You are on page 1of 32

FRAKTUR MAKSILOFASIAL

OLEH HERI HERLIANA NPM.160121090007

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS BEDAH MULUT DAN MAKSILOFASIAL FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2010

BAB I PENDAHULUAN

1.1.

Definisi Trauma oromaksilofasial adalah trauma yang menyebabkan cedera pada

jaringan lunak serta jaringan keras di daerah wajah, mulut dan dentoalveolar. Cedera pada pada jaringan lunak dapat berupa abrasi, kontusio, luka bakar dan laserasi. Cedera dentoalveolar dapat berupa fraktur tulang alveolar serta fraktur pada gigi geligi yang dapat disertai dengan kegoyangan gigi, pergeseran letak gigi, dan avulsi. Sedangkan fraktur wajah meliputi fraktur mandibula, fraktur midface atau wajah bagian tengah, dan laserasi wajah (Hupp dkk, 2008). Trauma oromaksilofasial merupakan cedera pada wajah atau rahang yang disebabkan oleh tekanan fisik, adanya benda asing, gigitan binatang ataupun manusia. Luka bakar yang terjadi pada wajah juga dikategorikan termasuk dalam trauma maksilofasial, yang dapat disebabkan oleh karena benda panas, gesekan, elektrik, radiasi, atau zat kimia (Mitchell, 2006). Bentuk luka bermacam-macam tergantung penyebabnya, misalnya luka sayat atau vulnus scisssum disebabkan oleh benda tajam,luka tusuk yang disebut vulnus punctum akibat benda runcing, luka robek atau laserasi disebut vulnus laceratum merupakan luka yang tepinya tidak rata atau compang-camping yang disebabakan oleh benda yang permukaannya tidak rata, luka lecet akibat gesekan

yang disebut eskoriasi dan luka akibat panas dan zat kimia menyebabkan vulnus kombusi (Syamsuhidajat & De Jong, 2003).

1.2.

Etiologi Kecelakaan lalulintas merupakan penyebab utama terjadinya trauma

oromaksilofasial. Beberapa literatur bahasa Inggris melaporkan bahwa terdapat hubungan antara posisi duduk pengemudi atau penggunaan sistem penahan terhadap keparahan dari cedera oromaksilofasial yang dialami pasien kecelakaan lalulintas (Yokoyoma dkk, 2006) Penilitian Rabi dan Khateery (2002), juga menunjukan bahwa diantara beberapa etiologi trauma oromaksilofacial, kecelakaan lalulintas merupakan penyebab utama terjadinya trauma, diikuti dengan penyebab lainnya seperti trauma ketika bermain di taman, kecelakaan sewaktu bekerja atau industri, kecelakaan sewaktu berolahraga, dan lain-lain. Kecelakaan akibat arus listrik dapat terjadi karena arus listrik mengaliri tubuh,karena adanya loncatan arus, atau karena ledakan tegangan tinggi,antara lain akibat petir.pada kecelakaan tersengat arus listrik didaerah kepala,penderita dapat pingsan lama dan mengalami henti nafas.dapat juga terjadi oedem otak.akibat samping yang lama timbulnya katarak.destruksi terjadi dekat luka masuk dan keluar arus listrik paling kuat (Syamsuhidajat & De Jong, 2003). Kecelakaan akibat bahan kimia biasanya luka bakar dan ini dapat terjadi akibat kelengahan, pertengkaran, kecelakaan kerja, kecelakaan di industri, kecelakan dil laboratorium dan akibat penggunaan gas beracun pada peperangan. Bahan kimia dapat bersifat oksidator seperti fenol dan fosfor putih, juga larutan 3

basa seperti kalium hidroksida menyebabkan denaturasi protein.asam sulfat merusak sel karena bersifat cepat menarik air. Gas yang dipakai dalam peperangan menimbulkan luka bakar dan menyebabkan anoksia sel bila berkontak dengan kulit atau mukosa. beberapa bahan dapat menyebabkan keracunan sistemik. Asam fluorida dan oksalat dapat menyebabkan hipokalsemia. Asam tanat, kromat, formiat, pikrat, dan posfor dapat merusak hati dan ginjal kalau di absorbsi tubuh. Lisol dapat menyebabkan methemoglobenemia (Syamsuhidajat & De Jong, 2003).

1.3.

Klasifikasi Cedera oromaksilofasial diklasifikasikan menjadi tiga klasifikasi

(Yokoyoma dkk, 2006), yaitu: 1) Fraktur kerangka wajah (meliputi fraktur mandibula, fraktur maksila, fraktur tulang alveolar, fraktur zygomatik,dan fraktur tulang tulang wajah lainnya) 2) Cedera jaringan gigi. 3) Cedera jaringan lunak. Pada makalah ini akan dibahas lebih pada aspek cedera jaringan keras atau fraktur di regio maksilofasial. Fraktur yang melibatkan tulang maksilofasial yang kompleks yang meliputi sepertiga wajah bagian atas, tengah dan bawah disebut juga dengan fraktur Panfasial. Tulang tulang yang biasanya terlibat dalam fraktur panfasial yaitu: os frontale, kompleks zygomaticomaxillary, kompleks naso-ethmoid, os maksila, dan os mandibula. (Miloro, 2004)

BAB II ANATOMI MAKSILOFASIAL

Secara umum tulang tengkorak/kraniofasial terbagi menjadi dua bagian yaitu Neurocranium adalah tulang-tulang yang membungkus otak dan Viscerocranium adalah tulangtualng yang membentuk wajah/maksilofasial(James & Leslie, 2010) Neuroccranium dibentuk oleh : 1. Os. Frontale 2. Os. Parietale 3. Os. Temporale 4. Os. Sphenoidale 5. Os. Occipitalis 6. Os. Ethmoidalis

Viscerocranium dibentuk oleh : 1. Os. Maksilare 2. Os. Palatinum 3. Os. Nasale 4. Os. Lacrimale 5. Os. Zygomatikum 6. Os. Concha nasalis inferior 7. Vomer 8. Os. Mandibulare

Neurocranium terdiri atas tulang-tulang pipih yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sutura - sutura. Tulang-tulang yang tebal berhubungan dengan tulang- tulang berdinding tipis. Tulang tulang pembentuk wajah atau viscerocranium terdiri atas tulang tulang yang berbentuk tonjolan dan lengkungan yang sangat rentan untuk terhadap fraktur jika mendapat suatu trauma. Tulang tulang tersebut dihubungkan oleh menjadi garis fraktur sutura sutura yang juga dapat

Gambar 1. Tulang tulang kraniofasial (James & Leslie, 2010)

Tulang-tulang kraniofasial terdiri atas tulang yang memiliki ketebalan berbeda. Tulang dengan struktur yang tebal disebut sebagai 'buttress' yang menopang/penyangga proporsi kraniofasial dalam ukuran tinggi, lebar dan proyeksi antero-posterior. Buttress pada maksila meliputi tulang nasomaksilaris pada medial, tulang zigomatikomaksilaris pada lateral dan tulang pterygomaksilaris pada posterior. Ketiga buttress ini menghasilkan suatu sistem penyangga unit-unit fungsi pada oral, nasal dan orbital. (Miloro, 2004)

Gambar 2. Buttress vertikal dan horizontal (Miloro, 2004)

BAB III PENEGAKKAN DIAGNOSIS

3.1.

Anamnesis Riwayat trauma yang akurat dapat menjadi informasi yang bernilai untuk

penegakan diagnosis dan penentuan perawatan. Namun, pada pasien yang mendapat cedera pada daerah kepala, biasanya sulit atau tidak memungkinkan untuk menjelaskan riwayat trauma yang telah terjadi. Pada situasi ini, riwayat trauma dapat diperoleh dari petugas unit gawat darurat, perawat, orang yang mendampingi yang pasien, atau siapapun yang melihat dengan jelas bagaimana trauma terjadi (Marciani dkk, 2009). Mendapatkan riwayat yang adekuat dari pasien trauma oromaksilofasial adalah sulit, karena biasanya mereka tidak mampu merespon dengan baik.

Keadaan tidak sadar (koma), syok, amnesia, dan intoksikasi merupakan hambatan yang sering terjadi dalam menjalin komunikasi dengan pasien. Sumber terbaik yang dapat digunakan adalah keluarga dekat yang menemaninya, temannya, polisi, atau pekerja pada unit gawat darurat. Penting dicatat mengenai tanggal, waktu, tempat kejadian, dan peristiwa yang khusus. Apabila cedera disebabkan karena kecelakaan mobil, apakah korban bertindak sebagai pengemudi atau penumpang, apakah ia memakai sabuk pengaman yang putus? Apabila pasien merupakan korban kejahatan, apakah digunakan senjata tertentu? Apakah pasien jatuh atau tidak sadar. Kondisi medis resiko tinggi, alergi, dan tanggal imunisasi tetanus juga harus dicatat. Penting juga dicatat ada tidaknya tanda-tanda 8

kecanduan alkohol dan obat-obatan, karena tingkat kesadaran dipengaruhi oleh obat-obatan tersebut. Informasi mengenai waktu makan dan minum yang terakhir sangat penting apabila akan dilakukan anestesi umum (Pedersen, 1996). Menurut Hupp dkk, 2008, langkah pertama pada setiap proses diagnostik adalah memperoleh sebuah riwayat trauma yang akurat. Riwayat trauma yang akurat sebaiknya diperoleh dari pasien, yang meliputi informasi tentang who, when, where, and how. Operator harus menanyakan pertanyaan-pernyataan kepada pasien, orangtua pasien, atau seseorang yang menyertainya, antara lain : 1. Siapa pasien tersebut? Jawabannya meliputi nama pasien, umur, alamat, nomor telepon, dan data demografi lainnya. 2. Kapan trauma itu terjadi? Pertanyaan ini merupakan salah satu pertanyaan penting karena beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa semakin cepat gigi avulsi dapat direposisi, maka semakin baik prognosisnya. Sama halnya dengan hasil yang diperoleh dari perawatan fraktur alveolar yang disebabkan oleh penanganan yang terlambat. 3. Dimana trauma itu terjadi? Pertanyaan ini penting karena kemungkinan terdapat kontaminasi bakteri atau kimia. 4. Bagaimana trauma itu terjadi? Trauma yang alami dapat memberikan perkiraan tentang hasil cedera jaringan akan seperti apa nantinya. Sebagai contoh, penumpang mobil yang terlempar ke depan dashboard dengan kekuatan besar, selain dapat merusak beberapa gigi juga dapat menyebabkan cedera leher yang tersembunyi. 5. Perawatan apa yang telah diberikan sejak trauma terjadi (bila ada)? Dari

pertanyaan ini didapatkan informasi mengenai kondisi awal dari daerah 9

cedera. Seperti pertanyaan, bagaimana gigi yang avulsi disimpan sebelum diberikan kepada dokter gigi? 6. Apakah ditemukan adanya gigi atau serpihan gigi ditempat kejadian trauma? Sebelum diagnosis dan rencana perawatan ditentukan, harus terlebih dahulu diketahui jumlah gigi pasien sebelum trauma terjadi. Jika selama pemeriksaan klinis ditemukan adanya gigi atau mahkota gigi yang hilang dan tidak dapat diperkirakan apakah gigi atau mahkota gigi tersebut hilang di tempat kejadian, maka diperlukan pemeriksaan radiografi pada jaringan lunak sekitar mulut, dada, dan regio perut untuk memastikan ada atau tidaknya gigi atau mahkota gigi tersebut di dalam jaringan atau rongga badan lainnya (gambar 3 dan 4).

Gambar.3. Menunjukkan terjadinya pergeseran gigi molar ke dalam sinus maksilaris akibat dari fraktur maksila (Hupp dkk, 2008)

Gambar.4. Rontgen dada menunjukan adanya gigi caninus yang masuk kedalam rongga dada (Hupp dkk, 2008)

10

7. Bagaimana status kesehatan umum pasien? Penting diketahui tentang riwayat kesehatan umum dari pasien tersebut sebelum dilakukan perawatan, yang meliputi ada atau tidaknya alergi terhadap obat, kelainan jantung, kelainan darah, penyakit umum lainnya, dan riwayat penyakit terakhir yang diderita sebelum trauma. 8. Apakah pasien mengalami mual, muntah, pingsan, amnesia, sakit kepala, gangguan penglihatan, atau kebingungan setelah kejadian? Bila jawabannya ya maka kemungkinan ada indikasi cedera intrakranial dan operator harus segera melakukan konsultasi medis. 9. Apakah ada gangguan oklusi? Apabila jawabannya ya maka kemungkinan ada indikasi pergeseran gigi atau fraktur dentoalveolar ataupun fraktur rahang

3.2.

Pemeriksaan Klinis Pendekatan awal terhadap pasien trauma oromaksilofasial akut sedikit

berbeda dengan cedera yang lain. Perhatian harus segera diarahkan terhadap saluran pernapasan, adekuasi dari ventilasi, dan kontrol perdarahan eksternal. Sebelum melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital, gangguan saluran pernapasan dan perdarahan yang mengancam jiwa pasien harus ditangani terlebih dahulu. Kemudian baru dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital dan status neurologis (paling tidak mengenai tingkat kesadaran, yaitu orientasi terhadap waktu dan tempat). Pembukaan mata merupakan alat pemeriksan yang berharga untuk menentukan tingkat kesadaran dan dinilai berdasarkan kemampuan pasien membuka matanya jika diberi stimuli tertentu, termasuk stimuli yang

11

menyakitkan, apabila diperlukan. Durasi amnesia paska trauma merupakan indikator yang baik untuk menunjukkan tingkat kerusakan otak, bila ada (Pedersen, 1996). Pasien yang mengalami cedera maksilofasial biasanya disertai dengan tersumbatnya jalan pernapasan akibat perdarahan eksternal, perdarahan internal, atau benda asing. Pemeriksaan fisik baru dapat dilakukan setelah pasien dalam kondisi stabil, perdarahan dan jalan pernapasan telah ditangani. Adapun pemeriksaan fisik tersebut meliputi (Marciani dkk, 2009): 1. Pemeriksaan Kepala Pemeriksaan ini meliputi seluruh kerangka kraniomaksilofasial dan jaringan lunak disekitarnya. Pasien harus dibersihkan dari semua darah dan benda asing secara hati-hati. Seluruh cedera yang mengenai jaringan lunak sebaiknya dicatat pada saat ini, begitu juga dengan cedera yang mengenai tulang. Trauma pada jaringan lunak dapat dikarakteristikan menjadi abrasi, kontusio, luka bakar, avulsi, dan laserasi. Seluruh luka laserasi dan avulsi harus dicatat kedalaman dan keterkaitannya dengan struktur vital, seperti saraf, glandula parotis dan sebagainya (Marciani dkk, 2009) . Rangka kraniofasial terdiri dari pertautan dan penonjolan tulang, maka pemeriksaannya harus meliputi ada atau tidaknya step atau jarak, discontinuitas, pergeseran, dan hilangnya penonjolan. Harus dilakukan palpasi secara hati-hati terhadap kranium, sambungan daerah fronto-orbital, naso-orbital kompleks, artikulasi zygomatik, dan mandibula (Marciani dkk, 2009).

12

2.

Pemeriksaan Wajah Bagian Tengah Evaluasi wajah bagian tengah dimulai dengan memperkirakan adanya

mobilitas dari maksila sebagai struktur maksila itu sendiri atau hubungannya dengan zygoma atau tulang nasal. Untuk memeriksa adanya mobilitas maksila, kepala pasien harus distabilisasikan dengan cara menekan kening pasien cukup kuat dengan satu tangan. Dengan ibu jari dan telunjuk tangan lainnya mencengkram maksila pada satu sisi, dan digerakkan dengan tekanan yang stabil sehingga dapat diperoleh kepastian ada atau tidaknya dapatkan mobilitas maksila (Hup dkk, 2008). Cara melakukan pemeriksaan manual atau digital adalah dengan mempalpasi dimulai dari superior ke inferior. Lebih baik memeriksa pasien yang mengalami fisik dari arah belakang apabila memungkinkan. Pemeriksaan dimulai dari aspek medial dari cincin supraorbital secara bilateral. Tulang nasal dan saluran nasofrontalis dipalpasi secara bersamaan kanan dan kiri (bidigital). Palpasi diteruskan ke arah lateral menyilang cincin supraorbital menuju sutura zygomatikofrontalis. Jaringan lunak yang menutupinya digeser dan sutura dipalpasi apakah terjadi kelainan atau tidak. Cincin infraorbital dipalpasi dari medial ke lateral untuk mengevaluasi sutura zygomatikomaksilaris. Bagian-bagian yang mengalami nyeri tekan, dan baal juga dicatat, karena hal ini menunjukkan adanya fraktur atau cedera pada saraf. Arcus zygomatikus dipalpasi bilateral dan diamati apakah terdapat tanda-tanda asimetri, dari aspek posterior atau superior. Vestibulum nasi juga diperiksa karena bisa terjadi pergeseran septum, dan adanya perdarahan atau cairan (Pedersen, 1996).

13

Pemeriksaan mata secara lengkap sebaiknya dilakukan terlebih dahulu, karena trauma dapat mengakibatkan kehilangan penglihatan. Hampir 40% fraktur tengah wajah mengenai daerah mata. Pemeriksaan yang akurat sulit dilakukan pada pasien yang mengalami cedera neurologis. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan menggunakan hitungan jari, deteksi gerakan, atau penggunaan sinar (Marciani dkk, 2009). Hematoma aurikuler telinga harus segera didiagnosa dan dilakukan terapi. Mastoid harus diperiksa dari kemungkinan adanya ekimosis yang disertai dengan hemotimpanum dan otorrhea, karena merupakan indikasi terjadinya fraktur basis tulang kranial. Adanya laserasi dari daerah telinga bagian luar merupakan tanda waspada terhadap kemungkinan cedera pada kondil mandibula (Marciani dkk, 2009). Kerusakan dan pergerakan tulang hidung harus dicatat. Adanya fraktur septum hidung dan hematoma dapat menyebabkan obstruksi hidung. Hematoma septum hidung harus didiagnosa dan dievakuasi segera untuk menghindari terjadinya nekrosis tulang rawan septum hidung yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan bentuk hidung (Marciani dkk, 2009). Tiga saraf utama trigeminal harus diperiksa untuk kemungkinan terjadinya anestesi atau parestesi (Marciani dkk, 2009). Saraf kranialis ketiga, empat, lima, enam dan tujuh dites untuk mengetahui apakah terjadi palsi. Dapatkah pasien mengangkat alisnya dan meretraksi sudut mulut? Apakah bola mata bisa bergerak bebas, dan apakah pupil bereaksi terhadap sinar dan berakomodasi? (Pedersen, 1996)

14

3.

Pemeriksaan Mandibula Lokasi mandibula terhadap maksila dievaluasi apakah tetap digaris tengah,

terjadi pergeseran lateral, atau inferior? Pergerakan mandibula juga dievaluasi dengan jalan memerintahkan pasien melakukan gerakan-gerakan tertentu, dan apabila ada penyimpangan juga dicatat. Kisaran gerak dievaluasi pada semua arah dan jarak interinsisal dicatat. Apabila ada meatus akustikus eksternus penuh dengan darah dan cairan, jari telunjuk dapat dimasukkan dengan telapak mengarah ke bawah dan ke depan untuk melakukan palpasi endaural terhadap caput condilus pada saat istirahat dan bergerak. Pada fraktur subcondilus tertentu, bisa dijumpai adanya nyeri tekan yang Amat sangat atau caput mandibula tidak terdeteksi. Tepi inferior dan posterior mandibula dipalpasi mulai dari prosesus kondilaris sampai ke simphisis mandibula. Sekali lagi nyeri tekan atau baal, dan kelainan kontinuitas harus dicatat (Pedersen, 1996). Fraktur mandibula dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi, yaitu kondilar, ramus, angle, body, simphisis, alveolar, dan daerah prossessus koronoid (gambar 5). Selain itu fraktur mandibula juga dapat diklasifikasikan berdasarkan tipe frakturnya, yaitu fraktur greenstick, simpel, kominuted, dan kompon (gambar 6).

15

Gambar 5. Distribusi anatomik dari fraktur mandibula (Hupp dkk, 2008)

Gambar.6. Klasifikasi fraktur mandibula berdasarkan tipe frakturnya. A. Greenstick, B. Simple, C. Komminuted, D. Kompon (Hupp dkk, 2008)

4.

Pemeriksaan Tenggorokan dan Rongga Mulut Pertama kali yang dilihat secara intraoral adalah oklusi. Dapatkah gigi

dioklusikan seperti biasanya? Dataran oklusal dari maksila dan mandibula diperiksa kontinuitasnya, dan adanya step deformitas. Bagian yang giginya mengalami pergeseran karena trauma atau alveoli yang kosong karena gigi avulsi, juga dicatat. Apabila pasien menggunakan protesa, maka protesa tersebut harus dilepas dan diperiksa apakah ada rusak atau tidak. Jaringan lunak mulut diperiksa dalam kaitannya dengan luka, kontusio, abrasi, ekimosis, dan hematom. Lidah

16

disisihkan, sementara itu dasar mulut dan orofaring diperiksa, apakah terdapat serpihan-serpihan gigi, restorasi, dan beku darah. Arcus zygomatikus dan basisnya dipalpasi bilateral. Maksila harus dicoba degerakkan dengan memberikan tekanan pada prosesus alveolaris sebelah anterior dengan tetap menahan kepala. Akhirnya gigi-gigi dan prosesus alveolaris dipalpasi untuk mengetahui nyeri tekan atau mobilitas (Pedersen, 1996) Pemeriksaan ini meliputi evaluasi oklusi dan penghitungan gigi yang hilang. Adanya gigi yang terhisap dan tertelan dapat dilihat dengan melakukan radiografi pada dada dan perut. Gigi tiruan yang lepas juga dapat menyebabkan tersumbatnya jalan pernapasan. Adanya step dan pergeseran oklusi merupakan indikasi terjadinya fraktur dentoalveolar ataupun fraktur rahang. Gigitan terbuka lateral (open bite lateral) juga dapat mengindikasikan adanya fraktur mandibula atau gangguan TMJ. Sedangkan gigitan terbuka anterior (open bite anterior) mengindikasikan adanya fraktur Le Fort (I, II, ataupun III) (Marciani, 2009).

3.2.

Pemeriksaan Radiografi Untuk diagnosis penderita yang mengalami trauma orofasial hanya

diperlukan radiograf oklusal dan periapikal saja. Detail dari cedera gigi (luksasi dan avulsi), dan sebagian besar fraktur prosessus alveolaris paling baik dirontgen dengan cara ini. Meskipun demikian, tidak dibenarkan untuk melakukan pembuatan radiografis untuk mengetahui adanya fraktur bila bukti klinis kurang mendukung. Film panoramik merupakan film skrining pilihan untuk kasus fraktur maksila dan mandibula (Pedersen, 1996).

17

Pemeriksaan radiograf mandibula secara umum memerlukan dua atau lebih gambaran radiograf dari empat gambaran radiograf berikut, yaitu (1) panoramik, (2) proyeksi Towne, (3) proyeksi posteroanterior , dan (4) proyeksi oblik lateral kiri dan kanan (gambar 9) (Hupp dkk, 2008).

Gambar 7. Beberapa proyeksi radiografi untuk menilai fraktur mandibula. A. Proyeksi posterior-anterior menunjukkan fraktur pada daerah angle mandibula (panah). B. Proyeksi oblik lateral menunjukkan fraktur pada daerah angle mandibula (panah). C. Proyeksi Towne menunjukkan adanya pergeseran fraktur kondilar (panah). D. Foto panoramik menunjukkan fraktur yang bergeser pada cbela kiri badan mandibula dan fraktur subkondilar cbela kanan (panah) (Hupp dkk, 2008).

18

Rontgen yang paling baik untuk fraktur wajah bagian tengah adalah proyeksi Waters, proyeksi wajah lateral, proyeksi wajah posteroanterior, dan proyeksi submental verteks (Hupp dkk, 2008). Fraktur pada arkus zygomatikus ditunjukkan dengan baik oleh proyeksi submentoverteks (gambar 8).

Gambar 8.Beberapa proyeksi radiografi untuk menilai fraktur wajah bagian tengah (Hupp dkk, 2008). A. Proyeksi Waters menunjukkan fraktur pada daerah dasar orbita B. Proyeksi wajah lateral menunjukkan fraktur Le Fort III atau terjadi pemisahan kraniofasial. Garis fraktur (panah) memisahkan wajah bagian tengah dari kranium. C. Proyeksi submental verteks menunjukkan fraktur arkus zygomatikus (panah)

19

Apabila terjadi fraktur multipel pada wajah yang perluasannya dan kemungkinan keterlibatan struktur penting disekitarnya masih dipertanyakan, maka bisa dilakukan CT. CT mempunyai keunggulan dalam hal tidak adanya gambaran yang tumpang tindih dan bisa mempertahankan detail jaringan lunak. Kedua sifat tersebut merupakan penunjang yang sangat penting dalam melakukan diagnosis yang akurat dari fraktur fasial. Melakukan CT pada kepala merupakan prosedur penyaringan standar untuk menentukan adanya fraktur kepala dan dapat menunjukkan adanya trauma intrakranial, misalnya hematom intra- atau extraserebral, daerah kontusio, dan edema cerebral (Pedersen, 1996).

Gambar 9. Gambaran CT Scan (Hupp dkk, 2008). A. Gambaran tomografi menunjukkan kerusakan dasar orbita (panah). B. CT scan menunjukkan kerusakan dari dinding medial dan dasar orbita kanan

20

Dengan kemajuan tehnologi saat ini, dengan dikembangkannya CT Scan tiga dimensi akan memberikan peran yang lebih baik dalam menentukan keadaan fraktur dalam hal ada atau tidaknya displacement tulang (Tawfilis, 2006)

Gambar 10.Radiografi digital imaging 3D (Tawfilis, 2006)

21

BAB IV PERAWATAN TRAUMA MAKSILOFASIAL

4.1.

Perawatan Gawat Darurat Prinsip utama perawatan gawat darurat (emergency care) adalah

menyelamatkan hidup dan memberikan kenyamanan yang layak bagi pasien. Secara berurutan primary survey dalam perawatan gawat darurat disingkat dengan ABCD (Miloro, 2004): 1) Airway, menjaga kelancaran jalan nafas. Meliputi tindakan pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur gigi, dental prothesa, fraktur laring atau trakea. Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus melindungi vertebra servikal, adapun cara yang dapat dilakukan yaitu chin lift, headtilt atau jaw trust. Pada penderita yang dapat berbicara dapat dianggap bahwa jalan nafas bersih, walaupun demikian penilaian ulang terhadap airway harus tetap dilakukan. Pada penderita dengan gangguan kesadaran atau GCS sama atau kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway definitif. Selama memeriksa dan memperbaiki airway, harus diperhatikan bahwa tidak boleh ada ekstensi, fleksi atau rotasi dari leher. Kecurigaan adanya kelainan vertebra servikalis didasarkan pada riwayat perlukaan, pemeriksaan neurologis tidak sepenuhnya dapat menyingkirkannya. Ke-7 vertebra servikalis dan vertebra torakalis perrtama dapat dilihat dengan foto lateral, walaupun tidak semua jenis fraktur akan terlihat dengan foto ini. Dalam 22

keadaan kecurigaan fraktur servikal, harus dipakai alat imobilisasi. Bila alat imobilisasi ini harus dibuka untuk sementara maka terhadap kepala harus dilakukan imobilisasi manual. Alat imobilisasi ini harus dipakai sampai kemungkinan fraktur servikal dapat disingkirkan. 2) Breathing dan Ventilasi, airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan CO2 dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma. Setiap komponen ini harus dievaluasi secara cepat. Dada penderita harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan. Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru-paru. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah dalam rongga pleura. Inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan kelainan dinding dada yang mungkin mengganggu ventilasi. Perlukaan yang mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat adalah tension pneumothorax, flail chest dengan kontusio paru dan open pneumothorax. Keadaan ini harus dikenali pada saat dilakukan primary survey. 3) Circulation dengan control perdarahan, perdarahan merupakan sebab utama pasca bedah yang mungkin dapat diatasi dengan terapi yang cepat dan tepat di rumah sakit. Ada 3 penemuan klinis yang dapat memberikan informasi mengenai keadaan hemodinamik yaitu tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi. Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang yang akan mengakibatkan penurunan kesadaran. Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovalemia. Penderita trauma yang kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan ekstremitas jarang yang dalam keadaan hipovalemia. Sebaliknya 23

wajah pucat, keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat merupakan tanda hipovalemia. Periksalah pada nadi yang besar untuk kekuatan nadi,

kecepatan dan irama. Nadi yang tidak cepat, kuat dan teratur biasanya merupakan tanda normovalemia. Nadi yang cepat dan kecil merupakan tanda hipovalemia. Nadi yang tidak teratur biasanya merupakan tanda gangguan jantung. Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya resusitasi dengan segera. Perdarahan luar harus dikelola pada primary survey. Perdarahan luar luar dihentikan dengan penekanan pada luka. Tourniquet sebaiknya jangan dipakai karena merusak jaringan dan menyebabkan iskemia distal, sehingga tourniquet hanya dipakai bila sudah ada amputasi traumatik. Sumber perdarahan internal bisa berasal dari perdarahan dalam rongga toraks, abdomen, sekitar fraktur dari tulang panjang, retroperitoneal akibat fraktur pelvis atau sebagai akibat dari luka tembus dada/ perut. 4) Disability (Neurologic Evaluation), menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. GCS merupakan sistem scoring yang sederhana dan dapat meramal kesudahan penderita. Penurunan kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi atau/ dan penurunan perfusi ke otak, atau disebabkan trauma langsung pada otak. Penurunan kesadaran menuntut dilakukannya reevaluasi terhadap keadaan oksigenasi, ventilasi dan perfusi. Bila diperlukan konsul ke ahli bedah syaraf.

24

4.2.

Perawatan Definitif Perawatan definitif fraktur panfasial dilakukan setelah keadaan umum

pasien lebih baik, terkontrol dan telah melewati masa krisis melalui perawatan gawat darurat. Tujuan dari perawatan fraktur panfasial adalah merehabilitasi jaringan yang terkena, mengurangi rasa sakit, penyembuhan tulang, serta perbaikan oklusi gigi. Sebelum merencanakan perawatan terlebih dahulu perhatikan (Fonseca, 2005): 1. Lokasi dan luasnya fraktur 2. Struktur yang terluka atau terlibat di sepanjang fraktur 3. Jumlah kehilangan jaringan lunak, meliputi kulit, mukosa dan saraf 4. Luas kehilangan tulang 5. Keadaan trauma dentoalveolar Perawatan jenis trauma yang kompleks ini merupakan rangkuman dari seluruh perbaikan dari semua fraktur fasial dan kranial yang individual. Dibutuhkan perencanaan yang baik untuk meminimalkan operasi ulang dan lamanya perawatan di rumah sakit. Koreksi definitif pada pasien dengan trauma kraniofasial yang kompleks secara ideal dilakukan dalam 5-7 hari. Beberapa penulis menganjurkan untuk fiksasi primer pada 12-48 jam paska trauma. Namun dalam jangka waktu tersebut seringkali tidak cukup untuk memperoleh pemeriksaan radiologis, dan pengelolaan gigi geligi yang adekuat terutama pada pasien dalam keadaan koma dan tidak kooperatif. Pada periode tersebut jaringan lunak berada dalam keadaan pembengkakan sehingga pengelolaan operatif pada saat itu akan menyebabkan proyeksi wajah dan kesimetrisan wajah sulit dicapai. Selain itu adanya rhinorrhoea 25

serebrospinal atau aerocele intrakranial merupakan alasan lain keterlambatan perawatan (Miloro, 2004) Seringkali pasien tersebut membutuhkan waktu lebih dari tiga minggu untuk pengelolaan life-saving yang ekstensi terhadap trauma ekstrakranial. Pada banyak kasus keterlambatan koreksi seringkali menyebabkan telah terjadinya union pada tulang dan kontraktur jaringan lunak sehingga diperlukan diseksi jaringan lunak yang ekstensif untuk mendapatkan pemaparan tulang yang baik dalam rangka reduksi dan fiksasi fraktur tulang. Selain itu diperlukan osteotomi pada garis fraktur akibat telah terjadinya penyatuan tulang (Tawfilis, 2006) Kunci utama dalam penatalaksanaan fraktur panfasial adalah untuk mendapatkan fiksasi dan stabilisasi yang cukup stabil pada daerah-daerah yang tidak stabil. Rekonstruksi harus meliputi arah 3 dimensi yaitu vertikal, horisontal dan transversal. Terdapat dua prinsip umum untuk penatalaksanaan fraktur panfasial yaitu dengan tehnik bottom to top (dari bawah ke atas) atau top to bottom (dari atas ke bawah) (Miloro, 2004) Apabila kranium frontalis masih intak atau terdapat fraktur pada fossa kranial anterior atau fronto-orbital bar tanpa adanya kehilangan tulang atau dimana struktur-struktur tulang tersebut di atas telah terekonstruksi dengan kuat, regio midfasial dapat direkonstruksi dalam arah atas ke bawah. Namun bila terdapat diskontinuitas pada lengkung mandibula, hilangnya tulang pada tulang kranial dan diskontinuitas pada dasar fosa kranial anterior atau hilangnya titik referensi, pendekatan dilakukan dalam arah bawah ke atas. Hal ini dilakukan agar rekonstruksi pada mandibula dapat menghasilkan hubungan yang intak dalam mereposisi maksila. Selain itu bila basis kranial frontalis diperbaiki dan dilekatkan 26

terhadap tengah wajah dapat menaikkan resiko kerusakan atau perubahan letak terhadap fosa kranialis anterior yang telah diperbaiki.(Miloro, 2004) Pada tehnik bottom to top, rekonstruksi dimulai dari mandibula. Bila lengkung mandibula terganggu harus diperbaiki terlebih dahulu. Fraktur pada kondilus baik unilateral maupun bilateral memerlukan reduksi segera dan fiksasi internal untuk mempertahankan ketinggian fasial. Setelah mandibula terkoreksi dengan baik, maksila yang mengalami disimpaksi dapat dikoreksi dengan menyesuaikan oklusi pada rahang bawah dan dilakukan fiksasi intermaksilaris. Perbaikan dapat dilanjutkan dalam arah atas ke bawah dan bertemu dengan segmen maksilomandibula yang telah terfiksasi. Bila terdapat fraktur sagital pada maksila dilakukan reduksi dan fiksasi untuk mendapatkan kembali lengkung maksila sehingga koreksi terhadap lebar wajah tengah dapat tercapai. Fiksasi dapat dilakukan dengan menempatkan miniplate secara transversal pada maksila. Kerugian pada tehnik bottom to up adalah untuk rekonstruksi dilakukan dimulai dari jarak yang cukup jauh dari elemen simetris yang stabil yaitu basis kranial. Ketidakakuratan dalam mereduksi dan mereposisi fraktur kondilus akan menyebabkan asimetri wajah. (Miloro, 2004)

27

Gambar 11. Teknik Bottom up (Miloro, 2004)

Pada tehnik top to bottom, rekonstruksi pertama-tama pada bagian luar rangka fasial (outer facial frame) pada fraktur panfasial yaitu meliputi lengkung zygomatik, kompleks malar dan tulang frontalis. Kemudian rekonstruksi dilakukan pada bagian dalam rangka fasial (inner facial frame) atau pada kompleks nasoorbitho-ethmoidal, sutura zygomatikofrontalis dan orbital rim. Setelah itu dilakukan rekonstruksi pada maksila pada Le Fort I dengan menggunakan plat pada buttress. Kemudian reposisi pada fraktur mandibula dan diakhiri dengan fiksasi intermaksilaris. (Miloro, 2004) 28

Gambar 12. Teknik top to bottom (Miloro, 2004)

Cangkok tulang biasanya dilakukan untuk merekonstruksi dinding orbital dan hidung. Selain itu cangkok tulang dilakukan untuk koreksi sekunder bila dibutuhkan untuk menambah kontur pada regio tertentu dan memperbaiki kesimetrisan wajah. (Miloro, 2004)

29

Gambar 13. Bone graft pada dinding sinus maksila anterior (Miloro, 2004)

Berbagai macam insisi dilakukan untuk mendapatkan pemaparan tulang yang mengalami fraktur dan merekonstruksinya antara lain dengan insisi koronal, insisi pada kelopak mata bagian bawah, periorbital, sulkus gingivobukal, preaurikular, retromandibular atau submandibular. Insisi koronal akan dapat memberikan pemaparan yang lebih luas pada tulang kranium dan rangka kraniofasial bagian atas. Selain itu insisi ini dapat memberikan akses yang optimal untuk dapat mereduksi dan memfiksasi fragmen tulang. (Miloro, 2004)

30

BAB V KESIMPULAN

Trauma oromaksilofasial adalah trauma yang menyebabkan cedera pada jaringan lunak serta jaringan keras di daerah wajah, mulut dan dentoalveolar. Cedera pada pada jaringan lunak dapat berupa abrasi, kontusio, luka bakar dan laserasi. Cedera dentoalveolar dapat berupa fraktur tulang alveolar serta fraktur pada gigi geligi yang dapat disertai dengan kegoyangan gigi, pergeseran letak gigi, dan avulsi. Sedangkan fraktur wajah meliputi fraktur mandibula, fraktur midface atau wajah bagian tengah, dan laserasi wajah Penatalaksanaan pasien dengan trauma panfasial memerlukan diagnosa yang cermat untuk mendapatkan hasil yang memuaskan dalam merekonstruksi wajah. Kunci keberhasilan pengelolaan pasien fraktur panfasial adalah dengan mendapatkan lapang pandang yang cukup luas, reduksi yang cermat dan fiksasi dari fraktur. Prinsip dalam merekonstruksi adalah dengan mereduksi daerah yang anatomi yang memberikan panduan rangka wajah yang maksimal yaitu pada kerangka wajah luar. Daerah-daerah yang mengalami kehilangan tulang yang luas dapat dilakukan cangkok tulang.

31

DAFTAR PUSTAKA

1. Fonseca R.J. Oral and Maxillofacial Trauma. 3rd ed. St Louis: Elsevier Saunders. 2005. 2. Hupp JR, Ellis E, Tucker MR. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery. Ed. Ke-5. Mosby Elsevier. St. Louis. 2008. 3. Hiatt James L.& Gartner Leslie P. Textbook of Head and Neck Anatomy, 4th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. 2010. 4. Marciani RD, Carlson ER, Braun TW. Oral and Maxillofacial Surgery Volume II. Ed. Ke-2. Saunders Elsevier. St. Louis. 2009. 5. Michael Miloro. Petersons Principles of Oral and Maxillofacial Surgery. BC Decker Inc. Hamilton. London. 2004 6. Mitchell BJ. Maxillofacial Trauma. diunduh 2006. pada

http://www.answers.com/topic/maxillofacial-trauma. tanggal 19 Desember 2010 jam 21.45.

7. Pedersen GW. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Penerjemah: Purwanto dan Basoeseno. EGC. Jakarta. 1996. 8. Rabi AG, Khateery SM. Maxillofacial Trauma in Al Madina Region of Saudi Arabia: A 5-Year Retrospective Study. J Oral Maxillofac Surg. 2002.14:10-14. 9. Tawfilis A.R. Facial Trauma, Panfacial Fractures. eMedicine Journal. 2006. In: http://emedicine.medscape.com. Diunduh pada tanggal 19 Desember 2010 jam 21.00. 10. Yokoyoma T, Motozawa Y, Sasaki T, Hitosugi M. A Retrospective Anlisis of Oral and Maxillofacial Injuries in Motor Vehicle Accidents. J Oral Maxillofac Surg. 2006. 64:1731-1735. 11. Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. Penerjemah. R.Sjamsuhidayat. EGC.Jakarta. 1997.
.

32

You might also like