You are on page 1of 20

PBL I GATAL PADA KULIT

Disusun oleh : kelompok 1 Abdul Mazid Zabir Angginamita Amalia Dandan Adi N. Muhammad Suhanda Muhammad Rizky Nugraha Nanda Febrianti Nuchty Ambarsari Putri Laura Trio Raharjo

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI 2011

KASUS 1 GATAL PADA KULIT Seorang wanita 26 thn, datang ke UGD RS mengeluh gatal dan bentol pada kulit. Satu jam sebelumnya pasien makan siang dengan udang dan kepiting. Pasien juga merasakan tenggorokannya terasa panas dan tidak nyaman. Pemeriksaan tanda vital : RR = 20 x/m, nado = 108 x/m, tensi = 100/80 mmHg. Pemeriksaan fisik ditemukan urtikaria pada beberapa bagian tubuh, oedem faring, tidak didapatkan pembesaran kelenjar limfe leher. Pemeriksaan lainnya dalam batas normal. Pasien akhirnya diberikan obat untuk mengatasi keluhan dan disarankan untuk pemeriksaan lanjutan sebagai awal dari langkah pencegahan. Step 1: Klarifikasi Istilah 1. Gatal : Salah satu keluhan dalam gangguan pada kulit yang secara otomatis menuntut penggarukkan. 2. Bentol : Kelainan pada kulit dikarenakan adanya vasodilatasi pada darah yang mengakibatkan pembesaran dan berwarna merah disertai gatal. 3. Urtikaria : - Reaksi vaskuler kulit dermis bagian atas biasanya sebentar terdiri dari oedem lokal yang disebabkan oleh dilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler. - Suatu kelainan yang terbatas pada bagian superfisial kulit berupa buntul yang berbatas jelas yang dikelilingi darah yang eritemoatosa pada bagian tengah bintulnya tampak kepucatan bersifat sementara. 4. Oedem faring : Pembengkakan pada faring karena meningkatnya volume cairan diluar sel (ekstraseluler) dan diluar pembuluh darah (eksatravaskuler) disertai dengan penimbunan cairan di jaringan serosa. Step 2: Daftar Masalah 1. Bagaimana mekanisme terjadinya keluhan keluhan diatas ? 2. Bagaimana respon tubuh terhadap keluhan keluhan datas ? 3. Apa yang dimaksud dengan alergi ? 4. Apa penyebab dari urtikaria ? 5. Bagaimana sistem imunitas tubuh ? 6. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada kasus ini ? 7. Apakah diagnosis sementara pada kasus ini ? Step 3: Analisis Masalah 1. SB 2. Respon imun yang berlebihan (hipersensitifitas) terhadap antigen yang masuk. 3. SB 4. Sistem imunitas tubuh Spesifik = pengenalan terhadap benda asing Contoh : campak

Humoral : menghasilkan sel B : memfagosit antigen ekstraseluler 2. Seluler : menghasilkan sel T : memfagosit antigen intraseluler Non Spesifik = ada sejak lahir Fisik : kulit, mukosa, silia, batuk, bersin. Bahan larut : biokimia = Lisozim (keringat), sekresi sebasea, asam lambung, laktoterin, asam neuraminik. Seluler : - fagosit = - mononuklear - polimefonuklear - Sel NK - Sel mast - Basofil

1.

Step 4: Mekanisme & respon Terjadinya keluhan penyebab diagnosis Dalam kasus ini Reaksi Hipersensitifitas sistem imunitas urtikaria sementara pemeriksaan pengertian penunjang alergi pada kasus ini

Step 5: Sasaran Belajar (SB) 1. Bagaimana mekanisme dan respon tubuh dalam kasus ini ? 2. Apa penyebab urtikaria ? 3. Apakah diagnosis sementara pada kasus ini ? 4. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada kasus ini ? Step 6: Belajar Mandiri Step 7: Pembahasan SB 1. REAKSI HIPERSENSITIVITAS

Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas.

Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I hipersensitif anafilaktik, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe IV hipersensitif cell-mediated (hipersensitif tipe lambat). Selain itu masih ada satu tipe lagi yang disebut sentivitas tipe V atau stimulatory hipersensitivity.

Pembagian reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan Coombs adalah usaha untuk mempermudah evaluasi imunopatologi suatu penyakit. Dalam keadaan sebenarnya seringkali keempat mekanisme ini saling mempengaruhi. Aktivasi suatu mekanisme akan mengaktifkan mekanisme yang lainnya.

REAKSI HIPERSENTIVITAS TIPE I

Sel mast dan basofil pertama kali dikemukakan oleh Paul Ehrlich lebih dari 100 tahun yang lalu. Sel ini mempunyai gambaran granula sitoplasma yang mencolok. Pada saat itu sel mast dan basofil belum diketahui fungsinya. Beberapa waktu kemudian baru diketahui bahwa sel-sel ini mempunyai peran penting pada reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi tipe I) melalui mediator yang dikandungnya, yaitu histamin dan zat peradangan lainnya.

Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi selular yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang bersangkutan.

Proses aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang lain pada permukaan sel mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau kompleks kovalen hapten-protein. Proses aktivasi ini akan membebaskan berbagai mediator peradangan yang menimbulkan gejala alergi pada penderita, misalnya reaksi anafilaktik terhadap penisilin atau gejala rinitis alergik akibat reaksi serbuk bunga.

Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran IgE. Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau akibat anafilatoksin yang dihasilkan pada proses aktivasi komplemen (lihat bab mengenai komplemen).

Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu dari preformed mediators yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor kemotaktik neutrofil (NCF = neutrophil chemotactic factor). Mediator yang terbentuk kemudian merupakan metabolit asam arakidonat akibat degranulasi sel mast yang berperan pada reaksi tipe I.

Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat dan fase lambat.

Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat biasanya terjadi beberapa menit setelah pajanan antigen yang sesuai. Reaksi ini dapat bertahan dalam beberapa jam walaupun tanpa kontak dengan alergen lagi. Setelah masa refrakter sel mast dan basofil yang berlangsung selama beberapa jam, dapat terjadi resintesis mediator farmakologik reaksi hipersensitivitas, yang kemudian dapat responsif lagi terhadap alergen.

Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat Mekanisme terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat ini belum jelas benar diketahui. Ternyata sel mast masih merupakan sel yang menentukan terjadinya reaksi ini seperti terbukti bahwa reaksi alergi tipe lambat jarang terjadi tanpa didahului reaksi alergi fase cepat. Sel mast dapat membebaskan mediator kemotaktik dan sitokin yang menarik sel radang ke tempat terjadinya reaksi alergi. Mediator fase aktif dari sel mast tersebut akan meningkatkan permeabilitas kapiler yang meningkatkan sel radang.

Limfosit mungkin memegang peranan dalam timbulnya reaksi alergi fase lambat dibandingkan dengan sel mast. Limfosit dapat melepaskan histamin releasing factor dan sitokin lainnya yang akan meningkatkan pelepasan mediator-mediator dari sel mast dan sel lain.

Eosinofil dapat memproduksi protein sitotoksik seperti major basic protein (MBP) afau eosinophil cationic protein (ECP). Makrofag dan neutrofil melepas faktor kemotaktik, sitokin, oksigen radikal bebas, serta enzim yang berperan di dalam peradangan. Neutrofil adalah sel yang pertama berada pada infiltrat peradangan setelah reaksi alergi fase cepat dalam keadaan teraktivasi yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan menarik sel lain, terutama eosinofil.

Mediator penyakit alergi (hipersensitivitas tipe I)

Seperti telah

diuraikan di atas bahwa mediator dibebaskan bila terjadi interaksi antara antigen dengan IgE spesifik yang terikat pada membran sel mast. Mediator ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator yang sudah ada

dalam granula sel mast (preformed mediator) dan mediator yang terbentuk kemudian (newly formed mediator). Menurut asalnya mediator ini juga dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator dari sel mast atau basofil (mediator primer), dan mediator dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator primer (mediator sekunder). Mediator yang sudah ada dalam granula sel mast Terdapat 3 jenis mediator yang penting yaitu histamin, eosinophil chemotactic factor of anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemoctatic factor (NCF). 1. Histamin Histamin dibentuk dari asam amino histidin dengan perantaraan enzim histidin dekarboksilase. Setelah dibebaskan, histamin dengan cepat dipecah secara enzimatik serta berada dalam jumlah kecil dalam cairan jaringan dan plasma. Kadar normal dalam plasma adalah kurang dari 1 ng/L akan tetapi dapat meningkat sampai 1-2 ng/L setelah uji provokasi dengan alergen. Gejala yang timbul akibat histamin dapat terjadi dalam beberapa menit berupa rangsangan terhadap reseptor saraf iritan, kontraksi otot polos, serta peningkatan permeabilitas vaskular. Manifestasi klinis pada berbagai organ tubuh bervariasi. Pada hidung timbul rasa gatal, hipersekresi dan tersumbat. Histamin yang diberikan secara inhalasi dapat menimbulkan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Gejala kulit adalah reaksi gatal berupa wheal and flare, dan pada saluran cerna adalah hipersekresi asam lambung, kejang usus, dan diare. Histamin mempunyai peran kecil pada asma, karena itu antihistamin hanya dapat mencegah sebagian gejala alergi pada mata, hidung dan kulit, tetapi tidak pada bronkus. Kadar histamin yang meninggi dalam plasma dapat menimbulkan gejala sistemik berat (anafilaksis). Histamin mempunyai peranan penting pada reaksi fase awal setelah kontak dengan alergen (terutama pada mata, hidung dan kulit). Pada reaksi fase lambat, histamin membantu timbulnya reaksi inflamasi dengan cara

memudahkan migrasi imunoglobulin dan sel peradangan ke jaringan. Fungsi ini mungkin bermanfaat pada keadaan infeksi. Fungsi histamin dalam keadaan normal saat ini belum banyak diketahui kecuali fungsi pada sekresi lambung. Diduga histamin mempunyai peran dalam regulasi tonus mikrovaskular. Melalui reseptor H2 diperkirakan histamin juga mempunyai efek modulasi respons beberapa sel termasuk limfosit. 2. Faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A) Mediator ini mempunyai efek mengumpulkan dan menahan eosinofil di tempat reaksi radang yang diperan oleh IgE (alergi). ECF-A merupakan tetrapeptida yang sudah terbentuk dan tersedia dalam granulasi sel mast dan akan segera dibebaskan pada waktu degranulasi (pada basofil segera dibentuk setelah kontak dengan alergen). Mediator lain yang juga bersifat kemotaktik untuk eosinofil ialah leukotrien LTB4 yang terdapat dalam beberapa hari. Walaupun eosinofilia merupakan hal yang khas pada penyakit alergi, tetapi tidak selalu patognomonik untuk keterlibatan sel mast atau basofil karena ECF-A dapat juga dibebaskan dari sel yang tidak mengikat IgE. 3. Faktor kemotaktik neutrofil (NCF) NCF (neutrophyl chemotactic factor) dapat ditemukan pada supernatan fragmen paru manusia setelah provokasi dengan alergen tertentu. Keadaan ini terjadi dalam beberapa menit dalam sirkulasi penderita asma setelah provokasi inhalasi dengan alergen atau setelah timbulnya urtikaria fisik (dingin, panas atau sinar matahari). Oleh karena mediator ini terbentuk dengan cepat maka diduga ia merupakan mediator primer. Mediator tersebut mungkin pula berperan pada reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat yang akan menyebabkan banyaknya neutrofil di tempat reaksi. Leukotrien LTB4 juga bersifat kemotaktik terhadap neutrofil. Mediator yang terbentuk kemudian

Mediator yang terbentuk kemudian terdiri dari hasil metabolisme asam arakidonat, faktor aktivasi trombosit, serotonin, dan lain-lain. Metabolisme asam arakidonat terdiri dari jalur siklooksigenase dan jalur lipoksigenase yang masingmasing akan mengeluarkan produk yang berperan sebagai mediator bagi berbagai proses inflamasi (lihat Gambar 12-3). 1. Produk siklooksigenase Pertubasi membran sel pada hampir semua sel berinti akan menginduksi pembentukan satu atau lebih produk siklooksigenase yaitu prostaglandin (PGD2, PGE2, PGF2) serta tromboksan A2 (TxA2). Tiap sel mempunyai produk spesifik yang berbeda. Sel mast manusia misalnya membentuk PGD2 dan TxA2 yang menyebabkan kontraksi otot polos, dan TxA2 juga dapat mengaktivasi trombosit. Prostaglandin juga dibentuk oleh sel yang berkumpul di mukosa bronkus selama reaksi alergi fase lambat (neutrofil, makrofag, dan limfosit). Prostaglandin E mempunyai efek dilatasi bronkus, tetapi tidak dipakai sebagai obat bronkodilator karena mempunyai efek iritasi lokal. Prostaglandin F (PGF2) dapat menimbulkan kontraksi otot polos bronkus dan usus serta meningkatkan permeabilitas vaskular. Kecuali PGD2, prostaglandin serta TxA2 berperan terutama sebagai mediator sekunder yang mungkin menunjang terjadinya reaksi peradangan, akan tetapi peranan yang pasti dalam reaksi peradangan pada alergi belum diketahui. 2. Produk lipoksigenase Leukotrien merupakan produk jalur lipoksigenase. Leukotrien LTE4 adalah zat yang membentuk slow reacting substance of anaphylaxis (SRS-A). Leukotrien LTB4 merupakan kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil, sedangkan LTC4, LTD4 dan LTE4 adalah zat yang dinamakan SRS-A. Sel mast manusia banyak menghasilkan produk lipoksigenase serta merupakan sumber hampir semua SRSA yang dibebaskan dari jaringan paru yang tersensitisasi.

Slow reacting substance of anaphylaxis Secara in vitro mediator ini mempunyai onset lebih lambat dengan masa kerja lebih lama dibandingkan dengan histamin, dan tampaknya hanya didapatkan sedikit perbedaan antara kedua jenis mediator tersebut. Mediator SRS-A dianggap mempunyai peran yang lebih penting dari histamin dalam terjadinya asma. Mediator ini mempunyai efek bronkokonstriksi 1000 kali dari histamin. Selain itu SRS-A juga meningkatkan permeabilitas kapiler serta merangsang sekresi mukus. Secara kimiawi, SRS-A ini terdiri dari 3 leukotrien hasil metabolisme asam arakidonat, yaitu LTC4, LTD4, serta LTE4. Faktor aktivasi trombosit (PAF = Platelet activating factor) Mediator ini pertama kali ditemukan pada kelinci dan selanjutnya pada manusia. PAF dapat menggumpalkan trombosit serta mengaktivasi pelepasan serotonin dari trombosit. Selain itu PAF juga menimbulkan kontraksi otot polos bronkus serta peningkatan permeabilitas vaskular. Aktivasi trombosit pada manusia terjadi pada reaksi yang diperan oleh IgE. Serotonin Sekitar 90% serotonin tubuh (5-hidroksi triptamin) terdapat di mukosa saluran cerna. Serotonin ditemukan pada sel mast binatang tetapi tidak pada sel mast manusia. Dalam reaksi alergi pada manusia, serotonin merupakan mediator sekunder yang dilepaskan oleh trombosit melalui aktivasi produk sel mast yaitu PAF dan TxA2. Serotonin dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. SITOKIN DALAM REGULASI REAKSI ALERGI Selain mediator yang telah disebutkan tadi, sel mast juga merupakan sumber beberapa sitokin yang mempengaruhi sel yang berperan pada reaksi alergi. Pada individu yang cenderung untuk alergi, paparan terhadap beberapa antigen menyebabkan aktivasi sel Th2 dan produksi IgE (lihat Gambar 12-4). Individu normal tidak mempunyai respons Th2 yang kuat terhadap sebagian besar antigen

asing. Ketika beberapa individu terpapar antigen seperti protein pada serbuk sari (pollen), makanan tertentu, racun pada serangga, kutu binatang, atau obat tertentu misalnya penisilin, respons sel T yang dominan adalah pembentukan sel Th2. Individu yang atopik dapat alergi terhadap satu atau lebih antigen di atas. Hipersensitivitas tipe cepat terjadi sebagai akibat dari aktivasi sel Th2 yang berespons terhadap antigen protein atau zat kimia yang terikat pada protein. Antigen yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi alergik) sering disebut sebagai alergen. Interleukin (IL)-4 dan IL-13, yaitu sebagian dari sitokin yang disekresi oleh sel Th2, akan menstimulasi limfosit B yang spesifik terhadap antigen asing untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma yang kemudian memproduksi IgE. Oleh sebab itu, individu yang atopik akan memproduksi IgE dalam jumlah besar sebagai respons terhadap antigen yang tidak akan menimbulkan respons IgE pada sebagian besar orang. Kecenderungan ini mempunyai dasar genetika yang kuat dengan banyak gen yang berperan. Reaksi peradangan alergi telah diketahui dikoordinasi oleh subset limfosit T4 yaitu Th2. Limfosit ini memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, TNF, serta GM-CSF tetapi tidak memproduksi IL-2 atau INF (diproduksi oleh sel Th1). Alergen diproses oleh makrofag (APC) yang mensintesis IL-1. Zat ini merangsang dan mengaktivasi sel limfosit T yang kemudian memproduksi IL-2 yang merangsang sel T4 untuk memproduksi interleukin lainnya. Ternyata sitokin yang sama juga diproduksi oleh sel mast sehingga dapat diduga bahwa sel mast juga mempunyai peran sentral yang sama dalam reaksi alergi. Produksi interleukin diperkirakan dapat langsung dari sel mast atau dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator sel mast. Interleukin-4 tampaknya merupakan stimulus utama dalam aktivasi sintesis IgE oleh sel limfosit B. Pada saat yang sama IL-4 meningkatkan ekspresi reseptor Fc (FcRII) pada sel limfosit B. Interleukin-4 ini pertama kali disebut faktor stimulasi sel B (BSF = B cell stimulating factor). Aktivasi oleh IL4 ini diperkuat oleh IL-5, IL-6, dan TNF, tetapi dihambat oleh IFN, IFN, TGF, PGE2, dan IL-I0

Dalam reaksi alergi fase cepat, IL-3, IL-5, GM-CSF, TNF dan INF terbukti dapat menginduksi atau meningkatkan pelepasan histamin melalui interaksi IgE- alergen pada sel basofil manusia (lihat Gambar 12-6). Sitokin lain yang mempunyai aktivitas sama pada sel mast ialah MCAF (monocyte chemotactic and activating factor) dan RANTES (regulated upon activation normal T expressed and presumably secreted). Demikian juga SCF (stem cell factor) yaitu suatu sitokin yang melekat pada reseptor di sel mast yang disebut C-kit, dapat menginduksi pembebebasan histamin dari sel mast baik dengan atau tanpa melalui stimulasi antigen (lihat Gambar 12-7). Pada reaksi alergi fase lambat, IL-3 dan GM-CSF tidak hanya menarik dan mengaktivasi eosinofil tetapi juga basofil dan efek kemotaktik sitokin ini lebih nyata dibandingkan dengan komplemen C5a, LTB4 dan PAF. Mekanisme lain sitokin berperan pula dalam menunjang terjadinya reaksi peradangan pada alergi. GM-CSF, IL-l, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IFN, TNF, NGF (nerve growth factor) serta SCF berperan dalam pertumbuhan, proliferasi, pertahanan hidup dan diferensiasi limfosit, eosinofil, basofil, sel mast, makrofag atau monosit. Pada saat aktivasi, sel-sel ini ditarik ke arah jaringan yang mengalami peradangan dalam reaksi antigen-antibodi yang ditingkatkan oleh IL2, IL-5, GM-CSF, dan EAF (eosinophil activating factor). Keadaan ini lebih terlihat pada biakan eosinofil manusia dengan GM-CSF bersama fibroblast. Pada percobaan ini eosinofil menjadi hipodens dan dapat membebaskan lebih banyak LTC4 bila diaktivasi oleh stimulus seperti fMLP (formil metionil leukosil fenilalanin).

Mekanisme reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs

Reaksi imun

Mekanisme Kompleks berikatan mast lain

Klinis

Waktu reaksi sampai setelah

IgE-obatUrtikaria, angioedema,Menit dengan selbronkospasme, jam diare,paparan melepaskanmuntah,

Tipe (diperantarai IgE)

histamin dan mediatoranafilaksis

Antibodi IgM atau IgGAnemia spesifik Tipe (sitotoksik) Deposit kompleks Tipe III dengan komplemen jaringan dariSerum II terhadap selneutropenia, hapten-obat

hemolitik,Variasi

trombositopenia

sickness,1-3

minggu

antibodi-obatdemam, aktivasiartralgia, limfadenopati,

ruam,setelah paparan

(kompleks imun)

vaskulitis, urtikaria Presentasi molekul obatDermatitis oleh MHC kepada sel Talergi Tipe IV (lambat, diperantarai selular) Hipersensitifitas tipe II Melibatkan pengikatan antibodi (IgG atau IgM) ke antigen permukaan sel atau molekul matriks ekstraseluler. Antibodi yang ditujukan pada antigen permukaan oleh dengan pelepasan sitokin kontak2-7 hari setelah paparan

sel dapat mengaktifkan komplemen (atau efektor lain) untuk merusak sel. Antibodi (IgG atau IgM) melekat pada antigen melalui regio Fab dan bekerja sebagai jembatan terhadap komplemen melaluinregio Fc. Hasilnya dapat terjadi lisis yang diperantarai komplemen, seperti yang terjadi pada anemia hemolitik, reaksi transfusi ABO, dan penyakit hemolitik Rh. Bat-obatan seperti penisilin dapat melekat pada protein permukaan sel darah merah dan mencetuskan pembentukan antibodi. Antibodi autoimun ersebut kemudian dapat bergabung dengan permukaan sel, dan akibatnya terjadi hemoloisis. Patogen tertentu misalnya Mycoplasma pneumoniae dapat menginduksi antibodi yang beraksi silan dengan anti gen sel darah merah, menyebabkan anemia hemolitik. Pada demam rematik, anti bodi terhadap streptococcus grup A bereaksi silang dengan jarngan jantung. Pada syndrom good pasture, anti bodi yang terbentuk melawan membrana basalis ginjal dan paru, menyebabkan kerusakan membran yang hebat akibat aktifitas leukosit yang ditarik oleh komplemen. Pada beberapa kasus, anti bodi terhadap reseptor permukaan sel dapat merubah fungsi tanpa mencedrai sel misalnya, pada penyakit grave, suatu auto anti bodi beikatan dengan hormon perangsang tiroid (TSH) dan menyebabkan hypertirodisme dengan merangsang tiroid. Hipersensitivitas Tipe III Bila antibodi bergabung dengan antigen spesifiknya, akan terbentuk komplek imun. Biasanya, komplek imu akan segera dibuang oleh sistem retikulo endotelial, tetapi kadang-kadang komplek ini menetap dan tersimpan dalam jaringan, menyebabkan beberapa gangguan. Pada infeksi mikroba atau virus yang presisten, dapat tersimpan dalam organ (misal, ginjal) yang menyebabkan disfungsi. Pada gangguan auto imun, anti gen self dapat memicu antibodi yang berikatan dengan antigen atau tersimpan dalam organ jaringan dalam suatu komplek, terutama pada persendian (atritis), ginjal (nefritis) dan pembuluh darah (vaskulitis). Akhirnya antigen lingkungan seperti spora, fungi, dan beberapa obat tertentu dapat menyebabkan pembentukan komplej disertaibeberapa timbulnya penyakit. Dimana pun tersimpan, kompek imun dapat mengaktifkan sistem komplemen, dan makrofag srta neutrofil tertarik menuju tempat tersebut,

kemudian disini akan terjadi peradangan dan cedera jaringan, terdapat 2 bentuk utama hipersesitivitas yang diperantarai ole kompleks imun. Bentuk pertama bersifat lokal (reaksi arthus) dan khas timbul pada kulit bila antigen dosis rendah disuntikan dan terbentuk komplek imun setempat. Reaksi ini melibatkan antibodi Ig G, dan aktivasi komplemen yang menyebabkan aktivasi sel sel mast dan neutrofil, pelepasan mediator, dan peningkatan permeabilitas vaskular. Kadang tersebut khas terjadi sekitar 12 jam. Bentuk kedua hipersensitivitas tipe 3 menyebabkan penyakit kompleks imun sistemik. Terdapat beberapa contoh, termasuk penyakit seperti glomerulonefritis post strptococus akut. Glomerulonefritis post strptococcus akut adalah penyakit kompleks imun yang sangat terkenal. Awitannya terjadi beberapa mnggu stelah infeksi streptococcus hemolitik grup A, terutama pada kulit, dan sering terjadi pada infeksi yang disebabkan oleh streptococcus tipe nefritogenik. Kadar komplemen biasanya rendah, yang menunjukan suatu reaksi antigen antibodi dengan konsumsi komplemen. Deposit imunoglobulin dan komponen komplemen C3 yang padat tampak disepanjang membran basal glomerolus yang terwarnai dengan imunofluoresen, menunjukan adanya kompleks antigen-antibodi. Kompleks antibodi-antigen streptococcus kemungkinan di saring keluar oleh glomerolus, memfiksasi komplemen dan menarik neutrofil, dan menghasilkan proses radang yang merusak ginjal. Hipersensitifitas Tipe IV (lambat) Hipersensitifitas selular bukanlah suatu fungsi antibodi teteapi lmfosit T yang tersensitisasi secara spesifik sehingga engaktifkan makrofag dan menimbulkan respon radang. Respon lambat yaitu, biasanya dimlai dua sampai tiga hari setelah kontak dengan antigen dan sering berlangsung selama berharihari. A.hipersensitifitas kontak Hipersensitifitas kontak terjadi setelah sensitisasi dengan zat kimia sederhana (misal, nikel, formaldehid), bahan tanaman (poison ivy, racun pohon oak), obat-obatan yang digunakan secar topikal (misal, sulfonamid, neomisin), beberapa kosmetika, sabun, dan zat-zat lain. Pada semua kasus, molekul kecil masuk ke kulit, dan kemudian bekerja sebagai hapten, melekat pada protein ubuh

untuk berperan sebagai antigen yang lengkap. Keadaan ini mencetuskan hipersensitifitas selular, terutama pada kulit. Bila kulit sekali lagi kontak dengan agen pengganggu, orang ang tersensitisasi akan mengalami eritema, gatal, kulit melepuh, eksema, atau nekrosis kulit dalam waktu 12 sampai 48 jam. Uji tempel pada area kecil dikulit kadang-kadang dapat mengidentifikasi antigen pengganggu . penghindaran berikutnya terhadap bahan tersebut akan mencegah rekurensi. Sel penyaji antigen pada sensitifitas kontak ini kemungkinan adalah sel-sel langerhans di epidermis, yang bernteraksi dngan sel-sel Th 1 CD 4 yang akan memberikan respons. B. hipersensitifitas tipe tuberkulum Hipersensitifitas tipe lambat tehadap antigen mikroorganisme terjadi pada banyak penyakit infeksi dan telah digunakan sebagai alat bantu diagnosis. Hal ini juga dikenal sebagai reaksi tuberkulin. Bila sedikit tuberkulin disuntikan ke dalam epidermis pasien yang sebelumnya terpajan miobakterium tuberkulosis, akan terjadi reaksi tipe cepat yang ringan; namun, secara bertahap akan timbul indurasi dan kemerahan serta mencapai puncaknya dalam waktu 24 sampai 72 jam. Sel-sel mononukleat menumpuk dalam jaringan subkutan, dan terdapat banyak sel Th 1 CD 4 inflamasi. Uji kulit positif menunjukan bahwa orang tersebut telah terinfeksi agen ini tetapi kan berarti orang tersebut sedang sakit. Namun, perubahan respon uji kulit yang baru terjadi (dari negatif menjadi positif) menunjukan infeksi baru terjadi dan kemungkinan aktifitas saat ini. Respon uji kulit yang positif dapat membantu diagnosis. Misalnya pada penyakit lepra, uji kulit lepromin yang positif menunjukan adanya penyakit tuberkuloid, dengan imunitas selular aktif, sedangankan hasil uji negatif menunjukan lepra tipe lepromatosa, dengan imunitas selular yang lemah.

2. PENYEBAB URTIKARIA Urtikaria dapat dicetuskan dari makanan tertentu misalnya seperti buahbuahan, udang, ikan, produk-produk susu, cokelat, kacang-kacangan, dan obatobatan. Bahan-bahan tersebut dapat mencetuskan reaksi anafilaksis dengan keluhan yang menonjol pada kardiovaskular dan gastrointestinal. Bahan-bahan

makanan seperti ini bisa mencetuskan manisfestasi klinis urtikaria, diduga melalui mekanisme kerusakan fungsi barrier mukosa gastrodoudenal. Pencetus urtikaria lain yang mungkin adalah rangsangan fisik seperti dingin, panas, sinar matahari, latihan fisik/olahraga dengan iritasi mekanik. Demam, mandi air hangat terjadi peningkatan temperatur tubuh dapat mencetuskan urtikaria koligeik. Pemicu lain adalah cahaya (solar urtikaria), air pada temperatur berapapun (aquagenic urtikaria), dan bahan kimia tertentu (contact urtikaria). Pada angiodema perlu dilihat ada atau tidaknya bintul-bintul yang menyertai. Bila disertai adanya urtikaria, dapat dikatakan angiodema tersebut merupakan bagian dari urtikaria yang kebetulan terjadi bersamaan. 3. DIAGNOSIS SEMENTARA 1. Anamnesis Timbul gatal yang menuntut penggarukkan Timbul bentol yang menghilang dalam waktu 24 jam 2. Pemeriksaan fisik Terdapat eritemia (kulit kemerah-merahan) Terjadi oedem faring Tidak terjadi pembesaran pada kelenjar limfe leher (tidak ada infeksi) Sehingga didapatkan diagnosa sementara yaitu urtikaria karena alergi terhadap makanan, dalam kasus ini makanannya adalah udang dan kepiting. Dan selanjutnya untuk dapat menegakkan diagnosa sementara yang selanjutnya menjadi diagnosa pasti perlu dilakukan pemeriksaan penunjang. 4. PEMERIKSAAN PENUNJANG A. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan lab ini hanya untuk memperkuat dengan alergi atau tidak tetapi tidak untuk menetap diagnosis. Pemeriksaan yang harus dilakukan sebagai berikut : a. IgE Spesifik Dilakukan untuk mengukur IgE terhadap allergen tertentu secara invitro dengan cara RAST atau ELISA. Keuntungan pemeriksaan IgE spesifik dibandingkan test kulit adalah resiko pada pasien tidak ada, hasilnya kuantitatif tidak dipengaruhi obat atau keadaan kulit, allergen stabil. Kurang sensitive disbanding test kulit. Unruk alergi makanan pemeriksaan kurang mendukung. B. Tes kulit Tes kulit sebagai sarana penunjang diagnosis penyakit alergi telah dilakukan sejak 100 tahun yang lalu. a. Tes tusuk (Prick Test) Mula mula kulit bagian volar dari lengan bawah dibersihkan dengan alcohol, biarkan hingga kering. Tempat penetesan allergen ditandai secara berbaris dengan jarak 2-3 cm di atas kulit tesebut. Teteskan setetes allergen pada tempat yang disediakan, juga control positif (larutan histamine posfat 0,1%) dan control negative (larutan phospatebufferedsaline dengan fenol 0,4%). Dengan jarum deposable ukuran 26, dilakukan tusukan dangkal, melalui masing masing ekstrak yang telah diteteskan. Jarum yang digunakan harus baru pada tiap tiap tusukan pada masing- masing tetesan untuk mrnjaga supaya allergen jangan tercampur. Tususkan di jaga jangan sampai menimbulkan pendarahan. Pembacaan dilakukan setelah 15-20 menit dengan mengukur diameter bentol dan eritema dengan penilaian sebagai berikut : Hasil (-) : sama denga control negative

Hasil (+) : 25% dari kontol positif Hasil (+2) : 50% control positif Hasil (+3) : 100% dari control positif Hasil (+4) : 200% dari control positif

Keika protein makanan melewati sawar mukosa, terkait dan bereaksi silang dengan antibody tersebut, akan memicu IgE yang telah berikatan dengan sel mast. Kemudian sel mast akan melepaskan berbagai mediator (Histamin, Prostaglandin, dan Leukotrien) yang akan menyebabkan vasodilatasi, sekresi mucus, kontraksi otot polos dan imfulles sel inflamasi mengeluarkan berbagai zat sitokinin yang ddapat mengiduksi tipe lambat. C. Tes provokasi

Tes provokasi akan sangat membantu diagnosis urtikaria fisik, bila testes alergi member hasil yang meragukan atau negative. Namun demikian tes provokasi ini haris dipertimbangkan secara hati hati untuk menjamin keamanannya. Hal ini dilakukan pada tempat yang mempunyai tenaga ahli dan fasilitas untuk resusitasi, terutama bila ada riwayat anaafilaksis atau reaksi anafilaktoid. Adanya allergen kontak terhadapa karet sarung tangan atau buah buahan, dapat dilakukan tes pada lengan bawah, pada kasus ini urtikaria kontak. Tes provikai oral mungkin diperlukan untuk mengetahui kemungkinan urtikaria akibat obat dan makanan tertentu. Tes ini menggunakan suatu seri kapsul yang mengandung pengawet makanan, pewarna makanan, dan dosis kecil asetilsalisilat yang diberikan secara bergantian dengan kapsul placebo. Metode tes seperti ini relative slit disimpulkan dan pasien harus benar benar tidak mengkonsumsi obat obatan. Selain

itu, tes ini dilakukan saat tidak terjadi urtikaria, diet ketat terhadap bahan yang dicurigai sebelum dilakukannya tes tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Sudoyo A.W., Setyohadi B, Alwi Idrus, Simanibrata M., Setati S. Buku Ajar Ilmu Prnyakit Dalam Jilid II. Jakarta. Pusat Penerbitan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2010.

Katzung bertam G. Farmakologi Dasar dan Klinik Buku 1. Jakarta. Salemba Medika. 2001.

Syarif Amir, dkk. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta. Balai penerbit FK UI.2007.

Kumar, Robbins, Cotran . Buku Ajar patologi Edisi 7 Vol 1 . Jakarta . EGC.2007.

Jawet dan Adelberg. Mikrobiologi Kedokteran ed. 23. EGC. Jakarta. 2007

You might also like