You are on page 1of 67

Evaluasi Program

PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN DIARE DI PUSKESMAS KELURAHAN KAYU PUTIH PERIODE JANUARI 2008 DESEMBER 2008

Oleh : Daruqutni, S.Ked Dinda Diafiri, S Ked Donny Albertha, S Ked Pembimbing : Dr. Setyawati KEPANITERAAN ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA, NOVEMBER 2009

BAB I PENDAHULUAN I. Latar belakang


Diare masih merupakan salah satu penyebab utama morbilitas dan mortalitas anak di negara yang sedang berkembang. Diperkirakan angka kejadian di negara berkembang berkisar 3,5 7 episode per anak pertahun dalam 2 tahun pertama kehidupan dan 2 5 episode per anak per tahun dalam 5 tahun pertama kehidupan. Penyakit diare menduduki urutan ketiga penyebab kematian setelah perinatal (23%) dan infeksi saluran pernafasan akut (18%). Kematian akibat diare mengalami peningkatan pada tahun 2002 sebanyak 15% (8,4/1.000 balita meninggal) dibandingkan tahun 2000 dan 2001 yang hanya 13%. (WHO, 2004) Hasil survei oleh Depkes. diperoleh angka kesakitan diare tahun 2000 sebesar 301 per 1000 penduduk angka ini meningkat bila dibanding survei pada tahun 1996 sebesar 280 per 1000 penduduk.(Depkes 2000) Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004, angka kematian akibat diare 23 per 100 ribu penduduk dan pada balita 75 per 100 ribu balita. Di DKI Jakarta kepadatan penduduk cenderung tinggi sehingga penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan yang dapat menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) diare. Terdapat sekitar rata-rata 150.000 kasus diare terjadi setiap tahunnya di Pusat Kesehatan Masyarakat (Dinkes 2002). Puskesmas memegang peranan penting sebagai unit pelayanan kesehatan terdepan dalam upaya pemberantasan penyakit menular yang salah satunya adalah pencegahan dan penanggulangan diare. Puskesmas diharapkan dapat melakukan pencegahan penularan penyakit serta mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat diare baik dengan penanganan aktif maupun dengan penyuluhan. II. Perumusan Masalah
Tingginya angka kesakitan diare terutama pada balita di Puskesmas Kelurahan Kayu Putih Belum diketahuinya pelaksanaan program penanggulangan diare pada balita di Puskesmas Kelurahan Kayu Putih periode Januari November 2008

Belum diketahui keberhasilan pelaksanaan program penanggulangan diare pada balita di Puskesmas Kelurahan Kayu Putih periode Januari - Desember 2008

III Tujuan III.1 Tujuan Umum Dipahaminya program pencegahan dan penanggulangan Diare di puskesmas secara menyeluruh. III.2 Tujuan khusus 1. Diketahuinya pelaksanaan Program Pencegahan dan Penanggulangan Diare di Puskesmas Kelurahan Kayu Putih periode Januari - Desember 2008. 2. Diketahuinya masalah dalam pelaksanaan Program Pencegahan dan Penanggulangan Diare di Puskesmas Kelurahan Kayu Putih periode Januari - Desember 2008. 3. Diketahuinya kemungkinan penyebab masalah dalam pelaksanaan Program Pencegahan dan Penanggulangan Diare di Puskesmas Kelurahan Kayu Putih periode Januari Desember 2008. 4. Dirumuskannya alternatif penyelesaian masalah bagi pelaksanaan Program Pencegahan dan Penanggulangan Diare di Puskesmas Kelurahan Kayu Putih periode Januari Desember 2008. IV Manfaat IV.1 Manfaat bagi mahasiswa Bagi mahasiswa sebagai sarana pembelajaran mengenai cara melakukan evaluasi program puskesmas. Selain itu melatih kemampuan dalam menilai suatu pelaksanaan program, menambah kemampuan dan kecermatan dalam mengindentifikasi, menganalisa dan menetapkan prioritas permasalahan, mencari alternatif penyelesaian dari suatu masalah dan memutuskan penyelesaiannya. IV.2 Manfaat bagi Puskesmas

Sebagai suatu bahan evaluasi program pencegahan dan penanggulangan diare yang telah berlangsung, sehingga dapat mengefektifkan dan memberi alternatif penyelesaian masalah pelaksanaan program dan juga dapat memandu dalam meningkatkan pencapaian program. IV.3 Manfaat bagi Universitas Merealisasikan tridharma perguruan tinggi dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya sebagai lembaga yang menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


II.1. Diare II.1.1. Definisi Diare Diare adalah buang air besar (defekasi) yang mengalami perubahan pada konsistensi dan atau frekuensi. Perubahan konsistensi yang dimaksud adalah peningkatan kandungan air dalam feses, yaitu lebih dari 10 ml/kgBB/hari2 (pada anak) atau lebih dari 200 ml/hari 1 (pada dewasa). Perubahan frekuensi yang dimaksud adalah lebih dari tiga kali sehari. Pada bayi yang masih mendapat ASI tidak jarang frekuensi defekasinya lebih dari 3-4 kali sehari. 3 keadaan ini tidak dapat disebut diare, melainkan masih bersifat fisiologis atau normal. II.1.2. Klasifikasi Diare 4 Berdasarkan batasan waktu, diare diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu (1) diare akut, apabila berlangsung kurang dari 14 hari, (2) diare persisten, yaitu diare akut yang melanjut menjadi lebih dari 14 hari hingga 30 hari, dan (3) diare kronik, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 30 hari.1,3 Pada literatur lain, diare persisten disamakan dengan diare kronik, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari. Pengertian ini juga berlaku di Indonesia agar para tenaga kesehatan tidak lengah dan dapat lebih cepat menginvestigasi penyebab diare dengan lebih tepat. Berdasarkan mekanisme patofisiologis yang terjadi, diare diklasifikasikan menjadi dua, yaitu (1) diare sekretorik, yang biasanya disebabkan oleh infeksi, misalnya infeksi Rotavirus, dan (2) diare osmotik, yang biasanya disebabkan oleh malabsorbsi laktosa. Berdasarkan penyebab, diare diklasifikasikan menjadi (1) diare organik, yaitu bila ditemukan penyebab yang bersifat anatomik, bakteriologik, hormonal, atau toksikologik, dan (2) diare fungsional, yaitu bila tidak ditemukan penyebab organik. Di dalam kelompok diare organik juga terdapat diare infektif, yaitu diare yang disebabkan oleh infeksi. Selain itu, dikenal pula istilah disentri, yaitu kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari diare disertai darah, lendir, dan tenesmus ani.

II.1.3. Epidemiologi Diare adalah penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak di negara berkembang. 1 Pada tahun 2003, diperkirakan 1,87 juta anak dibawah usia 5 tahun meninggal karena diare. Hal ini menempatkan diare pada peringkat kedua penyebab kematian kedua tersering setelah infeksi pernapasan. Delapan dari sepuluh kematian akibat diare berlangsung pada dua tahun pertama kehidupan. Rata-rata anak berusia dibawah 3 tahun di negara berkembang mengalami 3 episode diare setiap tahunnya.4 Angka kejadian diare di Indonesia hingga saat ini masih tinggi, yaitu 423 per 1000 penduduk untuk semua umur pada tahun 2006 (hasil Subdit Diare, Ditjen PP-PL, Depkes RI), dimana angka ini meningkat dari tahun ke tahun.6 II.1.3.a. Penyebaran kuman yang menyebabkan diare1 Kuman penyebab diare biasanya menyebar melalui fekal oral, yaitu melalui makanan atau minuman yang tercemar tinja dan atau kontak langsung dengan tinja penderita. Beberapa perilaku dapat menyebabkan penyebaran kuman enterik dan meningkatkan risiko terjadinya diare. Perilaku tersebut antara lain: Tidak memberikan air susu ibu (ASI) secara penuh pada 4 hingga 6 bulan pertama kehidupan. Pada bayi yang tidak diberi ASI terjadi peningkatan risiko menderita diare dan kemungkinan menderita dehidrasi yang lebih berat. Menggunakan botol susu yang higienenya kurang terjaga. Menyimpan makanan masak pada suhu kamar, sehingga dalam beberapa jam akan tercemar oleh kuman yang mudah berkembang biak. Menggunakan air minum yang tercemar. Tidak mencuci tangan sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum makan, dan sebelum menyuapi anak. Tidak membuang tinja (termasuk tinja bayi dan tinja binatang) dengan benar.

II.1.3.b. Faktor pejamu yang meningkatkan kerentanan terhadap diare1 Faktor-faktor tersebut adalah: Tidak memberikan ASI sampai 2 tahun, sehingga anak kekurangan antibodi yang penting untuk melindungi tubuh dari berbagai bakteri, misalnya Shigella sp. atau V. cholera.

Status gizi kurang dan gizi buruk. Campak, di mana terjadi penurunan imunitas tubuh sehingga lebih rentan terhadap diare dan disentri. Kondisi imunodefisiensi atau imunosupresi, misalnya pada pasien dengan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Secara proporsional, diare lebih banyak (55%) terjadi pada golongan balita.

II.1.3.c. Faktor lingkungan1 Dua faktor yang dominan adalah tidak cukup tersedianya sarana air bersih dan tidak ada/kurangnya sarana MCK (mandi,cuci,kakus). Kedua faktor ini saling berinteraksi dengan perilaku manusia. II.1.4. Etiopatogenesis Penggolongan penyebab diare2 II.1.4.a. Infeksi II.1.4.a.i. Enteral Dari golongan bakteri dapat disebabkan oleh Shigella sp, E. coli patogen, Salmonella sp, Klebsiella, Proteus sp, Pseudomonas aeruginosa. Dari golongan virus dapat disebabkan oleh Rotavirus, Norwalk virus, HIV, Cytomegalovirus, dll. Parasit yang dapat menyebabkan diare adalah Entamoeba hystolitica, Giardia lamblia, Ballantidium coli, Cryptosporum parvum. Cacing seperti Ascaris lumbricoides, cacing tambang, Tricuris trichiura, S. Stercoralis. Jamur yang dapat menyebabkan diare adalah Candida sp. Tabel 2.1. Jasad patogen yang paling sering ditemukan pada anak diare di negara berkembang5
Jenis Patogen Virus Bakteri Spesies Patogen Rotavirus Eschericia coli enterotoksigenik Shigella Campylobacter jejuni Vibrio cholerae 01 Salmonella (non-typhi) Escherichia coli enteropatogenik Persentase Kasus 15-25 10-20 5-15 10-15 5-10 1-5 1-5

Protozoa Tidak terdapat patogen

Cryptosporidium

5-15 20-30

(Sumber: Buku ajar diare. Pendidikan Medik Pemberantasan Diare. Jakarta : Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman.

1999)

II.1.4.a.ii. Parenteral Disebabkan oleh Otitis media akut, pneumonia, travelers diarrhea, E. coli, Giardia lamblia, Shigella sp, Entamoeba hystolitica, dan intoksikasi makanan. Intoksikasi tersebut dapat berupa makanan beracun atau mengandung logam berat, makanan mengandung toksin Clostridium perfringens, Bacillus cereus, dll. Dapat pula karena intleransi laktosa, malabsorbsi atau maldigesti karbohidrat, lemak trigliserida rantai panjang, asam amino tertentu, malabsorbsi gluten. II.1.4.b. Imunodefisiensi Contoh kondisi ini adalah Hipogammaglobulinemia, panipoglobulinemia, defisiensi Ig A. II.1.4.c. Terapi obat Obat yang menyebabkan diare dapat berupa antbiotik, kemoterapi, antasida.

II.1.4.d. Tindakan Tertentu Gastrektomi, gastroenterostomi, radiasi terapi tinggi. II.1.5.e Lain-lain Sindrom Zollinger-Ellison, neuropati autonomik, faktor psikologis adalah contoh kondisi lain yang juga dapat menyebabkan diare. Secara umum diare dapat disebabkan oleh satu atau lebih patofisiologi seperti dibawah ini.9 1. Peningkatan osmolaritas intra lumen usus. Hal ini menyebabkan masa intra lumen menarik atau menahan cairan intra lumen dan terjadi diare. Penyebab diare osmotik di

antaranya adalah MgSO4, Mg(OH)2, malabsorbsi umum dan defek absorbsi mukosa usus seperti defisiensi disakaridase, malabsorbsi glukosa atau galaktosa. 2. Sekresi cairan dan elektrolit terganggu. Pada keadaan ini sekresi air dan elektrolit meningkat, reabsorbsi menurun. Sehingga masa dalam lumen akan menjadi lebih cair, dan terjadi diare. Ciri dari diare tipe ini adalah jumlahnya yang banyak sekali. Diare tipe ini tetap berlangsung walaupun pasien puasa. Penyebabnya umumnya toksin bakteri seperti Vibrio cholerae, E. coli, reseksi ileum. 3. Malabsorbsi asam empedu dan lemak. Hal ini dapat terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi hepatobilier. Lemak yang tetap berada dalam lumen usus akan meningkatkan tekanan osmotik intra lumen. 4. Defek pertukaran atau transport ion elektrolit aktif pada enterosit. Terganggunya pomapa Na+ K+ATP-ase di enterosit menyebabkan absorbsi Na+ abnormal. Na+ tetap berada dalam lumen usus dan menahan cairan. 5. Motilitas dan waktu transit usus yang abnormal. Terlalu tingginya motilitas usus, motilitas iregular, dan singkatnya waktu transit dalam usus menyebabkan pencernaan belum sempurna dan banyak cairan yang tidak sempat direabsorbsi. Kondisi ini ditemukan pada pasien diabetes melitus, hipertiroid, dan pasien pasca vagotomi. 6. 7. Gangguan permeabilitas usus. Terdapat kelainan morfologi sel enterosit. Hal ini menyebabkan penyerapan zat makanan teganggu. Inflamasi dinding usus. Terdapat kerusakan mukosa usus sehingga terjadi proses inflamasi. Proses inflamasi ini menyebabkan produksi mukus berlebihan dan eksudasi air dan elektrolit ke dalam lumen usus, disertai gangguan absorbsi. Keadaan ini menyebabkan diare inflamatorik, seperti pada diare Shigella, kolitis ulseratif, dan penyakit Crohn. 8. Infeksi dinding usus. Merupakan keadaan yang mendasari diare infektif. Tipe diere ini adalah tipe yang paling sering terjadi. Infeksi mikroorganisme tersebut secara garis besar dibedakan menjadi dua, non invasif dan invasif. Pada tipe non invasif, mikroorganisme tersebut mngeluarkan toksin yang menyebabkan diare, sehingga diare yang timbul disebut diare toksikogenik. Contohnya pada diare yang disebabkan Vibrio cholerae, kuman meproduksi toksin yang meningkatkan produksi cAMP. Tingginya

cAMP akan menyebabkan sekresi aktif ion klorida yang diikuti air, Na+, K+, dan bikarbonat. Toksin kolera ini tidak mempengaruhi absorbsi natrium. Patogenesis diare akibat infeksi bakteri atau parasit.2 1. Diare karena bakteri non invasif (enterotoksikogenik) Bakteri yang tidak merusak mukosa usus seperti V. Cholerae eltor, Enterotoksigenik E.colli (ETEC), dan E. perfringen, V. cholerae eltor mengeluarkan toksin kolera dengan efek yang telah dijelaskan sebelumnya. 2. Diare karena bakteri atau parasit invasif (enteroinvasif) Contoh bakteri golongan ini adalah Enteroinvasif E. colli (EIEC), Salmonella, Shigella, Yersinia, dan Clostridium perfringens tipe C. Parasit yang sering menye babkan diare tipe ini adalah E. hystolitica dan Giardia lamblia. Diare disebabkan oleh kerusakan dinding usus, nekrosis dan ulserasi. Diare bersifat eksudatif, dapat bercampur lendir maupun darah. Patogenesis diare akibat virus adalah seperti di bawah ini.5 1. 2. Virus merusak vili usus secara langsung, menurunkan luas permukaan usus sehingga sekresi cairan tidak dapat terimbangi. Rotavirus kemudian memperoduksi enterotoxin yang meningkatkan sekresi cairan usus. Kedua mekanisme ini menyebabkan terjadinya diare pada infeksi virus. II.1.5. Tanda dan Gejala Klinis Diare Telah disebutkan sebelumnya bahwa pada diare terjadi perubahan konsistensi tinja menjadi lebih cair dan terjadi peningkatan frekuensi buang air. Pada bayi dan neonatus, diare didefinisikan sebagai keluarnya massa tinja lebih dari 10 ml/kgBB/24 jam dan pada anak dan dewasa berarti keluarnya massa tinja lebih dari 200 g.2,4 Karakteristik dari diare, meliputi konsistensi, warna, volume dan frekuensi buang air, dapat menjadi petunjuk berharga dalam menentukan sumber diare.6 Secara ringkas, karakteristik ini diperlihatkan pada Tabel 2.2 : Tabel 2.2. Hubungan Karakteristik Tinja dengan Sumber Diare12
Karakter Feses Keadaan umum Volume Usus Halus Cair Besar Usus Besar Berdarah/ mukoid Kecil

Darah Keasaman Tes reduksi Sel darah putih Sel darah putih Serum Organisme

Biasanya positif tapi tak kasat mata <5,5 Dapat positif <5/lapang pandang besar Normal Virus: Rotavirus Adenovirus Calicivirus Astrovirus Norwalk virus Bakteri Enterotoksik: E.coli Clostridium Cholera Vibrio Parasit: Giardia Cryptosporidium perfringens

Biasanya terlihat secara kasat mata >5,5 Negatif >10/ lapang pandang besar Dapat leukositosis Bakteri Invasif: E.Coli(enteroinvasif,enterohemorrhagi c) Shigella Salmonella Campylobacter Yersinia Aeromonas species Bakteri Toksik: Clostridium difficile species species species species

Parasit: Entamoeba organisms

(Sumber : Frye RE, Tamer MA. Diarrhea. Diunduh dari : http://www.emedicine.com pada 6 September 2009)

Pemeriksaan fisik harus memperhatikan : keadaan umum dan aktivitas pasien, tanda -tanda vital (nadi, pernapasan, suhu, tekanan darah), berat badan aktual, tanda-tanda dehidrasi, terutama pada anak: rewel (restlessness or irritability), letargi/penurunan kesadaran, Sunken eyes (mata cekung secara mendadak), ubun-ubun besar cekung (sunken fontanel), mukosa bibir dan orofaring kering, penurunan turgor kulit , terlihat kehausan atau sulit minum atau tidak bisa minum, anoreksia, takikardia (fast weak pulse), oliguria, darah dalam tinja, tanda-tanda malnutrisi berat, massa abdominal, distensi abdomen.4 II.1.6. Pemeriksaan Penunjang2,4 Untuk diare yang berlangsung lebih dari beberapa hari atau diare dengan dehidrasi perlu dilakukan pemeriksaan penunjang seperti dibawah ini.

1.

Pameriksaan darah tepi: kadar hemoglobin, hematokrit, hitung leukosit, hitung diferensial leukosit. Penting untuk mengetahui berat ringannya hemokonsentrasi darah, dan respon leukosit. Contohnya pada diare karena Salmonella dapat terjadi neutropenia. Pada diare karena kuman yang bersifat invasif dapat terjadi shift to the left leukosit.

2. 3. 4.

Elektrolit darah. Diperlukan untuk mengobservasi dampak diare terhadap kadar elektrolit darah. Ureum dan kreatinin. Diperlukan untuk memonitor adanya gagal ginjal akut. Pemeriksaan tinja untuk mencari penyebab diare. Pada infeksi bakteri, ditemukan leukosit pada tinja. Dapat pula ditemukan telur cacing maupun parasit dewasa. Dapat pula dilakukan pengukuran toksin Closstridium difficile pada pasien yang telah mendapatkan terapi antibiotik dalam jangka waktu tiga bulan terakhir. Tinja dengan pH 5,5 menunjukkan adanya intoleransi karbohidrat yang umumnya terjadi sekunder akibat infeksi virus. Pada infeksi oleh organisme enteroinvasif, leukosit feses yang ditemukan umumnya berupa neutrofil. Tidak ditemukannya netrofil tidak mengeliminasi kemungkinan infeksi enteroinvasif, tetapi ditemukannya neutrofil feses mengeliminasi kemungkinan infeksi organisme enterotoksin dan virus.

5. 6. 7. 8.

Apabila ditemukan leukosit pada feses, lakukan kultur feses untuk menentukan apakah penyebab diare adalah Salmonella, Shigella, Campylobacter, atau Yersenia. Pemeriksaan serologis untuk mencari amoeba. Foto roentgen abdomen. Untuk melihat morfologi usus yang dapat membantu diagnosis. Rektoskopi, sigmoideoskopi, dapat dipertimbangkan pada pasien dengan diare berdarah, pasien diare akut persisten. Pada pasien AIDS, kolonoskopi dipertimbangkan karena ada kemungkinan diare disebabkan oleh infeksi atau limfoma di area kolon kanan. Biopsy mukosa sebaiknya dilakukan bila dalam pemeriksaan tampak inflamasi berat pada mukosa.

9. AIDS.

Biopsi usus. Dilakukan pada diare kronik, atau untuk mencari etiologi diare pada

II.1.7. Komplikasi

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada diare akut adalah dehidrasi (dengan berbagai derajat dari ringan hingga berat / syok), asidosis metabolik, hipokalemia, hiponatermia, dan hipoglikemia.4 Derajat dehidrasi dapat dinilai berdasarkan beberapa tanda dan gejala, seperti ditampilkan pada Tabel 2.3 : Tabel 2.3. Penentuan derajat dehidrasi menurut WHO (1980)
Tanda dan Gejala Keadaan umum dan kondisi: bayi dan anak kecil Haus, sadar, gelisah Anak lebih besar dan dewasa Haus, sadar, Biasanya sadar, gelisah, merasa pusing pada perubahan posisi ekstremitas dingin, berkeringat dan sianotik kulit dan jari tangan dan kaki keriput, kejang otot. Nadi radialis (1) Pernafasan Ubun-ubun besar* (2) Elastisitas kulit* (3) Mata* Air mata Selaput lendir (4) Pengeluaran urin (5) Tekanan darah Frekuensi dan isi nadi normal Normal Normal Kembali Cepat dan lemah Dalam, cepat Cekung Lambat Cekung Kering Kering Berkurang warna tua Normal-rendah 6-9% 60-90mL/kg mungkin Cepat, halus, kadang-kadang tak teraba Dalam dan cepat Sangat cekung Sangat lambat (>2 detik) Sangat cekung Sangat kering Sangat kering Tidak ada urin untuk beberapa jam, kandung kencing kosong. <80 mmHg, mungkin tak terukur 10% atau lebih 100-110mL/kg Dehidrasi Ringan Haus, sadar, gelisah Dehidrasi Sedang Haus, gelisah, atau letargi iritabel tetapi Dehidrasi Berat Mengantuk, ekstremitas koma lemas, dingin,

berkeringat, sianotik, mungkin

segera

pada pencubitan Normal Ada Lembab Normal Normal 4-5% 40-50mL/kg

dan

sistolik (6) Persentase kehilangan BB Perkiraan kehilangan

cairan (World Health Organization dan United Nations Children Foundation. Clinical management on acute diarrhoea. Geneva : World Health Organization and United Nations joint statement; 2007. Diunduh dari : http://whqlibdoc.who.int/hq/2004/WHO_FCH_CAH_04.7.pdf pada 14 Novemeber 2009)

Keterangan tabel 2.3 :

terutama berguna pada bayi-bayi untuk menilai dehidrasi dan memantau rehidrasi

1. Bila nadi radialis tidak teraba, dicatat frekuensi denyut jantung dengan stetoskop 2. Berguna pada bayi-bayi sampai ubun-ubun menutup pada 6-18 bulan. Setelah penutupan, pada beberapa anak terdapat sedikit penekanan. 3. Tidak berguna pada malnutrisi marasmik atau obesitas. 4. Kekeringan mulut dapat diraba dengan jari yang bersih. Mulut dapat kering pada anak yang bernafas dengan mulut. Mulut dapat basah pada pasien rehidrasi karena muntah atau minum. 5. Bayi yang marasmik atau mendapat cairan hipotonik mengeluarkan jumlah urin yang cukup pada keadaan dehidrasi 6. Sukar dinilai pada bayi-bayi Untuk dehidrasi ringan atau sedang biasanya anak kehilangan cairan 50-100mL/kgBB

II.1.8. Prinsip Tatalaksana Diare Prinsip tatalaksana diare akut terdiri atas 4 hal, yaitu2: II.1.8.a. Mencegah terjadinya dehidrasi Mencegah dehidrasi dapat dilakukan mulai dari rumah dengan memberikan lebih banyak cairan (minum). Macam cairan yang diberikan tergantung pada kebiasaan setempat dalam mengobati diare, tersedianya cairan sari makanan yang cocok, jangkauan pelayanan kesehatan, dan tersedianya oralit. II.1.8.b. Mengatasi dehidrasi Pengobatan diare dilakukan melalui beberapa langkah yang disebutkan satu persatu dibawah ini.1 a. Tetapkan derajat dehidrasi penderita, apakah tanpa dehidrasi, dehidrasi ringan, dehidrasi sedang, atau dehidrasi berat. Klasifikasinya dapat dilihat pada Tabel 2.4.

b. Tetapkan rencana pengobatan sesuai derajat dehidrasi penderita : i. ii. iii. Rencana terapi A untuk pasien tanpa dehidrasi Rencana terapi B untuk pasien dengan dehidrasi ringan dan dehidrasi sedang Rencana terapi C untuk pasien dengan dehidrasi berat.

Tabel 2.4. Penentuan Derajat Dehidrasi berdasarkan Tanda dan Gejala1


Klasifikasi Dehidrasi berat Gejala/Tanda Dua atau lebih tanda-tanda berikut: Letargi/tidak sadar Sunken eyes Tidak dapat minum atau sulit minum Dehidrasi sedang Skin pinch sangat lambat kembali (>2 detik) Dua atau lebih tanda-tanda berikut: Rewel Sunken eyes Terlihat kehausan Dehidrasi ringan Skin pinch lambat kembali Tidak cukup tanda-tanda untuk mengklasifikasikannya sebagai dehidrasi sedang atau berat (Sumber : Buku ajar diare. Pendidikan Medik Pemberantasan Diare. Jakarta : Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. 1999)

Pada rencana terapi A, pemberian oralit hanya pada saat setiap kali pasien buang air besar saja. Banyaknya pemberian cairan setiap buang air besar dapat dilihat pada Tabel 2.5. Tabel 2.5. Rencana Terapi A untuk Diare Tanpa Dehidrasi
Usia < 1 tahun 1-5 tahun > 5 tahun Dewasa Jumlah Cairan yang Diberikan Setiap Buang Air Besar 50-100 ml 100-200 ml 200-300 ml 300-400 ml

(Sumber : Standar penanggulangan penyakit diare. Volume 7 Edisi 1, Jakarta: Depkes RI;1999)

Pada rencana terapi B, jumlah oralit yang diberikan dalam 3 jam pertama disesuaikan dengan berat badan. Oralit yang diberikan dihitung dengan mengalikan berat badan pasien (kg) dengan

75 ml. Bila berat badan tidak diketahui dan atau memudahkan penggunaan di lapangan, maka banyaknya pemberian oralit dapat dilihat pada Tabel 2.6.5 Tabel 2.6. Rencana Terapi B untuk Penderita Diare Ringan dan Diare Sedang
Usia Jumlah Oralit < 1 tahun 300 ml 1-5 tahun 600 ml > 5 tahun 1200 ml Dewasa 2400 ml Sumber : Standar penanggulangan penyakit diare. Volume 7 Edisi 1, Jakarta: Depkes RI;1999

Untuk rencana terapi C, hal paling pertama yang harus dilakukan adalah menentukan bagaimana cairan akan diberikan, yaitu dengan jalur oral atau dengan jalur intravena. Jalur pilihan pada pasien dengan dehidrasi berat sebenarnya adalah jalur intravena, karena membutuhkan waktu rehidrasi yang cepat. Cairan yang paling baik adalah Ringer Laktat (Hartmanns Solution for Injection). Jika tidak ada, maka dapat digantikan dengan NaCl 0,9%. Larutan dekstrosa 5% tunggal tidak efektif dan tidak boleh digunakan. Bila pada pasien tidak bisa diberikan cairan secara intravena, segera berikan per oral dengan pipa nasogastrik sejumlah 20 ml/kgBB/jam selama 6 jam. Jumlah dan lama cairan yang diberikan pada pasien dengan dehidrasi berat dapat dilihat pada Tabel 2.7.1 Tabel 2.7. Rencana Terapi C untuk Penderita Diare dengan Dehidrasi Berat.
Umur Pemberian 30 ml/kgBB dalam Pemberian 70 ml/kg BB dalam Bayi < 12 bulan 1 jam 5 jam Anak > 1 tahun 1 jam 3 jam (Sumber : Standar penanggulangan penyakit diare. Volume 7 Edisi 1, Jakarta: Depkes RI;1999)

Jika pasien bisa minum, boleh diberikan cairan rehidrasi oral (CRO) sebanyak 5 ml/kgBB/ jam sambil diberikan cairan secara intravena selama 3-4 jam. Setelah 6 jam, pasang pipa nasogastrik dan berikan cairan sebanyak 20 ml/kgBB/jam selama 6 jam. Setelah itu dilakukan penilaian ulang derajat dehidrasi.1 Cairan rehidrasi oral yang tersedia di pasaran tersedia dalam bentuk oralit dan dikemas dalam bentuk serbuk. Terdapat dua jenis kemasan serbuk oralit, yaitu serbuk yang membutuhkan pengenceran dengan larutan 200 cc dan yang lainnya dengan 1 liter. Apabila cairan oralit tidak tersedia, dapat diberikan pengganti oralit yang dikenal dengan nama cairan rumah tangga. Cairan

rumah tangga dapat berupa air tajin, sup, dan larutan gula dan garam. Namun, takaran yang diberikan harus sesuai agar tidak menyebabkan keadaan hiperosmolar plasma yang memperburuk dehidrasi.1 Prinsip pemberian CRO.7 a. Untuk rehidrasi: mengoreksi kehilangan cairan dan elektrolit yang sedang terjadi. b. Untuk maintenance: menggantikan kehilangan cairan dan elektrolit yang masih terjadi. c. Menyediakan kebutuhan cairan elektrolit selama fase rehidrasi dan maintenance. d. Melanjutkan pemberian nutrisi yang sesuai selama terapi rehidrasi. WHO mengeluarkan jenis CRO terbaru yang komposisinya berbeda dengan oralit yang selama ini dikenal. CRO ini memiliki kandungan glukosa dan garam yang lebih rendah dari oralit biasa. Gabungan antara CRO baru ini dan suplementasi zinc yang adekuat terbukti menurunkan mortalitas bayi akibat diare, dan komposisinya dapat dilihat di Tabel 2.8.7 Tabel 2.8. Komposisi CRO WHO 2006 7
Kandungan Sodium Klorida Glukosa Potasium Klorida Trisodium sitrat dihidrat Sitrat 10 Total 20,5 100,00 Osmolaritas total 245 (Sumber : WHO and Unicef. . Clinical management on acute diarrhoea; 2007. Diunduh dari : http://whqlibdoc.who.int/hq/2004/WHO_FCH_CAH_04.7.pdf pada 7 September 2009). Gram/ liter 2,6 13,5 1,5 2,9 % 12,683 65,854 7,317 14,146 Kandungan Sodium Klorida Glukosa Potasium Mmol/liter 75 65 75 20

Program pemberian oralit pada pasien diare 9. Pemerintah menyediakan dua macam kemasan oralit yaitu: a. b. bungkusan 1 liter (20% dari sediaan) digunakan untuk rumah-sakit atau kejadian luar biasa (KLB) dan diberikan atau dilarutkan di sarana kesehatan bungkusan 200 ml (80% dari sediaan) tersedia di Posyandu yang dapat diberikan atau dibawa pulang oleh masyarakat Dosis oralit disesuaikan dengan umur dan keadaan diare atau dehidrasinya. Dosis acuan yang harus diingat oleh petugas kesehatan dapat dilihat di Tabel 2.9.

Tabel 2.9. Dosis acuan oralit sesuai umur 9

No. Umur Dosis Acuan 1. Di bawah 1 tahun 3 jam pertama 1,5 gelas kemudian 0,5 gelas setiap mencret 2. Antara 1-5 tahun 3 jam pertama 3 gelas kemudian 1 gelas setiap mencret 3. Antara 5-12 tahun 3 jam pertama 6 gelas kemudian 1,5 gelas setiap mencret 4. Di atas 12 tahun 3 jam pertama 12 gelas kemudian 2 gelas setiap mencret Sumber : Departemen Kesehatan RI. Buku Ajar Diare: Pendidikan Medik Pemberantasan Diare (PMPD). Jakarta:Depkes RI Direktorat Jenderal PPM&PL, 1999. h.3-14

II.1.8.c. Memberi makanan atau ASI9 Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk memberikan nutrisi yang cukup pada penderita sehingga status gizi dapat dipertahankan baik, menstimulasi perbaikan usus, serta mengurangi derajat dan lamanya penyakit. Pada bayi dan anak, rekomendasi ini dikenal sebagai pemberian makanan secepatnya (early refeeding) dan terutama menekankan pada meneruskan pemberian ASI dan makanan sehari-hari. Pemberian ASI dilakukan sejak awal terapi dan diberikan sesuai keinginan bayi. II.1.8.d. Mengobati penyebab atau masalah lain yang menyertai Pemberian obat yang rasional pada penderita diare meliputi pengobatan simptomatik dan kausal. Pengobatan simptomatik yang biasa diberikan adalah anti diare, anti emetik, dan anti piretik. Penggunaanya masing-masing harus mempertimbangkan risk and benefit secara matang, karena penggunaan obat simtomatik seringkali mempengaruhi lama dan perjalanan penyakit. Bahkan, saat ini pengobatan simtomatik seringkali tidak digunakan karena manfaatnya diragukan. Obatobat ini tidak boleh diberikan pada anak dibawah 5 tahun.1 Obat simtomatik anti diare yang masih dianjurkan pada orang dewasa adalah derifat opioid berupa loperamid, difenoksilat-atropin, dan tinktur atropine. Loperamid dipilih karena tidak menyebabkan adiksi dan efek samping minimal. Bismuth subsalisilat dapat dipilih, tetapi pada pasien AIDS penggunaannya dapat menyebabkan ensefalopati bismuth. Pemberian obat anti diare pada pasien yang panas harus berhati-hati, karena bila tidak diikuti pemberian anti mikroba maka penyembuhan penyakit menjadi terlambat. Selain derifat opioid, obat yang mengeraskan konsistensi tinja dapat dipilih. Attapulgite diberikan 4 kali sehari, masing-masing dua tablet. Smectite diberikan tiga kali sehari, masing-masing satu sachet setiap pasien diare sampai diare berhenti. Satu lagi golongan obat yang dapat dipilih adalah anti sekretorik atau anti enkephalinase berupa hidrasec tiga kali sehari, masing-masing satu tablet.2

Pengobatan kausal dapat diberikan dengan pertimbangan 50-70% pasien diare di Indonesia diakibatkan oleh infeksi. Pemeriksaan leukosit tinja secara praktis dapat digunakan untuk melihat kemungkinan infeksi enteral sebagai penyebab diare. Jika pemeriksaan leukosit tinja menunjukkan jumlah leukosit > 10 / lapang pandang, dapat dianggap penyebab diare adalah infeksi enteral. Untuk itu, terapi antibiotika dapat dilakukan. Mempertimbangkan hal ini, maka antibiotik hanya dapat diberikan apabila : ditemukan darah pada tinja, secara klinis terdapat tanda-tanda yang menyokong adanya infeksi enteral, pada pasien di daerah endemik kolera, serta pada pasien neonatus dengan dugaan terjadi infeksi nosokomial.6 Siprofloksasin sangat efektif untuk mengatasi infeksi Campilobacter, Shigella, Salmonella, Yersinia, dan Aeromonas. Siprofloksasin 500 mg diberikan dua kali sehari selama lima sampai tujuh hariSebagai alternatif dapat diberikan kotrimoksazol (trimetoprim 160 mg dan sulfametoksazol 800 mg) dua kali sehari. Dapat pula diberikan eritromisin 250-500mg empat kali sehari. Pemberian metronidazol 250mg tiga kali sehari selama tujuh hari dilakukan bila ada kecurigaan infeksi Giardia. Patogen spesifik yang harus diterapi dengan antibiotik adalah Vibrio cholerae dan Clostridium difficile. Untuk mengobati Clostridium difficile diberikan metronidazol per oral 250-500 mg empat kali sehari selama tujuh sampai sepuluh hari. Sebagai alternatif dapat diberikan vankomisin, tetapi lebih mahal.2 II.1.9. Diare Bermasalah II.1.9.a. Disentri Berat Disentri adalah suatu sindrom yang terdiri atas diare dengan feses bercampur darah dan lendir mukopurulen, serta adanya kram usus, demam, tenesmus ani.2 Sindrom ini dapat disebabkan oleh berbagai penyebab, seperti infeksi (tersering) baik oleh virus, bakteri, maupun parasit, intoleransi laktosa, dan alergi protein susu sapi. Penularannya terjadi secara fekal oral, kontak dari orang ke orang, atau kontak dengan alat rumah tangga. Infeksi menyebar melalui makanan dan air yang terkontaminasi dan biasanya terjadi pada daerah dengan sanitasi dan higiene perorangan yang buruk. Di Indonesia, disentri terutama disebabkan oleh Shigella, Salmonella, Campylobacter jejuni, Escherichia coli, dan Entamoeba histolytica. Disentri berat umumnya disebabkan oleh Shigella dysenteriae, dan kadang disebabkan pula oleh Shigella flexneri, Salmonella, dan Esherichia coli yang enteroinvasif (EIEC).2

Angka kejadian disentri di Indonesia berdasarkan hasil survei evaluasi tahun 1989 1990 adalah sebesar 15%. Dari laporan surveilans terpadu tahun 1989 didapatkan jumlah kasus disentri di Puskesmas sebesar 13,3%, di bagian rawat inap rumah sakit sebesar 0,45%, dan bagian rawat jalan rumah sakit sebesar 0,05%. Proporsi penderita diare dengan disentri di seluruh Indonesia yang dilaporkan berkisar antara 5 15%. Proporsi disentri yang menjadi disentri berat belum jelas.10 Faktor-faktor risiko yang mempengaruhi beratnya disentri, antara lain (1) faktor pejamu, yaitu kurangnya imunitas akibat gizi kurang, usia sangat muda, tidak mendapat ASI, menderita campak dalam 6 bulan terakhir, mengalami dehidrasi, atau kelompok sosial ekonomi rendah, (2) faktor agen, yaitu infeksi bakteri, misalnya Shigella, dan (3) faktor lingkungan, yaitu lingkungan dengan higiene yang buruk.2 Diare pada disentri umumnya diawali oleh diare cair, lalu pada hari kedua dan ketiga muncul darah, dengan atau tanpa lendir, sakit perut, tenesmus ani, hilangnya nafsu makan, dan badan terasa lemah. Sebagian besar penderita mengalami penurunan volume diare saat timbul tenesmus. Gejala infeksi saluran napas akut dapat menyertai disentri. Komplikasi yang dapat timbul dari disentri dapat bersifat lokal atau sistemik. Komplikasi lokal, antara lain perforasi, prolaps rektum, dan megakolon toksik. Komplikasi sistemik dapat berupa hipoglikemia, hiponatremia, sepsis, kejang, ensefalopati, sindrom uremik hemolitik, pneumonia, dan kurang energi protein (KEP).4 Secara umum, penatalaksanaan disentri hampir sama dengan kasus diare lain sesuai dengan acuan tatalaksana diare akut. Aspek khusus dari tatalaksana disentri adalah:2 Semua kasus disentri pada tahap awal diberi antibiotik. Penderita dipesan untuk kontrol kembali jika: Tidak membaik atau bertambah berat pada hari ketiga setelah pengobatan. Tidak sembuh pada hari kelima setelah pengobatan. Muncul tanda-tanda komplikasi yang mencakup panas tinggi, kejang, penurunan kesadaran, tidak mau makan, dan menjadi lemah. Pada kunjungan ulang, penderita yang tidak membaik pada hari ketiga atau belum sembuh pada hari kelima setelah pengobatan awal, dinilai kembali apakah disentri betul-betul disebabkan oleh Shigella atau bakteri sejenis yang invasif.7

II.1.9.b. Diare Persisten Diare persisten adalah diare akut yang melanjut hingga 14 hari atau lebih. 4 Faktor risiko berlanjutnya diare akut menjadi diare persisten adalah (1) usia bayi kurang dari empat bulan, (2) tidak mendapat ASI, (3) kurang energi protein, (4) diare akut dengan etiologi bakteri invasif, (5) tatalaksana diare akut yang tidak tepat, seperti pemakaian antibiotik yang tidak rasional dan pemuasaan penderita. Titik sentral patogenesis diare persisten adalah kerusakan mukosa yang diawali oleh etiologi diare akut. Berbagai faktor menyebabkan kerusakan mukosa yang lebih berat atau hambatan rehabilitasi mukosa yang rusak, antara lain (1) berlanjutnya paparan etiologi infeksi, (2) infeksi intestinal sekunder, (3) infeksi parenteral, (4) pertumbuhan bakteri yang berlebihan ( overgrowth) di usus halus, (5) gangguan gizi yang terjadi sebelum sakit, (6) kondisi imunitas yang menurun, (7) malabsorbsi, dan (8) alergi.2 Langkah diagnosis diare persisten meliputi (1) menetapkan derajat dehidrasi, (2) menetapkan status nutrisi, (3) menentukan penyebab infeksi, dan (4) menentukan penyakit penyerta. Indikasi rawat inap pada diare persisten meliputi berumur kurang dari 4 bulan, mengalami dehidrasi, menderita kurang energi protein sedang dan berat, menderita infeksi berat, indikasi berdasarkan penyakit penyerta lain, dan penderita diperkirakan tidak akan dapat mengkonsumsi makanan sesuai dengan jenis dan jumlah yang direkomendasikan. Tatalaksana diare persisten meliputi (1) rehidrasi, (2) nutrisi enteral dan parenteral, (3) terapi medikamentosa, yaitu obat antidiare dan antibiotik, (4) terapi zinc untuk pencegahan, (5) mengatasi penyakit penyerta. II.1.9.c. Kurang Energi Protein (KEP) Berat Pada penderita KEP, diare yang terjadi dapat berupa diare akut, diare persisten, maupun disentri. Diare yang terjadi pada KEP cenderung lebih berat, lebih lama, dan menyebabkan angka kematian yang lebih tinggi daripada anak dengan gizi baik. Pada dasarnya, tatalaksana diare pada pasien dengan KEP sama dengan tatalaksana diare secara umum. Walaupun demikian, tetap ada hal-hal yang harus diperhatikan, di antaranya adalah patogenesis, patofisiologi, dan perubahan morfologi yang terjadi pada pasien dengan KEP.2

Patogenesis diare pada KEP mirip dengan diare persisten, yaitu berkaitan dengan kerusakan mukosa. Kerusakan mukosa pada KEP terjadi pada mukosa yang sebelumnya telah rusak, yaitu telah atrofik dan mengalami metaplasi II.1.9.d. Diare Dengan Penyakit Penyerta Diare akut atau diare persisten dapat terjadi bersamaan dengan penyakit penyerta lain. Penyakit yang sering terjadi bersamaan dengan diare, antara lain infeksi saluran napas (bronkopneumonia, bronkiolitis), infeksi saluran kemih, infeksi susunan saraf pusat (meningitis, ensefalitis), infeksi sistemik lain (sepsis, campak, dll), dan gizi kurang atau gizi buruk. Tatalaksana yang dilakukan harus mempertimbangkan (1) kemampuan untuk makan dan minum per oral, (2) fungsi dan kemampuan sistem sirkulasi, (3) stroke volume yang rendah, (4) penyakit atau keadaan yang memerlukan restriksi cairan, (5) fungsi ginjal, dan (6) interaksi perjalanan penyakit.2 II.1.10. Pencegahan Diare Tujuan pencegahan adalah tercapainya penurunan angka kesakitan. Hasil penelitian terakhir menunjukkan bahwa cara pencegahan yang benar dan efektif yang dapat dilakukan meliputi tujuh langkah yaitu (1) pemberian ASI eksklusif sampai bayi berusia 4 hingga 6 bulan, (2) memperbaiki makanan pendamping ASI, (3) menggunakan air bersih yang cukup, (4) kebiasaan mencuci tangan, (5) menggunakan jamban, (6) membuang tinja bayi dengan benar, dan (7) memberikan imunisasi campak.2 II.2 Program Pemberantasan Penyakit Diare (P2D) Program Pemberantasan Penyakit Diare adalah salah satu usaha pokok di Puskesmas. Kebijaksanaan Program P2D ini adalah menurunkan angka kesakitan, kematian, dan penanggulangan KLB karena diare yang akan terus dilaksanakan dengan mengintensifkan peningkatan mutu pelayanan (quality assurance), meningkatkan kerja sama lintas program dan sektoral terkait serta mengikutsertakan partisipasi aktif masyarakat secara luas, antara lain dengan organisasi profesi dan LSM di pusat maupun daerah.1 Target atau cakupan yang ditetapkan sebagai indikator keberhasilan dalam pemberantasan penyakit diare di propinsi DKI Jakarta meliputi:

100% Rumah Sakit, Puskesmas, dan swasta melaporkan kasus diare tepat waktu (tanggal 10 setiap bulannya), Angka kematian 0%, Kejadian luar biasa (KLB) diare 0%, 100% masyarakat terlayani air bersih, 100% Puskesmas Kecamatan dan Puskesmas Kelurahan mampu melakukan rehidrasi intravena, Angka kesakitan < 1% (50 / 1000 penduduk tahun 2005), 100% kader terlatih tentang penanganan penderita diare, 100% penderita diare tertangani, 100% oralit tersedia di kader minimal 10 sacchet (@ 200 ml), 100% tenaga medis dan paramedis melakukan tatalaksana diare (MTBS), 100% ketepatan diagnosis, 100% cakupan imunisasi campak, 100% Puskesmas mempunyai protap tatalaksana diare, 100% penderita diare diobati dan mendapat oralit, 100% PDAM bebas kuman, 100% Puskesmas Kecamatan dan Puskesmas Kelurahan mempunyai pojok oralit, 100% Puskesmas Kecamatan mempunyai klinik sanitasi, dan 100% masyarakat menggunakan jamban pada daerah kumuh. Program P2D dilakukan dengan berfokus pada pelanggan, yaitu menjalankan segala kegiatan

yang dapat memuaskan pelanggan dengan pelayanan yang profesional, sarana dan prasaran yang memadai, dan informasi yang mudah didapat. Hal ini meliputi: Semua penderita diare didiagnosis dan diberikan pengobatan sesuai dengan tatalaksana atau dengan menggunakan pendekatan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). Pengambilan anal swab dilakukan bila penderita dicurigai kolera dan bila terjadi kejadian luar biasa. Pengobatan penderita dengan memberikan oralit tanpa obat anti diare atau antibiotik, kecuali pada kasus disentri atau kolera.

Pelayanan prima bagi penderita diare meliputi: Waktu tunggu 5 menit Waktu tunggu gawat darurat 1 menit Petugas harus ramah Petugas menguasai standar operasional prosedur pelayanan

Lokasi pelayanan mudah dijangkau. Informasi tentang diare mudah dimengerti oleh masyarakat. Penderita diare mendapatkan pelayanan yang sama di semua unit pelayanan kesehatan, baik Puskesmas maupun Rumah Sakit. Masyarakat menginginkan pelayanan cepat, tepat / akurat, murah, mudah dijangkau, dilayani secara manusiawi dengan pengobatan sesuai standar dan mendapat informasi yang jelas tentang cara-cara penanggulangan diare.

Pelatihan bagi kader untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dilengkapi buku pedoman penanggulangan diare. Pelatihan bagi petugas kesehatan untuk peningkatan ketrampilan. Petugas kesehatan menginginkan prosedur kerja sederhana, tersedianya sarana pengobatan yang memadai, serta website diare. Pengorganisasian program P2D di Puskesmas kelurahan meliputi (1) penyediaan pelayanan

pemeriksaan, pengobatan, dan rujukan ke Puskesmas kecamatan dan rumah sakit serta (2) koordinasi dengan Puskesmas kecamatan bila terjadi peningkatan kasus di wilayah kerjanya. Sumber daya yang diperlukan untuk menjalankan program P2D di Puskesmas kelurahan adalah dokter umum sebagai pemeriksa dan perawat sebagai wasor program diare dan petugas perawatan kesehatan masyarakat. Dokter umum harus memiliki kompetensi untuk melaksanakan penanggulangan diare sesuai dengan standar. Perawat / wasor harus mampu menganalisis data dalam rangka sistem kewaspadaan dini serta mampu memberikan penyuluhan (KIE komunikasi, informasi, dan edukasi) dan pemeriksaan di Posyandu. Selain itu, pada kegiatan Posyandu diperlukan kader / toma yang membantu perawat atau bidan dalam memberikan penyuluhan. Untuk memperlengkapi petugas dengan kompetensi dan ketrampilan tersebut, dibutuhkan beberapa pelatihan tentang (1) program pemberantasan diare (P2D) yang meliputi aspek manajemen, aspek klinik, aspek epidemiologi, dan aspek laboratorium, (2) peningkatan

peran serta masyarakat bagi kader kesehatan di Posyandu, (3) tatalaksana diare bagi petugas Puskesmas, dan (4) tatalaksana diare dengan pendekatan manajemen terpadu balita sakit (MTBS) bagi petugas kesehatan di Puskesmas. Selain kompetensi tersebut, petugas juga perlu memiliki sikap dan perilaku tertentu, yaitu dokter umum harus memiliki sikap peduli, cepat, dan tanggap dalam menangani penderita diare, perawat / wasor harus mempunyai sikap peduli, cepat, dan tanggap dalam melaksanakan perawatan kesehatan masyarakat, dan kader harus mampu memotivasi dan menggerakkan masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat. Secara umum, pembiayaan program P2D bersumber dari APBN, APBD tingkat I dan II, BLN, LSM, dan swadana masyarakat. Pembiayaan ini digunakan untuk pengadaan sarana dan prasarana, dan menunjang kegiatan operasional. Ketentuan yang berlaku adalah (1) 100% sumber anggaran pengadaan obat dan oralit bersifat swadaya Puskesmas, (2) 100% pembiayaan operasional manajemen P2D di Sudinkesmas berasal dari anggaran APBD tingkat II, dan (3) biaya operasional pengobatan berasal swadana Puskesmas. Sarana dan prasarana yang diperlukan di Puskesmas kelurahan untuk mendukung terlaksananya program P2D adalah (1) ruang periksa dengan ukuran 4 x 5 m 2, cukup pencahayaan dan ventilasi, dan bertemperatur maksimum 23o Celcius, (2) ruang tunggu pasien yang terbuka dan cukup pencahayaan, serta (3) pojok oralit sebagai tempat konsultasi tentang diare. Pada Posyandu, sarana dan prasarana yang diperlukan adalah (1) oralit untuk rehidrasi oral bagi penderita diare dan (2) lembar penyuluhan. Secara umum, program P2D meliputi: II.2.1. Penemuan kasus dini Proses inti dari program pemberantasan diare adalah penemuan kasus diare secara dini baik oleh petugas ataupun masyarakat. Penemuan kasus ini dilakukan secara pasif, yaitu kasus ditemukan saat penderita datang berobat ke Puskesmas, Posyandu, atau rumah sakit. Tujuan dari penemuan kasus dini adalah untuk mengobati penderita diare sedini mungkin untuk mencegah penularan, menurunkan angka kesakitan dan kematian terutama pada balita, serta mencegah terjadinya KLB.

II.2.2 Diagnosis

Penemuan kasus diare dilanjutkan dengan diagnosis yang tepat kemudian tatalaksana yang cepat dan akurat. Diagnosis diare dan penilaian tingkat dehidrasi penderita dapat dilakukan oleh dokter, paramedis, dan kader yang sudah terlatih tentang diare. II.2.3. Pengobatan Pengobatan yang dimaksud adalah statu proses penanganan penderita diare sedini mungkin dari masyarakat sampai sarana kesehatan sesuai dengan tatalaksana penderita dan sistem rujukan sejak diagnosis ditegakkan. Tatalaksana pasien diare di sarana kesehatan a. b. c. d. rehidrasi oral dengan oralit pemberian cairan intravena dengan ringer laktat untuk pasien diare dehidrasi berat dan tidak bisa minum penggunaan antibiotika secara rasional nasihat tentang meneruskan pemberian makanan, rujukan, dan pencegahan

II.2.4. Surveilans Surveilans adalah suatu proses pengamatan penyakit diare dalam rangka kewaspadaan terhadap timbulnya KLB dan penyebaran penyakit diare serta faktor-faktor yang mempengaruhi pada masyarakat yang kegiatannya dilakukan secara terus menerus, cepat dan tepat, melalui pemetaan data epidemiologi. Penerapan dari hal ini adalah dilakukannya pengumpulan data epidemiologi diare secara terus menerus dan analisis secara langsung untuk menemukan cara penyelesaian secara tepat dan cepat. Puskesmas harus membuat laboran rutin mingguan (W2) yang berisi pencatatan harian penderita diare yang datang ke saran kesehatan, posyandu, atau kader. Selain itu, terdapat pula laporan KLB / wabah (W1) yang harus dibuat dalam periode 24 jam. II.2.5. Penyediaan air bersih Penyediaan air bersih yang dimaksud adalah proses penyediaan air yang memenuhi syarat kesehatan baik fisik, nimia, bakteriologis, maupun radioaktif di masyarakat. Penerapan dari hal ini adalah inspeksi sarana penyediaan air bersih, pemeriksaan contoh air dan analisis laboratorium (bakteri dan kimia), rehabilitasi sarana yang telah rusak, dan pemberian bahan kimia (kaporisasi).

II.2.6. Distribusi logistik Distribusi logistik adalah suatu rangkaian kegiatan pendistribusian oralit dan ringer laktat (RL) dalam rangka penyediaan cairan rehidrasi di unit pelayanan kesehatan. Penerapan dari hal ini adalah tersedianya oralit di kader-kader kesehatan, Posyandu, dan Puskesmas, serta tersedianya antibiotik dan ringer laktat (RL) di Puskesmas. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mencegah kematian pada balita dan dehidrasi berat pada semua golongan umur penderita diare. Ketentuan yang ditetapkan adalah terpenuhinya kebutuhan oralit pada setiap penderita sebanyak 6 bungkus oralit 200 ml serta pengadaan oralit / RL oleh Puskesmas dan didistribusikan ke Puskesmas kelurahan dan Posyandu di wilayah kerjanya masing-masing. II.2.7. Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) KIE meliputi serangkaian kegiatan yang berlandaskan prinsip-prinsip belajar untuk mencapai suatu keadaan di mana individu, keluarga, dan masyarakat mendapat informasi dengan cepat dan benar tentang penanggulangan penyakit diare. Penerapan dari hal ini adalah penyuluhan baik perorangan maupun kelompok yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung dan pelatihan petugas serta kader. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, kesadaran, kemauan, dan praktik mengenai penanggulangan penyakit diare. Sasaran utama KIE adalah masyarakat. e. Tatalaksana pasien diare di rumah i. ii. iii. Meningkatkan pemberian cairan rumah tangga seperti kuah sayur, air tajin, larutan gula garam, atau oralit terutama untuk dehidrasi Meneruskan pemberian makanan yang lunak dan tidak merangsang serta makanan ekstra sesudah diare Membawa pasien diare ke sarana kesehatan, bila dalam 3 hari tidak membaik atau ada salah-satu tanda berikut: berak cair berkali-kali, muntah berulang-ulang, rasa haus yang nyata, makan atau minum sedikit, demam, tinja berdarah f. Pencegahan penyakit i. ii. iii. Meningkatkan pemberian Air Susu Ibu (ASI) Memperbaiki pemberian makanan pendamping ASI Menggunakan air bersih yang cukup

iv. v. vi.

Mencuci tangan dengan sabun Menggunakan jamban dan membuang tinja bayi dengan benar Imunisasi campak

II.2.8. Laboratorium Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengetahui jenis diare yang terjadi di masyarakat dan hanya dilakukan pada kasus-kasus diare yang dicurigai kolera atau apabila terjadi peningkatan kasus 3 kali lebih besar daripada waktu sebelumnya. II.2.9 Kemitraan Kemitraan yang dimaksud adalah proses kerjasama yang melibatkan berbagai pihak dan sektor dalam masyarakat, termasuk kalangan swasta, organisasi profesi, dan organisasi sosial masyarakat, serta LSM, dalam rangka sosialisasi dan advokasi program untuk memperoleh dukungan dalam rangka penanggulangan penyakit diare. Kemitraan dilaksanakan secara setara, sukarela, terbuka, dan saling menguntungkan. Tujuan dari hal ini adalah meningkatkan kesadaran masyarakat dan atau instansi / sektor lain bahwa penanggulangan penyakit, khususnya diare, tidak hanya menjadi tanggung jawab sektor kesehatan saja serta meningkatkan kinerja, efisiensi, dan efektivitas pemberantasan diare. II.2.10. Pencatatan dan pelaporan Pencatatan dan pelaporan merupakan elemen yang sangat penting dalam sistem pemberantasan diare. Pencatatan dan pelaporan dilakukan berdasarkan golongan umur dan dilakukan berjenjang dalam kurun waktu harian, bulanan, triwulanan, semesteran, dan tahunan. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mencatat, menilai, dan melaporkan hasil kegiatan penanggulangan diare yang telah dilakukan serta sebagai acuan dalam penyusunan rencana kegiatan tahun berikutnya. Form laporan program P2D adalah formulir pencatatan pelaporan diare yang diisi oleh koordinator diare di Puskesmas dan direkapitulasi di Sudinkesmas dan kemudian dilaporkan ke Dinas Kesehatan Propinsi. Form ini meliputi jumlah penderita di Puskesmas dan Posyandu menurut kelompok umur, jumlah penderita yang diberi oralit, jumlah oralit yang diberikan, dan pemeriksaan laboratorium bagi yang tersangka kolera.

Form laporan sistem pencatatan dan pelaporan terpadu Puskesmas adalah formulir pencatatan dan pelaporan yang diisi oleh satuan kerja Puskesmas yang mencatat seluruh jenis penyakit yang diobati di Puskesmas. II.3. Sistem Evaluasi program Pemberantasan dan Pencegahan Diare di Puskesmas Kecamatan Pulogadung menggunakan pendekatan sistem, yaitu merupakan suatu penerapan dari cara berpikir yang sistematis dan logis dalam membahas dan mencari pemecahan dari suatu masalah atau keadaan yang dihadapi. Dalam hal ini program atau organisasi dipandang menjadi suatu sistem yang terdiri dari komponen-komponen sistem. 11 II.3.1. Pengertian Sistem Sistem dapat memiliki beberapa makna.11 1. Sistem adalah gabungan dari elemen-elemen yang saling dihubungkan oleh suatu proses atau struktur dan berfungsi sebagai satu kesatuan organisasi dalam upaya menghasilkan sesuatu yang telah ditetapkan (Ryans) 2. Sistem adalah suatu struktur konseptual yang terdiri dari fungsi-fungsi yang saling berhubungan yang bekerja sebagai satu unit organik untuk mencapai keluaran yang diinginkan secara efektif dan efisien (John McManama) 3. Sistem adalah kumpulan dari bagian-bagian yang berhubungan dan membentuk satu kesatuan yang majemuk, dimana masing-masing bagian bekerja sama secara bebas dan terkait untuk mencapai sasaran kesatuan dalam suatu situasi yang majemuk pula 4. Sistem adalah suatu kesatuan yang utuh dan terpadu dari berbagai elemen yang berhubungan serta saling mempengaruhi yang dengan sadar dipersiapkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan Jika diperhatikan dalam keempat pengertian sistem ini, tertihat bahwa pengertian sistem secara umum dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni sebagai suatu wujud dan sebagai suatu metoda.11 1. Sistem sebagai suatu wujud Suatu sistem disebut sebagai suatu wujud, apabila bagian-bagian atau elemen-elemen yang terhimpun dalam sistem tersebut memberikan suatu wujud yang ciri-cirinya dapat dideskripsikan dengan jelas.

2. Sistem sebagai suatu metoda Suatu sistem disebut sebagai suatu metoda, apabila bagian atau elemen-elemen yang terhimpun dalam sistem tersebut membentuk suatu metoda yang dapat dipakai sebagai alat dalam melakukan pekerjaan administrasi. Pemahaman sistem sebagai suatu metoda berperanan besar dalam membantu menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi oleh suatu sistem. Populer dengan sebutan pendekatan sistem (system approach) yang pada akhir-akhir ini banyak dimanfaatkan pada pekerjaan administrasi. II.3.2. Unsur Sistem Unsur-unsur sistem terdiri dari:11 1. Masukan (input) Masukan adalah kumpulan bagian atau elemen yang terdapat dalam sistem dan diperlukan untuk dapat berfungsinya sistem tersebut. Dalam sistem pelayanan kesehatan, masukan terdiri dari tenaga (man), dana (money), metode (method), sarana/material (material). Proses (process) Proses adalah kumpulan bagian atau elemen yang terdapat dalam sistem dan yang berfungsi untuk mengubah masukan menjadi keluaran yang direncanakan. Dalam sistem pelayanan kesehatan terdiri dari perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating), dan penilaian (evaluating). 3. Keluaran (output) Keluaran adalah kumpulan bagian atau elemen yang dihasilkan dari berlangsungnya proses dalam sistem. Keluaran dari suatu sistem kesehatan adalah terselenggaranya pelayanan kesehatan. 4. Umpan Balik (feed back) Umpan balik adalah kumpulan dari bagian atau elemen yang merupakan keluaran dari sistem dan sekaligus sebagai masukan bagi sistem tersebut. 5. Dampak (impact) Dampak adalah akibat yang dihasilkan oleh keluaran suatu sistem.

Dampak yang diinginkan dari suatu sistem kesehatan adalah meningkatnya derajat kesehatan dengan memenuhi need dan demand. 6. Lingkungan (environment) Lingkungan adalah dunia di luar sistem yang tidak dikelola oleh sistem tetapi mempunyai pengaruh besar terhadap sistem. Keenam unsur sistem ini saling berhubungan dan mempengaruhi.
Lingkungan Masukan Proses
Umpan Balik

Keluaran

Dampak

Gambar.2.1 Enam unsur sistem yang saling mempengaruhi

II.3.3. Pendekatan Sistem Suatu sistem pada dasarnya dibentuk untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang telah ditetapkan. Untuk terbentuknya sistem tersebut, perlu dirangkai berbagai unsur atau elemen sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan membentuk suatu kesatuan dan secara bersama-sama berfungsi untuk mencapai tujuan. Apabila prinsip pokok atau cara kerja sistem ini diterapkan ketika menyelenggarakan pekerjaan administrasi, maka prinsip pokok atau cara kerja ini dikenal dengan nama pendekatan sistem (sistem approach).11 Terdapat beberapa definisi dari pendekatan sistem, antara lain:11 a. Penerapan suatu prosedur yang logis dan rasional dalam merancang suatu rangkaian komponen-komponen yang berhubungan sehingga dapat berfungsi sebagai satu-kesatuan mencapai tujuan yang telah ditetapkan (L. James Harvey). b. Strategi yang menggunakan metode analisa, desain dan manajemen untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien. c. Penerapan dari cara berpikir yang sistematis dan logis dalam membahas dan mencari pemecahan dari suatu masalah atau keadaan yang dihadapi. Dalam suatu pendekatan sistem, dua proses utama yang dikerjakan adalah (1) menguraikan sesuatu untuk mencari masalah dan (2) membentuk sesuatu untuk menyusun jalan keluar.11

Keuntungan dari pendekatan sistem adalah dapat menilai masukan secara efisien, menilai proses secara efektif, menilai keluaran secara optimal, dan menilai umpan balik secara adekuat. Akan tetapi, pendekatan sistem memiliki kelemahan, yaitu terjebak pada detail sehingga sulit menarik kesimpulan.11 II.4. Evaluasi Program Definisi evaluasi menurut The American Public Association adalah suatu proses untuk menentukan nilai atau jumlah keberhasilan dari pelaksanaan suatu program dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, sedangkan menurut The Internacional Clearing House on Adolescent Fertility Control for Population Options, evaluasi adalah suatu proses yang teratur dan sistematis dalam membandingkan hasil yang dicapai dengan tolak ukur atau kriteria yang telah ditetapkan, dilanjutkan dengan pengambilan kesimpulan serta penyusunan saran-saran, yang dapat dilakukan pada setiap tahap dari pelaksanaan program.12 Berdasarkan tujuannya, evaluasi dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:12 a. Evaluasi formatif Ini merupakan jenis evaluasi yang dilakukan pada tahap awal program. Tujuan dari evaluasi formatif adalah untuk meyakinkan bahwa rencana yang akan disusun benarbenar telah sesuai dengan masalah yang ditemukan, sehingga nantinya dapat menyelesaikan masalah tersebut. b. Evaluasi promotif Ini merupakan jenis evaluasi yang dilakukan pada saat program sedang dilaksanakan. Tujuan dari evaluasi promotif adalah untuk mengukur apakah program yang sedang dilaksanakan tersebut telah sesuai dengan rencana atau tidak dan apakah terjadi penyimpangan yang dapat merugikan tujuan program. c. Evaluasi sumatif Ini merupakan jenis evaluasi yang dilaksanakan pada saat program telah selesai. Tujuannya adalah untuk mengukur keluaran (output) atau dampak (impact) bila memungkinkan. Jenis evaluasi ini yang dilakukan dalam makalah ini. Secara umum, langkah-langkah membuat evaluasi program meliputi (1) penetapan indikator dari unsur keluaran, (2) penetapan tolak ukur dari tiap indikator keluaran, (3) perbandingan pencapaian masing-masing indikator keluaran program dengan tolak ukurnya, (4) penetapan

prioritas masalah, (5) pembuatan kerangka konsep dari masalah yang diprioritaskan, (6) pengidentifikasian penyebab masalah, (7) pembuatan alternatif pemecahan masalah, (8) penentuan prioritas cara pemecahan masalah yang dirangkum dalam kesimpulan dan saran.12

BAB III BAHAN DAN METODE EVALUASI III.1. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan : 1. Data primer Data primer dikumpulkan dengan wawancara pada penanggung jawab program Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Diare di Puskesmas kelurahan Kayu Putih. 2. Data sekunder Data sekunder dikumpulkan dengan mempelajari dokumentasi Puskesmas yaitu laporan program Pencegahan dan Pemberantasan Diare Puskesmas Kelurahan Kayu Putih periode Januari 2008 Desember 2008. III.2. Indikator dan Tolok Ukur Penilaian

Evaluasi dilakukan pada laporan program Pencegahan dan Pemberantasan Diare di Puskesmas kelurahan Kayu Putih. Rujukan tolak ukur penilaian yang digunakan adalah : 1. Buku Pedoman Kerja Puskesmas Jilid 2 tahun 1999 2. Standar Penanggulangan Penyakit Diare Volume 7 Edisi 1, tahun 20021. 3. Keputusan Menteri Kesehatan 1216/Menkes/SK/XI/2001 Tentang Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare12. 4. Stratifikasi Puskesmas Tahun 200313. Tabel 3.1. Tolok ukur program pencegahan dan pemberantasan diare No Variabel Tolok Ukur keberhasilan Angka cakupan pelayanan: menggambarkan pencapaian pelayanan 1.
atau realisasi pelayanan a. Proporsi penderita diare semua umur yang diobati = Jumlah penderita diare yang dilayani x 100% Target penderita diare di wilayah kerja *Target = 6,7% x angka kesakitan x jumlah penduduk *Angka kesakitan (semua umur) = 432/1000 penduduk (angka kejadian diare nasional 2006 survei Subdit Diare, Ditjen PP&PL Depkes) *Jumlah penduduk = 53.487(data kelurahan kayu putih, 2006) b. Proporsi penderita diare balita yang diobati Jumlah penderita diare <5 tahun yang dilayani x 100% Jumlah balita x 1,7 x 10% *1,7 = rata-rata frekuensi diare balita/tahun (sratifikasi) 100%1 100% 1

2.

Kualitas pelayanan: a. Angka penggunaan oralit = Jumlah oralit yang diberikan pada penderita diare semua umur b. Angka penggunaan ringer laktat = Jumlah penderita diare yang diberi RL x 100% Jumlah penderita diare yang dilayani <5%1 Jumlah penderita x 6 bungkus

3.

Rasio penderita yang sembuh dengan seluruh

penderita

100% 1

4.

Angka fatalitas kasus = Jumlah penderita yang mati karena diare x 100% Jumlah penderita diare yang dilayani

0% 1

5.

Angka a. b. c.

pelayanan

oleh

kader:

menggambarkan

peran

serta 40%13 minimal 12x /tahun1 1x /tahun1

masyarakat dalam P2Diare = Jumlah penderita yang dilayani oleh kader x 100% Jumlah penderita diare yang dilayani Penyuluhan kesehatan Pelatihan kader

III.3. Cara Analisis III.3.1 Menetapkan masalah Masalah dalam pendekatan sistem adalah kesenjangan antara tolok ukur dengan hasil pencapaian pada unsur keluaran. Adanya masalah diidentifikasi dengan membandingkan keluaran pada program dengan tolok ukur. Tolok ukur program P2Diare dapat dilihat pada Tabel 3.1. III.3.2 Menetapkan prioritas masalah Jika terdapat lebih dari satu masalah, maka harus ditentukan prioritas masalah. Hal ini disebabkan oleh adanya keterbatasan dan dan sumber daya, serta kemungkinan masalah-masalah tersebut berkaitan saling berkaitan. Masalah yang menjadi prioritas adalah masalah yang dianggap paling besar, mudah diintervensi, dan paling penting, dimana jika masalah tersebut diatasi maka masalah-masalah lain juga dapat teratasi. Penentuan prioritas masalah dilakukan menggunakan teknik kriteria matriks (criteria matrix technique). Kriteria ini terdiri dari 3 komponen.12 1. Pentingnya masalah (Importancy = I ) yang terdiri dari : a. Besarnya masalah (Prevalence = P) b. Akibat yang ditimbulkan oleh masalah (Severity = S) c. Kenaikan besarnya masalah (Rate of Increase = RI) d. Derajat keinginan masyarakat yang tidak terpenuhi (Degree of unmeet need = DU) e. Keuntungan sosial karena selesainya masalah (Social Benefit = SB) f. Rasa prihatin masyarakat terhadap masalah (Public Concern = PO) g. Suasana politik (Political Climate = PC)

2. Kelayakan teknologi (Technology = T) Makin layak teknologi yang tersedia dan dapat dipakai untuk mengatasi masalah, makin diprioritaskan masalah tersebut. 3. Sumber daya yang tersedia (Resources = R) Terdiri dari tenaga (man), dana (money), dan sarana (material). Makin tersedia sumber daya yang dapat dipakai untuk mengatasi masalah makin diprioritaskan masalah tersebut. Beri nilai antara 1 (tidak penting) sampai dengan 5 (sangat penting) pada tiap kotak dalam matriks sesuai dengan jenis masalah masing-masing. Masalah yang dipilih sebagai prioritas adalah yang memiliki nilai I x T x R tertinggi.14 II.3.3 Penentuan Penyebab Masalah Identifikasi penyebab masalah dilakukan dengan membandingkan antara tolok ukur/standar komponen-komponen input, proses, lingkungan dan umpan balik dengan pencapaian di lapangan. Bila terdapat kesenjangan maka ditetapkan sebagai penyebab masalah yang diprioritaskan tadi.12 III.3.3.1. Kerangka Konsep Kerangka konsep dibuat untuk menentukan penyebab masalah yang telah diprioritaskan. Hal ini bertujuan untuk menentukan faktor-faktor penyebab masalah yang telah diprioritaskan tadi yang berasal dari komponen sistem yang lainnya, yaitu komponen input, proses, lingkungan dan umpan balik. Dengan menggunakan kerangka konsep diharapkan semua faktor penyebab masalah dapat diketahui dan diidentifikasi sehingga tidak ada yang tertinggal.14 III.3.3.2 Identifikasi Penyebab Masalah Selanjutnya berbagai penyebab masalah yang terdapat pada kerangka konsep diidentifikasikan. Identifikasi dilakukan dengan mengelompokkan faktor-faktor dalam unsur masukan, proses, umpan balik, dan lingkungan yang diperkirakan berpengaruh terhadap prioritas masalah. Masing-masing faktor ditentukan indikator serta tolok ukur kemudian membandingkannya. Suatu faktor ditetapkan menjadi penyebab masalah jika ada kesenjangan antara pencapaian indikator dengan tolok ukur. Diperlukan pengumpulan data baik data berupa dokumentasi puskesmas, maupun data dari wawancara atau kuesioner untuk mengatahui pencapaian di

lapangan 14 Tolok ukur pada komponen masukan, proses, lingkungan, dan umpan balik dapat dilahat pada Tabel 3.2, Tabel 3.3 dan Tabel 3.4. Tabel 3.2. Tolok ukur pada komponen masukan No 1. Variabel Tenaga Tolok Ukur Tenaga pelaksana minimal : 1 dokter, 1 perawat, 1 petugas administrasi,1 analis laboratorium 2. Dana Tersedianya dana khusus untuk pelaksanaan program yang berasal dari APBD dan APBN 3. Sarana Tersedianya sarana: a. b. c. d. Sarana medis : alat-alat pemeriksaan seperti stetoskop, senter, timbangan, tensimeter, dan termometer Sarana non medis: ruangan dilengkapi dengan tempat tidur, status, alat tulis, buku catatan Sarana penyuluhan: leaflet, brosur, poster Sarana khusus untuk pojok oralit: meja, kursi, oralit minimal 200 bungkus, gelas, sendok, pipet, baskom, media penyuluhan 4. Metode Pengobatan penderita diare sesuai dengan pedoman pemberantasan penyakit diare a. Pendekatan MTBS untuk penderita balita b. Pengobatan penderita diare baik kausal, simtomatik dan rehidrasi secara oral (oralit sebanyak 1500 ml atau 6 bungkus) atau intravena sesuai standar penanggulangan penyakit diare Penyuluhan kesehatan a. Penyuluhan kepada penderita dan keluarga b. Penyuluhan ke masyarakat c. Pojok oralit sebagai sarana konsultasi diare tentang penyakit diare Pembinaan dan pelatihan kader Pencatatan dan pelaporan kasus diare

Tabel 3.3. Tolok ukur pada komponen proses No 1. Variabel Perencanaan Tolok ukur Adanya perencanaan operasional (plan of action) yang jelas: Jenis kegiatan, target kegiatan, waktu kegiatan. 2. Pengorganisasian a. b. 3. Pelaksanaan a. Adanya struktur pelaksana program Adanya pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas Pengobatan penderita i. Pengobatan diare baik kausal, simtomatik dan rehidrasi secara oral (oralit sebanyak 200 ml atau 6 bungkus) atau intravena sesuai standar penanggulangan penyakit diare. ii. iii. i. ii. iii. Pendekatan MTBS Perujukan untuk kasus-kasus berat Penyuluhan kepada penderita dan kelurga Pojok oralit sebagai tempat konsultasi tentang diare Penyuluhan ke masyarakat minimal 4x/tahun c. i. Penyuluhan kelompok di puskesmas Penyuluhan di luar puskesmas

b. Penyuluhan

Pelatihan Kader Materi pelatihan: ii. Kemampuan melarutkan oralit dan memberikannya Pemberian penyuluhan kesehatan Perujukan

Pelatihan dilakukan minimal 1x dalam setahun

d. Pelayanan penderita diare oleh kader 4. Pencatatan pelaporan dan a. Penilaian kegiatan dalam bentuk laporan tertulis secara periodik (bulanan, triwulan, semester, tahunan)

b. Pengisian laporan tertulis yang lengkap c. Penyimpanan laporan tertulis yang benar 5. Pengawasan Adanya pengawasan eksternal maupun internal

Tabel 3.4. Tolok ukur komponen lingkungan dan umpan balik No 1. Variabel Lingkungan Tolok Ukur a. Tingkat pendidikan menengah atau tinggi menunjang keberhasilan pemberian oralit kepada penderita diare b. Tingkat sosial ekonomi menengah atau tinggi menunjang 2. Umpan balik keberhasilan pemberian oralit kepada penderita diare Masukan hasil pencatatan dan pelaporan untuk perbaikan program selanjutnya. Penyebab masalah bisa lebih dari satu. Namun tidak semua penyebab dapat diselesaikan karena mungkin ada masalah yang saling berkaitan dan adanya keterbatasan kemampuan dalam menyelesaikan semua penyebab masalah.14 III.3.4. Alternatif Pemecahan Masalah dan Pemecahan Masalah Terpilih III.3.4.1. Alternatif Pemecahan Masalah Setelah mengetahui penyebab masalah, tindakan selanjutnya adalah membuat beberapa alternatif pemecahan masalah. Alternatif pemecahan masalah ini dibuat dengan memperhatikan kemampuan serta situasi dan kondisi Puskesmas. Alternaif pemecahan masalah dibuat secara rinci, meliputi tujuan, sasaran, target, metode, jadwal kegiatan, serta rincian dananya.14 III.3.4.2. Pemecahan Masalah Terpilih Berbagai alternatif cara pemecahan masalah yang telah dibuat, dipilih satu cara pemecahan masalah yang dianggap paling baik dan memungkinkan. Pemilihan prioritas cara pemecahan masalah ini dengan memakai teknik kriteria matriks. Dua kriteria yang lazim digunakan adalah efektivitas dan efisiensi jalan keluar.14 1. Efektivitas jalan keluar Tetapkan nilai efektifitas untuk setiap alternatif jalan keluar dengan memberikan angka 1 (paling tidak efektif) sampai dengan angka 5 (paling efektif). Prioritas jalan keluar adalah

yang nilai efektifitasnya paling tinggi. Untuk menentukan efektifitas jalan keluar digunakan kriteria tambahan yand dapat dilihat di bawah ini.14 a. Besarnya masalah yang dapat diselesaikan (Magnitude) Makin besar masalah yang dapat diatasi, makin tinggi prioritas jalan keluar tersebut. b. Pentingnya jalan keluar (Importancy) Pentingnya jalan keluar dikaitkan dengan kelanggengan masalah. Makin lama masa bebas masalahnya, makin penting jalan keluar tersebut. c. Sensitivitas jalan keluar (Vulnerability) Sensitivitas dikaitkan dengan kecepatan jalan keluar mengatasi masalah. Makin cepat masalah teratasi, makin sensitif jalan keluar tersebut. MANA TOLOK UKUR DAMAPAK?? 2. Efisiensi jalan keluar Tetapkan nilai efisiensi untuk setiap alternatif jalan keluar. Nilai efisiensi ini biasanya dikaitkan dengan biaya (cost) yang diperlukan untuk melaksanakan jalan keluar. Makin besar biaya yang diperlukan, makin tidak efisien jalan keluar tersebut. Berikan angka 1 (biaya paling sedikit) sampai dengan angka 5 (biaya paling besar). Nilai prioritas (P) untuk setiap alternatif jalan keluar ditentukan dengan membagi nilai hasil perkalian M x I x V dengan C. Alternatif jalan keluar dengan nilai P tertinggi adalah prioritas jalan keluar yang terpilih. Lebih jelas rumus untuk menghitung prioritas jalan keluar dapat dilihat di bawah ini: P = MxIxV C Keterangan : P = Priority; M = Magnitude; I= Importancy; V= Vulnerability; C = Cost

BAB IV PENYAJIAN DATA IV. 1 Data Umum IV.1.1. Data Geografis Kelurahan Kayu Putih merupakan salah satu kelurahan dari 65 kelurahan di wilayah kotamadya Jakarta Timur yang mempunyai luas wilayah 437,15 Ha. Terdiri atas 17 Rukun Warga (RW), 181 Rukun Tetangga (RT) dan terdiri dari 97.192 KK. Adapun batas wilayah Kelurahan Kayu Putih adalah sebagai berikut : Sebelah Utara terdapat Jl. Perintis Kemerdekaan atau Kelurahan Kelapa Gading Jakarta Utara. Sebelah Barat terdapat Jl. Ahmad Yani atau Kelurahan Cempaka Putih Jakarta Pusat. Sebelah Timur terdapat Jl. Kayu Putih Raya atau Kelurahan Pulogadung Sebelah Selatan terdapat Jl. H.Ten, Jl. Bangunan Timur, dan Jl. Bangunan Barat atau Kelurahan Rawamangun. IV.1.2 Data Demografis Dari Data tahun 2006 didapatkan jumlah penduduk wilayah Kelurahan Kayu Putih sebesar 53.487 jiwa.

Adapun gambaran karakteristik penduduk Kelurahan Kayu Putih dapat dilihat pada tabel berikut ini15 Tabel 4.1 Data jumlah penduduk di Kelurahan Kayu Putih tahun 200815
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 USIA 0-5 6-10 11-17 18-24 25-30 31-40 41-50 51-60 61-70 70 keatas JUMLAH LAKI-LAKI 2334 3225 3633 5864 2383 2683 3359 2344 1480 696 28001 PEREMPUAN 2201 3553 3353 3256 2223 2813 3476 2558 1567 486 25486 JUMLAH 4353 6778 6986 9120 4606 5496 6835 4902 3047 1182 53487

Sumber: Hasil pendataan kelurahan Kayu Putih tahun 2008. IV.1.3. Fasilitas Pelayanan Kesehatan Fasilitas pelayanan kesehatan yang terdapat di wilayah Kelurahan Kayu Putih adalah sebagai berikut : Tabel 4.2. Sebaran Sarana Kesehatan di Kelurahan Kayu Putih15
No 1 SARANA Milik Pemerintah Puskesmas Kelurahan Poliklinik 2 Milik Swasta Rumah sakit umum Rumah bersalin Praktek dokter umum Praktek dokter gigi Praktek dokter ahli penyakit dalam Praktek dokter ahli penyakit saraf Praktek dokter anak Prakter dokter hewan Praktek bidan Apotik Laboratorium 3 Swadana Masyarakat Posyandu (Sumber : Laporan Tahunan Puskesmas Kelurahan Kayu Putih 2008) JUMLAH 1 1 2 1 9 3 1 2 2 1 3 5 0 16

IV.1.4 Tingkat Pendidikan Masyarakat Dari data yang didapat diketahui bahwa mayoritas penduduk kelurahan kayu putih tidak tamat SD.

Tabel 4.3. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan15


TINGKAT PENDIDIKAN Tidak tamat SD SD SMP SMU Perguruan Tinggi JUMLAH / JIWA 16238 8527 11274 14386 3415

Sumber: Laporan statistik penduduk Kelurahan Kayu Putih Desember 2008

IV.1.5 Status Pekerjaan Masyarakat Tabel 4.4. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian
MATA PENCAHARIAN Pegawai Negeri / BUMN Karyawan / Swasta Pedagang TNI / Polri Buruh Pensiunan Pengangguran JUMLAH JUMLAH / JIWA 2214 7346 7729 142 6277 661 3632 28001

Sumber: Laporan statistik penduduk Kelurahan Kayu Putih Desember 2008

IV.1.6 Gambaran Mengenai Puskesmas Wilayah Kelurahan Kayu Putih memiliki 1 buah Puskesmas Kelurahan, Sumber daya tenaga Puskesmas adalah sebagai berikut : Tabel 4.5 Sumber Daya Tenaga Puskesmas Kelurahan Kayu Putih15
TANGGUNG JAWAB JUMLAH Kepala Puskesmas dan BP gigi 1 orang dokter gigi Wakil Kepala dan BP balai Pengobatan 1 orang dokter umum KIA-KB 1 orang bidan Tuberkulosis-DOTS 1 orang perawat Gizi dan Posyandu 1 orang perawat UKS dan JPKMM 1 orang perawat Usila dan Kesling 1 orang perawat P2M dan Pengadaan obat 1 orang perawat Loket dan Tindakan 1 orang perawat Petugas Kebersihan 1 orang (Sumber : Laporan Tahunan Puskesmas Kelurahan Kayu Putih 2008)

IV.1.7 Struktur Organisasi Puskesmas Kelurahan Kayu Putih Kepala Puskesmas drg. Erni Romaria

Pelayanan Kesehatan Gigi drg. Erni Romaria

KIA, KB dan Imunisasi Bd. Fatmaini

Gizi Ibu Akna Sitorus

P2P Zr. Rosdiana

Usaha Kesehatan Sekolah dan JPKMM Zr. Sri Rulina

Apotik Ibu Ida Parida

Kesehatan Lingkungan, PTM, lansia Bapak Slamet

Administrasi Ibu Nana

Pembantu Umum Ibu Nana

Keamanan Bapak Ari

Gambar 6.1 Struktur Organisasi Puskesmas Kelurahan Kayu Putih15. IV.1.8 Struktur Organisasi Program Pencegahan dan Penanggulangan Diare Kepala Puskesmas Kelurahan Kayu Putih (drg. Erni Romaria) Penanggung Jawab (Ibu Rosdiana) Pelaksana

(Semua tenaga kesehatan Puskesmas) Gambar 6.1 Struktur Organisasi program P2D Puskesmas Kelurahan Kayu Putih15. IV.2 Data Khusus Penanggulangan diare periode Januari 2008 Desember 2008 dilaksanakan pada semua pasien yang datang ke Puskesmas Kelurahan Kayu Putih. Berikut adalah data-data hasil pencapaian program Pencegahan dan Penanggulangan Diare Puskesmas Kelurahan Kayu Putih. Tidak ada pasien yang meninggal dari semua kelompok umur. Tidak didapatkan data pasien yang sembuh. Tidak ada data pasien yang ditangani dari Posyandu. Tabel 4.6. Jumlah pasien diare dan oralit yang diberikan di Puskesmas kelurahan Kayu Putih periode Januari 2008 Desember 200816
BULAN <1 TAHUN JANUARI FEBUARI MARET APRIL MEI JUNI JULI AGUSTUS SEPTEMBER OKTOBER NOVEMBER DESEMBER JUMLAH 14 12 6 0 0 0 0 0 0 2 1 0 35 KELOMPOK USIA 1-4 TAHUN >5 TAHUN 18 18 11 0 0 0 8 2 1 6 2 0 66 35 41 37 34 26 23 22 27 38 51 45 34 413 JUMLAH PASIEN 67 71 54 34 26 23 30 29 39 59 48 34 514 JUMLAH ORALIT 174 184 200 150 100 115 125 145 175 200 210 145 1923

Penanggulangan diare periode Januari 2008 Desember 2008, dilaksanakan pada semua penderita yang datang ke Puskesmas dengan segala variasi usia. Untuk memudahkan maka penderita dikelompokkan menjadi penderita kurang dari 1 tahun, 1-4 tahun, dan lebih dari 5 tahun. Jumlah penderita diare selama periode tersebut berjumlah 514 orang. Selama periode itu tercatat penderita diare berusia kurang dari 1 tahun sebanyak 35 orang, penderita diare berusia 14 tahun sebanyak 66 orang, dan penderita diare berusia lebih dari 5 tahun sebanyak 413 orang. Jumlah pemakaian oralit untuk semua penderita diare selama periode Januari 2008 Desember 2008 adalah 1923 bungkus. Tidak ada penderita diare yang ditangani oleh kader pada periode Januari 2008 Desember 2008.16

Tidak terdapat penyuluhan kesehatan dan pelatihan kader terutama mengenai diare sejak digalakkannya gebyar posyandu pada bulan Desember 2005 dan tidak didapatkan data mengenai penderita yang sembuh. Tabel 4.7 Pencapaian program P2D Kelurahan Kayu Putih
No 1. Variabel Jumlah penderita diare yang dilayani x 100% Target penderita diare di wilayah kerja 2. Proporsi penderita diare balita yang diobati Jumlah penderita diare <5 tahun dilayani x 100% Jumlah balita x 1,7 x 10% 3. 4. *1,7 = rata-rata frekuensi diare balita/tahun Angka penggunaan oralit = Jumlah penderita x 6 bungkus Angka penggunaan ringer laktat = Jumlah penderita diare yang diberi RL x 100% 5. 6. Jumlah penderita diare yang dilayani Rasio penderita yang sembuh dengan seluruh penderita Angka fatalitas kasus = Jumlah penderita mati karena diare x 100% Jumlah penderita diare yang dilayani 7. Angka pelayanan oleh kader = Jumlah penderita dilayani oleh kader x 100% Jumlah penderita diare yang dilayani 8. 9. Penyuluhan Pelatihan kader Tidak dilakukan Tidak dilakukan 40% Tidak ada pelayanan oleh kader 100% 0% Tidak ada data 0 514 x 6 = <5% 100% Tolak ukur 100% Pencapaian 514 x 100% 6,7% x 432/1000 x 53.487 = 35% 101x 100% 4.353x1,7x10% = 13,65% 3.084 0

BAB V ANALISA DAN PENYELESAIAN MASALAH

V.1. Identifikasi Masalah Berdasarkan Komponen Keluaran Identifikasi masalah yang ada pada program pencegahan dan penanggulangan penyakit diare dilakukan dengan membandingkan pencapaian keluaran dengan tolak ukur. Tabel 5.1 Identifikasi masalah pencegahan dan pemberantasan diare di kelurahan Kayu Putih
No 1. Variabel Jumlah penderita diare yang dilayani x 100% Target penderita diare di wilayah kerja 2. Proporsi penderita diare balita yang diobati Jumlah penderita diare <5 tahun dilayani x 100% Jumlah balita x 1,7 x 10% 3. 4. *1,7 = rata-rata frekuensi diare balita/tahun Angka penggunaan oralit = Jumlah penderita x 6 bungkus Angka penggunaan ringer laktat = Jumlah penderita diare yang diberi RL x 100% 5. 6. Jumlah penderita diare yang dilayani Rasio penderita yang sembuh dengan seluruh penderita Angka fatalitas kasus = Jumlah penderita mati karena diare x 100% Jumlah penderita diare yang dilayani 7. Angka pelayanan oleh kader = Jumlah penderita dilayani oleh kader x 100% Jumlah penderita diare yang dilayani 8. 9. Penyuluhan Pelatihan kader tidak penyuluhan tidak dilakukan (+) dilakukan (+) 40% Tidak ada pelayanan oleh kader (+) 100% 0% Tidak ada data 0 (+) (-) 514 x 6 = <5% 100% Tolak ukur 100% Pencapaian 514 x 100% 6,7% x 432/1000 x 53.487 = 35% 101x 100% 4.353x1,7x10% = 13,65% 3.084 0 (+) (-) (+) Masalah (+)

Dari data diatas dapat diidentifikasi sejumlah masalah dalam Program pencegahan dan penanggulangan diare di puskesmas kelurahan Kayu Putih yaitu : 1. Cakupan pelayanan tidak memadai di segala usia

2. Kualitas pelayanan yang masih kurang, yakni jumlah pemeberian oralit tidak sesuai target, dan tidak adanya data mengenai jumlah penderita yang sembuh 3. Peran serta masyarakat dalam Program P2D masih belum optimal, yaitu tidak adanya kegiatan penyuluhan, pembinaan kader dan pelayanan diare oleh kader V.2. Penetapan Prioritas Masalah Berdasarkan tabel 5.1, didapatkan beberapa masalah pada program

P2Diare yang harus

diselesaikan. Ditemukannya lebih dari satu masalah maka harus ditentukan prioritas masalah karena adanya keterbatasan dana dan sumber daya. Penetapan prioritas masalah dilakukan dengan menggunakan kriteria matriks seperti pada Tabel 5.2. Prioritas masalah ditetapkan dengan sistem skoring dan akan dinilai beberapa kriteria: a) Pentingnya masalah (importancy) yang terdiri dari: Besarnya masalah (Prevalence = P) Akibat yang ditimbulkan masalah (severity) = S Kenaikan besarnya masalah (rate of increase) = RI Keuntungan sosial karena selesainya masalah (social benefit) = SB Derajat keinginan masyarakat tidak terpenuhi (degree of unmeet needs) = DU Rasa prihatin masyarakat terhadap masalah (public concern) = PB Suasana politik (political climate) = PC c) Kelayakan teknologi (technilcal feasibility) = T d) Sumber daya yang tersedia (Resources availability) = R Untuk setiap kriteria diberikan nilai dalam rentang 1 (tidak penting) hingga 5 (sangat penting). Masalah yang menjadi prioritas utama ialah masalah dengan nilai tertinggi.

Tabel 5.2 Penetapan Prioritas Masalah


No Daftar Masalah Importance P S RI T DU SB PB PC R Jumlah P=I x T x R

1. 2. 3. 4.

Cakupan pelayanan diare tidak memadai di segala usia Kurangnya jumlah oralit yang diberikan pada penderita diare Tidak adanya pelayanan oleh kader Tidak ada data mengenai jumlah penderita yang sembuh

5 4 3 1

5 3 3 1

3 4 4 4

5 5 4 3

5 4 5 1

3 3 3 1

3 3 3 3

2 2 2 5

3 3 3 1

174 156 150 70

Dari penetapan prioritas berdasarkan teknik kriteria matriks diatas maka prioritas masalah yang dipilih adalah Kurangnya cakupan penderita diare yang diobati. Adapun urutan prioritas masalah yang berhasil ditetapkan adalah sebagai berikut : 1. Rendahnya cakupan pelayanan diare di segala usia 2. Kurangnya jumlah oralit yang diberikan pada penderita diare 3. Tidak ada pelayanan oleh kader 4. Tidak ada data menegenai jumlah penderita yang sembuh Rendahnya angka cakupan pelayanan diare di segala usia merupakan masalah yang menjadi prioritas. Angka cakupan pelayanan menggambarkan jumlah penderita diare yang menggunakan pelayanan di Puskesmas dibandingkan dengan target di wilayah kerja Puskesmas. Rendahnya angka cakupan pelayanan berarti masih banyak penderita diare yang tidak datang berobat ke puskesmas dan tidak adanya lagi pelayanan pengobatan di posyandu (seperti program puskesmas keliling), atau porsi pengobatan diambil oleh beberapa pusat pelayanan kesehatan yang lain seperti praktik dokter umum serta yang lainnya. Puskesmas sebagai sentra layanan kesehatan primer seharusnya menjadi lini pertama penanganan diare. Diharapkan kasus-kasus diare yang ada mendapatkan penanganan awal diare yang tepat sehingga tidak sampai terjadi komplikasi. Selain memberikan pelayanan diare berupa pengobatan, puskesmas juga diharapkan mampu melakukan pencegahan diare, salah satunya dengan mengadakan penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat. Rendahnya angka kunjungan penderita diare ke puskesmas, dapat diartikan masih banyak yang kasus diare yang tidak teridentifikasi sehingga tindak lanjut berupa penyuluhan pencegahan diare tidak sampai pada penderita dan keluarga. Kurangnya pengetahuan penderita dan keluarga mengenai pencegahan diare dapat meningkatkan risiko penularan ke keluarga dan bahkan ke masyarakat sekitar, terlebih lagi jika kegiatan penyuluhan ke masyarakat tidak berjalan. Atas alasan-alasan diatas,

akibat yang ditimbulkan (severity) oleh rendahnya cakupan pelayanan diare diberikan nilai paling besar. Jumlah pemberian oralit yang lebih kecil dari standar untuk tiap penderita dapat mengakibatkan kesembuhan diare menjadi lebih lama. Hal ini dapat memunculkan anggapan buruk pada masyarakat tentang penanganan di Puskesmas yang akan semakin membuat angka kunjungan pasien ke Puskesmas berkurang. Tidak adanya kader mencerminkan kurangnya perhatian dan peran serta masyarakat terhadap penanggulangan diare. Kader yang bersentuhan langsung dengan masyarakat sebenarnya diharapkan mampu memperluas daya jangkau program penanggulangan diare di puskesmas. Karena itulah kedua masalah tersebut sama-sama diberikan nilai severity menengah Kenaikan besar masalah (Rate of Increase) untuk angka cakupan pelayanan mencapai 35% dari nilai idealnya 100%. Ini berarti terdapat kesenjangan sebesar 65%. Akan tetapi dari penelitian terdahulu pada tahun 2006, angka pencapaian hanya mencapai 12,86% dengan tolok ukur sebesar 80%. Jika data tersebut menggunakan hitungan 100%, maka pencapaian hanya sebesar 15% dengan kesenjangan pencapaian sebesar 85%. Jika dikaitkan dengan penelitian ini, hal tersebut menunjukan terdapat perbaikan dalam program pencegahan diare dan meningkat sebesar 20% sehingga Rate of Increase cakupan pelayanan diberikan nilai yang lebih rendah dari masalah yang lain. Masalah kurangnya pemberian oralit pada penderita diare dan masalah tidak adanya pelayanan oleh kader sama-sama mempunyai nilai yang sama besar. Dipikirkan akibat kecenderungan tidak ada perbaikan masalah dari tahun ke tahun. Derajat keinginan masyarakat yang tidak terpenuhi ( Degree of unmeet need) untuk masalah rendahnya angka cakupan pelayanan, kurangnya pemberian oralit, dan tidak adanya pelayanan oleh kader, diberikan nilai yang sama. Kesembuhan merupakan harapan utama dari seorang penderita, oleh karena itu dibutuhkan penanganan yang tepat untuk setiap kasus diare yang sesuai dengan standar, termasuk pemberian oralit. Masyarakat juga menginginkan penularan diare dapat diminimalisasi. Untuk mewujudkannya, tidak cukup dengan pelayanan diare dalam puskesmas saja, tetapi juga dibutuhkan peran serta masyarakat baik dalam berbagai aspek (pelayanan, penyuluhan, dan pencegahan), dengan salah satu bentuk nyatanya adalah pelayanan oleh kader. Keuntungan sosial ( social benefit) yang diperoleh jika masalah rendahnya angka cakupan pelayanan dan pelayanan oleh kader dapat diselesaikan mendapat nilai terbesar. Adanya

penyelesaian terhadap kedua masalah tersebut diharapkan dapat memutus rantai penularan diare karena kasus-kasus diare yang ada dapat teridentifikasi dan mendapat penanganan yang tepat dan tindak lanjut berupa penyuluhan tentang pencegahan diare. Perhatian masyarakat (public concern) terhadap permasalahan diare secara umum masih kurang baik. Pasien masih banyak yang tidak berobat ke puskesmas pada saat terjadi diare. Cakupan pelayanan yang kurang baik, tidak adanya pelayanan oleh kader, serta jumlah pemberian oralit yang tidak sesuai diberikan nilai yang sama, karena ketiga hal ini adalah keadaan yang dilihat masyarakat secara langsung dan mempengaruhi penilaian masyarakat terhadap kinerja puskesmas. Ketiadaan data mengenai pasien yang sembuh diberikan nilai yang lebih rendah, karena bentuk pencatatan ini tidak secara langsung dilihat oleh masyarakat manfaat dan pelaksanaannya. Pemerintah memang telah membentuk program P2D, namun belum ada upaya intensif dalam pemberantasan diare. Dikarenakan hal tersebut maka keempat masalah mendapat nilai PC (political climate) yang sama, sebagai bagian dari P2D. Dari penilaian teknis (technical feasibility), tidak adanya data mengenai jumlah pasien yang sembuh mendapatkan nilai yang paling tinggi, karena pada saat ini, pencatatan di puskesmas sebenarnya tidak sulit secara teknis karena penggunaan komputer telah memudahkan pencatatan dan pelaporan. Untuk ketersediaan sumber daya (resources availability), maka tidak adanya pelayanan oleh kader mendapatkan nilai menengah, karena puskesmas sebenarnya memiliki kader, namun tidak melakukan pelayanan diare karena tugas promosi kesehatan lainnya juga banyak, sementara tidak ada penambahan jumlah kader khusus untuk diare. Jumlah oralit yang diberikan juga belum memadai, meskipun jumlah yang diterima sudah cukup. Hal ini berhubungan dengan peranan kader yang belum optimal dalam pelayanan diare.

V.3. Identifikasi Penyebab Masalah V.3.1. Kerangka Konsep Kerangka konsep dibuat dengan menggunakan pendekatan analisis, hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor penyebab masalah rendahnya angka cakupan pelayanan diare program

P2Diare Puskesmas Kelurahan Kayu Putih. Kerangka konsep yang telah dipikirkan untuk masalah tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Cakupan Pelayanan Diare

Gambar 5.1 Kerangka konsep V.3.2. Estimasi Penyebab Masalah Masalah dalam pelaksanaan Program Pencegahan dan Pemberantasan Diare akan dibahas sesuai dengan pendekatan sistem yang mempertimbangkan seluruh faktor baik dari unsur masukan, proses, umpan balik, dan lingkungan. Pada komponen masukan, yang berpotensi menjadi penyebab masalah adalah sumber daya manusia termasuk di dalamnya adalah dokter, perawat, tenaga administrasi dan kader, dana yang tersedia, sarana medis dan non medis, sarana penyuluhan, sarana pojok oralit dan metode yang digunakan. Kuranganya jumlah sumber daya manusia, pengetahuan tenaga kesehatan dan tenaga pendukung dapat mengakibatkan metode yang digunakan dalam P2D menjadi kurang optimal, meliputi pengobatan, penyuluhan dan pelatihan kader. Sehingga partisipasi masyarakat menjadi

lebih rendah dari yang diharapkan. Selain SDM yang kurang faktor dana dan sarana medis serta non medis juga memegang peranan yang penting. Oleh sebab itu bila kurang memadai juga dapat menyulitkan pelaksanaan program ini. Komponen proses terdiri dari: perencanaan dan pengorganisasian, pelaksanaan, pencatatan dan pelaporan, serta pengawasan. Setiap program memiliki perencanaan target dan waktu pelaksanaan program, sebagai pedoman dalam pelaksanaannya. Organisasi juga perlu direncanakan dengan baik, agar terdapat staffing dan pembagian tugas yang jelas sehingga masing-masing pelaksana dalam organisasi dapat bekerja sesuai dengan tugasnya masing-masing sehingga tercipta kerjasama yang baik. Pelaksanaan program, meliputi: pengobatan diare, penyuluhan, dan pelatihan serta pembinaan kader, merupakan faktor penentu keberhasilan program. Pengobatan diare yang kurang memenuhi standar pelayanan dapat mengakibatkan munculnya stigma yang buruk mengenai pelayanan diare di puskesmas sehingga masyarakat enggan berkunjung ke Puskesmas. Hal ini berimbas pada rendahnya angka cakupan pelayanan diare. Tidak adanya penyuluhan kesehatan mengenai diare juga berdampak pada kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap pencegahan, penanganan diare di rumah, serta kapan waktu yang tepat untuk berobat. Kurangnya kader yang terlatih menyulitkan pelaksanaan program terutama dalam melakukan tugas eksternal seperti penyuluhan di masyarakat dan penanganan awal diare. Pengawasan juga merupakan hal yang penting karena apabila tidak terlaksana dengan baik, dapat menyebabkan tidak adanya laporan tertulis, penyimpanan laporan yang tidak tersistematisasi dengan baik, dan pelaporan yang terlambat atau tidak lengkap kepada puskesmas. Hal-hal diatas pada akhirnya dapat mengakibatkan target pencapaian program yang telah ditentukan tidak tercapai. Komponen lingkungan juga berperan dalam keberhasilan program. Komponen lingkungan ini meliputi: tingkat pendidikan masyarakat,tingkat sosial ekonomi, dan akses. Tingginya tingkat pendidikan dapat mempengaruhi kemampuan masyarakat dalam menerima dan memahami informasi mengenai diare. Sementara tingginya tingkat sosial ekonomi dapat mempengaruhi kemauan dan kemampuan masyarakat untuk memperoleh layanan kesehatan. Sementara akses ke tempat layanan kesehatan juga dapat menjadi masalah apabila pusat layanan kesehatan terletak di lokasi yang sulit dijangkau. Komponen umpan balik terdiri dari masukan hasil pelaporan setelah dilaksanakannya Program Pencegahan dan Pemberantasan Diare selama satu periode. Hasil pelaporan ini

diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan Puskesmas untuk menyusun rencana program pada periode selanjutnya sehingga diharapkan adanya perbaikan dari yang sebelumnya. V.3.3 Konfirmasi Penyebab Masalah Dilakukan wawancara dengan pihak yang terlibat (penanggung jawab program P2Diare Puskesmas Kelurahan Kayu Putih) dan membandingkasn hasil dan tolok ukur dilakukan untuk mengkonfirmasi penyebab masalah. Identifikasi faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab masalah tersebut dapat dilihat pada beberapa tabel berikut ini. Tabel 5.3 Konfirmasi penyebab masalah program P2Diare pada komponen masukan
No 1. Variabel Tenaga Tolok Ukur Tenaga pelaksana minimal : 1 dokter, 1 perawat, 1 petugas administrasi, dan 1 analis sebagai pemeriksa laboratorium Pencapaian Di balai pengobatan umum terdapat 1dokter, 1 perawat yang merangkap administrasi. Sedangkan di P2M terdapat 1 perawat, dan 1 orang tenaga administrasi. Tidak terdapat 2. Dana Tersedianya dana dari APBN, APBD laboratorium Tersedianya dana yang cukup lancer hanya dari APBD dan APBN 3. Sarana Tersedianya sarana: a. Sarana medis : alat-alat pemeriksaan seperti stetoskop, senter, timbangan, tensimeter, dan termometer b. Sarana non medis: ruangan dilengkapi dengan tempat tidur, status, alat tulis, buku catatan c. Sarana penyuluhan: leaflet, brosur, poster d. Sarana khusus untuk pojok oralit: meja, kursi, oralit minimal 200 bungkus, gelas, sendok, pipet, baskom, media penyuluhan e. laboratorium e. tidak tersedia (+) d. c. tersedia, namun dalam (+) jumlah terbatas (hanya ada 1 poster,1 leaflet) tidak ada pojok oralit (+) b. tersedia (-) a. tersedia (-) (-) Penyebab Masalah (+)

4.

Metode

Pengobatan penderita diare a. Pendekatan MTBS untuk penderita balita b. Pengobatan penderita diare baik kausal, simtomatik dan rehidrasi secara oral (oralit sebanyak 1500 ml atau 6 bungkus) atau intravena sesuai standar penanggulangan penyakit diare a. b. Pendekatan MTBS Pengobatan dilakukan pada semua penderita diare yang berobat rehidrasi dehidrasi, terapi Penyuluhan kesehatan a. Penyuluhan kepada penderita dan keluarga b. Penyuluhan ke masyarakat c. Pojok oralit sebagai sarana konsultasi b. c. Pembinaan dan pelatihan kader Pencatatan dan pelaporan kasus diare diaretentang penyakit diare a. Dilakukan penyuluhan (-) kepada penderita diare dan keluarga yang datang ke puskesmas Tidak dilakukan Tidak ada pojok oralit (+) (+) (+) (-) (-) bulanan, dan etiologi meliputi sesuai terapi derajat terapi secara (-) (-)

simtomatik, dan bila perlu empiris untuk disentri

Tidak dilakukan pembinaan maupun pelatihan kader Dilakukan laporan tertulis kasus diare harian, tahunan mingguan,

Tabel 5.4 Konfirmasi penyebab masalah program P2Diare pada komponen proses
No 1. Variabel Perencanaan Tolok ukur Adanya perencanaan operasional (plan of action) yang jelas: Jenis kegiatan, target kegiatan, waktu kegiatan. 2. Pengorganisasian a. Adanya struktur organisasi a. Terdapat organisasi program b. Adanya pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas b. Petugas merangkap penanggungjawab 3. Pelaksanaan a. Pengobatan penderita beberapa program Pengobatan diare kesehatan sebagai (+) struktur pelaksanan (-) Pencapaian Planning of action sudah dibuat Penyebab Masalah (-)

pelaksana program

i.

Pengobatan diare baik kausal, simtomatik dan rehidrasi secara oral (oralit sebanyak 1500 ml atau 6 bungkus) atau intravena penanggulangan diare. sesuaistandar penyakit

i.

Tata laksana kasus diare dengan pemberian oralit sudah dilakukan,tetapi jumlah tidak sesuai

(+)

ii. iii. b.

Pendekatan MTBS Perujukan untuk kasus-kasus berat

ii. iii.

dilakukan terdapat sistem perujukan (-) (-)

Penyuluhan i. Penyuluhan kepada penderita dan kelurga ii. Pojok oralit sebagai tempat konsultasi tentang diare iii. Penyuluhan ke masyarakat minimal 4x/tahun Penyuluhan kelompok di puskesmas Penyuluhan puskesmas di luar

Penyuluhan i. Dilakukan kepada keluarga berobat ii. iii. Tidak ada pojok oralit Tidak dalam maupun Tidak luar puskesmas dilaksanakan pembinaan (+) maupun pelatihan kader dilakukan puskesmas, penyuluhan di penyuluhan kelompok di (+) (+) penyuluhan penderita yang dan datang (-)

c.

Pembinaan dan pelatihan Kader i. Materi pelatihan: Kemampuan melarutkan oralit memberikannya Pemberian kesehatan ii. Perujukan Pelatihan dilakukan minimal 1x dalam setahun penyuluhan dan

d. e.

Pelayanan penderita diare oleh kader Koordinasi puskesmas kecamatan dengan kelurahan

Tidak ada pelayanan diare oleh kader

(+)

4.

Pencatatan

dan

a.

Penilaian kegiatan dalam bentuk

a. Laporan tertulis dilakukan secara

(+)

pelaporan

laporan tertulis secara periodik (bulanan, tahunan) b. c. Pengisian laporan tertulis yang lengkap Penyimpanan laporan tertulis yang benar triwulan, semester,

periodik bulanan, dan tahunan, namun tidak dilakukan laporan triwulan dan semesteran b. c. laporan diisi sesuai format Laporan disimpan oleh (-) (-) pelaporan yang ada koordinator program Pengawasan oleh Dinas program Kesehatan dilakukan Jakarta (-)

5.

Pengawasan

Adanya pengawasan eksternal dan internal

Timur dan secara internal oleh kepala puskesmas

Tabel 5.5. Konfirmasi penyebab masalah program P2Diare pada komponen lingkungan dan umpan balik
No 1. Variabel Lingkungan Tolok Ukur a. Tingkat pendidikan menengah atau tinggi menunjang keberhasilan pengobatan penderita diare dan pencegahan diare b. Tingkat sosial ekonomi menengah atau tinggi menunjang keberhasilan pengobatan penderita diare dan 2. Umpan balik pencegahan diare Masukan hasil pencatatan dan pelaporan untuk perbaikan program selanjutnya. Tidak b. Pencapaian a. Tingkat Kayu Tingkat Kayu Putih sosial putih pendidikan umumnya ekonomi umumnya (+) (+) Penyebab Masalah (+)

masyarakat di Kelurahan tingkat rendah-menengah masyarakat di Kelurahan tingkat rendah-menengah ada masukan untuk

perbaikan program

Berdasarkan tabel diatas maka ditetapkan penyebab masalah belum optimalnya program P2Diare di Puskesmas Kelurahan Kayu Putih untuk periode Januari-Desember 2008 berdasarkan komponen masukan, proses, umpan balik, dan lingkungan. 1. Masukan Pada komponen masukan, sumber daya manusia termasuk di dalamnya adalah dokter, perawat, tenaga administrasi dan kader, dana yang tersedia, sarana medis dan non medis, sarana penyuluhan, sarana pojok oralit dan metode yang digunakan dapat menjadi penyebab masalah.

Agar program P2D ini dapat berfungsi dan berjalan secara optimal maka dibutuhkan tenaga kerja minimal seorang dokter, seorang perawat dan seorang petugas administrasi. Hal ini memang terpenuhi secara kuantitas, namun adanya tenaga kerja yang merangkap program puskesmas lainnya menjadikan pelaksanaan program P2D belum dapat terlaksana secara meyeluruh dan optimal. Sarana medis yang tersedia sudah sesuai dengan standar, sehingga tidak menjadi masalah sedangkan sarana non-medis seperti media penyuluhan masih tidak memadai jumlahnya. Demikian juga dengan tidak adanya sarana khusus pojok oralit. Dari segi metode, tidak ada penyuluhan ke masyarakat, menjadikan perhatian masyarakat terhadap diare menjadi tidak berkembang. sehingga Hal ini juga dapat dikarenakan tidak adanya kegiatan pembinaan kader. Semua hal diatas juga harus ditunjang oleh dana yang memadai. Tidak adanya dana khusus juga merupakan masalah yang mendasar. Sedangkan pencatatan dan pelaporan sudah dilakukan terlihat dari adanya laporan dari harian hingga tahunan. 2. Proses Salah satu komponen proses yaitu pengorganisasian, masih didapatkan masalah berupa petugas pelaksana program yang masih merangkap program yang lain sehingga tidak optimal dalam melaksanakan tugasnya. Pada pelaksanaan terdapat beberapa masalah, yakni pemberian jumlah oralit yang tidak sesuai dengan standart yang telah ditentukan, tidak adanya penyuluhan ke masyarakat, tidak adanya pembinaan,pelatihan,dan pelayanan kader. Pencatatan dan pelaporan terhadap program yang sedang berjalan juga dirasa kurang optimal. Pencatatan dilakukan secara periodik setiap bulan dan tahunan. Dengan adanya pencatatan dan pelaporan pada tiap-tiap periode diharapkan dapat membantu mengidentifikasi masalah yang muncul saat berjalannya program agar dapat segera ditindak lanjuti. 3. Lingkungan Tingkat pendidikan sosial ekonomi dan akses berpotensi menjadi penyebab masalah.tingkat pendidikan masyarakat kelurahan Kayu putih yang sebagian besar rendah-menengah mempunyai peran terhadap kurangnya pengetahuan mengenai diare, oleh karena itu dibutuhkan penyuluhan yang dilakukan terus-menerus agar pemahaman dan perhatian masyarakat terhadap permasalahan diare ini dapat meningkat sehingga tujuan dari program P2Diare ini dapat tercapai. Demikian halnya dengan tingkat sosial ekonomi masyarakat yang mayoritas berpendapatan

rendah-menengah juga dapat mempengaruhi kemauan masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan kurang. 4. Umpan balik Puskesmas ini telah melakukan pencatatan dan pelaporan sudah dilakukan secara periodik. Datadata tersebut dapat digunakan sebagai masukan untuk menyusun program di periode selanjutnya sehingga diharapkan adanya perbaikan dari masalah-masalah yang ditemukan sebelumnya. V.3.4 Alternatif Penyelesaian Masalah Tabel V.6 Alternatif Penyelesaian Masalah
No. 1. Penyebab Masalah Masukan Tenaga : Jumlah pelaksana program yang tidak memadai karena sebagian merangkap beberapa program Sarana: komunikasi (-) oralit kurang Metode: dilaksanakan 2. Proses Perencanaan: Jumlah obat diare dan oralit kurang Tidak ada kelompok target utama - Melakukan pencatatan dan pelaporan yang baik agar perencanaan penyediaan obat diare dan oralit sesuai - Menentukan kelompok target utama dalam penanganan diare berdasarkan Melakukan pencatatan dan pelaporan yang lengkap termasuk data kasus dari Penyuluhan kelompok tidak - Pelatihan kader untuk melakukan penyuluhan rutin Persediaan Media - Melengkapi sarana yang kurang, - Dana penyediaan sarana diambil dari dana retribusi puskesmas, ditambah dengan usulan anggaran Alternatif Penyelesaian Masalah Prioritas Menambah tenaga - Menambah tenaga pelaksana program yang tidak merangkap program lain - Mengadakan pelatihan bagi kader - Pembagian tugas yang jelas pelaksana program yang tidak merangkap program lain (kader/petugas kesehatan) Tersedianya sarana dan prasarana untuk melakukan penyuluhan dan tersedianya jumlah oralit yang memadai Pelatihan para kader untuk melakukan penyuluhan kelompok pada masyarakat

penanganan diare

data tahun sebelumnya

kesehatan lain di luar Puskesmas

Organisasi: program lain lain kurang Kerjasama dengan petugas kesehatan Petugas yang masih merangkap - Menambah tenaga pelaksana program yang tidak merangkap program lain - Mensosialisaikan kepada sentra kesehatan lain untuk melakukan pencatatan dan pelaporan kasus diare yang ditangani

Pelaksanaan: Tidak ada penyuluhan kelompok dan penyuluhan secara nasional kurang baik ediaan oralit di posyandu/kader Ketidakters Pencatatan dan pelaporan yang masih - Melakukan pelatihan penyuluhan pada kader secara berkala - Memaksimalkan peran mahasiswa kedokteran dalam pembuatan sarana dan melakukan penyuluhan kepada kader dan masyarakat - Melakukan pencatan dan pelaporan kasus diare yang ditangani dengan baik - Menyediakan oralit dan memberikan penyuluhan tentang pemakaian oralit Penilaian: - Monitoring cakupan pelayanan kurang baik - Daire bersifat akut dan self limiting disease - Evaluasi berkala setiap bulan, dan setiap tahun - Membuat formulir pencatatan yang baku yang dapat digunakan seluruh tenaga pelaksana kesehatan - Pelatihan kader agar mampu menjaring kasus diare 3. Lingkungan - Tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat yang masih rendah - Tingkat sosio-ekonomi - Penyuluhan kelompok oleh kader - Memperbanyak akses kesehatan dengan memperbanyak kader kesehatan sebagai perpenjangan Melakukan evaluasi program P2D secara berkala

masyarakat yang rendah - Akses pelayanan kesehatan yang kurang 4. Umpan Balik - Pencatatan dan pelaporan belum dapat dimanfaatkan dengan baik - Data surveilance tidak ada - Program jaminan mutu tidak ada

tangan Puskesmas

- Melakukan pencatatan dan pelaporan yang lengkap - Formulir pencatatan sebaiknya dibuat baku - Evaluasi program P2D secara berkala - Diadakan pertemuan berkala (setiap bulan dan setiap tahun) untuk membahas kemajuan yang dicapai - Menyusun strategi untuk mengatasi kendala dan kekurangan pada program sebelumnya - Melaksanakan program jaminan mutu

V.4. Prioritas Penyelesaian Masalah Prioritas pemecahan masalah ditetapkan dengan sistem skoring: a) Efektifitas jalan keluar, yang terdiri dari M, I dan V Besarnya masalah yang dapat diselesaikan (Magnitude) = M Pentingnya jalan keluar (Importancy) = I Sensitivitas jalan keluar (Vulnerabillity) = V

b) Biaya jalan keluar (Cost) = C Terhadap berbagai alternatif jalan keluar yang sudah dikemukan di atas.
Alternatif Jalan Keluar M I V C Prioritas Jalan Keluar: P=(MxIxV)/C Menambah tenaga pelaksana program yang tidak merangkap program lain.(kader/petugas kesehatan) Pelatihan para kader untuk melakukan penyuluhan kelompok pada masyarakat Melakukan pencatatan dan pelaporan yang lengkap termasuk data kasus dari kesehatan lain di luar 5 4 3 5 4 3 4 3 3 3 3 3 33,6 16 9

Puskesmas Melakukan evaluasi program P2D secara berkala

Berdasarkan uraian di atas, terdapat 4 masalah utama yang menyebabkan masih kurangnya cakupan penderita diare yang diobati di Puskesmas Kelurahan Kayu Putih. Berdasarkan tabel diatas, didapatkan urutan prioritas jalan keluar sebagai berikut : 1. menambah tenaga pelaksana program yang tidak merangkap program lain (kader/petugas kesehatan) 2. Pelatihan para kader untuk melakukan penyuluhan kelompok pada masyarakat 3. Melakukan pencatatan dan pelaporan yang lengkap termasuk data kasus dari kesehatan lain di luar Puskesmas 4. melakukan evaluasi program P2D secara berkala Dari kriteria diatas telah ditetapkan prioritas penyelesaian masalah adalah menambah tenaga pelaksana program yang tidak merangkap program lain. Karena pada kenyataannya di Puskesmas Kelurahan Kayu Putih, tiap petugas kesehatan memegang lebih dari 1 program puskesmas. Hal tersebut harus segera diintervensi lebih lanjut supaya tiap program-program yang ada di Puskesmas dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Setelah menambah jumlah tenaga kerja untuk bertanggung jawab terhadap program puskesmas, prioritas kedua adalah dengan melakukan pelatihan kepada para kader. Dengan dilakukannya pelatihan kepada para kader, diharapkan program P2D dapat terlaksana sebagai tindakan preventif. Tindakan preventif tersebut antara lain dapat dilakukannya penyuluhan berkala yang dilakukan sebanyak 4x dalam setahun kemudian dilakukannya pencatatan dan pelaporan yang lengkap. Lalu langkah terakhir dalam pelaksanaan suatu program adalah melakukan evaluasi program P2D. Dengan evaluasi, semua kendala-kendala yang ada dapat diperbaiki sehingga pelaksanaan P2D periode selanjutnya akan lebih baik, sehingga angka kesakitan diare pun dapat berkurang di masyarakat. COBA ANALISIS SECARA LUAS. Penambahan tenaga kader dan pelatihan apa bisa jadi satu?? Belum ada rincian solusi yg akan dibuat. Misalnya pelatihan kader : mau dilatih apa? Perlu kader berapa, dll

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN


VI.1. Simpulan 1) Keberhasilan program Pencegahan dan Pemberantasan Diare di Puskesmas Kelurahan Kayu Putih periode Januari - Desember 2008 masih belum dapat dievaluasi dengan baik.KENAPA BELUM BISA DIEVALUASI?? 2) Berdasarkan evaluasi program Pencegahan dan Pemberantasan Diare di Puskesmas Kelurahan Kayu Putih periode Januari - Desember 2008 ini diperoleh masalah-masalah: a. Cakupan pelayanan tidak memadai di segala usia BERI INFORMASI LEBIH AKURAT, TIDAK MEMADAI ITU APA YA??

b. Kualitas pelayanan yang masih kurang, yakni jumlah pemberian oralit tidak sesuai target, dan tidak adanya data mengenai jumlah penderita yang sembuh PENDERITA YG SEMBUH KAN TIDAK HRS LAPOR?? JADI HARUS ADA CARA UTK TAHU. c. Peran serta masyarakat dalam Program P2D masih belum optimal, yaitu tidak adanya kegiatan penyuluhan, pembinaan kader dan pelayanan diare oleh kader 3) Penyebab masalah yang mungkin antara lain: BUKAN MUNGKIN LAGI, KAN SDH EVIDENCE BASED a. Kurangnya tenaga pelaksana program sehingga program P2D kurang dapat berjalan dengan baik. b. Tidak tersedianya sarana dan prasarana yang memadai untuk membantu program P2D. c. Tidak adanya pelatihan kader setempat dan penyuluhan mengenai program P2D dimasyarakat maupun puskesmas 4) Prioritas pemecahan masalah yang dapat dilaksanakan adalah : a. menambah tenaga pelaksana program yang tidak merangkap program lain (kader/petugas kesehatan) b. Pelatihan para kader untuk melakukan penyuluhan kelompok pada masyarakat c. Melakukan pencatatan dan pelaporan yang lengkap termasuk data kasus dari kesehatan lain di luar Puskesmas d. melakukan evaluasi program P2D secara berkala

5) VI.2. Saran INI UTK PRIORITAS MASALAH ATAU SEMUANYA??? VI.2.1. Bagi Puskesmas Kelurahan Kayu Putih 1) Melakukan pelatihan bagi para kader sehingga program pelaksanaan P2D dapat terlaksana dan kegiatan-kegiatan penyuluhan dapat dilakukan lebih baik 2) Membuat pencatatan dan pelaporan yang baik dan lengkap, sehingga program yang diusulkan dapat terlaksana dengan baik dan memungkinkan evaluasi setiap tahun. 3) Dengan dilakukannya evaluasi tiap tahun, data tersebut dapat jadikan dasar keberhasilan suatu program dan digabungkan dengan instasi kesehatan lainnya. 4) Peningkatan pelatihan penyuluhan kader secara berkala yang terintegrasi agar dapat dilakukan penyampaian informasi secara menarik dan efektif kepada masyarakat. 5) Menambah jumlah tenaga kesehatan di Puskesmas sehingga seluruh programnya dapat berjalan dengan baik. VI.2.2. Bagi Pendidikan Membantu Puskesmas dalam penyediaan sarana dan prasarana yang diperlukan untuk penyuluhan (misalnya poster, flipchart, leaflet mengenai diare). Memberi kesempatan pada mahasiswa yang sedang menjalani kepanitraan untuk berinteraksi dan memberikan penyuluhan ke masyararakat. Memberi kesempatan pada mahasiswa untuk dapat membatu pelaksanaan evaluasi program P2D secara berkala. VI.2.3. Bagi Kader dan Masyarakat Lebih turut berperan serta secara aktif dalam setiap kegiatan yang dilakukan Puskesmas termasuk penyuluhan diare sehingga dapat menurunkan angka kesakitan akibat diare. Lebih aktif dalam melaporkan kasus diare kepada kader setempat ataupun petugas Puskesmas. Fasilitas kesehatan diluar Puskesmas sebaiknya melakukan pelaporan dan pencatatan kasus diare yang ditangani ke Puskesmas.

DAFTAR PUSTAKA 1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Buku ajar diare. Pendidikan Medik Pemberantasan Diare. Jakarta : Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. 1999. 2. Diare akut. Dalam : Sudoyo AW, dkk (ed). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI; 2006. 3. Ghishan FK. Chronic diarrhea. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, editors. Nelson textbook of pediatrics 17th ed. Philadelphia: Saunders; 2004. p.1276-1281. 4. World Health Organization. Pocket book of hospital care for children, guidelines for the management of common illnesses with limited resources. Geneva: World Health Organization; 2005.
5. Frye RE, Tamer MA. Diarrhea. Diunduh dari : http://www.emedicine.com pada 13

Novemeber 2009 6. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Angka kejadian diare masih tinggi. Diunduh dari :http://www.depkes.go.id. Diakses pada tanggal 13 November 2009.
7. World Health Organization dan United Nations Children Foundation. Clinical management

on acute diarrhoea. Geneva : World Health Organization and United Nations joint statement; 2007. Diunduh dari : http://whqlibdoc.who.int/hq/2004/WHO_FCH_CAH_04.7.pdf pada 14 Novemeber 2009 8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Program pedoman kerja puskesmas jilid II. 1999 9. Departemen Kesehatan RI. Buku Ajar Diare: Pendidikan Medik Pemberantasan Diare (PMPD). Jakarta:Depkes RI Direktorat Jenderal PPM&PL, 1999. h.3-14 10. Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta. Standar Penanggulangan Penyakit Diare. Volume 7 Edisi 1, Jakarta:Depkes RI,1999. h.1-88. 11. Azwar A. Sistem Kesehatan. Dalam: Pengantar Administrasi Kesehatan. Edisi 3. Jakarta:Bina Rupa Aksara, 1998. h30-34. 12. Departemen Kesehatan RI. Kepmenkes RI No. 1216/ MENKES/ SK/ XI/ 2001 Tentang Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare. Edisi ke-4, Jakarta:Depkes RI,2005. 13. Kanwil Departemen Kesehatan DKI Jakarta. Stratafikasi Puskesmas 2003.Jakarta : 2003

14. Azwar A. Sistem Kesehatan. Dalam: Pengantar Administrasi Kesehatan. Edisi 3. Jakarta:Bina Rupa Aksara, 1998. 15. Laporan Tahunan Puskesmas Kelurahan kayu Putih 2008 16. Laporan Bulanan Penanggung Jawab program P2Diare di Puskesmas Kelurahan Kayu Putih periode Januari-Desember 2008

You might also like