You are on page 1of 8

Inkompatibilitas ABO

Nicholas Wijayanto
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara no 6, Jakarta Barat Email: nico_sevenfold@hotmail.com

Pendahuluan
Hiperbilirubinemia pada 24 jam pertama kehidupan sering disebabkan oleh penyakit hemolitik bayi baru lahir (hemolytic disease of the newborn, HDN) (eritroblastosis fetalis), suatu destruksi SDM dengan kecepatan yang tidak normal. Anemia yang disebabkan oleh destruksi ini merangsang produksi SDM, yang pada gilirannya meningkatkan jumlah sel untuk terjadinya hemolisis. Penyebab mayor peningkatan destruksi eritrosit adalah isoimunisasi (terutama Rh) dan inkompabilitas ABO. Ibu dengan golongan darah O kadang-kadang dapat membawa antibody terhadap darah A,B atau AB. Antibody ini dapat menembus plasenta dan menyebabkan hemolisis yang bisa terjadi pada kehamilan pertama sekalipun. Inkompabilitas ABO lebih sering dijumpai daripada inkompabilitas Rh, namun keadaan yang disebutkan pertama biasanya tidak begitu berat jika dibandingkan dengan inkompabilitas Rh. Kadang-kadang seorang bayi dapat terkena inkompabilitas ABO yang parah dan memerlukan transfuse tukar.1

Pembahasan
Anamnesis Anamesis adalah suatu bagian penting dalam penegakkan diagnosis terhadap penyakit pada bayi, terutama bayi yang baru lahir. Kita perlu menanyakan anamnesis secara alloanamnesis kepada ibu/ayah dari bayi yang menderita. Tanyakan apakah tipe darah dari ibu, ayah dan pasien, apakah ini kehamilan yang pertama?. Tanyakan juga apakah anak sebelumnya mengalami episode ikterik pada sclera atau urine berwarna gelap?. Tanyakan apakah pasien sedang menjalani pengobatan atau baru saja menerima pengobatan?. Tentu saja pertanyaan-pertanyaan diatas sangat penting untuk mengetahui apakah si bayi mengalami inkompabilitas ABO atau Rh, jika tidak maka bayi ini menderita penyakit hemolitik pada bayi yang baru lahir. Pertanyaan tentang obat-obatan berhubungan dengan kemungkinan si anak mengalami defisiensi dari enzim G6PD atau hemolitik yang diinduksi obat.

Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik pada bayi, biasa tidak ada suatu keadaan yang berat. Bayi tidak tampak sianosis, menangis kuat, gerak aktif, mungkin cukup terlihat ikterik. Pada pemeriksaan ttv, biasanya tidak ada kelainan yang berarti juga, seperti laju nadi sama dengan laju jantung 140 kali permenit, laju nafas 44 kali permenit. Pada pemeriksaan dinding thorax tidak ditemukan adanya kelainan. Pada pemeriksaan jantung, paru-paru dan hati juga tidak ada kelainan. Semua organ dalam abdomen dalam batas normal. Pada auskultasi abdomen, bising usus juga normal. Pada pemeriksaan keempat ekstremitas tidak didapatkan ikterik ataupun pucat pada telapak tangan maupun kaki.

Pemeriksaan penunjang Pada pemeriksaan penunjang bayi dengan inkompatibilitas ABO ini, tidak ditemukan perubahanperubahan yang cukup bermakna. Karena memang dalam kasus ini, tidak terlalu berat menimbulkan manifestasi klinik. Namun pada pemeriksaan penunjang ini dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium darah lengkap (CBC) yaitu Hb, Ht, eritrosit, trombosit, leukosit, bilirubin indirek, bilirubin direk. Pemeriksaan kadar besi juga diperlukan untuk mengeliminasi kemungkinan bayi menderita defisiensi besi.2

Pemeriksaan yang akan mendukung diagnosis penyakit pada bayi bisa dilakukan uji rhesus antara ibu, ayah dan bayi. Pemeriksaan jenis golongan darah juga diperlukan.
Golongan Darah A B AB O Antigen pada SDM A B A dan B Antibodi dalam serum Anti - B Anti - A Anti-A dan Anti-B

Tabel 1. Penggolongan darah

Tabel 2. Penggolongan Rhesus

Manifestasi klinik Jaundice muncul segera setelah lahir(selama 24 jam pertama), dan kadar bilirubin tak terkonjugasi dalam serum meningkat cepat. Anemia terjadi akibat hemolisis sejumlah besar eritrosit, dan hiperbilirubinemia dan jaundice terjadi akibat ketidakmampuan hati mengonjugasi dan mengeksresi kelebihan bilirubin. Kebanyakan bayi baru lahir dengan HDN tidak jaundice saat lahir. Akan tetapi hepatosplenomegali dan berbagai derajat hidrops tampak jelas. Bila bayi terserang hebat, tanda anemia terlihat(sangat pucat) dan syok hipovolemik sangat jelas.3

Patofisiologi Reaksi hemolitik. Reaksi ini terjadi karena destruksi sel darah merah setelah transfuse akibat darah yang inkompatibel. Jika seseorang ditransfusi dengan darah atau janin memiliki struktur antigen eritrosit yang berbeda dengan donor atau ibunya, maka dapat terbentuk antibody pada tubuh resipien darah atau janin tersebut. Reaksi antara antigen eritrosit dan antibody plasma, baik yang spesifik maupun nonspesifik, menyebabkan antibody merusak eritrosit. Destruksi eritrosit yang cepat akan melepaskan hemoglobin bebas ke dalam plasma sehingga menyebabkan kerusakan ginjal, toksemia, dan kematian. Meskipun saat ini pemahaman mengenai antigen sel darah merah dan implikasi klinisnya telah sangat maju, namun reaksi hemolitik akibat transfuse masih dijumpai. Sekitar separuh kematian akibat reaksi hemolitik tersebut disebabkan oleh inkompabilitas ABO akibat kelalaian administrative.4

Golongan darah maternal fetal O B A

Inkompatibilitas golongan darah A atau B A atau AB B atau AB

Tabel 3. Potensial inkompatibilitas ABO Maternal-Fetal.

Etiologi Dalam system ABO terdapat dua jenis antigen, A dan B. orang yang tidak memiliki baik antigen A maupun B digolongakan ke dalam jenis O. sisa populasi lainnya memiliki jenis A, B atau AB. Ketika janin diwarisi golongan darah dari ayahnya yang berbeda dari ibunya, darah janin mungkin melewati plasenta dan membentuk antigen pada ibu terhadap golongan darah asing. Selama kehamilan yang berurutan, bayi lainnya dengan golongan darah sama dengan bayi pertama mungkin dipengaruhi oleh keganasan antibody dalam darah ibunya. Bayi ini mungkin akan mengalami penyakit hemolitik ABO.

Diagnosis banding Inkompatibilitas rhesus Golongan darah Rh terdiri atas beberapa antigen (dengan D menjadi yang paling prevalen). Untuk mudahnya, hanya istilah Rh-positif (adanya antigen) dan Rh-negatif( tidak ada antigen) yang akan didiskusikan disini. Ada atau tidak ada factor Rh yang terjadi natural menentukan golongan darah. Umumnya tidak ada masalah yang bisa diantisipasi bila golongan darah Rh ibu dan fetus sama atau bila ibunya Rh-positif dan bayinya Rh-negatif. Kesulitan baru terjadi bila ibunya Rh-negatif dan bayinya Rh-positif. Meskipun sirkulasi darah maternal dan fetal terpisah, SDM fetal(dengan antigen asing terhdap ibu) terkadang dapat mencapai sirkulasi maternal malalui retakan kecil pada pembuluh darah plasenta. Mekanisme pertahanan natural ibu merespon terhadap se lasing ini dengan memproduksi antibody-anti Rh. Dalam keadaan normal, porses isoimunisasi ini tidak berefek pada fetus Rh-positif, karena sensitisasi inisial terhadap antigen Rh jarang terjadi sebelum onset persalinan. Akan tetapi, dengan tingginya resiko darah fetal pindah ke sirkulasi maternal selama pemisahan plasenta, produksi antibody maternal menjadi terangsang. Selama kehamilan berikutnya dengan fetus Rh-positif, antibody maternal yang sudah terbentuk tadi terhadap sel darah Rh-positif memasuki sirkulasi fetal, ketika mereka menyerang dan menghancurkan eritrosit fetal. Karena kondisi ini dimulai inutero, maka fetus berusaha mengompensasi adanya hemolisis progresif dengan mempercepat kecepatan eritropoiesis, sebagai akibatnya, muncul SDM

imatur(eritroblas) di dalam sirkulasi fetal, dari sini munculnya istilah eritroblastosis fetalis. Terdapat banyak variasi dalam perkembangan sensitiasi maternal terhadap antigen Rh-positif. Sensitisasi dapat terjadi selama kehamilan pertama bila wanita pernah menerima transfuse darah Rhpositif. Tidak terjadi sensitisasi jika barier plasenta yang kuat menghambat transfer darah fetal ke dalam sirkulasi maternal. Pada sekitar 10-15% ibu yang tersensitisasi, tidak terdapat reaksi hemolitik pada bayi yang baru lahir. Pada kebanyakan eritroblastosis fetalis berat(hidrops fetalis), hemolisis progresif menyebabkan hipoksia fetal, gagal jantung, edema umum(anasarka), dan efusi ke rongga pericardial, pleural, dan peritoneal. Bayi dilahirkan mati atau dengan distress respirasi berat. Deteksi awal isoimunisasi intrauterine dengan ultrasonografi dan pengambilan sampel vili koriales dan diikuti penganganan dengan transfuse darah fetal memperbaiki hasil secara dramatis pada fetus yang terkena. 5

Penatalaksanaan antenatal. Pemeriksaan darah dilakukan pada kunjungan pertama dan kemudian dilakukan lagi selama kehamilan(biasanya untuk mendeteksi 28, 32, 34, 36 minggu) untuk mendeteksi keberadaan iso-aglutinin meningkat, tindakan amniosintesis dilakukan untuk memeriksa cairan amnion dan mengukur kadar bilirubin dari hasil penghancuran sel darah merah janin. Jika kadarnya ternyata kelewat tinggi, persalinan harus diinduksi dengan pemikiran risiko imaturitas. Jika induksi dirasakan kurang bijaksana, transfuse intrauteri darah Rh-negatif dapat diberikan. Darah tersebut dimasukan langsung ke dalam kavum peritoneri janin di bawah panduan ultra-sonografi. Penatalaksanaan sesudah lahir. Talu pusat bayi segera diputus sesudah bayi lahir dan specimen tali pusat diambil. Bayi diamati secara ketat selama 4 hari pertama untuk mendeteksi gejala ikterus. Pemeriksaan darah dilakukan tiap hari atau lebih sering lagi untuk mengukur kadar serum bilirubin, dan pengobatan dilakukan menurut hasil pemeriksaan darah. Fototerapi dapat menurunkan kadar bilirubin sampai tingkat yang cukup rendah untuk mencegah bahaya kerikterus, namun demikian bayi yang memiliki kelainan Rh yang berat sering memerlukan transfuse tukar untuk mengeluarkan antibody yang ada pada darah bayi tersebut dan memperbaiki keadaan anemia.

Talasemia Talasemia merupakan penyakit bawaan yang diturunkan dari salah satu orangtua kepada anaknya sejak masih dalam kandungan. Jika pasangan suami-istri adalah pembawa gen talasemia, maka kemungkinan anaknya akan menderita talasemia sebesar 25%, pembawa gen talasemia(50%) dan normal 25%. Hemoglobiln merupakan suatu zat di dalam sel darah merah yang berfungsi mengangkut oksigen dari paru ke seluruh jaringan tubuh dan member warna merah pada eritrosit. Dalam keadaan normal, hemoglobin utama terdiri dari gugus heme dan mempunyai dua rana=tai alfa dan utama rantai beta. Talasemia terjadi karena kelainan atau perubahan pada gen globin alfa atau beta yang mengatur produksi rantai alfa atau beta. Berkurang atau tidak terbentuk sama sekali rantai globin disebut sebagai talasemia. Keadaan ini menyebabkan produksi hemoglobin terganggu dan umur eritrosit memendek. Dalam keadaan normal, umur eritrosit berkisar 120 hari.

Pada talasemia akan dijumpai beberapa gejala klinis seperti: 1. Anemia. Pada talasemia, produksi rantai globin alfa atau beta berkurang atau tidak ada, sehingga hemoglobin yang terbentuk sangat kurang dan menyebabkan anemia. Berlebihnya rantai globin yang tidak berpasangan menyebabkan eritrosit mudah dipecahkan oleh limpa. 2. Splenomegali. Organ limpa berfungsi untuk membersihkan eritrosit yang rusak dan berperan dalam pembentukan eritrosit. Pembesaran limpa pada talasemia dapat terjadi akibat kerja limpa yang berlebihan. 3. Fascies Cooley. Pada keadaan talasemia yang berat dapat terjadi perubahan bentuk wajah yang disebut fascies cooley, sumsum tulang pipih merupakan salah satu tempat untuk memproduksi sel darah merah. Pada talasemia, sumsm tulang pipih memproduksi sel darah merah berlebihan sehingga rongga sumsum membesar yang menyebabkan penipisan tulang dan penonjolan pada dahi. Pengobatan untuk talasemia memang belum ada sampai sekarang. Untuk itu diperlukan pencegahan penyebarannya. Penyebaran penyakit ini hanya bisa dilakukan dengan mencegah mereka yang memiliki gen carier talasemia sebaiknya tidak menikan dengan sesame pembawa sifat penyakit. Perkawinan dua carier penyakit ini bisa memungkinkan terlahir anak dengan talasemia mayor.5,8

Penatalaksanaan Pada kasus inkompatibilitas ABO ini, tidak ditemukan gejala-gejala ikterus yang sangat berat, biasanya hanya terbatas ringan-sedang. Biasanya pada bayi yang mengalami jaundice akan dilakukan fototerapi. Penggunaan fototerapi dengan bola lampu florescens telah menurunkan perlunya transfuse tukar pada bayi-bayi dengan atau tanpa penyakit hemolitik. Namun bila ada indikasi untuk transfuse tukar, maka fototerapi tidak boleh digunakan sebagai pengganti. Bayi normal yang mendapat fototerapi selama 1-3 hari mempunyai kadar puncak bilirubin serum sekitar setengah dari bayi yang tidak diobati. Bayi premature yang tanpa hemolisis biasanya bilirubin serumnya turun 1-3 mg/dL sesudah 12-24 jam menjalani fototerapi konvensional, dan kadar puncak yang dicapai dapat diturunkan 3-6 mg/dL. Pengaruh terapeutik tergantung pada energy cahaya yang dipancarkan pada kisaran panjang gelombang yang efektif, jarak antara cahaya dan bayi, dan jumlah kulit yang terpajan seperti juga kecepatan hemolisis dan metabolism in vivo serta ekskresi bilirubin.6

Komplikasi Dalam inkompatibilitas ABO jarang ditemukan komplikasi yang berat. Karena pada umumnya antibody yang terdapat dalam darah si ibu akan dihilangkan melalui system pertahanan dalam tubuh si anak.

Prognosis Dubia ad bonam, akan baik jika bayi turut diawasi oleh tenaga medis yang berkompeten juga. Terapi sinar fototerapi akan membantu mempercepat proses pemecahan bilirubin sehingga ikterus pada bayi akan lebih cepat pulih.7

Daftar pustaka
1. Schwartz MW. Pedoman klinis pediatric. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005.

2. Leveno KJ, Cunningham FG, Gant NF a.l. Obstetri williams. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009. 3. Wong DL, Eaton MH, Wilson D, Winkelstein ML. Buku ajar keperawatan pediatric. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009. 4. Benson RC, Pernoll ML. Buku saku obstetric dan ginekologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009. 5. Hamilton PM. Dasar dasar keperawatan maternitas. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005. 6. Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson ilmu kesehatan anak. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2000. 7. Farrer H. Perawatan maternitas. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. 8. Artikel tentang thalasemia ini diunduh dari Thalasemia.org, 18 April 2013.

You might also like