You are on page 1of 153

BAB I PENGANTAR PSIKOLOGI BELAJAR

Salah satu ciri dari pembelajaran matematika masa kini adalah penyajiannya didasarkan pada teori psikologi pembelajaran. Sesuai dengan ciri tersebut, pada matakuliah psikologi belajar matematika akan dibahas mengenai konsep dasar psikologi belajar, perkembangan berbagai teori pembelajaran dan penerapannya dalam pengajaran matematika. Pembicaraan mengenai matematika sekolah dan pembelajarannya tidak akan lepas dari teori psikologi yang mendasarinya. Ibarat gula denggan manisnya yang tidak akan terlepas. Jika lepas manisnya, maka namanya bukan gula lagi dan sebaliknya. Pada pembicaraan mengenai pembelajaran matematika di sekolah, jika terlepas dari psikologi pembelajaran yang mendasarinya, maka bukan lagi disebut dengan pembelajaran. Hai ini dikarenakan, proses pembelajaran adalah pembentukan diri siswa untuk menuju pada pembangunan manusia seutuhnya, jadi tidak melalui trial and error. Siswa adalah manusia yang sedang mengembangkan diri secara utuh dan tidak boleh dianggap sebagai kelinci percobaan. Dengan kata lain instrumental inputnya dalam pembelajaran harus dijamin keberhasilannya. A. Pengertian dan Klasifikasi Psikologi Psikologi berasal dari kata Yunani psyche = jiwa dan logos = ilmu, sehingga psikologi dapat didefinisikan: ilmu yang mempelajari gejala-gejala kejiwaan berupa tingkah laku manusia. Gejala kejiwaan diklasifikasikan: 1. Gejala pengenalan (kognitif) Meliputi: a. Pengamatan: usaha manusia untuk mengenal dunia riil, baik mengenal diri sendiri, maupun mengenal dunia sekitarnya melalui panca inderanya, yaitu dengan: melihat, mendengar, membau, meraba, dan mengecap. Agar orientasi pengamatan dapat berhasil dengan baik, maka diperlukan aspek pengaturan terhadap objek yang diamati, yaitu: 1) Aspek pengaturan menurut sudut pandang ruang. Dunia pengamatan dilukiskan dalam pengertian-pengertian: atas-bawah, kanan-kiri, jauh-dekat, tinggi-rendah. 2) Aspek pengaturan menurut sudut pandang waktu. Dunia pengamatan dilukiskan dalam pengertian-pengertian: masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang. 3) Aspek pengaturan menurut sudut pandang Gestalt. Obyek yang diamati diberi arti sebagai suatu kesatuan yang utuh, bukan sebagai bagian yang terlepas-lepas. Misal: dalam melihat rumah dipandang sebagai suatu bangunan secara utuh, bukan dipandang sebagai pakunya atau batu batanya.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

4) Aspek pengaturan menurut sudut pandang arti. Obyek yang diamati diberi arti menurut artinya bagi kita. Misal: sebuah pabrik dan sebuah sekolah dipandang dari segi bangunan banyak menunjukkan persamaan, tetapi dipandang dari segi artinya menunjukkan hal yang sangat berbeda. b. Tanggapan: bayangan atau kesan yang tertinggal di dalam diri kita setelah kita melakukan pengamatan terhadap suatu objek. Tanggapan tidak hanya dapat menghidupkan kembali apa yang telah diamati (masa lampau), tetapi juga dapat mengantisipasikan sesuatu yang akan datang, atau yang mewakili saat ini. Sehubungan dengan hal tersebut, maka tanggapan dibedakan menjadi 3 macam: 1) Tanggapan masa lampau/ tanggapan ingatan. 2) Tanggapan masa yang akan datang/ tanggapan mengantisipasikan. 3) Tanggapan masa kini/ tanggapan representatif. Berdasarkan indera yang dipergunakan untuk melakukan pengamatan, tanggapan dapat dibedakan menjadi: 1) Tanggapan visual hasil pengamatan yang dilakukan dengan indera mata. 2) Tanggapan auditif hasil pengamatan yang dilakukan dengan indera telinga. 3) Tanggapan olfaktorik hasil pengamatan yang dilakukan dengan indera hidung. 4) Tanggapan gustatif hasil pengamatan yang dilakukan dengan indera pengecap. 5) Tanggapan taktil hasil pengamatan yang dilakukan dengan indera raba. Tanggapan mempunyai peranan yang penting dalam proses belajar, terutama dalam proses memperoleh pengertian. Proses tersebut melalui urutan sebagai berikut: 1) Pengamatan 2) Bayangan pengiring bayangan yang timbul setelah kita melihat sesuatu warna untuk beberapa saat, kemudian mengalihkan pandangan ke suatu latar belakang yang putih. 3) Bayangan eidetik bayangan yang sangat jelas dan hidup, sehingga orang yang memiliki tanggapan seolah-olah mengamati kembali obyek atau peristiwanya. 4) Tanggapan 5) Pengertian. c. Ingatan: kemampuan rohaniah untuk mencamkan, menyimpan, dan mereproduksi kesan-kesan.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

d. Fantasi: kemampuan jiwa untuk membentuk tanggapan-tanggapan baru dengan pertolongan tanggapan-tanggapan yang telah ada, dan tanggapan yang baru tidak harus sama atau sesuai dengan benda-benda yang ada. Fantasi dibedakan menjadi: 1) Fantasi yang tidak disadari: melamun. 2) Fantasi yang disadari: fantasi mencipta (mengarang lagu, tarian), dan fantasi terpimpin/ tuntunan (mendengarkan sandiwara radio).

Kegunaan fantasi: 1) Fantasi merupakan sarana memahami orang lain. 2) Fantasi memungkinkan subyek melepaskan diri dari keterikatannya terhadap tempat dan waktu, sehingga memungkinkan bagi subyek untuk mempelajari ilmu bumi dan sejarah. 3) Fantasi dapat membantu subyek untuk bercita-cita. 4) Fantasi memungkinkan orang untuk melepaskan diri dari kesukaran yang dihadapi di alam riil. Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya fantasi: 1) Adanya waktu yang kosong. 2) Tidak adanya kesibukan yang menentu. 3) Adanya harapan-harapan (cita-cita) yang besar. 4) Adanya berbagai kesulitan pemecahan masalah. 5) Adanya berbagai macam kelemahan pribadi yang menyebabkan yang bersangkutan lari ke fantasi untuk membuat ego defence. 6) Sedang dirundung asmara, dll. e. Asosiasi: hubungan antara tanggapan yang satu dengan tanggapan yang lain. Misal: jika kita menyebut tikus, maka kita akan teringat kucing. Asosiasi terjadi berdasarkan hukum asosiasi sebagai berikut: 1) Hukum berurutan: beberapa tanggapan yang dialami seseorang secara berturutan, akan membentuk asosiasi. 2) Hukum serentak: beberapa tanggapan yang dialami secara serentak/ dalam waktu yang bersamaan, cenderung berasosiasi satu dengan yang lain. 3) Hukum kesamaan/ kesesuaian: beberapa tanggapan yang serupa, atau mirip, atau identik satu dengan yang lain akan berasosiasi. 4) Hukum berlawanan: tanggapan yang berlawanan satu dengan yang lain cenderung berasosiasi. f. Berpikir: proses dinamis dimana subjek membuat hubungan antara objek dengan bagian-bagian pengetahuan yang sudah dimiliki. Berpikir dibedakan menjadi: 1) Berpikir reflektif: kemampuan individu dalam menyeleksi pengetahuan (yang revelan dengan tujuan masalah) yang pernah diperoleh. Proses-proses mental yang menyertai dalam berpikir reflektif adalah sebagai berikut: a) Direction perhatian dan minat yang diarahkan pada tujuan. b) Interpretation interpretasi terhadap hubungan-hubungan yang terdapat pada tujuan yang akan dicapai.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

c) Selection mengingat kembali dan memilih pengetahuan-pengetahuan yang sudah pernah diperoleh. d) Insight adanya pengertian individu tentang hubungan antara pengetahuan-pengetahuan dengan tujuan yang akan dicapai. e) Creation pembentukan pola-pola mental baru. f) Criticism Penilaian terhadap kesanggupan menyelesaikan permasalahan. Langkah-langkah berpikir reflektif: a) Individu merasakan adanya problem. b) Individu melokalisasi/ memberi batasan kesukaran pemahaman terhadap problem. c) Individu menemukan hubungan-hubungan (memformulasikan hipotesishipotesis). d) Individu mengevaluasi hipotesis-hipotesis. e) Individu menerapkan cara pemecahan persoalan kemudian menyimpulkannya. 2) Berpikir kreatif: proses berpikir melalui prosedur dengan cara-cara baru dan tak dapat dikira-kira sebelumnya sehingga memperoleh hasil yang orisinil. Langkah-langkah berpikir kreatif: a) Tahap persiapan bahan-bahan atau pengetahuan dikumpulkan dan disusun secara integral dan terus-menerus. b) Tahap inkubasi kemungkinan besar aspek-aspek pernyataan yang kreatif bersifat samar-samar. c) Tahap insight/ pemahaman hasil proses berpikir yang kontinu sehingga individu sadar akan hubungan-hubungan yang sebelumnya tidak diketahui hingga menemukan pemahaman baru. g. Kecerdasan/ sosial, dan intelegensi: menampakkan kemampuan adanya mengendalikan serta aktivitas-aktivitas untuk

dengan ciri-ciri sukar, kompleks, abstrak, ekonomis (tepat), bertujuan, bernilai keaslian, kemampuan mempertahankan kegiatan-kegiatan seperti itu dalam kondisi yang memerlukan konsentrasi energi dan berlawanan dengan kekuatan-kekuatan emosional. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan: 1) Faktor bawaan/ warisan: orang tua 2) Faktor lingkungan: gizi yang dikonsumsi dan rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional. 2. Gejala perasaan (afektif) Gejala psikis yang bersifat subyektif, berhubungan dengan gejala-gejala mengenal, dialami dalam kualitas senang atau tidak senang dalam berbagai taraf. Perasaan dibedakan sebagai berikut: a. Perasaan jasmaniah: 1) Perasaan indriah: sedap, asin, pahit, dll. 2) Perasaan vital: segar, lemah, tak berdaya, dll. b. Perasaan rohaniah: perasaan keagamaan, intelektual, kesusilaan, keindahan, sosial dan harga diri. 3. Gejala kehendak/ psikomotorik/ motif (konatif) keadaan dalam pribadi manusia yang mendorong untuk melakukan kegiatankegiatan tertentu guna mencapai suatu tujuan.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

Berdasarkan bentuknya, motif digolongkan sebagai berikut: a. Motif bawaan: motif yang dibawa sejak lahir tanpa dipelajari. Misal: makan, tidur, dll. b. Motif yang dipelajari: motif yang ditimbulkan karena dipelajari. Misal: berteman, bersahabat. Berdasarkan sumber rangsangan, motif dibedakan sebagai berikut: a. Motif ekstrinsik: motif yang terjadi karena pengaruh rangsangan dari luar. b. Motif instrinsik: motif yang terjadi karena pengaruh rangsangan dari dalam diri sendiri. Berdasarkan isi, motif dibedakan sebagai berikut: a. Motif jasmaniah. Misal: refleks, insting, nafsu, dan hasrat. b. Motif rohaniah yaitu kemauan. 4. Gejala campuran (kombinasi) campuran dari kognitif, afektif, dan konatif. Ada 3 macam gejala campuran yaitu: a. Perhatian Ada 2 macam arti perhatian: 1) Perhatian merupakan pemusatan tenaga psikis yang tertuju pada sesuatu obyek. 2) Perhatian adalah pendayagunaan kesadaran untuk menyertai suatu aktivitas. Berdasarkan cara kerjanya, perhatian dibedakan sebagai berikut: 1) Perhatian spontan: perhatian yang tidak disengaja atau tidak sekehendak subyek. 2) Perhatian refleksif: perhatian yang disengaja atau sekehendak subyek. Berdasarkan intensitasnya, perhatian dibedakan sebagai berikut: 1) Perhatian intensif: perhatian yang banyak menyertakan aspek kesadarannya. 2) Perhatian tidak intensif: perhatian yang tidak banyak menyertakan aspek kesadarannya. Berdasarkan luasnya, perhatian dibedakan sebagai berikut: 1) Perhatian terpusat: perhatian yang tertuju pada lingkup obyek yang sangat terbatas. 2) Perhatian terpencar: perhatian yang tertuju pada lingkup obyek yang luas atau tertuju kepada bermacam-macam obyek. b. Sugesti pengaruh yang diterima oleh seseorang yang datangnya dari luar atau dalam diri sendiri yang mengesampingkan pikiran, perasaan, dan kemauan. Oto sugesti: pengaruh yang datangnya dari dalam diri sendiri. c. Kelelahan Kelelahan terjadi jika orang melakukan banyak kegiatan, baik fisik yang bersifat jasmani atau rohani, sedangkan energi yang dipakai untuk melakukan kegiatan tersebut terbatas. Kelelahan ada 2 macam:

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

1) Kelelahan jasmani: kelelahan karena akibat kegiatan fisik. 2) Kelelahan rohani: kelelahan sebagai akibat aktivitas otak. Psikologi dibedakan menjadi:

umum : gejala - gejalajiwasecara umum. psikologi khusus : gejalajiwakhusus padaaspekkehidupan manusia. psikologi
Psikologi khusus diklasifikasikan menjadi: 1. Psikologi perkembangan psikologi yang mempelajari perubahan-perubahan tingkah laku yang sejalan dengan umur (kehidupan sebelum lahir hingga usia tua). 2. Psikologi anak psikologi yang mempelajari perkembangan masa anak-anak. 3. Psikologi sosial psikologi yang mempelajari terutama tingkah laku tingkah individu laku dalam individu hubungannya dengan kelompok, bagaimana

dipengaruhi kelompoknya. 4. Psikologi klinis psikologi yang mempelajari kelainan-kelainan tingkah laku, mengadakan diagnosis psikologik, serta psikoterapi, di samping mengadakan penelitian-penelitian dan pengetesan dalam bidang tersebut. 5. Psikologi industri psikologi yang mempelajari masalah-masalah perusahaan atau industri. 6. Psikologi pendidikan psikologi yang mempelajari penggunaan psikologi dalam masalah pendidikan. 7. Psikologi kepribadian psikologi yang mempelajari sifat dan watak manusia. 8. Psikologi abnormal psikologi yang mempelajari perilaku-perilaku menyimpang dari orang-orang yang mengalami gangguan atau kelainan mental. 9. Psikometri psikologi yang mempelajari pengukuran dan mengembangkan tes. B. Kedudukan Psikologi Pendidikan di Sekolah Psikologi pendidikan merupakan ilmu pengetahuan yang menyelidiki segi-segi psikologi dalam situasi pendidikan (sekolah). Psikologi pendidikan sebagai bagian dari studi psikologi, berusaha sejauh mungkin untuk lebih berhasil dalam memformulasikan tujuan pendidikan, penyususunan kurikulum dan pengorganisasian proses belajar mengajar. Psikologi pendidikan di sekolah berusaha memecahkan masalah-masalah, antara lain: 1. Pengaruh pembawaan dan lingkungan atas belajar. 2. Teori dan proses belajar. 3. Hubungan antara taraf kematangan dengan taraf kematangan dengan taraf kesiapan belajar. 4. Perbedaan individu dan pengaruhnya terhadap hasil pendidikan. 5. Perubahan batiniah yang terjadi selama belajar. 6. Hubungan antara teknik mengajar dan hasil belajar.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

7. Teknik evaluasi yang efektif atas kemajuan yang dicapai anak didik. 8. Perbandingan hasil pendidikan formal dan pendidikan informal atas individu. 9. Nilai sikap ilmiah terhadap pendidikan yang dimiliki para petugas pendidikan (guru). 10. Pengasuh kondisi sosial anak didik atas pendidikan yang diterima. Mengingat pentingnya peran psikologi pendidikan di sekolah tersebut, maka kedudukan psikologi pendidikan merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan tujuan pendidikan dan tujuan proses belajar mengajar. C. Manfaat Psikologi Pendidikan sebagai Calon Guru Calon guru yang sedang menjalankan pre-service training dan guru yang menjalani in-service training perlu memiliki pengetahuan tentang psikologik pendidikan, mengingat syarat-syarat mengajar yang efektif bagi tercapainya tujuan. Berikut ini dikemukaan persiapan psikologis sebelum menjadi guru: 1. Calon guru harus mempunyai pengetahuan dan pemahaman tentang dasar-dasar psikologi perkembangan dan perilaku manusia. 2. Mempunyai keterampilan minimal dalam menggunakan teknik-teknik yang tepat untuk mempelajari kemampuan, minat dan tingkat kesiapan belajar siswanya. 3. Mampu mempertimbangkan nilai-nilai psikologik dari bermacam-macam prosedur mengajar. 4. Dalam menganalisis dan meneliti cara belajar, kekuatan dan kelemahan belajarnya sendiri setelah mempelajari aspek-aspek psikologik dari pendidikan.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

BAB II PERBEDAAN INDIVIDUAL


A. Pendahuluan Setiap individu adalah unik. Artinya setiap individu memiliki perbedaan antara yang satu dengan yang lain. Perbedaan tersebut bermacam-macam, mulai dari perbedaan fisik, pola berpikir dan cara merespon atau mempelajari hal-hal baru. Dalam hal belajar, masing-masing individu memiliki kelebihan dan kekurangan dalam menyerap pelajaran yang diberikan. Oleh karena itu, dalam dunia pendidikan dikenal berbagai metode untuk dapat memenuhi tuntutan perbedaan individu tersebut. Di negara-negara maju sistem pendidikan bahkan dibuat sedemikian rupa sehingga individu dapat dengan bebas memilih pola pendidikan yang sesuai dengan karakteristik dirinya. Di Indonesia seringkali kita mendengar keluhan dari orangtua yang merasa sudah melakukan berbagai cara untuk membuat anaknya menjadi pintar. Orangtua berlomba-lomba menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah terbaik. Selain itu anak diikutkan dalam berbagai kursus maupun les privat yang terkadang menyita habis waktu yang seharusnya bisa dipergunakan anak atau remaja untuk bermain atau bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya. Namun demikian usaha-usaha tersebut seringkali tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan, bahkan ada yang justru menimbulkan masalah bagi anak dan remaja. Apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa anak-anak tersebut tidak kunjung pintar? Salah satu faktor yang dapat menjadi penyebabnya adalah ketidaksesuaian cara belajar yang dimiliki oleh sang anak dengan metode belajar yang diterapkan dalam pendidikan yang dijalaninya termasuk kursus atau les privat. Cara belajar yang dimaksudkan disini adalah kombinasi dari bagaimana individu menyerap, lalu mengatur dan mengelola informasi. Otak Sebagai Pusat Belajar Otak manusia adalah kumpulan massa protoplasma yang paling kompleks yang ada di alam semesta. Satu-satunya organ yang dapat mempelajari dirinya sendiri dan jika dirawat dengan baik dalam lingkungan yang menimbulkan rangsangan yang memadai, otak dapat berfungsi secara aktif dan reaktif selama lebih dari seratus tahun. Otak inilah yang menjadi pusat belajar sehingga harus dijaga dengan baik sampai seumur hidup agar terhindar dari kerusakan. Menurut Mac Lean, otak manusia memiliki tiga bagian dasar yang seluruhnya dikenal sebagai triune brain/ three in one brain (dalam DePorter & Hernacki). Bagian pertama adalah batang otak, bagian kedua adalah sistem limbik, dan yang ketiga adalah neokorteks. Batang otak memiliki kesamaan struktur dengan otak reptil, bagian otak ini bertanggungjawab atas fungsi-fungsi motorik-sensorik-pengetahuan fisik yang berasal

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

dari panca indera. Perilaku yang dikembangkan pada bagian ini adalah perilaku untuk mempertahankan hidup, dan dorongan untuk mempertahankan spesies. Di sekeliling batang otak terdapat sistem limbik yang sangat kompleks dan luas. Sistem ini berada di bagian tengah otak manusia. Fungsinya bersifat emosional dan kognitif yaitu menyimpan perasaan, pengalaman yang menyenangkan, memori dan kemampuan belajar. Selain itu, sistem ini mengatur bioritme tubuh seperti pola tidur, lapar, haus, tekanan darah, jantung, gairah seksual, temperatur, kimia tubuh, metabolisme dan sistem kekebalan. Sistem limbik adalah panel kontrol dalam penggunaan informasi dari indra penglihatan, pendengaran, sensasi tubuh, perabaan, penciuman sebagai input yang kemudian informasi ini disampaikan ke pemikir dalam otak yaitu neokorteks. Neokorteks terbungkus di sekitar sisi sistem limbik, yang merupakan 80% dari seluruh materi otak. Bagian ini merupakan tempat bersemayamnya pusat kecerdasan manusia. Bagian inilah yang mengatur pesan-pesan yang diterima melalui penglihatan, pendengaran dan sensasi tubuh manusia. Proses yang berasal dari pengaturan ini adalah penalaran, berpikir intelektual, pembuatan keputusan, perilaku normal, bahasa, kendali motorik sadar, dan gagasan non verbal. Dalam neokorteks ini pula kecerdasan yang lebih tinggi berada, diantaranya adalah: kecerdasan linguistik, matematika, spasial/ visual, kinestetik/ perasa, musikal, interpersonal, intrapersonal dan intuisi. B. Perbedaan Karakteristik Cara Belajar Individu Berdasarkan kemampuan yang dimiliki otak dalam menyerap, mengelola dan menyampaikan informasi, maka cara belajar individu dapat dibagi dalam tiga kategori. Ketiga kategori tersebut adalah cara belajar visual, auditorial dan kinestetik yang ditandai dengan ciri-ciri perilaku tertentu. Pengkategorian ini tidak berarti bahwa individu hanya memiliki salah satu karakteristik cara belajar tertentu sehingga tidak memiliki karakteristik cara belajar yang lain. Pengkategorian ini hanya merupakan pedoman bahwa individu memiliki salah satu karakteristik yang paling menonjol, sehingga jika ia mendapatkan rangsangan yang sesuai dalam belajar maka akan memudahkannya untuk menyerap pelajaran. Dengan kata lain jika individu menemukan metode belajar yang sesuai dengan karakteristik cara belajar dirinya maka akan cepat ia menjadi pintar sehingga kursus-kursus atau pun les privat secara intensif mungkin tidak diperlukan lagi. Adapun 1. ciri-ciri perilaku individu dengan karakteristik cara belajar seperti disebutkan diatas, menurut De Porter & Hernacki, adalah sebagai berikut: Karakteristik perilaku individu dengan cara belajar visual Individu yang memiliki kemampuan belajar visual yang baik ditandai dengan ciri-ciri perilaku sebagai berikut: a. b. c. d. Rapi dan teratur. Berbicara dengan cepat. Mampu membuat rencana jangka pendek dengan baik. Teliti dan rinci. 9

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p. q. r. s.

Mementingkan penampilan. Lebih mudah mengingat apa yang dilihat daripada apa yang didengar. Mengingat sesuatu berdasarkan asosiasi visual. Memiliki kemampuan mengeja huruf dengan sangat baik. Biasanya tidak mudah terganggu oleh keributan atau suara berisik ketika sedang belajar. Sulit menerima instruksi verbal (oleh karena itu seringkali ia minta instruksi secara tertulis). Merupakan pembaca yang cepat dan tekun. Lebih suka membaca daripada dibacakan. Lupa menyampaikan pesan verbal kepada orang lain. Dalam memberikan respon terhadap segala sesuatu, ia selalu bersikap waspada, membutuhkan penjelasan menyeluruh tentang tujuan dan berbagai hal lain yang berkaitan. Jika sedang berbicara di telpon ia suka membuat coretan-coretan tanpa arti selama berbicara. Sering menjawab pertanyaan dengan jawaban singkat ya atau tidak. Lebih suka mendemonstrasikan sesuatu daripada berpidato/ berceramah. Lebih tertarik pada bidang seni (lukis, pahat, gambar) daripada musik. Seringkali tahu apa yang harus dikatakan, tetapi tidak pandai menuliskan dalam kata-kata.

2.

Karakteristik perilaku individu dengan cara belajar auditorial Individu yang memiliki kemampuan belajar auditorial yang baik ditandai dengan ciriciri perilaku sebagai berikut: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. Sering berbicara sendiri ketika sedang bekerja. Mudah terganggu oleh keributan atau suara berisik. Lebih senang mendengarkan (dibacakan) daripada membaca. Jika membaca maka lebih senang membaca dengan suara keras. Dapat mengulangi atau menirukan nada, irama dan warna suara. Mengalami kesulitan untuk menuliskan sesuatu, tetapi sangat pandai dalam bercerita. Berbicara dalam irama yang terpola dengan baik. Berbicara dengan sangat fasih. Lebih menyukai seni musik dibandingkan seni yang lainnya. Belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan daripada apa yang dilihat. Senang berbicara, berdiskusi dan menjelaskan sesuatu secara panjang lebar. Mengalami kesulitan jika harus dihadapkan pada tugas-tugas yang berhubungan dengan visualisasi. Lebih pandai mengeja atau mengucapkan kata-kata dengan keras daripada menuliskannya. Lebih suka humor atau gurauan lisan daripada membaca buku humor/ komik.

3.

Karakteristik perilaku individu dengan cara belajar kinestetik Individu yang memiliki kemampuan belajar kinestetik yang baik ditandai dengan ciriciri perilaku sebagai berikut: a. b. c. d. e. Berbicara dengan perlahan. Menanggapi perhatian fisik. Menyentuh orang lain untuk mendapatkan perhatian mereka. Berdiri dekat ketika sedang berbicara dengan orang lain. Banyak gerak fisik. 10

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p.

Memiliki perkembangan otot yang baik. Belajar melalui praktek langsung atau manipulasi. Menghafalkan sesuatu dengan cara berjalan atau melihat langsung. Menggunakan jari untuk menunjuk kata yang dibaca ketika sedang membaca. Banyak menggunakan bahasa tubuh (non verbal). Tidak dapat duduk diam di suatu tempat untuk waktu yang lama. Sulit membaca peta kecuali ia memang pernah ke tempat tersebut. Menggunakan kata-kata yang mengandung aksi. Pada umumnya tulisannya jelek. Menyukai kegiatan atau permainan yang menyibukkan (secara fisik). Ingin melakukan segala sesuatu

Dengan mempertimbangkan dan melihat cara belajar apa yang paling menonjol dari diri seseorang maka orangtua atau individu yang bersangkutan (yang sudah memiliki pemahaman yang cukup tentang karakter cara belajar dirinya) diharapkan dapat bertindak secara arif dan bijaksana dalam memilih metode belajar yang sesuai. C. Perbedaan Jenis Kelamin dalam Kemampuan Spesifik Pria dan wanita memiliki nilai yang kira-kira sama pada tes inteligensia. (seperti Stanford-Binet dan Wechsler Intelligence Scales). Sebagian besar tes inteligensia disusun untuk meminimalkan perbedaan jenis kelamin dengan menghapus soal yang menunjukkan perbedaan jenis kelamin atau dengan menyeimbangkan soal yang menguntungkan pria dengan yang menguntungkan wanita. Tetapi, sampai sekarang, tes kemampuan spesifik telah menunjukkan suatu perbedaan antara pria dan wanita. Wanita rata-ratanya memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan pria pada kemampuan verbal. Pria rata-ratanya memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan wanita pada penalaran kecakapan matematika dan visual-spasial. Kecakapan visual spasial diperlukan untuk tugas seperti mengkonseptualisasikan bagaimana suatu benda di dalam ruang terlihat dari sudut pandang yang berbeda dan membaca peta atau cetak biru. Perbedaan jenis kelamin dalam kemampuan kognitif itu, yang telah diamati hampir sejak awal pengujian sistematik, tampaknya semakin menghilang. Analisis selama lebih dari 3 dasawarsa (dari 1947 sampai 1980) terhadap nilai tes kemampuan spesifik yang diberikan kepada siswa sekolah lanjutan di seluruh Amerika menemukan bahwa perbedaan antara anak pria dan wanita menurun secara progresif selama periode tersebut. Analisis terakhir yang meninjau ratusan penelitian perbedaan jenis kelamin pada kemampuan yang dilakukan selama 20 tahun terakhir mencapai kesimpulan yang sama: kecakapan verbal pria semakin meningkat dari tahun ke tahun sehingga menyamai wanita, sedangkan kecakapan wanita pada tes penalaran matematika telah meningkat sehingga menyamai pria. Satu-satunya tes yang terus menunjukkan perbedaan pada kemampuan tersebut adalah SAT (Scholastic Aptitude Test); pria dan wanita memiliki nilai yang kira-kira sama pada bagian verbal tetapi pria memiliki nilai yang lebih tinggi secara bermakna pada bagian matematika.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

11

Fakta bahwa perbedaan jenis kelamin telah menurun selama tahun demi tahun menyatakan bahwa perbedaan nilai tes dahulu mencerminkan perbedaan latihan dan harapan sosial: sampai belum lama ini, anak perempuan didorong untuk mengembangkan minat dalam puisi dan literatur; anak laki-laki diharapkan lebih memperhatikan hal-hal ilmiah dan mekanika. Walaupun masyarakat semakin mengakui kesederajatan antara pria dan wanita, dan orangtua serta guru semakin tidak stereotipe terhadap kemampuan yang mereka dorongkan, masih terdapat perbedaan dalam cara bagaimana anak laki-laki dan perempuan diperlakukan sehingga banyak anak perempuan kurang percaya diri dalam bidang matematika. Orangtua masih percaya ilmu pengetahuan dan matematika kurang penting bagi anak perempuan dibandingkan bagi anak laki-laki; mereka cenderung membesarbesarkan kemampuan anak laki-laki mereka di dalam bidang tersebut dan meremehkan kemampuan anak perempuannya. Dan mereka lebih sering membeli komputer dan permainan ilmiah untuk anak laki-laki dibandingkan anak untuk perempuan. Guru pelajaran ilmiah dan matematika juga cenderung memberikan lebih banyak dorongan dan penguatan bagi anak laki-laki dibandingkan untuk anak perempuan. Jadi, perbedaan pada tes matematika SAT mungkin mencerminkan perbedaan percaya diri pada laki-laki dan perempuan. Tampaknya pula pertanyaan matematika menunjukkan bias ke arah pria. Sebagai contohnya, soal mengambil situasi dari olahraga di mana laki-laki lebih mengenalnya. Satu bidang kemampuan kognitif yang terus menunjukkan perbedaan jenis kelamin yang konsisten adalah hubungan visual-spasial. Tes masih menunjukkan nilai yang lebih tinggi untuk pria, terutama jika tugas itu ditentukan waktunya dan mengharuskan rotasi mental terhadap objek. Perbedaan jenis kelamin pada kemampuan spasial mungkin turut menyebabkan perbedaan jenis kelamin dalam kemampuan matematika, karena visualisasi spasial adalah salah satu strategi untuk memecahkan soal matematika. Akan menarik mencari tahu apakah perbedaan jenis kelamin di kemampuan spasial akan berkurang tahun demi tahun kemudian, saat lingkungan untuk wanita berubah. Sebagian peneliti berpendapat hal itu akan terjadi. Peneliti lain berpendapat bahwa perbedaan jenis kelamin dalam kemampuan visual-spasial berakar dari pengaruh hormon seks pada perkembangan otak selama periode janin. Mereka menyatakan bahwa kemampuan memvisualisasikan objek secara mental berhubungan dengan kecepatan pertumbuhan kedua hemisfer serebral; hormon pria, testosteron, mungkin memperlambat perkembangan hemisfer kiri, yang menyebabkan hemisfer kanan yang sangat terspesialisasi pada pria. D. 1. Pengaruh Faktor Keturunan dan Lingkungan Pengaruh faktor keturunan (heriditer) Menurut ahli biologi, terjadinya individu adalah akibat bertemunya sel jantan dan sel betina. Baik sel jantan maupun sel betina terdiri dari chromosome-chromosome yang

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

12

berupa benang-benang protoplasma yang berpasangan. Pada setiap species (jenis makhluk) jumlah dan bentuk chromosome-nya selalu sama. Dan bila speciesnya berbeda, akan berbeda pula jumlah dan bentuk chromosome-nya. Tiap chromosome mengandung unsur-unsur yang mengandung gene-gene, berupa bintik-bintik dan letaknya menyerupai mata kalung yang tersusun secara linier dan terikat pada pasangan-pasangan chromosome. Gene yang berasal dari chromosome sel jantan saling berpasangan dengan gene yang berasal dari chromosome sel betina.dengan cara yang berbeda-beda. Cara yang berbeda-beda inilah yang menyebabkan perbedaan sifat individu. Dan perbedaan sifat individu inilah yang akhirnya menjadi penyebab terjadinya perbedaan individu manusia berdasarkan faktor keturunan. 2. Pengaruh faktor lingkungan (melieu) Lingkungan membawa pengaruh pada individu yang berada di lingkungan tersebut. Lingkungan meliputi: a. Lingkungan Statis (keadaan tempat dan alam) Orang yang tinggal di daerah pegunungan tentu akan beda dengan orang yang tinggal di daerah ngarai. Dari segi jasmani, orang yang tinggal di daerah pegunungan badannya akan lebih kuat, paru-parunya lebih bersih daripada orang yang tinggal di daerah ngarai. Sebaliknya dari segi rohani, orang yang tinggal di daerah ngarai pada umumnya lebih bisa menggunakan akalnya daripada orang yang tinggal di daerah pegunungan. Jadi lingkungan statis berpengaruh terhadap perbedaan individu baik dari segi jasmani maupun rohani. b. Lingkungan Dinamis (keadaan sosial atau manusia) Dari segi jasmani, orang yang tinggal di daerah perkampungan orang yang suka olahraga untuk kesehatan, besar kemungkinan akan ikut-ikutan yang akhirnya menjadi kebiasaan dan mendatangkan kesehatan bagi dirinya. Dari segi rohani, orang yang tinggal di lingkungan atau daerah hitam besar kemungkinan akan terpengaruh menjadi orang jahat. Sebaliknya orang yang tinggal di lingkungan orangorang yang tekun beragama sedikit banyak tentu akan mempengaruhinya, dan besar kemungkinan dia akan menjadi orang baik-baik meskipun semula termasuk orang jahat. E. Pengaruh Faktor Kognitif, Afektif, Psikomotor dan Campuran Kognitif, afektif, dan psikomotor adalah aspek-aspek kepribadian yang sering disama-artikan dengan aspek cipta, karsa, dan karya. Ketiga istilah ini berasal dari ahli yang berbeda. Kognitif (aspek penalaran) dikembangkan oleh Bloom; afektif (aspek budi pekerti) dikembangkan oleh Krathwohl; psikomotor (aspek keterampilan psikomotor) dikembangkan oleh Simpson. 1. Pengaruh faktor kognitif Faktor kognitif secara garis besar dapat dijabarkan sebagai berikut:

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

13

a. perangkat. b. c. d.

Mengetahui Mengenali kembali hal-hal yang umum dan khas, mengenali kembali metode dan proses, mengenali kembali pola, struktur, dan Mengerti Memahami Mengaplikasikan dalam situasi-situasi konkrit. Menganalisis Menjabarkan sesuatu ke dalam unsur-unsur, bagian-bagian atau komponen-komponen sedemikian rupa, sehingga tampak jelas susunan atau hirarki gagasan yang ada di dalamnya, atau tampak jelas hubungan antara berbagai gagasan yang dinyatakan dalam sesuatu komunikasi. Kemampuan menggunakan abstraksi di

e. yang utuh. f.

Mensintesiskan Kemampuan untuk menyatukan unsur-unsur atau bagian-bagian sedemikian rupa sehingga membentuk suatu keseluruhan Mengevaluasi Kemampuan untuk menetapkan nilai/ harga dari suatu bahan dan metode komunikasi untuk tujuan-tujuan tertentu. Cara penalaran (kognitif) seseorang terhadap sesuatu obyek selalu berbeda dengan orang lain. Artinya, obyekyang sama, mungkin akan mendapat penalaran yang berbeda dari dua orang atau lebih. Jadi karena berbeda dalam penalaran (kognitif) berbeda pula dalam kepribadian maka terjadilah perbedaan individu.

2. a. b. c. d.

Pengaruh faktor afektif Faktor afektif secara garis besar dapat dijabarkan sebagai berikut: Menerima atau memperhatikan Kepekaan terhadap kehadiran gejala dan perangsang tertentu. Merespon Mereaksi perangsang atau gejala tertentu. Menghargai, berikut pengertian bahwa suatu hal, gejala atau tingkah laku mempunyai harga atau nilai tertentu. Mengorganisasikan nilai, mencakup mengatur nilai-nilai menjadi suatu sistem nilai, menyusun jalinan nilai-nilai itu dan menetapkan berlakunya nilai-nilai yang dominan. e. Mewatak suatu kondisi di mana nilai-nilai dari sistem nilai yang diyakini telah benar-benar merasuk di dalam pribadi seseorang. Orang seperti itu dapat dikatakan sebagai orang yang budipekertinya mendekati kesempurnaan. Orang yang berbudipekerti luhur akan sangat berbeda dengan orang yang tidak berbudi hapir dalam segala sepak terjang, tingkah laku, sifat-sifat dan kepribadiannya. Jadi dengan kata lain, faktor afektif sangat besar pengaruhnya terhadap terjadinya perbedaan individual.

3.

Pengaruh faktor psikomotor Faktor keterampilan psikomotor secara garis besar dapat dijabarkan sebagai berikut:

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

14

a. b. c. d. e.

Mengindera Kegiatan keterampilan psikomotor yang dilakukan dengan alat-alat indera. Menyiagakan diri Mengatur kesiapan diri sebelum melakukan sesuatu tindakan dalam rangka mencapai suatu tujuan. Bertindak secara terpimpin Melakukan tindakan-tindakan dengan mengikuti prosedur tertentu. Bertindak secara mekanik Bertindak mengikuti prosedur baku. Bertindak secara kompleks Bertindak secara teknologi yang didukung oleh kompetensi. Di dalamnya tercakup semua tindakan keahlian dari berbagai bidang profesi. Ciri khas dari orang yang mampu bertindak secara kompleks adalah mampu menyusun mekanisme kerja sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapinya dan mampu menciptakan teknologi baru. Orang yang telah sampai pada tingkat puncak keterampilan psikomotor dalam menanggapi sesuatu bisa sampai pada penciptaan teknologi baru. Jadi keterampilan psikomotor berpengaruh terhadap perbedaan individual.

4.

Pengaruh campuran (dari faktor kognitif, afektif, dan psikomotor) Dari uraian di atas, faktor kognitif, afektif, dan psikomotor sangat besar pengaruhnya terhadap perbedaan individual secara terpisah. Tetapi sebenarnya baik secara sendiri-sendiri (terpisah) maupun secara bersama-sama (campuran), maka ketiga faktor tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap perbedaan individual. Ada 4 kemungkinan campuran, yaitu: a. b. c. d. individual. Percampuran antara faktor kognitif, afektif, dan psikomotor. Percampuran antara faktor kognitif dan afektif. Percampuran antara faktor kognitif dan psikomotor. Percampuran antara faktor afektif dan psikomotor.

Bagaimanapun variasi campurannya, semua berpengaruh terhadap perbedaan

F.

Pengaruh dalam Aspek Kecakapan Perbedaan dalam aspek ini, nampak pada diri seseorang untuk dapat bertindak

secara cepat (waktunya singkat) dan tepat (hasilnya sesuai dengan harapan) dan dengan mudah tanpa menghadapi banyak hambatan maupun kesulitan. Berdasarkan cepat-lambatnya atau tepat-tidaknya dalam bertindak, siswa dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. Ada Ada Ada Ada hambatan. siswa yang cepat dan tepat dalam bertindak, penuh kemudahan. siswa yang cepat, tetapi tidak tepat. siswa yang tidak cepat tetapi tepat. siswa yang tidak cepat dan tidak tepat, bahkan banyak kesulitan dan

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

15

Masalah cepat dan tepatnya seseorang dalam bertindak ini lazimnya disebut orang yang cakap. Dalam bidang psikologi, orang yang cakap disebut orang yang berperilaku inteligen. Pengertian perilaku intelegen ada kaitannya dengan konsep intelegensi. Intelegensi adalah kemampuan untuk memecahkan segala jenis masalah dalam segala situasi. Seseorang yang memiliki kecakapan tertentu bukan semata-mata karena kelahirannya saja melainkan juga karena perkembangan dan pengalamannya. Kecakapan individu atau yang sering disebut abilitas ( ability), dapat dibedakan menjadi: 1. 2. Kecakapan nyata aktual (actual ability) Kecakapan yang segera dapat didemonstrasikan pada setiap saat, karena merupakan hasil usaha belajar yang telah dijalaninya (prestasi belajar). Kecakapan potensi (potensial ability) Kecakapan yang masih terpendam dalam diri seseorang, yang bersifat laten dan diperoleh melalui keturunan (pembawaan) yang meliputi abilitas dasar umum (general, intelegence) dan abilitas dasar khusus dalam bidang tertentu (bakat, talent, aptitudes). Kedua macam kecakapan potensi ini dapat dideteksi dengan cara mengidentifikasi perilakunya. Menurut Witherington, manifestasi dari indikator perilaku inteligen adalah: a. Kecakapan dalam menggunakan bilangan. b. Ketepatan menggunakan bahasa. c. Kecepatan dalam persepsi. d. Kecakapan dalam mengingat. e. Kecakapan dalam memahami hubungan. f. Berimajinasi. Dengan mengetahui indikator-indikator perilaku inteligen tersebut, para ahli telah mengembangkan alat ukur yang telah dibakukan ( standardized test) baik untuk kecakapan dasar umum (general intelegence test) maupun kecakapan dasar khusus (aptitude test). Kecakapan dasar umum dikategorikan sebagai berikut: a. b. Orang yang superior atau genius orang yang dapat bertindak jauh lebih cepat, tepat dan penuh kemudahan. Orang normal orang yang bertindak biasa-biasa saja kecepatan maupun ketepatannya, seperti yang tampak pada sebagian besar orang menurut batasanbatasan waktu dan tingkat kesukaran yang telah ditetapkan. Orang sub normal atau mentally defective atau mentally retarded orang yang jauh lebih lambat kecepatannya dan jauh tidak tepat serta lebih banyak mengalami kesulitan. Kecakapan dasar khusus dikategorikan sebagai berikut: Bidang Bidang Bidang Bidang bilangan (numerical abilities). bahasa (verbal abilities). hubungan sosial (social abilities). gerak motorik (motorical abilities).

c.

a. b. c. d.

Dari uraian di atas, menunjukkan bahwa perbedaan dari segi kecakapan akan mempengaruhi prestasi belajar siswa. Hal ini tampak, meskipun guru sudah bersungguh-

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

16

sungguh dalam mengajar tetapi siswa tidak dapat memperoleh prestasi yang optimal karena perbedaan pada kecakapan. G. Pengaruh dalam Aspek Kepribadian (Personality) Perbedaan pada aspek kepribadian akan tampak pada kualitas total perilaku individu dalam melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungan secara unik. Unik maksudnya menunjukkan bahwa totalitas perilaku seseorang bersifat khas, artinya kualitas perilaku antara individu yang satu dengan yang lain berbeda. Keunikannya tersebut didukung oleh struktur organisasi ciri-ciri jiwa dan raga, yang terbentuk secara dinamis. Ciri-ciri jiwa dan raga tersebut meliputi konstitusi dan kondisi fisik, tampang dan penampilan, kondisi dan proporsi horman, cairan dalam tubuh, keadaan emosionalnya, aspek kognitif, afektif, psikomotornya, dll. Hal-hal tersebut mempengaruhi kualitas perilaku seseorang, yang akan tampak dalam interaksinya dengan lingkungan, berupa karakter, temperamen, sikap, stabilitas, emosional, tanggung jawab maupun sosiobilitas. Dari keseluruhan indikator kepribadian inilah yang sangat mempengaruhi seseorang dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan, baik lingkungan sekolah, masyarakat ataupun keluarga. H. Teori Tentang Perbedaan Individu dari Hippocrates-Galenus Kepribadian seseorang ditentukan oleh proporsi cairan tubuh yang

mendominasinya, sehingga pribadi seseorang kan berbeda dengan orang lain, karena pribadi yang berbeda-beda inilah yang menimbulkan terjadinya perbedaan individual. Ada 4 tipe golongan manusia berdasarkan temperamen atau wataknya, sebagai berikut:
No. Cairan tubuh yang dominan Prinsip Tipe Sifat-sifat khas

1. 2. 3. 4.

Chole Melanchole Phlegma Sanguis

Tegangan (tension) Penegaran (regidity) Ilastisita Ekspansivi ta

Choleris

Besar semangat, daya juang besar, hatinya mudah terbakar, optimistis. Melancholis Mudah kecewa, daya juang kecil, mudah dipengaruhi, setia. Phlegmati Tidak suka terburu-buru, tdak mudah s dipengaruhi, setia. Sanguisis Hidup, mudah berganti haluan, mudah lekas bertindak namun juga lekas berhenti.

Tipologi yang menerangkan perbedaan individu atas dasar cairan yang ada dalam tubuh ini belum dapat menerangkan keadaan yang terjadi dalam masyarakat, sebab cairan dalam tubuh dibawa sejak lahir; sedangkan sifat kejiwaan tertentu tidak hanya dipengaruhi oleh cairan yang mengalir dalam tubuhnya saja, tetapi pengaruh lingkungan yaitu sesuatu yang berada di luar dirinya memilki pengaruh yang besar pula. I. Teori Tentang Perbedaan Individu dari Kretschmer

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

17

Perbedaan individu ditinjau dari segi struktur badaniah. Ada 4 tipe golongan manusia berdasarkan bentuk tubuhnya, sebagai berikut: No . 1. 2. 3. 4. Struktur badan Athletis Leptosom/ asthenis Pyknis Dysplastis Sifat-sifat khas Ukuran-ukran tubuh seimbang, kokoh, kuat, tulang-tulang otot kuat, bahu lebar dan kuat, tengkorak besar, kepala dan leher tegak, muka bulat telur, mudah menyesuaikan diri. Badan kurus jangkung, lengan dan kaki kurus, perut kecil, bahu sempit, muka bulat telur, berat badan kurang, mudah terkena kritik. Badan gemuk pendek, perut besar, leher pendek dan kuat, lengan dan kaki lemah, mudah bergaul. Tipe ini merupakan penyimpangan dari ketiga tipe di atas, bentuk badannya tidak normal, tidak memiliki ciri-ciri yang khas.

J.

Teori Tentang Perbedaan Individu dari C.G. Jung Perbedaan-perbedaan individu ditinjau dari segi perkembangan sosial. Kepribadian

manusia didasarkan pada perkembangan sosial seseorang dalam masyarakatnya. Dan perkembangan kepribadian itulah yang menjadi dasar, yang menyebabkan individu yang satu berbeda dengan individu yang lain. Ada 1. 2 tipe kepribadian manusia yang penggolongannya didasarkan pada perkembangan sosial, sebagai berikut: Type introvert. Memiliki sifat khas: menarik diri, pemalu, sukar bergaul, senang berangan-angan, mendapat kepuasan dalam perasaaan dan angan-angan, menutup diri. 2. Type extrovert. Memiliki sifat khas: mudah bergaul, mudah menyesuaikan diri, menaruh minat pada orang lain serta kegiatan-kegiatan sosial, ramah, banyak teman. Dari kenyataan yang ada, sesungguhnya orang berkeyakinan bahwa perilaku manusia menunjuk pada sifat introvert dan extrovert secara bersama-sama, atau termasuk campuran antara introvert dan extrovert dimana dalam hal ini mereka termasuk dalam golongan ambivert. K. Teori Tentang Perbedaan Individu dari E. Spranger Perbedaan-perbedaan individu ditinjau dari nilai-nilai kebudayaan yang ada pada tiap individu, yang dalam kenyataannya bahwa biasanya hanya salah satu nilai saja yang dominan dan nilai yang dominan inilah yang memberi corak atau bentuk kepada kepribadian seseorang. Manusia dikelompokkan ke dalam tipe-tipe, sebagai berikut: No . 1. 2. 3. Nilai kebudayaan yang dominan Ilmu pengetahuan Ekonomi Kesenian Tipe Manusia teori Manusia ekonomi Manusia esthetis 18 Tingkah laku manusia Berpikir Bekerja Menikmati keindahan

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

4. 5. 6.

Keagamaan Kemasyarakatan Politik

Manusia agama Manusia sosial Manusia kuasa

Memuja Berbakti/ berkorban (Ingin) memerintah

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

19

BAB III KONSTRUKTIVISME DALAM PEMBELAJARAN


A. Gagasan Dasar Konstruktivisme 1. Dunia (alam semesta) dan ilmu pengetahuan Popper membedakan tiga pengertian tentang alam semesta: a) dunia fisik atau keadaan fisik, b) dunia kesadaran atau mental atau disposisi tingkah laku, dan c) dunia dari isi objektif pemikiran manusia, khususnya pemikiran ilmiah, puitis, dan seni. Dunia oleh Popper dipandang secara ontologis. Menurut Driver dan Bell, ilmu pengetahuan bukanlah hanya kumpulan hukum atau daftar fakta. IImu pengetahuan, terutama sains, adalah ciptaan pikiran manusia dengan semua gagasan dan konsepnya yang ditemuan secara bebas. Menurut Einstein dan Infeld, konsep atau teori tidak menuruti pengamatan induktif yang sederhana. Hal ini terbukti dengan adanya banyak siswa yang yang mengalami peroleh kesulitan dari untuk mengabstraksikan kenyataan-kenyataan mereka percobaan-

percobaan mereka. Abstraksi dan teorisasi itu melalui proses penemuan yang imaginatif, tidak cukup hanya dengan mengamati objek yang ada. Ada dua dunia yang berbeda, dunia kenyataan dan dunia pengertian. Untuk menjembatani keduanya, diperlukan proses konstruksi imaginatif. 2. Hakikat pengetahuan Cukup (gambaran lama atau diterima ungkapan) bahwa pengetahuan dunia harus yang merupakan terlepas dari representasi pengamat kenyataan

(objektivisme). Pengetahuan dianggap sebagai kumpulan fakta. Namun akhir-akhir ini, terlebih dalam bidang sains, diterima bahwa pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang belajar mengerti. Pengetahuan lebih dianggap sebagai suatu proses pembentukan (konstruksi) yang terus-menerus, terus berkembang dan berubah. Konsepkonsep yang dulu dianggap sudah tetap dan kuat, seperti Hukum Newton dalam ilmu fisika, ternyata harus diubah karena tidak dapat lagi memberikan penjelasan yang memadai. Menurut Piaget, sejarah revolusi sains menunjukkan perubahan konsepkonsep pengetahuan yang penting. Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Von Glasersfeld menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas). Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Seseorang membentuk skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan. Maka pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh dialaminya. Proses pembentukan ini berjalan terus menerus dengan setiap kali

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

20

mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru. Para konstruktivis menjelaskan bahwa satu-satunya alat/ sarana yang tersedia bagi seseorang untuk mengetahui sesuatu adalah indranya. Seseorang berinteraksi dengan objek dan lingkungan dengan melihat, mendengar, menjamah, mencium, dan merasakannya. Dari sentuhan indrawi itu seseorang membangun gambaran dunianya. Misalnya, dengan mengamati air, bermain dengan air, mencecap air, dan menimbang air, seseorang membangun gambaran pengetahuan tentang air. Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang (guru) ke kepala orang lain (siswa). Siswa sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalarnan-pengalaman mereka. Tampak bahwa pengetahuan lebih menunjuk pada pengalaman seseorang akan dunia daripada dunia itu sendiri. Tanpa pengalaman itu, seseorang tidak dapat membentuk pengetahuan. Pengalaman tidak harus diartikan sebagai pengalaman fisik, tetapi juga dapat diartikan sebagai pengalaman kognitif dan mental. Menurut Von Glasersfeld, pengetahuan itu dibentuk oleh struktur konsepsi seseorang sewaktu dia berinteraksi dengan lingkungannya. Lingkungan dapat berarti dua macam. Pertama, bila kita berbicara tentang diri kita sendiri, lingkungan menunjuk pada keseluruhan objek dan semua relasinya yang kita abstraksikan dari pengalaman. Kedua, bila kita memfokuskan diri pada suatu hal tertentu, lingkungan menunjuk pada sekeliling hal itu yang telah kita isolasikan. Dalam hal ini, baik hal itu maupun sekelilingnya merupakan lingkup pengalaman kita sendiri, bukan dunia objektif yang lepas dari pengamat. Struktur konsepsi tersebut membentuk pengetahuan bila struktur itu dapat digunakan dalam menghadapi pengalaman-pengalaman mereka ataupun dalam menghadapi persoalan-persoalan mereka yang berkaitan dengan konsepsi tersebut. Bila konsep ataupun abstraksi seseorang terhadap sesuatu dapat menjelaskan macammacam persoalan yang berkaitan, maka konsep itu membentuk pengetahuan seseorang akan hal itu. Misalnya, konsepsi seseorang akan ciri-ciri seorang wanita dibandingkan dengan seorang lelaki akan menjadi suatu pengetahuan tentang "ciri-ciri wanita" bila konsepsi itu dapat digunakan dalam menganalisis wanita-wanita lain yang dijumpainya dan dapat membedakan antara wanita dan lelaki yang dijumpainya. Bagi para konstruktivis, pengetahuan bukanlah tertentu dan deterministik, tetapi suatu proses menjadi tahu. Misalnya saja, pengetahuan kita akan kucing tidak sekali jadi, tetapi merupakan proses untuk semakin tahu. Pada waktu kecil dengan melihat kucing, menjamah, dan bergaul dengan kucing di rumah, kita membangun pengertian akan kucing sejauh dapat ditangkap dari kucing kita sendiri yang terbatas. Dalam perjalanan selanjutnya, kita bertemu dengan jenis kucing-kucing lain dengan segala macam bentuk dan sifatnya. Interaksi dengan macam-macam kucing ini menjadikan pengetahuan kita akan kucing lebih lengkap dan rinci daripada gambaran waktu kita

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

21

kecil. Konstruktivis menyatakan bahwa semua pengetahuan yang kita peroleh adalah konstruksi kita sendiri, maka mereka menolak kemungkinan transfer pengetahuan dari seseorang kepada yang lain bahkan secara prinsipil. Tidak mungkinlah mentransfer pengetahuan karena setiap orang membangun pengetahuan pada dirinya. Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat ditransfer begitu saja dari pikiran yang mempunyai pengetahuan ke pikiran orang yang belum mempunyai pengetahuan. Bahkan bila seorang guru bermaksud mentransfer konsep, ide, dan pengertiannya kepada seorang siswa, pemindahan itu harus diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh si siswa lewat perrgalamannya. Banyaknya siswa yang salah menangkap apa yang diajarkan oleh gurunya menunjukkan bahwa pengetahuan itu tidak dapat begitu saja dipindahkan, melainkan harus dikonstruksikan atau paling sedikit diinterpretasikan sendiri oleh siswa. Dalam proses konstruksi itu, menurut Von Glasersfeld, diperlukan beberapa kemampuan, yaitu: a) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, b) kemampuan membandingkan, mengambil keputusan (justitifikasi) mengenai persamaan dan perbedaan, dan c) kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu daripada yang lain . Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman sangat penting karena pengetahuan dibentuk berdasarkan interaksi dengan pengalaman-pengalaman tersebut. Kemampuan membandingkan sangat penting untuk dapat menarik sifat yang lebih umum dari pengalamanpengalaman khusus serta melihat kesamaan dan perbedaannya untuk dapat membuat klasifikasi dan membangun suatu pengetahuan. Karena kadang seseorang lebih menyukai pengalaman tertentu daripada yang lain, maka muncullah soal nilai dari pengetahuan yang kita bentuk. Piaget membedakan dua aspek berpikir dalam pembentukan pengetahuan ini, yaitu: a) aspek figuratif dan b) aspek operatif. Aspek berpikir figuratif adalah imaginasi keadaan sesaat dan statis. Ini mencakup persepsi, imaginasi, dan gambaran mental seseorang terhadap sesuatu objek atau fenomena. Aspek berpikir operatif lebih berkaitan dengan transformasi dari satu level ke level lain. Ini menyangkut operasi intelektual atau sistem transformasi. Setiap level keadaan dapat dimengerti sebagai akibat dari transformasi tertentu atau sebagai titik tolak bagi transformasi lain. Dengan kata lain, aspek yang lebih esential dari berpikir adalah aspek operatif. Berpikir operatif inilah yang memungkinkan seseorang untuk mengembangkan pengetahuannya dari suatu level tertentu ke level yang lebih tinggi. Tujuan mengetahui sesuatu bukanlah untuk menemukan realitas. Tujuannya lebih adaptif, yaitu untuk mengorganisasikan pengetahuan yang cocok dengan pengalaman hidup manusia, sehingga dapat digunakan bila berhadapan dengan tantangan dan pengalaman-pengalaman baru. Secara ringkas gagasan konstruktivisme mengenai pengetahuan dapat dirangkum sebagai berikut:

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

22

a. Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek. b. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan. c. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi tersebut berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.

3. Realitas dan kebenaran Pengetahuan kita bukanlah realitas dalam arti umum. Konstruktivisme menyatakan bahwa kita tidak pernah dapat mengerti realitas yang sesungguhnya secara ontologis. Yang kita mengerti adalah struktur konstruksi kita akan sesuatu objek. Menurut Bettencourt, memang konstruktivisme tidak bertujuan mengerti realitas, tetapi lebih hendak melihat bagaimana kita menjadi tahu akan sesuatu. Boleh juga dikatakan bahwa realitas bagi konstruktivisme tidak pernah ada secara terpisah dari pengamat. Yang diketahui bukan suatu realitas di sana yang berdiri sendiri, melainkan kenyataan sejauh dipahami oleh orang yang menangkapnya. Menurut Shapiro, ada banyak bentuk kenyataan dan masing-masing tergantung pada kerangka dan interaksi pengamat dengan objek yang diamati. Dalam kerangka pemikiran ini, bila kita bertanya, Apakah yang kita ketahui itu memang sungguh kenyataan yang ada?, kaum konstruktivis akan menjawab, Kami tidak tahu, itu bukan urusan kami. Lalu, bagaimana halnya dengan kebenaran? Bagaimana orang tahu bahwa pengetahuan yang kita konstruksikan itu benar? Beberapa paham ilmu pengetahuan mengatakan bahwa suatu pengetahuan itu diangap benar bila pengetahuan itu sesuai dengan kenyataannya. Misalnya, pengetahuan seseorang bahwa angsa itu putih adalah benar bila dalam kenyataannya memang angsa itu putih dan tidak berwarna lain. Dengan kata lain, orang membuktikan pengetahuannya dengan membandingkannya dengan realitas ontologisnya. Bagi kaum konstruktivis, kebenaran diletakkan pada viabilitas, yaitu kemampuan suatu konsep atau pengetahuan dalam beroperasi. Artinya, pengetahuan yang kita konstruksikan itu dapat digunakan dalam menghadapi macammacam fenomena dan persoalan yang berkaitan dengan pengetahuan tersebut. Misalnya, pengetahuan kita akan hukum gerak Newton dianggap benar karena dengan hukum itu kita dapat memecahkan banyak persoalan tentang gerak. Dalam kaitan dengan ini, maka kita dapat menangkap bahwa pengetahuan kita ada taraf-tarafnya: dari yang cocok atau berlaku untuk banyak persoalan sampai dengan yang hanya cocok untuk beberapa persoalan. Sekali lagi tampak bahwa pengetahuan itu bukan barang mati yang sekali jadi, melainkan suatu proses yang terus berkembang. 4. Hal yang membatasi konstruksi pengetahuan

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

23

Bettencourt menyebutkan beberapa hal yang dapat membatasi proses konstruksi pengetahuan manusia, antara lain: a) konstruksi kita yang lama, b) domain pengalaman kita, dan c) jaringan struktur kognitif kita. Hasil dan proses konstruksi pengetahuan kita yang lampau dapat menjadi pembatas konstruksi pengetahuan kita yang mendatang. Unsur-unsur yang kita abstraksikan dari pengalaman yang lampau, cara kita mengabstraksi dan mengorganisasikan konsep-konsep, aturan main yang kita gunakan untuk mengerti sesuatu, semuanya punya pengaruh terhadap pembentukan pengetahuan berikutnya. Misalnya, pengetahuan kita akan hukum Newton akan selalu membatasi kita dalam menganalisis suatu gerak. Pandangan kita mengenai suatu objek, misalnya tikus, akan mewarnai dan dapat membatasi pengertian kita akan binatang lain yang mirip dengan tikus. Pengalaman yang sudah kita abstraksikan, yang telah menjadi suatu konsep, dalam banyak hal akan membatasi pengertian kita tentang sesuatu yang ada kaitannya dengan konsep tersebut. Bahkan ini terjadi juga dalam pengertian kita mengenai orang. Misalnya, pengalaman bentrok kita dengan seorang teman yang telah kita jadikan suatu konsep bahwa teman itu tidak baik, akan dapat mempengaruhi pandangan dan gagasan kita tentang orang itu selanjutnya, meskipun mungkin orang itu sudah berubah. Pengalaman kita yang terbatas akan sangat membatasi perkembangan pembentukan pengetahuan kita pula. Pengalaman akan fenomena yang baru akan menjadi unsur yang sangat penting dalam pengembangan pengetahuan kita dan kekurangan dalam hal ini akan membatasi pengetahuan kita pula. Dalam bidang ilmu fisika, biologi, kimia, geologi, atau astronomi sangat jelas peranan pengalaman ataupun percobaan-percobaan dalam perkembangan hukum, teori, maupun konsep-konsep ilmu tersebut. Dalam bidang ilmu matematikapun pengalaman mengkonsepsi maupun memecahkan persoalan-persoalan baru, akan sangat mempengaruhi perkembangan pengetahuan seseorang tentang matematika sendiri. Dalam bidang pengetahuan sosial, pengalaman berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungan yang semakin luas akan juga memperluas pemahaman pengetahuan sosial seseorang. Struktur kognitif merupakan suatu sistem yang saling berkaitan. Konsep, gagasan, gambaran, teori, dan sebagainya yang membentuk struktur kognitif saling berhubungan satu dengan yang lain. Inilah yang oleh Toulmin disebut ekologi konseptual. Setiap pengetahuan yang baru harus juga cocok dengan ekologi konseptual tersebut, karena manusia cenderung untuk menjaga stabilitas ekologi sistem tersebut. Kecenderungan ini dapat menghambat perkembangan pengetahuan. 5. Faktor yang memungkinkan perubahan pengetahuan Banyak situasi yang memaksa atau membantu seseorang untuk mengadakan perubahan dalam pengetahuannya. Perubahan ini mengembangkan pengetahuan seseorang. Bettencourt menyebutkan beberapa situasi atau konteks yang membantu perubahan, yaitu: a) konteks tindakan, b) konteks membuat masuk akal, c) konteks

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

24

penjelasan, dan d) konteks pembenaran (justifikasi). Bila seseorang harus cepat bertindak atau memecahkan sesuatu secara terencana, ia akan terdorong untuk menganalisis situasi dan persoalan yang dihadapi. Dalam situasi seperti itu ia dapat bertindak secara efisien dan membentuk pengetahuan atau konsep yang baru. Juga bila seseorang berhadapan dengan suatu persoalan atau kejadian baru yang tidak disangka-sangka, ia ditantang untuk mencari arti dan makna hal itu dengan menggunakan gagasan, ide-ide, maupun konsep-konsep yang telah ia punyai. Bila konsepnya tidak cocok, lalu ia terpaksa harus mengubah konsepnya. Dengan demikian ia mengembangkan pengetahuan yang baru. Pertanyaan Apa yang kamu maksudkan dengan ini, bagaimana kamu dapat menjelaskan hal ini? memacu orang untuk mengkonstruksi sesuatu dan mengerti sesuatu. Juga bila seseorang harus mempertahankan dan membenarkan gagasannya terhadap kritikan orang lain, ia didorong untuk menciptakan konstruksi yang baru. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa situasi atau konteks yang memaksa seseorang untuk menyadari sesuatu, dapat membantu orang itu mengubah atau paling sedikit memperkembangkan pengetahuannya. Dalam bidang pengajaran sains dan matematika, kadang perlu ditunjukkan persoalan atau gejala yang berlawanan dengan yang telah dipikirkan siswa. Gejala tersebut, yang dinamakan gejala anomali, dapat memacu siswa mengubah dan memperkembangkan pengetahuan mereka. Misalnya, bila kebanyakan siswa beranggapan bahwa benda padat selalu akan tenggelam dalam zat cair, tunjukkan kepada mereka gabus yang tidak tenggelam dalam air. B. Asal-Usul Konstruktivisme Pemikiran awal konstruktivisme dikemukakan oleh Giambatissta Vico (16681774) seorang ahli filsafat ilmu pengetahuan pada tahun 1710 dalam De Antiquissima Italorum Sapientia, mengungkapkan Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan. Dijelaskan bahwa mengetahui berarti mengetahui bagaimana membuat sesuatu. Ini berarti bahwa seseorang baru mengetahui sesuatu jika jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Hanya Tuhan sajalah yang dapat mengerti alam raya ini karena hanya Dia yang tahu bagaimana membuatnya dan dari apa Ia membuatnya. Sementara orang hanya dapat mengetahui sesuatu yang telah dikonstruksikannya. Bagi Vico, pengetahuan selalu menunjuk kepada struktur konsep yang dibentuk. Ini berbeda dengan kaum empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan itu harus menunjuk kepada kenyataan luar. Menurut Vico, pengetahuan tidak lepas dari orang (subjek) yang tahu. Pengetahuan merupakan struktur konsep dari pengamat yang berlaku. Sayangnya, menurut banyak pengamat, Vico tidak membuktikan teorinya. Berdasarkan identifikasi mengetahui sesuatu dengan membuat sesuatu, Vico mengatakan bahwa matematika adalah cabang pengetahuan yang paling tinggi. Alasannya, dalam matematika orang menciptakan dalam pikirannya semua unsur dan

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

25

aturan-aturan yang secara lengkap dipakai untuk mengerti matematika. Orang sendirilah yang menciptakan matematika, sehingga orang dapat mengerti secara penuh. Sedangkan dalam pengetahuan fisika dan terlebih humaniora, manusia tidak dapat mengerti secara penuh dan hanya Tuhan yang dapat mengerti secara penuh karena Tuhanlah yang menciptakan mereka. Karena itu bagi Vico, mekanika kurang pasti daripada matematika, fisika kurang pasti daripada mekanika, dan kegiatan-kegiatan manusiawi kurang pasti daripada fisika. Dengan cara ini Vico membedakan taraf-taraf pengetahuan manusia. Rorty menilai konstruktivisme sebagai salah satu bentuk pragmatisme, terlebih dalam soal pengetahuan dan kebenaran, karena hanya mementingkan bahwa suatu konsep itu berlaku atau dapat digunakan. Para konstruktivis sekarang melihat kesesuaian Vico dengan model ilmiah yang digunakan untuk menganalisis dan mengerti pengalaman fenomena baru. Cukup lama gagasan Vico tidak diketahui orang dan seakan dipendam. Piaget menuliskan gagasan konstruktivisme dalam teori tentang perkembangan kognitif dan juga dalam epistemologi genetiknya Piaget mengungkapkan teori adaptasi kognitifnya, yaitu bahwa pengetahuan kita diperoleh dari adaptasi struktur kognitif kita terhadap lingkungannya, seperti suatu organisme harus beradaptasi dengan lingkungannya untuk dapat melanjutkan kehidupan. Gagasan Piaget ini lebih cepat tersebar, melebihi gagasan Vico.

C. Macam Konstruktivisme Von Glasersfeld membedakan adanya tiga taraf konstruktivisme, yaitu: 1. Konstruktivisme radikal Kaum konstruktivis radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Bagi konstruktivis radikal, pengetahuan tidak merefleksikan suatu kenyataan ontologis objektif, tetapi merupakan suatu pengaturan dan organisasi dari suatu dunia yang dibentuk oleh pengalaman seseorang. Menurut Von Glasersfeld, Piaget termasuk konstruktivis radikal. Konstruktivisme radikal berpegang bahwa kita hanya dapat mengetahui apa yang dibentuk/ dikonstruksi oleh pikiran kita. Bentukan itu harus jalan dan tidak harus selalu merupakan representasi dunia nyata. Adalah suatu ilusi bila percaya bahwa apa yang kita ketahui itu memberikan gambaran akan dunia nyata. Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari seseorang yang mengetahui, maka tidak dapat ditransfer kepada penerima yang pasif. Penerima sendiri yang harus mengkonstruksi pengetahuan itu. Semua yang lain, entah objek maupun lingkungan, hanyalah sarana untuk terjadinya konstruksi tersebut. Dalam pandangan konstruktivisme radikal sebenarnya tidak ada konstruksi sosial, di mana pengetahuan itu dikonstruksikan bersama karena masing-masing orang harus

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

26

menyimpulkan dan menangkap sendiri makna terakhir. Pandangan orang lain adalah bahan untuk dikonstruksikan dan diorganisasikan dalam pengetahuan yang sudah dipunyai orang itu sendiri. Konstruktivisme ini tidak pernah mengklaim objektivitas. Menurut mereka, kita tidak dapat melihat dunia pengalaman kita dari luar. Kita membentuknya dari dalam dan hidup dengannya lama sebelum kita mulai bertanya dan mana dan apa itu sebenarnya. 2. Realisme hipotetis Menurut realisme hipotetis, pengetahuan (ilmiah) kita dipandang sebagai suatu hipotesis dan suatu struktur kenyataan dan berkembang menuju suatu pengetahuan yang sejati, yang dekat dengan realitas. Menurut Manuvar, pengetahuan kita mempunyai relasi dengan kenyataan tetapi tidak sempurna. Menurutnya pula, Lorenz dan Popper dan banyak epistemolog evolusioner dapat dikatakan termasuk realisme hipotetis. 3. Konstruktivisme yang biasa Aliran ini tidak mengambil semua konsekuensi konstruktivisme. Pengetahuan kita merupakan gambaran dari realitas itu. Pengetahuan kita dipandang sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari kenyataan suatu objek dalam dirinya sendiri. D. Konstruktivisme Piaget Piaget memandang pembelajaran berlangsung dalam situasi kolaborasi yang difasilitasi oleh konflik kognitif secara kontinu diantara bentuk-bentuk berpikir antagosnistik. Pendapat Piaget ini dilengkapi oleh pendapat Vygotsky yang memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaborasi antarindividu dan selanjutnya keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh individu. Proses penyesuaian itu ekivalen dengan penkonstruksian secara individual. Secara implisit terkandung membantu pengertian siswa bahwa pembelajaran dengan dan konstruktivisme adalah membangun pengetahuan

mengembangkan kemampuan belajar siswa melalui pendekatan interaksi. Dengan dasar ini, pembelajaran harus dikemas menjadi proses penkonstruksian bukan menerima pengetahuan. Dalam pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuannya melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar dimana siswa menjadi pusat kegiatan bukan guru. Untuk memahami teori Piaget, kita perlu mengerti beberapa istilah baku yang digunakan untuk menjelaskan proses seseorang mencapai pengertian. 1. Skema/ skemata Sebagaimana tubuh kita mempunyai struktur tertentu agar dapat berfungsi, pikiran kita juga mempunyai struktur yang disebut skema atau skemata (jamak). Skema

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

27

adalah suatu stuktur mental atau kognitif yang dengannya seseorang secara intelektual beradaptasi dan mengkoordinasi lingkungan sekitarnya. Skemata itu akan beradaptasi dan berubah selama perkembangan mental anak. Skemata bukanlah benda nyata yang dapat dilihat, melainkan suatu rangkaian proses dalam sistem kesadaran orang, maka tidak memiliki bentuk fisik dan tidak dapat dilihat. Skemata adalah hasil kesimpulan atau bentukan mental, konstruksi hipotetis, seperti intelek, kreativitas, kemampuan, dan naluri. Skema juga dapat dipikirkan sebagai suatu konsep atau kategori. Orang dewasa mempunyai banyak skema. Skema ini digunakan untuk memproses dan mengidentifikasi rangsangan yang datang. Seorang anak yang baru lahir punya sedikit skema, yang dalam perkembangannya kemudian menjadi lebih umum, lebih terperinci, dan lebih lengkap. Skema tidak pernah berhenti berubah atau menjadi lebih rinci. Skemata seorang anak berkembang menjadi skemata orang dewasa. Gambaran dalam pikiran anak menjadi semakin berkembang dan lengkap. Misalnya, anak yang sedang berjalan dengan ayahnya melihat seekor lembu. Ayahnya bertanya, Nak, lihat binatang itu? Apa itu? Anak itu melihat. Andaikan saja anak itu belum pernah melihat lembu tetapi sudah pernah melihat kambing, maka dia sudah mempunyai skema dalam pikirannya tentang kambing. Anak itu lalu menjawab, itukambing. Anak itu melihat ada sesuatu yang sama antara lembu dengan konsep kambing yang ia punyai. Misalnya, berkaki empat, bermata dua, berjalan merangkak, dan bertelinga dua. Anak itu belum dapat melihat perbedaannya, melainkan melihat kesamaan antara kambing dan lembu. Bila si anak mampu melihat perbedaan-perbedaannya, ia akan memperkembangkan skemanya tentang lembu, tidak sebagai kambing lagi. 2. Asimilasi Asimilasi adalah proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada di dalam pikirannya. Asimilasi dapat dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan yang baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Setiap orang selalu secara terus-menerus menyebabkan mengembangkan perubahan/ proses ini. Menurut Wadsworth, asimilasi tidak pergantian skemata, melainkan memperkembangkan

skemata. Misalnya, seseorang yang baru mengenal konsep balon. Dalam pikiran orang itu, ia punya skema balon. Kalau ia meniup balon itu atau mengisinya dengan air sampai besar atau malah memecahkan balon itu, ia tetap mempunyai skema yang sama tentang balon. Perbedaannya adalah bahwa skemanya tentang balon diperluas dan diperinci lebih lengkap, bukan hanya sebagai balon yang kempes belum tertiup, melainkan balon dengan macam-macam sifatnya. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

28

sehingga pengertian orang itu berkembang. 3. Akomodasi Dapat terjadi bahwa dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman yang baru, seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru itu dengan skema yang telah ia punyai. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan seperti ini orang itu akan mengadakan akomodasi, yaitu: a) membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau b) memodifikasi skema yang ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Misalnya, seorang anak mempunyai skema bahwa semua binatang harus berkaki dua atau empat. Skema ini didapat dari abstraksinya terhadap binatang-binatang yang pernah dijumpainya. Pada suatu hari ia berjalan ke sawah dan menemukan banyak binatang yang kakinya lebih dari empat. Anak tadi mengalami bahwa skema lamanya tidak cocok lagi; terjadi konflik dalam pikirannya. Ia harus mengadakan perubahan terhadap skema lamanya. Ia mengadakan akomodasi dengan membentuk skema baru bahwa binatang dapat berkaki dua, empat, dan lebih dari empat. Skemata seseorang dibentuk dengan pengalaman sepanjang waktu. Skemata menunjukkan taraf pengertian dan pengetahuan seseorang sekarang tentang dunia sekitarnya. Karena skema ini suatu konstruksi, maka bukan tiruan dari kenyataan dunia yang ada. Menurut Piaget, proses asimilasi dan akomodasi ini terus berjalan dalam diri seseorang. Dalam contoh anak di atas, ia akan terus mengembangkan skemanya tentang kaki binatang bila dijumpainya pengalaman-pengalaman yang berbeda, misalnya bahwa ada pula binatang yang tak berkaki. 4. Equilibration Proses asimilasi dan akomodasi perlu untuk perkembangan kognitif seseorang. Dalam perkembangan intelek seseorang, diperlukan keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Proses itu disebut equilibrium, yakni pengaturan diri secara mekanis untuk mengatur keseimbangan proses asimilasi dan akomodasi. Disequilibrium adalah keadaan tidak seimbang antara asimilasi dan akomodasi. Equilibration adalah proses dari disequilibrium ke equilibrium. Proses tersebut berjalan terus dalam diri orang melalui asimilasi dari akomodasi. Equilibration membuat seseorang dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamnya (skemata). Bila terjadi ketidakseimbangan, maka seseorang dipacu untuk mencari keseimbangan dengan jalan asimilasi atau akomodasi. 5. Teori adaptasi intelek Bagi Piaget, mengerti adalah suatu proses adaptasi intelektual yang dengannya pengalaman-pengalaman dan ide-ide baru diinteraksikan dengan apa yang sudah diketahui oleh seseorang yang sedang belajar untuk membentuk struktur pengertian yang baru. Menurut Piaget, dalam pikiran seseorang ada struktur pengetahuan awal (skemata). Setiap skema berperan sebagai suatu filter dan fasilitator bagi ide-ide dan

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

29

pengalaman-pengalaman

yang

baru.

Skemata

mengatur,

mengkoordinasi,

dan

mengintensifkan prinsip-prinsip dasar. Melalui kontak dengan pengalaman baru, skema dapat dikembangkan dan diubah, yaitu dengan proses asimilasi dan akomodasi. Bila pengalaman baru itu masih bersesuaian dengan skema yang dipunyai seseorang, maka skema itu hanya dikembangkan melalui proses asimilasi. Bila pengalaman baru itu sungguh berbeda dengan skema yang ada, sehingga skema yang lama tidak cocok lagi untuk menghadapi pengalaman yang baru, skema yang lama diubah sampai ada keseimbangan lagi. Inilah proses akomodasi. Contoh: Seorang siswa mempunyai skema dalam pikirannya bahwa air mendidih pada suhu 100. Dalam percobaan dan juga pengalaman memanaskan beberapa macam air, ia menemukan bahwa ada yang mendidih pada suhu 90 dan ada yang 110 dan ada pula yang 80. Setelah mengamati keadaan airnya, ia menemukan bahwa beberapa macam air tidak murni, tercampur dengan beberapa zat lain. Akhirnya siswa itu mengembangkan skemanya dengan menyatakan bahwa air yang murni mendidih pada suhu 100. Siswa ini masih tetap menggunakan skema yang lama tetapi dengan lebih merincikan syarat-syaratnya, yaitu bahwa air itu harus murni. Skema lama dikembangkan lebih rinci sehingga dapat digunakan untuk menjawab beberapa perbedaan pengalaman yang ada. b. Seseorang mempunyai gambaran bahwa semua ikan bertelur dalam perkembangbiakannya. Pada suatu hari ia pergi ke akuarium laut dan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa ikan paus beranak dan tidak bertelur. Orang ini menjadi bingung dan mengalami proses ketidakseimbangan dalam pikirannya. Ia mulai tidak yakin akan gambaran awalnya. Ia mengalami bahwa gambarannya tentang semua ikan bertelur tidak sejalan lagi berhadapan dengan pengalaman baru ini. Orang ini akhirnya mengubah gambaran awalnya dengan menyatakan tidak semua ikan bertelur. Orang ini sekarang membentuk pengetahuan yang baru. Ia telah mengubah skema lama dan membentuk skema baru yang lebih cocok dengan pengalamannya yang baru. a. Menurut Piaget, skema berkembang sejalan dengan perkembangan intelektual, khususnya dalam taraf operasional formal. Piaget membedakan empat taraf perkembangan kognitif seseorang, yaitu: a) taraf sensori-motor (0 2 tahun), b) praoperasional (2 7 tahun), c) taraf operasional konkret (7 11 tahun), dan d) taraf operasional formal (11 15 tahun). Selama taraf sensori-motor, seorang anak belum berpikir dan menggambarkan suatu kejadian atau objek secara konseptual meskipun perkembangan kognitif sudah mulai ada, yaitu mulai dibentuknya skemata. Pada taraf pra-operasional, mulailah berkembang kemampuan berbahasa dan beberapa bentuk pengungkapan. Penalaran pra-logika juga mulai berkembang. Pada taraf operasional konkret, anak mengembangkan kemampuan menggunakan permikiran logis dalam berhadapan dengan persoalan-persoalan yang konkret. Pada taraf operasional formal, anak sudah mengembangkan pemikiran abstrak, dan penalaran logis untuk macammacarn persoalan. Dalam ketiga taraf kognitif di atas skema seseorang berkembang. Karena skema berkembang dalam taraf perkembangan kognitif, maka dapat dimengerti bahwa skema seorang anak mengenai suatu kejadian atau objek mungkin

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

30

tidak seirama dengan skema yang dimiliki orang tua. Dalam hal ini, skema anak itu tidak salah karena skemanya merupakan pemahamannya akan suatu kejadian sesuai dengan perkembangan pemikirannya saat itu. Oleh karena itu, tidak ada salah dalam skema anak, tetapi mungkin itu tidak cocok untuk taraf pemikiran yang lebih tinggi. Secara konseptual perkembangan kognitif berjalan dalam semua level perkembangan pemikiran seseorang dari lahir sampai dewasa. Pengetahuan dibentuk oleh individu terus-menerus dan skemata dewasa dibangun dari skemata anak. Dengan asimilasi seseorang mencocokkan rangsangan dengan skemata yang ada, dan dengan akomodasi ia mengubah skema yang ada agar menjadi cocok dengan rangsangan yang dihadapi. Equilibration adalah mekanisme internal yang mengatur kedua proses itu. Bagi Piaget, kenyataan bukanlah sesuatu yang eksternal dan sudah jadi, bukan melainkan diperoleh melalui kegiatan konstruksi yang menghasilkan skemata baru. Kenyataan adalah fenomena yang kita alami melalui konstruksi. Menurut Piaget, perkembangan kognitif seseorang mempunyai tiga unsur: isi, fungsi, dan struktur. Isi adalah apa yang diketahui oleh seseorang. Ini menunjuk kepada tingkah laku yang dapat diamati sensori motor dan konsep yang mengungkapkan aktivitas intelek. Isi inteligensi berbeda-beda dari umur ke umur dan dari anak ke anak. Fungsi menunjuk kepada sifat dari aktivitas intelektual asimilasi dan akomodasi yang tetap dan terus menerus dikembangkan sepanjang perkembangan kognitif. Struktur menunjuk pada sifat organisatoris yang dibentuk (skemata) yang menjelaskan terjadinya perilaku khusus. Sistem pemikiran Piaget di atas menuntut seorang anak itu bertindak aktif terhadap lingkungannya jika perkembangan kognitifnya jalan. Perkembangan struktur kognitif hanya berjalan bila anak itu mengasimilasikan dan mengakomodasikan rangsangan dalam lingkungannya. Ini hanya mungkin bila nalar anak dibawa ke situasi lingkungan tertentu. Baru bila seseorang bertindak terhadap lingkungannya; bergerak dalam ruang, berinteraksi dengan objek, mengamati dan meneliti, serta berpikir, ia berasimilasi dan berakomodasi terhadap alam. Perbuatannya itu mengakibatkan perkembangan skemata dan juga pengetahuannya. Dari sini dapat dimengerti bahwa bagi Piaget, belajar adalah merupakan proses perubahan konsep. Dalam proses tersebut, si siswa membangun konsep baru melalui asimilasi dan akomodasi skema mereka. Oleh sebab itu, belajar merupakan proses yang terus-menerus, tidak berkesudahan. Bila anak menjadi besar, kegiatan fisik yang menyebabkan perubahan kognitif dapat berkurang. Namun, perbuatan yang perlu untuk perkembangan kognitif bukan hanya perbuatan secara fisik, melainkan termasuk juga setiap tingkah laku non-fisik yang merangsang struktur intelektual anak. Tingkah laku itu menciptakan disequilibrium dan membiarkan asimilasi dan akomodasi terjadi. Kegiatan fisik dan mental dalam lingkungan adalah perlu tetapi tidak cukup untuk perkembangan kognitif. Pengalaman sendiri tidak menjamin perkembangan, tetapi perkembangan tidak dapat terjadi tanpa

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

31

pengalaman. Perlulah dalam perkembangan itu proses asimilasi dan akomodasi. E. Teori Pengetahuan Menurut Piaget Bagi Piaget semua pengetahuan adalah suatu konstruksi (bentukan) dari kegiatan/ tindakan seseorang. Pengetahuan ilmiah itu berevolusi, berubah dari waktu ke waktu. Pemikiran ilmiah adalah sementara, tidak statis, dan merupakan proses. Pemikiran ilmiah merupakan proses konstruksi dan reorganisasi yang terus menerus. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang Setiap ada di luar, tetapi ada dalam diri seseorang interaksi yang membentuknya. pengetahuan mengandaikan suatu dengan

pengalaman. Tanpa interaksi dengan objek, seorang anak tidak dapat mengkonstruksi gambaran korespondensi satu-satu dalam matematika untuk memahami pengertian akan bilangan. Piaget membedakan adanya tiga macam pengetahuan, yaitu: 1. Pengetahuan fisis Pengetahuan fisis adalah pengetahuan akan sifat-sifat fisis dari suatu objek/ kejadian seperti bentuk, besar, kekasaran, berat, serta bagaimana objek-objek-itu berinteraksi satu dengan yang lain. Anak memperoleh pengetahuan fisis tentang suatu objek dengan mengerjakan/ bertindak terhadap objek itu melalui indranya. Pengetahuan fisik ini didapat dari abstraksi langsung akan suatu objek. Misalnya, anak yang bermain pasir dapat menuang pasir dari tempat yang satu ke tempat yang lain, memegangmegang pasir, merasakan kekerasannya, meletakkan di mulut, dll. Dari tindakantindakan itu ia membentuk dan membangun pengetahuannya akan pasir. Dalam pembentukan pengetahuan fisis, bendanya sendiri (pasir) memberitahukan kepada si anak apa yang dapat ia buat dan yang tidak dapat ia buat. Si anak tidak dapat membentuk skema yang akurat tentang pasir kecuali ia bertindak aktif terhadap pasir. Pengetahuan yang akurat akan suatu objek tidak dapat diperoleh dari membaca, melihat gambar, mendengarkan orang bicara, tetapi hanya dapat diperoleh melalui campur tangan si anak terhadap benda itu. Benda itu sendirilah akan membiarkan kita untuk mengerti sifat -sifatnya. 2. Matematis-logis Pengetahuan matematis-logis adalah pengetahuan yang dibentuk dengan berpikir tentang pengalaman dengan suatu objek atau kejadian tertentu. Pengetahuan ini didapatkan dari abstraksi berdasarkan koordinasi, relasi ataupun penggunaan objek. Pengetahuan matematis-logis dapat berkembang hanya bila si anak bertindak terhadap benda itu. Tetapi peran dari tindakan dan benda itu berbeda. Anak itu membentuk/ menciptakan pengetahuan matematis logis karena pengetahuan itu tidak ada dalam objek sendiri seperti pengetahuan fisis. Pengetahuan itu harus dibentuk dari perbuatan berpikir si anak terhadap benda itu. Benda di sini hanya menjadi medium untuk membiarkan konstruksi itu terjadi. Misalnya, pengetahuan tentang konsep bilangan. Si anak dapat bermain dengan himpunan 10 keping uang. Ia mengatur uang itu berderet

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

32

dan menghitungnya sepuluh. Ia meletakkan keping-keping itu di gelas, ia dapat menyusunnya vertikal, ia dalam meletakkannya dalam bakul. Waktu ia menghitungnya, selalu didapatkan 10. Melalui berbagai kegiatan itu, si anak membentuk konsep akan bilangan 10 yang tetap, meskipun keping-keping itu diletakkan di tempat yang berbedabeda bentuknya. Konsep 10 itu sendiri tidak terdapat dalam keping uang itu, tetapi diciptakan oleh si anak. Pengetahuan ini tidak dapat diperoleh dari membaca atau mendengarkan orang bicara tetapi dibentuk dari tindakan seseorang terhadap suatu objek. Pada taraf tertentu, abstraksi pengalaman matematis tersebut dapat disimbolkan menjadi suatu logika dan matematika yang murni. Dari sini dapat dimengerti bahwa logika murni dan matematika murni dapat mengatasi pengalaman karena tidak terbatas kepada sifat-sifat fisis objek itu sendiri. Sementara itu, pengetahuan fisis tidak menjadi murni karena didasarkan kepada sifat-sifat langsung objek atau pengalaman yang diamati. Namun, pada taraf tertentu pengetahuan fisis ini dapat digabungkan dengan konsep-konsep matematis logis untuk menemukan suatu persepsi yang lebih tinggi. 3. Pengetahuan sosial Pengetahuan sosial adalah pengetahuan yang didapat dari kelompok budaya dan sosial yang secara bersama menyetujui sesuatu. Contohnya adalah aturan, hukum, moral, nilai, sistem bahasa, dll. Pengetahuan ini muncul dalam kebudayaan tertentu maka dapat berbeda antara kelompok yang satu dengan yang lain. Pengetahuan sosial tidak dapat dibentuk dari suatu tindakan seseorang terhadap suatu objek, tetapi dibentuk dari interaksi seseorang dengan orang lain. Ketika anak berinteraksi dengan orang lain, kesempatan untuk membangun pengetahuan sosial dikembangkan. Hal yang terpenting dari pembentukan pengetahuan itu adalah tindakan/ kegiatan anak terhadap suatu benda dan interaksi dengan orang lain. Pengetahuan yang akurat tidak dapat diturunkan langsung dari membaca atau dari mendengarkan orang bicara. Pengetahuan si anak akan dunia bukanlah tiruan dari dunia yang nyata. Setiap individu, sepanjang perkembangannya, membentuk pengetahuan dan kenyataan melalui asimilasi dan akomodasi. Pengetahuan fisis, matematis, dan sosial itu diperoleh langsung dari konstruksi oleh anak itu sendiri. Dalam The Psychology of Intelligence, Piaget menyatakan bahwa struktur yang sangat diperlukan dalam pemikiran orang dewasa, seperti struktur matematis-logis, bukanlah sesuatu yang menetap pada anak, melainkan sesuatu yang mereka bentuk pelan-pelan. Setiap struktur dibentuk pelan-pelan dari konstruksi awal dan dikembangkan dalam konstruksi-konstruksi berikutnya. Meski kelihatannya banyak anak mempunyai konsepsi sama tentang sesuatu hal, tidak berarti bahwa konstruksi pribadi tidak ada. Dunia ini penuh dengan benda-benda fisis dan sosial yang bermacam-macam. Setiap anak membentuk pengetahuan mereka akan hal-hal itu melalui asimilasi dan akomodasi. Semua benda yang ada itu

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

33

memungkinkan anak membentuk pengetahuan fisis dan matematis-logis mereka. Bila benda-benda dan lingkungan yang mereka hadapi sama, ada kemungkinan bahwa konstruksi anak-anak itu ada kesamaannya. Misalnya, anak-anak menghadapi pohon cemara yang sama dalam tempat dan lingkungan yang sama. Dapat diharapkan bahwa anak-anak itu akan mempunyai skema yang mirip. Anak-anak yang melihat pohon cemara di tempat lain dalam lingkungan yang lain mungkin membentuk persepsi yang lain tentang pohon cemara. Dari sini dapat dimengerti peran lingkungan, situasi, dan prasarana yang membantu persepsi anak. Perkembangan struktur kognitif dan pengetahuan adalah proses yang evolusioner dalam diri setiap individu. Ini terjadi dalam skemata individu yang setiap kali berubah atau berkembang. Proses asimilasi menunjukkan bahwa skemata bukanlah tiruan dari kenyataan (realitas). Akomodasi menjelaskan bahwa konstruksi itu berelasi dengan dunia nyata. F. Konstruktivisme Personal dan Sosial Matthews perkembangan membedakan psikologis anak dua tradisi besar dari konstruktivisme, yaitu konstruktivisme psikologis dan sosiologis. Kostruktivisme psikologis bertitik tolak dari dalam membangun pengetahuannya, sedangkan konstruktivisme sosial lebih mendasarkan pada masyarakatlah yang membangun pengetahuan. Konstruktivisme psikologis bercabang dua, yaitu yang lebih personal (Piaget) dan yang lebih sosial (Vygotsky); sedangkan konstruktivisme sosiologis berdiri sendiri. Berdasarkan pembedaan itu, maka ada tiga konstruktivisme dalam kaitannya dengan pembentukan pengetahuan, yaitu yang lebih pribadi, sosial, ataupun yang menyangkut keduanya. 1. anak membangun Konstruktivisme psikologis personal Konstruktivisme psikologis dimulai dari karya Piaget mengenai bagaimana seorang pengetahuan kognitifnya. Piaget menyebut dirinya sendiri epistemolog genetik. Epistemologi genetik menjelaskan pengetahuan dengan melihat sejarah pembentukannya dan khususnya dasar psikologis dari pengertian dan operasi yang digunakan dalarn mendapatkan pengetahuan itu. Tetapi juga tetap memperhatikan formalisasi logis yang digunakan dalam struktur pemikiran serta transformasi pemikiran dari satu taraf ke taraf yang berikutnya dalam perkembangan pemikiran manusia. Dengan kata lain, epistemologi genetik menggunakan psikologi sebagai dasar penjelasan pembentukan dan perkembangan pengetahuan seseorang. Dalam teori pengetahuan Piaget, psikologi mengambil peranan penting dalam analisa. Epistemologi genetik memikirkan pengetahuan dan validitas pengetahuan itu. Epistemologi harus bersifat interdisipliner karena menyangkut soal fakta dan validitas. Bila hanya menekankan soal validitas epistemologi akan menjadi logika saja. Bila hanya memperhatikan soal fakta, epistemologi akan menjadi psikologi belaka. Jadi, perlu ada kerja sama antara keduanya. Model pendekatan inilah yang digunakan Piaget dalam epistemologi genetiknya. Yang juga menarik dari metode Piaget adalah bahwa dia

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

34

membatasi epistemologinya agar tidak terlalu menjadi general. Dia membatasi diri dengan persoalan yang positif seperti bagaimana pengetahuan itu berkembang dari taraf seorang anak dan bagaimana seorang anak mulai mengerti sesuatu, membentuk pengetahuannya, dan mengembangkannya. Karena itu, Piaget tidak bicara soal pengetahuan manusia secara umum, melainkan secara nyata bagaimana pengetahuan seorang anak berkembang. Itulah sebabnya banyak penelitiannya dilakukan dalam lingkup anak. Konstruktivisme psikologis bercabang dua, yaitu: a) yang lebih personal, individual, dan subjektif seperti Piaget dan pengikut-pengikutnya; b) yang lebih sosial seperti Vygotsky (socioculturaiism). Piaget menekankan aktivitas individual dalam pembentukan pengetahuan, sedangkan Vygotsky menekankan pentingnya masyarakat bahasa. Piaget menyoroti bagaimana seorang anak pelan-pelan membentuk skema, mengembangkan skema, dan mengubah skema. Ia lebih menekankan bagaimana individu sendiri mengkonstruksi pengetahuan dari berinteraksi dengan pengalaman dan objek yang dihadapi. Ia menekankan bagaimana seorang anak mengadakan abstraksi, baik secara sederhana maupun secara refleksi, dalam membentuk pengetahuan fisis dan matematisnya. Tampak bahwa tekanan perhatian Piaget lebih pada keaktifan individu dalam membentuk pengetahuan. Bagi Piaget, pengetahuan lebih dibentuk oleh si anak itu sendiri yang sedang belajar. Memang Piaget juga bicara soal pengaruh lingkungan sosial terhadap perkembangan pemikiran anak, tetapi tidak secara jelas memberikan model bagaimana hal itu terjadi. Bagi Piaget, dalam taraf-taraf perkembangan kognitif yang lebih rendah (sensori-motor dan pra-operasional), pengaruh lingkungan sosial lebih dipahami oleh anak sebagai sarana dengan objek-objek yang sedang diamati anak. Anak belum dapat menangkap ide-ide dari masyarakatnya. Baru pada taraf perkembangan yang lebih tinggi (operasional konkret, terlebih operasional formal), pengaruh lingkungan sosial menjadi lebih jelas. Dalam taraf ini, bertukar gagasan dengan teman-teman, mendiskusikan bersama pendirian masing-masing, dan mengambil konsensus sosial sudah lebih dimungkinkan. Namun, tekanan Piaget memang lebih pada pembentukan pengetahuan anak secara individual. 2. Sosiokulturalisme Vygotsky juga mulai meneliti pembentukan dan perkembangan pengetahuan anak secara psikologis. Namun Vygotsky lebih memfokuskan perhatian kepada hubungan dialektik antara individu dan masyarakat dalam pembentukan pengetahuan tersebut. Dia memperhatikan akibat interaksi sosial, terlebih bahasa dan budaya pada proses belajar anak. Menurut Vygotsky, belajar merupakan suatu perkembangan pengertian. Dia membedakan adanya dua pengertian, yang spontan dan yang ilmiah. Pengertian spontan adalah pengertian yang didapatkan dari pengalaman anak sehari-hari. Pengertian ini tidak terdefinisikan dan terangkai secara sistematis logis. Pengertian

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

35

ilmiah adalah pengertian yang didapat dari kelas. Pengertian ini adalah pengertian formal yang terdefinisikan secara logis dalam suatu sistem yang lebih luas. Dalam proses belajar terjadi perkembangan dari pengertian yang spontan ke yang lebih ilmiah. Menurut Vygotsky, pengertian ilmiah itu tidak datang dalam bentuk yang jadi pada seorang anak. Pengertian itu mengalami perkembangan. Ini tergantung kepada tingkat kemampuan anak untuk menangkap suatu model pengertian yang lebih ilmiah. Dalam proses belajar, kedua pengertian tersebut saling berelasi dan saling mempengaruhi. Pengertian ilmiah seakan bekerja ke bawah, yaitu menekankan logika kepada pikiran anak, sehingga pengertian yang spontan diangkat atau dianalisis secara lebih ilmiah. Sedangkan pengertian spontan seakan bekerja ke atas, yaitu berusaha bertemu dengan pengertian yang lebih ilmiah dan membiarkan diri menerima segi logis formal dari pengertian ilmiah tersebut. Dengan demikian semakin seseorang belajar, ia akan semakin mengangkat pengertiannya menjadi pengertian yang ilmiah. Vygotsky menggunakan istilah zo-ped yaitu suatu wilayah tempat bertemu antara pengertian spontan anak dengan pengertian sistematis logis orang dewasa. Wilayah ini berbeda dari setiap anak dan ini menunjukkan kemampuan anak dalam menangkap logika dari pengertian ilmiah. Dalam meneliti bahasa anak-anak, Piaget menyimpulkan bahwa bahasa anak adalah egosentris sifatnya. Mereka berbicara keras kepada diri sendiri, daripada kepada orang lain. Menurut Vygostky, bahasa merupakan aspek sosial sejak awalnya. Menurutnya, pembicaraan egosentrik adalah permulaan dari pembentukan inner speech (kemampuan bicara yang pokok) yang akan digunakan sebagai alat dalam berpikir. Menurut Vygostky, inner speech berperan dalam pembentukan pengertian spontan. Pengertian spontan mempunyai dua segi, yaitu: suatu pengertian dalam dirinya sendiri dan pengertian untuk yang lain. Pengertian yang terakhir ini menjelaskan pengertian yang diletakkan dalam pembicaraan untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain. Dua pengertian itu membentuk ketegangan dialektik sejak awal. Anak terus berusaha untuk mengungkapkan pengertian mereka dengan simbol yang sesuai untuk berkomunikasi dengan orang lain. ltulah sebabnya Vygotsky menekankan pentingnya interaksi sosial dengan orangorang lain terlebih yang punya pengetahuan lebih baik dan sistem yang secara kultural telah berkembang dengan baik. Ia menekankan dialog dan komunikasi verbal dengan orang dewasa dalam perkembangan pengertian anak. Dalam interaksi verbal dengan orang dewasa, anak ditantang untuk lebih mengerti pengertian ilmiah dan mengembangkan pengertian spontan mereka. ltulah sebabnya banyak implikasi pendidikan yang membuat siswa berpartisipasi dalam aktivitas para ahli. Dalam interaksi dengan mereka itulah, para siswa ditantang untuk mengkonstruksikan pengetahuannya lebih sesuai dengan konstruksi para ahli. Dengan diilhami oleh karya Vygotsky, sosiokulturalisme lebih menekankan praktekpraktek kultural dan sosial dalam lingkungan pelajar. Menurut para sosiokulturalis,

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

36

aktivitas mengerti selalu dipengaruhi oleh partisipasi seseorang dalam praktek-praktek sosial dan kultural yang ada, yaitu: situasi sekolah, masyarakat, teman, dll. Misalnya Minick mempertanyakan apakah belajar matematika itu proses pembentukan pengertian yang aktif atau proses inkulturasi dalam suatu praktek masyarakat. Bagi Minick, sosiokulturalisme meneliti seseorang dalam kegiatan sosialnya. Mereka menerapkan partisipasi individu dalam praktek dan kegiatan yang diorganisasikan secara kultural, misalnya dalam interaksi di kelas. Cobern menyatakan bahwa konstruktivisme bersifat kontekstual. Siswa selalu membentuk pengetahuan mereka dalam situasi dan konteks yang khusus. Misalnya, dalam situasi tekanan udara yang rendah seseorang akan menemukan bahwa titik didih air berlainan dengan situasi tekanan udara sangat tinggi. Dalam situasi masyarakat yang berbeda, pengertian tentang kesehatan pun dapat berbeda. Cukup lama dirasakan seperti ada konflik antara sosiokulturalisme dan konstruktivisme kognitif personal. Ada perdebatan tentang apakah pikiran itu terletak di kepala seseorang yang sedang berpikir atau dalam pribadi seseorang yang sedang berinteraksi dengan lingkungan dan situasi sekitarnya, apakah belajar itu merupakan suatu proses pengaturan kognitif seseorang sendiri atau lebih merupakan proses inkulturasi dalam masyarakat. Apakah proses konstruksi pengetahuan terjadi secara pribadi atau lebih bersifat sosial-kultural? Menurut Cobb, kedua perspektif itu sama-sama mengimplikasikan pentingnya keaktifan siswa dalam belajar, hanya saja yang satu lebih menekankan pentingnya keaktifan individu, sedangkan yang lain lebih menekankan pentingnya lingkungan sosial-kultural. Sehubungan dengan pendidikan matematika, Cobb menyarankan agar konstruktivisme personal dikombinasikan dengan perspektif sosiokultural. Bagi Cobb, dua perpektif itu saling melengkapi, yaitu bahwa belajar matematika harus dilihat sebagai baik suatu proses pembentukan individual yang aktif dan proses inkulturasi dalam praktek masyarakat matematika yang lebih luas. Sesungguhnya seorang dilahirkan dalam suatu lingkungan sosial dan kultural di mana semua objek dan kejadian yang ditemukan mempunyai arti yang khusus yang juga dikonstruksikan. Melalui interaksi dengan unsur-unsur yang hidup dan yang tidak hidup dalam lingkungan semua cara belajar berlangsung secara sosial. Dengan cara seperti itu, dalam pengetahuan ada komponen sosial dan tidak dapat dilihat sebagai konstruksi individual melulu. Karena tidak mungkin seseorang memisahkan unsur-unsur sosiokultural dari apa yang ia ketahui, konstruktivisme tidak dapat dipikirkan sebagai suatu keyakinan yang lepas dari unsur sosial dan kultural. Oleh karena itu, studi tentang belajar dan mengajar perlu juga memperhatikan segi sosial dalam pembentukan arti. 3. Konstruktivisme sosiologis Konstruktivisme sosiologis berpandangan bahwa pengetahuan itu merupakan hasil penemuan sosial dan sekaligus juga merupakan faktor dalam perubahan sosial. Kenyataan dibentuk secara sosial dan ditentukan secara sosial. Berger mendasarkan

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

37

pengetahuannya pada kenyataan sehari-hari. Dia melihat bahwa kenyataan hidup seharihari merupakan dunia yang dialami bersama dengan orang lain. Dunia ini nyata bagi saya dan bagi orang lain. Saya tidak dapat berhenti berkomunikasi dengan yang lain. Pengetahuan sosial dibentuk dan ditransmisikan dari generasi ke generasi yang lain. Validitas pengetahuan hidup sehari-hari diterima begitu saja oleh saya dan yang lain, sampai terjadi konflik. Organisme manusia berkembang secara biologis dalam relasi dengan lingkungan. Jelas bahwa proses menjadi manusia ada dalam konteks interelasi dengan lingkungannya, baik yang alamiah maupun manusiawi. Dalam pengertian itu dapat dikatakan bahwa manusia ada hanya dalam relasi dengan manusia lain. Konstruktivisme sosiologis menekankan bahwa pengetahuan ilmiah merupakan konstruksi sosial, bukan konstruksi individual. Kelompok ini menekankan lingkungan, masyarakat, dan dinamika pembentukan ilmu pengetahuan. Mereka cenderung mengambil fungsi dan peran masyarakat begitu saja dalam pembentukan pengetahuan manusia. Tentu ini bertentangan dengan konstruktivisme radikal, yang beranggapan bahwa pengetahuan seseorang itu merupakan konstruksi orang itu sendiri sehingga tidak dapat bahwa masyarakat menentukan konstruksi pengetahuan seseorang, melainkan orang itu sendiri yang tetap harus menginterpretasikan dan mengambil makna. Konstruktivisme sosiologis mempertahankan bahwa pengetahuan ilmiah dibentuk dan dibenarkan secara sosial. Suasana, lingkungan, dan dinamika pembentukan ilmu pengetahuan adalah sangat penting. Mekanisme psikologis individu dikesampingkan. Sebaliknya, mereka lebih menekankan bahwa lingkungan sosial yang menentukan kepercayaan individu. G. Hubungan Konstruktivisme dengan Beberapa Teori Belajar Selama dua puluh tahun terakhir ini konstruktivisme telah banyak mempengaruhi pendidikan sains dan matematika di banyak negara Amerika, Eropa, dan Australia. Secara garis besar, prinsip-prinsip konstruktivisme yang diambil adalah: 1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun sosial; 2) pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali hanya dengan keaktifan siswa sendiri untuk menalar; 3) siswa aktif mengkonstruksi terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah; dan 4) guru sekadar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus. Inti teori ini berkaitan dengan beberapa teori belajar seperti Teori Perubahan Konsep, Teori-Belajar-Bermakna Ausubel, dan Teori Skema. Berikut ini akan diuraikan isi ketiga teori tersebut dan juga perbedaan konstruktivisme sebagai teori belajar behaviorisme dan maturasionisme. 1. Teori perubahan konsep Kuhn dalam buku The Structure of Scientific Revolutions menyatakan bahwa sains lebih dicirikan oleh paradigma para ilmuwan. Paradigma adalah suatu skema konseptual

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

38

yang dengannya seorang ilmuwan memandang persoalan-persoalan dalam suatu disiplin tertentu. Persoalan yang diteliti dan metode yang digunakan untuk memecahkan persoalan itu terutama ditentukan oleh paradigma mereka yang relevan. Menurut Kuhn, secara historis paradigma-paradigma itu selalu berubah dan perubahannya kadang sangat tiba-tiba dan mencolok. Kuhn menguraikan dua kegiatan ilmiah: puzzle solving dan penemuan paradigma baru. Dalam puzzle solving, para ilmuwan membuat percobaan dan mengadakan observasi. Bila paradigmanya tidak dapat digunakan untuk memecahkan persoalan penting atau malah mengakibatkan konflik, suatu paradigma baru harus diciptakan. Paradigma baru inilah yang mencetuskan perubahan besar dalam ilmu pengetahuan. Toulmin menguraikan bahwa bagian terpenting dari pemahaman manusia adalah perkembangan konsep secara evolutif. Dalam perkembangan konsep itu seseorang mengubah ide-idenya. Menurutnya, seseorang itu mengungkapkan rasionalitasnya, tidak melalui komitmennya terhadap suatu ide yang sudah mantap, prosedur yang stereotip, atau konsep yang sudah tidak terubahkan, melainkan melalui suatu cara dan kesempatan di mana ia mengubah gagasan, prosedur, dan konsepnya. Gertzog menjelaskan adanya dua langkah yang tidak dapat dipisahkan dari filsafat sains, yaitu: a) central commitments dan b) perubahan central commitments. Dalam central commitments, para ilmuwan menelaah dan mendefmisikan persoalan, strategi untuk memecahkan persoalan itu, dan kriteria pemecahannya. Dalam langkah kedua, mereka perlu mengubah central commitment bila mereka berhadapan dengan tantangan baru yang berlawanan dengan asumsi dasar mereka. Menurut Posner dkk, dalam proses belajar ada proses perubahan konsep yang mirip dengan yang ada dalam filsafat sains tersebut. Tahap pertama perubahan konsep itu disebut asimilasi dan tahap kedua disebut akomodasi. Dengan asimilasi siswa menggunakan konsep-konsep yang telah mereka punyai untuk berhadapan dengan fenomena yang baru. Dengan akomodasi siswa mengubah konsepnya yang tidak cocok lagi dengan fenomena baru yang mereka hadapi. Akomodasi disebut juga perubahan konsep secara radikal. Agar terjadi akomodasi, dibutuhkan beberapa keadaan dan syarat seperti berikut: a. Harus ada ketidakpuasan terhadap konsep yang telah ada. Siswa mengubah konsepnya jika mereka yakin bahwa konsep mereka yang lama tidak dapat digunakan lagi untuk menelaah situasi, pengalaman, dan gejala yang baru. b. Konsep yang baru harus dapat dimengerti, rasional, dan dapat memecahkan persoalan atau fenomena yang baru c. Konsep yang baru harus masuk akal, dapat memecahkan dan menjawab persoalan yang terdahulu, dan juga konsisten dengan teori-teori atau pengetahuan yang sudah ada sebelumnya. d. Konsep baru harus berdaya guna bagi perkembangan penelitian dan penemuan yang baru.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

39

Menurut Posner dkk, salah satu penyebab terbesar ketidakpuasan terhadap konsep lama adalah adanya peristiwa anomali. Suatu peristiwa yang bertentangan dengan yang dipikirkan siswa. Suatu peristiwa di mana siswa tidak dapat mengasimilasikan pengetahuannya untuk memahami fenomena yang baru. Misalnya, bagi siswa yang berpikir bahwa percepatan benda jatuh bebas tergantung pada masa benda itu, akan menjadi bingung bila mereka mengamati bahwa benda yang jatuh bebas punya percepatan yang sama. Bagi siswa yang berpikiran bahwa reaksi kimia yang mereka buat pasti akan menghasilkan warna merah dan bersuhu tinggi, mengamati bahwa ternyata warna reaksi tersebut hijau dan bersuhu tetap akan menjadi peristiwa anomali. Peristiwa seperti itu akan menantang siswa untuk lebih berpikir dan mempersoalkan mengapa pemikiran awal mereka tidak benar. Banyak pendidik sains menggunakan data anomali untuk memacu perubahan konsep pada anak. Mereka menyediakan data-data dan percobaan-percobaan yang memberikan data berbeda dengan keyakinan anak atau prediksi anak. Misalnya, bagi anak-anak yang yakin bahwa massa jenis benda padat selalu lebih besar daripada massa jenis air, seorang pendidik dapat memberikan beberapa benda padat yang massa jenisnya lebih kecil daripada air. Data anomali juga ternyata berperan besar dalam perubahan konsep dalam sejarah sains. Namun, data anomali kadang juga gagal mendorong perubahan konsep karena para ilmuwan dan siswa kadang menemukan cara untuk mengabaikan data-data yang berlawanan tersebut. Menurut Chinn, ada beberapa cara orang bereaksi terhadap data anomali: a) mengabaikan dan menolaknya; b) mengecualikan data itu dari teori yang telah ada; c) mengartikan kembali data itu; d) mengartikan kembali data itu dengan sedikit perubahan; dan e) menerima data itu dan mengubah teori atau konsep sebelumnya. Carey menguraikan adanya dua perubahan konsep, yaitu: restruktunsasi kuat dan restrukturisasi lemah. Dalam restrukturisasi kuat seseorang mengubah konsep lama yang telah mereka punyai, sedangkan dalam proses restrukturisasi lemah seseorang tidak mengubah konsep lama mereka, melainkan hanya memperluasnya. Restrukturisasi kuat mirip dengan proses akomodasi sedangkan restrukturisasi lemah mirip dengan asimilasi. Banyak peneliti menerapkan strategi mengajar yang mempercepat perubahan konsep. Mereka menekankan agar siswa dibiasakan mempertanyakan keyakinan dan konsepnya. Mereka membuat strategi yang menimbulkan ketidakseimbangan dalam pikiran siswa, yang menimbulkan konflik dalam pikiran siswa, sehingga ia tertantang untuk mengubah konsep yang telah dipunyai. Dalam penelitiannya, Vygotsky membedakan dua macam konsep, yaitu: konsep spontan dan konsep ilmiah. Konsep spontan diperoleh siswa dari kehidupan sehari-hari dan konsep ilmiah diperoleh dari pelajaran di sekolah. Kedua konsep itu saling berhubungan terus-menerus. Apa yang dipelajari siswa dalam sekolah mempengaruhi perkembangan konsep yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari dan sebaliknya. Perbedaan yang mencolok dari kedua konsep itu adalah ada atau tidak adanya sistem.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

40

Konsep spontan didasarkan pada kejadian khusus dan tidak merupakan bagian yang bertalian secara logis dari suatu sistem pemikiran, sedangkan konsep ilmiah disajikan sebagai suatu bagian dari suatu sistem. Dengan menggunakan teori Vygotsky, Howe menyarankan agar guru atau pendidik tidak mengatakan bahwa suatu konsep spontan siswa itu salah. Pendidik sebaiknya tidak menolak konsep spontan siswa, melainkan membantunya agar konsep itu diintegrasikan dengan konsep yang ilmiah. Menurut Howe, konsep spontan itu meski tidak cocok sebagai penjelasan atas persoalan yang lebih luas, kerap kali cocok untuk penalaran siswa dalam persoalan yang lebih sempit. Misalnya, seorang anak beranggapan bahwa matahari itu mengitari bumi. Konsep ini diperoleh dari pengamatan sehari-hari bahwa mataharilah yang seakan berjalan mengitari bumi, sedangkan bumi diam. Konsep ini meski tidak sesuai dengan konsep ilmiah tata angkasa, menjelaskan dan juga memecahkan beberapa persoalan sehari-hari yang dihadapi siswa. Misalnya, ia dapat berkomunikasi dengan tetangga yang mengatakan matahari terbit di timur dan terbenam di barat, ia dapat juga menjelaskan bagaimana membuat jam matahari. Kalau kita yakin bahwa konsep dan pengetahuan seseorang itu terus berkembang mulai dari kanak-kanak sampai dewasa dan setiap saat seseorang itu mempunyai pemahaman tertentu akan sesuatu hal, maka tidak dapat dikatakan bahwa pemahaman seorang anak salah, melainkan bahwa pemahaman mereka itu terbatas. Tugas seorang pendidik dalam hal ini adalah membantu agar pemahaman mereka berkembang semakin mendekati pemahaman para ilmuwan. Teori perubahan konsep cukup banyak senada dengan teori konstruktivis dalam arti bahwa dalam proses seseorang pengetahuan itu tidak seseorang sekali jadi, mengalami melainkan perubahan merupakan konsep. proses Pengetahuan

perkembangan yang terus-menerus. Dalam perkembangan itu ada yang mengalami perubahan besar dengan mengubah konsep lama melalui akomodasi, ada pula yang hanya mengembangkan dan memperluas konsep yang sudah ada melalui asimilasi. Proses perubahan terjadi bila si siswa aktif berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam banyak penelitian diungkapkan bahwa teori perubahan konsep dipengaruhi atau didasari oleh filsafat konstruktivisme. Konstruktivisme menekankan bahwa pengetahuan dibentuk oleh siswa yang sedang belajar. Teori perubahan konsep menjelaskan bahwa siswa mengalami perubahan konsep terus-menerus yang sangat berperanan dalam menjelaskan mengapa seorang siswa bisa salah mengerti dalam menangkap suatu konsep yang ia pelajari. Konstruktivisme membantu untuk mengerti bagaimana siswa membentuk pengetahuan yang tidak tepat. Dengan demikian, seorang pendidik dibantu untuk mengarahkan siswa dalam pembentukan pengetahuan yang lebih tepat. Teori perubahan konsep sangat membantu karena mendorong pendidik agar menciptakan suasana dan keadaan yang memungkinkan perubahan konsep yang kuat pada siswa sehingga pemahaman mereka lebih sesuai dengan pemahaman ilmuwan. Konstruktivisme dan teori perubahan konsep memberikan pengertian bahwa setiap

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

41

orang dapat membentuk pengertian yang berbeda dengan pengertian ilmuwan. Namun pengertian yang berbeda tersebut bukanlah akhir perkembangan karena setiap kali mereka masih dapat mengubah pengertiannya sehingga lebih sesuai dengan pengertian ilmuwan. Menurut teori konstruktivisme dan teori perubahan konsep, Salah pengertian bukanlah akhir dari segala-galanya, melainkan justru menjadi awal untuk perkembangan yang lebih baik. 2. learning) dan Teori belajar bermakna Ausubel Menurut Ausubel ada dua jenis belajar, yaitu: a) belajar bermakna (meaningful b) belajar menghafal (rote learning). Belajar bermakna adalah suatu proses belajar di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Belajar bermakna terjadi bila siswa mencoba menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Ini terjadi melalui belajar konsep, dan perubahan konsep yang telah ada, yang akan mengakibatkan pertumbuhan dan perubahan struktur konsep yang telah dipunyai si pelajar. Bila konsep yang cocok dengan fenomena baru itu belum ada dalam struktur kognitif seseorang, informasi baru harus dipelajari lewat belajar menghafal. Dalam proses ini informasi yang baru tidak diasosiasikan dengan konsep yang telah ada dalam struktur kognitif. Belajar menghafal ini perlu bila seseorang memperoleh infonnasi baru dalam dunia pengetahuan yang sama sekali tidak berhubungan dengan apa yang telah ia ketahui. Menurut Ausubel, seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena baru ke dalam skema yang telah ia punyai. Dalam proses itu seseorang dapat memperkembangkan skema yang ada atau dapat mengubahnya. Dalam proses belajar ini siswa mengkonstruksi apa yang ia pelajari sendiri. Teori belajar bermakna Ausubel ini sangat dekat dengan inti pokok konstruktivisme. Keduanya menekankan pentingnya siswa mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru ke dalam sistem pengertian yang telah dipunyai. Keduanya menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru ke dalam konsep atau pengertian yang sudah dipunyai siswa. Keduanya mengandaikan bahwa dalam proses belajar itu siswa aktif. 3. Teori skema Pengetahuan disimpan dalam suatu paket informasi, atau skema, yang terdiri dari konstruksi mental gagasan kita. Skema suatu objek, kejadian, atau ide terdiri dari suatu set atribut yang menjelaskan objek tersebut, maka dari itu membantu kita untuk mengenal objek atau kejadian itu. Atribut ini memuat juga hubungan dengan skema yang lain. Hubungan antara skema inilah yang memberikan makna dan arti kepada gagasan kita. Misalnya, skema tentang pesawat terbang akan memuat macam-macam atribut seperti sayap, mesin jet, jendela, badan, tempat duduk, terbang, dll. Sedangkan skema pesawat terbang ini akan berkaitan dengan skema yang lebih luas seperti

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

42

skema transportasi. Setiap orang dalam pikirannya punya macam-macam skema mengenai macam-macam hal, dan skema-skema itu ada yang saling berkaitan dan membentuk suatu kerangka pemikiran seseorang akan sesuatu hal. Skema itu mempunyai macam-macam jenis, ada yang sangat konkret seperti skema tentang pesawat terbang, tetapi juga dapat sangat abstrak seperti skema tentang perasaan hati ataupun teori matematika yang abstrak. Skema adalah abstraksi mental seseorang yang digunakan untuk mengerti sesuatu hal, menemukan jalan keluar, ataupun memecahkan persoalan. Orang harus mengisi atribut skemanya dengan informasi yang benar agar dapat membentuk kerangka pemikiran yang benar. Kerangka pemikiran inilah yang akan membentuk pengetahuan struktural seseorang, di mana pengetahuan struktural tersebut terdiri dari skema-skema yang dipunyai dan hubungan antara skema-skema itu. Bagaimana seseorang membentuk dan mengubah skema adalah merupakan proses belajar. Orang dapat membentuk skema baru dari suatu pengalaman baru. Orang dapat menambah atribut baru dalam skemanya yang lama. Orang dapat melengkapi dan memperluas skema yang telah dipunyainya dalam berhadapan dengan pengalaman, persoalan, dan juga pemikiran yang baru. Biasanya seseorang bila menghadapi pengalaman baru yang tidak cocok dengan skema yang dipunyainya, ia akan mengubah skema lamanya. Dalam proses belajar, siswa mengadakan perubahan skemanya baik dengan menambah atribut, memperhalus, memperluas, ataupun mengubah sama sekali skema lama. Menurut Jonassen dkk., dasar teori skema adalah bahwa ingatan seseorang itu dianalisis secara semantik. Skemata disusun dalam suatu jaringan hubungan konsepkonsep. Jaringan ini dikenal sebagai jaringan semantik kita. Jaringan ini menguraikan apa yang diketahui seseorang dan menyediakan dasar untuk mempelajari konsep-konsep yang baru, serta memperkembangkan dan rnengubah jaringan semantik yang telah ada. Pengetahuan struktural seseorang, yang terdiri dari macam-macam skemata dan hubungan antarskema itu, didasarkan pada teori skema. Pengetahuan struktural adalah pengetahuan akan bagaimana konsep-konsep dalam suatu domain saling terkait. Menurut Jonassen dkk., pengetahuan ke prosedural. struktural Menurut menjembatani Ryle, perubahan dari pengetahuan deklaratif pengetahuan deklaratif

mengungkapkan suatu pengertian atau kesadaran akan objek, kejadian, atau ide. Ini adalah suatu pengetahuan akan mengerti sesuatu (mengerti apanya). Dalam pengetahuan ini seseorang dapat menjelaskan apa yang ia ketahui tetapi ia tidak menggunakan apa yang ia ketahui itu. Pengetahuan prosedural mengungkapkan bagaimana seseorang menggunakan pengetahuan deklaratifnya. Ini adalah pengetahuan akan mengerti bagaimananya. Tidak cukuplah orang mengerti apa untuk mengerti bagaimananya. Diperlukan pengertian akan sebabnya, mengerti mengapanya. Inilah peran pengetahuan struktural yang menyediakan konsep dasar untuk mengerti keterkaitan antarkonsep.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

43

Teori pengetahuan struktural punya keterbatasan. Clancy mengatakan bahwa teori network semantik didasarkan kepada pandangan tradisional tentang ingatan. Diandaikan bahwa ingatan manusia itu terdiri dari fakta-fakta dan prosedur yang tersimpan di otak. Para ahli network semantik melihat jaringan ini sebagai representansi isomorfik akan apa yang disimpan dalam ingatan. Struktur ingatan ada sebagai representasi dalam pikiran. Sematik yang menyimpan informasi dalam manusia dapat dipetakan secara kognitif. Menurut Clancy, ingatan tidaklah statis, tetapi berubah menurut konteks di mana kejadian itu terjadi. Seseorang belajar dengan mengadakan restrukturisasi atas skema yang ada, baik dengan menambah maupun dengan mengganti skema itu. Ini mirip dengan konstruktivisme Piaget yang menggunakan asimilasi dan akomodasi. Perbedaannya adalah bahwa teori skema tidak menjelaskan proses pengetahuan, tetapi lebih bagaimana pengetahuan manusia itu tersimpan dan tersusun. Salah satu alat yang dapat digunakan untuk mengungkapkan skema pemikiran maupun kerangka pemikiran seseorang akan sesuatu hal, adalah dengan menuliskan skema pemikirannya dalam suatu peta konsep (concept maps). Menurut Novak dan Gowin dalam Learning how to learn, peta konsep adalah suatu bagan skematis untuk menggambarkan suatu pengertian konseptual seseorang dalam suatu rangkaian pernyataan. Peta konsep menggambarkan hubungan antara konsep-konsep dan terdiri atas kumpulan konsep-konsep serta pernyataan-pernyataan. Pernyataan biasanya terdiri atas minimal dua konsep yang dihubungkan dengan kata penghubung, sehingga punya arti yang lengkap. Misalnya, konsep ayah dan konsep anak dihubungkan dengan kata penghubung mencintai, sehingga menjadi suatu pernyataan Ayah mencintai anak, yang merupakan suatu kalimat yang punya arti tersendiri dan lengkap. Peta konsep biasanya disusun secara hierarkis, konsep yang lebih umum diletakkan di atas atau di pusat, dan konsep yang lebih khusus diletakkan di bawahnya atau lebih di samping.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

44

Gambar 1. Peta konsep tentang fraktal dari seorang anak Dalam Gambar 1 diberikan contoh suatu peta konsep dari seorang anak tentang fraktal, suatu bentuk yang punya dimensi tidak utuh dan kesamaan dalam dirinya sendiri. Dapat dilihat bagaimana seorang siswa menggambarkan pengertiannya tentang fraktal. Bagi siswa tersebut, fraktal itu punya dua sifat, yaitu: berdimensi tidak utuh dan punya kesamaan pada dirinya sendiri (self-similarity) bila diadakan transformasi. Fraktal dapat dibedakan dua macam, yaitu: fraktal alamiah dan fraktal matematis. Fraktal matematis tidak finite sedangkan yang alamiah finite. Juga diungkapkan macam-macam contoh tentang fraktal alamiah dan matematis. Dengan melihat peta konsep itu, seorang pendidik dapat melihat pemikiran seorang siswa dalam memahami sesuatu hal yang sedang dipelajari. Sekaligus dengan melihat peta itu dapat dilihat salah pengertian ataupun pengertian alternatif siswa tentang suatu hal. Bila peta konsep itu dibuat beberapa kali selama proses belajar, maka juga akan dapat dianalisis bagaimana seorang siswa itu mengembangkan dan mengubah skema pemikirannya. Itulah sebabnya bahwa peta konsep banyak digunakan dalam studi salah pengertian, perubahan konsep, dan juga bagaimana mengembangkan konsep anak didik.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

45

4. dan menjelaskan

Konstruktivisme versus behaviorisme dan maturasionisme Kaum behavioris memandang psikologi sebagai suatu studi penting tingkah laku belajar sebagai suatu sistem respons tingkah laku terhadap

rangsangan fisik. Para psikolog yang menggunakan paradigma ini tertarik pada akibat dari suatu penguatan (reinforcement), praktek, dan motivasi eksternal. Pendidik yang menggunakan kerangka behavioris biasanya merencanakan suatu kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Lalu, bagian-bagian ini disusun secara hierarki, dari yang sederhana sampai ke yang kompleks. Siswa dipandang sebagai pasif, butuh motivasi luar, dan dipengaruhi oleh reinforcement. Karena itu, para pendidik mengembangkan suatu kurikulum yang terstruktur baik dan menentukan bagaimana siswa harus dimotivasi, dirangsang, dan dievaluasi. Kemajuan belajar siswa diukur dengan hasil yang dapat diamati. Maturasionisme berbeda dengan behaviorisme. Maturasionisme adalah suatu teori yang menjelaskan bahwa pengetahuan konseptual tergantung pada tingkat perkembangan biologis seseorang. Siswa menginterpretasikan pengalaman dengan struktur kognitif yang merupakan hasil perkembangannya. Karena itu, umur menjadi norma yang penting bagi perkembangan pengetahuan seseorang. Psikolog yang bekerja dalam paradigma ini memusatkan diri pada pembagian langkah-langkah perkembangan dan sifat-sifat setiap langkah. Pendidik dalam perspektif ini berperan sebagai orang yang menyiapkan suatu lingkungan yang sesuai dan memperkaya perkembangan mental anak. Siswa dinilai dalam kaitannya dengan tonggak-tonggak perkembangan. Kurikulum dianalisis apakah memiliki syarat-syarat kognitif bagi siswa dan apakah sesuai dengan tingkat perkembangan siswa. Teor perkembangan kognitif Piaget pernah disalah artikan sebagai teori maturasionisme. Konstruktivisme behaviorisme konstruktivisme lebih berbeda dengan behaviorisme sebagai dan suatu konsep maturasionisme. tujuan dan pengertian Bila yang menekankan keterampilan pengajaran,

menekankan

perkembangan

mendalam. Bila maturasionisme lebih menekankan pengetahuan yang berkembang sesuai dengan langkah-langkah perkembangan kedewasaan, konstruktivisme lebih menekankan pengetahuan sebagai konstrukti aktif si pelajar. Dalam pengertian maturasionisme, bila seseorang mengikuti langkah-langkah perkembangan yang ada, dengan sendirinya ia akan menemukan pengetahuan yang makin lengkap. Menurut konstruktivisme, bila seseorang tidak mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri secara aktif, meskipun ia berumur tua, akan tetap tidak berkembang pengetahuannya. H. Implikasi Konstruktivisme terhadap Proses Belajar 1. Makna belajar Belajar merupakan proses aktif siswa mengkonstruksi arti entah teks, dialog,

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

46

pengalaman

fisis,

dll.

Belajar

juga

merupakan

proses

mengasimilasikan

dan

menghubungkan pengalaman atas informasi yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dimiliki siswa sehingga pengetahuannya berkembang. Proses tersebut bercirikan sebagai berikut: a. Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan, dan alami. Konstruksi arti dipengaruhi oleh pengertian yang telah dimiliki. b. Konstruksi mengadakan rekonstruksi. c. yang baru. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih merupakan suatu proses pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian Belajar bukanlah hasil perkembangan, melainkan merupakan perkembangan itu sendiri, suatu perkembangan yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang. d. dalam e. f. Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang kesenjangan yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi ketidakseimbangan (disequilibrium) adalah situasi yang baik untuk memacu belajar. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman siswa dengan dunia fisik dan lingkungannya. Hasil belajar siswa tergantung pada apa yang telah diketahui siswa berupa konsep-konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari. 2. Peran pelajar Kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif, di mana siswa membangun sendiri pengetahuannya. Siswa mencari arti sendiri dari yang mereka pelajari. Ini merupakan proses menyesuaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiran mereka. Siswa sendirilah yang bertanggung jawab atas hasil belajarnya. Mereka membawa pengertiannya yang lama dalam situasi belajar yang baru. Mereka sendiri yang membuat penalaran atas apa yang dipelajarinya dengan cara mencari makna, membandingkannya dengan apa yang telah ia ketahui serta menyelesaikan ketegangan antara apa yang telah ia ketahui dengan apa yang ia perlukan dalam pengalaman yang baru. Bagi kaum konstruktivis, belajar adalah suatu proses organik untuk menemukan sesuatu, bukan suatu proses mekanik untuk mengumpulkan fakta. Belajar itu suatu perkembangan pemikiran dengan membuat kerangka pengertian yang berbeda. Siswa harus punya pengalaman dengan membuat hipotesis, mengetes hipotesis, memanipulasi objek, memecahkan persoalan, mencari jawaban, menggambarkan, meneliti, berdialog, mengadakan refleksi, mengungkapkan pertanyaan, mengekspresikan gagasan, dll untuk arti merupakan proses terus menerus. Setiap kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan yang baru, siswa akan selalu

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

47

membentuk konstruksi yang baru. Siswa harus membentuk pengetahuan mereka sendiri dan guru membantu sebagai mediator dalam proses pembentukan itu. Belajar yang berarti terjadi melalui refleksi, pemecahan konflik pengertian, dan dalam proses selalu memperbarui tingkat pemikiran yang tidak lengkap. Ada perbedaan antara kaum behavioris dan konstruktivis dalam hal pengetahuan, belajar, dan mengajar. Menurut kaum behavioris, pengetahuan itu pengumpulan pasif dari subjek dan objek yang diperkuat oleh lingkungannya, sedangkan bagi kaum konstruktivis, pengetahuan itu adalah kegiatan aktif siswa yang meneliti lingkungannya. Bagi behavioris, pengetahuan itu statis dan sudah jadi; bagi konstruktivis, pengetahuan itu suatu proses menjadi. Bagi kaum behavioris, mengajar adalah mengatur lingkungan agar dapat membantu belajar. Bagi konstruktivis, mengajar berarti partisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mempertanyakan kejelasan, bersikap kritis, mengadakan justifikasi. Jadi, mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri. Setiap siswa mempunyai cara sendiri untuk mengerti. Maka penting bahwa setiap siswa mengerti kekhasannya, juga keunggulan dan kelemahannya dalam mengerti sesuatu. Mereka perlu menemukan cara belajar yang tepat bagi mereka sendiri. Setiap siswa mempunyai cara yang cocok untuk mengkonstruksikan pengetahuannya yang kadang sangat berbeda dengan teman-teman yang lain. Karena itu, mengerti kekhususannya sendiri sangat penting dalam memajukan belajar seseorang. Dalam kerangka ini, sangat penting bahwa siswa dimungkinkan untuk mencoba bermacammacam cara belajar yang cocok dan juga penting bahwa pengajar menciptakan bermacam-macam situasi dan metode yang membantu pelajar. Satu model belajar mengajar saja tidak akan banyak membantu siswa. Waktu pertama kali datang ke kelas, siswa sudah membawa makna tertentu tentang dunianya. Inilah pengetahuan dasar mereka untuk dapat mengembangkan pengetahuan yang baru. Juga mereka membawa perbedaan tingkat intelektual, personal, sosial, emosional, dan kultural. Ini semua mempengaruhi pemahaman mereka. Latar belakang dan pengertian awal yang dibawa siswa tersebut sangat penting dimengerti oleh pengajar agar dapat membantu memajukan dan memperkembangkannya sesuai dengan pengetahuan yang lebih ilmiah. 3. Belajar dalam kelompok Karena pengetahuan dibentuk baik secara individual maupun sosial, kelompok belajar dapat dikembangkan. Menurut Von Glasersfeld, dalam kelompok belajar siswa harus mengungkapkan bagaimana ia melihat persoalan dan apa yang akan dibuatnya dengan persoalan itu. Inilah salah satu jalan menciptakan refleksi yang menuntut kesadaran akan apa yang sedang dipikirkan dan dilakukan. Selanjutnya, ini akan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk secara aktif membuat abstraksi. Usaha menjelaskan sesuatu kepada kawan-kawan justru membantunya untuk melihat

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

48

sesuatu dengan lebih jelas dan bahkan melihat inkonsistensi pandangan mereka sendiri. Mengerti bahwa teman lainnya belum memiliki jawaban yang siap, akan meningkatkan keberanian siswa untuk mencoba dan mencari jalan. Sekaligus, jika ia menemukan jawaban, itu akan mendorong yang lain untuk menemukannya juga. Ketidakkonsistenan dan kesalahan yang ditunjukkan oleh teman dianggap kurang meyakinkan dibandingkan bila ditunjukkan oleh guru. Ini akan meningkatkan harga diri mereka. Menurut Driver dkk., konstruktivisme sosial menekankan bahwa belajar berarti dimasukkannya seseorang ke dalam suatu dunia simbolik. Pengetahuan dan pengertian dikonstruksi bila seseorang terlibat secara sosial dalam dialog dan aktif dalam percobaan-percobaan dan pengalaman. Pembentukan makna adalah dialog antarpribadi. Belajar merupakan proses masuknya seseorang ke dalam kultur orang-orang yang terdidik. Dalam hal ini, siswa tidak hanya memerlukan akses ke pengalaman fisik, tetapi juga ke konsep-konsep dan model-model ilmu pengetahuan konvensional. Oleh sebab itu, guru berperan penting karena mereka menyediakan kesempatan yang cocok dan prasarana masyarakat ilmiah bagi siswa. Dalam konteks ini kegiatan-kegiatan yang memungkinkan siswa berdialog dan berinteraksi dengan para ahli, dengan lembagalembaga penelitian, dengan sejarah penemuan ilmiah, dan dengan masyarakat pengguna hasil ilmiah akan sangat membantu dan merangsang mereka untuk mengkonstruksi pengetahuan mereka. I. 1. melainkan suatu Implikasi Konstruktivisme terhadap Proses Mengajar Makna mengajar Mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa, kegiatan Mengajar yang berarti memungkinkan partisipasi siswa siswa membangun dalam sendiri pengetahuannya. dengan membentuk

pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Jadi, mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri. Berpikir yang baik adalah lebih penting daripada mempunyai jawaban yang benar atas suatu persoalan yang sedang dipelajari. Seseorang yang mempunyai cara berpikir yang baik, dalam arti bahwa cara berpikirnya dapat digunakan untuk menghadapi suatu fenomena baru, akan dapat menemukan pemecahan dalam menghadapi persoalan yang lain. Sementara itu, seorang siswa yang sekadar menemukan jawaban benar belum pasti dapat memecahkan persoalan yang baru karena mungkin ia tidak mengerti bagaimana menemukan jawaban itu. Bila cara berpikir itu berdasarkan pengandaian yang salah atau tidak dapat diterima pada saat itu, ia masih dapat memperkembangkannya. Mengajar adalah membantu seseorang berpikir secara benar dengan membiarkannya berpikir sendiri. 2. Fungsi dan peran pengajar/ guru 49

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

a.

Pengajar sebagai mediator dan fasilitator Seorang pengajar/ guru berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu

agar proses belajar siswa berjalan dengan baik. Tekanan ada pada siswa yang belajar dan bukan pada disiplin ataupun guru yang mengajar. Fungsi mediator dan fasilitator dapat dijabarkan dalam beberapa tugas sebagai berikut: 1) Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian. Karena itu, jelas memberi kuliah atau ceramah bukanlah tugas utama seorang guru. 2) Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka. Menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir secara produktif. Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang paling mendukung proses belajar siswa. 3) Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran siswa jalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Guru membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa. Agar peran dan tugas tersebut berjalan dengan optimal, diperlukan beberapa kegiatan yang perlu dikerjakan dan juga beberapa pemikiran yang perlu disadari oleh pengajar, yaitu: 1) Guru perlu banyak berinteraksi dengan siswa untuk lebih mengerti apa yang sudah mereka ketahui dan pikirkan. 2) Tujuan dan apa yang akan dibuat di kelas sebaiknya dibicarakan bersama sehingga siswa sungguh terlibat. 3) Guru perlu mengerti pengalaman belajar mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan siswa. Ini dapat dilakukan dengan berpartisipasi sebagai siswa juga di tengah pelajar. 4) Diperlukan keterlibatan dengan siswa yang sedang berjuang dan kepercayaan terhadap siswa bahwa mereka dapat belajar. 5) Guru perlu mempunyai pemikiran yang fleksibel untuk dapat mengerti dan menghargai pemikiran siswa, karena kadang siswa berpikir berdasarkan pengandaian yang tidak diterima guru. Karena siswa harus membangun sendiri pengetahuan mereka, seorang guru harus melihat mereka bukan sebagai lembaran kertas putih kosong . Bahkan, anak kelas 1 SD pun telah hidup beberapa tahun dan menemukan suatu cara yang berlaku dalam berhadapan dengan lingkungan hidup mereka. Mereka sudah membawa pengetahuan awal. Pengetahuan yang mereka punyai adalah dasar untuk membangun pengetahuan selanjutnya. Karena itu, guru perlu mengerti pada taraf manakah pengetahuan mereka. Apapun yang dikatakan seorang siswa dalam menjawab suatu persoalan adalah jawaban yang masuk akal bagi mereka pada saat itu. Ini perlu ditanggapi serius, apapun salah mereka seperti yang dilihat guru. Bagi siswa, dinilai salah merupakan suatu yang

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

50

mengecewakan

dan

mengganggu.

Berikan

jalan

kepada

mereka

untuk

menginterpretasikan pertanyaan. Dengan demikian, diharapkan jawabannya akan lebih baik. Jangan pernah mengandaikan bahwa cara berpikir siswa itu sederhana atau jelas. Guru perlu belajar mengerti cara berpikir mereka sehingga dapat membantu memodifikasinya. Baik dilihat bagaimana jalan berpikir mereka itu mengenai persoalan yang ada. Tanyakan kepada mereka bagaimana mereka mendapatkan jawaban itu. Ini cara yang baik untuk menemukan pemikiran mereka dan membuka jalan untuk menjelaskan mengapa suatu jawaban tidak berlaku untuk keadaan tertentu. Guru konstruktivis tidak pernah akan membenarkan ajarannya dengan mengklaim bahwa ini satu-satunya yang benar. Di dalam matematika mereka dapat menunjukkan bahwa cara tertentu diturunkan dari operasi tertentu. Di dalam sains mereka tidak dapat berkata lebih daripada ini adalah jalan terbaik untuk situasi ini, dan ini adalah jalan yang terefektif untuk soal ini. Perlu diciptakan suasana yang membuat siswa antusias terhadap persoalan yang ada sehingga mereka mau mencoba memecahkan persoalannya. Guru perlu membantu mengaktifkan siswa untuk berpikir. Hal ini dilakukan dengan membiarkan mereka berjuang dengan persoalan yang ada dan membantu mereka hanya sejauh mereka bertanya dan minta tolong. Guru dapat memberikan orientasi dan arah tetapi tidak boleh memaksakan arah itu. Tentu ini akan memakan waktu lama tetapi siswa yang menemukan sendiri suatu pemecahan dan pemikiran akan siap untuk menghadapi persoalan-persoalan yang baru. Pengajar perlu membiarkan siswa menemukan cara yang paling menyenangkan dalam pemecahan persoalan. Tidaklah menarik bila setiap kali guru menyuruh siswa memakai jalan tertentu. Siswa kadang suka mengambil jalan yang tidak disangka atau yang tidak konvensional untuk memecahkan suatu soal. Bila seorang guru tidak menghargai cara penemuan mereka, ini berarti menyalahi sejarah perkembangan sains yang juga dimulai dari kesalahan-kesalahan. Sangat penting bahwa guru tidak mengajukan jawaban satu-satunya sebagai yang benar, terlebih dalam persoalan yang berdasarkan suatu pengalaman. Dalam sejarah sains kita melihat bahwa teori-teori yang lama tidaklah salah dalam perkembangannya, tetapi lebih dikatakan sebagai tidak dapat menjawab persoalan-persoalan baru. Teoriteori itu tetap dapat menjawab persoalan lama yang dihadapinya pada waktu menemukannya. Teori Newton tentang gerak tidaklah salah tetapi tidak mencukupi lagi untuk menjawab gerak dalam dimensi mikro. Lalu ditemukan teori baru yang dapat menjawabnya. Namun, sampai sekarangpun teori Newton tetap dapat digunakan untuk menjawab persoalan-persoalan dalam dunia makro. Guru perlu mengerti sifat kesalahan siswa. Perkembangan intelektual dan matematis penuh dengan kesalahan dan kekeliruan. Ini adalah bagian dari konstruksi semua bidang yang tidak bisa dihindarkan. Guru perlu melihat kesalahan sebagai suatu sumber informasi tentang penalaran dan sifat skemata anak.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

51

Julyan dan Duckworth merangkum hal-hal yang penting dikerjakan oleh seorang guru konstruktivis, yaitu guru perlu: 1) mendengarkan secara sungguh-sungguh interpretasi siswa terhadap data yang ditemukan sambil menaruh perhatian khusus kepada keraguan, kesulitan, dan kebingungan setiap siswa; 2) memperhatikan perbedaan pendapat dalam kelas; dan 3) memberikan penghargaan kepada setiap siswa. Dengan memfokuskan diri pada hal-hal yang kontradiktif dan membingungkan siswa, guru akan menemukan bahwa konsep yang dipelajari itu mungkin sulit dan membutuhkan waktu lebih banyak untuk mengkonstruksikannya. Guru perlu tahu bahwa tidak mengerti adalah langkah yang penting untuk mulai menekuninya. Ketidaktahuan siswa bukanlah suatu tanda yang jelek dalam proses belajar, melainkan merupakan langkah awal untuk mulai. b. Penguasaan bahan Peran guru sangat menuntut penguasaan bahan yang luas dan mendalam. Guru perlu mempunyai pandangan yang sangat luas mengenai pengetahuan tentang bahan yang akan diajarkan. Pengetahuan yang luas dan mendalam memungkinkan seorang guru menerima pandangan dan gagasan yang berbeda dari siswa dan juga memungkinkan untuk menunjukkan apakah gagasan itu jalan atau tidak. Penguasaan bahan memungkinkan seorang guru mengerti macam-macam jalan dan model untuk sampai pada suatu pemecahan persoalan tanpa terpaku pada satu model. Dari pengalaman mengajar cukup jelas bahwa ada beberapa guru yang menjadi diktator dengan mengklaim bahwa jalan yang ia berikan adalah satu-satunya yang benar. Akibatnya, mereka menganggap salah semua pemikiran dan jalan yang digunakan siswa bila tidak cocok dengan pemecahan guru. Cara tersebut akan mematikan kreativitas dan pemikiran siswa dan ini tentu berlawanan dengan prinsip konstruktivisme. Sangat perlu bahwa seorang guru, selain menguasai bahan, juga mengerti konteks bahan itu. Seorang guru, misalnya guru fisika, perlu mengerti bagaimana suatu teori fisika berkembang dalam sejarah. Pemahaman historis ini akan meletakkan suatu pengetahuan dalam konteks yang lebih mudah dipahami daripada bila terlepas begitu saja. Guru konstruktivis diharapkan juga mengerti proses belajar yang baik. Mereka perlu mengerti proses asimilasi dan akomodasi yang diperlukan oleh siswa dalam memperkembangkan pengetahuan mereka. c. Strategi mengajar Tugas guru adalah membantu agar siswa mampu mengkonstruksi pengetahuannya sesuai dengan situasinya yang konkret maka strategi mengajar perlu juga disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi siswa. Oleh karena itu, tidak ada suatu strategi mengajar yang satu-satunya yang dapat digunakan di mana pun dan dalam situasi apa pun. Strategi yang disusun selalu hanya menjadi tawaran dan saran, bukan suatu menu yang

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

52

sudah jadi. Setiap guru yang baik akan mengembangkan caranya sendiri. Mengajar adalah suatu seni yang menuntut bukan hanya penguasaan teknik, melainkan juga intuisi. Menurut Driver dan Oldham karakteristik mengajar konstruktivis sebagai berikut: 1) mengembangkan 2) secara jelas dengan motivasi Orientasi. dalam Siswa diberi suatu kesempatan dan untuk mempelajari topik mengadakan

observasi terhadap topik apa yang hendak dipelajari. Elicitasi. Siswa dibantu untuk mengungkapkan idenya berdiskusi, menulis, membuat poster,dll. Siswa diberi kesempatan untuk mendiskusikan apa yang diobservasikan, dalam wujud tulisan, gambar ataupun poster. 3) Restrukturisasi ide. Dalam hal ini ada tiga hal: a) Klarifikasi ide yang dikontraskan dengan ide-ide orang lain atau teman lewat diskusi ataupun lewat pengumpulan ide. Berhadapan dengan ide-ide lain, seseorang dapat terangsang untuk merekonstruksi gagasannya kalau tidak cocok atau sebaliknya menjadi lebih yakin bila gagasannya cocok. b) Mengembangkan ide yang baru. Ini terjadi bila dalam diskusi itu idenya bertentangan dengan ide lain atau idenya tidak dapat menjawab pertanyaanpertanyaan yang diajukan teman-teman. c) Mengevaluasi ide barunya dengan eksperimen. Kalau dimungkinkan, ada baiknya bila gagasan yang baru dibentuk itu diuji dengan suatu percobaan atau persoalan yang baru. 4) Penggunaan ide dalam banyak situasi . Ide atau pengetahuan yang telah dibentuk oleh siswa perlu diaplikasikan pada bermacammacam situasi yang dihadapi. Hal ini akan membuat pengetahuan siswa lebih lengkap dan bahkan lebih rinci dengan segala macam pengecualiannya. 5) Review bagaimana ide itu berubah . Dapat terjadi bahwa dalam aplikasi pengetahuannya pada situasi yang dihadapi sehari-hari, seseorang perlu merevisi gagasannya entah dengan menambah suatu keterangan ataupun mungkin dengan mengubahnya menjadi lebih lengkap. De Vries dan Kohlberg mengikhtisarkan beberapa prinsip konstruktivisme Piaget yang perlu diperhatikan dalam mengajar matematika, yaitu: 1) Struktur psikologis harus dikembangkan dulu sebelum persoalan bilangan diperkenalkan. Bila siswa mencoba menalarkan bilangan sebelum mereka menerima struktur logika matematis yang cocok dengan persoalannya, maka tidak akan jalan. 2) Struktur psikologis (skemata) harus dikembangkan dulu sebelum simbol formal diajarkan. Simbol adalah bahasa matematis, suatu bilangan tertulis yang merupakan representasi suatu konsep, tapi bukan konsepnya sendiri. 3) Siswa harus mendapat kesempatan untuk menemukan (membentuk) relasi matematis sendiri, jangan hanya selalu dihadapkan kepada pemikiran orang dewasa

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

53

yang sudah jadi. 4) Suasana berpikir harus diciptakan. Sering pengajaran matematika hanya mentransfer apa yang dipunyai guru kepada siswa dalam wujud pelimpahan fakta matematis dan prosedur perhitungan kepada siswa, sehingga siswa menjadi pasif. Banyak guru menekankan perhitungan dan bukan penalaran sehingga banyak siswa menghafal belaka. d. Mengevaluasi proses belajar siswa Menurut Von Glasersfeld, sebenarnya seorang guru tidak dapat mengevaluasi apa yang sedang dibuat siswa atau apa yang mereka katakan. Yang harus dikerjakan guru adalah menunjukkan kepada siswa bahwa yang mereka pikirkan itu tidak cocok atau tidak sesuai untuk persoalan yang dihadapi. Guru konstruktivis tidak menekankan kebenaran, tetapi berhasilnya suatu proses . Tidak ada gunanya mengatakan siswa itu salah karena hanya merendahkan motivasi belajar. Perlu ditentukan apakah kita ingin agar siswa memperkembangkan kemampuan berpikirnya atau sekadar dapat menangani prosedur standar dan memberikan jawaban standar yang terbatas. Berikan kepada siswa suatu persoalan yang belum pernah ditemui sebelumnya, amati bagaimana mereka mengkonseptualisasikannya, dan teliti bagaimana mereka menyelesaikan persoalan itu. Pendekatan siswa terhadap persoalan itu lebih penting daripada jawaban akhir yang diberikannya. Dengan mengamati cara konseptual yang siswa gunakan, kita dapat menangkap bagaimana jalannya konsep mereka. Berikan kepada siswa suatu persoalan yang belum ada pemecahannya yang baku. 3. Hubungan guru dan siswa Dalam aliran konstruktivisme, guru bukanlah seseorang yang mahatahu dan siswa bukanlah yang belum tahu dan karena itu harus diberi tahu. Dalam proses belajar, siswa aktif mencari tahu dengan membentuk pengetahuannya, sedangkan guru membantu agar pencarian itu berjalan baik. Dalam banyak hal guru dan siswa bersama-sama membangun pengetahuan, artinya inilah hubungan guru dan siswa lebih sebagai mitra yang bersama-sama membangun pengetahuan. J. 1. Implikasi Konstruktivisme terhadap Persekolahan Peran konstruktivisme secara umum Prinsip-prinsip konstruktivisme telah banyak digunakan dalam pendidikan sains dan matematika. Secara umum prinsip-prinsip itu berperan sebagai referensi dan alat refleksi kritis terhadap praktek, pembaruan, dan perencanaan pendidikan sains dan matematika. Prinsip-prinsip yang sering diambil dari konstruktivisme antara lain: a. b. c. Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif. Tekanan dalam proses belajar terletak pada siswa. Mengajar adalah membantu siswa belajar. 54

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

d. bukan pada hasil akhir. e. f.

Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses Kurikulum menekankan partisipasi siswa. Guru adalah fasilitator.

Prinsip tersebut banyak diambil untuk membuat perencanaan proses belajar mengajar yang sesuai, pembaruan kurikulum, perencanaan program persiapan guru, dan untuk mengevaluasi praktek belajar mengajar yang sudah berjalan. Sebagai referensi, sekelompok guru mengambil prinsip konstruktivisme untuk menyusun metode mengajar yang lebih menekankan keaktifan siswa baik dalam belajar sendiri maupun bersama dalam kelompok. Guru-guru mencari cara untuk lebih mengerti apa yang dipikirkan dan dialami siswa dalam proses belajar. Mereka memikirkan beberapa kegiatan dan aktivitas yang dapat merangsang siswa berpikir. Interaksi antarsiswa di kelas dihidupkan, siswa diberi kebebasan mengungkapkan gagasan dan pemikiran mereka. Wheatley menyusun kurikulum yang berpusat pada belajar persoalan. Siswa bekerja bersama dalam kelompok, mengartikan persoalan yang diberikan, dan mencoba memecahkan persoalan yang rumit. Di sini guru berperan sebagai mediator, meyakinkan apa yang siswa ketahui, dan merangkai tugas-tugas sehingga mereka dapat membangun pengetahuan. Siswa mencari arti dalam kelompok kecil, lalu mengadakan persetujuan dalam kelompok besar/ kelas. Tugas guru memonitor pengertian siswa, membimbing diskusi sehingga setiap siswa aktif dan mendapat kesempatan untuk mengungkapkan pengertiannya. Guru juga aktif dalam kegiatan seperti mencari penjelasan, menanyakan kebenaran, dan mengevaluasi alternatif yang ada. Bagi siswa, guru berfungsi sebagai mediator, pemandu, dan sekaligus teman belajar. Sebagai alat refleksi, konstruktivisme dapat digunakan untuk meneliti mengapa siswa tertentu dapat belajar lebih baik dalam konteks dengan teman dan mengapa siswa tertentu salah tangkap terhadap yang ia pelajari. Selain itu, untuk menilai dan mengevaluasi apakah praktek belajar dan mengajar sudah sesuai dengan prinsip konstruktivisme atau belum. 2. Konstruktivisme dan kurikulum Duit dan Confrey merangkumkan beberapa prinsip penting teori konstruktivis sebagai arah pembaruan kurikulum pendidikan sains dan matematika sebagai berikut: a. Pendekatan yang menekankan penggunaan matematika dan sains dalam situasi yang sesuai dengan minat siswa. Ditekankan pengetahuan berdasarkan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari. Pengalaman sehari-hari sesungguhnya penuh dengan prinsip yang menggunakan matematika dan sains. Pendekatan dengan menganalisis pengalaman sehari-hari, terlebih yang sesuai dengan situasi siswa, akan memudahkan siswa mengkonstruksikan pengetahuannya. b. Meta-pengetahuan, artinya bukan hanya menekankan isi matematika dan sains, tetapi juga konteks dan prinsip-prinsipnya. Dalam hal ini penting bagi pengajar

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

55

mengerti bagaimana latar belakang penemuan-penemuan dalam bidang sains dan matematika. Sejarah sains menunjukkan bahwa penemuan-penemuan baru sering dilatarbelakangi oleh situasi yang memang sungguh menantang untuk memunculkan penemuan tersebut. Bila siswa mengerti latar belakangnya, mereka akan lebih mudah menangkap isi penemuan dan pengetahuannya. Jadi, pengetahuan tidak dipelajari lepas dari konteksnya. c. Tekanan lebih pada konstruksi, interpretasi, koordinasi, dan juga multiple idea. Tekanan proses belajar-mengajar lebih pada bagaimana membentuk pengetahuan, menginterpretasikan yang dipelajari, dan konstruksi yang bermacam-macam dapat terjadi dalam mempelajari satu hal tertentu. Munculnya banyak ide dalam suatu kelas terhadap bahan yang sama justru akan lebih merangsang siswa untuk mengkonstruksikan pengetahuannya dengan lebih rinci dan lengkap, bahkan juga menyadari keterbatasannya. d. Menekankan agar siswa aktif. Bahan lebih dipandang sebagai sarana interaksi siswa dalam pembentukan pengetahuan mereka. Jelas tekanan bukan pada guru yang aktif mengdrill atau berceramah, tetapi pada siswa yang menggeluti bahan. e. Penting diperhatikan adanya perspektif alternatif dalam kelas. Diusahakan agar ada peluang dan rangsangan bagi munculnya alternatif, terlebih dalam gagasan dan interpretasi mengenai bahan pelajaran. Kelas sebaiknya tidak diatur hanya dengan satu cara, tetapi dengan beraneka cara sehingga lebih cocok untuk lebih banyak siswa. Baik juga diadakan konsensus tentang bagaimana kelas akan diatur sehingga siswa aktif dan berminat. Banyak guru dalam pendidikan sains dan matematika mempunyai gambaran kurikulum sebagai suatu set bahan yang tercetak yang dapat dibawa dan dipakai di mana-mana, seperti sebuah menu tetap yang dapat digunakan di mana pun dan kapan pun. Dalam pengertian ini, kurikulum jadi terpisah dari siswa dan lingkungannya. Kurikulum yang seperti ini sama sekali bertentangan dengan prinsip konstruktivis yang menekankan peran dan partisipasi siswa serta lingkungannya dalam pembentukan pengetahuan selama proses belajar. Menurut Grundy, kurikulum merupakan kumpulan semua pengalaman belajar, termasuk siswa, bahan, guru, prasarana, masyarakat, sistem sekolah, dll. Ini lebih cocok dengan konstruktivisme yang memandang kurikulum tidak lepas dari siswa yang belajar dan lingkungan tempat dia belajar. Bagi konstruktivis, kurikulum tidak dapat dilepaskan dari siswa, kultur atau kebudayaan, pengetahuan, kebiasaan, sejarah, dll. Kurikulum harus ditempatkan dalam kerangka yang luas yang menyangkut konteks historis ekonomi, politik, orang tua, administrator, dan guru. Siswa harus membuat arti dari sains melalui struktur konsep yang ada. Hasil pengetahuan sains adalah interpretasi atas pengalaman dalam pengetahuan yang lebih luas. Dua pertanyaan menjadi penting diajukan untuk kurikulum sains, yaitu: a) pengalaman-pengalaman apa yang harus 56 disediakan bagi para siswa supaya

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

memperlancar belajar dan b) bagaimana siswa dapat mengungkapkan/ menyajikan apa yang telah mereka ketahui untuk memberi arti pada pengalaman-pengalaman itu. Pengetahuan harus dibentuk secara personal, maka tidaklah masuk akal berpikir hanya tentang mata pelajaran sains tanpa kehadiran siswa atau sebaliknya. Berdebat tentang mana yang lebih dipentingkan, konsep ataukah proses dalam belajar, tidak banyak artinya karena mencari arti dalam sains adalah proses dialektik yang menyangkut isi dan proses. Keduanya tidak terpisahkan. Driver dan Oldham menyatakan bahwa perencana kurikulum konstruktivis tidak dapat begitu saja mengambil kurikulum standar yang menekankan siswa pasif dan guru aktif, sebagai cara mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Kurikulum bukan sebagai tubuh pengetahuan atau kumpulan keterampilan (skill), melainkan lebih sebagai program aktivitas di mana pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi. Kurikulum bukan kumpulan bahan yang sudah ditentukan sebelumnya untuk mengajar, melainkan lebih sebagai suatu persoalan yang perlu dipecahkan oleh para siswa untuk lebih mengerti. 3. Konstruktivisme dan persiapan pendidikan guru Northfield, Gunstone, dan Erickson memberikan catatan mengenai persiapan pendidikan guru dan calon pengajar. Pendidikan guru harus mengadakan pembaruan dengan mengevaluasi konsep-konsep yang ada sampai sekarang, apakah sudah sesuai dengan prinsip konstruktivisme. Ini berarti bahwa tekanan pendidikan calon guru harus terletak pada keaktifan para calon guru dalam mengkonstruksi pengetahuan mereka. Para pengajar perlu memberikan kesempatan kepada calon-calon guru untuk berperan aktif dalam penemuan dan pengembangan pikiran mereka. Calon-calon guru harus aktif menekuni pengetahuan mereka, aktif mencari makna dari yang mereka pelajari, dan belajar terus-menerus. Sistem pengajaran yang menekankan mahasiswa pasif dan dosen aktif atau sistem pengerdilan bahan yang tidak memungkinkan mahasiswa berpikir tentang hal itu sangat bertentangan dengan konstruktivis. Sistem pendidikan guru seperti itu hanya akan menghasilkan guru-guru yang memasifkan siswa dan mematikan kreativitas siswa. Guru-guru yang dihasilkan adalah guru-guru yang juga tidak kreatif dan tidak dapat mengerti dan memahami kreativitas siswa. Untuk membantu karier pendidik, para calon guru perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Belajar bagaimana mengajar secara konstruktivis. Ini berarti mereka harus mengerti makna belajar dan mengajar secara konstruktivis. Mereka perlu mengerti sifat-sifat dan hal-hal yang diperlukan bagi seorang guru konstruktivis dan siswa konstruktivis. b. Mendalami bahan dan bidang ilmunya secara mendalam dan luas. Pemahaman bahan dan bidang ilmu sangat penting bagi guru konstruktivis, karena mereka harus dapat memahami macam-macam interpretasi 57 siswa dalam membentuk

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

pengetahuannya perkembangan mengkonstruksi akan sulit

akan ilmu

suatu yang

hal.

Mereka lebih

perlu baik.

mengerti dapat Kepicikan

latar dan

belakang siswa kurangnya

ditekuninya dengan yang

sehingga

membantu

pengetahuan siswa

penguasaan atas ilmu, akan membuat guru cenderung main diktator sehingga membantu mengalami kesulitan dalam menangkap pengetahuannya. c. Belajar tentang diri mereka sendiri sebagai jembatan untuk terjun menjadi guru. Mereka perlu belajar tentang fungsi, tugas, dan profesi sebagai guru, juga perlu mengerti kelebihan dan kelemahan dirinya sendiri dalam kaitannya berprofesi sebagai guru. d. Pentingnya berinteraksi dengan guru maupun dosen sehingga akan membuat mereka lebih mantap tentang karier yang akan dijalani dan dapat belajar dari pengalaman mereka sehingga bermanfaat untuk memperkembangkan pengetahuan mereka. 4. Konstruktivisme dan penelitian Konstruktivisme dapat sangat membantu penelitian tentang proses belajar dan juga tentang kesulitan yang dialami siswa ketika belajar. Karena siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksi itu tidak cocok dengan hasil konstruksi para ilmuwan. Inilah yang memunculkan salah pengertian/ misconceptions. Berdasarkan prinsip konstruktivis, dapat ditelusuri di mana siswa punya konsep alternatif dan mengapa mereka berpandangan demikian. Dari sini penelitian dapat membantu menemukan sarana untuk mengembangkan konsep siswa. Penelitian konsep tersebut juga dapat dilakukan untuk para guru, mahasiswa, dan orang yang sedang belajar. Penelitian mengenai praktek mengajar, praktek belajar, dan kurikulum yang sedang berlaku, juga dapat dibantu dengan prinsip konstruktivis. Artinya penelitian lebih untuk melihat apakah praktek belajar-mengajar suatu kelompok mencerminkan prinsip konstruktivis atau tidak, unsur-unsur mana yang masih perlu dikembangkan dan dimajukan. tradisional. Penelitian ini juga dapat melihat apakah praktek belajar-mengajar konstruktivis memang ada kelebihannya dibandingkan sistem belajar-mengajar yang

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

58

BAB IV KONSTRUKTIVISME DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA


A. Belajar Matematika Menurut Konstruktivisme Konsep pembelajaran konstruktivis didasarkan kepada kerja akademik para ahli psikologi dan peneliti yang peduli dengan konstruktivisme. Para ahli konstruktivisme mengatakan bahwa ketika siswa mencoba menyelesaikan tugas-tugas di kelas, maka pengetahuan matematika dikonstruksi secara aktif. Para ahli konstruktivis yang lain mengatakan bahwa dari perspektifnya konstruktivis, belajar matematika bukanlah suatu proses pengepakan pengetahuan secara hati-hati, melainkan tentang mengorganisir aktivitas, di mana kegiatan ini diinterpretasikan secara luas termasuk aktivitas dan berfikir konseptual. Didefinisikan oleh Cobb bahwa belajar matematika merupakan proses dimana siswa secara aktif mengkonstruksi pengetahuan matematika. Para ahli konstruktivis setuju bahwa belajar matematika melibatkan manipulasi aktif dari pemaknaan bukan hanya bilangan dan rumus-rumus saja. Mereka menolak paham bahwa matematika dipelajari dalam satu koleksi yang berpola linear. Setiap tahap dari pembelajaran melibatkan suatu proses penelitian terhadap makna dan penyampaian keterampilan hafalan dengan cara yang tidak ada jaminan bahwa siswa akan menggunakan keterampilan intelegennya dalam setting matematika. Lebih jauh lagi para ahli konstruktivis merekomendasi untuk menyediakan lingkungan belajar di mana siswa dapat mencapai konsep dasar, keterampilan algoritma, proses heuristic dan kebiasaan bekerja sama dan berefleksi. Dalam kaitannya dengan belajar, Cobb menguraikan bahwa belajar dipandang sebagai proses aktif dan konstruktif di mana siswa mencoba untuk menyelesaikan masalah yang muncul sebagaimana mereka berpartisipasi secara aktif dalam latihan matematika di kelas. Confrey, yang juga banyak bicara dalam konstruktivisme menawarkan suatu powerful construction dalam matematika. Dalam mengkonstruksi pengertian matematika melalui pengalaman, ia mengidentifikasi 10 karakteristik dari powerful constructions berfikir siswa. Lebih jauh ia mengatakan bahwa powerful constructions ditandai oleh: 1. kekonsistenan internal. 2. bermacam-macam konsep. 3. aneka bentuk dan konteks. 4. dan menjelaskan. 5. sejarah. Sebuah kesinambungan Kemampuan untuk merefleksi Suatu kekonvergenan di antara Suatu keterpaduan antar Sebuah struktur dengan ukuran

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

59

6. macam sistem simbol. 7. pendapat experts (ahli). 8. bertindak sebagai alat untuk konstruksi lebih lanjut. 9. tindakan berikutnya. 10. menjustifikasi dan mempertahankan.

Terikatan Suatu Suatu Sebagai Suatu

pada

bermacamdengan untuk untuk untuk

yang yang

cocok potensial

petunjuk kemampuan

Semua ciri-ciri powerful di atas dapat digunakan secara efektif dalam proses belajar mengajar di kelas. Menurut Confrey, siswa-siswa yang belajar matematika sering kali hanya menerapkan satu kriteria evaluasi mereka dari yang mereka konstruksi misalkan dengan bertanya Apakah ini disetujui para ahli? atau dalam istilah konstruktivis Apakah itu benar?. Akibatnya, pengetahuan matematika menjadi terisolasi dari sisa pengalaman mereka yang dikonstruksi dari aksi mereka di dunia dalam pola yang spontan dan interaktif. Oleh karena itu pandangan siswa tentang kebenaran ketika siswa belajar matematika perlu mendapat pengawasan ahli dan masyarakat menjadi tidak lengkap. Dalam kasus ini peranan guru dan peranan siswa lain adalah menjustifikasi berfikirnya siswa dalam matematika. Salah satu yang mendasar dalam pembelajaran matematika adalah suatu pendekatan dengan jawab tak terduga sebelumnya dengan suatu ketertarikan yang cerdik dalam mempelajari karakter, keaslian, eerita, dan implikasinya. Secara substantif, belajar matematika adalah proses pemecahan masalah. Konstruktivisme telah memfokuskan secara eksklusif pada proses di mana siswa secara individual aktif mengkonstruksi realitas matematika mereka sendiri. B. Pembelajaran Konstruktivis dalam Matematika Beberapa ahli konstruktivis menguraikan indikator belajar mengajar berdasarkan konstruktivisme. Confrey menyatakan: ... sebagai seorang konstruktivis, ketika saya mengajarkan matematika, saya tidak mengajarkan siswa tentang struktur matematika yang obyeknya ada di dunia ini. Saya mengajar mereka, bagaimana mengembangkan kognisi mereka, bagaimana melihat dunia melalui sekumpulan lensa kuantitatif yang saya percaya akan menyediakan suatu cara yang powerfull untuk memahami dunia, bagaimana merefleksikan lensa-lesa itu untuk menciptakan lensa-lesa yang lebih kuat, dan bagaimana mengapresiasi peranana dari lensa dalam memaminkan pengembangan kultur mereka. Saya mencoba untuk mengajarkan mereka untu mengembangkan satu alat intelektual yaitu matematika.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

60

Hal ini mencerminkan bahwa matematika hanyalah sebagai alat untuk berfikir, fokus utama belajar matematika adalah memberdayakan yang pernah siswa untuk berfikir mengkonstruksi sebelumnya. C. Implementasi Konstruktivisme dalam Pembelajaran Matematika Dari sudut pandang konstruktivis, Koehler and Grouws menyatakan bahwa pembelajaran telah dipandang sebagai suatu garis kontinum antara negosiasi dan imposition pada ujung-ujungnya. Lebih jauh lagi, Cobb and Steffe menambahkan bahwa ... dalam pandangan konstruktivisme guru harus secara terus menerus menyadarkan untuk mencoba melihat keduanya aksi siswa dengan dirinya dari sudut pandang siswa. Seseorang yang memandang bahwa belajar adalah suatu transmisi, maka proses mengetahui akan mengikuti model imposition suatu (pembebanan). proses yang Sedangkan yang suatu berpandangan bahwa mengajar adalah memfasilitasi pengetahuan matematika ditemukan oleh ahli-ahli

konstruksi, maka ia akan mengikuti model negosiasi. Aktivitas guru di kelas dipengaruhi oleh paham mereka tentang pembelajaran. Perbedaan individu di kelas berimplikasi bahwa guru disyaratkan untuk mempertimbangkan bagaimana menerapkan pembelajaran matematika agar dapat melayani secara cukup perbedaan-perbedaan individu siswa. Berkenaan dengan perbedaan individu, Board of Studies menyatakan bahwa siswa akan mencapai prestasi belajar dalam kecepatan yang berbeda dan secara kualitatif dalam cara-cara yang berbeda-beda. Lovitt and Clarke juga menambahkan bahwa kualitas pembelajaran ditandai dengan berapa luas dalam lingkungan belajar: 1. mulai dari mana siswa ini berada. 2. mengenali bahwa siswa belajar dengan kecepatan yang berbeda, dan cara yang berbeda. 3. melibatkan siswa secara fisik dalam proses belajar. 4. meminta siswa untuk memvisualkan yang imajiner. Dengan demikian ada suatu perbedaan yang sangat berarti antara pembelajaran matematika menggunakan paradigma konstruktivisme dan pendekatan tradisional. Di dalam konstruktivisme peranan guru bukan pemberi jawaban akhir atas pertanyaan siswa, melainkan mengarahkan mereka untuk membentuk (mengkonstruksi) pengetahuan matematika sehingga diperoleh struktur matematika. Sedangkan dalam paradigma tradisional, guru mendominasi pembelajaran dan guru senantiasa menjawab dengan segera terhadap pertanyaan-pertanyaan siswa. Implikasi dari perbedaan-perbedaan di atas menjadikan posisi guru dalam pembelajaran matematika untuk bernegosiasi dengan siswa, bukan memberikan jawaban akhir yang telah jadi. Negosiasi yang dimaksudkan di sini adalah berupa pengajuan pertanyaan-pertanyaan kembali, atau pernyataan-pernyataan yang

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

61

menantang siswa untuk berfikir lebih lanjut yang dapat mendorong mereka sehingga penguasaan konsepnya semakin kuat. D. Evaluasi Pembelajaran Matematika Menurut Konstruktivisme Untuk mendeskripsikan evaluasi pembelajaran, perlu diklarifikasi seberapa bedakah antara assesmen dan evaluasi. Menurut Webb, evaluasi dalam pendidikan adalah suatu investigasi sistematis tentang nilai suatu tujuan. Termasuk di dalam evaluasi adalah kumpulan bukti-bukti secara sistematis untuk membantu membuat keputusan tentang: 1) siswa belajar; 2) pengembangan materi; dan 3) program. Wood memberikan definisi umum tentang assesmen sebagai berikut: assesmen dianggap sebagai penyediaan suatu pertimbangan menyeluruh dari suatu fungsi individu di dalam melukiskan rasa paling luas dalam berbagai bukti baik kualitatif maupun kuantitatif dan karenanya sampai kepada pengujian keterampilan kognitif dengan teknik paper-pencil untuk sejumlah orang. Webb and Briars menambahkan bahwa: assesmen dalam matematika adalah proses penentuan apakah siswa tahu. Merupakan suatu bagian dari aktivitas pengajaran matematika, yaitu pengecekan apakah siswa memahami, mendapatkan umpan balik dari siswa, kemudian menggunakan informasi itu untuk membimbing pengembangan pengalaman belajarnya. Meskipun ada perbedaan pengertian antara evaluasi dan assesmen yang dimaksudkan di sini adalah cara guru mengases (menilai) prestasi siswa dalam belajar matematika. Jacobsen dkk mengidentifikasi tahap ketiga dari pembelajaran adalah evaluasi. Di sini guru mencoba mengumpulkan informasi yang dapat digunakan untuk menentukan apakah pembelajarannya telah sukses? Apa yang semestinya guru lakukan untuk mengukur pemahaman konsep matematika? Bagaimana guru akan mengetahui bahwa siswanya telah mengetahui matematika? Dalam memberikan assesmen pengetahuan matematika siswa, mestinya diperoleh data kemampuan siswa dalam matematika; harus memasukkan tentang pengetahuan siswa pada konsep matematika, prosedur matematika, dan kemampuan problem solving, reasoning, dan komunikasi. Evaluasi dalam pembelajaran matematika menggunakan pendekatan konstruktivis terjadi sepanjang proses pembelajaran berlangsung (on going assessment). Dari awal sampai akhir guru memantau perkembangan siswa, pemahaman siswa terhadap suatu konsep matematika, ikut membentuk dan mengawasi proses konstruksi pengetahuan (matematika) yang dibuat oleh siswa. E. Posisi Pengajaran Konstruktivis di antara Pendekatan Lain Brady menawarkan lima model dan metoda pembelajaran, yaitu: 1) Model eksposisi; 2) Model behavioristik; 3) Model kognitif; 4) Model interaksional; dan 5) Model transaksional. Apabila kelima model-model di atas diletakkan pada garis kontinum, dari pendekatan yang berpusat kepada guru di satu sisi, dan pendekatan yang berpusat pada

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

62

siswa di sisi lain, maka kelimanya berada di antara titik-titik ekstrim ujung-ujungnya. Adalah tidak sederhana untuk mengatakan bahwa suatu pendekatan lebih mudah daripada pendekatan lain. Seperti telah dikatakan oleh Nisbet bahwa Tak ada cara tunggal yang tepat untuk belajar dan tak ada cara terbaik untuk mengajar. Namun demikian seorang guru dapat menerapkan salah satu pendekatan yang cocok dengan mempertimbangkan kondisi siswa. Dalam pendekatan konstruktivis siswa menjadi pusat perhatian. Siswa diharapkan mengkonstruksi pengetahuannya menurut diri mereka sendiri. Karenanya peranan guru cenderung sebagai fasilitator ketimbang penyedia informasi. Menurut Burton pandangan tradisional memandang matematika sebagai pengetahuan dan keterampilan yang terdefinisi secara ketat yaitu: 1) belajar melalui transmisi; 2) belajar dengan sikap yang compliant (selalu mengalah); dan 3) menilai siswa melalui tes menggunakan kertas dan pensil tanpa perlu terlihat. Sebaliknya pandangan konstruktivisme menolak pembelajaran yang dilakukan oleh pandangan tradisional dan meletakkan tanggung jawab belajar dari guru kepada siswa. Tanggung jawab guru dalam proses belajar adalah untuk: 1) menstimulasi dan memotivasi siswa; 2) menyediakan pengalaman untuk menumbuhkan pemahaman; 3) mendiagnosa dan mengatasi kesulitan siswa; dan 4) mengevaluasi. Kamii menambahkan bahwa kenyataan anak mengkonstruksi pengetahuan logika matematikanya sendiri tidak lantas menyebabkan bahwa peranan guru hanya duduk dan tidak mengerjakan apa-apa, sebaliknya peranan guru menjadi tidak langsung dan lebih sulit dibandingkan dengan kelas tradisional. Memperhatikan uraian di atas, maka pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan konstruktivis tujuannya dapat dirumuskan sebagai berikut: Seorang untuk guru matematika pertanyaan hendaknya (posing), mempromosikan dan mendorong pengembangan setiap individu di dalam kelas untuk menguatkan konstruksi matematika, pengajuan pengkonstruksian, pengeksplorasian, pemecahan, dan pembenaran masalah-masalah matematika serta konsep-konsep matematika. Guru juga diharapkan mencoba berusaha mengembangkan kemampuan siswa untuk merefleksikan dan mengevaluasi kualitas konstruksi mereka (para siswa). F. Contoh Setting Pembelajaran Matematika Menurut Konstruktivisme Pengukuran Menurut Paradigma Konstruktivisme Anne Hendry seorang guru berpengalaman di daerah pedalaman sebelah barat Massachusetts, USA menjelaskan cara ia mengajarkan konsep pengukuran dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme saat sebelum musim Thanksgiving tiba. Sebelum kelas dimulai saya pindah-pindahkan kursi dan dengan menggunakan pita, saya membuat outline berbentuk kapal laut di lantai kelas berukuran 16 kaki x 6 kaki, yang merupakan kapal yang akan digunakan untuk berlayar ke rumah Raja. Saya juga menyiapkan gulungan surat untuk dibaca oleh para siswa serta menempelkannya di papan buletin dengan topik pembicaraan tentang pengukuran.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

63

Saya memilih salah seorang siswa dan menginstruksikan kepadanya bahwa dalam pembelajaran matematika ia harus menjadi utusan raja membawa maklumat ( Edict) dan diminta mengumumkannya Kapal pesiar ini tak akan berangkat berlayar ke rumah sang Raja, sampai kamu dapat menceritakan seberapa besar kapal itu. Kemudian para siswa berteka-teki. Saya mengatakan kepada para siswa: Baiklah, apa yang harus kita kerjakan? Siapa yang punya ide? Dengan demikian diskusi tentang pengukuran dimulai, atau saya pikir ini akan bermula. Namun ternyata, mereka diam cukup lama. Bagaimana seorang anak kecil akan mengetahui tentang pengukuran? Apakah telah ada yang hadir dalam pengalaman hidup mereka yang dapat mereka hubungkan dengan masalah ini? Saya lihat mereka saling berpandangan satu dengan yang lainnya, saya dapat saksikan bahwa mereka tidak punya ide dari mana harus dimulai. Tentu saya pikir harus ada sesuatu yang mereka dapat gunakan sebagai titik pangkal, rujukan untuk memperluasnya. Seseorang selalu memiliki ide. Namun periode diam terlalu lama menjadikan pelajaran semakin vakum. Kata Anne Hendry: Mereka saling berpandangan, kadang memandang Zeb, kadang pandangan ke arah saya. Untuk kebanyakan pendidik, tindakan Hendry menghubungkan rencana

pelajarannya di kelas dengan masa liburan mendatang merupakan hal yang tak dapat dikecualikan. Namun mereka benar-benar heran pada pilihan seorang guru yang sudah sangat berpengalaman ternyata kelasnya diam begitu lama, serta heningnya kelompok siswa yang kebingungan di kelas. Mengapa ia telah berikan tugas kepada kelas I (Sekolah Dasar) tanpa menunjukkan bagaimana menyelesaikannya? Mengapa bertanya terlebih dahulu sebelum menceritakan kepada seseorang apa yang mereka perlu ketahui sebelum bisa menjawabnya? Bagaimana bisa seorang guru berpengalaman membiarkan siswa dalam pelajarannya menjadi bimbang dengan cara seperti ini. Kembali ke Hendry lagi: Saya memiliki pikiran yang kedua tentang luasnya masalah untuk kelas 1, manakala dengan malu-malu Cindy mengacungkan tangan dan berkomentar: Saya kira kapal itu panjangnya 3 kaki. Saya bertanya: Mengapa?. Cindy menjawab: Sebab surat dari raja mengatakan demikian. Saya berkata: Saya tak mengerti. Dapatkah kamu ceritakan kenapa kapal itu panjangnya 3 kaki? Cindy member alasan: Sebab surat dari Raja mengatakan demikian. Lihat! Saya akan tunjukkan padamu. Ketika surat itu diangkat, diterawangkan menembus cahaya, memuat huruf E yang telah ditulis untuk kata Edict, tampak seperti angka 3. Saya mengklarifikasi jawaban Cindy, untuk Cindy dan kawan-kawannya yang setuju bahwa yang dilihat di kertas raja adalah 3. Kalau begitu Raja telah mengetahui jawabnya. Kemudian kelas kembali ke periode diam. Untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan guru, beberapa siswa mencari-cari suatu bilangan, mencari sebarang bilangan untuk dikaitkan dengan konteks yang sedang dibicarakan. Namun kebingungan Cindy telah dipecahkan. Tingkah laku Anne Hendry tidak membingungkan para pembaca yang membayangkan bahwa pengajaran diturunkan dari kelas matematika di mana mereka duduk sebagai siswa. Guru menjelaskan kepada siswanya prosedur untuk mendapatkan jawaban yang benar, kemudian memonitor kepada siswa bagaimana memproduksi prosedur tersebut.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

64

Menanyakan pertanyaan tanpa sebelumnya menunjukkan kepada mereka bagaimana menjawabnya, sebenarnya dipandang sebagai tak adil. Namun pembelajaran ini terjadi dengan latar belakang pandangan konstruktivisme. Bagaimana belajar itu semestinya terjadi? Apa makna dari matematika dan bagaimana implikasinya pada proses pembelajaran matematika? Sekarang perilaku Hendry menjadi dapat dipahami. Sungguh suatu gambaran yang pertama, memperkenankan kita pada peluncuran suatu pengujian beberapa aspek tentang praktek-praktek pembelajaran matematika yang diinformasikan melalui perspektif ini; kedua pengujian tentang pengalaman guru untuk mengkonstruksi praktek yang demikian. Kita buat suatu ringkasan pengajaran Hendry tentang pengukuran. Penjelasan bahwa yang mereka pikirkan sebagai angka 3 adalah benar-benar huruf E dalam kata Edict yang artinya maklumat. Kemudian Tom mengangkat tangannya dan berkata: Ibu Hendry, saya tahu bahwa ukuran kapal ini tak mungkin 3 kaki. Sebab seorang perawat baru saja mengukur tinggi badanku minggu yang lalu dan mengatakan bahwa tinggiku adalah 4 kaki, dan kapal itu jauh lebih besar daripada badanku. Dari awal pengamatan Tom, diskusi kita tentang pengukuran sebenarnya telah berlangsung. Sekarang para siswa menyadari bahwa mereka mengetahui sedikit tentang pengukuran, secara khusus dalam kaitannya tentang ukuran dirinya dan seberapa tinggi dan mereka masing-masing. Seseorang menyarankan: Mari kita lihat berapa kali panjang Tom-kah kapal kita ini?. Kemudian Tom mengukur menggunakan badan sendiri. Dia berbaring dan berdiri untuk membandingkan berapa panjang kapal itu. Akhirnya siswa-siswa sampai kepada suatu kesimpulan bahwa panjang kapal adalah 4 kali panjang Tom. Anne bertanya: Bagaimana kita dapat menceritakan kepada Sang Raja? Padahal raja tidak mengetahui tingginya Tom. Mengirim Tom ke rumah Raja adalah suatu penyelesaian yang mudah. Sementara anak-anak yang lain protes bahwa mereka menghendaki agar Tom harus bersama-sama mereka di atas Kapal untuk mengikuti Wisata. Sebenarnya Anne Hendry sangat berharap agar mereka dapat menghubungkan informasi yang telah disampaikan kepada kita tentang ukuran-ukuran yang ada. Saya berfikir barang kali ada siswa yang menambahkan 4 kaki sebanyak empat kali dan menyajikannya kepada kita sebagai penyelesaian yang cepat dan tepat. Namun ternyata bukan itu yang mereka ambil. Mark mengacungkan tangannya dan menyarankan bahwa kita dapat mengukur panjang kapal menggunakan tangan kita sebagaimana ia lakukan terhadap seekor kuda. Tetangga Mark mempunyai kuda yang tingginya 15 tangan (minggu sebelumnya ia mengukur tinggi kuda tetangga). Sehingga kita dapat bercerita kepada Raja bahwa kapal ini sekian tangan. Para siswa setuju ini mungkin cara yang terbaik. Saya mengatakan: Baiklah. Karena ini adalah ide Mark, maka Mark diminta mengukur besarnya kapal itu menggunakan tangan Mark. Perlu diingat bahwa Mark adalah anak yang terbesar di kelas. Mula-mula Mark secara acak menempatkan tangannya di atas pita (desain kapal itu) dari

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

65

satu ujung ke ujung lainnya, namun ketika ia mengecek ulang terdapat perbedaan hasil. Para siswa berteka-teki kenapa ini terjadi. Ini memerlukan beberapa kali dan banyak diskusi sebelum sampai kepada suatu kesimpulan penting. Para siswa menetapkan bahwa perlu bagi Mark untuk menyakinkan bahwa ia telah memulai mengukur tepat pada ujung kapal dan jangan sampai ada celah ataupun tumpang tindih setiap kali ia ukur antara jempol dan kelingking yang ia tempatkan pada pita. Menggunakan cara ini ia dapatkan bahwa panjang kapal adalah 36 tangan. Saya berkata: Bagus! Kita pikirkan untuk menceritakan kepada sang Raja. Namun harus diingat bahwa kita mempunyai siswa terkecil yaitu Susi di kelas ini. Susi diminta mengukur kapal untuk sisi kapal yang lain dan diperoleh ukuran 44 tangan. Sekarang mereka menjadi bingung kenapa hasilnya berbeda-beda? Saya bertanya: Dapatkah kita menggunakan tangan untuk mengukur? Siswa menjawab: Tidak. Para siswa memutuskan: Ini tak akan bisa bekerja sebab ukuran tangan setiap anak berbeda-beda. Ali menyarankan untuk menggunakan kaki. Kita coba sekali lagi menggunakan kaki mereka. Ternyata kita temukan dua ukuran yang berbeda. Saat ini mereka mulai sedikit menyimpang untuk membandingkan panjang tangan seseorang dengan tangan orang lain di antara mereka, panjang kaki seseorang dengan panjang kaki orang lain. Kaki siapa yang terbesar dan kaki siapa yang terkecil, tangan siapa yang terpendek dan tangan siapa yang terpanjang? Akhirnya diskusi kita lanjutkan sementara para siswa mengeksplorasi bermacammacam konsep dan ide Joan duduk dan memegang penggaris, namun untuk suatu alasan tidak disarankan menggunakan penggaris. Barangkali pengalaman menggunakan penggaris terbatas dan rupanya kurang yakin bagaimana memakainya. Dilema ini berlangsung sampai hari berikutnya ketika para siswa merakit lagi diskusi masalah itu dengan pandangan baru. Seorang anak menyarankan bahwa karena Zeb diketahui Raja dan setiap orang di sini mengetahui Zeb, kita harus gunakan kaki Zeb. Ukurkan kaki Zeb di atas kertas dari ukurlah segala sesuatu menggunakan kaki Zeb ini. Menggunakan bentuk ukuran ini para siswa mengkaitkan dengan Raja bahwa kapal ini panjangnya 24 kaki Zeb dan lebarnya 9 kaki Zeb. Keingintahuan bermula untuk mendapatkan cara yang paling baik dan para siswa melanjutkan untuk mengeksplorasi bentuk pengukuran ini dan menetapkan untuk saling mengukur, mengukur kelas, mengukur meja, mengukur karpet menggunakan model Kaki Zeb. Saya biarkan mereka meneliti ide mereka dengan melakukan aktivitas-aktivitas pengukuran pada sisa jam pelajaran hari itu. Sampai pada hari ketiga saya menanyakan kepada siswa mengapa mereka berfikir bahwa ini penting mengembangkan bentuk standar dari pengukuran. Seperti halnya penggunaan Hanya dengan kaki Zeb untuk rnengukur segala sesuatu. Melalui diskusi beberapa hari siswa dapat menginternalisasikan dan memverbalkan suatu keperluan atau kepentingan untuk setiap orang dalam mengukur menggunakan instrumen yang sama. Mereka melihat kebingungan menggunakan tangan yang berbeda-beda, badan atau kaki yang berbeda-beda menyebabkan hasil yang bedabeda pula, dikarenakan ukuran yang tidak konsisten. untuk

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

66

Hendry melanjutkan dalam menjelaskan bagaimana ia sampai kepada sebuah eksplorasi memakai penggaris dengan mengadopsi satuan-satuan pengukuran yang konvensional. Namun beberapa aspek penting dari pembelajarannya telah ada pada kita. Di sini kita tidak melihat bagaimana Hendry terikat pada tingkah laku pembelajaran tradisional yang paling umum, yaitu: memberikan pengarahan dan menawarkan penjelasan, melainkan kita amati pertanyaannya kepada siswa dan pertanyaanpertanyaan yang kadang-kadang merupakan pertanyaan kecil. Ketika mereka sampai kepada suatu kesimpulan, lebih sering mereka tidak mendapat penjelasan, ketimbang penerangan atau suatu ramalan dan kebingungan. Hal penting dari pandangan ini bahwa: Maternatika adalah suatu temuan manusia dalam koridor sejarah yang panjang, secara budaya terpancang di sekolah-sekolah dalam lomba berfikir perubahan pola-pola dan beberapa pertanyaan mungkin tak terpecahkan. Pertanyaan-pertanyaan atau pernyataan-pernyataan penting yang menyetir pembelajaran Anne Hendry menggunakan pendekatan konstruktivisme antara lain: a. Apa yang harus kita kerjakan? b. Siapa yang punya ide? c. Mengapa? d. Saya tidak tahu. e. Dapatkah kamu ceritakan mengapa panjang kapal itu 3 kaki? f. Bagaimana kita ceritakan itu kepada Raja, padahal Raja tidak mengetahui Tom? dan semacamnya. Jelas sekali bahwa yang menjadi pusat pembelajaran dari Hendry bukanlah masalah yang ia ajukan kepada siswa, bukan pula pertanyaan spesifik yang ia berikan, namun sifat-sifat mencari keterikatan para siswa dalam diskusi dan kelihaian membimbing para siswa. Praktek dari Hendry tidak dapat ditulis atau dibuat skripnya (naskahnya). Tergantung kepada kemampuan guru menjawab secara spontan terhadap kebingungan dan penemuan siswa. Evaluasi pembelajaran terjadi sepanjang proses negosiasi dan sepanjang proses pembelajaran berlangsung. g. .............

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

67

BAB V MASALAH BELAJAR


A. Pengertian Belajar Belajar didefinisikan: 1. Sebagai modifikator atau pengukuhan tingkah laku melalui perolehan pengalaman (learning is defined as the modificator or strengthening of behavior through experiencing), sehingga lebih tepat jika dikatakan bahwa belajar bukan sekedar hanya mengingat atau menghafal, namun lebih luas daripada itu yaitu mengalami (Oemar Hamalik, 2003: 27). 2. Suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif konstan dan berbekas (Winkel, 1996: 53). 3. Suatu proses perubahan tingkah laku individu atau seseorang melalui interaksi dengan lingkungan yang mencakup perubahan dalam kebiasaan ( habit), kecakapan (skill), atau dalam tiga aspek yaitu pengetahuan, sikap dan keterampilan (Oemar Hamalik, 2003: 28). Ciri-ciri belajar sebagai berikut: 1. secara langsung. 2. 3. pengalaman atau latihan. 4. sesuatu yang relatif menetap. 5. 6. interaksi dengan lingkungan. Seseorang dikatakan belajar matematika apabila pada diri orang tersebut terjadi suatu kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan tingkah laku yang berkaitan dengan matematika. Perubahan tersebut terjadi dari tidak tahu menjadi tahu konsep tersebut, dan mampu menggunakannya dalam materi lanjut atau dalam kehidupan sehari-hari (Herman Hudoyo, 1988: 4). Beberapa hal yang perlu diperhatikan agar belajar menjadi efektif (Slameto, 2003: 7392): 1. Adanya bimbingan dari guru. 68 Belajar merupakan suatu proses usaha, yang artinya belajar berlangsung dalam kurun waktu cukup lama. Belajar terjadi karena ada Perubahan tingkah laku menjadi Perubahan tingkah laku meliputi tingkah laku kognitif, afektif, psikomotorik, dan campuran. Perubahan terjadi melalui Ada perubahan tingkah laku, baik tingkah laku yang dapat diamati maupan tingkah laku yang tidak dapat diamati

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

2. 3.

Kondisi internal (kondisi yang ada dalam diri siswa), kondisi eksternal (kondisi yang ada di luar diri siswa), dan strategi belajar siswa. Metode belajar siswa. Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa belajar matematika yang

efektif adalah terjadinya perubahan tingkah laku (kebiasaan, pengetahuan, sikap, dan keterampilan) relatif konstan dan berbekas pada diri seseorang yang diperoleh melalui pengalaman dan latihan dalam matematika yang melibatkan aktivitas mental yang berlangsung dalam interaksi aktif seseorang dengan lingkungannya yang dapat memberi pengaruh yang positif dan berguna. B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses dan Hasil Belajar Proses belajar dan hasil belajar dipengaruhi oleh 2 faktor: 1. keduanya. a. Faktor psikis terdiri dari: kognitif, afektif, psikomotorik, campuran, dan kepribadian. Individu yang mempunyai gangguan salah satu faktor psikis, misalnya tingkat kecerdasan terlalu rendah tentu sukar menelaah materi pelajaran walaupun materi pelajaran tersebut sangat sederhana. Individu dengan gangguan psikis lain, misalnya sukar mengingat, daya fantasi lemah, jika ingin peningkatan dalam prestasi belajarnya maka dibutuhkan proses belajar yang disesuaikan dengan kelemahannya. Belajar dipengaruhi oleh peranan: 1) Arousal: suatu peningkatkan kesiap-siagaan dan ketegangan otot. Agar individu dapat belajar secara efisien maka harus dalam keadaan arousal, yang artinya harus bangun, sadar, dan memperhatikan lingkungan secara tajam. 2) Motivasi: kondisi psikis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motivasi diperlukan bagi reinforcement yaitu stimulus yang memperkuat dan mempertahankan tingkah laku yang dikehendaki, yang merupakan kondisi mutlak bagi proses belajar. b. 2. Faktor fisik terdiri dari: indera, anggota badan, tubuh, kelenjar, syaraf, dan organ-organ dalam tubuh. Faktor yang berasal dari luar diri individu yang sedang belajar, yaitu: faktor lingkungan alam, faktor sosial-ekonomi, guru, metode mengajar, kurikulum, program, materi pelajaran, sarana dan prasarana. C. Kiat Belajar Efektif Beberapa kiat belajar efektif bagi siswa sebagai berikut: Faktor yang berasal dari diri individu yang sedang belajar merupakan keadaan yang ditentukan oleh faktor keturunan, lingkungan, dan

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

69

1.

Sebelum pembelajaran, seharusnya siswa telah siap pikiran dan mental bahwa dalam belajar nanti akan bertemu dengan guru dan teman-teman yang mempunyai karakter berbeda satu sama lain.

2. mengajukan 3. pertanyaan, mengemukakan

Selama pendapat, Sesudah tugas, sehingga tidak bingung setelah sampai di rumah.

pembelajaran, berkomentar,

usahakan menjawab apabila

berpartisipasi aktif (proaktif dan reaktif) dalam setiap kegiatan, misalnya berusaha pertanyaan dalam setiap tatap muka dengan guru. pembelajaran, guru memberikan tugas, alangkah baiknya jika siswa paham betul apa yang menjadi 4. Khusus untuk kegiatan membaca bahan pelajaran, usahakan mencermati arti bacaan tersebut yaitu dengan cara membaca sampai memahami arti bacaan serta berimprovisasi terhadap materi bacaan tersebut, bukan membaca hanya sekedar membaca tanpa makna.

D. Teori Belajar Untuk lebih mengenal masalah belajar, maka perlu memahami teori belajar. Teori belajar dapat digolongkan menjadi 2 aliran, yaitu teori behavioristik dan teori kognitif. Perbedaan karakteristik teori belajar yang termasuk dalam aliran psikologi tingkah laku dan aliran psikologi kognitif: N o 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Aliran psikologi tingkah laku Mementingkan lingkungan. Mementingkan Mementingkan Mementingkan hasil belajar. Mementingkan yang lalu. Mementingkan peranan faktor Aliran psikologi kognitif Mementingkan apa yang ada pada diri siswa. Mementingkan keseluruhan. Mementingkan peranan fungsi kognitif. Mementingkan keseimbangan dalam diri siswa (dynamis equilibrium). Mementingkan kondisi yang ada pada waktu ini (sekarang). Mementingkan pemmbentukan struktur kognitif. Dalam pemecahan masalah bercirikan insight, artinya pemahaman.

bagian-bagian (elemen). peranan reaksi. mekanisme terbentuknya sebab-sebab di waktu

pembentukan kebiasaan.

8.

Dalam pemecahan masalah bercirikan trial and error. Maksudnya, untuk mencapai hubungan antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat, serta melalui usahausaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (errors) terlebih dahulu. Contoh: Teori Edward Lee Thorndike. Teori Burrhus Frederic Skinner. Teori David Paul Ausubel.

Contoh: Teori Jean Piaget. Teori Jerome Bruner. Teori Gestalt.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

70

Teori Teori Teori Teori

Robert Mills Gagne. Ivan Petrovich Pavlov. Albert Bandura. Joy Paulus Guilford.

Teori William Arthur Brownell. Teori Zoltan Paul Dienes Teori Van Hiele.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

71

BAB VI RINGKASAN TEORI PSIKOLOGI BELAJAR


A. 1. Teori Belajar Tingkah Laku Teori Edward Lee Thorndike Edward Lee Thorndike (1874 1949) mengemukakan beberapa hukum belajar yang dikenal dengan sebutan Law of effect. Belajar akan lebih berhasil bila respon siswa terhadap suatu stimulus segera diikuti dengan rasa senang atau kepuasan. Rasa senang atau kepuasan ini bisa timbul sebagai akibat anak mendapatkan pujian atau ganjaran lainnya. Stimulus ini termasuk reinforcement. Setelah anak berhasil melaksanakan tugasnya dengan tepat dan cepat, pada diri anak muncul kepuasan diri sebagai akibat sukses yang diraihnya. Anak memperoleh suatu kesuksesan yang pada gilirannya akan mengantarkan dirinya ke jenjang kesuksesan berikutnya. Teori belajar stimulus-respon yang dikemukakan oleh Thorndike ini disebut juga koneksionisme. Teori ini menyatakan bahwa pada hakikatnya belajar merupakan proses pembentukan hubungan antara stimulus dan respon. Terdapat beberapa dalil atau hukum kesiapan (law of readiness), hukum latihan (law of exercise) dan hukum akibat (law of effect). Hukum kesiapan menerangkan bagaimana kesiapan seorang anak dalam melakukan suatu kegiatan. Seorang anak yang mempunyai kecenderungan untuk bertindak atau melakukan kegiatan tertentu dan kemudian dia benar melakukan kegiatan tersebut, maka tindakannya akan melahirkan kepuasan bagi dirinya. Tindakantindakan lain yang dia lakukan tidak menimbulkan kepuasan bagi dirinya. Seorang anak yang mempunyai kecenderungan untuk bertindak dan kemudian bertindak, sedangkan tindakannya itu mengakibatkan ketidakpuasan bagi dirinya, akan selalu menghindarkan dirinya dari tindakan-tindakan yang melahirkan ketidakpuasan itu. Seorang anak yang tidak mernpunyai kecenderungan untuk bertindak atau melakukan kegiatan tertentu, sedangkan anak tersebut ternyata melakukan tindakan, maka apa yang dilakukannya itu akan menimbulkan rasa tidak puas bagi dirinya. Dia akan melakukan tindakan lain untuk menghilangkan ketidakpuasan tersebut. Dari ciri-ciri di atas dapat disimpulkan bahwa seorang anak akan lebih berhasil belajarnya, jika ia telah siap untuk melakukan kegiatan belajar. Hukum latihan menyatakan bahwa jika hubungan stimulus-respon sering terjadi, akibatnya hubungan akan semakin kuat, sedangkan makin jarang hubungan stimulus-respon dipergunakan, maka makin lemah hubungan yang terjadi. Hukum latihan pada dasarnya menggunakan dasar bahwa stimulus dan respon akan memiliki hubungan satu sama lain secara kuat, jika proses pengulangan sering terjadi, makin banyak kegiatan ini dilakukan maka hubungan yang terjadi akan bersifat otomatis. Seorang anak yang dihadapkan pada suatu persoalan yang sering ditemuinya akan segera melakukan tanggapan secara cepat sesuai dengan pengalamannya pada waktu sebelumnya.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

72

Kenyataan menunjukkan bahwa pengulangan yang akan memberikan dampak positif adalah pengulangan yang frekuensinya teratur, bentuk pengulangan yang tidak membosankan, dan kegiatan disajikan dengan cara yang menarik. Sebagai contoh untuk mengajarkan konsep pemetaan pada anak, guru menjelaskan pengertian pemetaan yang diikuti dengan contoh-contoh relasi. Guru menguji apakah anak sudah benar-benar menguasai konsep pemetaan. Untuk itu guru menanyakan apakah semua relasi yang diperlihatkannya itu termasuk pemetaan atau tidak. Jika tidak, anak diminta untuk menjelaskan alasan atau sebab-sebab kriteria pemetaan tidak terpenuhi. Penguatan konsep lewat cara ini dilakukan dengan pengulangan. Namun tidak berarti bahwa pengulangan dilakukan dengan bentuk pertanyaan atau informasi yang sama, melainkan dalam bentuk informasi yang dimodifikasi, sehingga anak tidak merasa bosan. Dalam hukum akibat dijelaskan bahwa kepuasan yang terlahir dari adanya ganjaran dari guru akan memberikan kepuasan bagi anak, dan anak cenderung untuk berusaha melakukan atau meningkatkan apa yang telah dicapainya itu. Guru yang memberi senyuman wajar terhadap jawaban anak, akan semakin menguatkan konsep yang tertanam pada diri anak. Kata-kata Bagus, Hebat, Kau sangat teliti dan semacamnya akan merupakan hadiah bagi anak yang kelak akan meningkatkan dirinya dalam menguasai pelajaran. Sebaliknya guru juga harus tanggap terhadap respon anak yang salah. Jika kekeliruan anak dibiarkan tanpa penjelasan yang benar dari guru, ada kernungkinan anak akan menganggap benar dan kemudian mengulanginya. Anak yang menyelesaikan tugas atau pekerjaan rumah, namun hasil kerjanya itu tidak diperiksa oleh gurunya, ada kemungkinan beranggapan bahwa jawaban yang dia berikan adalah benar. Anggapan ini akan mengakibatkan jawaban yang tetap salah di saat anak mengikuti tes. Demikian pula anak yang telah mengikuti ulangan dan mendapat nilai jelek, perlu diberitahukan kekeliruan yang dilakukannya pada saat melakukan tes. Tidaklah mengherankan, kiranya, jika ada anak yang diberi tes berulang, namun hasilnya masih tetap buruk. Ada kemungkinan konsep yang dipegangnya itu dianggap sebagai jawaban yang benar. Penguatan seperti ini akan sangat merugikan anak. Oleh karena itu perlu dihilangkan. Dari hukum akibat ini dapat disimpulkan bahwa jika terdapat asosiasi yang kuat antara pertanyaan dan jawaban, maka bahan yang disajikan akan tertanam lebih lama dalam ingatan anak. Selain itu, banyaknya pengulangan akan sangat menentukan lamanya konsep diingat anak. Makin sering pengulangan dilakukan akan makin kuat konsep tertanam dalam ingatan anak. Di samping itu, Thorndike mengemukakan pula bahwa kualitas dan kuantitas hasil belajar siswa tergantung dari kualitas dan kuantitas Stimulus-Respon (S-R) dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Makin banyak dan makin baik kualitas S-R yang diberikan guru, maka makin banyak dan makin baik pula hasil belajar siswa.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

73

Selanjutnya Thorndike mengemukakan hukum tambahan sebagai berikut: a. (law of multiple response) Individu diawali dengan proses trial and error yang menunjukkan bermacam-macam respon sebelum memperoleh respon yang tepat dalam memecahkan masalah yang dihadapi. b. attitude) Perilaku belajar seseorang tidak hanya ditentukan oleh hubungan stimulus dan respon saja, tetapi juga ditentukan oleh keadaan yang ada dalam diri individu baik kognitif, emosi, sosial, maupun psikomotornya. c. sebelah (law of prepotency element) Individu dalam proses belajar memberikan respons pada stimulus tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi (respon selektif). d. analogi (law of response by analogy) Individu dapat melakukan respons pada situasi yang belum pernah dialami karena individu sesungguhnya dapat menghubungkan situasi yang belum pernah dialami dengan situasi lama yang pernah dialami sehingga terjadi transfer atau perpindahan unsur-unsur yang telah dikenal ke situasi baru. Semakin banyak unsur yang sama, maka transfer akan semakin mudah. e. (law of associative shifting) Proses peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi yang belum dikenal dilakukan secara bertahap dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit unsur lama. Selain menambahkan hukum-hukum baru, dalam perjalanan penyampaian teorinya, Thorndike mengemukakan revisi hukum belajar antara lain: a. Hukum latihan ditinggalkan karena ditemukan pengulangan saja tidak cukup untuk memperkuat hubungan stimulus-respons, sebaliknya tanpa pengulangan belum tentu akan memperlemah hubungan stimulus-respons. b. Hukum akibat (law of effect) direvisi, karena dalam penelitiannya lebih lanjut ditemukan bahwa hanya sebagian saja dari hukum ini yang benar. Jika diberikan hadiah (reward) maka akan meningkatkan hubungan stimulus-respons, sedangkan jika diberikan hukuman (punishment) tidak berakibat apa-apa. c. Syarat utama terjadinya hubungan stimulus-respons bukan kedekatan, tetapi adanya saling sesuai antara stimulus dan respons. d. Akibat suatu perbuatan dapat menular baik pada bidang lain maupun pada individu lain. Hukum perpindahan asosiasi Hukum respon melalui Hukum aktivitas berat Hukum sikap (law of Hukum reaksi bervariasi

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

74

Implikasi dari aliran pengaitan ini dalam kegiatan belajar mengajar sehari-hari adalah bahwa: a. Dalam menjelaskan suatu konsep tertentu, guru sebaiknya mengambil contoh yang sekiranya sudah sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Alat peraga dari alam sekitar akan lebih dihayati. b. Metode pemberian tugas, metode latihan (drill dan practice) akan lebih cocok untuk penguatan dan hafalan. Dengan penerapan metode tersebut siswa akan lebih banyak mendapatkan stimulus sehingga respon yang diberikan pun akan lebih banyak. c. Dalam kurikulum, materi disusun dari materi yang mudah, sedang, dan sukar sesuai dengan tingkat kelas, dan tingkat sekolah. Penguasaan materi yang lebih mudah sebagai akibat untuk dapat menguasai materi yang lebih sukar. Dengan kata lain topik (konsep) prasyarat harus dikuasai dulu agar dapat memahami topik berikutnya. 2. Teori Burhus Frederic Skinner Burhus Frederic Skinner menyatakan bahwa ganjaran atau penguatan mempunyai peranan yang amat penting dalam proses belajar. Terdapat perbedaan antara ganjaran dan penguatan. Ganjaran merupakan respon yang sifatnya menggembirakan dan merupakan tingkah laku yang sifatnya subjektif, sedangkan penguatan merupakan sesuatu yang mengakibatkan meningkatnya kemungkinan suatu respon dan lebih mengarah kepada hal-hal yang sifatnya dapat diamati dan diukur. Dalam teorinya, Skinner menyatakan bahwa penguatan terdiri atas penguatan positif dan penguatan negatif. Penguatan dapat dianggap sebagai stimulus positif, jika penguatan tersebut seiring dengan meningkatnya perilaku anak dalam melakukan pengulangan perilakunya itu. Dalam hal ini penguatan yang diberikan pada anak memperkuat tindakan anak, sehingga anak semakin sering melakukannya. Yang termasuk contoh penguatan positif diantaranya adalah pujian yang diberikan pada anak. Sikap guru yang bergembira pada saat anak menjawab pertanyaan, merupakan penguatan positif pula. Untuk mengubah tingkah laku anak dari negatif menjadi positif, guru perlu mengetahui psikologi yang dapat digunakan untuk memperkirakan (memprediksi) dan mengendalikan tingkah laku anak. Guru di dalam kelas mempunyai tugas untuk mengarahkan anak dalam aktivitas belajar, karena pada saat tersebut, kontrol berada pada guru, yang berwenang memberikan instruksi ataupun larangan pada anak didiknya. Penguatan akan berbekas pada diri anak. Mereka yang mendapat pujian setelah berhasil menyelesaikan tugas atau menjawab pertanyaan biasanya akan berusaha memenuhi tugas berikutnya dengan penuh semangat. Penguatan yang berbentuk hadiah atau pujian akan memotivasi anak untuk rajin belajar dan mempertahankan prestasi yang diraihnya. Penguatan seperti ini sebaiknya segera diberikan dan tak perlu ditunda-tunda. Karena penguatan akan berbekas pada anak, sedangkan hasil penguatan diharapkan positif, maka penguatan yang diberikan tentu harus diarahkan pada respon anak yang benar. Janganlah memberikan penguatan atas respon anak jika respon

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

75

tersebut sebenarnya tidak diperlukan. Skinner menambahkan bahwa jika respon siswa baik (menunjang efektivitas pencapaian tujuan) harus segera diberi penguatan positif agar respon tersebut lebih baik lagi, atau minimal perbuatan baik itu dipertahankan. Misalnya dengan mengatakan bagus, pertahankan prestasimu untuk siswa yang mendapat nilai tes yang memuaskan. Sebaliknya jika respon siswa kurang atau tidak diharapkan sehingga tidak menunjang tujuan pengajaran, harus segera diberi penguatan negatif agar respon tersebut tidak diulangi lagi dan berubah menjadi respon yang sifatnya positif. Penguatan negatif ini bisa berupa teguran, peringatan, atau sangsi (hukuman edukatif). 3. Teori David Paul Ausubel Teori ini terkenal dengan belajar bermaknanya dan pentingnya pengulangan sebelum belajar dimulai. Belajar mengaitkan terdapat dalam dalam informasi struktur bermakna (meaningful baru kognitif dengan learning) adalah yang proses dan konsep-konsep relevan

seseorang. Ia membedakan antara belajar

menemukan dengan belajar menerima. Pada belajar menerima siswa hanya menerima, jadi tinggal menghapalkannya, tetapi pada belajar menemukan konsep ditemukan oleh siswa, jadi tidak menerima pelajaran begitu saja. Selain itu untuk dapat membedakan antara belajar menghafal dengan belajar bermakna. Pada belajar menghafal, siswa menghafalkan materi yang sudah diperolehnya, tetapi pada belajar bermakna materi yang telah diperoleh itu dikembangkan dengan keadaan lain sehingga belajarnya lebih dimengerti. Bedasarkan belajar bermakna, Ausabel mengajukan lima prinsip pembelajaran sebagai berikut: a. Subsumption Proses penggabungan ide atau pengalaman terhadap pola-pola ide yang telah lalu yang sudah dimiliki. b. Advance organizer Pengatur awal (advance organizer) dapat digunakan guru dalam membantu mengaitkan konsep lama dengan konsep baru yang lebih tinggi maknanya. Penggunaan pengatur awal tepat dapat meningkatkan pemahaman berbagai macam materi, terutama materi pelajaran yang telah mempunyai struktur yang teratur. Pada saat mengawali pembelajaran suatu pokok bahasan sebaiknya menggunakan advance organizer, sehingga pembelajaran akan lebih bermakna. c. Progressive differentiation Dalam proses belajar bermakna perlu ada pengembangan dan kolaborasi konsepkonsep. Caranya unsur yang paling umum dan inklusif dipekenalkan dahulu kemudian baru yang lebih mendetail, sehingga proses pembelajaran dari umum ke khusus disertai dengan contoh-contoh. d. Consolidation

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

76

Materi harus lebih dahulu dikuasai sebelum melanjutkan ke materi yang lebih lanjut apabila materi tersebut menjadi dasar untuk materi selanjutnya. Pemantapan materi disajikan lebih banyak contoh atau latihan sehingga siswa bisa lebih paham dan selanjutnya siap menerima materi baru. e. Integrative reconciliation Pada suatu saat siswa kemungkinan akan menghadapi kenyataan bahwa dua atau lebih nama konsep digunakan untuk menyatakan konsep yang sama atau bila nama yang sama diterapkan pada lebih satu konsep. Untuk mengatasi pertentangan kognitif itu, Ausabel mengajukan konsep pembelajaran penyesuaian integrative. Caranya disajikan. Secara umum teori Ausubel dalam praktek sebagai berikut: a. Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran. b. Mengukur kesiapan siswa (minat, kemampuan, struktur kognitif) baik melalui tes awal, interview, review, pertanyaan, dan lain-lain. c. Memilih materi pelajaran dan mengaturnya dalam bentuk penyajian konsep-konsep kunci. d. Mengidentifikasi prinsip-prinsip yang harus dikuasai siswa dari materi tersebut. e. Menyajikan suatu pandangan secara menyeluruh tentang apa yang harus dipelajari. f. Membuat rangkuman terhadap materi yang baru saja diberikan, dilengkapi dengan uraian singkat yang menunjukkan relevansi (keterkaitan) materi yang sudah diberikan dengan materi baru yang akan diberikan. g. Mengajar siswa memahami konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang sudah ditentukan dengan memberi fokus pada hubungan yang terjalin antara konsep-konsep yang ada. h. Mengevaluasi proses dan hasil belajar. Sewaktu metode menemukan dianggap sebagai suatu metode mengajar yang baik karena bermakna, dan sebaliknya metode ceramah adalah metode yang merupakan belajar menerima, Ausubel menentang pendapat itu. Ia berpendapat bahwa dengan metode penemuan maupun dengan metode ceramah bisa menjadi belajar menerima atau belajar bermakna, tergantung dari situasinya. Ausubel mengemukakan bahwa metode ekspositori adalah metode mengajar yang paling baik dan bermakna. Hal ini ia kemukakan berdasarkan hasil penelitiannya. Belajar menerima maupun menemukan sama-sama dapat berupa belajar menghafal atau bermakna. Misalnya dalam mempelajari konsep Pythagoras tentang segitiga siku-siku. Rumus c2 = b2 + a2 sudah disajikan (belajar menerima), tetapi jika siswa dalam memahami rumus itu selalu dikaitkan dengan sisi-sisi sebuah segitiga siku-siku akan merupakan belajar bermakna. Siswa lain memahami rumus itu dengan cara melalui pencarian tetapi bila kemudian ia menghafalkannya tanpa dikaitkan dengan sisi sebuah segitiga siku-siku menjadi menghafal. materi pelajaran disusun sedemikian rupa, sehingga guru dapat menggunakan hierarki-hierarki konseptual ke atas dan ke bawah selama informasi

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

77

4.

Teori Robert Mills Gagne Menurut Gagne, dalam belajar matematika ada dua objek yang dapat diperoleh

siswa, yaitu objek langsung dan objek tak langsung. Objek tak langsung antara lain kemampuan menyelidiki dan memecahkan masalah, belajar mandiri, bersikap positif terhadap matematika, dan tahu bagaimana semestinya belajar. Sedangkan objek langsung berupa fakta, keterampilan, konsep, dan aturan. Fakta adalah objek matematika yang tinggal menerimanya, seperti lambang bilangan, sudut, dan notasi-notasi matematika lainnya. Keterampilan berupa kemampuan memberikan jawaban dengan tepat dan cepat, misalnya melakukan pembagian bilangan yang cukup besar dengan bagi kurung, menjumlahkan pecahan, melukis sumbu sebuah ruas garis. Konsep adalah ide abstrak yang memungkinkan kita dapat mengelompokkan objek ke dalam contoh dan non contoh. Misalkan, konsep bujursangkar, bilangan prima, himpunan, dan vektor. Aturan ialah objek yang paling abstrak yang berupa sifat atau teorema. Menurut Gagne, belajar dapat dikelompokkan menjadi 8 tipe belajar, yaitu: a) belajar isyarat, b) stimulus respon, c) rangkaian gerak, d) rangkaian verbal, e) membedakan, f) pembentukan konsep, g) pembentukan aturan, dan h) pemecahan masalah. Kedelapan tipe belajar itu terurut menurut taraf kesukarannya dari belajar isyarat sampai ke belajar pemecahan masalah. Belajar isyarat adalah belajar yang tingkatnya paling rendah, karena tidak ada niat atau spontanitas. Contohnya menyenangi atau menghindari pelajaran karena akibat perilaku gurunya. Stimulus-respon merupakan kondisi belajar yang ada niat diniati dan responnya jasmaniah. Misalnya siswa meniru tulisan guru di papan tulis. Rangkaian gerak adalah perbuatan jasmaniah terurut dari dua kegiatan atau lebih dalam rangka stimulus-respon. Rangkaian verbal adalah perbuatan lisan terurut dari dua kegiatan atau lebih dalam rangka stimulus-respon. Contohnya adalah mengemukakan pendapat, menjawab pertanyaan guru secara lisan. Belajar membedakan adalah belajar memisah-misah rangkaian yang bervariasi. Pembentukan konsep disebut juga tipe belajar pengelompokan, yaitu belajar melihat sifat bersama benda-benda konkrit atau peristiwa untuk dijadikan suatu kelompok. Dalam hal tertentu diperlukan tipe belajar yang mengharapkan siswa untuk mampu memberikan respon terhadap stimulus dengan segala macam perbuatan. Kemampuan di sini terutama rumus adalah kemampuan dan menggunakannya. Misalnya pemahaman terhadap kuadrat

menggunakannya dalam menyelesaikan persamaaan kuadrat. Belajar pemecahan masalah adalah tipe belajar yang paling tinggi karena lebih kompleks dari pembentukan aturan. Dalam pemecahan masalah, biasanya ada lima langkah yang harus dilakukan, yaitu: a. Menyajikan masalah dalam bentuk yang jelas.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

78

b. Menyatakan masalah dalam bentuk yang operasional. c. Menyusun hipotesis-hipotesis alternatif dan prosedur kerja yang diperkirakan baik. d. Mengetes hipotesis dan melakukan kerja untuk memperoleh hasilnya. e. Mengecek kembali hasil yang sudah diperoleh. Lebih jauh Gagne mengemukakan bahwa hasil belajar harus didasarkan pada pengamatan tingkah laku, melalui stimulus-respon dan belajar bersyarat. Alasannya adalah bahwa manusia itu organisme pasif yang bisa dikontrol melalui imbalan dan hukuman 5. Teori Ivan Petrovich Pavlov Pavlov terkenal dengan teori belajar klasik. Ia melakukan percobaan terhadap seekor anjing. Anjing itu dikurung, dalam suatu kandang dengan waktu tertentu dan diberi makan. Setiap akan diberi makan, Pavlov membunyikan bel. Ia memperhatikan bahwa setiap dibunyikan bel pada jangka waktu tertentu anjing itu mengeluarkan air liurnya, meskipun tidak diberi makanan. Pavlov mengemukakan konsep pembiasaan (conditioning). Dalam hubungannya dengan kegiatan belajar mengajar, agar siswa belajar dengan baik maka harus dibiasakan. Misalnya, agar siswa mengerjakan soal pekerjaan rumah dengan baik, biasakanlah dengan memeriksanya, menjelaskannya, atau memberi nilai terhadap hasil pekerjaannya. 6. Teori Albert Bandura Bandura mengemukakan bahwa siswa belajar melalui meniru. Pengertian meniru di sini bukan berarti menyontek, tetapi meniru hal-hal yang dilakukan oleh orang lain, terutama guru. Jika tulisan guru baik, guru berbicara sopan santun dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar, tingkah laku yang terpuji, menerangkan dengan jelas dan sistematik, maka siswa akan menirunya. Jika contoh-contoh yang dilihatnya kurang baik ia pun menirunya. Dengan demikian guru harus menjadi manusia model yang profesional. Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata-mata refleks otomatis atas stimulus, melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif manusia itu sendiri. Teori belajar sosial dari Bandura ini merupakan gabungan antara teori belajar behavioristik dengan penguatan dan psikologi kognitif, dengan prinsip modifikasi perilaku. Teori Belajar Sosial (Social Learing Theory) dari Bandura didasarkan pada tiga konsep, yaitu: a. Reciprocal determinism Pendekatan yang menjelaskan tingkah laku manusia dalam bentuk interaksi timbalbalik yang terus menerus antara kognitif, tingkah laku dan lingkungan. Orang

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

79

menentukan/ mempengaruhi tingkahlakunya dengan mengontrol lingkungan, tetapi orang itu juga dikontrol oleh kekuatan lingkungan itu. b. Beyond reinforcement Bandura memandang teori Skinner dan Hull terlalu bergantung pada reinforcement. Jika setiap unit respon sosial yang kompleks harus dipilah-pilah untuk direforse satu persatu, bisa jadi orang malah tidak belajar apapun. Menurutnya, reinforcement penting dalam menentukan apakah suatu tingkah laku akan terus terjadi atau tidak, tetapi itu bukan satu-satunya pembentuk tingkah laku. Orang dapat belajar melakukan sesuatu hanya dengan mengamati dan kemudian mengulang apa yang dilihatnya. Belajar melalui observasi tanpa ada reinforcement yang terlibat, berarti tingkah laku ditentukan oleh antisipasi konsekuensi. c. Self-regulation/ cognition Teori belajar tradisional sering terhalang oleh ketidaksenangan atau ketidakmampuan mereka untuk menjelaskan proses kognitif. Konsep bandura menempatkan manusia sebagai pribadi yang dapat mengatur diri sendiri (self regulation), sendiri. Prinsip dasar belajar sosial (social learning) adalah: a. Sebagian besar dari yang dipelajari manusia terjadi melalui peniruan (imitation), dan penyajian contoh perilaku (modeling). b. Dalam hal ini, seorang siswa mengubah perilaku sendiri melalui penyaksian cara orang/ sekelompok orang yang mereaksi/ merespon sebuah stimulus tertentu. c. Siswa dapat mempelajari respons-respons baru dengan cara pengamatan terhadap perilaku contoh dari orang lain, misalnya: guru/ orang tuanya. Pendekatan teori belajar sosial terhadap proses perkembangan sosial dan moral siswa ditekankan pada perlunya pembiasaan merespons (conditioning) dan peniruan (imitation). Langkah-langkah belajar sosial (social learning) adalah: a. Conditioning. Dalam belajar mengembangkan perilaku sosial dan moral pada dasarnya sama dengan belajar untuk mengembangkan perilaku-perilaku lainnya, yakni perlunya hadiah/ ganjaran (reward), dan hukuman (punishment). b. Imitation. Orang tua dan guru seyogyanya memainkan peranan penting sebagai seorang model/ tokoh yang dijadikan contoh berperilaku sosial dan moral bagi siswa. Contoh: mula-mula seorang siswa mengamati model gurunya sendiri yang sedang melakukan sebuah aktivitas sosial, umpamanya menerima tamu, lalu perbuatan menjawab salam, berjabat tangan, beramah-tamah, dan seterusnya yang dilakukan model itu diserap oleh memori siswa tersebut. Diharapkan, cepat/ lambat siswa tersebut mampu meniru sebaik-baiknya perbuatan sosial yang dicontohkan oleh model itu. mempengaruhi tingkah laku dengan cara mengatur lingkungan, menciptakan dukungan kognitif, mengadakan konsekuensi bagi bagi tingkah lakunya

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

80

Kualitas kemampuan siswa dalam melakukan perilaku sosial hasil pengamatan terhadap model tersebut, antara lain bergantung pada ketajaman persepsinya mengenai ganjaran dan hukuman yang berkaitan dengan benar dan salahnya perilaku yang ia tiru dari model tadi. Prinsip-prinsip dari faktor model atau teladan sebagai berikut: a. Tingkat tertinggi belajar dari pengamatan diperoleh dengan cara mengorganisasikan sejak awal dan mengulangi perilaku secara simbolik kemudian melakukannya. Proses mengingat akan lebih baik dengan cara mengkodekan perilaku yang ditiru kedalam kata-kata, tanda atau gambar dari pada hanya observasi sederhana (hanya melihat saja). Contohnya: belajar gerakan tari dari instruktur membutuhkan pengamatan dari berbagai sudut yang dibantu cermin dan langsung ditirukan oleh siswa pada saat itu juga. Proses meniru akan lebih terbantu jika gerakan tadi juga didukung dengan penayangan video, gambar atau instruksi yang ditulis dalam buku panduan. b. Individu lebih menyukai perilaku yang ditiru jika sesuai dengan nilai yang dimilikinya. c. Individu akan menyukai perilaku yang ditiru jika model atau panutan tersebut disukai dan dihargai serta perilakunya mempunyai nilai yang bermanfaat. Teori belajar sosial memiliki banyak implikasi untuk penggunaan di dalam kelas, yaitu: a. Siswa sering belajar banyak hanya dengan mengamati orang lain, yaitu guru. b. Menggambarkan konsekuensi perilaku yang dapat secara efektif meningkatkan perilaku yang sesuai dan menurunkan yang tidak pantas. Hal ini dapat melibatkan berdiskusi dengan pelajar tentang imbalan dan konsekuensi dari berbagai perilaku. c. Modeling menyediakan alternatif untuk membentuk perilaku baru untuk mengajar. Untuk mempromosikan model yang efektif, seorang guru harus memastikan bahwa empat kondisi esensial ada, yaitu perhatian, retensi, motor reproduksi, dan motivasi, d. Guru dan orangtua harus menjadi model perilaku yang sesuai dan berhati-hati agar mereka tidak meniru perilaku yang tidak pantas, e. Siswa harus percaya bahwa mereka mampu menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Sehingga sangat penting untuk mengembangkan rasa efektivitas diri untuk siswa. Guru dapat meningkatkan efektivitas diri seperti itu dengan memiliki rasa percaya diri siswa memperlihatkan pengalaman orang lain menjadi sukses, dan pengalaman sukses mereka sendiri. f. Guru harus membantu siswa menetapkan harapan yang realistis untuk prestasi akademiknya. Pada umumnya di kelas yang berarti memastikan bahwa harapan tidak diatur terlalu rendah. g. Teknik pengaturan diri menyediakan metode yang efektif untuk meningkatkan perilaku siswa. Bandura mengusulkan tiga macam pendekatan treatmen sebagai berikut: a. Latihan penguasaan (desensitisasi modeling). Mengajari klien menguasai tingkah laku yang sebelumnya tidak bisa dilakukan

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

81

(misalnya karena takut). Treatmen konseling dimulai dengan membantu klien mencapai relaksasi yang mendalam. Kemudian konselor meminta klien membayangkan hal yang menakutkannya secara bertahap. Misalnya, dibayangkan melihat ular mainan di etalase toko. Kalau klien dapat membayangkan kejadian itu tanpa rasa takut, mereka diminta membayangkan bermain-main dengan ular mainan, kemudian melihat ular dikandang kebun binatang, kemudian menyentuh ular, sampai akhirnya menggendong ular. Ini adalah model desensitisasi sistemik yang pada paradigma behaviorisme dilakukan dengan memanfaatkan variasi penguatan. Bandura memakai desesitisasi sistematik itu dalam pikiran tanpa memakai penguatan yang nyata. b. Modeling terbuka (modeling partisipan) Klien melihat model nyata, biasanya diikuti dengan klien berpartisipasi dalam kegiatan model, dibantu oleh modelnya meniru tingkah laku yang dikehendaki, sampai akhirnya mampu melakukan sendiri tanpa bantuan. c. Modeling simbolik. Klien melihat model dalam film, atau gambar/ cerita. Bandura mengusulkan untuk mengembangkan strategi proses pembelajaran sebagai berikut: a. Analisis tingkah laku yang akan dijadikan model, terdiri dari: 1) Apakah karakter dari tingkah laku yang akan dijadikan model itu berupa konsep, motor-skill atau efektif? 2) Bagaimanakah urutan dari tingkah laku tersebut? 3) Dimanakah letak hal-hal yang penting (key point) dalam urutan tersebut? b. Tetapkan fungsi nilai dari tingkah laku dan pilihlah tingkah laku tersebut sebagai model. 1) Apakah tingkah laku (kemampuan yang dipelajari) merupakan hal yang penting dalam kehidupan dimasa datang? 2) Bila tingkah laku yang dipelajari kurang memberi manfaat (tidak begitu penting), maka model manakah yang lebih penting? 3) Apakah model harus disimbolkan? 4) Apakah reinforcement yang akan didapat melalui model yang dipilih? c. Pengembangan urutan pengajaran 1) Untuk mengajarkan motor-skill, bagaimana cara mengerjakan pekerjaan. 2) Langkah-langkah manakah yang menurut urutan harus dipresentasikan perlahanlahan. d. Implementasi pengajaran untuk menurut motor-skill dan proses kognitif. 1) Motor-skill: a) hadirkan model; b) beri kesempatan kepada tiap-tiap pembelajar untuk latihan secara simbolik; dan c) beri kesempatan kepada pembelajar untuk latihan dengan umpan-balik visual.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

82

2) Proses kognitif: a) tampilkan model, baik yang didukung oleh kode-kode verbal atau petunjuk untuk mencari konsistensi pada berbagai contoh; b) beri kesempatan kepada pembelajar untuk membuat ikhtisar; c) jika yang dipelajari adalah pemecahan masalah atau strategi penerapan beri kesempatan pembelajar untuk berpartisipasi seeara aktif; dan d) beri kesempatan pembelajar untuk membuat generalisasi ke berbagai situasi. 7. Teori Joy Paulus Guilford Menurut teori Guilford's, Structure of Intellect kinerja seseorang pada tes kecerdasan dapat ditelusuri kembali ke dasar kemampuan mental atau faktor kecerdasan. Structure of Intellect terdiri dari teori hingga 150 kemampuan intelektual yang berbeda yang diselenggarakan sepanjang tiga dimensi, yaitu operasi, isi, dan produk. Structure of Intellect mencakup enam operasi atau proses intelektual umum, antara lain: a. Kognisi yaitu kemampuan untuk mengerti, memahami, menemukan, dan menjadi sadar akan informasi. b. Memori rekaman yaitu kemampuan untuk mengkodekan informasi. c. Memori retensi yaitu kemampuan untuk mengingat informasi. d. Produksi yang berbeda yaitu kemampuan untuk menghasilkan beberapa solusi untuk masalah kreativitas. e. Produksi konvergen yaitu kemampuan untuk menyimpulkan satu solusi untuk masalah. f. Evaluasi yaitu kemampuan untuk menilai apakah informasi akurat, konsisten, atau valid. Structure of Intellect meliputi lima bidang luas informasi/ isi yang intelek, antara lain: a. Visual yaitu informasi dipersepsikan melalui melihat. b. Auditori yaitu informasi dirasakan melalui pendengaran. c. Simbolis yaitu informasi dianggap sebagai simbol atau tanda-tanda. d. Semantik yaitu informasi yang dipersepsikan dalam kata-kata atau kalimat, baik secara lisan, tertulis, atau diam-diam da1am pikiran seseorang. e. Informasi perilaku yaitu perbuatan seorang individu. Model Structure kompleksitas yaitu: a. Unit yaitu item single pengetahuan b. Kelas yaitu sets unit berbagi atribut umum. c. Hubungan yaitu unit terkait sebagai pertentangan, asosiasi, urutan, atau analogi. d. Beberapa sistem yaitu hubungan yang saling terkait untuk membentuk struktur atau jaringan. of Intellect mencakup enam produk dalam meningkatkan

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

83

e. Transformasi yaitu perubahan, perspektif, konversi, atau mutasi untuk pengetahuan. f. Implikasi yaitu prediksi, kesimpulan, konsekuensi, atau antisipasi pengetahuan. Oleh karena itu, menurut Guilford terdapat 6 x 5 x 6 = 180 faktor kemampuan intelektual. Kemampuan masing-masing adalah singkatan dari operasi tertentu di wilayah konten tertentu dan menghasilkan suatu produk tertentu, yaitu: pemahaman figural evaluasi satuan atau semantik implikasi. Model asli Guilford terdiri dari 120 komponen karena ia tidak memisahkan menjadi beberapa konten figural auditori dan visual isi, atau ia telah memisahkan ke dalam memori perekaman dan penyimpanan. Ketika ia memisahkan figural ke auditori dan visual isi, modelnya meningkat menjadi 5 x 5 x 6 = 150 kategori. Ketika Guilford memisahkan fungsi memori, modelnya akhimya meningkat menjadi 180 akhir faktor. Beberapa perubahan dalam struktur model intelek dalam Pendidikan dan Psikologis Pengukuran, yaitu teori Structure of Intellect dipandang sebagai operasi yang terdiri dari operasi, isi, dan produk, yang isinya ada 5 jenis operasi (kognisi, memori, produksi divergen, konvergen produksi, evaluasi), 6 jenis produk (unit, kelas, hubungan, sistem, transformasi, dan implikasi), dan 5 jenis isi (visual, auditori, simbolis , semantik, perilaku). Karena masing-masing dimensi ini adalah independen, ada 150 komponen teori kecerdasan. Implikasi teori belajar Guilford dalam pembelajaran sebagai berikut: a. Dalam menyelesaikan soal pembelajaran matematika dapat menerapkan soal-soal open-ended kepada siswa, dari jawaban yang diberikan siswa dapat dibuktikan bahwa kemampuan untuk memberikan berbagai alternatif jawaban adalah berdasarkan informasi yang diberikan oleh guru maupun pengalaman pribadinya. a. Kreatifitas seorang siswa dapat dilihat dari kemampuannya untuk menyelesaikan suatu persoalan dengan ide kreatif tanpa bersumber pada satu teori saja, sehingga memunculkan banyak ide dari berpikir kreatifnya. b. Pada kinerja seseorang pada tes kecerdasan dapat ditelusuri kembali ke dasar kemampuan mental atau faktor kecerdasan seseorang itu sendiri. c. Berfikir kreatif yang terjadi pada siswa tergantung pada kemampuan dirinya untuk mewujudkan ide/ gagasannya yang timbul pada hati nurani untuk mewujudkan kemampuan untuk melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah. B. 1. Teori Belajar Kognitif Teori Jean Piaget Jean Piaget menyebut bahwa struktur kognitif sebagai skemata (schemas), yaitu kumpulan dari skema-skema. Seorang individu dapat mengikat, memahami, dan memberikan respon terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya skemata ini. Skemata ini berkembang secara kronologis, sebagai hasil interaksi antara individu

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

84

dengan lingkungannya. Dengan demikian seorang individu yang lebih dewasa memiliki struktur kognitif yang lebih lengkap daripada ketika ia masih kecil. Karena masih terbatasnya skema pada anak, seorang anak yang baru pertama kali melihat buaya ia menyebutnya sebagai cecak besar, karena ia baru memiliki konsep cecak yang sering dilihat di rumahnya. Ia baru memiliki konsep cecak dalam skemanya dan ketika ia melihat buaya untuk pertama kalinya, konsep cecaklah yang paling dekat dengan stimulus. Peristiwa seperti ini seringkali berlanjut pada orang dewasa. Hal ini terjadi karena kurangnya perbendaharaan kata atau dalam kehidupan sehari-harinya konsep tersebut jarang ditemui. Misalnya, seringkali orang menyebut kuda laut atau singa laut, padahal kedua binatang itu jauh berbeda cara hidupnya, lingkungan kehidupan, maupun bentuk tubuhnya dengan kuda ataupun singa. Asosiasi tersebut hanya berdasarkan sebagian bentuk tubuhnya yang hampir sama. Perkembangan skemata ini berlangsung terus-menerus melalui adaptasi dengan lingkungannya. Skemata tersebut membentuk suatu pola penalaran tertentu dalam pikiran anak. Makin baik kualitas skema ini, makin baik pulalah pola penalaran anak tersebut. Proses terjadinya adaptasi dari skemata yang telah terbentuk dengan stimulus baru dilakukan dengan dua cara, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses pengintegrasian secara langsung stimulus baru ke dalam skemata yang telah terbentuk. Akomodasi adalah proses pengintegrasian stimulus baru ke dalam skema yang telah terbentuk secara tidak langsung. Hal ini terjadi karena stimulus baru tidak dapat diasimilasi, karena tidak ada skema yang sesuai yang telah dimilikinya. Pada proses akomodasi skema yang ada memodifikasi diri atau menciptakan skema baru, sehingga sesuai dengan stimulus baru itu. Setelah itu asimilasi berlangsung kembali. Dengan demikian pada proses asimilasi tidak menghasilkan perubahan skemata, melainkan hanya menunjang pertumbuhan skemata secara kuantitas. Sedangkan pada akomodasi menghasilkan perubahan skemata secara kualitas. Pada contoh di atas, seorang anak menyebut cecak besar untuk buaya pada dasarnya anak tersebut mengasimilasi stimulus buaya ke dalam skema cecak. Dalam struktur kognitif setiap individu mesti ada keseimbangan antara asimilasi dengan akomodasi. Keseimbangan ini dimaksudkan agar dapat mendeteksi persamaan dan perbedaan yang terdapat pada stimulus-stimulus yang dihadapi. Perkembangan kognitif pada dasarnya adalah perubahan dari keseimbangan yang telah dimiliki ke keseimbangan baru yang diperolehnya. Selanjutnya Piaget mengemukakan tentang perkembangan kognitif yang dialami oleh setiap individu secara lebih rinci, dari mulai bayi hingga dewasa. Teori ini disusun berdasarkan studi klinis terhadap anak-anak dari berbagai usia golongan menengah di Swiss. Kesimpulannya adalah bahwa pola berfikir anak tidak sama dengan pola berfikir orang dewasa. Tahap perkembangan kognitif atau taraf kemampuan berfikir seorang individu sesuai dengan usianya. Makin dewasa seorang individu, maka makin meningkat pula kemampuan berfikirnya. Jadi, dalam memandang anak keliru kalau beranggapan

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

85

bahwa kemampuan anak sama dengan kemampuan orang dewasa, sebab anak bukanlah miniatur orang dewasa. Selain daripada itu, perkembangan kognitif seorang individu dipengaruhi pula oleh lingkungan dan transmisi sosialnya. Jadi, karena efektivitas hubungan antara setiap individu dengan lingkungan dan kehidupan sosialnya berbeda satu sama lain, maka tahap perkembangan kognitif yang dicapai oleh setiap individu berbeda pula. Oleh karena itu, agar perkembangan kognitif seorang anak berjalan secara maksimal, sebaiknya diperkaya dengan banyak pengalaman edukatif. Berdasarkan hasil penelitian di Negeri Swiss pada tahun 1950-an, Piaget mengemukakan bahwa ada empat tahap perkembangan kognitif dari setiap individual yang berkembang secara kronologis (menurut usia kalender). Sebaran umur pada setiap tahap tersebut adalah rata-rata (sekitar) dan mungkin pula terdapat perbedaan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya, antara individu yang satu dengan individu lainnya. a. Tahap Sensori Motor (Sensory Motoric Stage) Bagi anak yang berada pada tahap ini, pengalaman diperoleh melalui perbuatan fisik (gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indera). Pada mulanya pengalaman itu bersatu dengan dirinya, ini berarti bahwa suatu objek itu ada bila ada pada penglihatannya. Perkembangan selanjutnya, ia mulai berusaha untuk mencari objek yang asalnya terlihat kemudian menghilang dari pandangannya, asal perpindahannya terlihat. Akhir dari tahap ini, ia mulai mencari objek yang hilang bila benda tersebut tidak terlihat perpindahannya. Objek mulai terpisah dari dirinya dan bersamaan dengan itu konsep objek dalam struktur kognitifnya mulai matang. Ia mulai mampu untuk melambangkan objek fisik ke dalam simbol-simbol, misalnya mulai bisa berbicara meniru suara kendaraan. b. Tahap Pra Operasi (Pre Operasional Stage) Tahap ini adalah tahap persiapan untuk pengorganisasian operasi konkrit. Istilah operasi yang digunakan berupa tindakan-tindakan kognitif, seperti: mengklasrifikasikan sekelompok objek (classifying), menata letak benda-benda menurut urutan tertentu (seriations), dan membilang (counting). Pada tahap ini pemikiran anak lebih banyak berdasarkan pada pengalaman konkrit daripada pemikiran logis, sehingga jika ia melihat obyek-obyek yang kelihatannya berbeda, maka ia mengatakannya berbeda pula. Contoh: 1) Perlihatkan 5 (lima) buah kelereng yang sama besar di atas meja. Kemudian ubahlah letak kelereng itu menjadi agak berjauhan. Apabila ditanyakan kepada anak yang masih pada tahap ini. Ia akan menjawab kelereng yang letaknya berjauhan lebih banyak. 2) Perlihatkan segumpal plastisin (lilin lunak) berbentuk bola. Kemudian ubahlah (sambil diperlihatkan) menjadi bentuk pipih sehingga tampak lebih besar. Apabila ditanyakan mana yang lebih banyak plastisin itu. Ia akan

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

86

menjawab plastisin yang bentuknya pipih. Perlihatkan kepada anak dua bejana dari gelas yang bentuk dan ukurannya sama dengan dua bejana lainnya berbeda ukurannya. Kemudian kedua bejana gelas yang sama tadi kita isi dengan cairan berwarna sama banyak. Sambil diperlihatkan kepada siswa cairan pada kedua gelas yang sama tadi masing-masing dipindahkan pada kedua gelas yang berbeda. Setelah semuanya dipindahkan lalu tanyakan apakah kedua cairan tersebut sama banyak. Anak pada tahap perkembangan pra operasi akan menjawab banyak kedua cairan itu berbeda. 4) Dua utas tali sama panjang diletakkan di atas meja, kemudian rentangannya diubah. Hasilnya, anak-anak akan mengatakan bahwa kedua tali tersebut menjadi berbeda panjangnya. 5) Apabila anak dihadapkan pada suatu daerah bidang datar (terbuat dari kertas berwarna-warni) yang menyatakan luas, kemudian kertas itu dipotongpotong dan dikumpulkan kembali dengan susunan yang berbeda, anak mengatakan bahwa luas gambar akan berbeda. 3) Dari contoh-contoh di atas, tampak bahwa anak masih berada pada tahap pra operasional belum memahami konsep kekekalan (conservation), yaitu kekekalan banyak, kekekalan materi, kekekalan volum, kekekalan panjang, dan kekekalan luas. Selain dari itu, ciri-ciri anak pada tahap ini belum memahami operasi yang sifatnya reversible, belum dapat memikirkan dua aspek atau lebih secara bersamaan, belum memahami operasi transformasi. c. Tahap Operasi Konkrit (Concrete Operational Stage) Anak-anak yang berada pada tahap ini umumnya sudah berada di Sekolah Dasar. Umumnya mereka telah memahami operasi logis dengan bantuan bendabenda konkrit. Kemampuan ini terwujud dalam memahami konsep kekekalan, kemampuan untuk mengklasifikasi dan serasi, mampu memandang suatu objek dari sudut pandang yang berbeda secara objektif, dan mampu berfikir reversibel. Piaget mengidentifikasi adanya enam jenis konsep kekekalan yang berkembang selama anak berada pada tahap operasi konkrit, yaitu: 1) kekekalan banyak (67 tahun), 2) kekekalan materi (78 tahun), 3) kekekalan panjang (78 tahun), 4) kekekalan luas (89 tahun), kekekalan volum (1112 tahun). Kemampuan mengurutkan objek (serasi) yang dipahami oleh anak pada tahap ini berkembang sesuai dengan pemahaman konsep kekekalan. Kemampuan mengurutkan objek berdasarkan panjang dipahami pada usia sekitar 7 tahun, mengurutkan objek yang besarnya sama tetapi beratnya berlainan dicapai pada umur sekitar 9 tahun, dan mengurutkan benda menurut volumnya dicapainya pada sekitar 12 tahun. Sejalan dengan kedua hal tersebut di atas, anak pada tahap ini memahami pula konsep ekuivalensi dan klasifikasi. Piaget membuktikannya dengan eksperimen sebagai berikut: seorang anak diberi 20 bola kayu, 15 buah di antaranya berwama 5) kekekalan berat (910 tahun), dan 6)

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

87

merah. Apabila ditanyakan manakah yang lebih banyak, bola kayu atau bola berwarna merah? Anak pada tahap pra operasional menjawab bahwa bola merah lebih banyak, sedangkan anak pada tahap operasi konkret menjawab bahwa bola kayu lebih banyak dari pada bola berwama merah. Eksperimen tersebut menunjukkan kepada kita bahwa anak pada tahap operasi konkrit telah mampu memperhatikan sekaligus dua macam kelompok yang berbeda. Ia telah dapat mengelompokkan benda-benda yang memiliki beberapa karakteristik ke dalam himpunan dan himpunan bagian dengan karakteristik khusus, dan dapat melihat beberapa karakteristik suatu benda secara serentak. Anak pada tahap ini baru mampu mengikat definisi yang telah ada dan mengungkapkannya kembali, akan tetapi belum mampu untuk merumuskan sendiri definisi-definisi tersebut secara tepat, belum mampu menguasai simbol verbal dan ide-ide abstrak. d. Tahap Operasi Formal (Formal Operation Stage) Tahap operasi formal merupakan tahap akhir dari perkembangan kognitif secara kualitas. Anak pada tahap ini sudah mampu melakukan penalaran dengan menggunakan hal-hal yang abstrak. Penggunaan benda-benda konkret tidak diperlukan lagi. Anak mampu bernalar tanpa harus berhadapan dengan objek atau peristiwanya langsung. Penalaran yang terjadi dalam struktur kognitifnya telah mampu hanya dengan menggunakan simbol-simbol, ide-ide, abstraksi dan generalisasi. Ia telah memiliki kemampuan-kemampuan untuk melakukan operasioperasi yang menyatakan hubungan di antara hubungan-hubungan, memahami konsep promosi. Sebagai contoh, kita perhatikan eksperimen Piaget sebagai berikut: seorang anak pada tahap ini dihadapkan pada gambar Pak Pendek dan untaian klip (penjepit kertas) untuk mengukur tinggi Pak Pendek itu. Kemudian ditambahkan penjelasan dalam bentuk verbal bahwa Pak Pendek itu mempunyai teman Pak Tinggi. Lebih lanjut dikatakan bahwa apabila diukur dengan batang korek api tinggi Pak Pendek empat batang, sedangkan tinggi Pak Tinggi enam batang korek api. Berapakah tinggi Pak Tinggi bila diukur dengan klip? Dalam memecahkan masalah di atas, anak harus melakukan operasi terhadap operasi. Karakteristik lain dari anak pada tahap ini adalah telah memiliki kemampuan untuk melakukan penalaran hipotetik-deduktif, yaitu kemampuan untuk menyusun serangkaian hipotesis dan mengujinya. Suatu eksperimen beliau lakukan terhadap anaknya sendiri bernama Paul (9,5 tahun). Child memberikan bandul yang terbuat dari plastisin sehingga berat bandul dapat diubah-ubah dan tali bandul itu pun dapat diubah-ubah panjang-pendeknya. Setelah melalui percobaan berulang-kali, Paul diminta untuk menemukan faktorfaktor apa sajakah yang mempengaruhi waktunya ayunan bandul tersebut? Anaknya mengemukakan bahwa faktor-faktor itu adalah berat bandul, panjang tali, dan cara

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

88

melepas bandul. Kemudian Child mengemukakan bahwa dari ketiga hal tersebut hanya satu hal yang mempengaruhi waktu ayunan. Setelah Paul melakukan kembali percobaan tadi berulang-kali, ia tidak bisa menemukannya. Dengan demikian dari ketiga hipotesis yang dikemukakan itu, ia belum mampu untuk mengujinya. Selain itu, karakteristik lain dari anak pada tahap ini adalah telah memiliki kemampuan berfikir kornbinatorial (combinatorial thought), yaitu kemampuan menyusun kombinasi-kombinasi yang mungkin dari unsur-unsur dalam suatu sistem. Misalnya kombinasi warna, kombinasi beberapa bilangan, dan kombinasi beberapa huruf. Jadi, anak pada operasi formal tidak lagi berhubungan dengan ada-tidaknya benda-benda konkrit, tetapi berhubungan dengan tipe berfikir. Apakah situasinya disertai oleh benda-benda konkret atau tidak, bagi anak pada tahap berfikir formal tidak menjadi masalah. 2. (Akan diuraikan di bagian lain). 3. Gestalt adalah sebuah teori yang Teori Gestalt menjelaskan proses persepsi melalui Teori Jerome Seymour Bruner

pengorganisasian komponen-komponen sensasi yang memiliki hubungan, pola, ataupun kemiripan menjadi kesatuan. Teori gestalt beroposisi terhadap teori strukturalisme. Teori gestalt cenderung berupaya mengurangi pembagian sensasi menjadi bagian-bagian kecil. Istilah Gestalt mengacu pada sebuah objek/ figur yang utuh dan berbeda dari penjumlahan bagian-bagiannya. Tokoh aliran ini adalah John Dewey. Ia mengemukakan bahwa pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang diselenggarakan oleh guru harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Penyajian konsep harus lebih mengutamakan pengertian. b. Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar harus memperhatikan kesiapan intelektual siswa. c. Mengatur suasana kelas agar siswa siap belajar. Dari ketiga hal di atas, dalam menyajikan materi guru jangan memberikan konsep yang harus diterima begitu saja, melainkan harus lebih mementingkan pemahaman terhadap proses terbentuknya konsep tersebut daripada hasil akhir. Untuk hal ini guru bertindak sebagai pembimbing dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan proses melalui metode induktif. Pendekatan dan metode yang digunakan tersebut haruslah disesuaikan pula dengan kesiapan intelektual siswa. Siswa SMP masih ada pada tahap operasi konkret, artinya jika ia akan memahami konsep abstrak matematika harus dibantu dengan menggunakan benda konkret. Oleh karena itu dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar mulailah dengan menyajikan contoh-contoh konkret yang beraneka ragam, kemudian mengarah pada konsep abstrak tersebut. Dengan cara seperti ini diharapkan

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

89

kegiatan belajar mengajar bisa berjalan secara bermakna. Kita ketahui bahwa faktor eksternal bisa mempengaruhi pelaksanaan dan hasil belajar siswa. Oleh karena itu, sebelum, selama, dan sesudah mengajar guru harus pandai-pandai (berusaha) untuk menciptakan kondisi agar siswa siap untuk belajar dengan perasaan senang, tidak merasa terpaksa. Psikologi Gestalt bermula pada pengamatan di lapangan. Ketika para ahli psikologi Gestalt beralih dari masalah pengamatan ke masalah belajar, maka hasil-hasil yang telah kuat/ sukses dalam penelitian mengenai pengamatan itu dibawanya dalam studi mengenai belajar. Karena asumsi bahwa hukum-hukum atau prinsip-prinsip yang berlaku pada proses pengamatan dapat ditransfer kepada hal belajar, maka untuk memahami proses belajar orang perlu memahami hukum-hukum yang menguasai proses pengamatan itu. Pada pengamatan itu menekankan perhatian pada bentuk yang terorganisasi (organized form) dan pola persepsi manusia. Psikologi Gestalt terkenal dengan teori medan (field) atau lazim disebut cognitive field theory. Kelompok pemikiran ini sependapat pada suatu hal yakni suatu prinsip dasar bahwa pengalaman manusia memiliki kekayaan medan yang memuat fenomena keseluruhan lebih daripada bagianbagiannya. Keseluruhan ini memberikan beberapa prinsip belajar yang penting, antara lain: a. Manusia bereaksi dengan lingkunganya secara keseluruhan, tidak hanya secara intelektual, tetapi juga secara fisik, emosional,sosial dan sebagainya. b. Belajar adalah penyesuaian diri dengan lingkungan. c. Manusia berkembang secara keseluruhan sejak dari kecil sampai dewasa, lengkap dengan segala aspek-aspeknya. d. Belajar adalah perkembangan kearah diferensiasi yang lebih luas. e. Belajar hanya berhasil, apabila tercapai kematangan untuk memperoleh insight. f. Tidak mungkin ada belajar tanpa ada kemauan untuk belajar, motivasi memberi dorongan yang menggerakan seluruh organisme. g. Belajar akan berhasil kalau ada tujuan. h. Belajar merupakan suatu proses bila seseorang itu aktif, bukan ibarat suatu bejana yang diisi. Belajar sangat menguntungkan untuk kegiatan memecahakan masalah. Hal ini nampaknya juga relevan dengan konsep teori belajar yang diawali dengan suatu pengamatan. Belajar memecahkan masalah diperlukan suatu pengamatan secara cermat dan lengkap. Menurut John Dewey ada lima upaya pemecahan masalah sebagai berikut: a. Realisasi adanya masalah, yaitu memahami apa masalahnya dan juga harus dapat merumuskan. b. Mengajukan hipotesa, sebagai suatu jalan yang mungkin memberi arah pemecahan masalah. c. Mengumpulkan data atau informasi, dengan bacaan atau sumber-sumber lain.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

90

d. Menilai dan mencobakan usaha pembuktian hipotesa dengan keterangan-keterangan yang diperoleh. e. Mengambil kesimpulan, membuat laporan atau membuat sesuatu dengan hasil pemecahan. 4. Teori William Arthur Brownell Brownell mengemukakan bahwa belajar matematika harus merupakan belajar bermakna dan belajar pengertian. Dia menegaskan bahwa belajar pada hakikatnya merupakan suatu proses yang bermakna. Bila kita perhatikan, teori yang dikemukakan Brownell ini sesuai dengan teori belajar-mengajar Gestalt, yang muncul di pertengahan tahun 1930. Menurut teori belajar-mengajar Gestalt, latihan hafal atau yang dikenal dengan sebutan drill adalah sangat penting dalam kegiatan pengajaran. Cara ini ditetapkan setelah tertanamnya pengertian. Aritmetika atau berhitung yang diberikan pada anak-anak SD dulu lebih menitikberatkan hafalan dan mengasah otak. Aplikasi dari bahan yang diajarkan dan bagaimana kaitannya dengan pelajaran-pelajaran lainnya sedikit sekali dikupas. Menurut Brownell anak-anak yang berhasil dalam mengikuti pelajaran pada waktu itu memiliki kemampuan berhitung yang jauh melebihi anak-anak sekarang. Banyaknya latihan yang diterapkan pada anak dan latihan mengasah otak dengan soal-soal yang panjang dan sangat rumit merupakan pengaruh dari doktrin disiplin formal. Terdapat perkembangan yang menunjukkan bahwa doktrin formal itu memiliki kekeliruan yang cukup mendasar. Dari penelitian yang dilaksanakan pada abad 19 terdapat hasil yang menunjukkan bahwa belajar tidak melalui latihan hafalan dan mengasah otak, namun diperoleh anak melalui bagaimana anak berbuat, berfikir, memperoleh persepsi, dll. Implikasi teori perkembangan kognitif Brownell dalam pembelajaran sebagai berikut: a. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu, guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak. b. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaikbaiknya. c. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing. d. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya. e. Siswa hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan siswa lain. Pengaplikasian teori kognitif Brownell dalam belajar bergantung pada akomodasi. Kepada siswa harus diberikan suatu area yang belum diketahui agar ia dapat belajar, karena ia tidak dapat belajar dari apa yang telah diketahui saja dengan adanya area baru, siswa akan mengadakan usaha untuk dapat mengakomodasikan.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

91

5.

Teori Zoltan Paul Dienes Dienes adalah seorang matematikawan yang memusatkan perhatiannya pada cara-

cara pengajaran terhadap anak-anak. Dasar teorinya bertumpu pada teori Piaget, dan pengembangannya diorientasikan pada anak-anak, sedemikian rupa sehingga sistem yang dikembangkannya itu menarik bagi anak yang mempelajari matematika. Dienes berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat dianggap sebagai studi tentang struktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan di antara struktur-struktur dan mengkategorikan hubungan-hubungan di antara struktur-struktur. Dienes mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang disajikan dalam bentuk yang konkret akan dapat dipahami dengan baik. Ini mengandung arti bahwa benda-benda atau objek-objek dalam bentuk permainan akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika. Permainan bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktivitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Aktivitas ini memungkinkan anak mengadakan percobaan dan mengotak-atik (memanipulasi) benda-benda konkret dan abstrak dari unsur-unsur yang sedang dipelajarinya itu. Dalam tahap permainan bebas, anak-anak berhadapan dengan unsur-unsur dalam interaksinya dengan lingkungan belajarnya atau alam sekitar. Dalam tahap ini anak tidak hanya belajar membentuk struktur mental, namun juga belajar membentuk struktur sikap untuk mempersiapkan diri dalam pemahaman konsep. Dalam penggunaan alat peraga matematika, anak-anak dapat dihadapkan pada balok-balok logik yang membantu anak-anak dalam mempelajari konsep-konsep abstrak. Dalam kegiatan belajar dengan menggunakan alat peraga ini anak-anak belajar mengenal warna, tebal tipisnya benda, yang merupakan ciri atau sifat dari benda yang dimanipulasinya itu. Dalam permainan yang disertai aturan, anak-anak sudah mulai meneliti pola-pola dan keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu. Keteraturan ini mungkin terdapat dalam konsep tertentu tapi tidak terdapat dalam konsep yang lainnya. Anak yang telah memahami aturan-aturan yang terdapat dalam konsep akan dapat mulai melakukan permainan tadi. Jelaslah, dengan melalui permainan anak-anak diajak untuk mulai mengenal dan memikirkan bagaimana struktur matematika itu. Makin banyak bentukbentuk yang berlainan yang diberikan dalam konsep-konsep tertentu, maka akan makin jelas konsep yang dipahami anak, karena anak-anak akan memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan matematis dalam konsep yang dipelajarinya itu. Dalam mencari kesamaan sifat, anak-anak mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih anak-anak dalam mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu mengarahkan mereka dengan mentranslasikan kesamaan struktur dari bentuk permainan yang satu ke bentuk permainan lainnya. Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang ada

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

92

dalam permainan semula. Representasi adalah tahap pengambilan kesamaan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Anak-anak menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu, setelah mereka berhasil menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat dalam situasi-situasi yang dihadapinya itu. Representasi yang diperolehnya ini bersifat abstrak. Dengan demikian, anak-anak telah mengarah pada pengertian struktur matematika yang sifatnya abstrak yang terdapat dalam konsep yang sedang dipelajari. Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol matematika atau melalui perumusan verbal. 6. Teori Van Hiele Dalam pengajaran geometri terdapat teori belajar yang dikemukakan oleh Van Hiele, yang menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak dalam geometri. Van Hiele adalah seorang guru bangsa Belanda yang mengadakan penelitian dalam pengajaran geometri. Menurut Van Hiele, tiga unsur utama dalam pembelajaran geometri yaitu waktu, materi pengajaran dan metode pengajaran yang diterapkan, jika ditata secara terpadu akan dapat meningkatkan kemampuan berfikir anak kepada tingkatan berfikir yang lebih tinggi. Van Hiele menyatakan bahwa terdapat lima tahap belajar anak dalam belajar geometri, yaitu tahap pengenalan, tahap analisis, tahap pengurutan, tahap deduksi, tahap akurasi yang akan diuraikan sebagai berikut: a. Tahap pengenalan (Visualisasi) Dalam tahap ini anak mulai belajar mengenali suatu bentuk geometri secara keseluruhan, namun belum mampu belajar mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk geometri yang dilihatnya itu. Contohnya, jika seorang anak diperlihatkan sebuah kubus, maka ia belum mengetahui sifat-sifat yang dimiliki oleh kubus tersebut. Anak belum menyadari bahwa kubus mempunyai 6 sisi yang berbentuk bujur sangkar, mempunyai 12 rusuk, dll. b. Tahap analisis Pada tahap ini anak sudah mulai mengenal sifat-sifat yang dimiliki benda geometri yang diamatinya seperti segitiga, persegi dan persegi panjang. Anak sudah mampu menyebutkan keteraturan yang terdapat pada benda geometri itu. Misalnya, ketika anak mengamati persegi panjang, ia telah mengetahui bahwa terdapat 2 pasang sisi yang berhadapan, dan kedua pasang sisi tersebut saling sejajar. Dalam tahap ini anak belum mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu benda geometri dengan benda geometri lainnya. Misalnya, anak belum mengetahui bahwa bujursangkar adalah persegipanjang, bahwa bujursangkar adalah belah ketupat dan sebagainya. c. Tahap pengurutan (deduksi informal)

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

93

Pada tahap ini anak sudah mulai mampu melaksanakan penarikan kesimpulan, yang dikenal dengan sebutan berfikir dedukif. Namun kemampuan ini belum berkembang secara penuh. Satu hal yang perlu diketahui adalah, anak pada tahap ini sudah mulai mampu mengurutkan. Misalnya, anak sudah mengenali bahwa belah ketupat juga merupakan layang-layang. Dalam pengenalan benda-benda ruang, anak sudah mampu memahami bahwa kubus adalah balok. Pola pikir anak pada tahap ini masih belum mampu menerangkan mengapa diagonal suatu persegi panjang sama panjang. d. Tahap deduksi Dalam tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum menuju hal-hal yang bersifat khusus. Anak juga telah mengerti betapa pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, di sampaing unsur-unsur yang didefinisikan. Misalnya anak sudah mulai memahami dalil. Selain itu, pada tahap ini anak sudah mulai mampu menggunakan aksioma atau postulat yang digunakan dalam pembuktian. Postulat dalam pembuktikan segitiga yang sama dan sebangun, seperti postulat sudut-sudut-sudut, sisi-sisi-sisi atau sudut-sisi-sudut, dapat dipahaminya, namun belum mengerti mengapa postulat tersebut benar dan mengapa dapat dijadikan sebagai postulat dalam cara-cara pembuktian dua segitiga yang sama dan sebangun (kongruen). e. Tahap akurasi Dalam tahap ini anak sudah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Tahap akurasi merupakan tahap berfikir yang tinggi, rumit dan kompleks.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

94

BAB VII TEORI PSIKOLOGI BELAJAR TINGKAH LAKU ROBERT MILLS GAGN (21 Agustus 1916 28 April 2002)
"Learning is Something that Takes Place Inside A Person's Head- in The Brain" A. Riwayat Hidup Robert Mills Gagn (nama panggilan Mr. Gagn) lahir di tanggal 28 April 2002. Pada tahun 1937, Ia menyelesaikan pendidikan setara S-2 dari Universitas Yale, dan pada tahun 1940, ia menyelesaikan program setara S-3 bidang psikologi dari Universitas Brown. Dari Universitas Brown, pada 1940-1949 Ia menjabat sebagai professor psikologi dan psikologi pendidikan pada akademi untuk kaum wanita ( Connecticut College for Women), dan pada 1945-1946, aa mengajar di Universitas Negeri Pennsylvania, tahun 1958-1962 di Universitas Princeton, and tahun 1966-1969 di Barkeley _ Universitas California. Dan sejak tahun 1969 telah menjadi professor pada Departemen Riset Penelitian di Tallehassee-Universitas Negeri Florida. Tahun 1949-1958 Gagn juga sebagai direktur penelitian untuk militer Angkatan Udara Amerika di Lackland, Texas, Lowry, dan Colorado. Defense Tahun dan 1958-1961 tahun ia menjabat ia sebagai sebagai konsultan konsultan untuk untuk Departemen pada 1964-1966 North Andover, Massachusetts, Amerika Serikat pada tanggal 21 Agustus 1916. Ia meninggal pada

Departemen Pendidikan Amerika Serikat (United States Office of Education). Antara 1949-1958, Gagn menjadi direktur penelitian pada laboratorium kognitif dan keterampilan motorik, sekaligus mengajar dan melatih persoalan-persoalan psikologi untuk militer Angkata Udara (Air force) di Amerika Serikat (USA). Ia juga banyak melayani konsultasi psikologi pada United States Department of Defense. Pada kesempatan itu, ia memulai mengembangkan beberapa ide tentang teori belajar yang dinamakan "Conditions of Learning". Sampai tahun 2000, ia menjabat sebagai Professor pada Departemen Riset Pendidikan, Universitas Negeri di Tallahassee. Selama 25 tahun yang silam, ia menterjemahkan serta menggunakan penemuan-penemuan atau teori-teorinya terutama menyangkut pembelajaran di sekolah. Gagn yakin dengan filosofisnya bahwa pengajaran yang efektif akan tercapai melalui kebiasaan dari luar lingkungan. Ia mendukung pengajaran secara komulatif, yaitu peralihan dari keterampilan yang sederhana ( simple) ke keterampilan yang lebih besar (complex) akan memberi hasil yang efektif. Hirarki kerangka ini sangat luas penggunaannya dalam banyak lingkungan pengajaran Gagn telah memberi kontrubusi yang besar pada bidang pendidikan dan desain pengajaran. Gagn telah menulis beberapa buku tentang teori belajar, yang mana lebih dikenal dengan The Conditions of Learning. Sampai meninggal, ia masih menjabat

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

95

sebagai professor pada Departemen Riset Pendidikan, Universitas Negeri Florida, yang mana sejak tahun 1969 ia telah mengajar di Universitas ini. Kerangka teori Gagne seluruhnya berkisar pada aspek belajar, dengan fokus teori pada Keterampilan Intelektual. Mulanya teori belajar Gagne berkembang ketika mengajar pada pelatihan militer Angkatan Udara Amerika serikat. Ringkasan: 1. Pendidikan Yale, A.B. 1937 Brown, Ph.D. 1940

2. Karier a. Professor, Connecticut College for Woman (1940-49) b. Professor, Penn State University (1945-46) c. Director of Perceptual and Motor Skills Laboratory, U.S. Air Force (1949-58) d. Professor, Florida State University (2002) 3. Kontribusi terbesar dalam pengembangan pemebelajaran a. co-developer of "Instructional Systems Design" b. wrote The Conditions of Learning, 1965 c. co-wrote Principles of Instructional Design

B.

Ringkasan Teori Psikologi Belajar Gagne Buku tentang teori belajar Gagn yang berjudul The Conditions of Learning ,

1. Kondisi belajar diterbitkan pertama kali tahun 1965, yang banyak berisi tentang identifikasi kondisi mental untuk belajar. Hal ini didasarkan pada model proses informasi dari kejadiankejadian mental ketika diberikan berbagai macam stimulus pada orang dewasa. Gagn menghasilkan sembilan langkah proses pengajaran, yang mana menghubungkan ke alamat kondisi belajar. Gagne mengidentifikasi lima kategori besar dalam belajar: 1) informasi verbal, 2) keterampilan intelektual, 3) strategi kognitif, 4) keterampilan motorik, dan 5) sikap. Perbedaan kondisi internal dan eksternal dapat memberi kebutuhan untuk setiap tipe belajar. 2. Sembilan kejadian pengajaran Sembilan fase kejadian dalam pengajaran adalah: 1) fase motivasi, 2) fase pengenalan, 3) fase perolehan, 4) fase retensi, 5) fase pemanggilan, 6) fase generalisasi, 7) fase penampilan, 8) fase umpan balik, dan 9) fase generalisasi. Sembilan kejadian pengajaran oleh Gagne disebutkan juga sebagai hirarki belajar. Sembilan kejadian pengajaran akan berdampak pada proses mental

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

96

internal berikut: a. materi bola tersebut. b.

pembelajar.

Secara

singkat

akan

dijelaskan

sebagai

Memberi Perhatian (reception); menyangkut minat pembelajar terhadap suatu pelajaran. Misal: pengajar menunjukkan sebuah bola, katakan bagaimana yang bagus tentang Menyampaikan pembelajar yang objektif (expectancy); biarkan pembelajar mengetahui apa yang mereka akan belajar. Misal: hari ini, kita akan belajar bagaimana membuat sebuah bentuk bola.

c.

Mengingatkan

pengetahuan

terdahulu

(retrieval);

menampilkan

kepada

pembelajar untuk berpikir tentang apa yang mereka telah ketahui. Misal: apakah seseorang pernah mempunyai sebuah bola? Di mana? Kapan? Untuk apa? d. e. Bahan terbaru (selective perception); mengajar sesuai topik yang terbaru Misal: menunjukkan pembelajar untuk membuat sebuah bola. Sediakan penuntun belajar (semantic encoding); menolong pembelajar untuk mengikuti suatu topik yang sedang dibahas. Misal: menyediakan poster gambar yang berisi langkah-langkah dalam membuat sebuah bola. f. Mengeluarkan penampilan (responding); menanyakan kepada pembelajar untuk melakukan apa yang diajarkan. Misal: memberi pembelajar komponen untuk membuat suatu bentuk bola. g. Memberi umpan balik (reinforcement); memberitahu pembelajar tentang penampilan mereka. Misal: berputar-putar h. mengelilingi di dalam ruang kelas, mengobservasi dan membantu pembelajar. Menampilkan tugas (retrieval); mengevaluasi pembelajar pada pengetahuan mereka tentang topik yang telah dibahas. Misal: latihan pembelajar membuat bola, jika sudah berhasil benar, mereka diijinkan untuk pergi makan. i. Menambah ingatan dan transfer (generalization).; membantu pembelajar dalam mengingat dan menggunakan keterampilan baru. Misal: selama pembelajar membuat bola sambil snack, rekreasi (karyawisata) dan sebgainnya. Kontrol 3. Model pemrosesan informasi Eksekutif L I N G K U Sintha Sih N G A N Generato r Respon 97 Memori Jangka Pendek Memori Jangka Panjang Harapan

Efektor

Dewanti, M.Pd.Si
Resepto r Registor Pengindera an

(Sumber: Teori-teori Belajar, R. Gagne, 1985 dalam R.W. Dahar, 1988 ) Informasi dalam memori kerja dapat dikode, kemudian disimpan dalam memori jangka-panjang. Pengkodean merupakan suatu proses transformasi, di mana informasi baru diintegrasikan pada infromasi lama dengan berbagai cara. Memori jangka-panjang menyimpan informasi yang akan digunakan di kemudian hari. Berlawanan dengan memori kerja, memori jangka-panjang bertahan sangat lama. Informasi yang telah disimpan di memori jangka-panjang, bila akan digunakan lagi harus dipanggil. Informasi yang telah dipanggil merupakan dasar generasi respons. Dalam pikiran sadar informasi mengalir dari memori jangka-panjang ke memori jangkapendek, dan kemudian ke generator respons. Tetapi untuk proses otomatis, informasi mengalir langsung dari memori jangka-panjang ke generator respons selama pemanggilan. Generator respons mengatur urutan respons, dan membimbing efektor-efektor. Efektor-efektor meliputi semua otot dan kelenjar, tetapi untuk tugas-tugas sekolah, efektor-efektor yang utama ialah tangan untuk menulis dan alat suara untuk berbicara. Aliran informasi dalam sistem manusia ternyata bertujuan, dan diatur oleh kotakkotak yang disebut harapan dan kontrol eksekutif. Khususnya harapan-harapan tentang hasil kegiatan mental mempengaruhi pemrosesan informasi, seperti prosedur pengontrolan dan strategi-strategi mempengaruhi pencapaian tujuan-tujuan. Sebagai ilustrasi, dalam pembelajaran matematika, seorang guru SMA bertanya pada siswanya Renstha. Bagaimana rumus deret-aritmetika, Renstha menjawab tidak tahu pak. Pada waktu yang sama Renstha sudah mempunyai harapan bahwa ia akan belajar rumus deret-aritmetika, yang menyebabkan ia memberikan perhatian pada pelajaran yang akan diberikan. Guru kemudian berkata; rumus deret-aritmatika adalah Telinga Renstha menerima pesan ini bersama dengan suara-suara lainnya, misalnya percakapan teman-temannya atau suara lainnya dari lingkungan tempat belajar. Semua suara yang didengar Renstha diubah menjadi impuls-impuls elektrokimia, dan dikirim ke register penginderaan. Pola bahwa rumus deret-aritmetika ialah.terpilih dalam memeori kerja, tetepai pola-pola suara yang lain tidak masuk. Renstha kemudian mengkode fakta bahwa rumus deret-aritmetika ialah ..dengan cara menghubungkan fakta ini dengan fakta-fakta lain yang telah diketahuinya. Proses pengkodean ini menyebabkan fakta yang baru itu masuk ke dalam memori jangka panjang. Bila Renstha telah mengembangkan strategi-strategi memori khusus, maka proses-proses kontrol

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

98

eksekutif Renstha akan mengarahkan proses pengkodean agar menggunakan strategistrategi khusus ini. Dalam pelajaran berikutnya, guru bertanya pada Renstha; bagaimana rumus deret-aritmetika?. Pertanyaan ini diterima dan dipilih untuk masuk kedalam memori kerja. Di sini pertanyaan itu menyediakan isyarat-isyarat untuk memanggil jawaban dari memori jangka panjang. Kopi dari jawaban digunakan oleh generator repons untuk mengatur alat-alat suara yang menghasilkan suara; rumus deret-aritmetika. Pada waktu ini harapan Renstha, bahwa ia akan mempelajari rumus deret-aritmetika, terpenuhi. Selanjutnya Gagne berkesimpulan bahwa bahwa kapasitas memori jangka pendek pada manusia sangat kecil, tetapi implikasinya sangat penting dalam pengajaran. a. Penyajian pengetahuan Dalam 1) 2) 3) b. Belajar Konsep Formasi konsep merupakan bentuk perolehan konsep-konsep sebelum anak-anak masuk sekolah. Formasi konsep dapat disamakan dengan belajar konsep-konsep konkrit. Anak yang belajar dihadapkan pada sejumlah contoh-contoh dan noncontohnoncontoh dari konsep-konsep tertentu. Melalui proses diskriminasi dan abstraksi, ia menetapkan suatu aturan yang menentukan kriteria untuk konsep itu. Misalnya; konsep anak tentang bola: dapat dikenakan pada satu benda-suatu benda kecil, bulat dan merah yang menggelinding. Menurut Gagne, ada dua kondisi untuk belajar konsep, yaitu kondisi internal dan kondisi eksternal. Berikut ilustrasi kondisi internal dan eksternal. 1) Kondisi internal; siswa harus dapat membedakan contoh suatu konsep dan noncontoh suatu konsep. Jika digunakan instruksi verbal, subjek sudah harus sebelumnya 2) mempelajari nama verbal. Siswa harus mengingat kembali diskriminasi maupun nama verbal. Kondisi eksternal; isyarat-isyarat verbal merupakan cara-cara utama dalam mengajar konsep-konsep konkrit. 4. Keterampilan-keterampilan intelektual Keterampilan-keterampilan intelektual memungkinkan seseorang berinteraksi dengan lingkungannya melalui penggunaan simbol-simbol atau gagasan-gagasan. Karena keterampilan-keterampilan itu merupakan penampilan-penampilan yang ditunjukkan oleh siswa tentang operasi-operasi intelektual yang dapat dilakukannya. bukunya The Cognitive Psychology of School Learning , Gagne mengemukakan tiga bentuk penyajian pengetahuan, yaitu: Proposisi (Gagasan) Produksi (Hasil) Images (Gambaran mental)

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

99

Untuk memecahkan masalah, siswa memerlukan aturan-aturan tingkat tinggi, yaitu aturan-aturan yang kompleks, dan konsep-konsep terdefinisi. Sehingga untuk memperoleh aturan-atuarn ini siswa sudah harus belajar beberapa konsep konkrit, dan untuk belajar konsep-konsep konkrit ini, siswa harus menguasai perbedaan-perbedaan (diskriminasi-diskriminasi). a. Diskriminasi-diskriminasi Merupakan suatu kemampuan untuk mengadakan respons-respons yang berbeda terhadap stimulus-stimulus yang berbeda dalam satu atau lebih dimensi fisik. b. Konsep-konsep konkrit Suatu konsep konkrit menunjukkan suatu sifat objek atau atribut objek, seperti: warna, bentuk, dll. Sifat-sifat obyek seperti: bulat, persegi, biru, merah, kasar, dll. Dengan adanya ditampilkannya objek konkrit, siswa dengan mudah membuat atau menemukan suatu konsep. Selain itu perlu juga diperhatikan mengenai posisi suatu objek, misalnya: di atas, di bawah, di muka, di belakang, di kiri, di kanan, dll. c. Konsep-konsep terdefinisi Merupakan konsep yang telah didefinisikan sebelumnya. Dalam belajar siswa dengan mudah menentukan nama suatu objek dengan menggunakan konsep konkrit terdahulu atau sebelumnya. Konsep terdefinisi adalah suatu aturan pengklasifikasian atau d. e. merupakan suatu bentuk khusus dari aturan yang bertujuan untuk mengelompokkan objek-objek dan kejadian-kejadian. Aturan-aturan Aturan-aturan tingkat tinggi Berikut akan ditunjukkan tingkat-tingkat kompleksitas dalam keterampilanketerampilan intelektual menurut Gagne. Pemecahan Masalah melibatkan pembentukan Aturan-aturan Tingkat Tinggi yang membutuhkan sebagai prasayaratprasayarat Aturan-aturan dan Konsepkonsep Tingkat Terdefinisi yang membutuhkan sebagai prasayaratprasayarat Konsep-Konsep Konkrit yang membutuhkan sebagai prasayaratprasayarat

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

Diskriminasi100 Diskriminasi

Tingkat-tingkat kompleksitas dalam keterampilanketerampilan Intelektual Gagne (dalam R.W.Dahar, 1988) 5. Strategi-strategi kognitif Strategi kognitif merupakan suatu proses kontrol, yaitu suatu proses internal yang digunakan orang (pembelajar) untuk memilih dan mengubah cara-cara memberikan perhatian, belajar, mengingat dan berpikir. Strategi-strategi ini selanjutnya dapat dijabarkan oleh Weinstein dan Mayer, sebagai beriku. a. Strategi-strategi menghafal (Rehearsal strategies) b. Strategi-strategi elaborasi (Elaboration strategies) c. Strategi-strategi pengaturan (Organizing trategies) d. Strategis-strategi metakognitif e. Strategi-strategi afektif Menunjukkan penampilan-penampilan yang kompleks dalam suatu situasi baru, dimana diberikan sedikit bimbingan dalam memilih dan menerapkan aturanaturan dan konsep-konsep yang telah dipelajari sebelumnya. a. Keterampilan afektif Sikap merupakan pembawaan yang dapat dipelajari, dan dapat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap benda-benda, kejadian-kejadian atau makhluk-makhluk hidup lainnya. Perilaku yang ditunjukkan siswa mencerminkan pilihan tindakan terhadap suatu kegiatan pembelajaran. b. Informasi verbal Infromasi-informasi verbal diperoleh sebagai hasil belajar di sekolah, kata-kata yang diucapkan orang, dari membaca, dari berita radio, televisi dan media lainnya. c. Keterampilan-keterampilan motorik Keterampilan-keterampilan motorik tidak hanya mencakup kegiatan-kegitan fisik, melainkan juga kegiatan-kegiatan motorik yang digabung dengan keterampilan intelektual. 6. Implikasi dalam matematika Implikasi teori tingkah laku yang dikembangkan Gagne dalam matematika sebagai berikut: a. Bahan pengajaran hendaknya dipecah menjadi bagian-bagian kecil, kemudian diurutkan, untuk memudahkan siswa mengaitkan pengetahuan yang baru dengan yang lama. Misalnya: membuat grafik fungsi kuadrat, bagian-bagiannya adalah pengertian persamaan kuadrat, pembuat nol fungsi persamaan sumbu simetri parabola, koordinat titik puncak.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

101

b.

Setiap saat hendak memulai pelajaran, guru hendaknya mengecek kesiapan siswa untuk mempelajari bahan baru, dengan mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan pengetahuan prasyarat yang harus dimiliki siswa.

c.

Ganjaran maupun pengetahuan dapat digunakan untuk memotivasi siswa belajar matematika jika rasa ingin tahu untuk belajar matematika belum muncul. Misalnya: guru dapat memberikan pujian pada jawaban siswa yang benar, tidak menolak begitu saja pendapat siswa yang menjawab salah, memberi nilai 100 atau tanda benar untuk jawaban yang benar.

d.

Jika

seorang

siswa

melakukan

kesalahan,

dan

kesalahan

itu

dipraktekannya berulang-ulang, hal itu akan menjadi kebiasaan baginya dan sukar untuk diperbaiki. Untuk menghindari hal tersebut, guru matematika SMA hendaknya memperbaiki kesalahan siswanya sendiri sedini mungkin. Itulah sebabnya, guru disarankan untuk berkeliling dan mengamati pekerjaan siswa agar memperbaiki kesalahan sedini mungkin. e. Untuk memantapkan dan melatih pengetahuan siswa, maka kepada siswa perlu diberikan tugas, baik untuk dikerjakan di sekolah maupun untuk di rumah.

7. Contoh aplikasi dalam pengajaran matematika Berikut adalah ilustrasi sembilan langkah pengajaran secara objektif, penemuan pada segitiga samasisi : a. b. c. d. e. f. g. h. i. Fase motivasi, (Gain attention) tunjukkan jenis-jenis segitiga melalui media yang dapat menarik perhatian siswa (melalui slide, gambar, dan sebagainya). Fase pengenalan. (Identify objective) memberi pertanyaan disertai gerakan tubuh: "Apa yang dimaksud dengan segitiga sama sisi?" . Fase perolehan (Recall prior learning) meninjau definisi-definisi tentang segitiga. Fase retensi, (Present stimulus) memberikan definisi tentang segitiga samasisi Fase pemanggilan (Guide learning)- menunjukkan contoh bagaimana membuat samasisi Fase generalisasi (Elicit per formance) meminta siswa untuk membuat 5 contoh segitiga yang berbeda. Fase penampilan (Provide feedback) periksa semua contoh apakah benar atau salah Fase umpan balik (Assess performance)- memberi skor dan remidiasi. Fase generalisasi (Enhance retention/ transfer) menunjukkan gambar objek yang berbeda-beda dan meminta siswa untuk identifikasi samasisi atau bukan samasisi.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

102

BAB VIII TEORI PSIKOLOGI BELAJAR KOGNITIF JEROME SEYMOUR BRUNER (1 OKTOBER 1915 - )
A. Pendahuluan RIWAYAT HIDUP Nama TTL : Jerome Seymour Bruner : New York/ 1 Oktober 1915 S1 di Universitas Duke (1937). S2 di Universitas Harvard USA (1939). S3 di Universitas Harvard USA (1941). Disertasinya berjudul A Psychological Analysis of International Radio Broadcasts of Belligerent Nations (Analisis Psikologi pada Siaran Radio Internasional NegaraNegara Perperangan) Pekerjaan : 1. Tahun 1945 1972 di Universitas Harvard. Pada tahun 1952 memberi kuliah kepada para profesor. Tahun 1960 1972, sebagai fasilitator pada pusat studi kognitif. Beliau dipilih menjadi presiden Asiosiasi Psikologi Amerika selama tahun 1964 1965. 2. Tahun 1945 1980 di Universitas Oxford. Pada tahun 1972 melanjutkan perjalanan studinya ke kepulauan Atlantik dan menjabat sebagai profesor kepala experimen psikologi. 3. Tahun 1991 sampai sekarang di Fakultas Hukum Universitas New York. Pada tahun 1991 1998 menjadi profesor peneliti di bidang psikologi. Pekerjaan utamanya adalah mendirikan suatu lembaga resmi untuk menggunakan teoriteorinya pada bidang antropologi, psikologi, kebahasaan, dan kesastraan. Karier 1. 2. 3. 4. 5. 6. : Tahun 1939 1945, sebagai konsultan di Universitas Harvard dan pusat studi kognitif. Tahun 1946 1950, mengembangkan teori psikologi Gestalt dan mengembangkan pandangan baru di bidang psikologi. Tahun 1950 1966, mengembangkan teori konstruktivisme, setelah Vygotsky, Luria, dan Piaget. Tahun 1967 1971, mengembangkan teori belajar bahasa pada anak-anak di Universitas Oxford. Tahun 1970, mengembangkan kemampuan komunikasi dan bahasa pada anak-anak. Awal tahun 1980, memusatkan pada budaya dan paham interaksi.

Pendidikan :

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

103

7. 8.

Akhir tahun 1980 awal tahun 1990, sebagai naratif, autobiografi, dan konstruksi di Universitas New York. Akhir tahun 1990 sekarang, berkecimpung di bidang hukum dan naratif. Dari riwayat hidup tersebut, tampak bahwa Bruner merupakan ahli psikologi

perkembangan dan belajar kognitif. Pendekatannya tentang psikologi adalah eklektik (memilih yang terbaik dari berbagai sumber). Penelitiannya meliputi persepsi manusia, motivasi belajar dan berpikir. Dalam mempelajari manusia, ia menganggap manusia sebagai pemroses, pemikir, dan pencipta informasi. Buku The Proses of Education yang diterbitkan pada tahun 1960, merupakan rangkuman dari hasil Konferensi Woods Hole yang diadakan dalam tahun 1959, yaitu suatu konferensi yang membawa banyak pengaruh pada pendidikan pada umumnya dan pengajaran sains pada khususnya. Bruner tidak mengembangkan suatu teori belajar yang sistematis. Menurutnya yang penting adalaha cara bagaimana orang memilih, mempertahankan, dan mentransformasi informasi yang aktif. Proses tersebut menurutnya adalah inti dari belajar. Oleh karena itu, ia memusatkan perhatian pada masalah apa yang dilakukan manusia dengan informasi yang diterimanya, dan apa yang dilakukannya sesudah memperoleh informasi yang diskrit itu untuk mencapai pemahaman yang memberikan kemampuan padanya. B. Teori-teori Bruner 1. a. Kurikulum Mengenai pendidikan Bruner mengemukaan empat hal yang penting dalam pendidikan, yaitu: Pentingnya struktur Pengetahuan. hendaknya mementingkan struktur pengetahuan, karena struktur pengetahuan yang dimiliki guru dapat membantu siswa untuk melihat bagaimana fakta-fakta yang kelihatannya tidak ada hubungan, dapat dihubungkan satu dengan lainnya dengan informasi yang telah dimiliki siswa. b. Pentingnya kesiapan (readiness) dalam belajar. Kesiapan terdiri atas penguasaan keterampilan-keterampilan sederhana, yang dapat membantu seseorang untuk mencapai keterampilan-keterampilan yang lebih tinggi. Misalnya, untuk belajar geometri Euclid, siswa diberikan kesempatan untuk membangun konstruksi-konstruksi yang semakin kompleks dengan menggunakan poligon-poligon. c. Pentingnya menekankan nilai instuisi dalam proses pendidikan. Dengan intuisi, teknik-teknik intelektual dapat sampai pada formulasi-formulasi tentatif (masih dapat berubah-ubah) tanpa melalui langkah-langkah analitis untuk mengetahui apakah formulasi-formulasi itu merupakan kesimpulan-kesimpulan yang sahih atau tidak. d. Pentingnya motivasi atau keinginan untuk belajar. 104

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

Guru

sebaiknya

menyediakan

cara-cara

untuk

merangsang

motivasi

siswa.

Contohnya guru memberi kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi secara aktif dalam menghadapi alamnya. Pengalaman belajar semacam ini merupakan contoh pengalaman belajar penemuan yang intuitif. 2. a. Model dan kategori Pendekatan Bruner dalam belajar didasarkan pada dua asumsi, yaitu: Perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif. Berlawanan dengan para penganut teori perilaku, Bruner yakin bahwa seseorang yang belajar berinteraksi dengan lingkungannya secara aktif, maka perubahan tidak hanya terjadi pada lingkungan, tetapi juga dalam orang itu sendiri. b. Model alam (model of the wold), orang mengkonstruksi pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang baru dengan informasi yang diperoleh sebelumnya. Dengan menghadapi berbagai aspek dari lingkungan, orang akan membentuk suatu struktur atau model yang membolehkan untuk mengelompokkan hal-hal tertentu, atau membangun suatu hubungan antara hal-hal yang telah diketahui. Dengan model ini, orang dapat menyusun hipotesis untuk memasukkan pengetahuan baru ke dalam struktur-strukturnya, dengan memperluas struktur-struktur itu atau dengan mengembangkan struktur atau substruktur baru, dan untuk mengembangkan harapan-harapan tentang apa yang akan terjadi. Dalam belajar, hal-hal yang mempunyai kemiripan dihubungkan menjadi suatu struktur yang memberikan arti pada hal-hal itu. Dalam berinteraksi dengan lingkungan, orang mengembangkan model dalam ( inner mode) atau sistem koding untuk menyajikan alam sebagaimana yang diketahuinya. Orang dapat membayangkan struktur ini sebagai suatu lemari besar yang di dalamnya terdapat banyak laci yang berisi map-map ( file). Manusia mempunyai kapasitas untuk mengisi lemari ini, dan menyimpan segala yang dimasukkan ke dalamnya dalam waktu lama. Setiap laci ini mempunyai beberapa map, dan setiap map mungkin dibagi lagi menjadi subbagian. Tetapi, jika hanya ini yang terdapat dalam sistem penyimpanan itu, maka struktur itu merupakan hal yang steril. Keadaan yang sebenarnya adalah dalam sistem yang besar ini, terdapat banyak referensi-referensi silang (cross references) yang saling menghubungkan map-map itu untuk membentuk satu seri hubungan-hubungan yang sangat kompleks. Pendekatan Bruner dalam belajar dapat diuraikan sebagai suatu pendekatan kategorisasi. Bruner beranggapan, bahwa semua interaksi-interaksi kita dengan alam melibatkan kategori-kategori yang dibutuhkan bagi pemfungsian manusia. Tanpa kategori, manusia harus mempunyai satu laci dalam lemari map untuk setiap objek, benda, dan gagasan dalam pengalaman. Kategorisasi dapat menyederhanakan kekompleksan dalam lingkungan manusia. Dengan adanya sistem kategori, manusia dapat mengenal objek-objek baru. Hal ini dikarenakan obiek-objek baru memiliki kemiripan dengan objek-objek yang telah ada

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

105

dalam sistem kode manusia. Manusia dapat mengklasifikasikan dan memberikan ciri-ciri tertentu pada benda-benda atau gagasan-gagasan baru. Dalam kenyataannya, jika seseorang dihadapkan pada suatu benda baru, dan tidak dapat mengkategorisasikannya dengan cara-cara tertentu, ia tidak dapat menentukannya, dan tidak dapat menempatkannya di dalam sistem penyimpanan. Kategorisasi dapat membawa manusia ke tingkat yang lebih tinggi daripada informasi yang diberikan. Manusia menentukan objek-objek dengan mengasosiakan objek-objek itu dengan suatu kelas. Bila seseorang mengklasifikasikan suatu objek, maka ia akan mempengaruhi objek itu dengan sekumpulan sifat-sifat, atribut-atribut kritis, dan hubungan-hubungan. Manusia melakukan hal ini melalui inferensi, menemukan lebih banyak daripada yang kita peroleh langsung dari objek itu. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan pengembangan kategori-kategori dan pengembangan suatu sistem pengkodean. Berbagai kategorikategori saling berkaitan sedemikian rupa, sehingga setiap individu mempunyai model yang unik tentang alam. Dalam model ini, belajar baru dapat terjadi jika mengubah model itu. Hal ini teriadi melalui pengubahan kategori-kategori, menghubungkan kategori-kategori, atau dengan menambah kategori-kategori baru. 3. Belajar sebagai proses kognitif Bruner mengemukakan, bahwa belajar melibatkan tiga proses yang berlangsung hampir bersamaan, yaitu: a. Memperoleh informasi baru. Informasi baru dapat merupakan penghalusan dari informasi sebelumnya, atau berlawanan dengan informasi sebelumnya yang dimiliki seseorang. b. Transformasi informasi. Transformasi berhubungan dengan cara seseorang memperlakukan pengetahuan, apakah dengan cara ekstrapolasi, atau dengan mengubah menjadi bentuk lain. c. Menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan. Relevansi dan ketetapan pengetahuan dapat diuji dengan menilai apakah cara memperlakukan pengetahuan itu sudah cocok dengan tugas yang ada. Bruner menyebut pandangannya tentang belajar atau pertumbuhan kognitif sebagai konseptualisme instrumental. Pandangan ini berpusat pada dua prinsip, yaitu: a. b. Pengetahuan seseorang tentang alam didasarkan pada model-model tentang kenyataan yang dibangunnya. Model-model tersebut mula-mula diadopsi dari kebudayaan seseorang, kemudian diadaptasikan pada kegunaan bagi orang bersangkutan. Persepsi seseorang tentang suatu peristiwa merupakan suatu proses konstruktif. Dalam menyusun hipotesis, seseorang menghubungkan data inderanya pada model yang telah disusunnya tentang alam, lalu menguji hipotesisnya terhadap sifat-sifat tambahan dari peristiwa itu. Jadi, seorang pengamat tidak dipandang sebagai organisme reaktif yang pasif, tetapi sebagai seseorang yang memilih informasi secara aktif, dan

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

106

membentuk hipotesis perseptual. Pendewasaan pertumbuhan intelektual atau kognitif seseorang, yaitu: a. Pertumbuhan intelektual ditunjukkan oleh bertambahnya ketidaktergantungan respons dari sifat stimulus. Dalam pertumbuhan intelektual, seorang anak terlihat mempertahankan suatu respons dalam lingkungan stimulus yang berubah-ubah, atau belajar mengubah responsnya dalam lingkungan stimulus yang tidak berubah. Jadi, melalui pertumbuhan, seseorang memperoleh kebebasan dari pengontrolan stimulus melalui proses-proses perantara yang mengubah stimulus sebelum respons. b. Pertumbuhan intelektual tergantung pada bagaimana seseorang menginternalisasi peristiwa-peristiwa menjadi suatu sistem simpanan ( storage system) yang sesuai dengan lingkungan. Sistem inilah yang memungkinkan peningkatan kemampuan anak untuk bertindak di atas informasi yang diperoleh pada suatu kesempatan. Ia melakukan dengan membuat ramalan-ramalan, dan ekstrapolasi-ekstrapolasi dari model alam yang disimpannya. c. Pertumbuhan intelektual menyangkut peningkatan kemampuan seseorang untuk berkata pada dirinya sendiri atau pada orang lain, dengan pertolongan katakata dan simbol-simbol, mengenai apa yang telah dilakukannya atau akan dilakukannya. Kesadaran diri dapat mendorong suatu transisi dari perilaku keteraturan ke perilaku logika. Ini merupakan suatu proses yang membawa manusia melampaui adaptasi empiris. Hampir semua orang dewasa menggunakan tiga sistem keterampilan untuk menyatakan kemampuan-kemampuannya secara sempurna. Ketiga sistem keterampilan tersebut adalah tiga cara penyajian (modes of prsentation), yaitu: a. Enaktif Cara penyajian enaktif ialah melalui tindakan, sehingga bersifat manipilatif. Dengan cara ini seseorang mengetahui suatu aspek dari kenyataan tanpa menggunakan pikiran atau kata-kata. Jadi, cara ini terdiri atas penyajian kejadian-kejadian yang lampau melalui respons-respons motorik. Dengan cara ini dilakukan satu set kegiatan-kegiatan untuk mencapai hasil tertentu. b. Ikonik Cara penyajian ikonik didasarkan atas pikiran internal. Pengetahuan disajikan melalui sekumpulan gambar-gambar yang mewakili suatu konsep, tetapi tidak mendefinisikan konsep secara keseluruhan. Penyajian ikonik terutama dikendalikan oleh prinsip-prinsip organisasi perseptual dan oleh transformasi-transformasi secara ekonomis dalam organisasi perseptual. Penyajian ikonik tertinggi pada umumnya dijumpai pada anak usia 5 7 tahun, yaitu periode waktu anak sangat tergantung pada penginderaannya sendiri

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

107

c.

Simbolik Mendekati masa adolesensi, bahasa menjadi makin penting sebagai suatu media berpikir. Seseorang mencapai suatu transisi dari penggunaan penyajian ikonik yang didasarkan pada penginderaan ke penggunaan penyajian simbolik yang didasarkan pada system berpikir abstrak, arbitrer, dan lebih fleksibel. Penyajian simbolik menggunakan kata-kata atau bahasa. Penyajian ini lebih memperhatikan proposisi atau pernyataan daripada objek-objek; memberikan struktur hiarkis pada konsepkonsep, dan memperhatikan kemungkinan-kemungkinan alternatif dalam suatu cara kombinatorial.

4.

Belajar penemuan (discovery learning) Belajar penemuan merupakan pencarian pengetahuan secara aktif sehingga

memberikan hasil yang paling baik. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna. Bruner menyarankan siswa hendaknya belajar konsep dan prinsip, serta dianjurkan untuk memperoleh pengalaman dan melakukan eksperimen-eksperimen untuk menemukan prinsip-prinsip itu sendiri. Pengetahuan yang diperoleh dengan belajar penemuan menunjukkan beberapa keunggulan. Pertama, pengetahuan tersebut lama dapat diingat atau lebih mudah diingat, bila dibandingkan dengan pengetahuan yang dipelajari dengan cara-cara lain. Kedua, hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik daripada hasil belajar lainnya. Dengan kata lain, konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang telah dimiliki seseorang lebih mudah diterapkan pada situasi-situasi baru. Ketiga, secara menyeluruh belajar penemuan dapat meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berpikir secara bebas. Selain itu, pendekatan ini dapat melatih keterampilan-keterampilan kognitif siswa untuk menemukan dan memecahkan masalah tanpa pertolongan orang lain, dan meminta siswa untuk menganalisis dan memanipulasi informasi sehingga siswa tidak hanya menerima saja. Selanjutnya dikemukakan, bahwa belajar penemuan membangkitkan keingintahuan siswa, memberi motivasi untuk bekerja terus sampai menemukan jawaban. Belajar penemuan yang murni memerlukan waktu yang lebih banyak. Oleh karena itu dalam bukunya The Relevance of Education (1971), Bruner menyarankan agar penggunaan belajar penemuan ini hanya diterapkan sampai batas-batas tertentu, yaitu dengan mengarahkannya pada struktur bidang studi. Struktur suatu bidang studi terutama diberikan oleh konsep-konsep dasar dan prinsip-prinsip dari bidang studi itu. Bila seorang siswa telah menguasai struktur dasar, maka tidak sulit baginya untuk mempelajari bahan pelajaran lain dalam bidang studi yang sama, dan ia akan lebih mudah ingat akan bahan baru itu. Hal ini disebabkan karena ia telah memperoleh kerangka pengetahuan yang bermakna, yang dapat digunakannya untuk melihat hubungan-hubungan yang esensial dalam bidang studi itu, dan dengan demikian dapat memahami hal-hal yang mendetail.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

108

Menurut Bruner, mengerti struktur suatu bidang studi ialah memahami bidang studi tersebut sedemikian rupa sehingga dapat menghubungkan hal-hal lain pada struktur itu secara bermakna. Secara singkat dapat dikatakan bahwa mempelajari struktur adalah mempelajari bagaimana hal-hal dihubungkan. C. Teori Pengajaran Bruner Suatu teori pengajaran hendaknya meliputi: 1. Pengalaman-pengalaman optimal bagi siswa untuk dapat belajar Kondisi untuk aktivasi ialah adanya suatu tingkat ketidaktentuan yang optimal. Keingintahuan merupakan suatu respons terhadap ketidaktentuan dan kesangsian. Suatu tugas yang begitu terperinci menghendaki sedikit penyelidikan; tugas yang begitu tidak tentu dapat menimbulkan kebingungan dan kecemasan, dengan akibat mengurangi penyelidikan. Setelah penyelidikan teraktifkan, situasi itu dipelihara dengan membuat resiko seminim mungkin dalam penyelidikan itu. Belajar dengan pertolongan guru seharusnya kurang mengambil resiko dibandingkan dengan belajar sendiri. Ini berarti, bahwa akibat membuat kesalahan, menyelidiki alternatif-alternatif yang salah, hendaknya tidak banyak terjadi di bavvah bimbingan guru, dan hasil dari penyelidikan alternatif-alternatif yang benar dengan sendirinya besar. Arah penyelidikan tergantung pada dua hal yang saling berkaitan, yaitu tujuan dari tugas yang diberikan sampai batas-batas tertentu harus diketahui, dan sampai berapa jauh tujuan itu telah tercapai pun harus diketahui.

2. Struktur

Penstrukturan pengetahuan untuk pemahaman optimal suatu domain pengetahuan mempunyai tiga ciri, dan setiap ciri

mempengaruhi kemampuan siswa untuk menguasainya. Ketiga ciri itu adalah cara penyajian, ekonomi, dan kuasa (power). Cara penyajian, ekonomi, dan kuasa, berbeda bila dihubungkan dengan usia, gaya para siswa, dan macam bidang studi. Cara penyajian yaitu enaktif, ikonik, dan simbolik telah dijelaskan sebelumnya. Ekonomi dalam penyajian pengetahuan dihubungkan dengan sejumlah informasi yang dapat disimpan dalam pikiran, dan diproses untuk mencapai pemahaman. Semakin banyak jumlah informasi yang harus dipelajari siswa untuk. memahami sesuatu atau untuk menangani suatu masalah, maka semakin banyak langkah-langkah yang harus ditempuh dalam memproses informasi untuk mencapai suatu kesimpulan, dan makin kurang ekonomi. Ekonomi dapat berubah dengan cara penyajian. Ekonomi semakin meningkat dengan menggunakan diagram atau gambar. Kuasa dari suatu penyajian dapat juga diterangkan sebagai kemampuan penyajian itu untuk menghubungkan hal-hal yang kelihatannya sangat terpisah-pisah. 3. Perincian urutan-urutan penyajian 109 materi pelajaran secara

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

optimal Dalam mengajar, siswa dibimbing melalui urutan pernyataan-pernyataan dari suatu masalah atau sekumpulan pengetahuan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menerima, mengubah, dan mentransfer apa yang telah dipelajarinya. Jadi, urutan materi pelajaran dalam suatu domain pengetahuan mempengaruhi kesulitan yang dihadapi siswa dalam mencapai penguasaan. Biasanya ada berbagai urutan yang setara dalam kemudahan dan kesulitan siswa. Tidak ada satu urutan khas bagi semua siswa dan urutan yang optimal tergantung pada berbagai factor. Misalny belajar sebelumnya, tingkat perkembangan anak, sifat materi pelajaran dan perbedaan individu. Dikemukakan oleh Bruner, bahwa perkembangan intelektual bergerak dari penyajian enaktif ke penyajian simbolik. Karena itu urutan optimum materi pelajaran juga mengikuti arah yang sama. 4. Bentuk dan pemberian reinforcement Dalam teorinya, Bruner mengemukakan bahwa bentuk hadiah atau pujian dan hukuman harus dipikirkan. Demikian pula bila pujian atau hukuman itu diberikan selama proses belajar mengajar. Secara intuitif, jelas bahwa selama proses pembelajaran berlangsung, hadiah ekstrinsik bergeser ke hadiah intrinsik. Sebagai hadiah ekstrinsik misalnya, berupa pujian dari guru, sedangkan hadiah intrinsik timbul karena berhasil memecahkan masalah. Demikian pula ada kalanya hadiah yang diberikan secara langsung, harus diganti dengan hadiah yang pemberiannya harus ditunda atau ditangguhkan. Perlu diperhatikan ketepatan waktu pergeseran dari hadiah ekstrinsik ke hadiah intrinsik, dari hadiah intrinsik ke hadiah ekstrinsik, dan dari hadiah langsung ke hadiah yang ditangguhkan. D. Implikasi dalam Pembelajaran Matematika Bruner dalam teorinya menyatakan bahwa belajar matematika akan lebih berhasil jika proses pengajaran diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang terbuat dalam pokok bahasan yang diajarkan, di samping hubungan yang terkait antara konsep-konsep dan struktur-struktur. Dengan mengenal konsep dan struktur yang tercakup dalam bahan yang sedang dibicarakan, anak akan memahami materi yang harus dikuasainya itu. Ini rnenunjukkan bahwa materi yang mempunyai suatu pola atau struktur tertentu akan lebih mudah dipahami dan diingat. Melalui teorinya, Bruner mengungkapkan bahwa dalam proses belajar anak sebaiknya diberi kesempatan untuk memanipulasi benda-benda (alat peraga). Melalui alat peraga, anak akan melihat langsung bagairnana keteraturan dan pola struktur yang terdapat dalam benda yang sedang diperhatikannya itu. Keteraturan tersebut kemudian oleh anak dihubungkan dengan intuitif yang telah lekat pada dirinya. Bruner sangat menyarankan keaktifan siswa dalam proses belajar secara penuh. Lebih disukai lagi bila

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

110

proses ini berlangsung di tempat yang khusus, yang dilengkapi dengan objek-objek untuk dimanipulasi siswa, misalnya laboratorium. Bruner mengemukakan bahwa dalam proses belajar, anak melewati 3 tahap, yaitu: a. Tahap Enaktif Suatu tahap pembelajaran di mana materi matematika yang bersifat abstrak dipelajari siswa dengan menggunakan benda-benda konkret. Dengan demikian, topik matematika yang bersifat abstrak ini direpresentasikan atau diwujudkan dalam bentuk benda-benda nyata. Dalam tahap ini anak secara langsung terlihat dalam memanipulasi (mengotak-atik) objek. b. dipelajari Tahap Ikonik Suatu tahap pembelajaran di mana materi matematika yang bersifat abstrak siswa dengan menggunakan ikon, gambar, atau diagram yang menggambarkan kegiatan nyata dengan benda-benda konkret pada tahap enaktif. Dalam tahap ini kegiatan yang dilakukan anak berhubungan dengan mental, yang merupakan gambaran dari objek-objek yang dimanipulasinya. Anak tidak langsung memanipulasi objek seperti yang dilakukan siswa dalam tahap enaktif. Misalnya, sebuah segitiga menyatakan konsep kesegitigaan. Dengan demikian, topik matematika yang bersifat abstrak ini telah direpresentasikan atau diwujudkan

dalam bentuk benda-benda nyata yang dapat diamati siswa, lalu direpresentasikan atau diwujudkan dalam gambar atau diagram yang bersifat semi-konkret. c. dipelajari Tahap Simbolik Suatu tahap pembelajaran di mana materi matematika yang bersifat abstrak siswa dengan menggunakan simbol-simbol. Dalam tahap ini anak memanipulasi simbol-simbol atau lambang-lambang objek tertentu. Anak tidak lagi terikat dengan objek-objek pada tahap sebelumnya. Siswa pada tahap ini sudah mampu menggunakan notasi tanpa ketergantungan terhadap objek riil. Dari uraian tahapan dalam proses pembelajaran matematika di atas dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran matematika yang bersifat abstrak ini telah diturunkan kadar keabstrakannya dengan direpresentasikan atau diwujudkan dalam bentuk benda-benda nyata yang dapat diamati siswa, lalu direpresentasikan atau diwujudkan dalam ikon (seperti ikon komputer) gambar atau diagaram yang bersifat semi-konkret sebelum digunakannnya simbol-simbol yang bersifat abstrak. Dalil cara belajar dan mengajar matematika, terdiri dari: 1. Dalil penyusunan/ konstruksi (construction theorem) Dalil ini menyatakan bahwa jika siswa ingin mempunyai kemampuan dalam hal menguasai konsep, teorema, definisi dan semacamnya, siswa harus dilatih untuk melakukan penyusunan representasinya. Untuk melekatkan ide atau definisi tertentu dalam pikiran, siswa harus menguasai konsep dengan mencoba dan melakukannya sendiri. Dengan demikian, jika siswa aktif dan terlibat dalam kegiatan mempelajari konsep yang dilakukan dengan jalan memperlihatkan representasi konsep tersebut,

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

111

maka siswa akan lebih memahami konsep tersebut. Apabila dalam proses perumusan dan penyusunan ide-ide tersebut siswa disertai dengan bantuan benda-benda konkret, maka mereka akan lebih mudah mengingat ide-ide yang dipelajari itu. Siswa akan lebih mudah menerapkan ide dalam situasi riil secara tepat. Dalam tahap ini siswa memperoleh penguatan yang diakibatkan interaksinya dengan benda-benda konkret yang dimanipulasinya. Memori seperti ini bukan sebagai akibat penguatan. Dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya, dalam tahap awal pemahaman konsep diperlukan aktivitas-aktivitas konkret yang mengantar siswa kepada pengertian konsep. Siswa yang mempelajari konsep perkalian yang didasarkan pada prinsip penjumlahan berulang, maka ia akan lebih memahami konsep tersebut. Terlebih lagi jika siswa tersebut mencoba sendiri menggunakan garis bilangan untuk memperlihatkan proses perkalian tersebut. Sebagai contoh untuk memperlihatkan perkalian 3 x 5, berarti garis bilangan meloncat 3x dengan loncatan sejauh 5 satuan, hasil loncatan tersebut diperiksa, ternyata hasilnya 15. Dengan mengulangi hasil percobaan seperti ini siswa akan benar-benar memahami dengan pengertian yang dalam, bahwa perkalian dasarnya merupakan penjumlahan berulang. Contoh lain, misalnya untuk mamahami himpunan kosong, siswa dapat merepresentasikan himpunan kosong dengan rumah kosong, buku kosong atau kantong kosong. Dengan teori ini, ide matematika yang bersifat abstrak menjadi lebih konkret. 2. Dalil notasi (notation theorem) Dalil notasi mengungkapkan bahwa dalam penyajian konsep, notasi memegang peranan penting. Notasi yang digunakan dalam menyatakan sebuah konsep tertentu harus disesuaikan dengan tahap perkembangan mental siswa. Ini berarti untuk menyatakan sebuah rumus, notasi yang digunakan harus dapat dipahami oleh siswa, tidak rumit dan mudah dimengerti. Sebagai contoh, notasi untuk menyatakan fungsi f(x) = 3x 2 menggunakan notasi = (3 x ) 2. Bagi siswa yang mempelajari konsep fungsi lebih lanjut,

diberikan notasi fungsi {(x,y)| y = 3x 2, x, y menggunakan notasi


2

R}. Contoh lain, misalnya sebelum memfasilitasi siswa dengan

log 16 ,

sebaiknya

guru

menentukan atau mencari suatu bilangan yang jika menjadi pangkat dari 2 akan menghasilkan 16. Dengan demikian
2

log 16 = adalah identik dengan 16 = 2 ... .

Notasi yang diberikan tahap demi tahap ini sifatnya berurutan dari yang paling sederhana sampai yang paling sulit. Penyajian seperti ini dalam matematika merupakan pendekatan spiral. Dalam pendekatan spiral, setiap ide-ide matematika disajikan secara sistematis dengan menggunakan notasi-notasi yang bertingkat. Pada tahap awal notasi ini sederhana, diikuti dengan notasi berikutnya yang lebih

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

112

kompleks. Notasi yang terakhir, yang mungkin belum dikenal sebelumnya oleh siswa, umumnya merupakan notasi yang akan banyak digunakan dan diperlukan dalam pembangunan konsep matematika lanjutan. 3. Dalil kekontrasan dan keanekaragaman (contras and variation theorem) Dalil ini menyatakan bahwa pengontrasan dan keanekaragaman sangat penting dalam memahami konsep secara mendalam. Dalam kegiatan ini, diperlukan contohcontoh yang banyak, sehingga siswa mampu mengetahui karakteristik konsep tersebut. Siswa perlu diberi contoh yang memenuhi rumusan atau teorema yang diberikan. Selain itu, mereka perlu juga diberi contoh-contoh yang tidak memenuhi rumusan, sifat atau teorema, sehingga diharapkan siswa tidak mengalami salah pengertian terhadap konsep yang sedang dipelajari. Konsep yang diterangkan dengan contoh dan bukan contoh adalah salah satu cara pengontrasan. Melalui cara ini, siswa akan mudah memahami karakteristik konsep yang diberikan tersebut. Sebagai contoh, untuk menjelaskan pengertian persegi panjang, siswa harus diberikan contoh bujur sangkar, belah ketupat, jajar genjang dan segiempat lainnya selain persegi panjang. Dengan demikian siswa dapat membedakan apakah segiempat yang diberikan padanya termasuk persegi panjang atau bukan. Keanekaragaman juga membantu siswa dalam memahami konsep yang disajikan, karena dapat memberikan belajar bermakna bagi siswa. Misalnya, untuk memperjelas pengertian bilangan prima, siswa perlu diberikan contoh yang banyak dan beranekaragam. Siswa perlu diberikan contoh-contoh bilangan ganjil yang termasuk bilangan prima dan yang bukan. Siswa harus diperlihatkan bahwa tidak semua bilangan ganjil termasuk bilangan prima, sebab bilangan tersebut habis dibagi oleh bilangan lain selain oleh bilangan itu sendiri dan oleh satu. Untuk menjelaskan segitiga siku-siku, siswa perlu diberikan contoh yang gambargambarnya tidak selalu tegak dengan sisi miringnya dalam kedudukan miring, tapi perlu juga diberikan gambar dengan sisi miring dalam keadaan mendatar atau membujur. Dengan cara ini, siswa terlatih dalam memeriksa apakah segitiga yang diberikan kepadanya tergolong segitiga siku-siku atau bukan.

4.

Dalil pengaitan/ konektivitas (connectivity theorem) Dalil ini menyatakan bahwa dalam matematika antara satu konsep dengan konsep lainnya terdapat hubungan yang erat, bukan saja dari segi isi, namun juga

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

113

dari segi rumus-rumus yang digunakan. Materi yang satu dapat menjadi prasyarat bagi yang lainnya, atau suatu konsep tertentu diperlukan untuk menjelaskan konsep lainnya. Misalnya konsep Dalil Pythagoras diperlukan untuk menentukan tripel Pythagoras atau membuktian rumus kuadrat dalam trigonometri. Guru perlu menjelaskan bagaimana hubungan antara sesuatu yang sedang dijelaskan dengan objek atau rumus lain. Apakah hubungan itu dalam kesamaan rumus yang digunakan, sama-sama dapat digunakan dalam bidang aplikasi atau dalam hal-hal lainnya. Melalui cara ini, siswa akan mengetahui pentingnya konsep yang sedang dipelajari dan memahami bagaimana kedudukan rumus atau ide yang sedang dipelajarinya itu dalam matematika. Siswa perlu menyadari bagaimana hubungan tersebut, karena antara materi dengan lainnya saling berkaitan.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

114

BAB IX KECERDASAN INTUITIF DAN REFLEKTIF


Ada sebuah anekdot tentang seorang profesor matematika yang sangat terkenal. Dia menceritakan pengalamannya, kemudian menulis sebuah pernyataan matematis di papan yang berbunyi: Tentu saja, ini nyata. Dengan melihatnya lagi, dia mengatakan Setidak-tidaknya, saya berpikir bahwa ini nyata. Keraguannya semakin bertambah, kemudian dia berkata Permisi. Dia mengambil pensil dan kertas, kemudian keluar dari ruang kelas sekitar 20 menit. Setelah kembali dia berkata Ya, saudara-saudara, ini adalah nyata. Secara psikologis, yang menjadi daya tarik dari cerita ini adalah tidak adanya ketepatan dan kemantapan antara pernyataan pertama yang dapat dipercaya dengan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk berpikir. Setelah timbul keraguan, maka tidak akan ada lagi kepercayaan terhadap profesor tersebut. Pada pernyataan pertama, dapat diartikan Secara intuisi kami dapat menerima kebenaran dari pernyataan itu. Pada pernyataan kedua, diartikan bahwa melalui analisis logika, penerimaan secara intuisi pada pernyataan pertama dibenarkan. Contoh lain yang serupa misalnya mengalikan 16 dengan 25. Maka akan timbul pertanyaan. 1) Berapakah jawabannya? 2) Jelaskan bagaimana anda mengerjakannya! Mungkin untuk menjawab pertanyaan pertama, kita dapat menjawab cepat, tetapi untuk menjawab pertanyaan kedua, kita akan melibatkan proses mental dalam memperoleh jawaban. Contoh lainnya yaitu penggunaan kata is pada dua kalimat berikut ini. What I am writing with is chalk dan Chalk is white. Maka akan timbul pertanyaan 1) Tepatkah penggunaan kata is? 2) Apakah artinya sama? Pertanyaan pertama dapat segera dijawab; tetapi untuk menjawab pertanyaan kedua kita harus memikirkan penggunaan kata is dalam setiap kalimat. Pada ketiga contoh di atas, terdapat perbedaan antara dua model fungsi kecerdasan yaitu intuitif dan reflektif. Intuitif dapat diartikan berdasarkan bisikan hati atau bersifat intuisi, yaitu daya atau kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari. Reflektif dapat diartikan gerakan badan diluar kesadaran atau kemauan atau bersifat refleks, yaitu gerakan otomatis dan tidak dirancang terhadap rangsangan dari luar yang diberikan suatu organ atau bagian tubuh yang terkena. Pada tingkat intuitif, kita menyadari bahwa melalui reseptor/ alat indera (terutama penglihatan dan pendengaran), kita dapat mengetahui lingkungan luar. Hal ini dikarenakan, secara otomatis data tersebut diklasifikasikan dan dihubungkan dengan data serupa yang sudah ada. Dengan otot-otot yang dimiliki, kita dapat menggerakan kerangka untuk berbuat pada lingkungan luar. Aktifitas ini banyak dikontrol dan diarahkan oleh umban balik, selanjutnya informasi mengenai kemajuan dan hasilnya dapat diketahui melalui reseptor luar. Dalam banyak kasus, hal tersebut dapat berhasil

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

115

tanpa

adanya

kesadaran.

Misalnya,

ketika

membaca

dengan

suara

keras,

mengemudikan mobil, atau menjawab pertanyaan 16 x 25. Berikut ini skema kecerdasan intuitif. Campur tangan aktivitas mental

Reseptor

Efektor

LINGKUNGAN LUAR Pada tingkat reflektif, aktifitas mental yang berintervensi itu menjadi obyek kesadaran untuk introspeksi/ mawas diri. Seorang anak bertanya mengapa dalam mengucapkan kata accelerate seperti axelerate, bukan ackelerate. Pada c yang pertama diucapkan keras, karena diikuti dengan konsonan sedangkan c yang kedua diucapkan lembut, karena diikuti e atau i. Kemudian perlu dijelaskan lebih lanjut ketepatan pengucapan kata-kata lainnya. Seorang siswayang menumpang kendaraan bertanya Mengapa kita harus mengubah gigi (gear) sebelum melewati tikungan tajam?. Seolah-olah kita telah melakukan tanpa berpikir terlebih dahulu, dan kita tidak akan kesulitan dalam menerangkan alasannya. Contoh lainnya, kita dapat menjawab 400 dengan cepat ketika diberikan pertanyaan 16 x 25. Berikut ini skema kecerdasan reflektif. Reseptor

Campur tangan aktivitas mental

Reseptor

Efektor

LINGKUNGAN LUAR Data-data yang diperlukan untuk menjawab seluruh pertanyaan, tidak datang dari lingkungan, tetapi dari sistem konseptual kita sendiri. Perhatian kita arahkan pada sumber data, sehingga dengan begitu mudah dan terbiasa kita mampu melakukan aktifitas secara refleks. Dari situlah akan timbul kejutan. Kesadaran kita akan dunia luar

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

116

dapat diketahui melalui panca indera (misalnya mata, telinga, dan sebagainya) dan urat syaraf. Tetapi tidak ada susunan syaraf yang dapat mengungkapkan sesuatu yang ekuivalen dengan melihat bayangan atau mendengar ucapan batin kita. Kemampuan refleks ini sangat kurang pada anak-anak. Berikut ini dua contoh karya Piaget: 1. Weng (7 tahun) Guru : Sebuah meja panjangnya 4 meter, kemudian 3 meja disusun memanjang. Berapa panjang meja sekarang? Weng: 12 meter Guru : Bagaimana kamu menghitungnya? Weng: Saya menambahkan 2 dan 2 dan 2 dan 2 dan 2, dan 2 Guru : Mengapa 2? Mengapa tidak mengambil bilangan lain? Gath (7 tahun) Guru: Jika akan dibagikan 9 apel kepada 3 anak, maka berapa banyak apel yang diterima setiap anak? Gath: Tiga buah Guru: Bagaimana kamu menghitungnya? Gath: Saya mencoba berpikir Guru: Apa? Gath: Saya mencoba berpikir di kepala Guru: Apa yang dipikirkan di kepalamu? Gath: Saya menghitung Saya mencoba melihat bagaimana itu terjadi dan akhirnya saya menemukan 3 Dengan mengetahui kemampuan anak mengerjakan suatu hal, maka kita dapat mengetahui bagaimana dia mengerjakan hal lain. Bagaimanapun juga tergantung dari perbedaan individu, dan penulis baru-baru ini memperolah jawaban dari seorang anak yang berusia 6 tahun 10 bulan (mengenai pertanyaan panjang meja) yaitu 12 kaki. Dapatkah kamu menjelaskan bagaimana jawabanmu?. Baik saya berangkat dari 3, 6, 9, 12. Untuk pertanyaan kedua (mengenai membagi apel) yaitu Tiga. Bagaimana kamu menemukannya?. 3 dan 3 dan 3 menjadi 9. Kemudian secara spontan Cara cepatnya yaitu 3 sebanyak 3 yaitu 9 Setelah kita mampu memikirkan pada skema kita sendiri, langkah penting selanjutnya dapat diambil, yaitu mengkomunikasikannya dan mempersiapkan skema baru. Seseorang anak mungkin tidak dapat menyelesaikan 16 x 25 secara cepat, tetapi setelah diberi petunjuk bahwa 16 x 25 dapat ditulis menjadi 4 x (4 x 25) = 4 x 100 maka dimungkinkan dapat langsung menemukan jawabannya yaitu 400. Sehingga dengan cara yang sama, diharapkan anak juga dapat menyelesaikan perkalian lain seperti 24 x 25 secara cepat, bahkan menyelesaikan 25 x 25. Jika seorang anak dapat menyelesaikan semua itu, ini akan menunjukkan bahwa anak tersebut telah mencapai skema sederhana dan tidak sekedar jawaban atas pertanyaan tertentu. Kita dapat mengganti skema lama dengan yang baru. Sebagai gambaran, jika pembaca pernah mencoba mendorong mobil dengan boat trailer atau caravan yang digandengkan, maka dia dapat mengapresiasi contoh non matematis berikut: Penulis menahan roda stir, sedangkan di sisi lain pembaca menginginkan trailer maju. Hal ini tidak akan berhasil, oleh karena itu teman pengemudinya menyarankan pendekatan alternatif yaitu jika pembaca hanya mendorongnya dengan tangan, maka akan

2.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

117

mengalami

kesulitan

menyetirnya.

Kemudian

bayangkan

jika

diri

anda

sendiri

mendorong mobil dengan menggunakan boat trailer yang digandengkan, maka mobil tersebut juga akan maju dengan mudah. Substitusi skema ini ternyata sangat berhasil. Kita dapat membenahi kesalahan dalam skema yang ada. Jika kita mengatakan Saya melihat kesalahan yang saya lakukan. Ini berarti kita tidak hanya berpikir pada metode yang kita gunakan, tetapi kita berusaha menemukan detail-detail khusus didalamnya yang menyebabkan kegagalan, yang biasanya diikuti dengan perubahan detail-detail itu. Tetapi yang belum diketahui adalah bagaimana kita mampu membuat perubahan pada skema kita. Oleh karena itu, diperlukan penambahan skema seperti bagan dibawah ini. Campur tangan aktivitas mental

Reseptor

Efektor

Campur tangan aktivitas mental

Reseptor

Efektor

LINGKUNGAN LUAR Berikut ini contoh yang melibatkan aktifitas reflektif. Seseorang ingin mengetahui bagaimana mengalikan dua pecahan desimal, misalnya 1,2 dan 0,57. Maka kita dapat menerangkan bahwa titik desimal dapat dihilangkan terlebih dahulu, kemudian mengalikan 12 dan 57 dengan cara biasa, dan langkah terakhir menyisipkan kembali titik desimal dengan cara menghitung total banyaknya angka dibelakang titik desimal dari dua angka tersebut. Aturan ini memungkinkan anak mendapatkan jawaban benar, tetapi siswa tidak mengetahui pengertian notasi desimal. Untuk menjelaskan notasi desimal, kita dapat menulis kembali pecahan desimal tersebut ke dalam pecahan biasa, sebagai berikut:

1,2 0,57 =

12 57 684 = = 0,684 10 100 1000

Pada penyebut terdapat angka 10 dan 100. Banyaknya 0 pada penyebut itu = banyaknya angka di belakang titik desimal. Perkalian penyebut setara dengan

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

118

penambahan banyaknya 0 dan juga setara dengan penambahan banyaknya tempat desimal. Setelah menyelesaikan perkalian tersebut, kita dapat melangkah ke bagian selanjutnya, tanpa disadari kita telah menggunakan metode komunikasi, kemudian kita dapat memutuskan metode yang lebih baik. Sehingga kita akan dapat mengkomunikasikan skema perkalian desimal. Jenis aktifitas reflektif yang jangkauannya lebih jauh adalah aktivitas yang mengarah pada generalisasi matematis. Dalam perkalian pangkat, kita dapat melalukan secara langsung maupun melalui berberapa tahapan. Contohnya sebagai berikut:

a2 = a a a =aaa
3

(dimana a suatu bilangan)

a4 = a a a a
nampak bahwa:

a 2 a 3 = ( a a) (a a a ) = a5
Secara intiuitif, kita akan mempunyai skema untuk menyelesaikan perkalian bilangan berpangkat secara langsung. Contohnya

a 5 a 7 = a 12 .

Dengan menggunakan metode perkalian pecahan, maka kita dapat menyusun skema untuk menyelesaikan pembagian bilangan berpangkat, seperti contoh berikut.

a5 a3 =

aaaaa = a a = a2 aaa a 15 a 6 = a 9 .

Secara intiuitif, kita akan mempunyai skema untuk menyelesaikan pembagian bilangan berpangkat secara langsung. Contohnya

Dari dua skema diatas, kita dapat membentuk rumus umum sebagai berikut:

a m a n = a m+ n a m a n = a mn

, dimana m dan n adalah bilangan asli dan m > n.

Aturan di atas dibatasi untuk m dan n adalah bilangan asli dan m > n, sehingga aturan tersebut hanya dapat berlaku untuk a, a2, a3, . dan tidak berlaku untuk a0, a 2 ,

a 2 . Sehingga batasan m dan n adalah bilangan asli harus dihilangkan.


a dapat dinotasikan 1, a
0 2

1 2 dapat dinotasikan 2 , a dapat dinotasikan a

Berikut ini tahapan proses pengembangan metode: 1. Dari contoh-contoh disusun suatu metode.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

119

METODE

Conto h 2.

Conto h

Conto h

Kemudian metode tersebut diaplikasikan ke beberapa contoh lain.

METODE

Cont oh 3.

Contoh

Cont oh

Contoh

Cont oh

Metode dirumuskan secara eksplisit dengan mempertimbangkan sesuatu yang ada di dalamnya dan menganalisis struktur.

METODE

Conto h Conto h 4.

Conto h Conto h

Conto h

Metode tersebut diterapkan pada contoh-contoh baru

METOD E

Conto hconto h rutin

Conto hconto h baru

Proses generalisasi matematis merupakan aktifitas yang rumit dan tangguh. Rumit karena melibatkan pemikiran pada bentuk metode di dalamnya. Sedangkan tangguh karena membutuhkan kesadaran yang tinggi, perlu pengendali dan harus akurat. Akurat yang dimaksud, tidak hanya pada jawaban tetapi pada langkah-langkahnya. Selanjutnya, kita menciptakan contoh-contoh baru yang sesuai dengan konsep tersebut. Masalah yang dihadapi dalam generalisasi matematis adalah bilangan. Bilangan yang dikenal anak terlebih dahulu adalah bilangan asli. Mereka dapat mengetahui banyak benda dengan cara membilang benda tersebut menggunakan bilangan asli.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

120

Kemudian mereka mencoba melakukan penjumlahan dan pengurangan, perkalian dan pembagian. Kemudian anak mulai mengenal bilangan pecahan, bilangan negatif, dan aturan-aturan untuk menjumlah, mengurangi, mengalikan dan membagi bilanganbilangan tersebut. Guru harus dapat memberi penjelasan mengenai aturan-aturan dalam operasi bilangan. Dari penjelasan tersebut diharapkan siswa paham dan yakin bahwa matematika tidak membosankan dan mempunyai arti bagi kehidupan sehari-hari. Bagaimana tahapan operasi pada bilangan pecahan, bilangan bulat, bilangan rasional dan sebagainya? Jawaban yang detail ditunjukkan pada bab 10 dan 11, tetapi pada bab ini akan diberikan sedikit gambaran. Secara ringkas, akan dijelaskan sifat bilangan asli. Pada sistem bilangan asli, apabila kita melakukan penjumlahan dan perkalian maka hasilnya juga merupakan bilangan asli. Misalnya diambil dua bilangan yaitu 12 dan 9, maka 12 + 9 = 21 dan 12 9 = 108, sehingga 21 dan 108 juga merupakan bilangan asli. Selain itu, 12 + 9 = 9 + 12 dan 12 9 = 9 12.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

121

Berikut ini sifat-sifat operasi bilangan asli.

a+b =b+a ab = b a a + (b + c ) = ( a + b) + c a (b c ) = ( a b) c a (b + c ) = a b + a c
dimana a, b, c suatu bilangan asli. Sifat-sifat operasi bilangan asli di atas menjadi dasar untuk bilangan lainnya. Sistem bilangan asli mempunyai sifat tak terbatas. Himpunan bilangan asli dapat dituliskan {1, 2, 3, }. Dengan bantuan satuan yang telah ditentukan, kita selalu dapat mengukur suatu benda. Tetapi suatu ketika dengan satuan yang ada, kita tidak dapat mengukur benda kecil secara teliti. Oleh karena itu, bilangan baru perlu diperkenalkan. Tetapi kita belum boleh menyebutnya sebagai bilangan, sebelum kita membuat generalisasi pada skema sistem bilangan. Bilangan harus memenuhi dua persyaratan, yaitu ketepatan dan kegunaan. Ketepatan berarti bahwa kita harus menemukan cara penjumlahan dan perkalian yang sesuai dengan lima sifat bilangan asli. Kegunaan berarti bahwa hasil manipulasi harus menunjukkan sesuatu yang ingin kita ketahui dalam kaitannya dengan obyek material. Walaupun ini tidak esensial tetapi sangat membantu jika tanda-tanda untuk satuan baru ini dapat dikembangkan diluar tanda-tanda secara umum; dan untuk penjumlahan dan perkalian kita dapat menggunakan metode penjumlahan dan perkalian yang telah kita pelajari. Semua persyaratan ini jika dipenuhi memungkinkan asimilasi sistem bilangan baru terhadap skema yang ada dan telah dipraktekkan dengan baik. Seorang pembaca yang menyelidiki lebih lanjut akan banyak mempelajari dasardasar pemikiran matematis. Hal yang sejalan dengan perkembangan bilangan bulat positif dan negatif, bilangan rasional (sering disebut bilangan pecahan), dan bilangan riil (termasuk bilangan irasional seperti

2,

).

Disini lebih ditekankan pada proses

daripada hasil, dan khususnya aktifitas kesadaran pada skema menjadi bagian dari proses generalisasi matematis, dan menjadi salah satu aktifitas kecerdasan reflektif yang paling maju. Fungsi kecerdasan reflektif sangat penting untuk kemajuan matematika ke tingkat yang lebih tinggi, dan lebih penting lagi untuk mengetahui pada usia berapa mulai muncul kecerdasan reflektif, dan bagaimana kita dapat membantu atau mempercepat munculnya kecerdasan reflektif. Pertanyaan pertama dapat dijawab melalui penelitian Inhelder dan Piaget yang menunjukkan bahwa anak akan mengembangkan kemampuan untuk memikirkan pada isi (content) selama usia 7 11, dan memanipulasi ide-ide konkret dengan berbagai cara, seperti melakukan aksi (dalam imajinasi). Tetapi mereka menemukan bahwa subyeknya tidak dapat beralasan secara formal sampai masa dewasa. Yang berkaitan erat dengan ini, mereka menyatakan bahwa anak-anak yang

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

122

lebih muda tidak dapat membantah hipotesis meskipun hipotesis ini bertolak belakang dengan pengalaman mereka. Dalam penelitian ini, subyek diambil secara acak di sekolah Swiss. Dapat dikatakan, penelitian menunjukkan kemajuan perkembangan kecerdasan reflektif pada anak-anak, dengan interaksi kemampuan bawaannya dengan pengalaman kebudayaan dan pendidikan yang mereka dapati. Apa yang tidak kita ketahui saat ini adalah sejauhmana tingkat perkembangan kecerdasan reflektif dapat membantu anak dalam belajar. Sebagai pertimbangan, kebanyakan anak belajar menyanyi secara spontan. Seorang anak laki-laki yang menjadi anggota koor Kings College, Cambridge, atau Magdalen College, Oxford, awalnya mendengar orang lain menyanyi kemudian menirunya. Tetapi pembelajaran ini banyak dipercepat sehingga banyak hal yang dicapai dalam waktu singkat. Sekarang perkembangan kemampuan reflektif dan pemberian alasan formal bukanlah subyek yang sengaja diajarkan. Hal ini dikarenakan tidak terlalu penting dan kita tidak tahu bagaimana cara mengajarkannya, karena kita juga belum tahu bagaimana hal itu dipelajari. Hipotesis yang beralasan mengenai pendapat terakhir tersebut adalah adanya situasi yang menghendaki siswa untuk merumuskan idenya secara eksplisit dan menunjukkan mereka dapat berpikir secara logis dari ide lain dan ide-ide yang dapat diterima secara umum. Dengan kata lain, saling pendapat dan diskusi adalah cara-cara pembelajaran yang sangat bermanfaat bagi pengembangan kecerdasan reflektif. Guru telah mencoba mengajarkan kecerdasan reflektif. Dalam mengajarkan suatu topik, guru lebih menekankan pada klarifikasi pemikiran siswanya. Penelitian sederhana juga mendukung pandangan ini. Siswa-siswa SLTP yang berusia sekitar 14 tahun diajarkan beberapa topik yang berbeda oleh guru matematikanya. Masing-masing diberikan sebuah tes mengenai topik yang telah diajarkan, kemudian siswa dibagi menjadi dua kelompok yang sama berdasarkan hasil tes tersebut. Kelompok pertama mengajarkan apa yang telah mereka pelajari mengenai bilangan kepada kelompok kedua. Siswa yang beraksi sebagai tenaga pengajar berpikir bahwa siswanya akan dites mengenai apa yang telah diajarkan oleh mereka. Sebenarnya, pada akhir penelitian semua dites lagi atas topik yang telah mereka pelajari. Tujuannya adalah untuk membandingkan efek pengajaran suatu topik pada orang lain, dan terus mempraktekkannya sendiri. Hasilnya nampak sangat jelas bahwa kelompok siswa yang menjadi tenaga pengajar mempunyai hasil tes akhir yang lebih baik. Komunikasi muncul sebagai salah satu pengaruh yang menguntungkan pada perkembangan kecerdasan reflektif. Salah satu faktor yang bersangkutan adalah perlunya mengkaitkan ide dengan simbol-simbol (selengkapnya dibahas pada bab berikutnya). Faktor lainnya adalah adanya interaksi ide-ide seseorang dengan ide-ide orang lain, tetapi ide umum yang dihasilkan kurang egosentris, lebih bebas sesuai pengalaman individu. Sebagaimana telah dikemukakan, arah dan tujuan diskusi pada pembelajaran adalah menjelaskan ide-ide dalam pikiran seseorang, menyebutnya

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

123

dengan istilah-istilah yang tidak menimbulkan salah paham, menyatakan hubungannya dengan ide-ide lain; memodifikasi kelemahan pihak lain, dan akhirnya mendapatkan struktur yang lebih kuat dan lebih kohesif dibandingkan sebelumnya. Pembahasan sebelumnya telah membawa implikasi bahwa seorang individu pada tahap intuitif, mampu berpikir mengenai gabungan bentuk dan isi, dan mampu beralasan formal. Secara umum, jika seorang anak berada pada tahap tertentu yang seharusnya sedang mempelajari materi A, maka ia sudah mampu menguasai materi B. Sehingga melalui tahapan-tahapan serupa dalam setiap materi baru, mereka harus lebih cepat maju dibandingkan anak lain yang seumuran. Setiap orang hampir tidak dapat diharapkan untuk memikirkan konsep-konsep yang belum dibentuk, walaupun sistem reflektif seseorang dapat berkembang bagus. Sehingga tingkatan intuitif sebelum reflektif sebagian bisa benar untuk materi baru pada bidang studi matematika. Walaupun kita relatif kurang mengetahui mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kecerdasan reflektif pada umumnya, tetapi satu hal dapat kita pastikan adalah kecerdasan reflektif pasti muncul walaupun terlambat. Siswa yang masih pada tahap intuitif, biasanya banyak tergantung pada cara penyajian materi oleh guru. Jika konsep baru yang didapati sangat jauh dari skema yang ada, mungkin dia tidak mampu mengasimilasikannya; khususnya karena tingkat akomodasi yang mungkin pada tingkat intuitif lebih rendah daripada yang dicapai dengan refleksi. Maka pada tahap-tahap awal, guru harus menganalisis konseptual siswa secara cermat sebagai dasar merencanakan pembelajaran, sehingga siswa dapat melakukan sintesa struktur-struktur dalam ingatannya sendiri. Itulah hal yang harus diperhatikan, tidak peduli apakah pembelajaran terjadi langsung oleh guru, maupun pembelajaran tidak langsung yaitu dari buku. Pembelajaran langsung oleh guru mempunyai keuntungan yaitu pertanyaan dapat diajukan, penjelasan dapat diberikan; dan bahkan keuntungan yang lebih besar bahwa guru yang sensitif dapat mempersepsikan perkembangan skema tiap siswanya, dan mengajarkan materi yang tepat sesuai dengan kondisi siswa. Pendekatan ini lebih fleksibel, disesuaikan dengan penguasaaan siswa sehingga tidak harus tepat sesuai rencana yang telah disiapkan. Kontribusi akhir dari guru adalah mengurangi ketergantungan siswa padanya. Contohnya, ketika seorang anak sedang mengerjakan sebuah teka-teki ( jigsaw puzzles) untuk pertama kalinya, maka ibunya biasa memberi bagian-bagian yang dirasa cocok dengan apa yang telah dia tempatkan bersama. Tetapi ketika tahap intuitif dan reflektif telah dicapai, maka anak tidak akan suka jika dibantu dalam mengerjakan, sehingga guru harus memberi kebebasan kepada siswanya. Setelah seorang siswa mampu menganalisis materi baru untuk dirinya sendiri, maka dia dapat mencocokan pada skemanya sendiri dengan cara-cara yang paling berarti bagi dirinya sendiri; dan mungkin mempunyai cara yang sama dengan apa yang disajikan oleh guru. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ada tiga hal yang harus dilakukan oleh tenaga pengajar matematika, yaitu:

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

124

1. Guru harus menyesuaikan materi matematika sesuai dengan status perkembangan skema matematis siswa. 2. Guru harus menyesuaikan cara penyajian materi sesuai dengan kemampuan berfikir siswa. 3. Secara bertahap guru harus meningkatkan kemampuan analitiknya untuk mencerna terlebih dahulu sebelum materi diberikan kepada siswa, ketika siswa berada pada tahap dimana mereka tidak lagi tergantung pada guru.

BAB X PERMULAAN MATEMATIKA


Kebanyakan orang, jika ditanya apakah ide tentang awal metematika, mereka akan menjawab bilangan (angka), mungkin juga hitungan. Oleh karena itu, dalam uraian berikut, kami akan menganalisis secara konseptual dua ide yang saling berkaitan erat. A. Bilangan dan Berhitung Bilangan dan berhitung tidak dapat dipisahkan. Ada kemungkinan seseorang memunculkan ide dasar tentang suatu angka, tetapi tidak mempunyai kemampuan. Jean Piaget dalam teorinya telah menunjukkan bahwa anak-anak dapat berhitung dengan cara terbatas; tanpa benar-benar mempunyai konsep tentang angka. Tetapi jika dengan berhitung seseorang dapat mengartikan sesuatu, misalnya mengetahui banyaknya buah apel dalam sebuah mangkuk. Dengan demikian jauh lebih jelas arti berhitung dalam kehidupan sehari-hari, seperti cara menemukan sifat tertentu dari suatu kumpulan benda yang dapat kita sebut sebagai angka. Hal ini menunjukkan bahwa angka dan berhitung merupakan dua hal yang terkait erat hubungannya, dan dari kedua hal tersebut, angka merupakan hal yang lebih mendasar. Ketika nama bilangan hanya digunakan sebagai daftar kata yang serasi menggunakan nama, misalnya: P.C.49, M & B 693, kata bilangan tidak dapat digunakan dengan arti matematika yang mana di sini kita akan mencoba untuk menganalisisnya. B. Suatu angka Angka, Bilangan dan Nomor digunakan untuk melambangkan suatu bilangan, suatu entitas

abstrak dalam ilmu matematika. Tetapi bagi orang-orang awam, angka dan bilangan seringkali dianggap dua entitas yang sama. Mereka pun umumnya menganggap angka dan bilangan sebagai bagian dari matematika. Kita akui bahwa, bahasa Indonesia belum cukup baku sebagai alat komunikasi dalam ilmu dan sains, sehingga belum ada konsesus resmi bahwa 'angka' dan 'bilangan' melambangkan dua hal yang sangat berbeda. Demikian pula, kedua kata angka dan bilangan masih sering dipertukarkan dengan kata nomor.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

125

Kata nomor biasanya menunjuk satu atau lebih angka yang melambangkan sebuah bilangan bulat dalam suatu barisan bilangan-bilangan bulat yg berurutan. Misalnya kata 'nomor 3' menunjuk salah satu posisi urutan dalam barisan bilangan-bilangan 1, 2, 3, 4, ..., dst. Jadi kata nomor sangat erat terkait dengan pengertian 'urutan'. Arti kata 'angka' lebih mendekati arti kata 'digit' (bahasa Inggris). Nampaknya belum ada kata dalam bahasa Indonesia yang merupakan terjemahan secara tepat dari 'digit'. Dalam hal ini, sebuah atau beberapa angka lebih berperan sebagai lambang tertulis atau terketik dari sebuah bilangan. Sesuai dengan arti kata 'digit', lebih baik pengertian angka dibakukan dengan batasan agar hanya ada sepuluh angka yang berbeda: 0, 1, 2 ..., 9. Untuk memperjelas pengertian angka seperti diuraikan dalam paragraf terakhir, berikut diberikan dua contoh penggunaannya. "Bilangan sepuluh ditulis dengan dua buah angka (double digits), yaitu angka 1 dan angka 0.", "Inflasi di Zinbwabe mencapai 3 angka (three digits)" (Maksudnya, inflasi di Zinbwabe sudah mencapai paling sedikit 100%, sebab bilangan 100 adalah bilangan dengan nilai terendah yang bisa ditulis dengan tiga angka). Dalam sistem bilangan biner (binary bilangan system), yaitu sistem bilangan basis 2, hanya digunakan dua angka: 0 dan 1, untuk menyatakan sembarang bilangan bulat. Misalnya, deretan tiga angka 101 dalam sistem biner melambangkan bilangan 3 dalam sistem bilangan basis 10. Tanpa penjelasan lebih jauh, kata 'bilangan' di sini selalu diartikan sebagai bilangan dalam sistem basis 10. Bilangan 0, 1, 2 , 3 , 4 , 5 , 6, 7 ,8, 9 ,dinamakan angka atau digit. Sebuah bilangan merupakan susunan sekelompok angka yang memenuhi aturan tertentu, misalnya 20, -50, 2/3,
3 2 , log 2 dan sebagainya.

C. Himpunan Sebelum kita menghitung tentang sesuatu, kita harus mengetahui objek mana yang akan dilibatkan dan objek mana yang tidak dilibatkan. Misalnya; kita diminta untuk menghitung banyaknya gadis yang cantik dalam suatu ruangan. Dari permintaan ini, kita sendiri akan memperoleh suatu kesulitan: siapa-siapa yang akan kita libatkan? Dan dengan dugaan bahwa kita mampu memutuskan menurut pertimbangan kita sendiri, apakah yang orang lain juga setuju dengan apa yang kita pilih sendiri? Kita sedang dalam resiko kehilangan salah satu dasar esensial matematika kita, yaitu kesepakatan atas dasar-dasar rasional. Maka untuk tujuan matematika kita harus menolak permohonan seperti pada contoh di atas dan menurut aturan yang disepkati dalam matematika kita membatasi kumpulan pada objek yang definisinya jelas, yaitu kumpulan di mana kita dapat mengatakan apakah itu masuk dalam kumpulan atau tidak. Kumpulan seperti itu yang kita sebut dengan nama himpunan: dan objek yang terlibat di dalamnya kita sebut dengan nama elemen atau unsur.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

126

D. Karakteristik dari Himpunan Bagaimana kita mendefinisikan dengan baik tentang kumpulan suatu objek? Metode yang telah digunakan dalam contoh-contoh sampai saat ini adalah menggunakan beberapa jenis kata sifat atau frase kata sifat deskripsi singkat. Jika suatu objek dideskripsikan dengan jelas, misalnya terdapat kedua buah apel (tidak ada buah lain) dalam suatu mangkuk (bukan dalam piring atau pada pohonnya), maka ini disebut sebagai suatu himpunan. Jika tidak dijelaskan atau digambarkan suatu obyek dengan baik, maka objek tersebut tidak disebut sebagai himpunan. Sifat yang mendefinisikan keanggotaan himpunan disebut karakteristik himpunan. Cara lain mendefinisikan suatu himpunan adalah dengan mendaftar elemenelemennya. Misalnya, kita dapat mendefinisikan himpunan, seperti himpunan yang terdiri atas bulan, telinga kiri saya, dan monumen Nelson. Setelah kita mendefinisikan himpunan dengan baik, selanjutnya kita mengatakan himpunan itu mempunyai karakteristik, dan kita dapat membuat daftar elemen-elemennya. Karakteristik yang dimiliki himpunan biasanya tidak selalau mengarah pada ide-ide baru. Himpunan yang lebih menarik adalah himpunan dimana kita dapat mengabstraksi konsep baru. Tetapi cara yang baik untuk mendefinisikan himpunan adalah dengan mendaftar anggota-anggotanya. Hal ini menggambarkan dua arah dimana kita akan mulai, dalam pikiran kita, antara himpunan dan karakteristiknya. Kita dapat memutuskan beberapa kriteria pertama, dan mengumpulkan dalam himpunan semua objek yang memenuhi kriteria itu: misalnya, himpunan ibukota-ibukota Indonesia, atau himpunan pohon-pohon Pinus di kepulauan Indonesia atau kita dapat membentuk beberapa kumpulan objek, dengan cara apapun yang kita pilih asalkan memberi kumpulan yang bagus dan kemudian mencoba mengetahui apa yang mereka miliki secara umum. Metode ini sangat berhasil dalam mendatangkan konsep baru dan merupakan metode yang akan kami gunakan dalam mengembangkan konsep bilangan. Tidak ada batasan atas jenis objek dimana kita membentuk himpunan. Jenis objek berupa material atau abstraksi, misalnya obyek material: kumpulan uang koin dalam celengan, atau misalnya objek abstraksi: tujuh bilangan kardinal. Kita juga biasanya menyebutkan himpunan tanpa objek satupun di dalamnya, seperti: himpunan babi-babi bersayap. Himpunan jenis yang terakhir ini disebut himpunan kosong atau himpunan nihil, bukan himpunan nol. Himpunan ini dirumuskan dengan baik: diberikan suatu objek dari seluruhnya, kita dapat mengatakan apakah objek itu milik himpunan ini atau tidak. Kita juga dapat mempunyai himpunan-himpunan yang elemennya adalah himpunan-himpunan itu sendiri. Misalnya, PSSI adalah nama tim sepak bola, sebuah himpunan yang elemenelemennya adalah pemain sepak bola. Himpunan ini merupakan elemen dari himpunan lain, yang elemen-elemennya adalah tim-tim dalam Asosiasi Sepak Bola. Contoh seperti ini banyak kita jumpai, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam matematika.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

127

Menyepakati terlebih dahulu objek mana yang dipertimbangkan untuk diterima atau ditolak dalam himpunan tertentu sering sangat bermanfaat. Misalnya, seorang guru biologi mengatakan pada siswanya untuk merumuskan dengan ide sendiri tentang seekor ikan, dan bertanya dengan lebih bebas lagi bahwa: Sebutkan sesuatu yang bukan ikan. Seorang siswa menjawab Gunung merapi, siswa lainnnya menjawab Harimau, dan siswa berikutnya menjawab Seekor ikan paus. Apakah perasaan kita secara intuitif bahwa jawaban pertama adalah jawaban pander (sangat bodoh), jawaban kedua adalah tidak baik, dan yang terakhir adalah jawaban yang baik? Karena siswa memastikan pembahasan itu adalah tentang hewan, sehingga siswa memberi jawaban yang bukan hewan yaitu Gunung merapi?, walaupun jawabannya benar, tetapi tidak relevan dengan pertanyaan guru. Tidak ada orang yang dapat mempertimbangkan bahwa Harimau sebagai suatu kemungkinan untuk dikategorikan dalam himpunan ikan, sehingga contoh ini tidak berperan sama sekali dalam pembahasan itu. Tetapi jawaban seekor ikan paus dapat dipahami oleh sebagian orang sebagai seekor ikan, sehingga jawaban ini menemukan bahwa penanya benar-benar mengartikan Sebutkan seekor hewan air yang bukan seekor ikan. Ia akan berkata, bukan hutang, mengatakan demikian. Berbicara secara matematika kita dapat mengatakan: dia telah mendefinisikan himpunan semesta pembicaraan (universe of discourse). Ini merupakan nama yang diberikan pada himpunan objek-objek yang dipertimbangkan dalam pembahasan tertentu, dan himpunan ini telah didefinisikan, himpunan-himpunan lain yang ditunjukkan harus mempunyai elemen-elemen yang masuk dalam semesta pembicaraan. Ide lain yang akan kami perlukan adalah ide himpunan bagian (sub-set). Katakanlah, himpunan tanda pada laci bangku saya, saya dapat membaginya menjadi himpunan-himpunan satu tanda uang, dua tanda uang, dan seterusnya. Semua itu adalah himpunan bagian dari himpunan yang disebutkan pertama. Kalimat pada aliniea terakhir, sekarang dapat disebutkan kembali: Semua himpunan harus ada dalam himpunan bagian dari semesta pembicaraan. E. Apa yang Kita Maksudkan dengan Tiga? Jawaban yang bagus terhadap pertanyaan tersebut adalah: mengapa kita ingin mengetahui? Saya dapat mengenali tiga cangkir kopi atau tiga ekor sapi ketika saya melihatnya; apalagi yang saya perlukan? Jawaban pertama adalah bahwa ada prosedur ilmiah yang baik untuk menanyakan hal yang jelas dan nyata. Pengetahuan kita sekarang lebih buruk jika tidak ada orang menanyakan mengapa suatu benda nampak berwarna, atau mengapa kaki seekor katak mati kejang di bawah kondisi tertentu. Jawaban yang kedua adalah bahwa kita dapat dan memang menggunakan konsep tiga secara efektif pada tingkat intuitif tanpa menganalisisnya. Kebanyakan kita dapat melakukan dan mengatur kehidupan sehari-hari dengan baik tanpa (hal-hal kecil)

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

128

menjadi ahli matematika. Kita menggunakan teknik matematis yang sederhana tanpa memahaminya, sama halnya seperti banyak orang menggunakan mobil dan televisi tanpa memahaminya. Tetapi tingkat pemahaman yang sangat kecil banyak meningkatkan efektifitas yang mana semua dapat digunakan; dan jika pembaca ingin memahami sebagian awal matematika, maka hampir tidak mungkin tanpa pemahaman konsep bilangan pada tingkat reflektif dan intuitif. Bilangan negatif, pecahan, bilangan irasional, semua adalah generalisasi ide yang diambil dari bilangan penghitungan 1, 2, 3, (bilangan asli). Dan untuk aljabar elementer dimulai dari pernyataan umum tentang bilangan. bagaimana kita mengatakan dan mengartikan angka tiga. Cara terbaik untuk memahami suatu ide pada tingkat reflektif adalah membayangkan bagaimana kita akan membawakannya kepada orang lain. Dalam hal ini, mari kita asumsikan bahwa dia tidak mempunyai konsep-konsep yang urutannya sama atau lebih tinggi yang memungkinkan kita untuk menggunakan sebuah definisi dengan berhasil. Untuk membuat konsep merah, kita menunjukkan berbagai fakta benda merah, maka kita harus mencari susunan objek-objek yang mencontohkan konsep tiga. Dengan demikian, kita akan menemukan suatu kumpulan bahwa semua objek yang kita pilih adalah himpunan contoh untuk konsep tiga. Dalam pelaksanaannya kita akan menemukan seluruh objek yang kita pilih merupakan himpunan itu sendiri: tiga buah apel, tiga jari yang digenggam, tiga pensil, tiga kursi. tiga adalah karakteristik dari sebuah kumpulan himpunan tertentu dimana kita dapat memilih varietas yang memadai untuk memungkinkan siswa membentuk konsepnya sendiri. F. Himpunan Berpasangan Dengan menggunakan contoh merah sebagai titik awal, anggaplah seseorang menginginkan cara sederhana dalam memutuskan apakah objek baru yang ia peroleh juga mempunyai sifat ini. Semua yang harus dia kerjakan adalah membawa benda merah yang menyenangkan (dimasukkan ke sakunya), dan membandingkan benda itu dengannya. Jika dan hanya jika warna cocok, dia akan memberikan objek baru pada himpunan merah. Dan juga memasukkannya objek hijau, objek biru, objek kuning, dan seterusnya, dia dapat menemukan warna dari benda lain yang dia inginkan dengan mengujinya untuk menjodohkan terhadap objek standarnya. Jika eksperimen ini dilakukan dalam praktek, maka akan segera ditemukan bahwa himpunan-himpunan yang mempunyai warna merah, biru, hijau, kuning, untuk sifat karakteristik tidak dirumuskan dengan baik sebagaimana diinginkan. Penjodohan objek untuk warna yang tidak seksama, akan mengakibatkan sebagian benda dianggap sebagai biru agak kehijauan, yang lain juga akan mendeskripsikan sebagai hijau kebiruan. Penjodohan himpunan untuk bilangan dapat dilakukan dengan seksama, dan kita sering mengerjakannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan himpunan cawan pada talam, kita menjodohkan dengan himpunan cangkir dan sangat mungkin dengan Dari sini,

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

129

himpunan sendok teh, semua himpunan ini mempunyai bilangan yang sama. Jika bilangan ini cukup besar, mungkin kita tidak bosan mencari tahu apa itu. Kita hanya memastikan pada himpunan setiap cawan ada sebuah cangkir, dan sebaliknya. Tentu ada sebuah cangkir untuk himpunan setiap cawan, dan satu cawan untuk himpunan cangkir, jadi tidak bisa terpisahkan. Demikian pula untuk himpunan sendok. Penjodohan jenis ini disebut korespondensi satu-satu, dan apakah dua himpunan tertentu cocok dengan cara ini atau tidak adalah tidak mungkin menjadi masalah untuk ketidakcocokan. Juga jelas bahwa jika kita mempunyai korespondensi satu-satu antara himpunan cawan dan himpunan cangkir, dan antara himpunan cawan dan himpunan sendok, kita juga akan mempunyai korespondensi satu-satu antara himpunan cawan dan himpunan sendok. Berikut ilustrasinya. 1. 2.

3.

Sifat korespondensi satu-satu ini disebut sifat transitif. Dengan menggunakan sebagai singkatan untuk korespondensi satu-satu dengan, dan menyebut himpunan cangkir, cawan, dan sendok teh secara berturut-turut dengan C,W, dan T, kita ekspresikan hasil kita dengan singkat dengan mengatakan bahwa jika C W dan W T, maka juga C T. Dari sifat ini disimpulkan bahwa dalam contoh tertentu kita dapat menggunakan himpunan cangkir, himpunan cawan, atau himpunan sendok teh, sebagai perbandingan dengan himpunan baru; katakanlah himpunan bungkusan biskuit. Jika himpunan baru menyesuaikan salah satu himpunan yang ada, maka itu menyesuaikan semua. Karena jika B C, maka karena C W T kita tahu bahwa B W dan B T. Hasil ini benar untuk himpunan manapun dari himpunan-himpunan yang menyesuaikan; maka untuk tujuan perbandingan salah satu himpunan dari himpunanhimpunan yang menyesuaikan dapat mewakili himpunan ini sebagai satu keutuhan. Dan dengan himpunan baru, mudah memutuskan dengan prosedur penjodohan tersebut apakah itu masuk dalam himpunan tertentu dari himpunan-himpunan yang menyesuaikan atau tidak. Himpunan-himpunan kita sekarang dirumuskan dengan baik.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

130

Jika W dan W berdiri untuk himpunan-himpunan domba yang meninggalkan pasar dan pulang ke rumah, dan T untuk himpunan bentuk ( notches) yang dipotong atas perhitungan jumlah sebelum dibagi, maka W T dan T W memastikan bahwa W W sebagaimana diinginkan. Dan karena secara asli T T1 T2, Jika T1 atau T2 diubah akan ada ketidakcocokan pada akhirnya.T1 W T T2 W

G. Himpunan Standar Dalam contoh merah kami menyatakan bahwa siswa kami dapat membawa objek dari masing-masing warna untuk membandingkan objek baru yang ditemukan. Bendabenda itu adalah objek standar untuk warna. Untuk mengetahui banyaknya himpunan baru dia perlu mempunyai himpunan masing-masing bilangan untuk membandingkan himpunan yang baru. Himpunan standar untuk bilangan yang akan dia pilih atas dasar kesenangan dan kemungkinan; maka sebagian dari badannya sendiri akan mengemukakan diri mereka sendiri. Untuk himpunan 2, dia bisa memilih matanya; untuk himpunan 5, jari-jari pada sebuah tangan; untuk himpunan 4, semua anggota badannya; untuk himpunan 1, hidungnya. Dengan menyebutkan himpunan mata, tangan, anggota badan, hidung, akan mengarah pada himpunan yang menjadi namanya untuk bilangan-bilangan yang kita sebut 2, 5, 4, 1. Untuk mengetahui banyaknya atau bilangan dari himpunan baru dia harus mencobanya untuk pencocokan terhadap himpunan standar mana yang dianggap paling disukai. Jika dia salah, dia harus mengambil yang lain. Cara yang nyata untuk memperkenalkan hal itu adalah mencoba himpunan standar dengan cara reguler, dimulai dengan penghitungan objek-objek yang paling sedikit, kemudian yang paling kecil diantara objek-objek lain, dan sebagainya. Yaitu, menyusunnya secara berurutan. Karena dia tidak dapat menyusun kembali anatominya, dia akan mengerjakan hal ini secara mental dengan menempatkan nama-nama bilangan secara urut: hidung, mata, anggota badan, tangan, H. Berhitung Langkah ini adalah menggunakan Number-names themselves, secara berurutan, sebagai himpunan standar. No . 1. 2. 3. 4. 5. Bilangan Notasi hidung mata jari tubuh tangan Himpunan Standar Jumlah Kata [hidung] [hidung, mata] [hidung, mata, jari] [hidung, mata, jari, tubuh] [hidung, mata, jari, tubuh, tangan]

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

131

Pencarian banyaknya himpunan objek tertentu masih dilakukan dengan cara yang sama seperti sebelumnya, dengan menjodohkan elemen-elemen dari himpunan standar dalam korespondensi satu-satu dengan elemen-elemen dari himpunan tertentu. Ini merupakan proses penjodohan yang mudah dilakukan, dengan menyentuh, menunjukkan, melihat, atau hanya merenungkan objek-objek yang akan dihitung, sementara menyebutkan kembali bilangan - kata-kata berurutan. I. Aritmetika dan Berhitung Perhatikan pernyataan 7 + 5 = 12. Kalimat ini apabila dijelma dalam situasi fisik, misalnya kita mempunyai talam dengan 7 cangkir di atasnya, dan talam lain dengan 5 cangkir di atasnya. Jika kita menempatkan semua cangkir itu bersama pada talam yang sama, berapa banyak cangkir yang ada bersama?.Metode yang telah kita pelajari untuk menjawab pertanyaan jenis ini sangat tergantung pada penghitungan. J. Berhitung, dan Konsep Bilangan yang Dimiliki Anak Piaget telah menunjukkan berbagai eksperimen, yang salah satunya diringkas sebagai berikut: Dua himpunan penjodohan ditempatkan di depan anak, 6 telur dalam 6 cangkir telur. Anak ini ditanya apakah ada banyak telur yang sama dengan banyaknya cangkir telur atau tidak. Dia berkata ya, ada. Selanjutnya, telur-telur dikeluarkan dari cangkir dan diikat bersama: Cangkir telur yang ditinggalkan dimana mereka berada. Kemudian ketika ditanya apakah ada jumlah telur yang benar untuk dimasukkan ke cangkir itu, satu dalam masing-masing dan tidak sama sekali, yang secara tipikal berumur 5 tahun diantara subyek-subyek piaget mengatakan tidak, tidak ada cukup telur. Dengan disuruh menghitung telur dan cangkir, dia berbuat dengan benar dengan mengatakan bahwa ada 6 dari masing-masing. Ditanya lagi apakah ada telur-telur yang sebanyak dengan cangkir, dia masih mengatakan tidak ada. Dia belum memegang dua sifat utama suatu bilangan, bahwa ini merupakan sifat umum dari dua himpunan penjodohan, dan bahwa penjodohan tidak dipengaruhi oleh perubahan posisi objek. Menarik membandingkan hal ini dengan prilaku seorang anak berusia 3,5 tahun yang menempatkan beberapa kereta mainan anak-anaknya dari kotak ke rilnya, dengan mengatakan satu untuk saya", satu untuk anda, dan satu untuk mama. Anak ini sedang menjodohkan 2 himpunan secara mental, tanpa memperhatikan posisi objek. Mengumpulkan objek ke himpunan-himpunan atas dasar sifat umumnya adalah satu aktifitas pramatematis; perurutan adalah aktifitas lain; membandingkan dua himpunan untuk mengetahui apakah mereka cocok adalah aktifitas lain, atas gambaran matematika. Tetapi dengan kesempatan yang cocok, menghitung dapat berperan dalam pembentukan konsep bilangan dengan dua cara berikut. Pertama, sebagaimana telah ditunjukkan pada halaman 78, penamaan dapat membantu proses pembentukan konsep baru. Menghitung adalah proses penjodohan sendiri, dan cara bagus menguji dua himpunan untuk kecocokan. apakah kita mempunyai cangkir untuk siapa saja?

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

132

Jawabannya cepat dicapai dengan menghitung cangkir dan orang: menggunakan sifat transitif dari korespondensi satu-satu. Dalam uraian ini, ide-ide utama yang perlu diingat oleh siswa adalah sebagai berikut: Himpunan: kumpulan objek-objek yang telah didefinisikan dengan jelas, baik objek material (objek fisik) atau abstrak (ide). Elemen: objek yang terkandung dalam suatu himpunan. Karakteristik suatu himpunan: sifat yang dimiliki oleh objek tertentu untuk suatu himpunan jika dan hanya jika himpunan itu telah memiliki sifat tersebut. Korespondensi satu-satu atau menjodohkan . Dua himpunan berkorespondensi satu-satu jika dan hanya jika untuk setiap elemen dari satu himpunan memasangkan satu dan hanya satu elemen dari himpunan lain. Bilangan: sifat yang dimiliki sebuah himpunan dari himpunan yang sama. Himpunan standar: perwakilan dari satu himpunan, yang digunakan sebagai perbandingan dengan himpunan tertentu untuk mengetahui apakah itu milik himpunan dari himpunan-himpunan itu. Menghitung: sarana untuk mencari atau mengetahui banyaknya himpunan tertentu dengan menggunakan nama-nama bilangan secara berurutan sebagai himpunan standar.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

133

BAB XI KEMAMPUAN MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA


Pada bagian ini akan diuraikan mengenai pengertian masalah, pengertian dan tujuan pemecahan masalah matematika, peran pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika, tahap-tahap pemecahan masalah matematika, proses heuristik dalam pemecahan masalah matematika, kategori kemampuan siswa, dan faktor-faktor yang dapat meningkatkan kemampuan memecahkan masalah matematika. A. Pengertian Masalah Dalam perspektif psikologi, masalah atau problem pada dasarnya adalah situasi yang mengandung kesulitan bagi seseorang dan mendorongnya untuk mencari solusinya (Gorman, 1974: 293294). Terdapat beberapa jenis masalah, yaitu: 1) masalah yang prosedur pemecahannya sudah ada dan telah diketahui oleh siswa; 2) masalah yang prosedur pemecahannya belum diketahui oleh siswa, meskipun orang lain telah mengetahuinya; 3) masalah yang sama sekali belum diketahui prosedur pemecahannya dan atau belum diketahui data yang diperlukan untuk mencari solusinya. Lester (1980: 287) mendefinisikan masalah sebagai situasi dimana seseorang atau sekelompok orang diminta untuk menyelesaikan sebuah tugas yang belum tersedia algoritma yang sesuai sebagai metode penyelesaiannya. Tidak semua persoalan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari dapat dikatakan masalah. Menurut Cooney (Fadjar Shadiq, 2004: 10) for a question to be a problem, it must present a challenge that cannot be resolved by some routine procedure known to the student. Maknanya adalah suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan yang tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur rutin yang sudah diketahui si pelaku. Posamentier & Stepelman (1990: 109) menyatakan bahwa A problem poses a situation in which there is something you want but dont yet know how to get. Maknanya, masalah adalah sesuatu yang menimbulkan situasi dimana ada sesuatu yang dituju atau inginkan, tetapi tidak tahu bagaimana mendapatkannya atau mencapainya. Masalah atau problem bukanlah latihan-latihan soal rutin yang biasa diberikan dalam kelas melainkan masalah-masalah non rutin yang belum diketahui prosedur pemecahannya. Menurut Stanic & Kilpatrick (Schoenfeld, 1992: 338), nonroutine problem solving is characterized as a higher level skill to be acquired after skill at solving routine problems (which, in turn, is to be acquired after students learn basic mathematical concepts and skills). Maknanya, masalah non rutin merupakan masalah yang belum diketahui prosedur penyelesaiannya. Untuk mencari pemecahannya diperlukan keterampilan yang lebih tinggi, yang dapat diperoleh siswa setelah mereka memiliki pemahaman konsep dan keterampilan dasar matematika, serta memiliki keterampilan memecahkan masalah-masalah rutin.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

134

Masalah non rutin dikategorikan menjadi tiga, yaitu modified translation problems, process problems, dan open-ended and project problems . Modified translation problems merupakan translasi masalah dengan informasi yang kurang, process problems merupakan masalah non standar yang memerlukan satu atau lebih strategi untuk memecahkannya dan lebih memerlukan kemampuan logika, sedangkan open-ended and project problems merupakan masalah terbuka dengan banyak kemungkinan cara memperoleh jawaban, dan banyak kemungkinan jawaban. Jenis-jenis masalah non rutin ini memerlukan keterampilan berpikir seperti kemampuan berpikir kritis, kreatif dan berpikir divergen (Gorman, 1974: 303). Berdasarkan pendapat tersebut, diperoleh gambaran bahwa apabila seseorang berada pada suatu kondisi yang tidak ideal dan ingin menuju kondisi ideal itu, tetapi untuk mencapai tujuan tersebut tidak mudah dan memerlukan pemikiran untuk sampai pada solusinya, maka pada saat itulah seseorang tersebut sedang menghadapi masalah. Seseorang dapat menemukan strategi penyelesaian masalah secara teratur dalam rangkaian langkah-langkah yang mengarah pada tujuan dan keinginan yang hendak dicapai atau diharapkan. Syarat suatu masalah bagi siswa (Herman Hudojo, 2005: 124), adalah: 1. Pertanyaan yang dihadapkan kepada seorang siswa haruslah dapat dimengerti oleh siswa tersebut, namun pertanyaan itu harus merupakan tantangan baginya untuk menjawabnya. 2. Pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab dengan prosedur rutin yang telah diketahui siswa. Sejalan dengan itu, Erman Suherman Ar, Turmudi, Didi Suryadi, dkk (2003: 9293) menyatakan bahwa suatu masalah biasanya memuat suatu situasi yang mendorong seseorang untuk menyelesaikannya, akan tetapi tidak tahu secara langsung apa yang harus dikerjakan untuk menyelesaikannya. Jika suatu pertanyaan dapat diketahui secara langsung penyelesaiannya dengan benar, maka pertanyaan seperti itu tidak dapat dikatakan sebagai masalah. Polya (1981: 119) menggolongkan masalah matematik menjadi dua golongan, yaitu: problems to find and problems to prove. The aim of a problem to find is to find (construct, produce, obtain, identify, ) a certain object, the unknown of the problem. The aim of a problem to prove is to decide whether a certain assertion is true or false, to prove it or disprove it. Problem to find bertujuan to prove untuk menemukan untuk (membangun, memutuskan menghasilkan, suatu memperoleh, mengidentifikasi) suatu objek tertentu yang tidak dikenal dari masalah, sedangkan problem bertujuan kebenaran pernyataan, membuktikannya atau membuktikan kebalikannya (kontradiksi). Masalah juga dapat dibedakan berdasarkan strukturnya, yaitu masalah yang terdefinisi dengan baik (well-defined problem) dan masalah yang tidak terdefinisi dengan

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

135

baik (ill-defined problem). Masalah yang terdefinisi dengan baik adalah situasi masalah yang pernyataan asli atau asal, tujuan dan aturan-aturannya terspesifikasi. Sebaliknya, masalah yang tidak terdefinisi dengan baik adalah masalah yang pernyataan asal, tujuan dan aturan-aturannya tidak jelas sehingga tidak memiliki cara sistematik untuk menemukan solusi. Selain itu, dikenal pula adanya masalah dengan penyelesaian tunggal (dalam penyelesaiannya memerlukan pola berpikir konvergen) dan masalah dengan penyelesaian tidak tunggal (dalam penyelesaiannya memerlukan pola berpikir divergen). Dapat disimpulkan bahwa masalah adalah suatu situasi yang tidak terstruktur dengan baik, yang dapat diselesaikan tanpa menggunakan prosedur atau algoritma rutin, sesuai dengan tahap perkembangan mental siswa yang memiliki pengetahuan prasyarat mengenai situasi tersebut. B. Pengertian dan Tujuan Pemecahan Masalah Matematika Polya (1981: 117) mendefinisikan pemecahan masalah ( problem solving) sebagai to search consciously for some action appropriate to attain a clearly conceived, but not immediately attainable, aim. Makna dari pernyataan tersebut adalah pemecahan masalah sebagai usaha sadar untuk mencari jalan keluar dari suatu kesulitan, tetapi tujuan tersebut tidak segera dapat dicapai. Osborne & Kasten (1980: 54) menyatakan bahwa Problem solving is taught to develop methods of thinking and logigal reasoning . Maknanya adalah pemecahan masalah diajar untuk mengembangkan metode-metode mengenai pemikiran dan logika penalaran. Dalam NCTM (2000: 52), pemecahan masalah merupakan proses menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya pada situasi baru dan berbeda. Apabila dikaitkan dengan pernyataan Osborne & Kasten di atas, maka proses menerapkan pengetahuan matematika ini melibatkan keterampilan berpikir dan bernalar pada diri siswa. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemecahan masalah merupakan suatu tingkat aktivitas intelektual yang sangat tinggi untuk mencari penyelesaian masalah yang dihadapi dengan melibatkan keterampilan berpikir dan bernalar serta menggunakan bekal pengetahuan yang sudah dimiliki. NCTM (2000: 52 & 334) mengungkapkan tujuan pengajaran pemecahan masalah dari sebelum taman kanak-kanak hingga kelas XII sebagai berikut. build new mathematical knowledge through problem solving; solve problems that arise in mathematics and in other contexts; apply and adapt a variety of appropriate strategies to solve problems; monitor and reflect on the process of mathematical problem solving.

Tujuan pengajaran pemecahan masalah secara umum adalah untuk: 1) membangun pengetahuan matematika baru melalui pemecahan masalah; 2) memecahkan masalah yang muncul dalam matematika dan di dalam konteks-konteks lainnya; 3) menerapkan

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

136

dan menyesuaikan bermacam strategi yang sesuai untuk memecahkan permasalahan; dan 4) memantau dan merefleksikan proses dari pemecahan masalah matematika. NCTM (Posamentier & Stepelman, 1990: 109) menyatakan apa yang diharapankan setelah siswa belajar memecahkan masalah sebagai berikut. In grades 9 12, the mathematics curriculum should include refinement and extension of methods of mathematical problem solving so that all students can: use with increasing confidence, problem-solving approaches to investigate and understanding mathematical content; apply integrated mathematical problem-solving strategies to solve problems within and outside of mathematics; recognize and formulate problems within and outside of mathematics; apply the process of mathematical modeling to real-world problem situations. Setelah belajar 2) memecahkan menggunakan masalah matematika strategi diharapkan pemecahan siswa dapat: 1) menggunakan pendekatan pemecahan masalah untuk menyelidiki dan memahami isi matematika; perpaduan masalah untuk memecahkan masalah dalam atau di luar matematika; pemodelan matematika untuk situasi masalah nyata. C. Peran Pemecahan Masalah dalam Pembelajaran Matematika Matematika merupakan ilmu yang melatih cara berpikir dan mengolah logika yang benar sesuai dengan aturan yang terdiri dari aksioma dan dalil-dalil. Proses berpikir matematik dimulai dari penemuan informasi, pengolahan, penyimpanan, dan memanggil kembali informasi tersebut dari ingatan. Berpikir matematik merupakan pelaksanaan kegiatan atau proses matematik (doing math) atau tugas matematika (mathematical task). Berkenaan dengan proses matematik, NCTM (2000: 29) menyatakan bahwa cara penting untuk memperoleh dan mempergunakan pengetahuan meliputi pemecahan masalah (problem solving), penalaran dan pembuktian (reasoning and proof), komunikasi (communication), koneksi (connections), penyajian dan (representation). Berkenaan dengan apa yang didapatkan siswa dari melakukan suatu pemecahan masalah, Herman Hudojo (2005: 128129) mengatakan bahwa pemecahan masalah merupakan dikarenakan: 1. 2. 3. 4. Siswa menjadi terampil menyeleksi informasi yang relevan, kemudian menganalisanya dan akhirnya meneliti kembali hasilnya; Kepuasan intelektual akan timbul dari dalam merupakan hadiah intrinsik bagi siswa; Potensi intelektual siswa meningkat; Siswa belajar bagaimana melakukan penemuan dengan melalui proses melakukan penemuan. suatu hal yang esensial dalam pembelajaran matematika. Hal ini 3) mengenal dan

merumuskan masalah dalam atau di luar matematika; dan 4) menggunakan proses

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

137

Dalam perspektif historis kurikulum matematika, Stanick & Kilpatrick (Schoenfeld, 1992: 338) mengidentifikasi peran pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika sebagai berikut. 1. Pemecahan masalah berfungsi Problem solving as context. sebagai konteks, maksudnya adalah masalah digunakan sebagai sarana untuk mengajarkan suatu topik matematika. Tujuan utama dari proses ini adalah untuk memahami konsep matematika dan bukanlah pemecahan masalah itu sendiri. Masalah dalam pembelajaran matematika disini berperan sebagai: a) justifikasi dalam mengajarkan matematika, maksudnya masalah yang berkaitan dengan pengalaman sehari-hari dapat meyakinkan guru dan siswa akan nilai matematika; b) motivasi yang spesifik untuk suatu topik, maksudnya masalah digunakan untuk mengenalkan suatu topik melalui pemahaman secara eksplisit atau implisit; c) rekreasi, maksudnya masalah matematika menjadi tantangan atau permainan yang menyenangkan siswa agar semakin terampil dan mahir; dan d) usaha mengembangkan suatu keterampilan baru, maksudnya masalah diberikan dalam urutan tertentu untuk mengenalkan siswa pada materi baru dan sebagai konteks untuk bahan diskusi selanjutnya. 2. Pemecahan dapat masalah sebagai Problem solving as skill keterampilan suatu yaitu berupa kemampuan pedagogi untuk dan memperoleh solusi dari masalah yang dihadapinya. Meskipun pemecahan masalah diinterpretasikan sebagai keterampilan, asumsi epistemologi yang mendasarinya adalah keterampilan merupakan penguasaan suatu strategi atau teknik pemecahan masalah. Siswa diajarkan suatu teknik pemecahan masalah sebagai materi pelajaran, kemudian diberikan tugas berupa latihan-latihan sehingga siswa dapat menguasai teknik tersebut. Setelah memperoleh pengajaran pemecahan masalah seperti ini, siswa dikatakan telah memiliki keterampilan pemecahan masalah sebaik penguasaannya terhadap fakta dan prosedur yang telah dipelajari. 3. Problem solving as art Pemecahan masalah sebagai seni dari matematika atau jantungnya matematika (heart of mathematics), maksudnya adalah matematika merupakan pemecahan masalah itu sendiri. Pembelajaran matematika dimulai dari pemecahan masalah sebagai konteks untuk memperkenalkan atau memahami suatu konsep atau prinsip matematika, kemudian konsep atau prinsip yang telah berhasil dipahami tersebut diterapkan dalam soal-soal pemecahan masalah untuk melatih keterampilan siswa. Pendapat tersebut didukung oleh pernyataan Lester (Branca, 1980: 3) bahwa: Problem solving has been said to be at the heart of all mathematics . Makna dari pernyataan ini adalah pemecahan masalah merupakan inti dari seluruh matematika, artinya kemampuan memecahkan masalah merupakan kemampuan dasar dalam belajar

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

138

matematika. Lebih jauh Cooney, Davis, & Henderson (Herman Hudojo, 2005: 126) berpendapat bahwa dengan mengajarkan siswa untuk menyelesaikan masalah, memungkinkan siswa menjadi lebih analitik dalam mengambil keputusan di dalam kehidupannya. Pada hakikatnya, belajar pemecahan masalah adalah belajar berpikir (learning to think) atau belajar bernalar (learning to reason), yakni berpikir atau bernalar untuk mengaplikasikan pengetahuan-pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya dalam rangka memecahkan masalah-masalah baru yang belum pernah dijumpai. Melalui pemecahan masalah siswa mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan beradaptasi terhadap situasi belajar yang baru. Meningkatkan keterampilan pemecahan masalah siswa merupakan tujuan utama dalam pembelajaran matematika. Dalam memecahkan masalah matematika, siswa tidak hanya menggunakan kemampuan matematika yang telah mereka miliki, tetapi juga meningkatkan pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang matematika. Hal ini mengakibatkan pemecahan masalah dalam matematika dapat digunakan sebagai dasar pembelajaran konsep-konsep matematika, sehingga siswa dapat mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri. D. Tahap-tahap Pemecahan Masalah Matematika Terdapat beberapa pendapat tentang proses pemecahan masalah matematika. Dewey (Posamentier & Stepelman, 1990: 110) mengungkapkan sebagai berikut. outlined five steps for problem solving. They were presented in the following order. 1. Recognizing that a problem exists an awareness of a difficulty, a sense of frustration, wondering or doubt. 2. Identifying the problem clarification and definition, including designation of the goal to be sought, as defined by the situation which poses the problem. 3. Employing previous experiences, such as relevant information, former solutions, or ideas to formulate hypotheses and problem-solving propositions. 4. Testing, successively, hypotheses or possible solutions. If necessary, the problem may be reformulated. 5. Evaluating the solutions and drawing a conclusion based on the evidence. This involves incorporating the successful solution into one's existing understanding and applying it to other instances of the same problem. Makna dari pernyataan di atas adalah terdapat lima langkah pemecahan masalah sebagai berikut: 1) mengenali adanya masalah, yaitu kesadaran atas suatu kesukaran, perasaan frustasi, keingintahuan, atau keraguan; 2) mengidentifikasi masalah, yaitu klarifikasi dan definisi, termasuk perumusan sasaran yang hendak dicapai sebagaimana ditentukan oleh situasi yang mengedepankan masalah itu; 3) memanfaatkan pengalaman-pengalaman sebelumnya, misalnya: informasi yang relevan, penyelesaianpenyelesaian, atau gagasan-gagasan terdahulu untuk merumuskan hipotesis-hipotesis dan proposisi pemecahan masalah; 4) menguji hipotesis-hipotesis atau kemungkinankemungkinan penyelesaian secara berurutan (jika perlu merumuskan kembali masalah tersebut); dan 5) mengevaluasi penyelesaian-penyelesaian dan menarik kesimpulan

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

139

berdasarkan bukti, yang melibatkan pemasukan penyelesaian ke dalam pemahaman yang dimiliki orang tersebut dan menerapkannya pada bentuk-bentuk lain dari masalah yang sama. Keterampilan berpikir yang dikembangkan dalam proses pemecahan masalah antara lain kemampuan siswa untuk memahami masalah dan merumuskan pertanyaan dalam masalah tersebut. Siswa juga perlu memahami kondisi dan variabel yang terlibat dalam masalah tersebut. Proses untuk memahami kondisi dan variabel dalam masalah dapat terbantu dengan cara membuat model, diagram, gambar atau mendaftar ide-ide dalam urutan tertentu. Sejalan dengan itu, siswa perlu berpikir untuk memilih atau menemukan data yang diperlukan untuk memecahkan masalah. Selanjutnya, siswa menguraikan dalam bagian-bagian masalah yang perlu dipecahkan terlebih dahulu dan memilih strategi pemecahan yang sesuai. Siswa harus dapat memberikan jawaban dalam batasan yang relevan dengan data dalam masalah tersebut. Hal ini berarti, siswa menyatakan jawaban secara lengkap sesuai dengan apa yang ditanyakan. Selanjutnya, siswa perlu mengevaluasi apakah jawaban yang diperolehnya tersebut masuk akal atau cukup rasional. Proses ini mencakup usaha untuk membaca kembali apa masalahnya dan menguji jawabannya tersebut pada kondisi dan variabel yang terdapat pada masalah tersebut, mengujinya pada pertanyaan, atau melakukan estimasi untuk menentukan apakah jawabannya tersebut cukup masuk akal. Menurut Polya (1973: 56) terdapat empat fase dalam pemecahan masalah sebagai berikut. four phases of the work. First, we have to understand the problem; we have to see clearly what is required. Second, we have to see how the various items are connected, how the unknown is linked to the data, in order to obtain the idea of the solution, to make a plan. Third, we carry out our plan. Fourth, we look back at the completed solution, we review and discuss it. Maknanya adalah empat fase dalam proses pemecahan masalah, yaitu: 1. Memahami masalah Siswa dapat mengidentifikasi kelengkapan data termasuk mengungkap data yang masih samar-samar yang berguna dalam penyelesaian; 2. Menyusun rencana Siswa dapat membuat beberapa alternatif jalan penyelesaian untuk menuju jawaban; 3. Melakukan rencana Siswa dapat melaksanakan langkah 2) dan mencoba melakukan semua kemungkinan yang dapat dilakukan; dan 4. Memeriksa kembali kebenaran jawaban Siswa dapat melengkapi langkah-langkah yang telah dibuatnya ataupun membuat alternatif jawaban lain. Setiap langkah yang dilakukan selalu bersifat istimewa karena semuanya dapat membawa ide berbeda. Ide tersebut akan membongkar segala yang masih rahasia

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

140

menjadi suatu jawaban. Selanjutnya, Polya (1973: 6) menyatakan bahwa It is generally useless to carry out details without having seen the main connection, or having made a sort of plan. Maknanya adalah siswa bisa saja mengalami kegagalan memperoleh hasil, karena ide siswa keluar dari keempat fase tersebut dan siswa membuat generalisasi yang tidak berkaitan dengan keseluruhan data soal. Oleh karena itu, siswa perlu selalu meneliti setiap tahap yang telah dilakukan. Akibatnya, langkah-langkah pemecahan dapat saja berubah-ubah atau kembali ke tahap sebelumnya, tergantung kebutuhan siswa melewati keadaan yang masih rahasia menuju jalan keluar. E. Proses Heuristik dalam Pemecahan Masalah Matematika Pemecahan masalah merupakan aktivitas yang kompleks. Hal ini mencakup proses dalam memori untuk mengingat kembali fakta, penggunaan beragam keterampilan dan prosedur, kemampuan untuk mengevalusi jalan berpikir dan kemajuan yang dicapai ketika memecahkan masalah, dan kemampuan lainnya. Lebih jauh lagi, keberhasilan siswa dalam memecahkan masalah sangat tergantung pada minat siswa, motivasi, dan kepercayaan diri siswa. Oleh karena itu, pemecahan masalah meliputi koordinasi dari pengetahuan, pengalaman sebelumnya, intuisi, perilaku, keyakinan dan berbagai kemampuan lainnya. Rangkaian aktivitas berpikir siswa dan perilaku siswa selama memecahkan masalah dapat dianalisa berdasarkan model Polya (Gorman, 1974: 299; Lester, 1985: 45). Proses pemecahan masalah atau strategi pemecahan masalah ini disebut dengan heuristic. Kata heuristik menurut Polya (1973: 112) sering disebut sketsa ( outline). Strategi heuristik membuat keadaan masalah menjadi kelihatan belum jelas (samar-samar) dan terkadang belum sebagai jawaban yang sesungguhnya. Pemecahan masalah menggunakan strategi heuristik berarti proses pemecahan masalah menggunakan strategi-strategi agar dapat mengambil keputusan berdasarkan keputusan induktif, analogi, peragaan, atau mensketsa gambar. Dengan kata lain, strategi heuristik Polya dalam pemecahan masalah adalah mensketsa kerangka yang paling mungkin. Tujuan dari heuristik adalah untuk mempelajari metode dan aturan-aturan untuk memperoleh solusi masalah, sehingga memungkinkan pemecah masalah untuk memperoleh pengertian secara sistematis dari struktur masalah tersebut melalui usahanya sendiri. Pada tahap memahami masalah, siswa perlu memahami dengan baik ruang lingkup dan hakikat masalah yang dihadapi. Untuk itu, siswa harus dapat mencari informasi yang relevan, mendefinisikan masalah dengan jelas dan menjelaskan dengan kata-katanya sendiri. Tahap ini merupakan tahap yang penting dimana siswa mengembangkan pemaknaan dari representasi masalah yang dihadapi sebagai dasar untuk merencanakan strategi pemecahan masalah (Lester, 1985: 46). Pada tahap menyusun rencana pemecahan masalah, siswa merumuskan solusi yang memungkinkan atau menyusun rencana pemecahan. Dalam hal ini, siswa perlu bimbingan untuk mengenali kapan suatu strategi dapat berguna, memilih strategi atau

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

141

pendekatan yang dipandangnya sesuai dengan masalah tersebut dan melakukan perbaikan terhadap strateginya. Dalam tahap perencanaan dan pelaksanaan ini terdapat aktivitas metakognitif untuk memantau kemajuan yang telah dicapai. Pada tahap evaluasi, siswa melakukan pengujian terhadap dugannya tersebut, melakukan verifikasi terhadap solusi yang dihasilkan, hingga diperoleh solusi yang tepat bagi masalah tersebut. Dalam tahap ini, siswa tidak hanya melakukan pengecekan terhadap solusi yang diperolehnya, tetapi siswa juga bernalar secara induktif untuk bisa memperoleh beberapa prinsip umum matematika dari solusi yang diperolehnya. Untuk itu, perhatian guru hendaknya lebih diarahkan kepada usaha siswa memperoleh solusi daripada kebenaran jawaban semata. Kegiatan diskusi interaktif antarsiswa, maupun antara siswa dan guru merupakan cara untuk saling mengutarakan ide dalam usahanya memecahkan masalah. Dalam kesempatan ini, beragam strategi pemecahan masalah dikemukakan sehingga guru dapat memberikan perhatian terhadap struktur pengetahuan matematika siswa dalam proses memperoleh solusi. Polya memberi petunjuk kepada guru matematika untuk memecahkan masalah dengan strategi heuristik, yaitu membuat keadaan agar terjadi penyuplai penemuan (serving to discovery). Untuk mengefektifkan penerapan heuristik Polya ini, pemecah masalah harus mampu mengkonstruksi hubungan dalam masalah dengan tepat sesuai dengan struktur matematika yang ada. Hal ini sesuai dengan pernyataan Silver & Smith (1980: 146) To make effective use of Polyas heuristic suggestion, the problem solver must be able to construct or recall and appropriate problem related in mathematical structure to the problem at hand.. Strategi heuristik tidak berarti menjamin siswa sudah pasti terbantu pada saat memecahkan masalah. Polya (1973: 172) menyatakan A reasonable sort of heuristic cannot aim at unfailing rules; but it may endeavor to study procedures (mental operations, moves, steps) which are typically useful in solving problems .. Maknanya, penyelenggaraan heuristik yang masuk akal tidak dapat terjadi setiap saat, tetapi dengan melakukan strategi heuristik berarti siswa berusaha keras mempelajari prosedur operasi yang telah digunakan dengan cara menukar-nukar langkah yang lebih memungkinkan. Sebelum menemukan penyelesaian, siswa perlu mencari jejak langkahlangkah sebelumnya, mengevaluasi prosedur yang dibuat sampai benar-benar dimengerti, memilih cara yang paling benar, dan menentukan langkah yang terlengkap dalam eksplorasi masalah dan menyelesaikannya secara keseluruhan. Oleh karena itu, dalam mengimplementasikan suatu langkah, siswa harus berani menentukan bahwa yang dilakukan itu adalah benar, juga mampu memanfaatkan semua yang diperolehnya untuk menentukan atau memutuskan penyelesaian yang paling baik. Seperti itulah peran yang dilakukan seorang pemecah masalah yang menggunakan kognitif dan metakognitifnya dalam melakukan operasi, penerapan intelektualnya, dan sanggup mengatur bagian-bagian masalah yang dimiliki secara tepat.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

142

Seandainya hanya sebagian dari strategi heuristik yang diterapkan dan seorang pemecah masalah hanya mencoba dalam waktu relatif singkat, bisa saja siswa tersebut sudah dapat mengungkap suatu masalah bahkan sampai keseluruhan dapat diselesaikan. Hal ini dapat terjadi jika siswa tepat memilih strategi heuristik yang cocok untuk dipakai. Tetapi siswa juga dapat mencoba-cobakan beberapa kunci meskipun membutuhkan waktu yang panjang. Oleh karena itu, betapa pentingnya mengetahui kunci yang sesuai. Hal ini sesuai pernyataan Schoenfeld (1980: 14) sebagai berikut: If problem solver have only the time to try a few of those keys, they may fail to unlock the problem even if the right key was at their disposal all long. Selecting the key is as important as knowing how to use it. Guru menyadari bahwa siswa membutuhkan banyak prosedur sebagai pedoman untuk menuntaskan suatu masalah agar menemukan celah jalan keluar dari inti permasalahan. Terkadang siswa kehabisan akal dan siswa menjadi frustasi. Keadaan ini membutuhkan arahan dari guru agar siswa tetap mau berkreasi sehingga membantunya untuk menemukan ide. Misalnya guru melakukan strategi heuristik sehingga siswa dapat menemukan inti permasalahan (kunci persoalan atau ide utama) yang harus ditempuh. Berkaitan dengan ini, Suydam (1980: 43) menyatakan Children need and overall procedure for attacking a problem; this provides a global sense of security. Then they need specific strstegies that they can apply within the global structure. Maknanya adalah hanya melalui strategi-strategi spesifik, siswa dapat menemukan ide yang membantunya keluar dari kesulitan. Ketika menentukan strategi spesifik yang dimaksud, guru dapat memperkenalkan metode heuristik mengenai kegiatan mentransfomasi data soal menjadi sederhana, menyusun generalisasi dari transformasi tersebut dan mengaplikasikannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suydam (1980: 40) The heuristic method involves such factors as transformastion, goal reduction, an application; it is slower but more general and flexible.. Untuk menempuh tahap-tahap pemecahan masalah matematika, siswa berusaha mengartikan bentuk simbol yang dihadapi dan menggunakan simbol-simbol tersebut berdasarkan pemahamannya. Ketika mengartikan bentuk simbol yang dihadapi, guru dapat memperhatikan kinerja siswanya, dan membiarkan siswa secara bebas menggunakan notasi yang ada atau mencoba menghubungkan bentuk-bentuk yang dihadapi. Siswa membutuhkan bantuan dalam pemikirannya berupa wawasan dan kata atau simbol atau notasi yang perlu dipakainya. Brown (Franke & Carey, 1997: 84) mengisyaratkan bahwa dalam mengenal notasi, simbol ataupun istilah-istilah matematika, sebaiknya guru menjaga agar siswa tidak bingung, bahkan kalau bisa guru membantu mereka menterjemahkan suatu simbol atau notasi-notasi yang ada. Ada kalanya suatu masalah matematika memerlukan penyusunan pemecahan secara luar biasa dan membutuhkan penyelesaian yang unik. Oleh karena itu, sebaiknya siswa harus memiliki kreativitas yang tinggi dan diimbangi dengan semangat yang kontinu dalam mencari pemecahan masalah. Walaupun hubungan antara tingkat kreasi

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

143

dan intelegensi bukanlah hal penentu, tetapi faktor kreativitas siswa yang tinggi dan oleh integritas gurunya maka kemampuan siswa lebih memungkinkan untuk memanfaatkan kreasi dalam melakukan pemecahan masalah. Kreativitas menemukan jawaban merupakan kegiatan pemecahan masalah dan kreativitas dapat membenahi masalah yang masih kacau menjadi jawaban yang benar. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Posamentier & Stepelman (1990: 131-132) sebagai berikut. If there is difficulty in teaching effective ways of using the techniques of problem solving, there is, perhaps, greather difficulty in teaching for creativity. One of the major difficulties is in defining the term itself. At one time, it was thought that creativity was a genetic capacity granted to the fortunate few, but now a number of psychologists have attempted to demonstrate that processes associated with creativity are teachable (or, at least, encourageable). For our purposes, we may define creativity as the ability to evolve unusual, highly useful or unique solutions to problems. Berdasarkan pendapat mengenai peran guru dalam membantu siswa melakukan pemecahan masalah di atas, dapat disimpulkan bahwa guru harus berusaha melatih siswa dalam agar berani melakukan mengkaji pemecahan dan sendiri. Proses pemecahan hingga masalah diperkenalkan guru kepada siswa melalui dialog yang mengakibatkan siswa terlibat kreativitas soal mengeksplorasinya menuntaskan penyelesaian. Agar suatu soal memungkinkan untuk membuat siswa melakukan pemecahan masalah, guru harus mempersiapkan soal-soal yang sesuai dengan kemampuan siswa. Begitu pula karena memecahkan masalah membutuhkan kreasi dan kreativitas yang tinggi, guru hendaknya memperhatikan bantuan yang diberikan kepada siswa agar siswa tetap bersemangat menghadapi situasi-situasi yang sulit. Siswa disibukkan dengan aktivitas strategi heuristik dan berusaha mendapatkan cara yang spesifik agar penemuan yang luar biasa dapat terjadi pada siswa. Polya berharap agar pada saat siswa memecahkan suatu masalah matematika, guru memberi arahan melalui pertanyaan Apakah kamu tahu hubungan yang ada dalam masalah ini?. Oleh karena itu, guru perlu menyediakan pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepada siswa untuk mengontrol keadaan siswa, sehingga guru dapat memperbaiki kesalahan siswa. Apabila ditemukan beberapa cara yang dianggap benar, siswa perlu membedakan kelebihan dan kekurangan cara-cara tersebut, bahkan siswa nantinya menetapkan sendiri cara yang paling sesuai. Apabila guru selalu mengarahkan siswa melalui pertanyaan Bagaimana cara kamu melakukannya?, maka secara eksplisit guru akan membentuk kemungkinan siswa untuk mencoba menemukan jawaban dengan cara sendiri. Selanjutnya, Polya (1973: 172 & 206) menganjurkan dalam melakukan pemecahan masalah sebaiknya guru memiliki semangat yang tinggi, berintelegensi dan berintegritas tinggi dalam memberikan pertanyaan atau pemberian anjuran yang akan membantu siswa. Untuk melakukan hal ini sangat diperlukan falsafah yang tidak memberikan langkah yang sudah jadi (harus samar-samar). Intelegensi yang diperlukan dalam

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

144

pembelajaran pemecahan masalah adalah harus mampu memberikan pertanyaan dan pedoman yang membantu. Guru harus benar-benar mengerti dengan keterangan dan ilustrasi contoh suatu pertanyaan yang diberikannya, dan lugas menempatkan pertanyaan itu untuk menggugah semangat kerja siswa. F. Kategori Kemampuan Siswa Kategori kemampuan siswa sangat erat kaitannya dengan perolehan hasil belajar. Oleh karena itu, kategori kemampuan merupakan hal yang penting untuk diperhatikan khususnya dalam pengembangan pendekatan pembelajaran baru agar tercipta pembelajaran yang lebih berpusat pada siswa dengan hasil optimal. Perhatian tersebut terutama ditujukan pada antisipasi untuk melakukan intervensi yang perlu dipersiapkan guru sesuai dengan latar belakang kemampuan siswa. Apabila berhadapan dengan sejumlah siswa yang tidak dipilih secara khusus kecerdasannya, maka diantara mereka terdapat siswa pandai, sedang, dan lemah, dimana sebagian besar dari mereka mempunyai inteligensi sedang-sedang saja (normal). Dengan demikian, dari sekelompok siswa yang tidak dipilih secara khusus terdapat sejumlah siswa berbakat yang ada di atas kelompok sedang yang jumlahnya sama dengan siswa tidak berbakat yang ada dibawah kemampuan siswa sedang tersebut. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Grossnickle, Reckzeh, Perry et al (1983: 350) sebagai berikut Pupils in the top quarter of the norm group are among the rapid learners in mathematics, whereas the pupils who score in the lowest quarter are among the slow learners. The middle 50 percent are relatively homogeneous in their abilities to achieve in mathematics.. Berdasarkan hasil tes siswa, dapat ditentukan seberapa besar jumlah siswa yang berada pada kelompok atas, sedang, dan bawah. Menurut Suharsimi Arikunto (2006: 212), 27% skor teratas disebut kelompok atas (tinggi), 27% skor terbawah disebut kelompok bawah (rendah), dan sisanya merupakan kelompok sedang. Berdasarkan pendapat di atas, maka pengelompokan kemampuan siswa dalam penelitian ini dibuat berdasarkan rata-rata nilai tes prasyarat dan nilai tes awal ruang dimensi tiga yang terdiri dari tiga kelompok kategori yaitu rendah, sedang, dan tinggi. G. Faktor-faktor yang dapat Meningkatkan Kemampuan Memecahkan Masalah Matematika Kemampuan pemecahan masalah siswa berkembang secara perlahan dan kontinu. Terdapat beberapa aspek dalam diri siswa yang perlu dikembangkan untuk menunjang kemampuannya dalam memecahkan masalah antara lain adalah: 1) strategi pemecahan masalah; 2) proses metakognitif; dan 3) keyakinan dan perilaku siswa terhadap matematika, yaitu mencakup kepercayaan diri, tekad, kesungguh-sungguhan dan ketekunan siswa dalam mencari pemecahan masalah.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

145

Strategi pemecahan masalah merupakan metode yang dapat diidentifikasi untuk melakukan pendekatan dalam menyelesaikan masalah, sehingga suatu strategi pemecahan masalah dapat digeneralisasi. Pendekatan terhadap masalah juga mencakup usaha untuk memahami masalah, mengidentiflkasi informasi yang relevan dan yang tidak relevan, memilih strategi yang sesuai, serta menilai apakah jawaban yang dihasilkan tersebut rasional. Dalam proses memecahkan masalah, siswa perlu memantau jalan berpikirnya. Proses metakognitif ini, siswa menyadari bagaimana dan mengapa dirinya melakukan hal tersebut, siswa juga menyadari langkah yang diambil apakah berjalan dengan baik atau menemui hambatan sehingga dapat mendorong siswa untuk memikirkan alternatif Keyakinan lain atau berusaha memahami dan kembali perasaan apa masalahnya. yang Sebagaimana halnya dengan strategi, kemampuan metakognitif ini juga dapat dipelajari. diinterpretasikan sebagai pemahaman seseorang membentuk konseptualisasi dan keterikatan seseorang dengan matematika. Di samping penguasaan siswa akan beragam strategi pemecahan masalah dan pentingnya proses metakognitif, bagaimana perasaan siswa tentang pemecahan masalah dan tentang matematika secara umum mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap usahanya untuk memecahkan masalah dan keberhasilannya dalam matematika. Menurut Gorman (1974: 312), faktor-faktor yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, antara lain adalah kemampuan mencari informasi yang relevan. Siswa harus dapat membedakan informasi yang relevan dan yang tidak relevan terhadap masalah yang dihadapinya. Kemudian, faktor kemampuan dalam memilih pendekatan pemecahan masalah. Pendekatan pemecahan masalah yang berdasarkan pada keterampilan bernalar berupa uji hipotesis lebih efektif dibandingkan dengan pendekatan yang tidak berdasarkan pada keterampilan bernalar. Namun, terkadang strategi yang digunakan untuk memperoleh solusi tidak selalu berjalan dengan baik sehingga siswa juga perlu memiliki fleksibilitas dalam memilih pendekatan dan fleksibilitas dalam berpikir. Di samping itu, objektivitas dan keterbukaan dalam berpikir juga dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah. Objektivitas dapat membantu siswa untuk bernalar secara logis. Schoenfeld (1992: 348) mensintesiskan lima aspek kognitif penting, yaitu: basis pengetahuan, strategi pemecahan masalah, monitoring dan kontrol, keyakinan dan kesungguhan, serta latihan-latihan. Kemampuan siswa dalam memecahkan masalah terkait dengan pengetahuan yang dimilikinya, yaitu pengetahuan yang tersimpan dalam memorinya, dan bagaimana pengetahuan tersebut dikembangkan. Basis pengetahuan matematika pengetahuan siswa meliputi fakta pengetahuan dasar, informalnya prosedur tentang algoritmik, matematika prosedur dan rutin, intuitif, definisi,

pengetahuan tentang rumus-rumus, prinsip matematika atau aturan lain yang relevan. Proses untuk mengakses pengetahuan yang tersimpan dalam memori tersebut dapat digambarkan pada Bagan 1 (Schoenfeld, 1992: 351).

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

146

Kegiatan memproses informasi tersebut bermula dari rangsang yang dapat diterima oleh indera manusia, yaitu informasi yang diperoleh dari penglihatannya, pendengarannya atau perabaannya dari lingkungan di sekitarnya atau dari suatu penugasan. Kemudian, bila informasi tersebut tidak diabaikan akan diubah dalam bentuk yang dapat diproses dalam otak manusia untuk disimpan dalam memorinya. Beberapa informasi akan hilang atau tidak tersimpan, atau hanya tersimpan sementara dalam memori jangka pendek dan beberapa akan bertahan dalam memori jangka panjang siswa. Pengetahuan matematika yang tersimpan dalam memori jangka panjang siswa inilah yang akan dimanfaatkan untuk mencari penyelesaian masalah. Penemuan untuk menyelesaikan masalah berdasarkan pengetahuan tergantung dari muatan dalam memori siswa. Berdasarkan tingkatan pengetahuan siswa berkaitan dengan masalah yang dihadapinya, masalah dapat dibagi menjadi empat, yaitu: 1) sama sekali tidak mengetahui; 2) mengetahui keberadaannya tetapi tidak secara detil; 3) mengetahui sebagian atau memiliki dugaan secara detil tetapi tidak terlalu yakin; dan mengetahui. Problem Sensor y Buffer Stimuli Visual Enviromen t Tactile Planning Monitoring Evaluation Mental Working Memory Metalevel Long-term Memory Math knowledge Metacognitiv Beliefs math self Real-word 4) yakin

Task

OUTPUT Bagan 1. The Structure of Memory Dalam pembelajaran, setidaknya ada dua unsur yang terlibat yaitu siswa dan guru. Bagaimana keyakinan siswa tentang matematika dan bagaimana keyakinan guru tentang matematika tentu berpengaruh terhadap proses pembelajaran itu sendiri. Keyakinan siswa tentang hakikat matematika antara lain: masalah matematika hanya memiliki satu jawaban benar, dan hanya ada satu cara yang benar untuk menyelesaikan masalah matematika. Cara itu biasanya adalah cara yang sering diajarkan guru di kelas. Siswa umumnya juga berkeyakinan bahwa belajar matematika merupakan aktivitas terisolir dan individu, matematika yang dipelajari di sekolah hanya memiliki sedikit keterkaitan atau tidak terkait sama sekali dengan dunia nyata. Siswa berkemampuan

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

147

rata-rata tidak dapat diharapkan untuk bisa memahami matematika, sehingga mereka merasa lebih mudah untuk menghafalkan saja dan menerapkannya secara mekanistis tanpa pemahaman. Adapun keyakinan guru tentang matematika misalnya: matematika lebih merupakan ide dan proses berpikir daripada fakta, matematika akan lebih baik dipahami dengan cara menemukan kembali ide tersebut. Oleh karena itu, penemuan dan verifikasi merupakan proses yang penting dalam pembelajaran matematika. Guru juga berkeyakinan bahwa tujuan utama dari belajar matematika adalah mengembangkan keterampilan bernalar yang penting bagi pemecahan masalah. Guru harus merancang dan mengelola aktivitas belajar yang bersifat terbuka dan informal agar siswa memiliki kebebasan untuk bertanya dan mengeksplorasi ide mereka sendiri. Guru seharusnya mendorong siswa untuk membuat dugaan dan menalar sesuatu dengan usahanya sendiri daripada menunjukkan kepada siswa bagaimana cara mencapai solusi atau jawaban. Guru seharusnya dapat menarik intuisi dan pengalaman siswa ketika menyajikan suatu materi agar menjadikannya lebih bermakna (Schoenfeld, 1992: 359360). Kemampuan pemecahan masalah merupakan keterampilan yang diperoleh siswa dari belajar matematika, sehingga latihan merupakan hal yang penting agar siswa semakin terampil. Semakin siswa berpengalaman yang biasa dalam diajarkan memecahkan dalam beragam masalah, semakin baik pula kemampuan pemecahan masalahnya. Strategi pemecahan masalah pembelajaran matematika, antara lain: strategi coba-coba atau menebak kemudian menguji, membuat gambar, menggunakan model matematika, mencari pola, membuat tabel, membuat dan mengorganisir data atau informasi, bekerja mundur, menalar dengan logika, mencoba pada masalah analog yang lebih sederhana, menuliskan persamaan atau kalimat terbuka, menggunakan kalkulator atau komputer, memperhitungkan segala kemungkinan, atau menggunakan sudut pandang yang berbeda (Posamentier & Stepelman, 1990: 117118). Akan lebih baik bila siswa tidak hanya dilatih untuk menggunakan satu strategi dalam memecahkan masalah. Untuk itu, siswa diberi kebebasan untuk melakukan dugaan dan pembuktian sendiri berdasarkan konsepkonsep matematika yang dimilikinya. Siswa hendaknya memiliki keterampilan untuk memilih sendiri strategi apa yang tepat untuk masalah yang dihadapinya tersebut, siswa juga hendaknya dapat menggunakan strategi tersebut pada beragam masalah yang melibatkan konteks yang berbeda dan bagian yang berbeda dari matematika. Posamentier & Stepelman (1990: 132) memaparkan faktor-faktor yang dapat meningkatkan kreativitas siswa dalam memecahkan masalah dilihat dari aspek lingkungan belajar dan guru, antara lain: 1) menyediakan lingkungan belajar yang mendorong kebebasan siswa untuk berekspresi; 2) menghargai pertanyaan siswa dan ide-idenya; 3) memberi kesempatan bagi siswa untuk mencari dan menemukan solusi dengan caranya sendiri; dan 4) memberi penilaian terhadap orisinalitas ide siswa dan mendorong pembelajaran kooperatif yang mengembangkan kreativitas pemecahan masalah siswa. Bentuk kegiatan pemecahan masalah secara berkelompok dinilai lebih

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

148

efektif daripada dilakukan secara individual. Faktor lain yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dari aspek guru yaitu perlakuan motivasional terhadap siswa seperti memberikan toleransi dan pengertian. Dengan demikian, faktor-faktor yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa adalah kemampuan memahami ruang lingkup masalah dan mencari informasi yang relevan untuk mencapai solusi, kemampuan dalam memilih pendekatan pemecahan masalah atau strategi pemecahan masalah dimana kemampuan ini dipengaruhi oleh keterampilan siswa dalam merepresentasikan masalah dan struktur pengetahuan siswa. Keterampilan berpikir dan bernalar siswa yaitu kemampuan berpikir yang fleksibel dan objektif. Kemampuan metakognitif atau kemampuan untuk melakukan monitoring dan kontrol selama proses memecahkan masalah. Keyakinan yang positif tentang belajar matematika. Perilaku siswa yang positif, yaitu mencakup kepercayaan diri, tekad, kesungguh-sungguhan dan ketekunan siswa dalam mencari pemecahan masalah serta latihan-latihan. Berdasarkan uraian di atas, maka pemecahan masalah merupakan suatu subjek (materi yang harus dipelajari), strategi pembelajaran dan merupakan kemampuan berpikir tingkat tinggi dalam matematika yang harus dimiliki oleh siswa sehingga dapat melakukan aktivitas matematika doing math dalam situasi di dalam maupun di luar pembelajaran. Selanjutnya, kemampuan memecahkan masalah matematika dalam penelitian ini merupakan kemampuan berpikir siswa dalam menyelesaikan soal matematika berdasarkan pada suatu kegiatan yang lebih mengutamakan pentingnya prosedur, strategi, dan karakteristik yang ditempuh oleh siswa dalam menyelesaikan masalah sehingga menemukan jawaban soal. Dalam penelitian ini, pemecahan masalah dianggap sebagai standar kemampuan yang harus dimiliki siswa setelah menyelesaikan suatu pembelajaran. Kemampuan memecahkan masalah menjadi target pembelajaran matematika yang sangat berguna bagi siswa dalam kehidupannya. Melalui aktivitas pemecahan masalah, siswa dapat memperbaiki kemampuan dirinya melakukan semua ketentuan pemecahan masalah. Siswa menjadi biasa melakukan tahap-tahap pemecahan masalah matematika dan melengkapi keterampilan pendukung untuk menyelusuri setiap tahap pemecahan. Kemampuan pendukung tersebut diantaranya berkolaborasi, melakukan kooperatif, bernegosiasi dengan sesama teman dan guru. Sementara guru berperan sebagai fasilisator dan motivator, dengan setiap usaha yang dilakukannya tidak bersifat menilai tetapi hanya bersifat mendorong dan selalu menghargai setiap solusi yang diperoleh siswa.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

149

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

150

DAFTAR PUSTAKA
Branca, N. A. (1980). Problem solving as a goal, process, and basic skill. Dalam S. Krulik & R. E. Reys. (Eds.), Problem Solving in School Mathematics (pp. 38). Reston, VA: NCTM, Inc. Dahar, R.W. (1988). Teori-Teori Belajar. Jakarta: P2LPTK. Driscoll, M.(1991) Psychology of Learning for Instruction : Allyn and Bacon. Erman Suherman Ar, Turmudi, Didi Suryadi, dkk. (2003). Strategi pembelajaran matematika kontemporer. Bandung: JICA UPI. Elliott, S. N., Kratochwill, T. R., Cook, J. L. et al. (2000). Educational psychology: Effective teaching, effective learning (3rd ed.). New York: McGraw-Hill Companies, Inc. Fajar Shadiq. (Agustus 2004). Pemecahan masalah, penalaran dan komunikasi . Makalah disajikan pada Diklat Instruktur/Pengembang Matematika SMA Jenjang Dasar, di PPPG Matematika Yogyakarta. Flavell, J. H. (1963). The developmental psychology of Jean Piaget. New York: D. Van Nostrand Company. Franke, M. L., & Carey, D. A. (1997). Young children's perceptions of mathematics in problem solving environments. Journal for Research in Mathematics Education , 28(1), 925. Freudenthal, H. (1973). Mathematics as an educational task. Dordreeht: Reidel Publishing Company. Gagne, R. (1962). Military training and principles of learning. American Psychologist, 17, 263-276. Gagne, R. (1985). The Conditions of Learning (4th ed.). New York: Holt, Rinehart & Winston. Gagne, R. (1987). Instructional Technology Foundations. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Assoc. Gorman, R. M. (1974). The psychology of classroom learning: An inductive approach. Columbus, Ohio: Bell and Howell Company. Grossnickle, F. E., Reckzeh, J., Perry, L. M., et al. (1983). Discovering meaning in elementary school mathematics . New York: CBS College Publishing. Herman Hudojo. (1988). Mengajar belajar matematika. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Herman Hudojo. (2005). Pengembangan kurikulum dan pembelajaran matematika . Malang: Universitas Negeri Malang. http://tip.psychology.org/gagne.html Killpatrick, L. (2001). Gagne's Nine Events of Instruction. In B. Hoffman (Ed.), Encyclopedia of Educational Technology. Retrieved March 12, 2007, from http://coe.sdsu.edu/eet/Articles/ gagnesevents/start.htm Conditions of Learning: Gagne http://tip.psychology.org/gagne.html

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

151

Lefranois, G. R. (2000). Psychology for teaching (10th ed.). London: Wadsworth. Lester, F. K. (1980). Research on mathematical problem solving. Dalam Richard J. Shumway (Eds.), Research in Mathematics Education (pp. 286323). Reston, VA: NCTM, Inc. Lester, F. K. (1985). Methodological consideration in research on mathematical problemsolving instruction. Dalam Edward A. Silver (Eds.), Teaching and Learning Mathematical Problem Solving: Multiple Research Perspectives (pp. 4169). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates. NCTM. (2000). Principles and standards for school mathematics. Reston, VA: NCTM, Inc. Ormrod, J. E., (2003). Educational psychology developing learners (4 th ed.). New Jersey: Pearson Education, Inc. Osborne, A. & Kasten, M. B. (1980). Option about problem solving in the curriculum for the 1980s: A report. Dalam S. Krulik & R. E. Reys (Eds.), Problem solving in school mathematics (pp. 5160). Reston, VA: NCTM, Inc. Paul Suparno. (1997). Filsafat konstruktivisme dalam pendidikan. Yogyakarta: Kanisius. Paulina Pannen, Dina Mustafa, & Mestika Sekarwinahyu. (2001). Konstruktivisme dalam Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka. Polya, G. (1973). How to solve it. A new aspect of mathematical method . New Jersey: Princeton University Press. Polya, G. (1981). Mathematical discovery. On understanding, learning, and teaching problem solving. United States of America. Posamentier, A. S., & Stepelmen, J. (1990). Teaching secondary school mathematics: Techniques and enrichment units (3rd ed.). Columbus, Ohio: Merrill Publishing Company. Robert Gagne's Instructional Design http://www.gsu.edu/~mstswh/courses/it7000/papers/ robert.htm . Approach

Schoenfeld, A. H. (1980). Heuristic in Classroom. Dalam S. Krulik & R. E. Reys (Eds.), Problem solving in school mathematics (pp. 922). Reston, VA: NCTM, Inc. Schoenfeld, A. H. (1992). Learning to think mathematically: Problem solving, metacognition, and sense making in mathematics. Dalam D. A. Grouws (Eds.), Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning (pp. 334370). New York: MacMillan Publishing Company. Silver, E. A., & Smith, J. P. (1980). Think of a related problem. Dalam S. Krulik & R. E. Reys (Eds.), Problem solving in school mathematics (pp. 146156). Reston, VA: NCTM, Inc. Skemp, R. R. (1971). The psychology of learning mathematics . New York: Penguin Books Ltd. Sri Rumini, Dimyati Mahmud, Siti Sundari, dkk. (1993). Psikologi pendidikan. Yogyakarta: UPP Universitas Negeri Yogyakarta. Steffe, L. P., & Kieren, T. (1994). Radical constructivism and mathematics education. Journal for Research in Mathematics Education . 25(6), 711733. Suharsimi Arikunto. (2006). Dasar-dasar evaluasi pendidikan (Edisi Revisi ). Jakarta: Bumi Aksara.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

152

Suydam, M. N. (1980). Untangling Clues from Research on Problem Solving. Dalam S. Krulik & R. E. Reys (Eds.), Problem solving in school mathematics (pp. 3450). Reston, VA: NCTM, Inc. Winkel, W.S. (1996). Psikologi pengajaran. Jakarta: P.T. Grasindo. Woolfolk, A., & McCune-Nicolich, L. (1984). Educational psychology for teachers (2 nd ed.). New Jersey: Printice-Hall, Inc.

Sintha Sih Dewanti, M.Pd.Si

153

You might also like