akhir) Pasien/keluarga yang menolak untuk dirawat di HCU (atas dasar informed consent (Depkes RI, 2010)

Kriteria indikasi masuk dan indikasi keluar:

20

Bapak Kabul, 49 tahun

Dibawa ke UGD RS Dr. Moewardi Solo

Anamnesis: 4 jam tiba-tiba tidak sadar, dipanggil & digoyangkan badan tidak membuka mata

Jump IV Menginventarisasi permasalahan-permasalahan dan membuat pernyataan secara sistematis dan pernyataan sementara mengenai permasalahanpermasalahan pada langkah 3. Riwayat pengobatan: Glibenclamide rutin.
Pemeriksaan fisik: TD= 240/140 mmHg, suhu= 39,9C, RR= 40x/menit Kussmaull. HR= 130x/menit, lemah. Pemeriksaan lab: Hb= 10,99 gr%, Leukosit 20.100/L, trombosit= 173.000/L, GDs= 432 mg/dL, Ureum 40 mg/dL, Kreatinin= 1,5 mg/dL, Kalium 3,3 mmol/L. 21 Terapi di UGD: infus Ringer Laktat tetesan cepat Dirawat di HCU dan diberikan Riwayat penyakit: DM dan Hipertensi tidak terkontrol

PETA KONSEP

Peta Konsep

Jump V Merumuskan tujuan pembelajaran 1. Menjelaskan mekanisme terjadinya kedaruratan medis dalam bidang endokrinologi dan kardiovaskuler. 2. Menjelaskan prinsip penentuan kedaruratan medis. 3. Menjelaskan prinsip dasar penanganan penderita gawat darurat. 4. Menjelaskan prosedur kedaruratan klinis secara benar dan sesuai etik. 5. Mengetahui dasar pengelolaan dan penilaian pasien gawat darurat. 6. Menjelaskan prinsip evaluasi pasien dengan kasus kedaruratan medis. 7. Menjelaskan farmakologi dan penggunaan obat-obat kedaruratan. 8. Menjelaskan prosedur penanganan kedaruratan medis.
22

Jump VI Mengumpulkan informasi baru (belajar mandiri)

Jump VII Melaporkan, membahas, dan menata kemabali informasi baru yang telah diperoleh Salah satu kegawatan yang cukup sering ditemui dalam lingkungan bermasyarakat, selain koma hipoglikemia, yaitu koma hiperglikemia. Koma hiperglikemia diartikan sebagai penurunan kesadaran dimana patofisiologinya berkaitan dengan peningkatan konsentrasi gula dalam darah hingga mencapai >250 mg/dL (Soewandono, 2007). Salah satu penyebab terseringnya adalah akibat komplikasi penyakit diabetes mellitus. Koma hiperglikemia pada pasien yang menderita diabetes mellitus sering kali disebut koma diabetikum. Koma diabetikum terbagi menjadi 2 manifestasi, yakni Ketoasidosis Diabetik (DKA) dan Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik (HHNK). DKA adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolic yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif (Soewandono, 2007; Fauci et al., 2008). DKA ini merupakan komplikasi akut pada pasien DM dan membutuh pertolongan segera. Pada pasien ini terjadi peningkatan osmolaritas sehingga mengakibatkan diuresis osmotik dan pasien akan mengalami dehidrasi berat. Gejala klinis pasien yang mengalami DKA yakni mereka sering mengeluh mual-muntah, haus, nyeri abdomen, dan napas pendek, sedangkan pada saat dilakukan pemeriksaan fisik, akan didapatkan takikardia, tanda-tanda dehidrasi, hipotensi, pernapasan Kusmaull, nyeri tekan abdomen, letargi, dan kadang-kadang koma (Fauci et al. , 2008). Kriteria diagnosis DKA adalah didapatkan kadar glukosa > 250 mg%, pH < 7.35, HCO3 rendah, Anion Gap tinggi, dan Keton serum tinggi (Soewandono,
23

2007). Menurut Fauci et al., (2008) ada berbagai macam pencetus DKA, yang sering ditemukan adalah dosis insulin inadekuat, infeksi (sepsis, pneumonia, ISK, gastroenteritis), keadaan infark (serebri, koroner, mesenterik, perifer), obat-obatan (kokain), dan kehamilan. Setelah mengetahui macam-macam keadaan yang dapat mengakibatkan DKA, perlu dilakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan, selain diagnosis banding, faktor pencetus keadaan tersebut. Pada pasien skenario ini, didapatkan gejala-gejala serta hasil pemeriksaan yang mengindikasi ke arah infeksi. Suhu pasien mencapai 39.9oC dan AL (leukosit) 20.100/l. Pasien dengan infeksi sering kali didapatkan peningkatan BMR (Basal Metabolic Rate). Hal ini menunjukkan kebutuhan glukosa melebihi kebutuhan harian biasa. Pada pasien diabetes tipe II diketahui terjadi penurunan sekresi insulin oleh sel pancreas dan penurunan sensitivitas insulin di tingkat reseptor jaringan target (terutama otot rangka, miokardium, fibroblast, dan lipid) sehingga glukosa yang merupakan sumber energy utama tidak dapat masuk ke dalam mitokondria untuk diubah menjadi energi dan ATP. Bila tidak didapatkan glukosa dalam mitokondria, energi dan ATP ini didapatkan dengan memecah lipid dan protein. Pada pasien DM yang disertai infeksi, glukosa tidak dapat masuk ke dalam intrasel sehingga sumber energi ini diganti dengan lipid serta protein untuk dihasilkan energi dan ATP sesuai kebutuhan saat itu. Untuk mengetahui laju pemecahan lipid dan protein ini dapat dilihat pada konsentrasi keton dan ureum darah dan urin. Semakin tinggi konsentrasi yang ditemukan, maka semakin banyak lipid dan protein yang dipecah. Bersama-sama dengan kreatinin, pemeriksaan ureum dapat menunjukkan apakah ginjal masih berfungsi secara normal. Pada pasien kali ini, ureum dalam batas normal tinggi, begitu juga dengan kreatinin yang dalam batas normal tinggi (N > 1.5 mg/dL pada laki-laki dan > 1.3 md/dL pada perempuan). Walaupun konsentrasi dalam darah masih dalam rentang normal, namun interpretasi hasil ini dapat menunjukkan kemungkinan terjadinya kerusakan ginjal yang menuju ke arah kegagalan ginjal.

24

Berbeda dengan patofisiologi pada HHNK, patofisologi DKA berkaitan dengan hormon kontra-insulin, misalnya glukagon, katekolamin, hormon pertumbuhan dan kortisol. Defisiensi relatif atau absolut insulin dan sekresi berlebihan hormon-hormon kontra-insulin merupakan keadaan yang wajib ada pada setiap pasien DKA. Penurunan rasio insulin terhadap glukagon memicu glukoneogenesis, glikogenolisis, dan pembentukan badan-badan keton dalam hepar, serta meningkatkan transpor substrat dari jaringan lemak dan otot (asam lemak bebas, asam amino) ke hepar. Defisiensi insulin juga menurunkan level transporter glukosa GLUT4 yang merusak proses uptake glukosa menuju intrasel otot-otot rangka dan jaringan lemak sehingga menurunkan metabolisme glukosa. Ketosis dihasilkan dari peningkatan pembebasan asam lemak bebas dari adiposity, dengan hasil pembentukan badan keton dalam hepar. Level insulin darah yang rendah dan peningkatan sekresi katekolamin dan hormon pertumbuhan, meningkatkan lipolisis dan pembebasan asam lemak bebas (FFA). Normalnya, FFA diubah menjadi trigliserida atau VLDL dalam hepar. Namun, pada kasus DKA, hiperglukagonemia mengubah metabolisme hepar tersebut menjadi pembentukan badan keton melalui aktivasi enzim karnitin palmitotransferase I. Pada pH fisiologis, badan-badan keton ditemukan sebagai asam keton yang dinetralisasi oleh bikarbonat. Oleh karena simpanan bikarbonat berkurang, terjadilah asidosis metabolic. Peningkatan produksi asam laktat akibat penurunan SaO2 oleh karena dehidrasi juga ikut berperan dalam menimbulkan keadaan asidosis. Peningkatan produksi Tg dan VLDL, dapat berakibat buruk bagi tubuh. Hipertrigliseridemia diketahui dapat menyebabkan pancreatitis (Fauci et al., 2008). Asam keton bersifat toksik bagi tubuh. Oleh karena itu, zat ini harus segera dikeluarkan dari tubuh dengan mengekskresikannya melalui sistem urinaria. Ketonemia yang parah dapat diketahui dengan mencium napas pasien yang khas. Asam keton dapat memasuki susunan syaraf pusat dan dapat mengganggu transmisi neurotransmiter jaras kesadaran sehingga akan terjadi penurunan kesadaran.
25

Manifestasi koma diabetikum yang kedua adalah koma hiperosmolar non ketotik (HHNK). Sindrom ini ditandai dengan hiperglikemia, hiperosmolar, tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan sering kali disertai gangguan neurologis dengan atau tanpa adanya ketosis (Soewandono, 2007). Faktor yang memulai timbulnya HHNK adalah diuresis glukosuria. Pada keadaan normal ginjal mampu mensekresi glukosa berlebihan dalam darah. Namun demikian, penurunan volume intravaskuler atau penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya akan menurunkan laju filtrasi glomerulus, menyebabkan kadar glukosa urin meningkat. Glukosa urin ini akan mengikat air dalam darah sehingga akan akan ikut terbuang saat berkemih. Hal ini mengakibatkan pasien mengalami dehidrasi yang lebih berat lagi. Tidak adanya ketoasidosis pada pasien HHNK kurang begitu diketahui (Soewandono, 2007b). Faktor yang berpengaruh dalam menimbulkan keadaan ini adalah keterbatasan ketogenesis karena keadaan hiperosmolar, kadar asam lemak bebas yang rendah untuk ketogenesis, ketersediaan insulin yang cukup untuk menghambat ketogenesis namun tidak cukup untuk mencegah hiperglikemia, dan resistensi hati terhadap glukagon. Adanya keadaan hiperglikemia dan hiperosmolar ini jika kehilangan cairan tidak dikopmpensasi dengan masukan cairan oral maka akan timbul dehidrasi dan kemudian hipovolemia. Hipovolemia yang terjadi akan mengakibatkan hipotensi dan nantinya akan menyebabkan gangguan pada perfusi jaringan. Keadaan koma merupakan suatu stadium terakhir dari proses hiperglikemik ini, dimana telah timbul gangguan elektrolit berat dalam kaitannya dengan hipotensi.Secara klinis, HHNK sulit dibedakan dengan DKA terutama bila hasil laboratorium seperti konsentrasi glukosa darah, keton, dan analisis gas darah belum ada hasilnya. Berikut adalah perbedaan hasil lab antara DKA dan HHNK: Pembeda Glukosa DKA Ringan >250 Sedang >250
26

Berat >250

HHNK >600

Plasma (mg/dL) pH arteri Bikarbonat serum (mEq/L) Keton serum Osmolaritas serum (mOsm/kg) Anion Gap Kesadaran >10 Sadar >12 Sadar, somnolen Melalui tabel di atas, pasien skenario 2 ini dapat dibedakan antara DKA dan HHNK, serta didapatkan kesimpulan pasien mengalami DKA. Tipe napas pasien yakni Kusmaull, yang khas ditemukan pada keadaan asidosis metabolik. Asidosis metabolik hanya ditemukan pada pasien DKA. pH yang rendah pada pasien ini dikarenakan penumpukan asam keton hasil lipolisis dan asam laktat pada jalur metabolisme anaerob. Pembuktian adanya lipolisis diketahui dengan memeriksa pH darah, sedangkan metabolisme anaerob dibuktikan dengan pemeriksaan darah rutin dimana didapatkan Hb < 13 g% pada laki-laki dan < 12 g % (Hb pasien 10.99%). Asidosis metabolic ini menunjukkan peningkatan konsentrasi H+ dalam darah. Untuk bisa tercapai kesetimbangan asam basa, tubuh memiliki 3 jalur kompensasi yakni buffer, respirasi, dan ginjal. Oleh karena sistem buffer sudah tidak mampu menyeimbangkan asam-basa tubuh, maka kompensasi dibantu dengan pernapasan Kusmaull yang dalam dan cepat. Bila sistem respirasi sudah tidak dapat menyeimbangkan asam-basa, maka tubuh akan mengaktifkan jalur kompensasi ketiga yakni eksresi melalui ginjal. Ginjal akan mengekskresikan kelebihan asam dalam tubuh, sehingga pH urine menjadi asam.
27

7.25 7.30 15 18

7.00 7.24 10 14

<7.00 < 10

>7.30 >15

urin- +

Bervariasi

Bervariasi

Bervariasi

>320

> 12

Bervariasi

Stupor, koma Stupor, koma

Asidosis metabolik pada pasien diperparah dengan ditemukannya penyakit infeksi pada pasien. Pasien DM diketahui sering kali mengalami infeksi pneumonia, ISK, gastroenteritis, dan sepsis. Pembuktian adanya komplikasi ini yakni dengan menginterpretasikan hasil pemeriksaan laboratorium pasien dimana didapatkan suhu 39.9oC, leukosit 20.100/L. Walaupun sudah menegakkan telah terjadi komplikasi berupa infeksi, namun kami masih belum dapat menentukan infeksi apa yang pasien derita. Kemungkinan besar pasien mengalami infeksi traktus urinarius yang dapat mengakibatkan poliuri sehingga mengakibatkan dehidrasi berat dan akhirnya koma. Walaupun pasien belum terbukti mengalami dehidrasi oleh karena laporan pemeriksaan fisik dan laboratorium yang belum lengkap, ternyata tekanan darah pasien masih sangat tinggi. Padahal, dalam kondisi hipovolemik akibat dehidrasi, tekanan darah seharusnya menurun. Hipertensi pada pasien ini mungkin berasal dari penyakit yang mendasari yakni DM atau memang dari awal pasien telah menderita hipertensi. Hipertensi yang berawal dari DM berasal dari hasil metabolisme glukosa non-enzimatik yang didapatkan produk berupa AGE (Irreversible Advanced Glycosilation End Product). AGE ini dapat berikatan dengan protein, misalnya kolagen sehingga terjadi ikatan silang di antara berbagai polipeptida. Akibatnya, protein-protein interstisium dan plasma yang terglikosilasi terperangkap. Apabila yang terperangkap adalah LDL, maka protein tidak bisa keluar menuju intravaskuler sehingga dinding pembuluh darah menjadi kaku. Hal ini akan mencetuskan faktor koagulasi serta trombosit serta VLDL yang akhirnya terbentuk aterosklerosis. Lumen yang semakin kecil dengan cardiac output (CO) yang tetap, akan semakin meningkatkan kerja miokardium. Semakin kuat tekanan yang ditimbulkan oleh miokardium, semakin kuat tekanan darah yang dihasilkan stroke volume tiap denyutnya sehingga timbul-lah hipertensi akibat DM. DM sendiri dapat dikontrol dengan obat-obat oral, misalnya pada kasus ini yaitu glibenclamid. Glibenclamid adalah obat antidiabetik oral golongan sulfonylurea yang mekanisme kerjanya dengan merangsang sekresi granula sel islet. Waktu paruhnya 10 24 jam sehingga dosis yang diberikan hanya sekali
28

dalam sehari. Sel tidak selamanya mensekresi insulin pada pasien DM oleh karena amilin yang disekresi akan mengendap dalam jaringan dan merusak sel-sel sehingga sel-sel pancreas tidak mampu mensekresi hormone insulin lagi. Oleh karena itu, mungkin pada pasien skenario kali ini didapatkan hiperglikemi walaupun telah meminum glibenclamid secara teratur. Namun, kami belum tahu dosis yang digunakan pasien. Bisa jadi oleh karena dosis yang kurang, pasien tetap mengalami hiperglikemia. Oleh karena itu, pada tahap ini pasien perlu diganti terapi dengan menggunakan terapi injeksi insulin supaya tidak timbul komplikasi berupa asidosis metabolik. Tubuh manusia hanya mampu bertahan pada pH 7 dan pH 7.5 sehingga asidosis metabolik merupakan kegawatan yang harus segera ditangani. Pasien yang datang dengan gejala-gejala syok dimana didapatkan nadi > 120 dan RR > 40 x/menit, diharuskan menjalani resusitasi cairan. Pasien diberikan larutan Ringer Laktat dengan tetesan cepat untuk segera mengembalikan keadaan hipovolemiknya dan dipantau keadaan hemodinamiknya dengan mengukur volume ekskresi urin. Pada pasien skenario juga didapatkan level glukosa darah tinggi yakni 432 mg/dL, sehingga harus segera diturunkan. Prinsip-prinsip pengobatan pada pasien DKA adalah : penggantian cairan dan garam yang hilang; menekan lipolisis adiposity dan menekan glukoneogenesis sel hepar dengan pemberian insulin; mengatasi stress sebagai pencetus DKA; serta mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari pentingnya pemantauan serta penyesuaian pengobatan. Ada 6 macam hal yang harus diberikan, 5 di antaranya adalah cairan, garam, insulin, kalium, dan glukosa. Sedangkan yang terakhir adalah asuhan keperawatan. Untuk mengatasi dehidrasi, digunakan larutan RL dengan dosis perkiraan hilangnya cairan pada pasien DKA sebesar 100 cc/kgBB. Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis DKA dan rehidrasi yang memadai. Pemberian terapi ini akan memperbaiki patofisiologi yang mendasari, yakni menurunkan konsentrasi dan kerja hormon kontra-insulin sehingga mampu

29

menekan produksi benda keton di hepar, pelepasan FFA, pelepasan asam amino dari jaringan otot dan meningkatkan penggunaan glukosa oleh jaringan. Terapi selanjutnya adalah mengatur kadar ion K dalam darah. Ion K terutama terdapat intraseluler. Pada keadaan DKA, ion K bergerak ke luar sel dan selanjutnya dikeluarkan melalui urin. Total defisit ion K pada pasien DKA sebesar 3 5 mEq/kgBB. Pemantuan terhadap K menjadi sangat berarti oleh karena hiperkalemia mampu mengakibatkan aritmia jantung dan berakibat pada kematian mendadak. Pada pasien tanpa gagal ginjal serta tidak ditemukannya gelombang T lancip dan tinggi pada EKG, pemberian kalium segera dimulai setelah jumlah uri cukup adekuat. Setelah rehidrasi awal 2 jam pertama, biasanya kadar glukosa darah akan turun. Selanjutnya dengan pemberian insulin diharapkan terjadi penurunan kadar glukosa sekitar 60 mg%/jam. Pemberian glukosa ini bukan untuk menormalkan level glukosa, melainkan untuk menekan terjadinya lipolisis. BAB III SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN 1. Pasien pada skenario tiba- tiba tidak sadar karena komplikasi dari penyakit Diabetes Mellitus tidak terkontrol yaitu berupa Ketoasidosis Diabetik. 2. 3. 4. 5. Ketoasidosis Diabetik merupakan komplikasi dari Diabetes Melitus yang ditandai dengan dehidrasi, kehilanggan elektrolit dan dehidrasi. Pasien mengalami tanda tanda Ketoasidosis Diabetik berupa nafas kussmaull, kadar kreatinin yang tinggi dan kadar kalium yang tinggi. Pasien juga mengalami infeksi yang ditandai dengan peningkatan kadar leukosit dan suhu badan yang tinggi. Pasien pada sekenario mengalami hipertensi akibat dari diabetes melitus yang diderita.
30

6.

Diskusi tutorial berjalan lancar dan sesuai dengan seven jump serta mencakup kompetensi yang diharapkan untuk dicapai.

B. SARAN 1. 2. Pasien sudah mendapatkan perawatan yang tepat dengan dikirim ke UGD dan diberikan infus Ringer Lactat dengan tetesan cepat untuk rehidrasi. Pasien selanjutnya dirawat HCU dan diberiakan insulin untuk mendapatkan insulin yang akan menghambat pemecahan lemak sehingga menghentikan pembentukan senyawa-senyawa yang bersifat asam. 3. Pasien hendaknya juga mendapatkan infus larutan elektrolit untuk mengganti elektrolit yang hilang.

DAFTAR PUSTAKA Carpenito and Lynda Juall (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8. Jakarta: EGC. Departemen Kesehatan RI(2010). Pedoman Penyelenggaraan High Care Unit (HCU) di Rumah Sakit .Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 834/Menkes/SK/VII/2010. Doengoes and Marilyn (1989). Nursing Care Plans Second Edition. Philadelphia: FA Davis. Fauci AS, Kasper AL, Longo D L, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, and

31

Loscalzo JL (2008). Diabetes Mellitus. In: Harrisons Principles of Internal Medicine 17th Edition. USA: The McGraw-Hill Co. Gklinis (2004). Menu Sehat Untuk Pengidap Diabetes Mellitus .Dalam : Republika Online.

Gustaviani R (2007). Diagnosis Dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Jilid 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Handoko and Suharto (2004).Insulin, Glukagon dan Antidiabetik Oral. Dalam: Farmakologi dan Terapi edisi 4.Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Price and Sylvia (1995). Patofisiologi dan Konsep Dasar Penyakit .Jakarta: EGC. Risky Perdana (PERKENI) (2008). Petunjuk Praktis Terapi Insulin Pada Pasien Diabetes Melitus. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Soegondo S (2004). Prinsip Pengobatan Diabetes, Insulin dan Obat Hipoglikemik Oral. Dalam: Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Soewandono P (2007). Ketoasidosis Diabetik. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi IV. Jakarta: UI Press. pp. 1874 1877. Soewandono P (2007). Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi IV. Jakarta: UI Press. p. 1878. Sustrani L et al. (2004). Diabetes. Jakarta :Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.

32

Waspadji S (2007). Komplikasi Kronik Diabetes. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 6. Jilid 3. Jakarta: Balai penerbit FKUI.

33

You might also like