You are on page 1of 18

BAB I PENDAHULUAN

Sepuluh tahun terakhir wajah bisnis di dunia telah mengalami perubahan yang buruk, banyaknya bisnis yang hancur membawa akibat penderitaan kepada masyarakat luas. Salah satu penyebab kehancuran bisnis tersebut yaitu adanya pengabaian etika didalam lini bisnis mereka.Pengabaian etika adalah dilakukannya suatu kegiatan yang dianggap benar oleh manajemendan para pengambil keputusan, namun membawa dampak merugikan atau dianggap salah oleh pihak lain. Contoh pengabaian etika itu sendiri antara lain adalah, praktek kecurangan dalam pembuatan laporan keuangan, penyuapan, dan lain sebagainya. Salah satu faktor timbulnya sikap pengabaian etika ini karena adanya usaha perusahaandalam mencapai tujuan utamanya, dimana tujuan utamanya adalah mencari keuntungansebesar-besarnya dengan biaya sekecil-kecilnya. Untuk memperoleh keuntungan tersebut, makamanajemen bisa mencapai nya dengan melakukan tindakan yang mempertimbangkan etika ataudengan melakukan tindakan yang tidak mempertimbangkan etika. Itu semua tergantung kepadakeputusan yang diambil oleh manajemen eksekutif didalam suatu lingkup perusahaa. Setiapkeputusan yang diambil oleh manajemen tentu menimbulkan resiko. Jika keputusan yangdiambil oleh manajemen tersebut menimbulkan suatu kerugian, berdampak negatif oleh pihak lain atau pihak eksternal perusahaan, maka itu berarti manajemen telah mengabaikan prinsip- prinsip etika bisnis dan etika profesi yang ada dan menanggung resiko etika. Resiko merupakan sesuatu yang melekat dalam setiap gerak langkah tindakan. Resiko tidak bisa dihilangkan, tetapi resiko bisa dikurangi dengan cara mengelola resiko tersebut.Dinamika pengabaian etika yang seperti inilah yang akhirnya memunculkan skandal seperti korporasi Enron dan Arthur Andersen, WorldCom, Tragedi Lumpur Lapindo, Kasus PT Adam Sky Connection Airlines dan beberapa skandal bisnis yang membawa keruntuhan bagaikerajaan bisnis mereka. Untuk mengurangi resiko etika yang membawa dampak buruk bagilingkungan bisnis dan entitas yang terkait, maka pengelolaan resiko etika dan manajemen krisis sangat dibutuhkan.

BAB II PEMBAHASAN

A.

Identifikasi serta penilaian risiko etika dan peluang 1. Risiko etika dan peluang dalam penilaian risiko perusahaan Risiko etika dan peluang. Pengakuan atas kebutuhan adanya akuntabilitas korporat kepada pemangku kepentingan membawa pengakuan simpulan yang dibutuhkan sistem tata kelola modern untuk merefleksikan betapa pentingnya memenuhi kepentingan pemangku kepentingan. Kepuasan pemangku kepentingan, pada gilirannya, didasarkan pada rasa hormat yang ditunjukan oleh perusahaan untuk kepentingan tiap kelompok pemangku kepentingan yang perusahaan ingin dapatkan dukungannya guna mencapai tujuan strategis. Dalam konteks ini perhatian pada risiko etika dan peluang sejak risiko tidak memenuhi harapan pemangku kepentingan menyebabkan potensi kerugiaan dukungan untuk tujuan perusahaan, dan ketika dapat melebihi ekspektasi maka akan memberikan peluang untuk menggalang dukungan sangat penting untuk menghindari potensi kerugiaan dukungan untuk tujuan perusahaan, dan untuk menemukan peluang meraih dukungan yang lebih besar. Hal ini memerlukan kerangka kerja yang lebih luas untuk penilaian risiko dari apa yang kebanyakan perusahaan telah terapkan. Agar adil, telah terjadi tumpang tindih dalam pendekatan penilaiaan risiko tradisional dengan pendekatan risiko etika/penilaiaan kepentingan pemangku kepentingan (ERSIA). Namun demikian, bahkan dalam kasus-kasus tumpang tindih, fokus dari pendekatan non-ERSIA dan pola pikir para penyelidik belum seluas seperti yang sekarang muncul, karena fokus sudah berada pada apa yang penting dari perspektif pemegang saham, uakan perspektif pemangku kepentingan. Tanpa dukungan perspektif pemangku kepentingan, penyelidik mungkin tidak mengenali risiko yang dapat menyebabkan kerugian dukungan atau peluang bagi penciptaan dukungan yang didasarkan pada keunggulan kompetitif atau perhatian kepentingan pemangku kepentingan laiinya. Keterbatasan dari pendekatan Enterprise Risk Management (ERM) tradisional Manajemen risiko telah menjadi konsep yang digunakan secara umum sejak akhir 1990-an, ketika bursa saham utama mencatatnya sebagai salah satu hal yang perlu

untuk diawasi direksi. Namun demikian, manajemen risiko yang biasanya dilakukan jarang melibatkan pemeriksaan penuh risiko etika dan peluang. Ada fokus yang kian tumbuh pada hal-hal yang berhubungan dengan kecurangan, namun belum cukup untuk dapat mencegah hilangnya reputasi dan dukungan pemangku kepentingan. Selama 1990-an perusahaan terdepan menerapkan beberapa bentuk manajemen risiko, tetapi kebanyakan perusahaan lain tidak. Sarbenes-oxley of 2002 (SOX) secara efektif membuat manajemen risiko merupakan bagian integral dari tata kelola yang baik ketika reformasi tata kelola dibawa oleh SEC keperusahaan terdaftar diseluruh dunia dan melahirkan banyak perkembangan serupa diyurisdikasi nasional lainnya. Section 404 dari SOX , misalnya, yang bertujuan untuk penilaiaan risiko dan pencegahan, mengharuskan perusahaan untuk memeriksa efektif sistem kontrol internal berkaitan dengan pelaporankeuangan, danCEO, CFO, dan auditor harus melaporkan dan menyatakan efektivitas tersebut. Penelaahan wajib pengendaliaan internal melibatkan perbandingan korporasi dengan kerangka sistem pengendalian internalyang berlaku sepertiyang dikembangkan untuk Enterprise Risk Management (ERM) oleh Committee of Sponsoring Organization (COSO) Komisi Treadway. Kerangka kerja COSO ERM yang terangkum dalam table 1.1 menilai bagaimana mencapai tujuan suatu entitas pada empat dimensi. Dimensi Komponen Strategis Operasi Pelaporan Kepatuhan Lingkungan eksternal Menetapkan tujuan Identifikasi kejadiaan Penilaian risiko Respon risiko Aktivitas pengendaliaan Informasi dan Komunikasi Pengawasan Etika dan budaya perusahaan yang etis terlihat memainkan peran penting dalam menenukan lingkungan pengendaliaan dan dengan demikiaan menciptakan efektif ERM berorientasi system pengendaliaan internal dan perilaku yang mempengaruhi hasil. Oleh karena itu, kajian berorientasi COSO ERM akan memeriksa nada diatas, kode etik, kesadaran karyawan, tekanan untuk memenuhi tujuan tidak realistis atau tidak tepat, kesediaan manajemen untuk menggantikan control yang sudah ada, kepatuhan terhadap kode dalam penilaian kinerja, pemantauan efektivitas sistem pengendaliaan internal, program whistle-blowing, dan tindakan perbaikan sebagai respon terhadap pelanggaran kode.

The New Statement of Auditing Standar (SAS 99) dirilis oleh AICPA dalam menanggapi bencana Enron dan Worldcom, dan Sarbanes-Oxley Act of 2002 mefigurkan bagaimana auditor eksternal telah diarahkan menuju kesadaran atas kecurangan, pemeriksaan, dan pelaporan yang lebih baik atas kecurangan tersebut. Secara khusus SAS 99 mengharuskan: 1. Diskusi dan brainstorming wajib antara tim tentang penyebab dan untuk salah saji material potensial dalam laporan keuangan karena kecurangan sebelum dan selama audit. 2. Bimbingan harus diikuti tentang pengumpualan data dan prosedur audit untuk mengidentifikasi risiko dan kecurangan. 3. Mandat dari penilaiaan risiko kecurangan berdasarkan faktor-faktor risiko yang ditemukan dan dibawah rivisi asumsi bahwa manajemen tidak bersalah hingga benar bersalah. Sebagai berikut: Menganggap secara wajar bahwa ada risiko manipulasi pendapatan karena kecurangan dan kemudian menyelidiki Selalu mengidentifikasi dan menilai risiko dimana manajemen bisa meniadakan control sebagai risiko kecurangan. 4. Peningkatan standar untuk pemeriksaan, dokumentasi, dan pelaporan langkah langkah audit yang diambil untuk memastikan bahwa tidak terjadi manipulasi. 5. Tindakan lain, termasuk: Mendukung penelitian tentang kecurangan Pengembangan criteria anti kecurangan dan control Alokasi 10 % dari credit CPE untuk mempelajari kecurangan Pengembangan program pelatihan kecurangan untuk umum Mendorong pendidikan anti kecurangan di universitas dan materi yang sesuai.

2.

Identifikasi serta Penilaian Risio Etika dan Peluang Identifiksi dan penilaian risiko etika dan peluang dapat dilakukan dengan

beberapa cara, tetapi pendekatan tiga tahap pada figur 1.1 dan dibahas dalam pembahasan selanjutnya dengan menawarkan pendekatan yang komprehensif.

TAHAP 1 Mengembangkan suatu pemahaman pemeringkatan kepentingan/ ekspektasi pemangku kepentingan yang diproyeksikan

TAHAP 2 Membandingkan berbagai aktivitas yang mengekpetasikan akan identifikasi risiko etika dan peluang

TAHAP 3 Kelompok pemangku kepentingan Produk atau jasa Tujuan korporat Nillai hypernorm Pemicu reputasi

Identifikasi Peringkat: Urgensi, kekuatan, legitimasi

Konfirmasi Analisis yang dinamis

Pemicu reputasi: dapat dipercaya kreditabilitas, dapat diandalkan, bertanggung jawab Hypernorm: kejujuran, kewajaran,belas kasih, integritas, prekdiktabilitas, bertanggung jawab Performa: input,output, kualitas

Tahap 1 dari identifikasi risiko etika dan proses penilaian yang baik harus harus dimulai dengan identifikasi pemangku kepentingan yang utama perusahaan dan kepentingan mereka. Para peneliti harus membuat peringkat kepentingan pemangku kepentingan dalam pentingnya menggunakan kerangka kerja urgensi, legitimasi dan kekuasaan dan analisis pengaruh dinamis. Setelah langkah ini peneliti harus memiliki pemahaman yang diproyeksikan tentang isu kepentingan pemangku kepentingan yang mana yang sensitive dan penting. Dalam tahap 2, berlawanan dengan mosaic dari harapan pemangku kepentingan yang penting ini, peneliti harus mempertimbangkan kegiatan korporasi mereka dan menilai risiko dari tidak memenuhi peluang atau peluang yang melebihi harapan. Ketika mempertimbangkan apakah harapan telah dipenuhi, perbandingan harus dibuat antara input yang relevan, kualitas, dan variable kinerja yang lain. Selain itu perbandingan harus terbuat dari kegiatan perusahaan dan harapan pemangku kepentingan menggunakan enam nilai-nilai hypernorm yang secara universal dihormati dalam sebagian besar budaya: kejujuran keadilan, belas kasihan, integritas, prediktabilitas, dan tanggung jawab. Tahap 3 melibatkan penyusunan laporan yang dihasilkan oleh proses itu. Kebutuhan perusahaan khusus harus menentukan sifat laporan yang disajikan, tetapi

pertimbangan harus diberikan atas risiko etika dan peluang untuk setidaknya laporan berikut: B. Menurut kelompok pemangku kepentingan Menurut produk atau jasa Menurut tujuan prusahaan Menurut nilai hypernorm Menurut pemicu reputasi.

Manajemen Risiko Etika dan Peluang Setelah risiko etika dan peluang organisasi telah diidentifikasi dan dinilai, strategi dan

taktik terbaik perlu dikembangkan untuk mengelola mereka untuk mengurang masalah dan untuk menyearaskan kegiatan dengan kepentingan pemangku kepentingan. Diskusi yang mengikuti meliputi alat dan teknik untuk karyawan dan bagaimana pendekatan wilayah masalah penting yang dihadapi direksi, eksekutif dan professional. 1. Hubungan Pemangku Kepentingan Efektif Strategi dan taktik dapat dikembangkan untuk berurusan dengan masing-masing pemangku kepentingan atau kelompok, berdasarkan penilaian kepentingan pemangku kepentingan dan kemungkinan perubahan didalamny. Satu pendekatan yang berasal dari Savage dkk (1991) berfokus pada potensi untuk pemangku kepentingan dapat menjadi rentan terhadap undangan untuk berkolaborasi atau menjadi rekan pendukung atau jika mereka tidak setuju dengan posisi perusahaan, pertimbangan dapat diberikan pada kebutuhan mereka untuk pemantauan atau ketika pembelaan diperlukan oleh mereka. Figure 2.2 menyajikan model yang berguna untuk mempertimbangkan keputusan tersebut. Model ini menunjukan bahwa kelompok pamangku kepentingan yang paling diinginkan (disebut Tipe 1) kemungkinan akan menjadi ancaman yang rendah terhadap tujuan organisasi dan tingkat kerjasama yang tinggi dengan mereka. Jika mungkin, masuk akal untuk melibatkan kelompok ini lebih dekat dengan organisasi karena mereka cenderung mendukung. Sebuah kelompok pemangku kepentingan yang berada diperingkat kerjasama yang tinggi dan tinggi sebagai potensi ancaman memegang beberapa janji (misalnya adalah berkah campuran), dan mungkin bijaksana untuk mencoba untuk berkolaborasi dengan mereka untuk menjaga mereka sebagai pendukung.

2.

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Dan Kewarganegaraan Korporat Korporasi telah dianggap secara hukum bertanggung jawab hanya untuk

pemegang saham atau pemilik, tetapi dalam kenyataannya mereka juga secara strategis bertanggung jawab kepada berbagai pemangku kepentingan yang lebih luas jika mereka

ingin menggalang dukungan yang diperlukan untuk pencapaian strategis. Sejauh ini, pergeseran paradigma sedang berlangsung dari akuntabilitas kepada pemegang saham menjadi pertanggungjawaban kepada pemangku kepentingan. Akibatnya organisasi semakin tertarik pada apa pemangku kepentingan harapkan dari mereka, dan bagaimana mereka bekerja dan dianggap bekerja sesuai harapan untuk meningkatkan dukungan pemangku kepentingan. Ada juga investor, direksi, eksekutif, dan karyawan yang, dari perspektif altruistik, tertarik pada kinerja organisasi mereka mengenai hal-hal non-keuangan. Kedua kelompok orang dari perspektif instrumental dan orang-orang dari perspektif altruistik tertarik dalam rencana dan kinerja tanggung jawab sosial perusahaan dari suatu organisasi atau sebagaimana beberapa orang memilih untuk memfigurkannya dalam istilah warga organisasi. Adapun label yang dipakai-CSR atau kewarganegaraan korporat- keduanya merujuk pada sejauh mana organisasi mempertimbangkan kepentingan pemangku kepentingan dan mengambil tindakan yang menghormati kepentingan-kepentingan itu. a. Tujuan organisasi untuk CSR Untuk mengembangkan rencana atau kerangka kerja yang komprehensif untuk CSR suatu organisasi harus mempertimbangkan tujuan strategis, baik sebagai sebuah operasi dan bagaimana ia ingin tampil sebagai warga korporasi, budaya perusahaan yang akan dihadapi operasi perusahaan, dan kepentingan pemangku kepentingan, baik dilingkungan dalam negeri maupun luar negeri. b. Membangun kerangka tanggung jawab sosial perusahaan Inisiatif baru sedang dikembangkan untuk membantu ddengan keterlibatan pemangku kepentingan dalam perencanaan perusahaan dan keputusan, mengatur kegiatan perusahaan dan membuat laporan tentang mereka, dab melakukan audit atas apa yang dilakukan korporasi dan pelaporannya. Pedoman pelaporan keberlanjutan dikembangkan oleh Global Reporting Inisiative (GRI) sebuah usaha kerjasama dari berbagai pihak termasuk badan akuntansi profesional menawarkan kerangka laporan yang komprehensif dan instruktif bagi mereka yang sedang mempertimbangkan meningkatkan perencanaan, pengiriman dan pelaporan CSR atau Corporate Sosial Performance (CSP). Pedoma GRI disempurnaka terus menerus. Kerangka versi G3 diuraikan tabel 1.2.

c. Pengukuran kinerja CSR Juga sangat disarankan untuk meninjau kerangka CSR lainnya yang telah diciptakan oleh perusahaan konsultan yang menyaring kegiatan untuk investor etika- baik individu dan investor institusi yang ingin berinvestasi dengantujuan sosial atau diperusahaan dimana kegiatannya secara sosial bertanggung jawab. d. Monitoring CSR Setelah pengukuran CSR telah diidentifikasi data dikumpulkan dan laporan terbentuk, langkah berikutnya adalah memantau bagaimana korporasi berbuat. Seperti skema pengukuran pada umumnya perbandingan dapat membantu dengan: Tujuan strategis faktor kunci keberhasilan Organisasi serupa Alternatif praktik terbaik untuk pembandingan Standar terpublikasi seperti yang diuraikan sebelumnya Statistik dan rata-rata industri Hasil yang diperoleh pada periode sebelumnya

e. Pelaporan CSR

Korporasi yang berangkat dari sebuah program pengukuran CSR perlu mempertimbangkan bagaimana mereka akan melaporkan kinerja. Laporan internal dapat mengambil beragam bentuk tetapi harus terfokus pada tujuan kinerja program. Laporan publik menjadi lebih umum. Pelaporan kinerja etika dapat: Meningkatkan kesadaran akan isu-isu etis dalam sebuah program Memberikan dorongan bagi karyawan untuk mematuhi tujuan etis Menginformasikan pemangku kepentingan eksternal Meningkatkan citra perusahaan.

f. Assurance audit laporan CSR Penyebaran dari apa yang disebut audit laporan CSR telah berkembang khususnya dieropa. Inisiatif eropa dalam perlindungan lingkungan dan melalui Internasional Standards Association (ISO) telah memiliki pengaruh perilaku mengarahkan diperusahaan dan telah mewajibkan pengungkapan publik atas kinerja lingkungan. Akibatnya banyak individu dan beberapa akuntan publik besar dan perusahaan lainnya telah terlibat dalam membuktikan laporan yang diterbitkan. g. Pikiran penutup Akuntabilitas strategis perusahaan untuk pemangku kepentingan, manajer, dan akuntan profesional telah menjadi begitu jelas sehingga akan menjadi picik bagi suatu organisasi jika tidak mengembangkan konsep yang efektif tentang kewarganegaraan corporate dan progran yang efektif dari tanggung jawab sosial perusahaan. 3. Etika di Tempat Kerja Semakin tingginya tingkat kesadaran social dan tekanan dari kelompok-kelompok aktivis yang telah didokumentasikan di tempat lain memiliki dampak signifikan pada kedua operasi internal dan eksternal organisasi. a. Hak Karyawan Beberapa hak yang berubah menjadi dilindungi oleh undang-undang baru, sementara yang lain dipengaruhi oleh kasus-kasus hokum umum, kontrak

sertifikat buruh, dan praktik perusahaan yang telah sensitive terhadap tekanan pemangku kepentingan. b. Privasi dan Martabat Hak pribadi lebih penting daripada atasan kecuali dapat ditunjukkan bahwa dalam keadaan tertentu kepentingan atasan adalah wajar, sah, dan bisa diterima secara moral. c. Perilaku yang adil Diskriminasi dianggap tidak etis dan dianggap illegal jika ia melibatkan usia , ras, gender, dan preferensi seksual. Selain itu umumnya orang berpendapat bahwa harus ada peluang yang sama untuk pekerjaan, dan upah yang sama untuk pekerjaan yang sama, khususnya bagi perempuan dan minoritas. d. Lingkungan Kerja Sehat dan Aman Keseimbangan antara hak-hak pekerja dan pemilik telah bergeser ke titik yang dianggap etis bagi para pekerja untuk mengharpakan bahwa kesehatan dan keselamatan tidak akan masuk akal jika dikompromikan. Mereka harus tahu apa risiko yang dihadapi, dan banyak yurisdiksi telah menciptakan hokum berhak tahu untuk memastikan bahwa organisasi membuat informasi tentang bahan, proses berbahaya, dan perawatan terkait, siap diakses. e. Kemampuan untuk Menjalankan Suara nurani seseorang Argument bahwa pekerja hanya melakukan apa yang diperintahkan untuk melakukan tidak lagi menyediakan perlindungan bagi pekerja di banyak wilayah yuridiksi, sehingga pekerja harus menjalankan suara hati nurani sendiri. f. Kepercayaan dan maknanya Etika organisasi secara langsung berkaitan dengan bagaimana para pemimpin dirasakan, apakah ada kepercayaan yang cukup bagi karyawan untuk berbagi ide tanpa takut kehilangan pekerjaan atau rasa hormat dari rekan kerja dan manajer mereka, dan apakah mereka percaya bahwa organisasi layak mendapatkan loyalitas dan kerja keras. g. Keseluruhan Manfaat Cara karyawan memandang perlakuan perusahaan terhadap mereka menetukan apa yang mereka pikirkan tentang program etika perusahaan. Jika perusahaan ingin karyawannya mengamati kepercayaan , maka nilai etika perusahaan karyawan dan yang tingkat tepat perusahaan harus memilih

tidak

sekedar

etis

untuk

menjalankan

program

etika perusahaan dan

mencapai tujuan strategis. h. Kecurangan Kejahatan Kerah Putih Eksekutif diharapkan untuk dapat memastikan bahwa mengambil langkah rasional yang diperlukan untuk membimbin, mempengaruhi, dan mengendalikan, karyawan yang cenderung terliba, dan auditor eksternal diharapkan bisa waspada mengenali potensi masalah. i. Sebuah Kerangka Kerja untuk Memahami para Penipu Akuntan investigasi dan forensic menggunakan kerangka kerja yang membantu mengidentifikasi penipu potensial dan situasi yang memiliki potensi untuk kecurangan. rasionalisasi, peluang. 4. Operasi Internasional Ketika perusahaan beroperasi di luar pasar dalam negeri bimbingan normal ditawakan kepada karyawan harus mempertimbangkan beberapa hal terkait : praktik operasi yang bisa berdampak pada ekonomi local dan budaya, praktik asing local yang berbeda-beda seperti pemberian hadiah luas atau penyuapan, didukung atau dilarang, reaksi terhadap perubahan-perubahan oleh pemangku kepentingan dalam negeri dan terutama oleh para pemangku kepentingan utama termasuk pelanggan besar dan pasar modal. a. Dampak terhadap Ekonomi Lokal dan Budaya Mereka Perusahaan multinasional memiliki dampak yang signifikan terhadap budaya local dari pada tidak di dalam negeri. Mereka harus berhati-hati terhada dampak aspek local yang tidak menguntungkan. b. Konflik antar Budaya Domestik dan Budaya Asing Masalah paling sulit ketika nilai-nilai para pemangku kepentingan utama perusahaan berbeda dengan yag ada di daerah local Negara asing. c. Penyuapan, Pembayaran untuk Memfasilitasi Dalam operasi diluarnegeri perusahaan-perusahaan multinasional mungkin diminta untuk melakukan pembayaran pembayaran memfasilitasi atau suap. Sebuah memfasilitasi biasanya memiliki nominal dan dibuat untuk Factor yang mempengaruhi kecurangan : motifasi,

mempercepat hasil yang akan juga terjadi dengan waktu yang cukup.

d. Konflik Budaya yang jelas dengan melarang pemberian hadiah, suap, atau pembayaran memfasilitasi Beberapa bisnis sangat baik. e. Imajinasi Moral Para manajer menggunakan imajinasi moral untuk merancang alternative yang menjawab kebutuhan dalam budaya local, tetapi sesuai dengan norma0norma untk perilaku yang dapat diterima. f. Pedoman praktik etika Pedoman yang mungkin berguna bagi perusahaan untuk mencatatnya. g. Konsultasi Sebelum Tindakan Semua organisasi yang beropersai internasional harus peka pada karyawan mereka tentang perbedaan budaya dan melengkapi mereka dengan pemahaman tentang bagaimana organisasi ingin mereka berurusan dengan isu utama yag kemungkinan besar muncul. 5. Manajemen Krisis Suatu krisis memiliki potensi untuk memiliki dampak krisis signifikan pada reputasi perusahaan dan pejabatnya, dan pada kemampuan perusahaan untuk mencapai tujuannya dan kemampuannya untuk bertahan. Dengan belajar krisis harus dikelola untuk meminimalkan kerugian. Penilaian, perencanaan, dan manajemen krisis harus merupakan bagian dari program manajemen resiko modern. perusahaan menemukan bahwa mereka mampu melakukan tanpa pembayaran tersebut, terutama karena produk atau jasa mereka

KASUS: Skandal Manipulasi Laporan Keuangan PT Kimia Farma Tbk PT Kimia Farma Tbk adalah salah satu produsen obat-obatan milik pemerintah di Indonesia. Manajemen Kimia Farma melaporkan adanya laba bersih sebesar Rp 132 Milyar, dan laporan keuangan tersebut diaudit oleh Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM). Hasil audit pada tanggal 31 Desember 2001 menunjukan bahwa laporan keuangan wajar tanpa pengecualian. Akan tetapi, Kementrian BUMN dan Bapepam menilai bahwa laba bersih tersebut terlalu besar dan mengandung unsur rekayasa. Setelah dilakukan audit ulang, padatanggal 3 Oktober 2002, manajemen Kimia Farma mensajikan kembali laporan keuangannya, dan menyajikan laba bersihnya hanya Rp 99,56 Milyar, lebih rendah Rp 32,6 Milyar dari laba awal yang dilaporkan. Perbedaan itu merupakan suatu kesalahan penyajian daftar harga persediaan yang digelembungkan oleh pihak manajemen. Direktur produksinya, menerbitkan dua buah daftar harga persediaan pada tanggal 1 dan 3 Febuari 2002. Daftar harga persediaan pada tanggal 3 Febuari 2002 telah digelembungkan nilainya dan dijadikan dasar penilaian persedian pada unit distribusi Kimia Farma per 31 Desember 2001. Selain itu kesalahan timbul pada unit Industri Bahan Baku yang mencatat terlalu tinggi (overstated) penjualan sebesar Rp 2,7 Miliyar. Kesalahan penyajian di dalam penjualan ini dikarenakan adanya pencatatan ganda. Pencatatan ganda ini dilakukan pada unit-init yang tidak disampling oleh akuntan, sehingga tidak berhasil dideteksi. Berdasarakan hasil penyelidikan Bapepam, KAP HTM telah mengikuti standar audit yang berlaku, namun gagal mendeteksi kecurangan tersebut. Selain itu KAP HMT juga terbukti membantu manajemen melakukan kecurangan. Keterikatan Manajemen terhadap Skandal Kimia Farma, Tbk yaitu pada mantan direksi PT Kimia Farma Tbk terbukti melakukan pelanggaran dalam kasus mark-up laba bersih pada laporan keuangan tahun buku 2001. Pihak manajemen menciptakan rekayasa keuangan sehingga dengan sengaja membuat kesalahan didalam pencatatan laporan keuangan Kimia Farma tahun buku 2001. Hal ini tentu menimbulkan pernyataan yang menyesatkan kepada pihak yang berkepentingan. Aktivitas manipulasi pencatatan laporan keuangan yang dilakukan oleh manajemen tentunya tidak terlepas dari bantuan akuntan. KAP seharusnya bertindak secara independen karena mereka adalah pihak yang bertugas memeriksa dan melaporkan adanya ketidakwajaran dalam pencatatan laporan keuangan. Pada kenyataannya KAP HTM tidak menemukan ketidakwajaran didalam laporan auditnya pada tahun 2001, tetapi pada saat Kementrian BUMN meminta KAP HTM menyajikan kembali (restated) laporan keuangan

Kimia Farma tahun 2001, hasilnya HTM mengoreksi laba bersih Kimia Farma menjadi 99 Milyar untuk tahun 2001. Hal tersebut telah menyebabkan akuntan publik HTM ikut bersalah dalam manipulasi laporan keuangan. Karena sebagai seorang auditor independen akuntan HTM seharusnya mengetahui laporan-laporan yang diauditnya itu apakah berasal dari laporan fiktif atau tidak. Keterkaitan Manajemen Resiko Etika disini adalah pada pelaksanaan audit oleh KAP HTM selaku badan independen, kesepakatan dan kerjasama dengan klien/StakeHolder (PT. Kimia Farma), dan pemberian opini atas laporan keuangan Klien. Dalam Kasus ini, jika dipandang dari sisi KAP HTM, maka urutan stakeholder utama ditinjau dari segi kepentingan stake holder adalah: 1. Klien atau PT Kimia Farma Tbk 2. Pemegang saham 3. Masyarakat luas Dalam kasus ini, KAP HTM menghadapi sanksi yang cukup berat dengan dihentikannya jasa audit mereka. Hal ini terjadi bukan karena kesalahan KAP HTM semata yang tidak mampu melakukan review menyeluruh atas semua elemen laporan keuangan, tetapi lebih karena kesalahan manajemen Kimia Farma yang melakukan aksi manipulasi dengan penggelembungan nilai persediaan. Kasus yang menimpa KAP HTM ini adalah resiko inheren dari dijalankannya suatu tugas audit. KAP HTM seharusnya menyadari bahwa kemungkinan besar akan ada resiko manipulasi seperti yang dilakukan PT. Kimia Farma, mengingat KAP HTM adalah KAP yang telah berdiri cukup lama. Resiko ini berdampak pada reputasi HTM dimata pemerintah ataupun publik, dan pada akhirnya HTM harus menghadapi konsekuensi resiko seperti hilangnya kepercayaan publik dan pemerintah akan kemampuan HTM, penurunan pendapatan jasa audit, hingga yang terburuk adalah kemungkinan di tutupnya kantor Akuntan tersebut. Diluar resiko bisnis, resiko etika yang dihadapi KAP HTM ini cenderung pada kemungkinan dilakukannya kolaborasi dengan manajemen Kimia Farma dalam manipulasi laporan keuangan. Manajemen resiko yang dapat diterapkan oleh KAP HTM antara lain, yaitu: 1. Mengidentifikasi dan menilai resiko etika Pengidentifikasian dan penilaian resiko etika dapat diaplikasikan pada tindakan sebagai berikut: a. Melakukan penilaian dan identifikasi para stake holder HTM, HTM selayaknya membuat daftar mengenai siapa stake holder yang berkepentingandan apa harapan

stakeholder. Tujuannya yaitu KAP HTM dapat melakukan penilaiandalam pemenuhan harapan stakeholder melalui pembekalan kepada para auditor senior dan junior sebelum melakukan audit pada Kimia Farma. b. Mempertimbangkan kemampuan SDM HTM dengan ekspektasi para stakeholder, dan menilai risiko ketidak sanggupan SDM HTM dalam menjalankan tugas auditc. Mengutamakan reputasi KAP HTMYaitu dengan berpegang pada nilai-nilai hypernorm, seperti kejujuran,kredibilitas,reliabilitas, dan tanggung jawab. Faktor-faktor tersebut bisa menjadi kerangka kerja dalam melakukan perbandingan.Empat tahapan ini akan menghasilkan data yang memungkinkan Pimpinan KAPHTM dapat mengawasi adanya peluang dan risiko etika, sehingga dapat ditemukancara untuk menghindari dan mengatasi risiko tersebut, serta agar dapat secarastrategis mengambil keuntungan dari kesempatan tersebut. 2. Menerapkan strategi dan taktik dalam membina hubungan strategis dengan stakeholder KAP HTM dapat melakukan pengelompokan stake holder dan meratingnya dari segikepentingan, dan kemudian menyusun rencana untuk berkolaborasi dengan stake holder yang dapat memberikan dukungan dalam penciptaan strategi, yang dapat memenuhiharapan para stake holder HTM.

BAB III KESIMPULAN

1. 2. 3.

Resiko etika adalah suatu kemungkinan dilanggarknya etika yang disebabkan oleh ketidakmampuan perusahaan/institusi dalam memenuhi harapan. Manajemen resiko etika adalah tata kelola yang menjunjung kode etik sehingga dapat meminimalkan ketidakmampuan perusahaan dalam memenuhi harapan stakeholder. Kehancuran praktek bisnis yang terjadi beberapa tahun belakangan ini disebabkan oleh pengabaikan etika oleh pihak bisnis dan pihak terkait sehingga hasilnya membawa dampak kerugian bagi praktik bisnisnya. Oleh sebab itu perusahaan memerlukan manajemen resiko etika.

4.

Manajemen krisis adalah suatu pengelolaan, penanggulangan, pengendalian krisis hingga pemulihan citra perusahaan, sangat dibutuhkan untuk menghindari masalah yang timbul dari pengabaian resiko etika yang ada.

REFERENSI

Brooks, Leonard J. 2006. Business & Professional Ethics for Accountants . Canada: SouthWestern College Publishing. http://www.scribd.com/doc/11460206/Resiko-Etika-Dan-Manajemen-Resiko-Etika

You might also like