You are on page 1of 33

BAB 1 PENDAHULUAN

Glomerulonefritis akut paska-streptokokus (GNAPS) adalah suatu proses radang non-supuratif yang mengenai glomeruli, sebagai akibat infeksi kuman streptokokus beta hemolitikus grup A, tipe nefritogenik di tempat lain. Penyakit ini sering mengenai anak-anak. Penyakit GNPSA ini ditandai dengan hematuria, proteinuria, adanya silinder sel darah merah, edema dan hipertensi yang dapat disertai dengan oliguria. Sebagian besar (75%) glomerulonefritis akut paska streptokokus timbul setelah infeksi saluran pernapasan bagian atas, yang disebabkan oleh kuman Streptokokus beta hemolitikus grup A tipe 1, 3, 4, 12, 18, 25, 49. Sedang tipe 2, 49, 55, 56, 57 dan 60 menyebabkan infeksi kulit 8-14 hari setelah infeksi streptokokus, timbul gejala-gejala klinis. Infeksi kuman streptokokus beta hemolitikus ini mempunyai resiko terjadinya glomerulonefritis akut paska streptokokus berkisar 1015% Penelitian secara morfologis, klinis dan serologis menemukan bahwa penyakit GNAPS ini dipicu oleh adanya kompleks imun yang terbentuk di glomerulus atau di sirkulasi. Di glomerulus kompleks yang dibentuk antara antigen kuman streptokokus dan antibodi (baik selular maupun humoral) ini terdeposit di membran basal glomerulus. Kompleks imun ini lebih mudah terbentuk pada anak-anak, sehingga menyebabkan angka kejadian kasus ini lebih tinggi pada anak-anak dibanding pada orang dewasa. Pada penelitian insidensi di Amerika, GNAPS ditemukan pada 10% anak dengan faringitis dan 25% anak dengan impetigo. Salah satu studi menemukan bahwa faktor predominan untuk GNAPS pada anak adalah faringitis. Penyakit ini paling sering menyerang anak dalam rentang umur 2-12 tahun. Penelitian menunjukkan bahwa 5% anak yang terkena berusia di bawah 2 tahun dan 10% adalah orang dewasa dengan usia di atas 40 tahun. Anak laki-laki memiliki resiko dua kali lebih besar untuk terkena GNAPS dibanding anak perempuan. Tidak ada predileksi ras dan genetik.(1) BAB II LAPORAN KASUS

Seorang anak perempuan berusia 6 tahun datang dengan demam 38C, pusing dan kencing berwarna merah. Pada pemeriksaan selanjutnya ditemukan edema di bagian orbitalnya. Setelah dilakukan pemeriksaan lab/penunjang hasilnya sebagai berikut: DARAH PERIFER: Hb : 12,2g/L Hematokrit : 39 vol % Hitung Jenis : 0/2/0/65/30/4 Leukosit : 7000/uL Eritrosit : 4,5 juta/uL Trombosit : 290.000/uL C3 : Menurun LED : 70 mm/Jam ASTO : 300 iU Kolesterol total : 190 mg/dl URIN LENGKAP Makroskopik: Protein +1 BJ : 1025 PH: 6,5 Warna: merah Bilirubin : (-) Urobilin : (+) Glukosa : (-) Keton : (-) Nitrit (-) Mikroskopik: Eritrosit (penuh) Leukosit (3-4) Kristal (-) Silinder (-) Epitel (-) Fungsi Ginjal : Ureum : 40 mg/dl Kreatinin : 1,2 mg/dl Fungsi Hati: Albumin : 4,5 g/dl Globulin : 2,4 g/dl BAB III PEMBAHASAN

1. Masalah Masalah Demam pada anak Dasar Penegakan Masalah Hipotesis Merupakan keluhan utama dan Dapat disebabkan karena keluhan yang harus segera adanya ditangani pada anak. Hematuria pada anak Merupakan salah indikator anak. adanya anak. satu -Dapat infeksi pada

disebabkan pada traktus

gangguan karena adanya gangguan urinarius. -Dapat karena disebabkan adanya Infeksi

fungsi pada Traktus Urinarius fungsi

Edema pada palpebra anak

Saluran Kemih Merupakan salah satu keluhan -Adanya hipoproteinemia pada anak yang perlu pada anak sehingga ketiga tersebut, menderita Akut ditangani. terjadi edema palpebra. -Berdasarkan gejala ini (GNA) klinis

dapat diduga bahwa anak Glomerulonefritis

2. Hipotesis Berdasarkan pada hasil anamnesis, dapat ditegakkan beberapa hipotesis pada kasus pasien ini yaitu glomerulonefritis akut (GNA) dan infeksi saluran kemih. Hipotesis pertama ditegakkan berdasarkan keluhan pasien yaitu demam, hematuria dan edema palpebra. Ketiga keluhan tersebut merupakan gejala klinis dari glomerulonefritis akut yang dapat ditemukan pada semua penderita glomerulonefritis akut. Glomerulonefritis ditandai dengan proteinuria, hematuria, penurunan fungsi ginjal, dan perubahan ekskresi garam akibat edema, kongesti aliran darah dan hipertensi.1 Selain itu, glomerulonefritis akut sering terlihat setelah infeksi streptokokus hemolitikus group A pada anak anak yang berusia diantara 5 15 tahun.2 Dengan demikian, hipotesis pertama yang dapat ditegakkan berdasarkan penjelasan penjelasan tersebut dan sesuai dengan informasi informasi yang ada

pada pada pasien ini yaitu glomerulonefritis akut. Hipotesis yang dapat ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis yaitu infeksi saluran kemih. Infeksi Saluran Kemih (ISK) pada bayi muncul secara non spesifik sebagai demam, rewel, sulit makan, muntah dan diare. Pada anak yang berusia lebih tua ditemukan adanya nyeri abdomen, disuria, sering berkemih urgensi atau inkontinensia. Urinalisis menunjukan adanya leukosit dan bakteri disamping mungkin terdapat hematuria.2 Berdasarkan referensi tersebut, dapat ditegakkan hipotesis kedua yaitu Infeksi Saluran Kemih. 3. Analisis Kasus 3.1 Anamnesis Identitas Pasien Nama Umur Jenis Kelamin Alamat Pekerjaan :: 6 tahun : Perempuan ::-

Riwayat Penyakit Sekarang : Sejak kapan keluhan seperti ini dirasakan ? Sejak kapan terjadi demam ? Bagaimana warna, bau dan kekeruhan urin ? Apakah ada nyeri pada bagian perut atau pinggang ? Bagaimana intake air minum setiap harinya ?

Riwayat Penyakit Dahulu : Apakah pernah mengalami trauma ?

Riwayat Pengobatan : Pengobatan apa yang sudah dilakukan untuk mengatasi keluhan saat ini ? Jika sudah mengkonsumsi obat, obat apa yang sudah diminum untuk mengatasai keluhan saat ini ?

3.2 Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Baik Tanda vital: 1. Suhu : 38,5oC Pengukuran 1. Berat badan : 2. Tinggi badan : -

Status Mental 1. Kesadaran: delirium 2. Kesan sakit: ( apakah sakit berdenyut ,seperti tertusuk,dll) 3. Penampilan pasien : (sikap, cara berpakaian,dll)

Kulit Kelenjar getah bening Kepala dan wajah : edema palpebra Hidung dan telinga Thorax Abdomen Urogenital Anus dan rectum Ekstermitas atas dan bawah

3.3 Pemeriksaan laboratorium a. darah perifer Pemeriksaan Hb Normal 10-16 Hasil 12,2 g/L

Hematokrit Hitung jenis Leukosit Eritrosit Trombosit C3 LED ASTO Kolesterol total

33-38 0-1/1-3/2-6/50-70/2040/2-8 5000-10000 4,2 5,4 juta 150-300 ribu/uL 55-120 <15 mm/jam <150 125-200

39 vol% 0/2/0/65/30/4 7000/uL 4,5 juta/uL 290.000 /uL 70 mm/jam 300 IU 190 mg/dl

Dari hasil darah menunjukan adanya kenaikan dari enzim streptokokus beta hemolitikus yang biasa naik 1 minggu. b. urin lengkap Makroskopis Pemeriksaan Protein BJ pH Warna Bilirubin Urobilin Glukosa Keton Nitrit Normal 1003-1030 5-8 Kuning jernih + Hasil +1 1025 6,5 Merah + -

Mikroskopis

Pemeriksaan Eritrosit Leukosit Kristal Silinder Epitel

Normal 0-1 <5 -

Hasil Penuh 3-4 -

Dari hasil urin, menunjukan adanya kebocoran filtrasi yang di tunjukan adanya protein dan kencing berwarna merah yang mungkin dikarenakan oleh adanya eritrosit. c. fungsi ginjal

Pemeriksaan Ureum Kreatinin

Normal 10-50 g/dL 1-1,5 g/dL

Hasil 40 g/dl 2,4 g/dl

d. fungsi hati

Pemeriksaan Albumin Globulin

Normal 3-5,5 g/dL 2-3,5 g/dL

Hasil 4,5 g/dl 2,4 g/dl

Dari hasil tes fungsi, fungsi hati baik, akan tetapi ada kenaikan kreatinin pada fungsi ginjal, kenaikan ini biasa terjadi karena adanya penyakit ginjal kronis, telah melakukan aktivitas berat (otot), atau pada lansia

karena adanya penurunan fungsi.

3.4 Pemeriksaan Penunjang BNO-IVP PLAIN FOTO ABDOMEN (B.N.0) Merupakan pemeriksaan dengan sinar X yang paling sederhana, sering diperlukan untuk penilaian pendahuluan sebelum dilakukan pemeriksaan radiologi lainnya, dapat melihat kalsifikasi intra abdomen, tumor mass, sistim skeletal. Hasil foto akan lebih baik bila sebelum pembuatan foto pasien dipersiapkan (cuci perut), untuk menghilangkan kemungkinan sisa faeses yang akan mengganggu penilaian daerah ginjal. Persiapan seperti ini sulit dilaksanakan pada kasus bayi/anak kecil. Dapat dibuat di klinik rontgen sederhana , tetapi batu radiolusen tidal( terlihat pada plain foto). INTRA VENOUS PYELOGRAPHY (I.V.P.) Merupakan prosedur dasar pada kasus urologi, berdasarkan dieksresikannya zat kontras radioopak yang disuntikkan intravena oleh kedua ginjal. Teknik ini terutama untuk menilai anatomi traktus urinarius dan juga evaluasi fungsi ginjal. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebelum pasien menjalani pemeriksaan ini, yaitu tidak dilakukan pada pasien dengan alergi zat kontras dan tidak dilakukan pada newborn infant karena adanya faktor imaturitas fungsi ginjal dan imaging yang dihasilkan tidak baik; pada anak yang tidak kooperatif pengerjaannya menjadi sulit. 3.5 Diagnosis kerja Glomerulonefritis akuta pasca streptococus 3.6 Penatalaksanaan 1. Medika mentosa Golongan penisilin dapat diberikan untuk eradikasi kuman, dengan amoksisilin 50 mg/kg BB dibagi 3 dosis selama 10 hari. Jika alergi terhadap

golongan penisilin, diganti dengan eritromisin 30 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis. Diuretik diberikan untuk mengatasi retensi cairan dan hipertensi. Jika terdapat hipertensi, berikan obat antihipertensi, tergantung pada berat ringannya hipertensi. 2. Non-Medika Mentosa Pada pasien ini disarankan untuk full bed rest, selain itu pasien dan orang tuanya diberikan edukasi agar menghabiskan antibiotik yang diberikan sampai habis. Jika pasien turut kooperatif maka proses terapi akan semakin efektif. Selain itu pasien juga disarankan melkukan diet makanan berprotein dan berlemak. 3.7 Prognosis - Ad vitam - Ad functionam - Ad sanationam : ad bonam : dubia ad malam : dubia ad malam

BAB IV TINJAUAN PUSTAKA

A.

Anatomi ginjal(4) Sistem kemih manusia terdiri atas ginjal (ren), ureter, vesica urinaria dan

uretra. Ginjal adalah sepasang organ berbentuk kacang yang terletak di bagian posterior abdomen dan retropenial, setinggi vertebra thoracica XII sampai vertebra lumbalis III.Setiap ginjal dipendarahi oleh arteri renalis dan vena renalis.Ginjal mengolah plasma yang mengalir masuk ke dalamnya untuk menghasilkan urin,menahan bahanbahan tertentu dan mengeliminasi bahan-

bahan yang tidak diperlukan ke dalam urin.

Panjang ginjal sekitar 11-12 centimeter, dengan lebar 6 centimeter dan ketebalan 3 centimeter. Berat ginjal orang dewasa kurang lebih seberat 150 gram. Ginjal terletak pada regio lumbalis superior. Ginjal dilindungi oleh costa XI-XII dibelakangnya. Ginjal kanan lebih inferior dibandingkan dengan ginjal kiri, karena sebagian ginjal kanan terdesak oleh hepar. Pada tepi medial ginjal yang cekung terdapat hilus, yaitu tempat keluar-masuknya arteri, vena dan nervus renalis. Pada ginjal terdapat beberapa lapisan yaitu capsula renalis, yang melekat pada ginjal ; Capsula adiposa, yang merupakan lemak ; fascia renalis, terletak diluar capsula adiposa ; dan lemak pararenal, yang terletak paling luar untuk menjaga ginjal agar tetap pada posisinya. Pada kutub superior ginjal, terdapat glandula suprarenalis atau kelenjar adrenal. Permukaan posterior ginjal lebih datar dibandingkan permukaan anteriornya. Bagian atas dorsal ginjal dibatasi oleh diafragma, sementara pada bagian lateral dorsal ginjal dibatasi oleh M. Psoas major, M. Quadratuus lumborum dan M. Transversus abdominis. Melalui potongan frontal ginjal, dapat diketahui bahwa pada ginjal terdapat bagian cortex renalis dan medula renalis. Bagian cortex renalis yang masuk diantara piramis renalis disebut columna renalis Bertini .Bagian medula renalis yang masuk ke korteks adalah prosesus Ferreini Ujung piramis renalis disebut papila renalis. Pada ginjal terdapat lobus ginjal, luasnya sebesar satu piramis renalis dengan satu columna renalis sehingga pada satu ginjal terdapat sekitar 5 sampai 11 lobus.

Inervasi ginjal berasal dari plexus renalis yang merupakan sistem saraf otonom, dimulai dari vertebra thoracica IX sampai vertebra lumbalis II. Ginjal menerima aliran darah secara langsung dari A. renalis, cabang dari A. abdominalis. Sepasang A. renalis (dextra dan sinistra) bercabang menjadi lima A. segmentalis yang dilanjutkan dengan A. lobaris, A. interlobaris, A. arcuata, A. Interlobularis, A. Afferens ke glomerulus dan ke A.efferens, kapiler peritubular dan vasa recta. Untuk pembuluh darah vena, dari vasa recta menuju ke V.Interlobaris, V.Arcuata, V.Interlobaris, V.Renalis dan V.Cava Inferior.

Cairan dari ginjal akan dibawa menuju ureter. Dari papilla renalis, cairan akan menuju calyx minor dan kemudian menuju calyx major. Dari calyx major cairan dibawa oleh pelvis renalis menuju ureter.

Sama dengan ginjal, ureter juga terdiri atas sepasang yaitu ureter sinistra dan ureter dextra. Ureter dimulai dari vertebra lumbalis II. Ureter merupakan tuba muscular, panjangnya sekitar 25-30 centimeter. Ureter mengalami penyempitan di tiga bagian, yaitu pada pars abdominalis, pada saat berada di posisi persilangan dengan A. illiaca communis, dan pada saat akan masuk ke vesica urinaria.

Tempat muara ureter menuju vesica urinaria tidak tegak lurus melainkan sedikit oblique (miring) untuk mencegah urin kembali ke ginjal setelah masuk ureter. Setelah melewati ureter, urin akan ditampung sementara di vesica urinaria. Vesica urinaria terletak di inferior rongga peritonium, tepat posterior dari simpisis pubis. Pada perempuan, vesica urinaria terletak di anterior vagina dan uterus, sementara pada pria terletak di anterior rektum. Vesica urinaria yang kosong berbentuk segitiga/limas yang mempunyai puncak (disebut apex), pemukaan dorsal (basis), dinding superior dan dinding lateroinferior. Bagian-bagian ini mempunyai rugae atau lipatan-lipatan yang berfungsi untuk melebarkan vesica urinaria ketika terisi penuh. Pengecualian, pada basis tidak terdapat rugae. Ketika vesica urinaria terisi penuh, maka permukaan atasnya akan membesar hingga ke rongga abdomen, dan rugae tidak lagi membentuk lipatan-lipatan. Pada bagian superior terdapat ostium ureter sinistra dan orificium ureter dextra yang membatasi ureter dengan vesica urinaria dan pada bagian inferiornya terdapat orificium uretra internum yang membatasi vesica urinaria dengan uretra.

Persarafan pada vesica urinaria adalah plexus hipogasticus.

Setelah ditampung di vesica urinaria, urin akan masuk kedalam urethra. Urethra berupa otot polos, pada pria semakin distal maka urethra akan semakin tipis. Panjang urethra pria dengan wanita berbeda. Panjang urethra pria sekitar 20 centimeter, terbentang dari column vesica urinaria sampai orificium urethra externum. Sementara pada wanita panjangnya sekitar 3-4 centimeter, terbentang dari columna vesica urinaria sampai kurang lebih 2,5 centimeter dibawah clitoris. Pada urethra pria, terdapat tiga bagian yaitu pars prostatica, pars membranosa dan pars spongiosa, dimana pada pars spongiosa ini terdapat bagian yang sedikit melebar yang disebut fossa navicularis, terletak sebelum orificium urethra externum.

Pada perbatasan antara vesica urinaria dengan urethra, terdapat dua

sphincter. Sphincter urethra internum pada vesica urinaria, yang merupakan otot involunter dan sphincter urethra externum pada urethra, yang merupakan otot volunter.

Fisiologi ginjal(5) .

Glomerulus ginjal

: lokasi filtrasi

Pada ginjal terdapat 3 proses pembentukkan urine yaitu filtrasi, reabsorpsi dan sekresi.Filtrasi terjadi di glomerulus ginjal.Awalnya darah dari tubuh masuk ke glomerulus melalui A.Afferens lalu melewati dinding kapiler glomerulus,membrane basal glomerulus dan podosit,yang menahan sel darah merah dan protein plasma tetapi masih melewatkan H2O dan zat lain yang berukuran kecil.Awalnya darah dari seluruh tubuh Tekanan hidrostatik jantung yang sampai ke kapiler arteriol afferen kurang lebih 40% tekanan darah,sekitar 45mmhg.Tekanan ini dilawan oleh tekanan intertubuler dan tekanan onkotik.Di A.Afferen terjadi filtrasi sedangkan di A.Efferen tidak terjadi filtrasi.Di atur oleh autoregulasi.Filtrat yang terbentuk sebanyak 120ml/menit dan filtrate glomerulus mengandung air,glukosa,asam

amino,elektrolit,urea,kreatinin dan asam urat.Menghasilkan filtrate yang isoosmotik. (2,


3)

Gambar filtrasi(6)

Lokasi reabsorpsi dan sekresi ginjal

Proses yang kedua yaitu reabsorpsi (penyerapan kembali zat-zat yang masih diperlukan oleh tubuh).Reabsorpsi terbesar terdapat di tubuli proksimal (sekitar 6080%) . Selain itu juga terjadi di Lengkung(ansa) henle,dimana terbagi menjadi pars descendens yang menghasilkan filtrate yang hiperosmotik, di pars ascendens menjadi filtrta yang hipoosmotik dan di bagian tebal pars ascendens menjadi filtrate yang isoosmolar. Zat tubuh yang direabsorpsi secara aktif adalah Na +.Sedangkan yang direabsorpsi pasif adalah glukosa,asam amino,Cl-, dan H2O.(2 dan 3) Proses yang ketiga adalah sekresi terjadi di tubuli distal.Merupakan proses aktif yang memerlukan energi yang didapat dari hasil oksidasi suksinat,siklus asam sitrat.Zat yang di sekresi adalah Kreatinin,asam urat, kalium dan ion H +.Setelah itu cairan hasil filtrasi,reabsorpsi dan sekresin ini di keluarkan dalam bentuk urin melalui uretra. (2 dan 3)

Gambar proses reabsorpsi dan sekresi(6) Histology nefron renalis (7) REN Ren(ginjal) dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu substansia kortikalis yang terdiri atas kortex rens dan collumna renais bertini; dan substansia medularis yang terdiri atas medula dan processus ferreini.

Nefron Tiap Nefron terdiri atas korpus Malpighi, tubulus kontortus proksimal, ansa henle, dan tubulus kontortus distal

Korpus Malpighi Tiap korpus Malpighi terdiri atas sekelompok kapilar-kapilar yang disebut Glomerulus. Kapilar-kapilar ini (Glomerulus) terletak di bagian korteks dan dikelilingi oleh Kedua lapis kapsul(Kapsula Bowman) yang meliputi pars viseralis dan pars parietalis. Pars viseralis Kapsula Bowman terdiri atas sel epitel yang dimodifikasi, yang disebut Podosit. Se-sel ini mengikuti kontur glomerulus dengan rapat dan membungkus kapiler-kapilernya. Pars parietalnya sendiri merupakan lapisan luar dari Kapsula Bowman yang terdiri atas selapis sel epitel gepeng. Di antara kedua lapisan ini,

terdapat suatu zat yang berisi cairan hasil filtrasi dan dinding endotel kapiler glomerulus dan pars viseralis Kapsula Bowman (urin primer) yang disebut sebagai Ruang Bowman. Tiap korpus Malpighi mempunyai Polus vaskularis. Tempat ini merupakan tempat masuknya arteriol yang disebut vas aferens dan tempat keluarnya arteriol yang disebut vas eferens. Selain itu, korpus Malpighi juga mempunyai P olus urinarius/polus tubularis yang merupakan permulaan tubulus kontortus proksimal. Tubulus Kontortus proksimal

Tubulus Kontortus proksimal memiliki lapisan epitel yang berbeda dari epitel glomerulus. Pada bagian ini terdapat epitel selapis kubis tinggi. Sitoplasma selselnya asidofilik, dan pada bagian apikal sel terdapat mikrovili yang tingginya kurang lebih 1um yang disebut dengan Brush Border. Inti selnya besar, bulat, letak di tengah sel, dan anak inti sering terlihat. Batas sel tidak jelas karena terdapat interdigitasi membrane plasma lateral sel-sel yang berdekatan. Ansa Henle Terlatak di medula ginjal.ada bagian yg bernama pars descenden , terdiri dari epitel selapis kubis atau selapis torak rendah.Mempunyai batas sikat. Sekmen tipis ansa henle mempunyai epitel selapis gepeng dan dindingnya lebih tebal dari dinding kapiler darah tidak ada batas sikat tapi masih ada mikrofilus yang letaknya tidak teratur dan pendek. Sekmen tebal ansa henle pars ascenden mempunyai epitel selapis kubis.sitoplasma pucat atau kebiruan dengan inti relatif besar menonjol ke lumen.tidak mempunyai batas sikat tetapi mempunyai sedikit mikrofilus yang pendek. Tubulus kontortus distal Tubulus kontortus distal merupakan bagian akhir dari nefron. Bagian ini

memiliki epitel yang sama dengan tubulus kontortus proksimal, hanya saja pada epitel tubulus ini tidak ditemukan adanya brush order, sedikit menonjol ke dalam lumen, dan inti selnya terlihat lebih banyak dari tubulus kontortus distal(karena sel-selnya lebih kecil). Sepanjang perjalanannya di korteks, tubulus kontortus distal mendekati polus vascular korpus Malpighi dari nefron yang sama. Pada tempat tubulus ini bersentuhan dengan vas aferens, sel-sel tubulus kontortus distal bermodifikasi menjadi epitel lapis torak. Bagian dinding tubulus ini disebut Makula Densa(bercak padat), sebab terlihat lebih gelap akibat dari inti-inti yang berdekatan tersebut. Modifikasi vas aferens terjadi di bagian yang berdekatan denngan glomerulus dan berdekatan dengan makula densa yaitu sel-sel otot polos vas aferens ini berubah seperti epitel(epiteloid) yang disebut sel-sel yukstaglomerularis. Inti sel ini lonjong/bulat dan sitoplasmanya bergranula yang terlihat dengan pewarnaan PAS. Berdekatan dengan sel yukstaglomerularis terdapat beberapa sel yang diwarnai pucat yang disebut dengan sel mesangial ekstraglomerular/ sel polkisen/ sel lacis. Makula densa, sel yukstaglomerularis, dan sel mesengial ekstraglomerularis ini disebut aparatus yukstaglomerularis. Berikut adalah gambar histology ginjal

B.

Glomerulonefritis akut

Batasan(8) Glomerulonefritis akut paska-streptokokus (GNAPS) adalah suatu proses radang nonsupuratif yang mengenai glomeruli, sebagai akibat infeksi kuman streptokokus beta hemolitikus grup A, tipe nefritogenik di tempat lain. Penyakit ini sering mengenai anak-anak. Etiologi(8) Sebagian besar (75%) glomerulonefritis akut paska streptokokus timbul setelah infeksi saluran pernapasan bagian atas, yang disebabkan oleh kuman Streptokokus beta hemolitikus grup A tipe 1, 3, 4, 12, 18, 25, 49. Sedang tipe 2, 49, 55, 56, 57 dan 60 menyebabkan infeksi kulit 8-14 hari setelah infeksi streptokokus, timbul gejalagejala klinis. Infeksi kuman streptokokus beta hemolitikus ini mempunyai resiko terjadinya glomerulonefritis akut paska streptokokus berkisar 10-15%.

Gejala klinis dari glomerulonefritis

Hematuria(9) Keadaan abnormal dengan ditemukannya sel darah merah dalam urin.Ada 2 macam hematuria yaitu makroskopis yang dapat terjadi bila sedikitnya 1 cc darah per liter urin sedangkan hematuria mikroskopis sering kita temukan pada pemeriksaan laboraturium urinalisis pada pasien dengan keluhan tersebut.Dikatakan hematuria bila pada pemeriksaan mikroskop terdapat eritrosit 3 atau lebih per lapang pandang besar urin yang disentrifugasi. Adanya hematuria dapat terjadi pada kelainan kongenital atau perubahan struktur glomerulus dan integritas kapiler yang abnormal.eritosit ini bila berikatan dengan protein TaamHorsfall akan menjadi silinder eritrosit.Dengan adanya hematuria ini dapat dicurigai adanya penyakit ginjal kronik, glomerulunefritis , nefritis tubulointertisial atau kelainan urologi.

Hipertensi (10) Renin-Angiotensinogen-Aldosteron sistem berperan penting dalam

memelihara hemodinamik dan homeostasis kardiovaskuler . Sistem RAA dianggap sebagai suatu homeostatic feedback loop dimana Ginjal dapat mengeluarkan renin sebagai respons terhadap rangsangan seperti tekanan darah rendah, stres simpatetik , berkurangnya volume darah, dan bila keadaan ini normal kembali maka RAA sistem tidak teraktivasi. Penyakit ginjal dapat menyebabkan naiknya tekanan darah dan sebalikya hipertensi dalam jangka waktu lama dapat mengganggu ginjal. Hipertensi pada penyakit ginjal dapat terjadi pada penyakit ginjal akut ataupun kronik baik pada kelainan glomerulus maupun kelainan vaskuler. Hipertensi pada penyakit ginjal dapat dikelompokkan : 1. 2. 3. 4. Pada penyakit glomerulus akut : GN pacastreptokokus, nefropati, membranosa Pada penyakit vaskular : Vaskulitis, skleroderma. Pada penyakit ginjal kronik: CKD stage III-V Penyakit glomerulus kronik tekanan darah normal- tinggi

Bila dikaitkan pada kasus ini, terjadinya hipertensi dengan diagnosis kerja penyakit glomerulus akut pasca streptokokus, maka berarti, hipertensi terjadi oleh karena adanya retensi natrium yang menyebabkan hipervolemi. Retensi natrium, terjadi akibat adanya peningkatan reabsorbsi Na di duktus koligentes. Peningkatan ini dimungkinkan oleh karena adanya resistensi relatif terhadap hormon natriuretik peptida dan peningkatan aktivitas pompa Na-K-ATP ase di duktus koligentes.

Oliguria (6) Oliguria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagia akibat

berkurangnya filtrasi glomerulus. Selama fase akut terdapat vasokontriksi arteriola glomerulus yang mengakibatkan tekanan filtrasi menjadi kurang dan karena hal ini kecepatan filtrasi glomerulus pun menjadi kurang. Filtrasi air, garam, ureum dan zat zat lainnya berkurang dan sebagai akibatnya kadar ureum dan kreatinin dalam darah meningkat. Fungsi tubulus terganggu, sehingga ion natrium dan air direabsorbsi kembali dan menjadi retensi air dan na sehingga diuresis mengurang, terjadi oliguria.

Terjadinya oliguria inipun memiliki sebab yang sama dengan hipertensi yaitu adanya rangsangan dari rennin angiotensis aldosteron system. Oedem (11) Pada APSGN ( acute post streptococcal glomerulonefritis ) biasanya terjadi proliferasi dan kerusakan yang glomerulus. Kerusakan tersebut aldosteron menyebabkan GFR ( glomrulus filtration rate ) menurun , penurunan GFR menyebabkan aldosteron meningkat. Peningkatan menyebabkan natrium meningkat. Natrium memiliki fungsi untuk meretensi air, apabila air yang di retensi terlalu bnyak atau meningkat, dapat menyebabkan penurunan tekanan koloid plasma dan peningkatan tekanan osmotic dari cairan ekstra sel sehingga ada perpindahan Na yang diikuti air ke ekstrasel hal tersebut dapat menyebabkan edema. Edema yang terjadi, biasanya terjadi di sekitar wajah terutama periorbita. Tetapi, pada siang hari edema terlihat lebih nyata di bagian anggota bawah tubuh .

Azotemia Azotemia adalah peningkatan nitrogen urea darah (BUN) (10-38 mg / dL) dan serum kreatinin (nilai normal 0,7-1,5 mg / dL). Kedua zat ini merupakan hasil akhir nitrogen dari metabolisme protein yang normalnya di ekskresi dalam urin. Bila GFR turun (misalnya pada insufisiensi ginjal), kadar kreatinin dan BUN plasma meningkat.

Proteinuria (12) akibat adanya perubahan struktur glomerulus dan integritas kapiler yang abnormal.hal ini mengakibatkan dinding kapiler lebih permiabel sehingga ada proteinuria.

Pada pemeriksaan radiologik didapatkan tanda cairan dalam rongga pleura, dan kardiomegali Adanya oedem menyebabkan adanya cairan dalam rongga pleura sehingga terjadi efusi oleura. Hipoperfusi dapat menyebabkan aktivasi sistem reninangiotensin. Angiotensin 2 yang bersifat vasokonstriktor perifer akan

meningkat jumlahnya dan menyebabkan perfusi ginjal semakin menurun. Penurunan aliran darah pada ginjal yang menyebabkan Laju Filtrasi Ginjal (LFG) juga menurun ini akan menyebabkan terjadinya oligouria dan pada Angiotensin 2 yang meningkat ini akan merangsang kortek adrenal untuk melepaskan aldosteron yang menyebabkan retensi air dan garam ginjal dan akhirnya terjadi edema, hipervolemia, kongesti vaskular (hipertensi, edema paru dengan gejala sesak nafas, rhonkhi, kardiomegali), semakin nyata, bila LFG sangat menurun,

azotemia,

hiperkreatinemia, asidemia, hiperkalemia, hipokalsemia, dan hiperfosfatemia

Terkadang dijumpai adanya mual, muntah, sakit kepala, lelah. dan nafsu makan menurun

Patofisiologi glomerulonefritis akut(13) Adanya periode laten antara infeksi streptokok dengan gambaran klinis dari kerusakan glomerulus menunjukan bahwa proses imunologi memegang peranan penting dalam patogenesis glomerulonefritis. Glomerulonefritis akut pasca streptokok merupakan salah satu contoh dari penyakit komplek imun. Pada penyakit komplek imun, antibodi dari tubuh (host) akan bereaksi dengan antigen-antigen yang beredar dalam darah (circulating antigen) dan komplemen untuk membentuk circulating immunne complexes. Untuk pembentukkan circulating immunne complexes ini diperlukan antigen dan antibodi dengan perbandingan 20 : 1. Jadi antigen harus lebih banyak atau antibodi lebih sedikit. Antigen yang beredar dalam darah (circulating antigen), bukan berasal dari glomerulus seperti pada penyakit anti GBM, tetapi bersifat heterolog baik eksogen maupun endogen. Kompleks imune yang beredar dalam darah dalam jumlah banyak dan waktu yang singkat menempel/melekat pada kapiler-kapiler glomeruli dan terjadi proses kerusakan mekanis melalui aktivasi sistem komplemen, reaksi peradangan dan mikrokoagulasi.

Kasus klasik GN akut terjadi setelah infeksi streptokokus pada tenggorokan atau kadang-kadang pada kulit sesudah masa laten 1 sampai 2 minggu. Organisme penyebab lazim adalah streptokokus beta hemolitikus grup A tipe 12, atau 4 dan 1; jarang oleh penyebab lainnya. Namum, sebenarnya bukan streptokokus yang menyebabkan kerusakan pada ginjal. Diduga terdapat suatu antibodi yang ditujukan terhadap antigen khusus yang merupakan unsur membran plasma streptokokal spesifik. Terbentuk kompleks antigen antibodi dalam darah dan bersirkulasi ke dalam glomerulus tempat kompleks tersebut secara mekanis terperangkap dalam membrana basalis. Selanjutnya komplemen akan terfiksasi mengakibatkan lesi dan peradangan yang menarik leukosit polimerfonuklear (PMN) dan trombosit menuju tempat lesi. Fagositosis dan pelepasan enzim lisosom juga merusak endotel dan membran basalis glomerulus (GBM). Sebagai respons terhadap lesi yang terjadi, timbul proliferasi sel-sel endotel yang diikuti sel-sel mesangium dan selanjutnya sel-sel epitel. Semakin meningkatnya kebocoran kapiler glomerulus menyebabkan protein dan sel darah merah dapat keluar ke dalam urine yang sedang dibentuk oleh ginjal, mengakibatkan proteinuria dan hematuria. Agaknya, kompleks komplemen antigen-antibodi inilah yang terlihat sebagai nodul-nodul subepitalia ( atau sebagai terlihat bungkusan epimembranosa) pada mikroskop elektron dan sebagai bentuk granular dan "berbungkah-bungkah" pada mikroskop imunofluoresensi; pada pemeriksaan mikroskop cahaya glomerulus tampak membengkak dan hiperselular disertai invasi PMN. Glomerulonefritis akut pascastreptokok (APSGN) paling sering menyerang anak usia 3 sampai 7 tahun, meskipun orang dewasa muda dan remaja dapat juga terserang. Perbandingan penyakit ini pada laki-laki dan perempuan adalah sekitar 2:1. Gambaran APSGN yang paling sering ditemukan adalah : hematuria, proteinuria, oligouria, edema, dan hipertensi. Gejalan umum yang berkaitan dengan permulaan penyakit adalah rasa lelah, anorexia, dan kadang-kadang demam, sakit kepala, mual, dan muntah. Peningkatan titer antistreptolisin O (ASTO) dapat menyatakan adanya antibodi terhadap organisme streptokokus. Kadar komplemen serum mungkin rendah akibat deplesi. Temuan umum ini memperkuat hipotensi bahwa penyakit ini mempunya dasar imun. Gangguan fisiologik utama pada ASPGN adalah GFR biasanya menurun

(meskipun aliran plasma ginjal biasanya normal). Akibatnya, ekskresi air, natrium, dan zat-zat nitrogen mungkin berkurang, sehingga terjadi edema dan azotemia. Peningkatan aldosteron dapat juga berperan pada retensi natrium dan air. Di pagi hari sering terjadi edema wajah terutama edema periorbita, meskipun edema lebih nyata di bagiuan anggota bawah tubuh ketika menjelang siang. Derajat edema biasanya bergantung pada berat peradangan glomerulus, apakah disertai payah jantung kongestif, dan seberapa cepat dilakukan pembatasan garam. Hipertensi hampir selalu terjadi meskipun peningkatan tekanan darah mungkin hanya sedang. Hipertensi terjadi akibat ekspansi volume cairan ekstrasel (ECF3 atau akibat vasospasme masih belum diktehui dengan jelas. Kerusakan pada rumbai kapiler glomerulus mengakibatkan hematuria dan albuminuria, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, urine mungkin tampak kemerah-merahan atau seperti kopi. Pemeriksaan mikroskopik sedimen urine memperlihatkan adanya silinduria (banyak silinder di dalam urine), eritrosit dan silinder eritrosit; yang terakhir ini menyatakan bahwa perdarahan berasal dari glomerulus. Hilangnya protein biasanya tidak cukup banyak untuk menyebabkan hipoalbuminemia, sedangkan suindrom nefrotik jarang terjadi pada APSGN. Berat jenis urine biasanya tinggi meskipun terjadi azotemia, suatu komnbinasi yang jarang ditemukan pada penyakit ginjal lain yang bukan APSGN. Penemuan ini dapat dijelaskan bahwa fungsi tubulus hanya sedikit sekali terpengaruh oleh penyakit akut. Pengobatan APSGN biasanya adalah penisilin untuk membrantas untuk memberantas semua sisa infeksi streptokokus, tirah baring selama stadium akut,makanan bebas natrium bila terjadi gejala edema atau gejala gagal jantung, dab antihipertensi bila perlu. Obat kortikosteroid tidak mempunyai efek berguna pada APSGN. Gejala biasanya berkurang dalam beberapa hari, meskipun hematuria mikroskopik dan proteinuria dapat menetap sela berbulan-bulan. Diperkirakan lebih dari 90% anak yang menderita penyakit ini dapat sembuh sempurna, pada orang dewa prognosisnya jadi kurang baik ( 30% sampai 50%). Dua sampai 5% dari semua kasus akut mengalami kematian. Sedangkan sisa protein lainnya dapat berkembang menjadi glomerulonefritis progresif cepat (RPGN), atau glomerulonefritis kronik yang perkembangannya lebih lambat. Pada glomerulonefritis progresif cepat, kematian akibat uremia biasanya terjadi dalam jangka waktu beberapa bulan saja, sedangkan pada glomerulonefritis kronik, perjalanan penyakit dapat berkisar antara 2 sampai 40 tahun.

Walaupun APSGN telah didefinisikan lebih jelas, tetapi harus dicatat bahwa sindrom nefritis akut dapat pula duikaitkan dengan banyak penyakit lain yang menyerang ginjal (misalnya : endokarditis bakterial subakut (SBE), malaria, purpura anafilaktois dan penyakit-penyakit kolagen). Sindroma nefritis akut juga dapat terjadi selama perjalanan GN kronik. Pemeriksaan laboraturium Pemeriksaan laboratorium pada pasien ini dilakukan untuk memastikan diagnosis. Pemeriksaan yang dilakukan diantaranya: 1. Darah: hitung darah lengkap, ASTO (Anti Streptococcus Titer O), C3

Darah Perifer Pemeriksaan Hb Hematokrit Hitung jenis Leukosit Eritrosit Trombosit C3 LED ASTO Kolesterol total Normal 10-16 33-38 0-1/1-3/2-6/50-70/2040/2-8 5000-10000 4,2 5,4 juta 150-300 ribu/uL 55-120 <15 mm/jam <150 125-200 Hasil 12,2 g/L 39 vol% 0/2/0/65/30/4 7000/uL 4,5 juta/uL 290.000 /uL 70 mm/jam 300 IU 190 mg/dl

Dari hasil darah menunjukan adanya kenaikan dari enzim streptokokus

beta hemolitikus yang biasa naik 1 minggu. 2. Urin lengkap Makroskopis Pemeriksaan Protein BJ pH Warna Bilirubin Urobilin Glukosa Keton Nitrit Normal 1003-1030 5-8 Kuning jernih + Hasil +1 1025 6,5 Merah + -

Mikroskopis Pemeriksaan Eritrosit Leukosit Kristal Silinder Epitel Normal 0-1 <5 Hasil Penuh 3-4 -

Dari hasil urin, menunjukan adanya kebocoran filtrasi yang di tunjukan adanya protein dan kencing berwarna merah yang mungkin dikarenakan oleh adanya eritrosit. 3. fungsi ginjal

Pemeriksaan Ureum Kreatinin

Normal 10-50 g/dL 1-1,5 g/dL

Hasil 40 g/dl 2,4 g/dl

4. fungsi hati

Pemeriksaan Albumin Globulin

Normal 3-5,5 g/dL 2-3,5 g/dL

Hasil 4,5 g/dl 2,4 g/dl

Dari hasil tes fungsi, fungsi hati baik, akan tetapi ada kenaikan kreatinin pada fungsi ginjal, kenaikan ini biasa terjadi karena adanya penyakit ginjal kronis, telah melakukan aktivitas berat (otot), atau pada lansia karena adanya penurunan fungsi.

PEMERIKSAAN PENUNJANG(2) BNO-IVP PLAIN FOTO ABDOMEN (B.N.0) Merupakan pemeriksaan dengan sinar X yang paling sederhana, sering diperlukan untuk penilaian pendahuluan sebelum dilakukan pemeriksaan radiologi lainnya, dapat melihat kalsifikasi intra abdomen, tumor mass, sistim skeletal. Hasil foto akan lebih baik bila sebelum pembuatan foto pasien dipersiapkan (cuci perut), untuk menghilangkan kemungkinan sisa faeses yang akan mengganggu penilaian daerah ginjal. Persiapan

seperti ini sulit dilaksanakan pada kasus bayi/anak kecil. Dapat dibuat di klinik rontgen sederhana , tetapi batu radiolusen tidal( terlihat pada plain foto). INTRA VENOUS PYELOGRAPHY (I.V.P.) Merupakan prosedur dasar pada kasus urologi, berdasarkan dieksresikannya zat kontras radioopak yang disuntikkan intravena oleh kedua ginjal. Teknik ini terutama untuk menilai anatomi traktus urinarius dan juga evaluasi fungsi ginjal. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebelum pasien menjalani pemeriksaan ini, yaitu tidak dilakukan pada pasien dengan alergi zat kontras dan tidak dilakukan pada newborn infant karena adanya faktor imaturitas fungsi ginjal dan imaging yang dihasilkan tidak baik; pada anak yang tidak kooperatif pengerjaannya menjadi sulit. Indikasi: a. Kelainan congenital b. Infeksi Menahun Ginjal (urine: Leukosit, Eritrosit) c. Tumor Ginjal (tumor Abdomen, Hematuri) d. Urolith (Kolik, Hematuri) e. Trauma Abdomen (Ruptur Ginjal/Ureter) f. LBP lama (check-up) Kontra Indikasi: i. Alergis kontras ii. Fungsi Ginjal buruk : Ureum >60 mg% dan creatinin >2 mg% iii. Decomp. Cordis iv. Penyakit hepar yang berat v. Multiple Myeloma vi. Infeksi akut Tr. Urinarius vii. Retensi cairan yang berlebihan Penatalaksanaan(1) 1. Medikamentosa Golongan penisilin dapat diberikan untuk eradikasi kuman, dengan amoksisilin 50 mg/kg BB dibagi 3 dosis selama 10 hari. Jika alergi terhadap

golongan penisilin, diganti dengan eritromisin 30 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis. Diuretik diberikan untuk mengatasi retensi cairan dan hipertensi. Jika terdapat hipertensi, berikan obat antihipertensi, tergantung pada berat ringannya hipertensi. 2. Non-Medika Mentosa Pada pasien ini disarankan untuk full bed rest, selain itu pasien dan orang tuanya diberikan edukasi agar menghabiskan antibiotik yang diberikan sampai habis. Jika pasien turut kooperatif maka proses terapi akan semakin efektif. Selain itu pasien juga disarankan melkukan diet makanan berprotein dan berlemak. Komplikasi Hipertensi Hipertensi ensepalopati Decomp.cordis Uremia Kejang

Prognosis(1) Prognosis pada GNPSA umumnya baik. Hematuria akan hilang dalam waktu 3 hari, proteinuria menghilang dalam waktu 3 bulan atau kurang (meskipun dapat menetap hingga 12 bulan). Edema membaik dalam 5-10 hari dan hipertensi (tekanan darah) akan pulih dalam waktu 2-3 minggu. Konsentrasi C3 akan kembali normal dalam 6-8 minggu pada 95% pasien.(1) Ad vitam : bonam Ad fungsionam : bonam Ad Sanationam : dubia ad bonam

BAB V KESIMPULAN

Glomerulonefritis akut paska-streptokokus (GNAPS) adalah suatu proses radang non-supuratif yang mengenai glomeruli, sebagai akibat infeksi kuman streptokokus beta hemolitikus grup A, tipe nefritogenik di tempat lain. Penyakit ini sering mengenai anak-anak. Dari pemeriksaan fisik didapatkan hematuri dan terdapatnya oedem orbital. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar C3 yang menurun. C3 merupakan pemeriksaan khas untuk GNA yang disebabkan bakteri. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada kasus GNA adalah dengan memberikan pengobatan medika mentosa (Antibiotik, diuretik serta Angiotensin inhibitor) yang adekuat dan ditambah dengan edukasi tentang pola diet, istirahat total (bed rest) untuk kesembuhan yang lebih baik . Prognosis untuk kasus GNA pada umumnya adalah bonam dan tingkat kesembuhan yang tinggi, jika ditangani dengan disiplin dan baik pula.

DAFTAR PUSTAKA 1. Emedicine. 18 2010. 2. Kalbe.co.id. at :http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/39_Hematuripadaanakaspekradiologi81 .pdf/39_Hematuripadaanakaspekradiologi81.html.Accessed 17,2010. 3. Prodjosudjadi,wigono.Buku ajar ilmu penyakit dalam.Glomerulonefritis.Editor edisi bahasa Indonesia,Sudoyo,A.W.(et al.).ed.5.p.972.Jakarta:Interna Publishing,2009. 4. Pediatrik.com.sindroma nefrotik. Available at http://www.pediatrik.com/isi03.php? page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110ebtq258.htm.Accessed at : october 15,2010. : at: October hematuria pada anak .Available Acute Poststreptococcal Glomerulonefritis. Available at

http://emedicine.medscape.com/article/980685-followup. Accesed on October

5. Universitas Gajah Mada. Bedah UGM. Anatomi ginjal. [Update : 2009]. Available at : http://www.bedahugm.net/tag/ginjal/. Accessed: November, 12. 6. Sherwood L. Human Physiology from Cells to System. In : Santoso BI, editors. Sistem Kemih. 2th ed. Jakarta : EGC ; 2001.p. 461-502 7. Wahjudi K, Natakarman TS. Diktat Kuliah Biokimia Medik : Metabolisme air, ginjal, dan urin. Jakarta : Penerbit Universitas Trisakti; 2009.p.1-22. 8. Lesson R, Lesson T, Paparo A. Textbook of Histology. In : Tambayong, editors. Sistem Urinaria . Jakarta : EGC ; 1989.p. 427-53. 9. Pediatric.com. glomerulusnefritis akut.Available at :http://www.pediatrik.com/isi03.php? page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110puzf261.htm-.Accessed at : October 15,2010. 2009,

10. Lestariningsih.Hematuria.in:Sudoyo AW,Setyohadi B,Alwi I,Marcelus S,Setiati S,editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.5 th ed.Jakarta:interna Publishing;2009;p952-5 11. TessyA.Hipertensi pada penyakit ginjal.in:Sudoyo AW,Setyohadi B,Alwi I,Marcelus S,Setiati S,editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.5th ed.Jakarta:interna Publishing;2009;p1086-7

12. Effendi I, Pasaribu R.Edema patofisiologi dan penanganan.in:Sudoyo AW,Setyohadi B,Alwi I,Marcelus S,Setiati S,editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.5th ed.Jakarta:interna Publishing;2009;p 946-7. 13. Bawazier AL.Proteinuria.in:Sudoyo AW,Setyohadi B,Alwi I,Marcelus S,Setiati S,editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.5 th ed.Jakarta:interna Publishing;2009;p 956-7.

14. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. In : Hartanto H, Susi N, Wulansari P, Mahanani DA, editors. 6nd ed.Jakarta:EGC; 2005.p. 924-5 15. Prodjosudjodi W. Glomerulonefritis. In : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5 th ed. Jakarta Pusat : InternaPublishing; 2009; p.971. 16.

You might also like