You are on page 1of 5

PSIKOFARMAKA

I. Pendahuluan Psikotropika atau psikofarmaka adalah obat yang mempunyai efek terapeutik langsung pada proses mental pasien karena efeknya pada otak. Obat ini bekerja pada atau mempengaruhi fungsi psikik, kelakuan atau pengalaman (WHO,1996). Berdasarkan penggunaan klinik, psikotropik dibagi menjadi 4 golongan yaitu antipsikosis (major tranquillzer, neuroleptik), antiansietas (antineurosis, minor tranquillzer), antidepresi, dan psikotogenik (psikotomimetik, psikodisleptik, halusinogenik). (1,2) Pada dasarnya semua obat anti psikosis mempunyai efek primer (efek klinis) yang sama pada dosis ekuivalen, perbedaan utama pada efek sekunder (efek samping: sedasi, otonomik, ekstrapiramidal). Pemilihan jenis anti psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat. Pergantian disesuaikan dengan dosis ekuivalen. Apabila obat antipsikosis tertentu tidak memberikan respons klinis dalam dosis yang sudah optimal setelah jangka waktu yang tepat, dapat diganti dengan obat anti psikosis lain (sebaiknya dan golongan yang tidak sama) dengan dosis ekuivalennya. Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti psikosis sebelumnya sudah terbukti efektif dan efek sampingnya ditolerir baik, maka dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang.(3) Bila gejala negatif lebih menonjol dari gejala positif pilihannya adalah obat anti psikosis atipikal. Sebaliknya bila gejala positif lebih menonjol dibandingkan gejala negatif pilihannya adalah tipikal. Begitu juga pasien-pasien dengan efek samping ekstrapiramidal pilihan kita adalah jenis atipikal.(3) Berbeda dengan yang dinamakan antipsikotik tipikal (sebagai contohnya, chlorpromazine dan haloperidol), tiga obat antipsikotik yang paling luas diteliticlozapine, risperidone dan remoxipride- sering dinamakan antipsikotik atipikal. Label atipikal mengesankan bahwa semua atau salah satu karakteristik dibawah ini : disertai dengan risiko efek samping neurologis lebih sedikit; kurang poten dalam menyebabkan peningkatan sekresi prolaktin; tidak adanya antagonisme dopamine sebagai mekanisme kerja utamanya; memiliki aktifitas yang bermakna pada reseptor nondopaminergik

spesifik (sebagai contohnya, reseptor serotonin dan sigma); memiliki kemanjuran lebih besar dalam terapi gejala negative skizofrenia (sebagai contohnya anhedonia). (6)

II. Mekanisme Kerja Anti Psikosis Pada umumnya, obat anti psikosis dipakai terhadap: Sindrom otak organik yang akut dan menahun, misalnya pada delirium. Skizofrenia, psikosis manik-depresif, parafrenia involusi, dan psikosis reaktif. Gangguan non psikiatrik: misalnya (hiper-)emesis, alergi, dan untuk potensial suatu analgetikum.(1) Mekanisme kerja obat anti-psikosis tipikal adalah memblokade dopamine pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak, khususnya sistem limbik dan sistem ekstrapiramidal (Dopamine D2 receptor antagonists), sehingga efektif untuk gejala Positif. Sedangkan obat anti-psikosis atipikal disamping berafinitas terhadap Dopamine D2 Receptors juga terhadap serotonin 5 HT2 Resceptors (serotonin-dopamine antagonist), sehingga efektif juga untuk gejala Negatif.(4) Obat antipsikotik yang beredar di pasaran dapat di kelompokkan menjadi dua bagian yaitu anti psikotik generasi pertama (APG I) dan anti psikotik generasi ke dua (APG ll). APG I bekerja dengan memblok reseptor D2 di mesolimbik, mesokortikal, nigostriatal dan tuberoin fundibular sehingga dengan cepat menurunkan gejala positif tetapi pemakaian lama dapat memberikan efek samping berupa: gangguan

ekstrapiramidal, tardive dyskinesia, peningkatan kadar prolaktin yang akan menyebabkan disfungsi seksual/peningkatan berat badan dan memperberat gejala negatif maupun kognitif. Selain itu APG I menimbulkan efek samping anti kolinergik seperti mulut kering, pandangan kabur, gangguan miksi, defekasi dan hipotensi.(3) APG I dapat dibagi lagi menjadi potensi tinggi bila dosis yang digunakan kurang atau sama dengan 10 mg di antaranya adalah trifluoperazine, fluphenazine, haloperidol dan pimozide. Obat-obat ini digunakan untuk mengatasi sindrom psikosis dengan gejala dominan apatis, menarik diri, hipoaktif, waham dan halusinasi. Potensi rendah bila dosisnya lebih dan 50 mg di antaranya adalah chlorpromazine dan thiondazine digunakan pada penderita dengan gejala dominan gaduh gelisah, hiperaktif dan sulit tidur. (3)

APG II sering disebut sebagai serotonin dopamin antagonis (SDA) atau anti psikotik atipikal. Bekerja melalui interaksi serotonin dan dopamin pada ke empat jalur dopamin di otak yang menyebabkan rendahnya efek samping extrapiramidal dan sangat efektif mengatasi gejala negatif. Obat yang tersedia untuk golongan ini adalah clozapine, olanzapine, quetiapine dan rispendon.(3)

III. Penggolongan Obat Anti Psikosis A. Obat Anti-Psikosis Tipikal (4) i. Phenothiazine - Rantai Aliphatic - Rantai Piperazine : Chlorpromazine (Largactil) : Perphenazine (Trilafon) Trifluoperazine (Stelazine) Fluphenazine (Anatensol) - Rantai Piperidine ii. Butyrophenone : Thioridazine (Melleri) : Haloperidol (Haldol,Serenace,dll)

iii. Diphenil-butyl-piperidine : Pimozide (Orap) B. Obat Anti-Psikosis Atipikal (4) i. Benzamide ii. Dibenzodiazepine : Supiride (Dogmatil) : Clozapine (Clozaril) Olanzapine (Zyprexa) Quetiapine (Seroquel) Zotepine (Ludopin) iii. Benzisoxazole : Risperidon ((Risperdal) Aripiprazole (Ability)

Obat Anti Psikosis Atipikal Dibenzodiazepin. Klozapin, merupakan salah satu obat golongan ini yang menunjukkan efek antipsikosis lemah. Profil farmakologinya atipikal bila dibandingkan antipsikosis yang lain; terutama resiko timbulnya efek samping ekstrapiramidal obat ini sangat minimal, dan kadar prolaktin serum pada manusia tidak dapat ditingkatkan.(2) 3

Dibandingkan terhadap psikotropik yang lain, klozapin menunjukkan efek dopaminergik lemah tetapi dapat mempengaruhi fungsi saraf dopamin pada sistem mesolimbik-mesokortikal otak, yang berhubungan dengan fungsi emosional dan mental yang lebih tinggi, yang berbeda dari dopamin neuron di daerah nigrostriatal (daerah gerak) dan tuberoinfundibular (daerah neuroendokrin).(2) Klozapin efektif untuk mengontrol gejala-gejala psikosis dan skizofrenia baik yang positif (iritabilitas) maupun negative (sosial disinterest dan incompetence, personal neatness). Obat ini berguna untuk pengobatan pasien yang refrakter dan terganggu

berat selama pengobatan. Selain itu, karena resiko efek samping ekstrapiramidal yang sangat rendah, obat ini cocok untuk pasien yang menunjukkan gejala ekstrapiramidal yang berat bila diberikan antipsikosis yang lain.(2) Zotepine merupakan preparat baru dari golongan atipikal yang diindikasikan untuk terapi farmakologi pasien schizophrenia. Dalam mekanisme kerjanya, golongan atipikal berbeda dengan tipikal. Obat-obat golongan tipikal, seperti obat generasi pertama, bekerja pada antagonis reseptor dopamine D2. Namun, golongan ini kurang efektif dalam mengobati negative symptom dan kognitif. Dari sisi keamanan dan tolerabilitas, obat yang bekerja pada reseptor antagonis dopamine berhubungan erat dengan efek samping yang signifikan, termasuk, EPS, tardive dyskinesia dan hyperprolactinemia. Blokade pada reseptor muscarinic kolinergik, menyebabkan terjadinya drowsiness, mulut kering, konstipasi, dan penglihatan buram. Sementara blokade pada reseptor alpha adrenergik menyebabkan hipotensi dan pening. Reaksi di antihistamin menyebabkan drowsinnes, penambahan berat badan, TD, NMS dan lainlain.(5) Efek-efek tersebut tidak terjadi pada zetopine, dari golongan atipikal. Dr. Stephen J. Cooper memaparkan sejumlah studi efikasi dan keamanan zotepine dibandingkan dengan obat antipsikotik lain yakni Chlorpromazine dan Haloperidol. Menurut Stephen J. Cooper, spesifikasi dari zotepine adalah preparat yang bekerja selektif pada reseptor D1 dan D2. Hal ini diyakini mampu mereduksi efek EPS pada penggunaan jenis obat lainnya. Juga bekerja selekif pada reseptor serotonin (5HT2A, 2C, 6 dan 7) serta pada antagonis H1 dan alpha 1 reseptor. (5)

Zotepine cepat diabsorbsi setelah pemberian per oral, 2 3 jam. Dan paruh waktu yang panjang sekitar 14 jam. Zotepine direkomendasikan menjadi lini pertama pada kasus baru schizoprenia yang ditemukan, bersama obat antipsikotik lainnya, seperti olanzapine dan risperidone. Zotepine dapat digunakan guna mengatasi gejala positif. Keamanan obat ini setara dengan golongan atipikal lainya. Sementara efek menimbulkan pertambahan bobot badan masih dapat ditoleransi. Dosis yang direkomendasikan adalah 150-200 mg/ hari. Titrasi dosis dibutuhkan guna mencegah over sedasi. (5)

IV. Efek Samping Obat Anti Psikosis Efek samping obat anti psikosis dapat berupa :(4) Sedasi dan inhibisi psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun). Gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/parasimpatolitik : mulut kering, kesulitan miksi dan defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intraokuler meninggi, gangguan irama jantung). Gangguan ekstrapiramidal (distonia akut, akathisia, sindrom Parkinson : tremor, bradikinesia, rigiditas).

V. Kesimpulan Antipsikosis, yaitu berguna mengatasi agresivitas, hiperaktivitas dan labilitas emosional pada pasien psikosis. Pada dasarnya semua obat anti psikosis mempunyai efek primer (efek klinis) yang sama pada dosis ekuivalen, perbedaan utama pada efek sekunder (efek samping: sedasi, otonomik, ekstrapiramidal). Mekanisme kerja obat anti-psikosis tipikal adalah memblokade dopamine pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak, khususnya sistem limbik dan sistem ekstrapiramidal (Dopamine D2 receptor antagonists), sehingga efektif untuk gejala Positif. Sedangkan obat anti-psikosis atipikal disamping berafinitas terhadap Dopamine D2 Receptors juga terhadap serotonin 5 HT2 Receptors (serotonin-dopamine antagonist), sehingga efektif juga untuk gejala negatif.

You might also like