You are on page 1of 3

MANAJEMEN SEKOLAH EFEKTIF

Oleh: Drs. Aulia Reza Bastian, M.Hum


(Sekjen Dewan Pendidikan Prop. DIY)

Penerapan otonomi pendidikan harus segera “ditangkap” sebagai momentum untuk


memulai perubahan. Dan apabila ini sudah kita sepakati, maka setidaknya ada beberapa
mata rantai target treatment peningkatan mutu pendidikan yang harus digarap secara
simultan di tanah air, khususnya di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang sudah
mencanangkan diri sebagai Kota Pendidikan Terkemuka pada tahun 2020. Target
Treatment yang paling mendesak, adalah (1) Melakukan pemberdayaan guru agar
menjadi professional, karena para guru inilah sebagai “ujung tombak” dan “peraga
utama” keberhasilan dari otonomi pendidikan dengan segala derivasinya. (2)
Melakukan perubahan Budaya Sekolah dari format “penyeragaman”, merasa paling
serba tahu dan tersentralistik menjadi “Lembaga Jasa Persekolahan” (selain pengemban
tugas civitas akademika tentunya) yang mempunyai sikap mandiri, demokratis dan
kreatif, di mana sekolah dijalankan dengan system manajemen secara terbuka bersama
para stake holdernya: praktisi pendidikan, orang tua, tokoh masyarakat, dunia usaha dan
siswa sendiri sebagai konsumen atau pengguna jasa sekolah. Sudah barang tentu dengan
mengutamakan kepentingan lokalitas berbasis peluang global, minimal regional
sehingga cita-cita pemberdayaan daerah bisa lebih cepat tercapai. (3) Mengupayakan
“Kesadaran Manusia Global” di sekolah melalui penghadiran Teknologi Informasi dan
kesadaran “Multi Culture” secara simultan, baik teknologi selaku hardware maupun
muatan multi culturenya selaku software.

Dengan demikian “Solusi Hybrida” yang cocok untuk menyokong ketiga kepentingan
di atas adalah melakukan kemandirian dan demokratisasi pendidikan secara simultan
melalui pelaksanaan otonomi sekolah berbasis School Based Management dan
Teknologi Informasi. Karena melalui “format hybrida” inilah materi makro
pendidikkan (filosofi, paradigma, tujuan, strategi dan kurikulum pendidikan yang
diberlakukan), mikro pendidikan (pengelolaan, proses belajar mengajar dan materi ajar)
meso pendidikan (dukungan masyarakat) yang berkaitan dengan kemandirian dan
demokratisasi bangsa dapat diberikan secara simultan-kontekstual dan teraplikasi secara
eksplisit di dalam sekolah sebagai struktur pengkondisian proses kemandirian (hakekat
dari kebijakan otonomi daerah), demokrasi dan pembangunan masyarakat madani.

Salah satu implementasi dari semangat “untuk berubah”, betapapun masih sebatas uji
coba dan tahap awal pelaksanaan, dunia pendidikan kita sudah mulai menerapkan model
Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Management). Ciri demokratik dari sistem
persekolahan ini adalah setiap lembaga sekolah diperbolehkan mengembangkan dirinya
berdasarkan (1) Visi dan Misi Masing-masing Sekolah. Artinya bahwa sekolah diberikan
peluang sebesar-besarnya untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian
dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia
berdasarkan visi dan misi lembaganya. (2) Kondisi objektif komunitas masyarakatnya.
Dengan kata lain bahwa sekolah berhak dan berkewajiban untuk meningkatkan
kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui
pengambilan keputusan bersama. (3) Kondisi Objektif Sekolah Bersangkutan. Ini
termasuk meningkatkan tanggungjawab sekolah kepada orang tua, sekolah, dan
pemerintah tentang mutu sekolah serta meningkatkan kompetensi yang sehat antar
sekolah untuk pencapaian mutu pendidikan yang diharapkan.

Dalam operasionalnya, ketiga hal itu harus didukung oleh konfigurasi segitiga peran
pendidikan: Sekolah, keluarga dan masyarakat untuk duduk bersama dalam membahas
kebutuhan-kebutuhan pengembangan sumber daya lokal dengan difasilitasi oleh
pemerintah (Dinas Pendidikan). Dengan demikian “Manajemen Sekolah” tidak lagi
sentralistik dan bersifat seragam menunggu “juklak” dan “juknis” dari pusat. Lebih dari
itu, takkan terjadi lagi sekolah-sekolah di daerah tertentu misalnya, merasa “dipasung”
karena harus mengikuti target-target capaian yang sama persis dengan kehendak
“pusat”.

Akan tetapi, School Based Management bukanlah tanpa resiko. Ia ibarat pisau yang
bermata dua. Bahayanya adalah apabila kita gagal menyiapkan proses “alih mental” dan
“rekulturisasi system” lebih pada ethos managerialnya dari pada sekedar tiruan prosedur
fisiknya, maka yang akan terjadi adalah munculnya “raja-raja kecil”, yaitu perilaku
“pengelola sekolah” yang menerapkan wewenang dan kekuasaannya dengan semena-
mena tanpa memiliki dasar konsep yang benar. Jika demikian yang terjadi hasilnya
adalah malapetaka pendidikan. School Based Management membutuhkan “perubahan
budaya” dari budaya kepemimpinan otoriter ke demokratik, dan dari budaya tergantung
kepada budaya mandiri dan kreatif.

Budaya manajerial kita masih jauh dari demokratik, partisipatif pun belum. Dalam unit-
unit pendidikan kita, masih banyak sekali enclave-enclave (pulau-pulau) si “raja kecil”.
Transparansi masih satu kemewahan, duduk sama rendah juga masih satu keajaiban.
Padahal system demokratik School Based Management membutuhkan egalitarianisme
yang tinggi.

Lalu apa solusinya? Tentulah bukan menghentikan program School Based Management
(SBM). Program ini adalah sudah kehendak zaman. Artinya bahwa SBM merupakan
tuntutan dunia atau masyarakat pendidikan untuk menuju ke peradaban baru pendidikan
Indonesia. Tidaklah berlebihan apabila kita menyebut SBM sebagai manajemen
sekolah paradigma holistik.

Seiring dengan telah dicanangkannya Jogja sebagai Kota Berbasis Teknologi Informasi
pada tahun 2005 ini, maka percepatan untuk mengimplementasikan SBM secara tepat,
cepat, baik dan benar mejadi lebih memungkinkan.

Ilustrasi yang paling sedehana adalah bahwa kenyataan dilapangan, untuk menerapkan
manajemen sekolah yang efektif adalah hal yang sangat sulit apabila dilakukan secara
manual. Kita ketahui bersama untuk aktivitas administrasi saja (diluar pekerjaan
akademik/proses belajar-mengajar dan pengelolaan stake holder), seperti set up data
(pengolahan data dan transaksi, pelaporan dan evaluasi, pengendalian dan pengawasan,
pengambilan keputusan), data kepegawaian, data siswa, aktivitas semester, evaluasi
hasil belajar, pengelolaan nilai dan kompetensi, pengelolaan ujian akhir, proses
penyusunan raport, proses kenaikan kelas, laporan nilai per mata pelajaran per siswa,
laporan-laporan rekap lainnya seperti ditribusi nilai per matapelajaran, rekap kenaikan
kelas, rekap kelulusan dan segudang tugas-tugas lainnya.
Contoh kecil tentang tugas-tugas di atas, tentulah menjadi hambatan yang cukup serius
apabila tidak segera diantisipasi, apalagi dengan penerapan kurikulum 2004 dan
tantangan global yang baru yang lebih menekankan kepada proses (di samping content).
Dengan pendekatan alat bantu Teknologi Informasi dengan sub system informasi
manajemen sekolah, maka segudang filing-filing data dan pekerjaan dapat digantikan
dengan sebuah software system informasi manajemen.

Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas, maka perlu kiranya untuk melaksanakan
program yang disusun berdasarkan skala prioritas penanganan isu berdasarkan
implementasi manajemen sekolah efektif guna peningkatan mutu pendidikan di DIY.
Tahapan dan bentuk-bentuk program tersebut adalah sebagai berikut: (1) Jangka
Pendek: (a) Menyebarluaskan dan mengintroduksi terlebih dahulu perspektif “otonomi
sekolah atas dasar School based management (SBM) dan Teknologi Informasi”,
sehingga menjadi suatu keperdulian yang mendalam dari para pengelola
pendidikan/guru guna mewujudkan renstra DIY sebagai kota pendidikan terkemuka
tahun 2020. (b) Mendistribusikan perangkat keras (hardware) dan lunak (software)
pendidikan yang paling urgent dan mendesak dengan step by step dan terpadu agar
terhindar dari “gegar budaya” atau guncangan budaya karena “gagap teknologi”. (c)
Pelatihan Teknologi Informasi untuk Pemberdayaan Pendidikan. Aspek terpenting lain
dari SBM adalah pada basis IT atau Teknologi Informasinya. IT sendiri sebagai produk
“kebudayaan lain” yang berbeda dari kebudayaan agraris. Ia memerlukan suatu proses
internalisasi tersendiri. Didalamnya mengandung proses adopsi, sesuatu yang tak jarang
menimbulkan “bencana” mengerikan tapi tidak disadari. Pembudayaan IT ini juga butuh
suatu treatment tersendiri yang perlu didekati dalam “satu tarikan nafas” atau
Simultansi Rekulturisasi berdasarkan materi terpadu. Untuk maksud tersebut, pelatihan
teknologi informasi ini pada tahap awalnya akan lebih di arahkan pada pelatihan dasar-
dasar internet dan cara-cara pemanfaatan Sistem Aplikasi Manajemen Administrasi
Sekolah, sehingga efektifitas keberfungsiannya sebagai media komunitas sekolah untuk
meningkatkan manajemen sekolah yang efektif. (2) Program Jangka Menengah dan
Panjang. Program jangka pendek di atas diharapkan dapat menyediakan media
komunitas sekolah (pengelola, kepala sekolah dan guru). Komunitas ini diharapkan
menjadi ujung tombak keberhasilan manajemen sekolah yang efektif atas dasar School
Based Management. Lebih dari pada itu “ujung tombak-ujung tombak” ini menjadi
pemicu tumbuhnya media komunitas antar guru, antar sekolah, dan antar stake holder
pendidikan di propinsi DIY. Artinya dalam jangka menengah perlu diusahakan untuk
pengembangan situs pendidikan (on-line) di mana secara hakikat dia berperan juga
sebagai klinis pendidikan. Dan dalam jangka panjang tentulah ini menjadi dasar
pencanangan Jogja sebagai Cyber City.

You might also like