You are on page 1of 16

Dasar Teori A. Tahapan Respirasi 1.

Respirasi Eksternal Respirasi eksternal merupakan semua tahap yang meliputi pertukaran gas O2 dan CO2 antara atmosfer dan sel tubuh (Sherwood, 2011). Ada empat tahapan utama dalam respirasi eksternal dalam Silverthorn (2010) yaitu mencakup : a) Ventilasi Pulmonal Merupakan Pergerakan udara keluar masuk paru akibat modifikassi ukuran volume dan tekanana saluran pernafasan. Dengan mekanika bernafasa tahap ini maka udara dari armosfer luar bisa tersedia di atmosfer untuk dipindahkan ke darah begitu juga sebaliknya. Laju ventilasi (aliran pernafasan dikontrol dengan baik menyesuaikan dengan perfusi (aliran darah) b) Difusi O2 dan CO2 di membran respiratoria (Membran yang terbentuk oleh alveolus dan kapiler paru c) Transpor O2 dan CO2 melalu pembuluh darah sistemik. d) Difusi O2 dan CO2 antara kapiler jaringan dengan sel-sel tubuh Proses respirasi eksternal ini sangat melibatkan sistem respirasi dan kardiovaskular yang mencakup sampai pertukaran gas dan transport gas oleh darah untuk menjaga homeostatis gas yang dibutuhkan dalam tubuh. Selain itu, dalam respirasi eksternal peran respirasi juga dibantu oleh sistem saraf, sistem muskuloskeletal dan sistem hormon. 2. Respirasi Internal Respirasi internal secara harfiah merupakan mekanisme intrasel yang menggunakan O2 dan nutrisi yang didapat tubuh untuk menghasilkan ATP (energi) dan mengeluarkan CO (aslah satu sisaa metabolik tubuh). Respirasi internal ini terjadi terutama di bagian mitochondria. O2 penting dalam proses metabolik ini dan kadar energi yang ditimbulkan bervariasi tergantung molekul nutrien yang

digunakan. Respiratory Quotient (rasio CO2 yang diproduksi terhadap O2 yang dikonsumsi) yang dihasilkan juga bergantung pula pada jenis molekul makanan yang digunakan. Respiratory Quotient terhadap metabolisme glukosa (karbohidrat) adalah 1 yang berarti untuk 1 molekul glukosa yang dipakai maka menghasilkan a1 molekul CO2 (Sherwood, 2011).

B. Fungsi Sistem Respirasi 1. Fungsi Respiratorik Memperoleh O2 dari atmosfer dan mengeluarkan CO2 dari dalam tubuh untuk menjaga homeostasis 2. Fungsi Non-Repiratorik a) Membantu Penghidu Cabang terminal dari bulbus olfactorius yang merupakan perpanjangan dari nervus Olfatorius mempersarafi konkoa superius dan bagian atap cavum nasi. Turbulensi udara pada konka akan mebuat udara berbenturan dan bertahan lebih lama di kavum nasi

sehingga berlangsung.

membuat penciuaman dari odor yang terhirup

b) Menjadi Proteksi Sekaligus Membantu Mengstabilkan Udara Respirasi Udara attmosfer yang dihirup dengan udara internal tubuh disesuaikan sedemikan rupa oleh saluran nafas dengan memfiltrasi, menghumidifikasi, dan menghangatkan udara yang masuk. Udara yang terinhalasi akan lebih jauh difiltrasi oleh bulu hidung , cilia, dan mukus di saluran anfas atas sehingga hanya benda yang kurang dari 5 akan masuk ke saluran nafas lebih bawah untuk selanjutnya dibersihkan oleh sel dust dan reflek batuk. Udara yang akan keluar masuk paru juga akan distabilkan kelembaban dan panasnya melalui pembuluh darah di mukosa saluran nafas sehingga udara akan aman untuk digunakan berdifusi di alveolus (Sherwood, 2011). c) Membantu Mengstabilkan Keseimbangan Asam Basa Di Dalam Tubuh Dengan Mengontrol Kadar CO2 Yang Bisa Kemudian Mengatur Kadar H+ Di Aliran Darah (Martini er al, 2012) d) Memungkinkan Untuk Berbicara, Bernyanyi dan Bahkan Bersiul Pada daerah Laring (disebut juga sebagai voice box), terdapat plica vocalis dan rima glutidis. Plica vokalis merupakan suatu lipatan segeitig dibawa plica vestibularis dan mengatur menutup

terbukannya glotis yang menjadi batas saluran nafas bawah dan atas. Otot-otot laring akan mengubah posisi plica vocalis dan menggetarkan udara yang melewati plica vocalis tersebut maka akan muncul suara. Suara tersbut bisa dimofiikasi oleh ebrbagai struktur mulut yaitu bibir, lidah, dan palatum mole yang bisa membuat suara menjadi lebih jelas seperti sara yang kita kenali saat ini (Martini er al, 2012).

Gambar 1. Plica vocalis pada alring berperan dalam fonasi salah satu fungsi nonrepiratorik sistem respirasi (Silverthorn, 2010). e) Mengaktifkan dan Menonaktifkan Zat Tertentu di Kapiler Paru Kapiler paru memiliki sifat yang unik karena bisa menonaktifkan danmengaktifkan berbagai komponen kimiawi tertentu yang ada di aliran darah tersebut. Salah satu komponen yang bisa

dinonaktifkan adalah prostaglandin yang merupakan mediator inflamasi. Hal ini penting karena jika ada peradangan dari atau diluar paru maka salah satu mediator inflamasi yaitu Prostaglandin tersebut tidak bisa memicu inflamasi juga di daerah pulmonal. Hal ini penting karena semua sirkulasi darah akan mencapai sirkulasi paru sehingga jika terjadi infeksi atau trauma akan memicu peradangan besar-besaran yang bisa mengganggu fungsi respirasi paru. Selain itu, ada komponen yang diaktifkan oleh kapiler paru yaitu angiotensin II yang ebrperan penting dalam emngatur tekanan dan bolume darah dengan mengontrol kadar Na+ di cairan ekstrasel (Sherwood, 2011). C. Mekanika Pernafasan a) Prinsip Tekanan dalam Ventilasi Pulmonal Secara umum pergerakan gas pada suhu yang sama akan menggunakan prinsik hukum boyle (Tekanan berbanding terbalik dengan Volume) .

Karena itu untuk bisa mengetahui mekanika bernafas (ventilasi pulmonal) sangat penting untuk memahami prinsip tekanan gas yang ada di udara. (Sherwood, 2011).. Ada tiga konsep tekanan utama yang mempengaruhi ventilasi pulmonal. 1) Tekanan Atmosfer Tekanan atmosfer merupakan tekanan yang ditimbulkan dari berat gas-gas yang ada diatmosfer terhadap benda di permukaan bumi.Tekananatmosfer ini pada ketinggian

permukaan laut adalah 760 mmHg dan akan terus berkurang seiring bertambahnya ketinggian. Oksigen bersih pada tekanan atmosfer inilah menjadi sumber oksigen (Sherwood, 2011). 2) Tekanan Intraalveolus/Tekana Intrapulmonal Merupakan Tekanan udara yang secara kolektif pada alveolus. Karena terjadi hubungan oleh bagian konduktoria sistem respirasi maka setiap perubahan tekanan intralaveolus akan terjadi perubahan tekanan yang selanjutnya akan memicu pergerakan udara keluar masuk paru (Seperti cairan, gas bergerak menuruni gradien tekanan dari tekanan yang lebih tinggi ke tekananyang lebih rendah) (Sherwood, 2011). 3) Tekana Intrapleura Pulmo dekstra dan sinistra dildama rongga tholak diselimuti oleh cavitas pleuralis dektra dan sinistra.Di dalam rongga pleura ini berisi sedikit cairan dan udara. Adanya udara dalam jumlah normal pada rongga pleura menimbulkan gradien tekanan transmural yang berperan untuk menjaga kestabilan paru agar tidak kolaps saat ekspirasi dan mebantu agar ekspansi dada tidak berlebihan saat inspirasi. Tekana intraalveolus ini sebesar 756 mmHg dan selalu berada leih rendah dibanding tekanan intraalveolus saat isnspirasi dan ekspirasi. Tekanan ini akan medorong paru kedalam dan mendorong rongga thoraks keluar membentuk gradien tekanan transmular sebesar 4mm Hg (jika tekana intraalveolus dan intrapulmonal sebesar 760

mmHg). Karena secara umum paru lebih elastis daripada rongga thorax maka efek gradien tekanannya secara netto lebih mendorong paru danrongga thoraks ke arah luar menjaga paru agar tidak kolaps . (Sherwood, 2011). a) Tipe Tipe Pernafasan 1) Quiet Respiration (Pernafasan Tenang) Secara normal atau dalam pernafasan tenang terjadi dua proses yaitu inspirasi (proses aktif) dan ekspirasi ( proses pasif). Proses Inspirasi yang terjadi melibatkan kontrol penafasan oleh sistem saraf dan otot-otot inspirasi. Pada awal inspirasi, tidak terjadi perbedaan tekanan antara tekanan intrapulmonal dan tekanan atmosfer sehingga tidak terjadi gradien tekanan dan tidak ada pengerakan keluar amsuk udara., Namun, jika terjadi perubahan karena kadar PO2 arteri menurun atau PCO2 arteri menigkat maka (kemoreseptor perifer dan sentral) akan menmibulkan rangsangan pada pusat pernafasan di medulla oblongata (rangsangan kemoresptor Sentral yang memindal kadar CO2) untuk mengaktifkan pesarafan yang ada di pada otot inspirasi. Pada Pernafasan tenang , ada dua otot inspirasi utama yang digunakan yaitu Diafragma dan otot musculus intercostales eksternus yang amsingmasing dipersarafi oleh Nervus Phrenicus (cabang nervus Vagus) dan Nervus Intercostales eksternus secara berturut-berturut. Ketika rangsagan muncul , maka diafragma akan berkontraksi menekan abdomen sehingga meningkatkan diameter supero-inferior rongga thorax. Disis lain, otot-ototo intrercostales pada spatium intercostales juga berkontraksi menambah diameter antero-posterior dan letero-lateral rongga thoraks. Peningkatan volume ini menurunkan secara otomatis tekanan alveolus sedikit dibawah tekanan atmosver (Palv 759 mmHg; Patm = 760 mmHg). Akibatnya , udara masuk

kedalam paru sampai tekanan menjadi sama dan tahap inspirasi berhenti lalu memulai tahap ekspirasi (Martini er al, 2012) Selanjutnya pada awal ekspirasi, tekanan intrapulmonal dan tekanan atmosfer dalam keadaans eimbang. Lalu, rangsangan saraf yang mempersarafi diafragma dan otot intercostales eksternus menghilang sehingga kedua otot itu relaksasi. Tapa adanya gaya dari kedua otot-otot ini maka ekspansi dada menurun dan paru juga kembali recoil mengikuti. Hal ini membuat terjadi penurunan volume rongga thoraks sehingga tekanan intrapulmonal selanjutnya akan naik (Palv-761 mmHg, Patm = 760 mmHg) membuat udara di dalam paru sekarang keluar dari paru dan saluran nafas (Martini er al, 2012) 2) Force Repsiration Pada force respiration (pernafasan paksa/aktif) terjadi mekanismenya mirip dengan pernafasan normal hanya saja ada berbagai otot tambahan respirasi. respirasi yang meningkatkan (otot

kemampuan

Otot

inspirasi

asesorius

sternocleidomastoideus, M. Scalenus, M. Serratus anterior, M. Pectoralis major membantu inspirasi lebih dalam dengan lebih menigkatkan volume rongga thoraks (melalui pengangkatan lebih jauh dua costae perama dan os sternum). Hal ini membuat tekanan intrapulmonal jauh lebih kecil sehingga udara luar masuk ke paru dan tekanannya kembali seimbang pada fase akhir inspirasi (Martini er al, 2012) Selanjutnya, pada tahapan fase inspirasi paksa (forced expiration) terjadi proses aktif dengan penggunaan kontraksi otot ekspirasi (M. Intercostales internus, Mm. Abdominis, Musculus transversu thoracis). Musculus intercostales dan musculus thoracis internus akan menurnkan costa sehingga mengecilkan diameter diametre laterolateral dana nteroposterion rongga thoraks. Di lain pihak, otot otot abdominis (M. Rectus abdominis, M. Oblique eksternus

abdominis, M. Oblique internus abdominis dan M. Transversus abdominis akan menekan abdomen dan luga menekan diafragma keatas sehingga diameter supero-inferior menurun. Otot-otot itu akan mengecilkan sehingga tekanan intrapulmonal volume rongga thoraks meningkat jauh dan

menngeluarkan udara dari dalam paru pada jumlah lebih banyak dari ekspirasi tenang (Martini er al, 2012).

Gambar 2. Otot-otot Respirasi (Martini et al., 2012) D. Resistensi Saluran Pernafasan Sama seperti pembuluh darah, saluran pernafasan juga memiliki resistensi yang mempengaruhi tekanan dan aliran darah paru. Dalam keadaan normal besarnya kecepatan aliran dominansi dilihat dari besarnya gradien tekanan saja karena pada orang sehat kaliber 9diameter dalam ) saluran nafas cukup besar sehingga restensi yang ditimbulkan tidak terlalu mempengaruhi aliran nafas. Secara normal , ukuran saluran nafas dapat diubah-ubah dalam tingkat sedang oleh innervasi saraf otonom. Stimulasi parasimpatis yang pada saat tenang mendorong terjadinya kontraksi otot polos dan bronkiolosu (bronkonstriksi) secara ringan. Sedangkan stmulasi

simpatis akan melakukan pelebaran saluran nafas (bronkodilatasi) untuk menajin udara bisa keluar masuk dengan adekuat. Pada keadaan patologis seperti PPOK, penyempitan diameter saluran nafas ini menjadi masalah karena akan menghalangi udara cukup masuk ke paru dan lebih jauh serta mampu membuat kemampuan ekspirasi jadi tidak maksimal karena saluran nafas sering kolops (menyempit) meninggalkan udara yang masih tersisa dibelakang. (Sherwood, 2011). E. Elastisitas paru Kemampuan elastisitas paru terdiri dari dua konsep penting yaitu 1) Compliance Paru Compliance paru adalah kemampuan untuk meregang. Makin besar compliance maka makin mudah paru untuk berkembang sehingga mesi dengan tekanan sedikit namun pada paru dengan compliance yang besar maka kapasitas pegembangannya tetap besar (Sherwood, 2011). 2) Recoil Elastic Recoil elastic adalah salah satu sifat elastisitas paru yang menggambarkan seberapa besar kemampuan paru untuk kembali ke posisi semula setelaha mengalami regangan. Sifat recoil ini dipengaru oleh dua faktor yaitu :

i. Jaringan ikat elastik paru Paru memeiliki banyak serat elastin dan jaringan ikat yang tersusun beranyam sehingga kemampuan

regangannya cukup besar ii. Tegangan Permukaan Beda dari berbagai organ lain, secara normal paru tidak berada dalam kondisi alamiahnya karena paru dibuat mengembang dengan tekanan intrapulmonarnya.

Tekanan ini dilawan oleh tegangan permukaan pada membran dalam paru. Membran dalam paru berisi

sedikit sekali air yang melapisis semua permukaan alveolus. Molekul air ini akan meciptakan suatu daya kohesivitas (karena adanya ikatan Hidrogen antara O dan H) sehingga molekul air cenderung saling tarik menarik mebuat lapisan aloveolus saling mendekat, mengerut , dan kolaps. Hal ini secara logis sangat membantu pada saat ekspirasi namun berbahaya dalam keadaan normal pernafasan karena itu dibentukn=lah suatu lipoprotein yaitu surfaktan. Surfaktan dibentuk oleh pneumosit tipe 2 (terpendam di dinding alveolis). Surfaktan akan menghalangi ikatan antara moleku air ini yang selanjutnya mengurangi tegangan permukaan yang timbul (Sherwood, 2011).

F. Pemeriksaan Spirometri

Untuk mengukur disfungsi paru, banyak pemeriksaan yang bisa dilakukan diantaranya melakukan uji analiss gas darah, pemeriksaan kapasitas difusi membran alveolus, fototoraks, dan spirometri.

Pemeriksaan spirometri adalah salah satu ayng sederhana dan cukup praktis untuk digunakan. Pada pemeriksaan ini digunakan suatu spirometer yaitu alat untuk mengukur volume udara yang dihirup dan dihembuskan. Pada alat spirometer digital sekarang sudah tidak menggunakan komponen seperi tong dan sekarang sudah bisa memasukkan identitas dan keterangan fisik probandus sehingga alat spirometri sendiri bisa memperkirakan hasil pengukuran untuk mebandingkan dengan hasil asli pengukurannya. Melalui spirogram (hasil print pemeriksaan spirometri) kita bisa mendapat banyak keterangan mengenai kapasitas dan volume paru statik dan dinamik (Sylvia & Wilson, 2006).

Gambar 3. Pemeriksaan Spirometri (Silverthorn, 2010)

a) Volume dan Kapasitas Paru Statik Dalam keadaan statik (tanpa usaha bernafas paksa yang

dimodifikasi), kita bisa mengukur fisiologis pernafasan dengan mngukur volume dan kapasitas paru statik dengan spirometri. Beberapa nilai yang bisa diukur disini adalah 1. Volume Tidal (VT) Merupakan volume udara yang secara normal bisa masuk dan keluar paru 2. Volume cadangan inspirasi (IRV) Volume tambhan yang bisa dihirup setelah inspirasi normal . Pada pria sekitar 3300 ml dan wanita 1900 ml. 3. Volume cadangan ekspirasi (ERV) Volume cadangan yang masih bisa dikeluarkan setelah ekspirasi. Pada pria 1000 ml dan pada wanita 700 ml 4. Volume residual (VR) Volume udara minimal yang masih tertinggal di paru bahkan setelah ekspirasi paksa maksimal. Pada pria sekita 1200 ml dan wanita 1100 ml. 5. Kapasitas residual Fungsional Volume udara yang masih tersisa diparu setelah ekspirasi normal ( VT +ERV).

6. Kapasitas Vital (KV) Besar volume udara maksimal yang bisa kita hembuskan setelah melakukan inspirasi maksimal. 7. Kapasitas Total Paru Volume udara total yang bisa ditampung paru. Besarnya pada pria yaitu 5700 ml, perempuan 4500 ml (Sherwood, 2011).

Gambar 4. Hasil Spirogram Volume Statik Paru b) Volume Dinamik Paru Volume dinamik paru adalah besarnya volume respirasi paksa yang sudah dimodifikasi dengan memperhitungkan kecepatan udara yang keluar masuk paru untuk menilai beberapa fungsi tertentu. 1. Volume ekspirasi Paksa dalam satu detik (FEV1 )

Besarnya volume yang dapat dikeluarkan setelah ekspirasi maksimal dalam durasi satu detik . Besarnya secara normal sekitar 80% dari udara maksimal (Sylvia & Wilson, 2006). 2. Kapasitas vital paksa (FVC) Besarnya volume udara maksimal yang bisa dikeluarkan secara paksa. Normalnya terukur sekitar 4 Liter (Sylvia & Wilson, 2006). c) Indikasi dan Kontraindikasi Spirometri Secara umum, indikasi pemeriksaan spirometri dilakukan pada pemeriksaan progresifitas penyakit paru kronik dan untuk mendeteksi pada penderita dengan gejala-gejala kekurangan oksigen untuk memeriksa apakah ada disfungsi paru atau tidak (Sylvia & Wilson, 2006). i. Indikasi 1. Deteksi penyakit paru 2. Ortopneu dan Angina Pektoris 3. Deformitas thoraks 4. Sianosis 5. Clobbing finger 6. Penderita batuk kronik dan produktif 7. Evaluasi perokok > 40 tahun 8. Penderajatan asma akut 9. Pemeriksaan berkala untuk progresifitas penyakit 10. Pasien yang akan mengalami reseksi paru (Sylvia & Wilson, 2006). ii. Kontraindikasi a) Hemoptisis Pada kondis probandus mengalami hemoptisis (batuk darah), diduga ada gangguan kerapuhan vaskuler (mudah

rupture) pada sirkulasi bronchial atau sirkulasi pulmonal. Perubahan tekanan saat respirasi berpengaruh pada perubahan tekanan di arteri dan sepanjang pembuluh darah. Pada pemeriksaan spirometri yang membutuhkan respirasi paksa

dikhawatirkan akan timbul peningkatan tekanan pembuluh darah pada sirkulasi-sirkulasi tersebut sehingga mememcah pembuluh darah dan membuat batuk darahnya lebih progresif (Sylvia & Wilson, 2006). b) Pneumothorax Pneumothorak disebabkan oleh adanya trauma/luka sehingga udara bisa masuk mengisi cavum pleura. Jika melakukan pemeriksan spirometri dikhawatirkan terjadi

peningkatan udara hebat saat respirasi didalam alveolus paru yang selanjutnya masuk ke cavitas pleura dan menyebabkan tekanan intrapleura makin besar mendorong pulmo (gradien tekanan transmural hilang krena tekananintrapleura naik dan membuat paru kolaps). Jika tekanannya semakin besar bahkan berpotensi mendorong mediastinum dan selanjutnya menekan sisi pulmo yang lain sehingga gangguan pernafasan makin berat (Sylvia & Wilson, 2006).

c) Emboli Paru Emboli paru merupakan gangguan sirkulasi karena adanya sumbatan pada pembuluh darah yang memperdarahi paru. Jika diduga ada emboli, maka pemeriksaan spirometri

tidak

bisa

dilakukan

karena

pemeriksaan

spirometri

memgharuskan tubuh untuk bernafas paksa secara kuat yang kemudian akan meningkatkan tekanan pembuluh darah. Jika sumbatan itu masih ada di pembuluh yang besar lalu terdorong karena adanya peningkatan tekanan maka sumbatan akan masuk dan menyumbat pembulu darah yang lebih kecil hingga akibatnya menimbulkan obstruksi total pada pembuluh darah tersebut dan daerah yang diperdarahinya terancam nekrosis (Sylvia & Wilson, 2006). d) Status Kardivaskular tidak stabil Contoh status kardiovasular yang tidak stabil adalah pada keadaan infark miokard. Pada kondisi ini terjadi sumbatan yang mengakibatkan pembuluh darah yang memperdarahi jantung mengalami obtruksi dan terjadi nekrosis pada mikkoradium jantung sehingga jaringan yang masih belum mengalami nekrosis bertumpu pada pembulu darah yang tidak tersumbat. Jika terjadi pengembangan paru secara intensif akibat spirometri maka jantung akan terdesar dan lebih jauh menurunkan suplai oksigen dan nutrisi ke jantung yang

menyebabkan nekrosis semakin meluas. ( Silverthorn, 2010). e) Aneurisma Serebri dan Thorax Pada kasus ini, terjadi penipisan pembuluh darah dan cenderung mudah sekali untuk rupture. Apalagi pada pemuluh darah pada serebri dan thorax yang cukup vital dan besar sehingga bisa mudah menimbulkan syok jika terjadi

perdarahan. Karena itu, peningkatan tekanan darah yang dipicu oleh peningkatan kekuatan aliran respirasi yang besar pada pemeriksaan spirometri tidak diperbolehkan (Sylvia & Wilson, 2006). f) Pasca Bedah Mata Setelah melakukan bedah mata , pembuluh darah menjadi lebih rapuh dan jika terjadi peningkatan darah akibat

pernafasan maka dikhawatirkan aliran darah akan pecah dan mendesak lapisan disekitarnya(koroid) dan mendesak nervus opticus sehingga bisa mengalami kebutaan ( Silverthorn, 2010). g) Kecemasan (mual, muntah, pusing, vertigo) Gejala seperti mual, pusing, vertigo merupakan cirirciri kemungkinan terjadinya tekanan intracranial. Karena itu spirometri yang bisa menginisiasi peningkatan pada pembulu darah tidak dianjurkan untuk mencegah kerusakan pada pembuluh darah serebri (Sylvia & Wilson, 2006).

Daftar Pustaka

Martini, Fredrick H., Nath, Judi L., Bartholomeuw, Edwin F. 2012. Fundamentals of Anatomy and Physiology. San francisco : Pearson Education, Inc. Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses Proses Penyakit. Jakarta :EGC Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta :EGC Silverthorn, Dee Unglaub.2010. Human Physology : An Integrated Approach. San francisco : Pearson Education, Inc.

You might also like