You are on page 1of 1

Kelemahan dasar dalam penalaran hukum Islam, baik klasik maupun modern, adalah hilangnya wawasan tentang etika

sebagai landasan hukum itu sendiri, seperti yang terjadi dalam dunia pesantren, fikih sudah berubah menjadi keasyikan orang bertukar teks, bertukar nash. Fikih adalah arena tempat orang-orang bertanding untuk memperdebatkan teks mana yang lebih kuat, kuat, dan dianggap kuat. Wawasan Etik Islam Seperti itulah, agama semata-mata persoalan teks, kemudian dilepaskan dari maslah kongkretnya. Hal itu berakibat pada dilepaskannya agama dari tujuan dasar Islam, yakni turun ke manusia. Inilah yang oleh salah seorang pemikir Islam disebut wawasan etika. Islam dalam kerangka wawasan etik sebagaimana yang sudah dirumuskan sendiri oleh fikih yaitu dengan apa yang disebut al kulliyat al-khamsah ( lima nilai dasar syariat) yakni (1) perlindungan terhadap agama, dalam konteks modern diterjemahkan sebagai perlindungan atas kebebasan berkeyakinan, bukan hanya kebebasan beragama (2) perlindungan terhadap akal (3) perlindungan terhadap akal (4) perlindungan terhadap keturunan (5) perlindungan terhadap kehormatan. Lima dasar inilah yang harusnya menjadi panduan dasar dalam melihat Islam. Selama ini, kelemahan dasar dalam memandnag agama adalah karena Islam entah dalam bentuk fikih, atau akhlaq, ataupun dalam akidah- dipandang semata-mata sebagai teks verbal dan bukan pada wawasan etiknya. Oleh karena itu, salah satu jalan yang harus ditempuh dalam gerakan memperbaharui pemahaman Islam saat ini adalah dengan menghidupkan kembali wawasan etik ini. Betapapun tanpa wawasan etik ini, Islam akan mandul, akan berhenti sebagai agama yang terpaku pada huruf-huruf dalam teks kitab suci, tanpa kaitan dengan realitas kongkret ataupun dengan system nilai yang menjadi dasar semua itu. Inti dari wawasan etik tersebut adalah apa tujuan diturunkan Islam ke dunia? Apakah seluruh aturan yang kita kenal dalam Islam selama ini memnuhi tujuan kita atau tidak? Ada sejumlah aturan di dalam Islam yang memenuhi tujuan etis ini di dalam konteks zaman tertentu, tetapi tidak dalam konteks zaman yang lain, begitu sterusnya, maka dari itu, secara pribadi penulis katakan ketentuan hukum yang relevan dalam zaman tertentu itu bisa dibatalkan dalam konteks lain ketika tuntutannya berubah. Teks, wawasan etika, dan realitas sosial harus menjadi tiga serangkai yang harus menjadi penduan pemahaman kegamaan kita sebagai orang islam. Dengan cara itu, kita berharap islam relevan dengan seluruh zaman, waktu, dan segala tempat. Wallahu alamu bi ash-showb.

You might also like