You are on page 1of 3

Membaca Profil Teroris

Persoalan tentang mengapa seseorang bergabung, bertahan dan bahkan menjadi eksekutor dalam gerakan terorisme masih belum terjawab tuntas. Profil para tersangka teroris biasanya sama sekali tak terduga. Mereka adalah orang-orang biasa pada umumnya yang bekerja dan bergaul dengan masyarakat sekitar. Mereka dikenal sebagai orang yang tidak bermasalah dengan lingkungan dan taat beribadah. Namun pada umumnya mereka memiliki karakteristik yang sama. Mereka masih tergolong berusia muda, tidak menonjol dari segi pengetahuan keagamaan maupun tingkat pendidikan, status sosial-ekonominya tergolong rendah. Aspek Psikologis teroris Harus diakui bahwa latar belakang sosial, ekonomi, pendidikan, dan usia sangat berperan penting dalam pilihan-pilihan yang diputuskan seseorang dalam hidupnya. Semua faktor tersebut membentuk konsep diri dan motif psikologis seseorang yang akhirnya berimplikasi pada perilaku yang muncul. Motif psikologis utama mengapa orang bergabung dalam kelompok teroris tampaknya adalah kebutuhan untuk hidup bermakna. Makna adalah dasar kita bersikap terhadap hidup. Sebuah alasan yang kita pegang agar hidup, kebahagiaan maupun penderitaannya, tetap layak untuk dijalani. Kebutuhan akan makna ini bisa dipenuhi oleh nilai-nilai keluarga, komunitas persaudaraan, lingkungan kerja, agama, etnis, nasionalitas, atau nilai-nilai kemanusiaan unversal. Seseorang bergabung dalam gerakan teroris karena lebih mendapat makna hidup dari nilai-nilai kelompok teroris dibanding nilai keluarga, masyarakat sekitar, agama mainstream, atau kebangsaan. Lalu apa yang membuat kelompok teroris lebih mampu memberi makna hidup? Kelompok teroris pada umumnya berbentuk kelompok persaudaraan (comrades) eksklusif yang sengaja mengisolasi diri dan beraksi berlandaskan ideologi tertentu. Karena bergerak di bawah tanah kelompok teroris menuntut kerahasiaan, kesetiaan dan keyakinan mutlak para anggotanya. Kondisi semacam ini membuat kelompok teroris mempertahankan cara pandang dan penalaran yang sangat simplistik dan kaku. Dalam buku The Terrorist (1988), Maxwell Taylor menunjukkan para teroris dari semua latar belakang kepentingan memiliki pola penalaran yang sama: melihat segala sesuatu secara hitam-putih, tidak mau menerima pandangan yang berbeda, mempersepsi dunia dengan pikiran tertutup, kaku dalam berpendirian, dan membenci kompromi. Cara pandang semacam ini misalnya dapat ditemukan dalam buku harian Imam Samudra, otak bom Bali I, Aku Melawan Teroris! (Jazera, 2004). Misalnya pandangan bahwa satu-satunya misi Barat adalah menghancurkan Islam, seluruh dunia adalah medan perang, membunuh warga negara sipil musuh diperbolehkan agama karena musuh juga membunuh warga sipil muslim, dan pandangan-pandangan sejenis lainnya. Cara pandang inilah yang coba diindoktrinasikan para ideolog teroris terhadap kader-kader baru. Cara pandang dan penalaran yang simplistik dan hitam-putih ini bagi sebagian orang memang memuaskan secara psikologis. Cara pandang semacam ini tidak menuntut pengkajian secara luas dan mendalam yang membutuhkan kemampuan intelektual, waktu dan energi. Dengan cara pandang semacam ini kehidupan dunia yang demikian kompleks dan membingungkan juga menjadi begitu mudah dipahami dan

disikapi. Tentu saja dengan pemahaman dan penyikapan yang terdistorsi dan tidak realistis. Selanjutnya untuk menjaga cara pandang dan pola penalaran ini, kelompok teroris menuntut para kadernya untuk memutuskan segala bentuk kesetiaan dengan kehidupan masa lalunya dan memperbarui iman dengan hanya mempercayai pimpinan dan sesama anggota. Karena itu para teroris cenderung memiliki dua kehidupan. Tampak dari luar mereka adalah anggota masyarakat biasa yang bekerja dan memiliki keluarga. Tapi mereka siap kapan pun untuk meninggalkan kehidupan sehari-harinya itu jika pimpinan memerintahkan aksi. Indoktrinasi semacam ini sangat berhasil terutama pada mereka yang berusia muda, berpendidikan rendah, dan status ekonominya lemah. Selain memberi panduan hidup yang tegas, sederhana, dan penuh vitalitas, nilai-nilai pengabdian dan pengorbanan relijius yang ditekankan kelompok teroris membuat rasa diri mereka yang sebelumnya biasa-biasa saja berubah menjadi sangat penting. Tiba-tiba saja mereka merasa sebagai tentara Tuhan yang sedang mengemban misi suci. Kehidupan yang serba terbatas dan kurang dihargai secara sosial membuat kaum muda miskin menyambut setiap bentuk aksi untuk mendapatkan pengakuan diri. Itulah mengapa kota-kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya berpotensi menjadi lahan subur tumbuhnya kader-kader baru teroris. Ketimpangan sosialekonomi yang sangat tajam pada masyarakat kota semakin mempertegas kondisi marjinal masyarakat miskin. Demi meningkatkan harga diri dan mencapai identitas yang mantap, kaum muda miskin kota rentan tergoda untuk bergabung dalam kelompok-kelompok ekstrim yang menyediakan rasa identitas yang berbeda dan membanggakan misalnya geng, suporter bonek, atau kelompok religius. Mereka cenderung mendukung setiap upaya perlawanan terhadap nilai-nilai dan institusi masyarakat dominan yang mapan . Karena alasan semacam inilah kondisi kemiskinan potensial dimanfaatkan oleh gerakan politik atau ideologi tertentu, termasuk gerakan teroris. Membendung terorisme Solusi utama dan jangka panjang untuk membendung gerak terorisme tentu saja adalah program pengentasan kemiskinan Tanpa mengupayakan program ini sulit untuk mencegah munculnya gerakan radikal yang menyimpang dalam bungkus ideologi apapun. Solusi lain yang lebih mendesak dilakukan adalah gerakan bersama untuk mengembangkan komunitas-komunitas lokal yang terintegrasi di perkotaan. Komunitaskomunitas lokal terintegrasi ini bisa berupa kebertetanggaan (neighbourhood), sekolah, atau tempat kerja. Anggota komunitas lokal terintegrasi ini harus menggambarkan heterogenitas masyarakat kota, yaitu lintas kelas sosial, agama, etnis, dan ras. Tujuan pengembangan komunitas lokal ini adalah tertanamnya perasaan sebagai komunitas bersama ( sense of community) pada anggota masyarakat urban. Perasaan sebagai komunitas ini meliputi rasa keterikatan dengan orang lain serta rasa kesetiaan dan keterlibatan dengan masyarakat di mana seseorang tinggal. Keberadaan komunitas lokal terintegrasi ini penting karena dapat menyediakan basis identitas yang kuat bagi anggotanya, media resolusi konflik yang efektif, serta dapat menjadi alat kontrol bagi anggota-anggotanya yang berpotensi menyimpang. Namun gerakan bersama membangun komunitas-komunitas lokal terintegrasi ini hanya bisa diwujudkan jika arah kebijakan pengembangan kota tidak melulu berdasarkan kepentingan ekonomi melainkan juga melibatkan dimensi psikososial warga kota. 2

Muhsasi

You might also like