You are on page 1of 26

BAB II Tinjauan Pustaka

2.1 Anatomi Bola Mata Secara embriologis proses pembentukan mata dimulai pada minggu ke 4 masa embrio. Proses pembentukan mata berasal dari 3 sumber yaitu 1. Penonjolan forebrain yang akan membentuk retina dan saraf optik 2. Permukaan ektoderm yang akan diinduksi menjadi lensa dan beberapa struktur pelengkap di bagian depan mata. 3. Jaringan mesenkim yang mengumpul membentuk tunika dan struktur-struktur yang berkaitan dengan orbita. Dinding bola mata disusun oleh 3 tunika (lapisan) (Gb-1 dan Gb-2) yaitu: a) Tunika fibrosa (lapis sklera-kornea) merupakan lapisan luar bola mata terdiri atas sklera dan kornea. b) Tunika vaskularis (lapis uvea) merupakan lapisan tengah bola mata terdiri atas khoroid, badan siliaris dan iris. c) Tunika neuralis (lapis retina) merupakan lapisan dalam bola mata terdiri atas retina.1 Bagian mata meliputi: 1) Bola mata (bulbus okuli) 2) Nervus optikus saraf otak, merupakan saraf otak yang menghubungkan bulbus okuli dengan otak dan merupakan bagian penting dari pada organ Visus. 3) Turika okuli: kornea dan sclera 4) Tunika vaskulosa: korioid, korpus siliaris, iris dan pupil. 5) Tunika nervosa: merupakan bagian terdalam bola mata disebut retina. 3 bagian retina adalah: a. Pars optika retina, dimulai dari kutub belakang bola mata sampai didepan khatulistiwa bola mata. b. Pars siliaris merupakan lapisan yang dilapisi bagian dalam korpus siliaris. c. Pars iridika melapisi bagian permukaan belakang iris. 3

Gambar 1 Anatomi Bola Mata2 2.2 Retina 2.2.1 Lapisan dan Fungsi Retina Retina, merupakan bagian mata yang mengandung reseptor yang menerima rangsangan cahaya. Retina berbatas dengan koroid dengan pigmen epitel retina, dan terdiri atas lapisan : Lapisan Fotoreseptor, merupakan lapis terluar retina terdiri atas sel batang yang mempunyai bentuk ramping dan sel kerucut Lapisan Limitan Eksterna, yang merupakan membran ilusi Lapisan Nukleus luar, merupakan susunan lapis nukleus sel kerucut dan batang. Ketiga lapis diatas avaskular dan mendapatkan metabolisme dari kapiler koroid Lapisan Pleksiform Luar, merupakan lapis aselular dan merupakan tempat sinapsis sel fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal. Lapisan Nukleus Dalam, merupakan tubuh sel bipolar, sel horizontal dan sel Muller. Lapis ini mendapat metabolisme dari arteri retina sentral Lapis Pleksiform Dalam, merupakan lapis aselular merupakan tempat sinapsis sel bipolar, sel amakrin dengan sel ganglion 4

Lapisan Sel Ganglion, yang merupakan lapis badan sel daripada neuron kedua.

Lapis serabut Saraf, merupakan lapis akson sel ganglion menuju ke arah saraf optik. Di dalam lapisan-lapisan ini terletak sebagian besar pembuluh darah retina.

Membran Limitan Interna, merupakan membran hialin antara retina dan badan kaca. Warna retina biasanya jingga dan kadang-kadang pucat pada anemia dan

iskemia, merah pada hiperemia. Pembuluh darah di dalam retina merupakan cabang arteri oftalmika, arteri retina sentral masuk retina melalui papil saraf optik yang akan memberikan nutrisi pada retina dalam. Lapisan luar retina atau sel kerucut dan batang mendapat nutrisi dari koroid Untuk melihat fungsi retina maka dilakukan pemeriksaan subyektif retina seperti, tajam penglihatan, penglihatan warna, dan lapang pandangan.

Pemeriksaan obyektif adalah elektroretina (ERG), elektrookulografi (EOG), dan visual evoked respons (VER) (Sidarta.2011).

Gambar 2. Lapisan-lapisan retina 2.3 Retinopati Diabetik 2.3.1 Pengertian

Retinopati diabetik adalah suatu mikroangiopati progresif yang ditandai oleh kerusakan dan sumbatan pembuluh-pembuluh halus, meliputi arteriol prekapiler retina, kapiler-kapiler dan vena-vena (Lubis, 2007). Retinopati diabetik adalah kelainan retina (retinopati) yang ditemukan pada penderita diabetes melitus. Retinopati akibat diabetes melitus lama berupa aneurismata, melebarnya vena, perdarahan dan eksudat lemak (Sidarta. 2011). 2.3.2 Epidemiologi Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan yang paling sering dijumpai, terutama di Negara barat. Kira-kira 1 dari 900 orang berusia 25 tahun mengidap diabetes dan kira-kira 1 dari 25 orang berusia 60 tahun adalah penyandang diabetes. Retinopati diabetik jarang ditemukan pada anak-anak di bawah umur 10 tahun tanpa memperhatikan lamanya diabetes. Resiko

berkembangnya retinopati meningkat setelah pubertas (Lubis, 2007). Prevalensi retinopati diabetik lebih tinggi pada diabetes tipe I (40%) daripada diabetes tipe II (20%). (Kansky, 2003) Hampir 16 juta penduduk Amerika mengalami diabetes, dan 50% dari mereka tidak menyadarinya. Bagi mereka yang mengetahui bahwa dirinya mengalami diabetes, hanya separo yang mendapatkan perawatan mata yang memadai. Sehingga tidak mengherankan bahwa retinopati diabetik membawa pada kasus kebutaan pada usia 25-74 tahun di Amerika Serikat, dengan angka lebih dari 8000 kasus baru kebutaan tiap tahun. Hal ini menunjukkan bahwa diabetes bertanggung jawab terhadap 12% terjadinya kebutaan (Bhavsar, 2009). Peningkatan risiko retinopati diabetik terjadi pada penduduk asli Amerika, Hispanic, keturunan Afrika-Amerika. Jenis kelamin tidak menunjukkan pengaruh terhadap berkembangnya diabetes atau retinopati diabetik. Dengan meningkatnya durasi diabetes, atau dengan bertambahnya usia sejak onset diabetes, semakin tinggi risiko berkembangnya retinopati diabetik dan komplikasi retinopati diabetik, termasuk edema macula atau proliferative diabetic retinopathy (Bhavsar, 2009). Data Poliklinik Mata RS. Cipto Mangunkusumo (RSCM) yang tidak dipublikasikan menunjukkan bahwa retinopathy DM merupakan kasus terbanyak yang dilayani di Klinik Vitreo-Retina. Dari seluruh kunjungan pasien Poliklinik Mata 6

RSCM, jumlah kunjungan pasien dengan retinopati diabetik meningkat dari 2,4 persen tahun 2005 menjadi 3,9 persen tahun 2006. Angka kejadian retinopathy DM diabetik dipengaruhi tipe diabetes melitus (DM) dan durasi penyakit. Pada DM tipe I (insuln dependent atau juvenile DM ), yang disebabkan oleh kerusakan sel beta pada pankreas, umumnya pasien berusia muda (kurang dari 30 tahun), retinopati diabetik ditemukan pada 13 persen kasus yang sudah menderita DM selama kurang dari 5 tahun, yang meningkat hingga 90 persen setelah DM diderita lebih dari 10 tahun. Pada DM tipe 2 (non-insulin dependent DM), yang disebabkan oleh resistennya berbagai organ tubuh terhadap insulin (biasanya menimpa usia 30 tahun atau lebih), retinopati diabetik ditemukan pada 24-40 persen pasien penderita DM kurang dari 5 tahun, yang meningkat hingga 53-84 persen setelah menderita DM selama 15-20 tahun.

Gambar 3. Prevalensi Retinopati Diabetik di dunia 2.4 Etiologi dan Patogenesis Etiologi Penyebab pasti retinopati diabetik belum diketahui. Tetapi diyakini bahwa lamanya terpapar pada hiperglikemia (kronis) menyebabkan perubahan fisiologi dan biokimia yang akhirnya menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah. Hal ini didukung hasil pengamatan bahwa tidak terjadi retinopati pada orang muda dengan diabetes tipe I paling sedikit 3-5 tahun setelah awitan penyakit ini. Hasil serupa telah diperoleh pada diabetes tipe-2, tetapi pada pasien ini, onset dan lama penyakit lebih sulit ditentukan secara tepat (Lubis, 2007).

Perubahan abnormalitas hematologi dan biokimia dihubungkan dengan prevalensi dan beratnya retinopati, meliputi (Lubis, 2007): Adhesi platelet yang meningkat Agregasi eritrosit yang meningkat Abnormalitas lipid serum Fibrinolisis yang tidak sempurna Abnormalitas dari sekresi hormone pertumbuhan Abnormalitas serum dan viskositas darah

Patogenesis Mekanisme pasti mengapa diabetes menyebabkan retinopati masih belum jelas diketahui, tetapi beberapa teori menjelaskan mengenai beberapa cara dan perjalanan penyakit ini (Yanoff & Duker ,2008). Perubahan abnormalitas sebagian besar anatomis, hematologi dan biokimia telah dihubugkan dengan prevalensi dan beratnya retinopati antara lain: Perubahan anatomis Capilaropathy Degenerasi dan hilangnya sel-sel perisit Proliferasi sel endotel Penebalam membrane basalis

Sumbatan microvaskuuler Arteriovenous shunts Intraretinal microvascular abnormalities (IRMA) Neovaskularisasi Angiogenic growth factor yang menyebabkan pembentukan pembuluh darah baru pada retina dan discus opticus (pada proliferative DR) atau pada iris (rubeosis iridis)

Perubahan hematologi: Peningkatan sifat agregasi trombosit dan peningkatan agregasi eritrosit yang meningkatkan abnormalitas serum dan viskositas darah. Abnormalitas lipid serum Fibrinolisis yang tidak sempurna 8

Abnormalitas dari sekresi growth hormone

Perubahan biokimia Jalur poliol Hiperglikemia yang berlangsung lama akan menyebabkan produksi

berlebihan serta akumulasi dari poliol, yaitu senyawa gula dan alcohol, dalam jaringan termasuk dilensa dan saraf optic. Salah satu sifat dari senyawa poliol adalah tidak dapat melewati membrane basalis sehingga akan tertimbun dalam jumlah banyak didalam sel. Senyawa poliol menyebabkan penigkatan tekanan osmotic sel dan menimbulkan gangguan morfologi maupun fungsional sel. Glikasi nonenzimatik Glikasi nonenzimatik terhadap protein dan DNA yang terjadi selama hiperglikemi dapat menghambat aktivitas enzim dan keutuhan DNA. Protein yang teroglikosilasi membentuk radikal bebas dan akan menyebabkan perubahan fungsi sel. Protein kinase C Protein kinase C (PKC) diketahu memiliki pengaruh terhadap pemeabilitas vascular, kontraktilitas, sintesi membrana basalis dan proliferasi sel vascular. Dalam kondisi hiperglikemia aktivitas PKC di retina dan sel endotel meningkat akibat peningkatan sintesi de novo dari diasilgliserol, suatu regulator PKC yang berasal dari glukosa. Faktor lain yang terkait dengan diabetes mellitus yang dapat mempengaruhi prognosis dari DR seperti; Arteriosklerosis dan hipertensi Hipoglikemia atau trauma yang dapat menimbulkan perdarahan mendadak Hiperlipoproteinemi, mempengaruhi arteriosklerosis, sehingga mempercapat perjalanan penyakit Kehamilan pada penderita diabetes juvenile yang tergantung pada insulin dapat menimbulkan perdarahan dan proliferasi. Frank RN mengemukakan beberapa hipotesis mengenai mekanisme pathogenesis DR: Tabel 1. Hipotesis mekanisme pathogenesis Retinopati Diabetik 9

Mekanisme Aldose Reduktase

Cara Kerja Meningkatkan produksi

Terapi sorbitol, Aldose reduktase

menyebabkan kerusakan sel Inflamasi Meningkatkan perlekatan leukosit Aspirin pada endotel kapiler, hipoksia,

kebocoran, edema macula Protein Kinasi C Mengaktifkan VEGF, diaktifkan oleh Inhibitor terhadap PKC DAG pada hiperglikemia ROS B-Isoform

Menyebabkan kerusakan enzim dan Antioksidan komponen sel yang penting untuk survival

AGE NOS

Mengaktifkan enzim perusak Meningkatan bebas, produksi

Aminoguanidin radikal Aminoguanidin

menyebabkan

hambatan

dalam metabolisme sel Apoptosis perisit endotel VEGF Meningkatkan menimbulkan hipoksia kebocoran, retina, Fotokoagulasi edema retinal pan dan sel Penurunan aliran darah ke retina , sel meningkatkan hipoksia

macula, neovascularisasi PEDF Menghambat vaskularisasi,

menurun pada hiperglikemia GH dan IGF-1 Merangsang neovaskularisasi Hipofisektomi, receptor octreotide Growth hormone Growth hormone diduga berperan penting pada progresifitas diabetic retinopathy. Kejadian retinopathy DM ternyata sangat rendah pada wanita dengan perdarahan post partum akibat nekrosis pituitari. Penemuan ini memicu GHblocker,

dilakukannya ablatio kelenjar pituitari sebagai tindakan pencegahan dan engobatan pada retinopathy DM pada tahun 1950. Teknik pengobatan tersebut sudah dilarang 10

karena ternyata menimbulkan komplikasi sistemik dan seiring ditemukannya teknik pengobatan laser. Platelets dan blood viscosity Berbagai kelainan hematologi pada DM seperti peningkatan agregasi eritrosit, penurunan deformability eritrosit, meningkatnya agregasi trombosit dan adhesi memicu gangguan sirkulasi, defek endotel dan oklusi kapiler fokal yang menyebabkan iskemia retina yang pada akhirnya berkembang menjadi retinopathy DM. Aldose reductase dan vasoproliferative factors DM menyebabkan abnormalitas dari metabolisme glukosa akibat aktivitas atau produksi insulin yang menurun. Meningkatnya kadar glukosa darah mempunyai dampak pada perubahan anatomis dan fungsional dari kapiler retina. Pada DM terjadi persistensi kadar glukosa darah yang tinggi menyebabkan glukosa yang berlebih dalam aldose reductase pathway terbentuk di jaringan, yang mengubah gula menjadi alkohol (glukosa menjadi sorbitol, galaktosa menjadi dulcitol). Perisit intramural pada kapiler retina terkena pengaruh dari peningkatan kadar gula darah oleh karena kadar aldosteron reduktse yang tinggi memicu hilangnya fungsi utama dari perisit dalam hal autoregulasi kapiler retina. Hilangnya fungsi dari perisit menyebabkan kelemahan dinding kapiler sehingga terbentuk kantung pada dinding kapiler (saccular outpouching of capillary walls) yang dikenal sebagai

mikroaneurisma. Mikroaneurisma merupakan tanda paling awal untuk deteksi retinopathy DM.

Gambar 3. Fundus pada Background Retinopathy DM dengan gambaran multipel mikroaneurisma 11

Ruptur mikroaneurisma menyebabkan perdarahan retina yang dapat terjadi superfisial (flame-shaped hemorrhages) atau pada lapisan retina yang lebih dalam (blot and dot hemorrhages).

Gambar 4. Background diabetic retinopathy: blot hemorrhages (kepala panah), mikroaneurisma (panah pendek) dan hard exudates (panah panjang) Peningkatan permeabilitas yang terjadi menyebabkan kebocoran cairan dan material protein yang secara klinis tampak sebagai penebalan retina dan eksudat. Apabila pembengkakan dan eksudasi mencakup makula maka terjadi penurunan visus. Edema makula adalah penyebab tersering penurunan visus pada pasien dengan nonproliferative diabetic retinopathy (NPDR). Gejala tersebut tidak hanya ditemukan pada pasien denan NPDR namun juga dapat terjadi pada pasien proliferative diabetic retinopathy (PDR). Seiring dengan progesifitas penyakitnya dapat terjadi oklusi dari kapiler retina yang dapat menyebabkan hipoksia. Infark pada nerve fiber layer dapat menyebabkan terbentukanya cotton-wool spots (CWS) yang berhubungan dengan stasis pada axoplasmic flow. Keadaan hipoksia retina lebih lanjut menyebabkan terjadinya mekanisme kompensasi pada mata untuk menjaga suplai oksigen yang cukup ke jaringan. Kelainan diameter vena seperti venous beading, loops, dan dilation menandakan proses peningkatan hipoksia dan hampir selalu tampak pada perbatasan dengan area non perfusi. Intraretinal microvascular abnormalities (IRMA) menandakan adanya proses pertumbuhan pembuluh darah baru atau remodelling dari pembuluh darah sebelumnya melalui proliferasi endotel pada jaringan retina yang berperan sebagai pintas (shunt) melalui daerah non perfusi. Keadaan iskemia retina lebih lanjut memicu produksi dari faktor vasoproliferatif seperti vascular endothelial growth

12

factor (VEGF) yang memicu pembentukan pembuluh darah baru. Matriks ekstraselular pertama-tama dihancurkan dahulu dengan protease dan pembuluh darah baru kemudian dibentuk melalui penetrasi venula retina pada internal limiting membrane dan dari jaringan kapiler antara permukaan dalam retina dan bagian posterior hyaloid (the posterior hyaloid face).

Gambar 5. Neovaskularisasi pada Permukaan Retina Neovaskularisasi sering ditemukan pada perbatasan area perfusi dan non perfusi dan juga pada papila nervi opticus. Neovaskularisasi tumbuh menembus permukaan retina dan ke dalam hyaloid posterior (the scaffold of the posterior hyaloid face). Pembuluh darah baru tersebut jarang menimbulkan gangguan visual. Pembuluh darah tersebut rapuh dan bersifat sangat permeabel sehingga gampang pecah oleh traksi vitreus yang menyebabkan perdarahan ke dalam vitreus dan ruang pre retina. Neovaskularisasi ini berhubungan dengan pembentukan jaringan fibroglial. Densitas dari neovaskular meningkat begitu pula dengan jaringan fibrotik namun pada tahapan yang lebih lanjut pembuluh darah ini mengalami regresi dan meninggalkan jaringan fibrotik avaskuler yang melekat pada retina dan hyaloid posterior. Pada saat terjadi kontraksi vitreus makan terjadi traksi pada retina melalui jaringan fibroglial yang dapat menyebabkan edema retina, heterotropia retina dan tractional retinal detachments serta retinal tear formation (Bhavsar, 2009). Kesehatan dan aktivitas metabolisme retina sangat tergantung pada jaringan kapiler retina. Kapiler retina membentuk jaringan yang menyebar keseluruh permukaan retina kecuali pada fovea. Kelainan dasar dari berbagai bentuk DR terletak pada kapiler retina tersebut.

13

Dinding kapiler retina terdiri dari tiga lapisan dari luar ke dalam yaitu sel perisit, membrane basalis dan sel endotel. Sel perisit dan sel endotel dihubungkan oleh pori yang terdapat pada membrane sel yang terletak diantara keduanya. Dalam keadaan normal, perbandingan jumlah sel perisit dan sel endotel kapiler retina adalah 1:1, sedangkan pada kapiler perifer yang lain perbandingan tersebut mencapai 20:1. Sel perisit berfungsi untuk mempertahankan struktur kapiler, mengatur kontraktilitas, membantu mempertahankan fungsi barier dan transportasi kapiler serta mengendalikan proliferasi endotel. Membrane basalis berfungsi sebagai barier dengan mempertahankan permeabilitas kapiler agar tidak terjadi kebocoran. Sel endotel saling berikatan erat satu sama lain dan bersama-sama dengan matriks ekstrasel membentuk barier yang bersifat selektif terhadap beberapa jenis protein dan molekul kecil termasuk bahan kontras fluorosensi yang digunakan untuk diagnosis penyakit kapiler retina. Perubahan histopatologis kapiler retina pada DR dimulai dari penebalan membrane basalis, hilangnya perist dan proliferasi endotel dimana pada keadaan lanjut perbandingan antara sel endotel dan sel perisit dapat mencapai 10:1. Patofisiologi DR melibatkan 5 proses dasar yang terjadi di tingkat kapiler: Pembentukan microaneurisma Peningkatan permeabilitas pembuluh darah Penyumbatan pembuluh darah Proliferasi pembuluh darah baru (neovasularisasi) dan jaringan fibrosa di retina Kontraksi dan jaringan fibrosis kapiler dan jaringan vitreus.

Penyumbatan dan hilangnya perfusi (nonperfusion) menyebabkan iskemia retina, sedangkan kebocoran dapat terjadi karena peningkatan permeabilitas kapiler itu sendiri. Kebutaan akibat DR dapat terjadi melalui beberapa mekanisme berikut Edema macula atau nonperfusi kapiler Pembentukan pembuluh darah baru pada DR proliferative dan kontraksi jaringan fibrosis yang menyebabkan ablation retina (retinal detachment) Pembuluh darah batu yang terbentuk menimbulkan perdarahan preretina dan vitreus 14

Pembentukan pembuluh darah baru dapat menimbulkan glaucoma Mulamula didapatkan kelainan pada kapiler vena, dimana dindingnya menebal dan mempunyai afinitas yang besar terhadap fluoresein.

Keadaan ini menebal, untuk waktu yang lama tanpa mengganggu penglihatan. Dengan melemahnya dinding kapiler, maka akan mudah terbentuk mikroaneurisma. Mulamula keadaan ini terlihat pada daerah kapiler vena sekitar macula, yang tampak sebagai titik-titik merah (dots) pada oftalmoskopi. Adanya 1-2 mikroaneurisma sudah cukup untuk mendiagnosis DR. Pada keadaan lanjut mikroaneurisma didapatkan sama banyak pada kapiler retina maupun arteri. Mikroaneurisma tersebut menimbulkan kebocoran, yang tempak sebagai edema, eksudat, perdarahan (dots/ blots). Adanya edema dapat mengancap ketajaman penglihatan jika terdapat pada daerah macula. Edema yang ringan dapat diabsorbsi, tetapi yang hebat dan lama dapat menimbulkan degenerasi kistoid. Bila degenerasi kistoid ini ditemukan pada makula (cystoid macular edema). Kebutaan yang terjadi adalah ireversibel. Perdarahan selain akibat kebocoran juga disebabkan oleh karena pecahnya mikroaneurisma. Kebocoran akibat mikroaneurisma dapat disertai dengan bocornya lipoprotein, yang tampak sebagai eksudat keras (hard exudates), menyerupai lilin putih kekuning-kuningan berkelompok seperti lingkaran atau cincin disekitar macula. Akibat dari perubahan isi dan dinding pembuluh darah, dapat menimbulkan peyumbatan yang dimulai dikapiler, ke arteriol, dan pembuluh darah besar. Akibat dari penyumbatan dapat tumbul hipoksia di ikuti dengan adanya iskemi kecil, dan timbulnya kolateral. Hipoksia mempercepat timbulnya kebocoran,

neovasularisasi,dan mikroaneurisma yang baru. Akibat hipoksia, timbul eksudat lunak yang disebut cotton wool spots/ patch yang merupakan bercak necrosis. Pembuluh darah vena melebar dengan lumen dan diameter yang tidak teratur. Disini juga terjadi kebocoran dan penyumbatan, sehingga dapat ditemukan perdarahan disepanjang pembuluh darah vena. Gangguan aliran darah vena juga merangsang timbulnya pembuluh darah baru yang dapat timbul dari pembuluh darah yang ada di papil atau lengkung pembuluh darah, tetapi selanjutnya dapat timbul dimana saja. Bentuknya dapat berupa gulungan atau berupa rete mirabile. Letaknya intraretina, menjalar menjadi preretina, intravitreal. Neovaskularisasi preretina dapat 15

diikuti oleh proliferasi sel glia. Dapat juga timbul arterio-venous shunts yang abnormal akibat pengurangan aliran darah arteri karena obstruksi arteriol. Neovaskularisasi disertai dengan tingkat kebocoran yang tinggi, kemudian diikuti dengan jaringan proliferasi. Bila jaringan fibrovaskuler ini mengkerut dapat menimbulkan perdarahan dan juga tarikan pada retina sehingga dapat

menyebabkan ablasi retina tipe tarikan, dengan atau tanpa robekan. Hal ini dapat menimbulkan penurunan ketajaman penglihatan sampai kebutaan. Perdarahan yang timbul dalam badan kaca dapat menyebabkan glaucoma hemoragikum, yang sangat sakit dan cepat menimbulkan kebutaan. Neovaskularisasi dapat timbul pada iris yang disebut dengan rubeosis iridis, yang dapat menimbulkan glaucoma sudut terbuka akibat tertutupnya sudut iris oleh pembuluh darah baru atau dapat juga karena pecahnya rubeoisis iridis. 2.5 Klasifikasi Retinopati Diabetic Berkaitan dengan prognosis dan pengobatan, maka retinopati diabetik dibagi menjadi dua, yaitu : retinopati diabetik non proliferative, atau dikenal juga dengan retinopati diabetik dasar (background diabetic retinopathy) dan retinopati diabetik proliferative (Bhavsar, 2009).

Gambar 6. Stadium Retinopati Diabetik 16

1. Retinopati Diabetik Non Proliferatif, atau dikenal juga dengan Background Diabetic retinopathy. Ditandai dengan: mikroaneurisma, perdarahan retina, eksudat, IRMA, dan kelainan vena a. Minimal: terdapat 1 tanda berupa dilatasi vena, mikroaneurisma, perdarahan intraretina yang kecil atau eksudat keras b. Ringan-sedang: terdapat 1 tanda berupa dilatasi vena derajat ringan, perdarahan, eksudat keras, cotton wool spots, IRMA c. Berat: terdapat 1 tanda berupa perdarahan dan mikroaneurisma pada 4 kuadran retina, dilatasi vena pada 2 quadran atau IRMA pada 1 quadran d. Sangat berat: ditamukan 2 tanda pada derajat berat. 2. Retinopati Diabetik Proliferatif. Ditandai dengan neovaskularisasi. a. Ringan (tanpa resiko tinggi): bila ditemukan minimal adanya neovaskular pada discus (NVD) yang mencakup < dari daerah diskus tanpa disertai perdarahan preretina atau vitreus, atau neovaskularisasi dimana saja diretina (NVE) tanpa disertai

perdarahan preretina atau vitreus. b. Berat (resiko tinggi): apabila ditemukan 3 atau 4 dari faktor resiko sebagai berikut : Ditemukan NVE Ditemukan NVD Pembuluh darah baru yang tergolong sedang atau berat yang mencakup > daerah diskus Perdarahan vitreus Adanya pembuluh darah baru yang jelas pada discus opticus atau setiap adanya pembuluh darah baru yang disertai perdarahan, merupakan 2 gambaran yang paling seing ditemukan pada retinopati proliferative resiko tinggi. Pembagian stadium menurut Daniel Vaughan dkk: Stadium I Mikroaneurisma yang merupakan tanda khas, tampak sebagai perdarahan bulat kecil didaerah papil dan macula Vena sedikit melebar 17

Histologis didapatkan mikroaneurisma dikapiler bagian vena didaerah nuclear luar

Stadium II Vena melebar Eksudat kecil-kecil, tampak seperti lilin, tersebar atau terkumpul seperti bunga (circinair/ rosette) yang secara histologist terletak didaerah lapisan plexiform luar

Stadium III Stadium II dan cotton wool patches, sebagai akibat iskemia pada arteriol terminal. Diduga bahwa cotton wool patches terdapat bila disertai retinopati hipertensif atau arteriosklerose.

Stadium IV Vena-vena melebar, cyanosis, tampak sebagai sosis, disertai dengan sheathing pembuluh darah. Perdarahan nyata besar dan kecil, terdapat pada semua lapisan retina, dapat juga preretina.

Stadium V Perdarahan besar diretina dan preretina dan juga didalam badan kaca yang kemudian diikuti dengan retinitis proliferans, akibat timbulnya jaringan fibrotic yang disebtai dengan neovaskularisasi. Retinitis proliferans ini melekat pada retina yang bila mengkerut dapat menimbulkan ablasi retina dan dapat mengakibatkan terjadinya kebutaan total.

2.6 Manifestasi Klinik Anamnesa Pada tahap awal pasien biasanya asymptomatic; namun demikian pada tahap yang lebih lanjut pasien biasanya mengeluhkan adanya gejala misalnya pandangan kabur, distorsi, atau penurunan ketajaman penglihatan (Bhavsar, 2009). Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik didapatkan (Bhavsar, 2009):

Microaneurysma
o o

Tanda awal diabetic retinopathy Terjadi pada dinding kapiler akibat pericyte loss 18

o o o o

Nampak titik merah kecil pada superficial retinal layers Akumulasi fibrin dan RBC pada lumen microaneurysma Rupture mengakibatkan bintik/bercak perdarahan Dapat nampak kekuningan pada saat sel endotel proliferasi dan memproduksi membran basalis

Bintik dan bercak perdarahan

Terjadinya ruptur microaneurysma pada lapisan dalam dari retina yaitu pada lapisan inner nuclear dan outer plexiform Nampak mirip dengan microaneurysma jika ukuran kecil; mungkin membutuhkan fluorescein angiography untuk membedakan keduanya

Flame-shaped hemorrhages pemecahan perdarahan yang terjadi pada lapisan nerve fiber yang lebih superfisial

Retinal edema dan hard exudates disebabkan oleh rusaknya blood-retina barrier, menyebabkan bocornya serum proteins, lipid, dan protein dari pembuluh darah Cotton-wool spot

Gambar 6. Cotton wool spots umum terlihat pada pasien diabetic retinopathy. Gambaran Ini terlihat akibat adanya miroinfark pada lapisan
o o o

Infark nerve fiber layer akibat occlusion dari precapillary arterioles Fluorescein angiography tidak ada capillary perfusion Sering kali dibatasi oleh microaneurysma dan hyperpermeabilitas vaskuler Sering kali berdekatan dengan area yang nonperfusion 19

Venous loops, venous beading


o

o o

Merupakan refleksi dari peningkatan iskemik retina prediktor paling signifikan dari progresi menjadi PDR

Abnormalitas Intraretinal microvascular


o o

Remodeling dari kapiler tanpa perubahan proliferatif Pembuluh darah kolateral yang tidak mengalami kebocoran pada

fluorescein angiography
o

Biasanya dapat ditemukan pada tepi dari retina yang tidak mendapatkan perfusi

Macular edema

Gambar 7. Penyebab utama gangguan penglihatan pada pasien dengan NPDR adalah edema macula. Edema macula disebabkan oleh adanya kebocoran vaskuler dan ischemia
o

Kondisi ini merupakan penyebab utama dari gangguan visual pada pasien dengan diabetes. Dilaporkan terdiagnosa tiap tahun. 75,000 kasus baru macular edema

o o

Kemungkinan akibat kerusakan fungsional dan nekrosis kapiler retina Clinically significant macular edema (CSME) didefinisikan sebagai:

Penebalan retinal

yang terletak 500 m atau kurang dari sentral

foveal avascular zone (FAZ)

Hard exudates dengan penebalan retina 500 m atau kurang dari sentral FAZ

Penebalan retina 1 disc area atau lebih yang terletak pada 1 disc diameter dari FAZ

Retinopati Diabetes Proloferasi 20

Pada retinopati diabetes proliferasi 50 % pasien biasanya buta sesudah 5 tahun, regresi spontan dapat pula terjadi. Gejala bergantung kepada luas, tempat kelainan dan beratnya kelainan. Umumnya berupa penurunan tajam penglihatan yang berlangsung perlahan. Fundus dapat ditemui kelainan-kelainan seperti diatas berupa : 1. Mikroaneurisma 2. Perdarahan Retina 3. Eksudat 4. Neovaskularisasi retina 5. Jaringan proloferasi di retina atau badan kaca. 2.7 Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan gula gdarah puasa dan hemoglobin A1c (HbA1c) merupakan tes laboratorium yang penting yang digunakan untuk membantu diagnosa diabetes. Kadar HbA1c juga penting untuk pengawasan jangka panjang pada pasien diabetes dan retinopati diabetes. Mengontrol diabetes dan memelihara kadar HbA1c dalam batas 6-7% merupakan tujuan dalam menejemen optimal diabetes and diabetic retinopathy. Jika kadar dapat dipelihara, kemudian progesifitas dari diabetic retinopathy dapat dikurangi secara substansial, berdasarkan DCCT (Bhavsar, 2009). Pemeriksaan imaging Fluorescein takternilai angiography dalam merupakan pemeriksaan dan penunjang yang

harganya

membantu

diagnosis

manajemen

diabetic

retinopathy (Bhavsar, 2009).


o

Microaneurysma dapat nampak sebagai pinpoint hyperfluorescence yang tidak terlalu besar tetapi pada tes kemudian akan memudar.

Noda dan titik perdarahan dapat dibedakan dengan microaneurysms karena hal tersebut tampak lebih hypofluorescent dibanding hyperfluorescent.

Daerah yang tidak mendapatkan perfusi yang baik nampak sebagai daerah homogen yang lebih gelap yang dibatasi oleh pembuluh darah yang mengalami oklusi.

IRMA merupakan bukti dari pembuluh darah kolateral yang tidak bocor, biasanya ditemukan pada tepi dari daerah retina yang tidak mendapatkan perfusi. 21

Pemeriksaan penunjang yang lain Pemeriksaan penunjang yang lain mungkin termasuk optical coherence tomography (OCT), yang mana menggunakan cahaya untuk which uses light to menghasilkan gambaran cross-sectional pada retina. Pemeriksaan ini biasanya digunakan untuk menentukan ketebalan retina dan mengetahui adanya edema pada retina sebaik menggunakan vitreomacular traction. Pemeriksaan ini lebih tepat digunakan untuk mendiagnosis dan menejemen dari diabetes dengan macular edema atau macular edema dengan klinis yang signifikan (Bhavsar, 2009). 2.8 Penatalaksanaan Terapi medikamentosa Terapi antiplatelet ETDRS melaporkan bahwa 650 mg aspirin sehari tidak mempengaruhi perkembangan retinopati, mempengaruhi ketajaman visual, atau mempengaruhi timbulnya perdarahan vitreous. Namun, terjadi penurunan yang signifikan pada morbiditas kardiovaskular pada kelompok dengan pemberian aspirin dibandingkan dengan kelompok plasebo. Plavix dan Ticlid, seperti hahnya aspirin, menghambat adenosin difosfat yang menginduksi agregasi platelet. Mereka telah terbukti mengurangi risiko stroke pada pasien dengan serangan iskemik transient, tetapi tidak ada bukti yang jelas yang menunjukkan dampak terhadap retinopati diabetes (Yanoff & Duker, 2008).

Agen antihipertensi Hipertensi dalam studi Diabetes, bagian dari United Kingdom Prospective Diabetes Study, mengevaluasi efek kontrol tekanan darah pada perkembangan retinopathy diabetes. Pasien diobati dengan inhibitor angiotensin-converting enzim (ACEIs) atau -bloker untuk mencapai kontrol "ketat" tekanan darah

(<150/85mmHg) atau kontrol "kurang ketat" (<180/105mmHg). Kelompok dengan kontrol tekanan darah yang lebih baik memiliki 37% pengurangan risiko perubahan mikrovaskuler. Tidak ada perbedaan efek antara dua agen yang digunakan. Lisinopril, sebuah ACEI, telah terbukti menurunkan perkembangan NPDR dan PDR darah normal pada penderita diabetes, juga. Pasien dalam studi ini dengan kontrol glisemik yang lebih baik manfaat lebih dari lisinopril (Yanoff & Duker, 2008). 22

Agen antiangiogenesis Beberapa efek farmakologis inhibitor angiogenesis sedang diselidiki. Obat anti-VEGF tersedia untuk pengobatan degenerasi makula. Mereka juga telah terbukti bermanfaat dalam pengelolaan retinopati diabetes. Penghambat protein kinase C, senyawa penting dalam kaskade yang mengaktifkan ekspresi VEGF, sedang diteliti secara aktif. Oral inhibitor protein kinase C telah ditunjukkan dapat menekan neovascularisasi retina pada hewan coba. Baru-baru ini, sebuah protein kinase C inhibitor telah terbukti mengurangi diabetes-induced kelainan hemodinamik pada pasien dengan retinopati diabetes dan mengurangi resiko penurunan visus pada pasien dengan edema makula. Namun tampaakna ini tidak untuk mencegah perkembangan dari retinopati diabetes (Yanoff & Duker, 2008). Terapi Bedah Panretinal photocoagulation Pada strudi Retinopati Diabetik membuktikan bahwa kedua busur xenon dan laser argon PRP secara signifikan dapat mengurangi kemungkinan mata dengan karakteristik risiko tinggi (HRC) mengalami kehilangan penglihatan parah (Yanoff & Duker, 2008). Mekanisme kerja PRP masih belum diketahui secara pasti. Beberapa peneliti merasa bahwa PRP mengurangi produksi faktor vasoproliferative dengan

menghilangkan beberapa hipoksia retina atau dengan merangsang pelepasan faktor antiangiogenic dari epitel pigmen retina (Yanoff & Duker, 2008).

Perifer retina cryotherapy Perifer retina cryotherapy digunakan untuk mengobati HRC di mata dengan media terlalu berkabut bila menggunakan PRP. Keuntungan teknik ini dilaporkan termasuk resorpsi dari perdarahan vitreous dan regresi NVD, NVE, dan NVI.

Komplikasi utamanya adalah percepatan pembangunan atau ablasi retina traksi di 25-38% dari mata. Oleh karena itu, teknik ini harus dihindari pada pasien dengan ablasi retina traksi, dan semua pasien harus dipantau secara hati-hati.

Pengobatan edema makula 23

Patz adalah yang pertama menunjukkan bahwa laser argon photocoagulation dapat mengurangi atau menstabilkan edema makula. Kemudian, ETDRS

mengkonfirmasi hasil ini. ETDRS mendefinisikan secara klinis edema makula yang signifikan sebagai (Yanoff & Duker, 2008): penebalan retina yang melibatkan pusat macula. Hard eksudat dalam 500m di pusat macula (jika dikaitkan dengan penebalan retina). Wilayah edema makula lebih besar dari satu daerah disk tetapi dalam satu diameter disk dari pusat macula.

Vitrectomy pada pasien diabetes Vitrectomy memainkan peranan penting dalam pengelolaan komplikasi parah retinopathy diabetes. Indikasi utama teknik ini adalah pada nonclearing vitreous hemorrhage, macular-involving atau macular-threatening traction retinal detachment, dan kombinasi traction-rhegmatogenous retinal detachment. Indikasi kurang

umumnya antara lain adalah macular edema dengan hyaloid posterior menebal dan tegang, membran epiretinal, perdarahan makula preretinal parah, dan glaukoma neovascular dengan media berawan (Yanoff & Duker, 2008). 2.9 Follow up Frekuensi follow up diwajibkan utamanya pada tahap awal retinopati dan tingkat progresifitasnya menjadi retinopati diabetik proliferatif (Bhavsar, 2009): Hanya 5% pasien dengan NPDR ringan akan berkembang menjadi PDR dalam 1 tahun, sehingga dapat dimonitor setiap 6-12 tahun Setidaknya 27% pasien dengan NPDR sedang akan berkembang menjadi PDR dalam 1 tahun, sehingga mereka harus dipantau setiap 4-8 bulan Lebih dari 50% pasien dengan NPDR berat (prepoliferatif) akan berkembang menjadi PDR dalam 1 tahun, follow up setiap 2-4 bulan diwajibkan untuk menjamin deteksi dini dan terapi. Tahap apapun yang berhubungan dengan edema makular seharusnya diterapi dan diobservasi ketat (setiap 2-3 bulan) untuk memonitor keadaan makula. 24

2.10 Pencegahan Ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengurangi resiko penurunan visus akibat retinopathy diabetes dan komplikasinya (Diabetes Health Center, 2009):

Pengontrolan kadar gula darah. Studi jangka panjang menunjukkan bahwa kadar gula darah tetap dalam kisaran target mengurangi risiko

pengembangan dan perkembangan retinopati. Menjaga kadar gula darah dalam kisaran target dengan diet sehat, sering melakukan pemeriksaan kadar gula darah, latihan fisik rutin, dan mengkonsumsi insulin atau obatobatan untuk diabetes tipe 2 yang telah disarankan oleh dokter. Satu studi menemukan bahwa remaja yang terus mengontrol kadar gula darah mereka sesuai target dapat mengurangi risiko retinopati diabetes dan juga

mengurangi resiko kerusakan ginjal ketika dewasa.

Pengontrolan tekanan darah. Studi jangka panjang menyebutkan bahwa retinopati yang lebih cenderung untuk berkembang ke bentuk yang berat dan edema makula lebih mungkin terjadi pada orang yang memiliki tekanan darah tinggi . Belum jelas apakah pengobatan tekanan darah tinggi secara langsung dapat mempengaruhi visus jangka panjang. Tapi secara umum, menjaga tingkat tekanan darah dalam kisaran target dapat mengurangi risiko komplikasi dari diabetes .

Periksakan mata pada spesialis mata (dokter mata) setiap tahun. Jika berisiko rendah untuk masalah penglihatan, dokter dapat mempertimbangkan tindak lanjut tes setiap 2 sampai 3 tahun. Skrining untuk retinopathy diabetes dan masalah mata lainnya tidak akan mencegah penyakit mata akibat diabetes, tetapi dapat membantu menghindari kehilangan visus dengan memungkinkan untuk deteksi dini dan pengobatan.

Menghubungi dokter mata jika memiliki perubahan dalam visus Perubahan dalam visus seperti floaters , sakit atau tekanan dalam mata, buram atau pandangan ganda , atau penurunan visus kemungkinan gejala kerusakan serius pada retina. Dalam kebanyakan kasus, semakin cepat masalah dapat diobati, maka semakin efektif pengobatan.

25

Risiko

perkembangan

retinopati

menjadi

makin

parah

dan

kehilangan

penglihatan mungkin berkurang jika (Diabetes Health Center, 2009):

Mengurangi kolesterol tinggi . Hal ini tidak diketahui apakah mengurangi kadar kolesterol tinggi secara langsung mempengaruhi perkembangan retinopati dan kehilangan visus, tetapi beberapa studi menunjukkan bahwa tinggi kolesterol dapat meningkatkan risiko kehilangan penglihatan pada orang dengan diabetes. 2

Meskipun merokok belum terbukti meningkatkan risiko retinopati, merokok dapat memperburuk banyak masalah kesehatan lainnya yang dihadapi oleh penderita diabetes, termasuk penyakit pembuluh darah kecil.

Menghindari aktivitas berbahaya. Aktivitas fisik tertentu, seperti mengangkat berat atau olahraga kontak, dapat memicu pendarahan di mata melalui pengaruh atau tekanan meningkat. Menghindari kegiatan ini bila memiliki retinopathy diabetes dapat membantu mengurangi resiko kerusakan pada visus.

Lakukan latihan yang memadai. Latihan membantu menjaga kadar gula darah dalam kisaran sasaran, dapat mengurangi risiko kerusakan visus akibat retinopati diabetes.

2.11 Deteksi Dini Sekurang-kurangnya 50% kebutaan akibat diabetes melitus dapat dicegah dengan penatalaksanaan laser pada retina; penatalaksanaan seperti ini memberi hasil yang paling efektif bila dimulai sebelum penderita mengalami penurunan tajam penglihatan serta sebelum timbulnya perdaerahan vitreum dan ablasio retina akibat tarian. Dengan demikian, selama perawatan penderita diabetes, diharapkan dokter puskesmas melakukan pemeriksaan tajam penglihatan dan mempertimbangkan pemeriksaan fundoskopi pada setiap perawatan lanjutan. Perlu diingat bahwa retinopati diabetik stadium yang paling mudah diobati dapat terjadi tanpa disertai dengan gejala klinis (Djuwantoro, 1994). Untuk mempermudah dan menegaskan peranan dokter puskesmas dalam pencegahan kebutaan pada penderita diabetes melitus, perlu diperhatikan garis 26

pedoman

sistem

rujukan

yang

dikeluarkan

oleh

American

Academy

of

Ophthalmology berikut ini (Djuwantoro, 1994) : Penderita diabetes melitus tipe I sebaiknya lperiksa oleh ahli mata setiap tahun dimulai dalam waktu satu tahun setelah diagnosis diabetes melitus ditegakkan, karena retinopati tidak timbul hingga lima tahun setelah diagnosis. Penderita diabetes melitus tipe II perlu mendapatkan pemeriksaan ahli mata setiap tahun dalam waktu beberapa bulan setelah diagnosis, sebab retinopati yang dapat diobati mungkin terjadi pada saat diagnosis. Penderita yang tidak mendapatkan kontrol diabetes, tekanan darah tinggi atau proteinuri secara memadai sebaiknya menjalani pemeriksaan yang lebih sering, karena penderita tersebut mempunyai risiko yang sangat tinggi untuk mengalami retinopati yang timbul cepat Penderita dengan retinopati pra-proliferatif perlu diperiksa oleh ahli mata setiap tiga sampai empat bulan, karena terdapat risiko menderita retinopati proliferative Penderita yang telah menjalani perawatan bedah laser atau vitrektomi sebaiknya menepati jadtial perawatan lanjutan yang mata yang merawatnya. Wanita hamil dengan diabetes tipe I sebaiknya menjalani pemeriksaan ahlimataselama trimester pertamadanselanjutnya setiap tiga bulan hingga melahirkan 2.12 Prognosis Penatalaksanaan dini untuk Retinopati Diabetic studi (ETDRS) telah ditetapkan oleh ahli

menemukan bahwa bedah laser untuk edema makula mengurangi kejadian kehilangan penglihatan moderat (sudut visual ganda atau kehilangan visual 2-line secara kasar) dari 30% sampai 15% selama periode 3 tahun (Bhavsar, 2009). Faktor faktor yang mempengaruhi prognosis baik
o o o

eksudat circinate onset terbaru Well-defined leakage Perfusi perifoveal yang baik 27

Faktor yang menyebabkan prognosis kurang baik


o o o o o o

edem multipel yang bocor deposisi lemak pada fovea Iskemia makula edema makula Cystoid Visus preoperative kurang dari 20/200 Hipertensi

28

You might also like