You are on page 1of 84

PENGARUH SARI KEDELAI (Glycine max L.

) TERHADAP APOPTOSIS SEL PADA KANKER PARU TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus) YANG DIINDUKSI 7,12-Dimetilbenz(a)antrasen (DMBA)

SKRIPSI

Oleh Alfa Miftahul Khoir NIM 082010101033

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER 2013

PENGARUH SARI KEDELAI (Glycine max L.) TERHADAP APOPTOSIS SEL PADA KANKER PARU TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus) YANG DIINDUKSI 7,12-Dimetilbenz(a)antrasen (DMBA)

SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kedokteran (S1) dan mencapai gelar Sarjana Kedokteran

Oleh Alfa Miftahul Khoir NIM 082010101033

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER 2013

PERSEMBAHAN Skripsi ini saya persembahkan untuk: 1. Allah SWT, atas ridho dan amanah-Nya sehingga saya bisa mendapatkan kesempatan untuk belajar semua ilmu yang luar biasa ini. Semoga barokah atas semua yang saya kerjakan selama ini; 2. Rasulullah Muhammad SAW, karena lewat beliau agama Allah telah disempurnakan sehingga saya memiliki pegangan dan tujuan hidup yang jelas; 3. Ibunda Sri Monah dan ayahanda Purwiyanto tercinta yang senantiasa memberikan doa, dukungan, bimbingan dan kasih sayang tiada henti, serta pengorbanan yang telah dilakukan untukku setiap waktu; 4. Guru-guruku terhormat, yang telah memberikan ilmu dan mendidik dengan susah dan penuh kesabaran untuk menjadikanku manusia yang berilmu dan bertakwa; 5. Almamater Fakultas Kedokteran Universitas Jember atas seluruh kesempatan menimba ilmu yang berharga ini;

MOTO Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itu penghuni surga. Mereka kekal didalamnya. (QS. Al-Baqarah 2:82)*)

Ilmu adalah lebih baik daripada kekayaan kerana kekayaan harus dijaga, sedangkan ilmu menjaga kamu **)

*)Departemen Agama RI Al-Hikmah. 2007. Al-Quran dan Terjemahnya. Bandung: Diponegoro. **) Sayidina Ali bin Abi Thalib

PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Alfa Miftahul Khoir NIM : 082010101033 menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya ilmiah yang berjudul Pengaruh Sari Kedelai (Glycine max L.) terhadap Apoptosis Sel pada Kanker Paru Tikus Wistar (Rattus norvegicus) yang Diinduksi 7,12-Dimetilbenz(a)antrasen (DMBA) adalah benar-benar hasil karya sendiri, kecuali kutipan yang sudah saya sebutkan sumbernya, belum pernah diajukan pada institusi manapun, dan bukan karya jiplakan. Saya bertanggung jawab atas keabsahan dan kebenaran isinya sesuai dengan sikap ilmiah yang harus dijunjung tinggi. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, tanpa ada tekanan dan paksaan dari pihak manapun serta bersedia mendapat sanksi akademik jika ternyata pernyataan ini tidak benar.

Jember, 21 Februari 2013 Yang menyatakan,

Alfa Miftahul Khoir NIM 082010101033

SKRIPSI

PENGARUH SARI KEDELAI (Glycine max L.) TERHADAP APOPTOSIS SEL PADA KANKER PARU TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus) YANG DIINDUKSI 7,12-Dimetilbenz(a)antrasen (DMBA)

Oleh Alfa Miftahul Khoir NIM 082010101033

Pembimbing :

Dosen Pembimbing Utama

: dr. Heni Fatmawati, M.Kes.

Dosen Pembimbing Anggota : dr. Nindya Shinta Rumastika, M.Ked.

PENGESAHAN Skripsi berjudul Pengaruh Sari Kedelai (Glycine max L.) terhadap Apoptosis Sel pada Kanker Paru Tikus Wistar (Rattus norvegicus) yang Diinduksi 7,12Dimetilbenz(a)antrasen (DMBA) telah diuji dan disahkan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Jember pada: hari, tanggal tempat : 21 Februari 2013 : Fakultas Kedokteran Universitas Jember

Penguji I,

Penguji II,

dr. Azham Purwandhono, M.Si. NIP.19810518 200604 1 002

dr. Sugiyanta, M.Ked. NIP.19790207 200501 1 001

Penguji III,

Penguji IV,

dr. Heni Fatmawati, M.Kes. NIP.19760212 200501 2 001

dr. Nindya Shinta R.,M.Ked. NIP. 19780831 200501 2 001

Mengesahkan, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Jember

dr. Enny Suswati, M.Kes NIP. 19700214 199903 2 001

RINGKASAN Pengaruh Sari Kedelai (Glycine max L.) terhadap Apoptosis Sel pada Kanker Paru Tikus Wistar (Rattus norvegicus) yang Diinduksi 7,12 Dimetilbenz(a) antrasen (DMBA); Alfa Miftahul Khoir; 082010101033; 2013: 62 halaman; Fakultas Kedokteran Universitas Jember. Kanker paru adalah tumor ganas paru primer yang berasal dari saluran nafas atau epitel bronkus. Terjadinya kanker ditandai dengan pertumbuhan sel yang tidak normal, tidak terbatas, dan merusak sel jaringan yang normal. Kanker paru menduduki urutan kedua penyebab utama kematian seseorang akibat kanker, setelah kanker payudara (Nurmaya, 2010). Penemuan suatu agen pencegah kanker yang berasal dari alam kian diminati oleh masyarakat karena bahan alam tidak berbahaya bagi tubuh mengingat terapi kanker yang selama ini memiliki efek samping yang sangat berbahaya terhadap tubuh kita. Untuk itu diperlukan suatu usaha dalam rangka menggali potensi alam khususnya di Indonesia sebagai alternatif pengobatan kanker terutama sebagai agen kemopreventif (Li et al., 1999). Salah satu komponen yang terdapat dalam kedelai yang bersifat anti kanker yaitu isoflavon. Mekanisme anti kanker dari isoflavon adalah menghambat aktivitas enzim penyebab kanker, aktivitas anti oksidan dan meningkatkan fungsi kekebalan sel (Koswara, 2006). Kedelai berpotensi sebagai agen kemopreventif baru untuk kanker paru, maka dilakukan penelitian ilmiah lebih lanjut untuk mengetahui apakah sari kedelai (Glycine max L.) mempunyai pengaruh terhadap apoptosis sel pada kanker paru tikus wistar (Rattus norvegicus) yang diinduksi 7,12-Dimetilbenz (a)antrasen (DMBA). Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratoris (Pratiknya, 2003) dengan rancangan penelitian yang digunakan adalah post test only control group design. Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah simple random sampling dengan 2 kelompok kontrol, yaitu kontrol negatif (pemberian pur dan aquadest) dan kontrol

positif (pemberian DMBA) serta 3 kelompok perlakuan, yaitu P1 (pemberian DMBA dan sari kedelai dosis 5mg/hari), P2 (pemberian DMBA dan sari kedelai dosis 10 mg/hari), dan P3 (pemberian DMBA dan sari kedelai dosis 20 mg/hari). Setiap kelompok perlakuan dilakukan pengamatan apoptosis sel dengan pemeriksaan histopatologi menggunakan pewarnaan imunohistokimia dengan Terminal Transferase and Biotin-16-dUTP (TUNEL Fluorescent Method) pada mikroskop cahaya dengan pembesaran 400 kali dalam 10 lapang pandang. Hasil dari pemeriksaan didapatkan rerata jumlah apoptosis sel paru tikus tiap kelompok adalah K(-) = 20,6; K(+) = 31,4; P1 = 31; P2 = 37,2; P3 = 46,6 tiap lapang pandang. Berdasarkan penelitian ini sari kedelai (Glycine max L.) terbukti dapat meningkatkan apoptosis sel pada kanker paru tikus wistar (Rattus norvegicus) yang diinduksi DMBA dan didapatkan adanya pengaruh pemberian dosis sari kedelai terhadap apoptosis sel pada kanker paru yang paling efektif dalam penelitian ini adalah sebesar 20 mg/hari.

PRAKATA

Puji syukur kehadirat ALLAH SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pengaruh Sari Kedelai (Glycine max L.) terhadap Apoptosis Sel Pada Kanker Paru Tikus Wistar (Rattus norvegicus) yang Diinduksi 7,12-Dimetilbenz(a)antrasen (DMBA). Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan pendidikan strata satu (S1) pada Fakultas Kedokteran Universitas Jember. Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. dr. Enny Suswati, M.Kes. selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Jember atas segala fasilitas dan kesempatan yang diberikan selama menempuh pendidikan kedokteran di Universitas Jember; 2. dr. Heni Fatmawati, M.Kes. selaku Dosen Pembimbing Utama dan dr. Nindya Shinta Rumastika, M.Ked. selaku Dosen Pembimbing Anggota yang telah meluangkan waktu, pikiran, tenaga, dan perhatiannya dalam penulisan tugas akhir ini; 3. dr. Azham Purwandhono, M.Si. selaku Dosen Penguji I dan dr. Sugiyanta, M.Ked. selaku Dosen Penguji II yang telah memberikan nasihat dan koreksi yang membangun dalam penulisan tugas akhir ini; 4. dr. M. Ihwan Narwanto, M.Sc. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing, memberi nasihat dan motivasi penulis selama menjadi mahasiswa; 5. Ayahanda Purwiyanto dan ibunda Sri Monah tercinta yang senantiasa memberikan doa, dukungan, bimbingan dan kasih sayang tiada henti, serta pengorbanan yang telah dilakukan untukku setiap waktu; 6. Adikku Beta Khoirur Rijal dan Gamma Pria Utama. yang selalu memberiku semangat dan senyum setiap saat;

7. Rekan kelompok penelitian, Delina, Marsel, Dhea, Yuda, Raras, Natha, Faliq, Ellen, Taufiq, Amin, dan Rahde yang telah telah membantu dan selalu memberikan dorongan serta semangat; 8. Teman-teman The Doctors 2008 tercinta yang telah berjuang bersama-sama demi gelar Sarjana Kedokteran; 9. Analis Laboratorium Fisiologi Fakultas Kedokteran Gigi Univeritas Jember, Mas Agus, terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya, dukungan serta masukan selama penelitian skripsi ini; 10. Keluarga besar, Wisma Wijaya Mastrip 2 No. 73 yang telah menjadi teman yang hebat dan mendukung terselesainya tugas akhir ini; 11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Penulis juga menerima segala kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap, semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Jember, 21 Februari 2013

Penulis

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ...................................................................................... HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................... HALAMAN MOTTO .................................................................................... HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................ HALAMAN BIMBINGAN ............................................................................ HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ RINGKASAN ................................................................................................. PRAKATA ...................................................................................................... DAFTAR ISI ................................................................................................... DAFTAR TABEL .......................................................................................... DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... ii iii iv v vi vii viii x xii xv xvi

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xvii BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................. 1.1 1.2 1.3 1.4 Latar Belakang ....................................................................... Rumusan Masalah .................................................................. Tujuan Penulisan .................................................................... Manfaat Penelitian ................................................................. 1 1 3 3 3 4 4 4 7 9 10 12 12

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 2.1 Paru .......................................................................................... 2.1.1 Anatomi dan Fisiologi paru .......................................... 2.1.2 Histologi Paru ............................................................... 2.1.3 Vaskularisasi, Inervasi dan Aliran Limfatik Paru......... 2.1.4 Anatomi Rattus norvegicus........................................... 2.2 Kanker Paru............................................................................ 2.2.1 Epidemiologi.................................................................

2.2.2 Faktor Resiko ................................................................ 2.2.3 Etiologi dan Patogenesis ............................................... 2.2.4 Morfologi dan Manifestasi Klinis................................. 2.2.5 2.2.6 2.2.7 2.2.8 2.3 2.4 Stadium Kanker Paru .................................................... Prinsip Terapi................................................................ Prognosis Kanker Paru ................................................. Upaya Pencegahan Kanker Paru ...................................

13 14 14 17 19 20 20 20 25 25 26 28 32 34 35 36 36 36 38 38 38 39 39 39 39 39 39 40 40 40

Apoptosis ................................................................................. Tanaman Kedelai.................................................................... 2.4.1 2.4.2 Taksonomi Kedelai ....................................................... Deskripsi Tanaman Kedelai ..........................................

2.5 2.6 2.7 2.8

Kandungan dan Manfaat Kedelai pada Kanker ................ DMBA (7,12-Dimethylebenz(a)antrhacene) .......................... Kerangka Konseptual ............................................................ Hipotesis Penelitian ................................................................

BAB 3. METODE PENELITIAN ................................................................. 3.1 3.2 3.3 3.4 Jenis Penelitian ....................................................................... Rancangan Penelitian............................................................. Besar Sampel ........................................................................... Tempat dan Waktu Penelitian .............................................. 3.4.1 3.4.2 3.5 Tempat Penelitian ......................................................... Waktu Penelitian...........................................................

Variabel Penelitian ................................................................. 3.5.1 3.5.2 3.5.3 Variabel Bebas .............................................................. Variabel Terikat ............................................................ Variabel Terkendali ......................................................

3.6 3.7

Definisi Operasional Variabel ............................................... Alat dan Bahan Penelitian ..................................................... 3.7.1 3.7.2 Alat ............................................................................... Bahan ............................................................................

3.8

Prosedur Penelitian ................................................................ 3.8.1 Pemeliharaan Hewan Coba dan Pembuatan sari Kedelai ................................................................... 3.8.2 3.8.3 3.8.4 3.8.5 Perlakuan Hewan Coba................................................. Pengambilan dan Penyimpanan Jaringan Paru ............. Pembuatan Sediaan Apoptosis Jaringan Paru ............... Pewarnaan Sel Apoptosis dengan Terminal transferase and Biotin-16-dUTP (TUNEL Fluorescent Method) ... 3.8.6 Pengamatan dan Penghitungan Apoptosis Jaringan Paru ................................................................

40

40 41 42 42

43

44 44 45 46 46 46 49 53 58 58 58 59 63

3.9

Analisis Data Penelitian .........................................................

3.10 Alur Penelitian ........................................................................ BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 4.1 Hasil Penelitian ....................................................................... 4.1.1 4.1.2 4.2 Data Hasil Penelitian .................................................... Hasil Uji Analisis..........................................................

Pembahasan ............................................................................

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 5.1 5.2 Kesimpulan ............................................................................. Saran ........................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... LAMPIRAN ....................................................................................................

DAFTAR TABEL Halaman 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 3.1 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 Anatomi Pembagian Lobus Paru ............................................................ Klasifikasi Ilmiah Rattus norvegicus ...................................................... Standar Penggolongan Stadium Kanker Paru ......................................... Stadium Kanker Paru Menurut Klasifikasi TNM ................................... Komposisi Kedelai.................................................................................. Perbandingan Protein Kedelai dengan Bahan Makanan Lain ................ Kelompok Perlakuan Dalam Penelitian .................................................. Rerata Apoptosis Sel Pada Tiap Kelompok............................................ Hasil Uji Normalitas ............................................................................... Hasil Uji Homogenitas ........................................................................... Uji ANOVA ............................................................................................ Hasil Uji Lanjutan Post Hoc Dengan Tes Tukey HSD ........................... 5 11 17 18 29 29 42 46 49 50 50 51

DAFTAR GAMBAR Halaman 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 Anatomi Saluran Pernapasan Manusia ................................................... Histologi Bronkus ................................................................................... Anatomi Rattus norvegicus..................................................................... Kanker Paru ............................................................................................ Jalur Apoptosis ....................................................................................... Biji Tanaman Kedelai ............................................................................. Alur Potensial Metabolik Pada DMBA Dari Senyawa Prokarsinogen Menjadi Ultimate Carcinogen ........................................ 3.1 3.2 4.1 4.2 Skema Rancangan Penelitian .................................................................. Skema Alur Penelitian ............................................................................ Diagram Rerata Apoptosis Sel Paru pada Berbagai Kelompok ............. Gambaran Histopatologi Apoptosis Sel Paru pada Tiap Kelompok Dengan Pewarnaan Imunohistokimia Metode TUNEL.......................... 48 33 37 45 47 6 8 12 15 24 28

DAFTAR LAMPIRAN Halaman A. Cara Pewarnaan Sel Apoptosis dengan Terminal Transferase and Biotin-16-dUTP (TUNEL Fluorescent Method) ................................ B. Hasil Analisis SPSS .................................................................................. C. Hasil Penghitungan Apoptosis Tiap Lapang Pandang .............................. D. Foto Dokumentasi Penelitian .................................................................... 63 64 66 67

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker menjadi masalah kesehatan dari banyak negara di dunia dan termasuk penyakit yang menjadi perhatian serius pada bidang kedokteran. Hal ini disebabkan oleh jumlah korban yang terus meningkat dari tahun ke tahun dan belum ditemukan cara yang efektif untuk pengobatannya. Di beberapa bagian dunia, dalam waktu singkat kanker telah menyebabkan kematian yang cukup tinggi pada populasi penduduk. Kematian akibat penyakit kanker di Amerika Serikat mencapai 22%, berada di urutan kedua setelah penyakit kardiovaskular 37% (King, 2000). Di Indonesia, kanker menempati peringkat keenam penyebab kematian setelah penyakit infeksi, kardiovaskular, kecelakaan lalu lintas, defisiensi nutrisi dan penyakit kongenital. Diperkirakan ada 170-190 kasus baru pada setiap 100.000 penduduk tiap tahun (Tjindarbumi dan Mangunkusumo, 2002). Kanker merupakan kumpulan sel abnormal yang terbentuk oleh sel yang tumbuh secara terus-menerus, tidak terbatas, tidak terkoordinasi dengan jaringan sekitarnya dan tidak berfungsi fisiologis. Kanker umumnya timbul dan berkembang biak pada jaringan sekitarnya (infiltratif), dapat menyebar kebagian lain tubuh (metastasis), bersifat merusak (destruktif) dan umumnya fatal jika dibiarkan (Nurmaya, 2010). Sel kanker dapat tumbuh pada berbagai organ manusia salah satunya yaitu paru. Kanker paru adalah tumor ganas paru primer yang berasal dari saluran nafas atau epitel bronkus. Terjadinya kanker ditandai dengan pertumbuhan sel yang tidak normal, tidak terbatas, dan merusak sel jaringan yang normal. Kanker paru menduduki urutan kedua penyebab utama kematian seseorang akibat kanker, setelah kanker payudara. Menurut World Health Organization (WHO) terdapat sekitar 1,2 juta kasus baru setiap tahun dan merupakan 17,8% penyebab kematian karena kanker. The American Cancer Society memperkirakan pada tahun 2006

terdapat 174.470 (12%) kasus baru kanker paru. Lebih dari 3 juta orang pasien kanker paru, terutama berasal dari negara berkembang (Hidayat, 2008). Data epidemiologi kanker paru di Indonesia masih belum ada, sedangkan di Rumah Sakit Persahabatan didapatkan pada tahun 2003 terdapat 213 kasus, tahun 2004 terdapat 220 kasus, tahun 2005 terdapat 140 kasus, tahun 2006 terdapat 218 kasus dan tahun 2007 terdapat 282 kasus (Swidarmoko, 2007). Kanker paru bisa disebabkan oleh banyak faktor, merokok merupakan faktor yang berperan paling penting, yaitu 85% dari seluruh kasus. Kejadian kanker paru pada perokok dipengaruhi oleh usia mulai merokok, jumlah batang rokok yang dihisap setiap hari, lamanya kebiasaan merokok, dan lamanya berhenti merokok. Selain merokok faktor penyebab kanker paru yaitu perokok pasif, polusi udara, paparan zat karsinogen (asbestos, uranium, radon, arsen, kronium), penyakit paru dan genetik (Van Houtte, 2001). Selama 20 tahun terakhir sejumlah percobaan telah dilakukan untuk mengurangi angka kematian pada penderita kanker paru, penggunaan terapi pembedahan, radio terapi, kombinasi kemoterapi ataupun kombinasi seluruhnya, namun perbaikan kelangsungan hidup masih kecil. Hasil pengobatan kanker paru saat ini masih kurang memuaskan, jadi dibutuhkan usaha pencegahan, salah satu usaha pencegahan kanker yaitu gaya hidup sehat dengan cara mengkonsumsi makanan yang memiliki kandungan yang bisa menghambat pertumbuhan kanker. Kedelai (Glycine max L.) adalah salah satu sumber makanan yang berpotensi sebagai agen kemopreventif kanker. Antioksidan pada kedelai berguna mengikat radikal bebas yang dapat berpotensi terhadap timbulnya penyakit kanker (Li et al., 1999). Kedelai merupakan tanaman yang termasuk dalam suku polong-polongan (Leguminoceace). Kedelai mengandung senyawa antioksidan diantaranya adalah vitamin E, vitamin A, provitamin A, vitamin C dan senyawa flavonoid golongan isoflavon, genistein dan daidzein. Isoflavon dalam kedelai dipercaya memiliki efek anti kanker dengan menghambat aktivitas enzim penyebab kanker, aktifitas antioksidan, meningkatan kekebalan sel dan sebagai zat anti estrogen. Selain berfungsi untuk mencegah kanker, biji kedelai juga berfungsi untuk menurunkan

resiko terkena penyakit jantung, diabetes, ginjal dan osteoporosis (Koswara, 2006). Berdasarkan potensi kedelai sebagai agen kemopreventif kanker salah satunya untuk kanker paru, maka penulis ingin melakukan penelitian mengenai Pengaruh Sari Kedelai (Glycine max L.) terhadap Apoptosis Sel Pada Kanker Paru Tikus Wistar (Rattus norvegicus) Yang Diinduksi 7,12Dimetilbenz(a)antrasen (DMBA).

1.2 Rumusan Masalah a. Bagaimana pengaruh sari kedelai (Glycine max L.) terhadap apoptosis sel pada kanker paru tikus wistar (Rattus norvegicus) yang diinduksi DMBA? b. Bagaimana pengaruh perbedaan pemberian dosis kedelai terhadap apoptosis sel pada kanker paru tikus wistar (Rattus norvegicus) yang diinduksi DMBA?

1.3 Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui pengaruh sari kedelai (Glycine max L.) terhadap apoptosis sel pada kanker paru tikus wistar (Rattus norvegicus) yang diinduksi DMBA. b. Untuk mengetahui pengaruh perbedaan pemberian dosis sari kedelai terhadap apoptosis sel pada kanker paru tikus wistar (Rattus norvegicus) yang diinduksi DMBA.

1.4 Manfaat Penelitian a. Hasil penelitian ini dapat menjadi pertimbangan pemilihan sari kedelai (Glycine max L.) sebagai agen kemopreventif alami untuk kanker paru. b. Memberikan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran tentang efek antikanker sari kedelai (Glycine max L.). c. Memberikan informasi dan pengetahuan untuk masyarakat mengenai kanker paru dan cara pencegahannya.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Paru Paru adalah organ tubuh yang berperan dalam sistem pernapasan (respirasi) yaitu proses pengambilan oksigen (O2) dari udara bebas saat menarik nafas, melalui saluran nafas (bronkus) dan sampai di dinding alveoli (kantong udara). Kemudian O2 akan ditransfer ke pembuluh darah yang di dalamnya mengalir sel darah merah untuk dibawa ke berbagai organ tubuh lain sebagai energi dalam proses metabolisme. Pada tahap berikutnya setelah metabolisme, sisa metabolisme terutama karbondioksida (CO2) akan dibawa darah untuk dibuang kembali ke udara bebas melalui paru pada saat membuang nafas. Secara khusus dapat dikatakan paru adalah tempat tubuh mengambil darah bersih (kaya O2) dan tempat pencucian darah yang berasal dari seluruh tubuh (banyak mengandung CO2) sebelum ke jantung untuk kembali diedarkan ke seluruh tubuh (Wirasadi, 2011).

2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Paru Paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri atas gelembung (gelembung hawa atau alveoli). Gelembung alveoli ini terdiri atas sel epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya lebih kurang 90 m2, pada lapisan inilah terjadi pertukaran udara, O2 masuk ke dalam darah dan C02 dikeluarkan dari darah. Banyaknya gelembung paru ini kurang lebih 700 juta buah (Kanban, 2009). Paru terletak di dalam rongga dada bagian atas, pada bagian samping dibatasi oleh otot dan rusuk dan pada bagian bawah dibatasi oleh diafragma yang berotot kuat. Paru mempunyai apeksi yang tumpul, menjorok ke atas dan masuk ke leher sekitar 2,5cm di atas klavikula. Di pertengahan permukaan medial, terdapat hilus pulmonalis, yaitu suatu lekukan tempat masuknya bronkus, pembuluh darah dan saraf ke paru. Paru terletak sedemikian rupa sehingga setiap paru berada di samping mediastinum. Oleh karenanya, paru dipisahkan satu sama

lain oleh jantung dan pembuluh besar serta struktur lain dalam mediastinum (Djojodibroto, 2009).
Tabel 2.1 Anatomi pembagian lobus paru Lobus Paru kanan Segmentum apikales Superior Segmentum posterius Segmentum anterius Paru kiri Segmentum apicoposterius Segmentum anterius Segmentum lingulares superius Segmentum lingulares inferius Segmentum laterales Medius Segmentum mediales Segmentum superius Segmentum basale mediales Inferior Segmentum anterius Segmentum basale laterales Segmentum basale posterius Sumber: (Putz dan Pabst, 2000). Segmentum superius Segmentum basales mediales Segmentum basales laterales Segmentum basales posterius -

Paru ada dua bagian yaitu paru kanan (pulmo dextra) dan paru kiri (pulmo sinistra). Paru kanan sedikit lebih besar dari paru kiri dan dibagi oleh fisura obliqua dan fisura horizontalis menjadi 3 lobus, yaitu lobus superior, lobus medius dan lobus inferior. Sedangkan paru kiri dibagi oleh fisura obliqua menjadi
2 lobus, yaitu lobus superior dan lobus inferior. Paru dibungkus oleh dua selaput tipis

yang disebut pleura. Selaput bagian dalam yang langsung menyelaputi paru disebut pleura dalam (pleura visceralis) dan selaput yang menyelaputi rongga dada yang bersebelahan dengan tulang rusuk disebut pleura luar (pleura parietalis). Antara kedua pleura ini terdapat rongga (kavum) yang disebut kavum pleura. Pada keadaan normal, kavum pleura ini vakum atau hampa udara sehingga paru dapat berkembang dan kempis, juga terdapat sedikit cairan (eskudat) yang

berguna untuk melumasi permukaannya, sehingga mengurangi gesekan antara paru dan dinding dada sewaktu bernafas (Kanban, 2009). Trakea akan bercabang menjadi 2 bronkus primarius yaitu bronkus primarius kanan dan bronkus primarius kiri. Setiap bronkus primarius akan bercabang menjadi bronkus lobaris. Setiap bronkus lobaris yang berjalan ke lobus paru mempercabangkan bronkus segmentalis. Setiap bronkus segmentalis yang masuk ke lobus paru secara struktural dan fungsional adalah independen, dan dinamakan segmen bronkopulmonalis. Segmen ini berbentuk piramid,

mempunyai apeks yang mengarah ke radiks pulmonalis dan basisnya mengarah ke permukaan paru. Setiap segmen dikelilingi oleh jaringan ikat, dan diisi oleh arteri, vena, pembuluh limfe dan saraf otonom (Djojodibroto, 2009).

Gambar 2.1 Anatomi saluran pernapasan manusia (Sumber : Trialsight Medical Media, 2008)

Alveolus adalah kantong udara terminal yang berhubungan dengan jejaring kaya pembuluh darah. Ukurannya bervariasi, tergantung lokasi anatominya, semakin negatif tekanan intrapleura di apeks, ukuran alveolus akan semakin besar. Ada dua tipe sel epitel alveolus. Tipe I berukuran besar, datar dan berbentuk skuamosa, bertanggung jawab untuk pertukaran udara. Sedangkan tipe II, yaitu pneumosit granular, tidak ikut serta dalam pertukaran udara. Sel tipe II inilah yang memproduksi surfaktan yang melapisi alveolus dan memcegah kolapnya alveolus (Djojodibroto, 2009).

2.1.2 Histologi Paru Sistem pernapasan biasanya dibagi menjadi 2 daerah utama, yaitu bagian konduksi yang terdiri atas rongga hidung, nasofaring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus, dan bronkiolus terminalis, dan bagian respirasi yang terdiri atas bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris dan alveoli. Bagian konduksi mempunyai 2 fungsi utama yaitu menyediakan sarana bagi udara yang keluar masuk paru dan mengkondisikan udara yang dihirup tersebut, sedangkan bagian respirasi mempunyai fungsi sebagai tempat berlangsungnya pertukaran gas (Junqueira dan Carneiro, 2007). Trakea bercabang di luar paru dan membentuk 2 bronkus primer atau bronkus ekstrapulmonal yang akan memasuki paru di hilus. Di setiap hilus, arteri masuk, dan vena beserta pembuluh limfe keluar. Setelah memasuki paru, bronkus primer berjalan ke bawah dan keluar, memberikan 3 cabang bronkus di paru kanan dan 2 buah di paru kiri, dan setiap bronkus memasok sebuah lobus paru (Junqueira dan Carneiro, 2007). Mukosa bronkus secara struktural mirip dengan mukosa trakea, dengan lamina propria yang mengandung kelenjar serosa, serat elastin, limfosit dan sel otot polos. Tulang rawan pada bronkus lebih tidak teratur dibandingkan pada trakea, pada bagian bronkus yang lebih besar, cincin tulang rawan mengelilingi seluruh lumen, dan sejalan dengan mengecilnya garis tengah bronkus, cincin tulang rawan digantikan oleh pulau tulang rawan hialin (Junqueira dan Carneiro, 2007).

Gambar 2.2 Histologi bronkus (Sumber: Eroschenko, 2010)

Bronkiolus tidak memiliki tulang rawan dan kelenjar pada mukosanya. Lamina propria mengandung otot polos dan serat elastin. Pada segmen awal hanya terdapat sebaran sel goblet dalam epitel. Pada bronkiolus yang lebih besar, epitelnya adalah epitel bertingkat silindris bersilia, yang makin memendek dan makin sederhana sampai menjadi epitel selapis silindris bersilia atau selapis kuboid pada bronkiolus terminalis yang lebih kecil. Terdapat sel clara pada epitel bronkiolus terminalis, yaitu sel tidak bersilia yang memiliki granul sekretori dan mensekresikan protein yang bersifat protektif. Terdapat juga badan neuroepitel yang kemungkinan berfungsi sebagai kemoreseptor. Mukosa bronkiolus respiratorius secara struktural identik dengan mukosa bronkiolus terminalis, kecuali dindingnya yang diselingi dengan banyak alveolus. Bagian bronkiolus respiratorius dilapisi oleh epitel kuboid bersilia dan sel clara, tetapi pada tepi muara alveolus, epitel bronkiolus menyatu dengan sel alveolus tipe 1. Semakin ke distal alveolusnya semakin bertambah banyak dan silia semakin jarang atau tidak dijumpai. Terdapat otot polos dan jaringan ikat elastis di bawah epitel bronkiolus respiratorius (Junqueira dan Carneiro, 2007). Semakin ke distal dari bronkiolus respiratorius maka semakin banyak terdapat muara alveolus, hingga seluruhnya berupa muara alveolus yang disebut sebagai duktus alveolaris. Terdapat anyaman sel otot polos pada lamina

proprianya, yang semakin sedikit pada segmen distal duktus alveolaris dan digantikan oleh serat elastin dan kolagen. Duktus alveolaris bermuara ke atrium yang berhubungan dengan sakus alveolaris. Adanya serat elastin dan retikulin yang mengelilingi muara atrium, sakus alveolaris dan alveoli memungkinkan alveolus mengembang sewaktu inspirasi, berkontraksi secara pasif pada waktu ekspirasi secara normal, mencegah terjadinya pengembangan secara berlebihan dan pengrusakan pada kapiler halus dan septa alveolar yang tipis (Junqueira dan Carneiro, 2007). Alveolus merupakan struktur berongga tempat pertukaran gas oksigen dan karbondioksida antara udara dan darah. Septum interalveolar memisahkan dua alveolus yang berdekatan, septum tersebut terdiri atas 2 lapis epitel gepeng tipis dengan kapiler, fibroblas, serat elastin, retikulin, matriks dan sel jaringan ikat. Terdapat sel alveolus tipe 1 yang melapisi 97% permukaan alveolus, fungsinya untuk membentuk sawar dengan ketebalan yang dapat dilalui gas dengan mudah. Sitoplasmanya mengandung banyak vesikel pinositotik yang berperan dalam penggantian surfaktan (yang dihasilkan oleh sel alveolus tipe 2) dan pembuangan partikel kontaminan kecil. Antara sel alveolus tipe 1 dihubungkan oleh desmosom dan taut kedap yang mencegah perembesan cairan dari jaringan ke ruang udara. Sel alveolus tipe 2 tersebar di antara sel alveolus tipe 1, keduanya saling melekat melalui taut kedap dan desmosom. Sel tipe 2 tersebut berada di atas membran basal, berbentuk kuboid dan dapat bermitosis untuk mengganti dirinya sendiri dan sel tipe 1 (Junqueira dan Carneiro, 2007).

2.1.3 Vaskularisasi, Inervasi dan Aliran Limfatik Paru Paru mendapat darah dari dua sistem arteri, yaitu arteri pulmonalis dan arteri bronkialis. Arteri pulmonalis bercabang dua mengikuti bronkus utama kanan dan kiri untuk kemudian bercabang membentuk ramifikasi yang memasok darah ke interstisial paru. Paru kanan mendapat suplai darah dari arteri pulmonalis dextra. Arteri ini lebih panjang apabila dibandingkan dengan arteri pulmonalis sinistra. Arteri ini melewati mediastinum secara horizontal, berada di sebelah anteroinferior dari bifurkasio trakea, dan di sebelah anterior dari bronkus utama.

Arteri pulmonalis dextra bercabang menjadi dua, cabang yang pertama memvaskularisasi lobus superior dan cabang yang kedua memvaskularisasi lobus medial dan lobus inferior. Sedangkan paru kiri mendapat suplai darah dari arteri pulmonalis sinistra. Arteri pulmonalis sinistra terletak pada anterior dari aorta desenden, dan sebelah posterior dari vena paru bagian atas (Drake et al., 2007). Paru di inervasi oleh saraf parasimpatis nervus vagus dan saraf simpatis. Bagian otot polos saluran nafas di inervasi oleh nervus vagus aferen dan eferen. Nervus vagus aferen dan eferen ini kemudian membentuk pleksus, yaitu pleksus pulmonalis kanan dan pleksus pulmonalis kiri yang keduanya saling berhubungan di anteroposterior bifurkasio trakea dan bronkus utama. Pleksus anterior lebih kecil dari pada pleksus posterior. Untuk pleura parietalis mendapat inervasi dari nervus intercostalis dan nervus frenikus (Grey, 2008). Jaringan limfatik paru berada pada jaringan ikat seperti pleura, septa interlobular, serta pembungkus peribronkovaskular. Terdapat 6 nodus limfa yang berperan dalam drainase cairan limfa paru, yaitu nodus limfa intrapulmonalis, nodus limfa trakeobronkialis, nodus limfa bronkopulmonalis, nodus limfa paratrakealis, nodus limfa skaleni, dan nodus limfa di arkus aorta. Pembuluh limfe besar di sebelah kanan adalah trunkus limfatikus bronkomediastinalis, trunkus limfatikus jugularis, serta trunkus limfatikus subklavius, dan di sebelah kiri terdapat duktus torasikus (Djojodibroto, 2009).

2.1.4 Anatomi Rattus norvegicus Tikus (Rattus sp) termasuk dalam subfilum Vertebrata. Secara umum morfologi tubuh tikus dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu kepala dan badan beserta bagiannya. Bentuk kepala tikus adalah kerucut atau kerucut terpotong, dengan misai (kumis) pada ujung moncongnya yang berfungsi sebagai alat peraba, sedangkan bentuk badan tikus adalah silindris memanjang kebelakang. Batas antara kepala dan badan tidak begitu jelas sehingga dalam identifikasi jenis tikus, kepala dan badan digabung dan dipisahkan dengan ekor. Badan ditutupi oleh rambut yang warnanya berbeda tergantung jenisnya. Pada bagian bawah badan tikus betina yang sudah dewasa terdapat puting susu yang jumlahnya

bervariasi antara 2 sampai 6 pasang, tergantung dari jenisnya. Pada bagian ujung belakang badan bagian bawah terdapat alat kelamin dan anus. Pada tikus jantan dewasa terdapat organ kelamin berupa kantung yang merupakan tempat dihasilkannya sperma. Pada saat tikus belum dewasa kantung tersebut berada di dalam tubuh, kemudian berangsur keluar sesuai dengan umur tikus. Pada badan tikus terdapat anggota badan berupa kaki dan ekor. Pada telapak kaki terdapat tonjolan yang berfungsi untuk membantu tikus dalam memanjat. Ekor tikus gundul (tidak berambut), merupakan ciri yang membedakannya dengan bajing (ekor berambut tebal) dan landak (ekor berduri) (Fatmal, 2009).
Tabel 2.2 Klasifikasi ilmiah Rattus norvegicus

Tingkatan Kingdom Phylum Subphylum Class Order Family Genus Spesies

Klasifikasi ilmiah Rattus norvegicus Animalia Chordata Vertebrata Mammalia Rodentia Muridae Rattus Norvegicus

Sumber: Sowash, J. R (2009).

Sistem pernapasan pada Rattus norvegicus meliputi nares anteriores, cavum nasi, nares posteriors, laring, trakea, bronkus, dan pulmo. Selama respirasi, udara masuk melalui eksternal nares dan bagian nasal ke nasopharing dan turun melalui glotis ke dalam laring. Dari laring, udara ke trakea yaitu suatu pipa berlubang yang didukung oleh cincin kartilago. Trakea bercabang menjadi dua bronkus utama. Bronkus tersebut masuk ke paru, bercabang lagi menjadi bronkiolus, dan berakhir di alveoli yang menjadi tempat pertukaran gas (Lytle dan Meyer, 2005).

Gambar 2.3 Anatomi Rattus norvegicus (Sumber: Lytle dan Meyer, 2005).

2.2 Kanker Paru 2.2.1 Epidemiologi Kanker paru merupakan penyakit keganasan dan penyebab utama kematian di seluruh dunia. Sekitar 1/3 kematian karena kanker pada pria ternyata disebabkan kanker paru. Menurut World Health Organization (WHO) terdapat sekitar 1,2 juta kasus baru setiap tahun dan merupakan 17,8% penyebab kematian karena kanker. The American Cancer Society memperkirakan pada tahun 2006 terdapat 174.470 (12%) kasus baru kanker paru. Prevalensi kanker paru di negara maju sangat tinggi, di USA tahun 1993 dilaporkan 173.000/tahun, di inggris 40.000/tahun. Data epidemiologi kanker di Rumah Sakit Persahabatan didapatkan pada tahun 2003 terdapat 213 kasus, tahun 2004 terdapat 220 kasus, tahun 2005 terdapat 140 kasus, tahun 2006 terdapat 218 kasus dan tahun 2007 terdapat 282 kasus (Swidarmoko, 2007).

2.2.2 Faktor resiko Meskipun faktor resiko dari kanker paru belum diketahui secara pasti, tetapi ada beberapa faktor yang bisa meningkatkan insidensi dari kanker paru, diantaranya: a. Merokok. Tidak diragukan lagi merokok merupakan faktor utama. Suatu hubungan statistik yang definitif telah ditegakkan antara perokok berat (lebih dari dua puluh batang sehari) dengan kanker paru (karsinoma bronkogenik). Perokok seperti ini mempunyai kecenderungan sepuluh kali lebih besar dari pada perokok ringan. Hidrokarbon karsinogenik telah ditemukan dalam tar dari tembakau rokok yang jika dikenakan pada kulit hewan dapat menimbulkan tumor (Price dan Wilson, 2006). b. Radiasi Insidensi karsinoma paru yang tinggi pada penambang kobalt di Schneeberg dan penambang radium di Joachimsthal (lebih dari 50% meninggal akibat kanker paru) berkaitan dengan adanya bahan radioaktif dalam bentuk radon (Price dan Wilson, 2006). c. Kanker paru akibat kerja. Terdapat insidensi yang tinggi dari pekerja yang terpapar dengan karbonil nikel, arsenik, pekerja pemecah hematite dan orang yang bekerja dengan asbestos (Price dan Wilson, 2006). d. Polusi udara. Mereka yang tinggal di kota mempunyai angka kejadian kanker paru yang lebih tinggi dari pada mereka yang tinggal di desa, karena adanya karsinogen dari industri dan uap diesel dalam atmosfer di kota (Price dan Wilson, 2006). e. Diet. Dilaporkan bahwa rendahnya konsumsi betakaroten, selenium dan vitamin A menyebabkan tingginya resiko terkena kanker paru (Price dan Wilson, 2006).

2.2.3 Etiologi dan Patogenesis Kanker paru muncul melalui akumulasi bertahap kelainan genetik yang menyebabkan transformasi epitel bronkus jinak menjadi jaringan neoplastik. Salah satu faktor penting yang berpengaruh dalam menimbulkan kelainan genetik adalah rokok. Rangkaian perubahan molekular yang terjadi tidak bersifat acak, tetapi mengikuti sekuensi yang sejajar dengan perkembangan histologi menjadi kanker. Perubahan tersebut dimulai dari mutasi gen 3p yang merupakan gen penekan tumor, kemudian diikuti mutasi dari P53 dan pengaktifan onkogen KRAS (Kumar et al., 2007). Pada epitel bronkus pasien kanker paru, serta pada epitel pernapasan perokok yang tidak mengidap kanker paru di temukan terjadi perubahan genetik tertentu, seperti hilangnya bahan kromosom 3p yang mengisyaratkan bahwa perjalanan ke karsinogen menyebabkan mukosa pernapasan secara luas melangalami mutagenesis dan setiap sel yang yang mengalami mutasi akan mengakumulasi sel lain yang akhirnya akan berkembang menjadi kanker (Kumar et al., 2007).

2.2.4 Morfologi dan Manifestasi Klinis Kanker paru berawal sebagai lesi mukosa kecil yang biasanya padat dan berwarna putih keabuan. Lesi dapat membentuk massa intralumen, menginvasi mukosa bronkus atau membentuk massa besar yang mendorong parenkim paru di dekatnya. Beberapa tumor besar mengalami kavitas akibat nekrosis sentral atau terbentuknya fokus perdarahan. Akhirnya sel kanker ini dapat meluas ke pleura, menginvasi rongga pleura dan dinding dada, dan menyebar ke struktur intratoraks di dekatnya. Penyebaran yang lebih jauh dapat terjadi melalui limfatik atau darah (Kumar et al., 2007).

Gambar 2.4 Kanker paru (sumber: Kumar et al., 2007).

Menurut histologinya, kanker paru di klasifikasikan sebagai berikut (Kumar et al., 2007) : 2.2.4.1 Kanker paru non sel kecil (NSCLC) a. Karsinoma sel skuamosa Tumor ini lebih sering pada pria dari pada wanita, tumor ini cenderung timbul pada bagian tengah bronkus utama dan akhirnya menyebar ke kelenjar hilus lokal, tetapi tumor ini lebih lambat menyebar keluar toraks dibandingkan dengan tipe histologik yang lainnya. Secara histologis, tumor ini berkisar dari neoplasma sel skuamosa berdifensiasi baik yang memperlihatkan pearls keratin dan jembatan antar sel sehingga neoplasma berdiferensiasi buruk yang hanya sedikit memperlihatkan gambaran sel skuamosa (Kumar et al., 2007). b. Adenokarsinoma Tumor ini dapat bermanifestasi sebagai suatu sel sentral seperti sel skuamosa, tetapi biasanya terletak lebih perifer dan banyak di antaranya timbul pada jaringan parut paru perifer. Adenokarsinoma adalah memiliki keterkaitan paling lemah dengan riwayat merokok di bandingkan dengan subtipe kanker paru yang lainnya (Kumar et al., 2007). c. Karsinoma bronkioloalveolus Tumor ini mengenai bagian perifer paru, baik sebagai nodus tunggal atau yang lebih sering sebagai nodus difus multipel yang mungkin menyatu untuk menghasilkan konsolidasi mirip pneumonia (Kumar et al., 2007).

d. Karsinoma sel besar Merupakan satu kelompok neoplasma yang tidak memperlihatkan differensiasi sitologik dan mungkin mencerminkan neoplasma sel skuamosa atau glandular yang sangat tidak berdiferensiasi sehingga sulit di golongkan. Karsinoma sel besar biasanya anaplastik, dan memiliki nukleus vaskular dengan nukleus mencolok. Subtipe dari kanker paru ini memiliki prognosis buruk karena kecenderungannya menyebar ke tempat jauh pada awal perjalanan penyakit (Kumar et al., 2007).

2.2.4.2 Kanker paru sel kecil (SCLC) Subtipe kanker paru ini terdiri atas sel tumor dengan bentuk bulat hingga lonjong, sedikit sitoplasma, dan kromatin granular. Sel neoplastik umumnya berukuran dua kali lipat jika di bandingkan dengan limfosit biasa. Tumor ini berasal dari sel neuroendokrin paru sehingga memperlihatkan berbagai macam penanda neuroendokrin selain sejumlah hormon polipeptida yang mungkin menyebabkan sindrom paraneoplastik (Kumar et al., 2007).

2.2.4.3 Pola kombinasi Subtipe kanker paru ini merupakan campuran dari beberapa subtipe kanker paru non sel kecil dan paru sel kecil. Subtipe ini merupakan yang paling sering terjadi pada kanker paru (Kumar et al., 2007). Kanker paru seringkali manifestasinya menyerupai pneumonitis. Batuk merupakan gejala umum yang sering diabaikan oleh penderitanya. Gejala umum lainnya yang sering ditemui adalah hemoptisis. Nyeri dada dapat timbul dengan berbagai macam bentuk akibat penyebaran neoplastik kearah mediastinum. Gejala penyebaran intratoraks dapat juga ditemukan yaitu akibat penyebaran lokal tumor ke struktur mediastinum dapat menimbulkan suara serak akibat terserangnya saraf laringeus rekuren, disfagia akibat keterlibatan esofagus, dan paralisis

hemidiafragma akibat keterlibatan saraf frenikus. Gejala penyebaran ekstratoraks bergantung pada tempat metastasis. Struktur yang sering terserang adalah kelenjar getah bening skalenus (terutama pada tumor paru perifer), kelenjar adrenalis

(50%), hati (30%), otak (20%), tulang (20%), dan ginjal (15%) (Price dan Wilson, 2006).

2.2.5 Stadium Kanker Paru Salah satu cara penggolongan stadium karsinoma paru yaitu dengan menggunakan cara TNM. Penggolongan stadium dengan cara ini memiliki makna klinis penting dalam hal penentuan lingkup lesi, formula terapi, kesamaan standar efektivitas terapi dan estimasi prognosis (Desen, 2008).
Tabel.2.3 Standar penggolongan stadium kanker paru Stadium IA IB IIA IIB IIB IIIA IIIB T1 T2 T1 T2 T3 T3 T1, T2, T3 T4 T1, T2, T3,T4 IV T berapapun Sumber : (Fauci et al., 2008) Klasifikasi TNM N1 N0 N1 N1 N0 N1 N2 N0, N1, N2 N3 N berapapun M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M1

Tabel.2.4 Stadium kanker paru menurut klasifikasi TNM

Tumor primer (T) Tx T0 Tis T1 tumor primer tidak dapat dinilai. tidak ada tumor primer. karsinoma in situ. diameter terbesar tumor 3cm, sekitarnya diselubungi paru atau pleura visceral, endoskopi menemukan tumor tak mengenai proksimal dari bronkus lobaris. ukuran tumor atau lingkupnya memenuhi salah satu konsidi berikut: diameterT terbesar tumor 3cm mengenai bronkus utama, tapi jarak ke karina 2cm; mengenai pleura visceral; ateletaksis atau pneumonitis obstruktif yang mencapai ke hilus paru, tapi tak mengenai seluruh paru. berapapun ukuran tumor sudah mengenai langsung salah satu struktur berikut: dinding torak (termasuk tumor pankreas), diafragma, pleura, mediastinal, perikardium; tumor dalam bronkus berjarak 2cm dari karina, tapi belummengenai karina; ateletaksis menyeluruh atau pneumonitis obstruktif keseluruhan paru. berapapun ukuran tumor sudah mengenai langsung salah satu struktur berikut: mediastinum, jantung, pembuluh darah besar, trakea, esofagus, vertebra, karina.

T2

T3

T4

Kelenjar limfe regional (N) NX N0 N1 N2 N3 kelenjar limfe regional tidak dapat dinilai. tidak ada metatasis kelenjar limfe regional. metastasis ke kelenjar limfe prebronkial ipsilateral dan atau kelnjar limfe hilus paru ipsilateral, dan tumor primer langsung mengenai kelenjar limfe intrapulmonal metastasis ke kelenjar limfe mediastinal ipsilateral dan atau subkarina. metastasis ke kelenjar limfe mediastinal kontralateral, hilus paru kontralateral, kelenjar limfe skaleni atau supraklavikular ipsilateral atau kontralateral.

Metastasis jauh (M) MX M0 M1 metastasis jauh tidak dapat dinilai. tidak ada metastasis jauh. terdapat metastasis jauh.

Sumber: (Fauci et al., 2008) 2.2.6 Prinsip Terapi Setelah melakukan diagnosis hitologik dan prosedur penentuan stadium anatomis dan fisiologis, dibuat rencana untuk pengobatan secara keseluruhan. Pengobatan yang sering digunakan adalah kombinasi dari pembedahan, radiasi, dan kemoterapi (Price dan Wilson, 2006). Pada pasien kanker paru non sel kecil (NSCLC) stadium I, II, dan beberapa kasus stadium IIIA pengobatan yang dipilih adalah pembedahan, kecuali jika tumor tidak dapat direseksi atau terdapat keadaan yang tidak memungkinkan pembedahan, misanya penyakit jantung. Pembedahan dapat berupa pengangkatan paru parsial atau total. Terapi radiasi umumnya dilakukan pada pasien dengan lesi stadium I dan stadium II jika terdapat kontraindikasi pembedahan, dan untuk lesi stadium III jika penyakit terbatas pada hemitoraks dan kelenjar getah bening supraklavikular ipsilateral. Jika kanker paru non sel kecil tersebar, terapi radiasi dapat diberikan pada daerah lokal untuk tujuan paliatif. Kombinasi kemoterapi juga dapat diberikan pada pasien kanker paru non sel kecil (NSCLC) (Price dan Wilson, 2006). Dasar terapi untuk pasien kanker paru sel kecil (SCLC) adalah kemoterapi, dengan atau tanpa terapi radiasi. Keoterapi dan radioterapi dada dapat diberikan pada pasien dengan stadium penyakit yang terbatas, jika secara fisiologis mereka mampu menjalani pengaobatan tersebut. Pada pasien dengan stadium penyakit yang ekstensif (luas) di lakukan pengobatan dengan kemoterapi saja. Beberapa regimen kombinasi kemoterapi yang sering digunakan terdiri dari siklofosfamid, doksorubisin, dan vinkristin, serta siklofosfamid, doksorubisin, dan etoposid. Terapi radiasi juga dapat digunakan untuk profilaksis metastasis ke otak, dan

untuk penanganan paliatif terhadap nyeri, hemoptisis berulang, efusi, atau obstruksi saluran nafas atau vena cava superior (Price dan Wilson, 2006).

2.2.7 Prognosis Kanker Paru Secara keseluruhan kanker paru non sel kecil memiliki prognosis yang lebih baik daripada kanker paru sel kecil. Jika kanker paru non sel kecil terdeteksi sebelum mengalami metastasis atau penyebaran lokal, dapat dicapai kesembuhan dengan lobektomi atau pneumonektomi (Kumar et al., 2007).

2.2.8 Upaya Pencegahan Kanker Paru Upaya yang dapat dilakukan paling utama adalah menjauhkan anak agar tidak merokok dan memberikan penyuluhan kepada orang yang merokok untuk berhenti merokok. Hal ini dikarenakan zat nikotin yang terkandung dalam setiap puntung rokok yang bersifat adiktif yang memberikan efek ketergantungan seperti heroin (Tjindarbumi dan Mangunkusumo, 2002).

2.3 Apoptosis Apoptosis adalah kematian sel terprogram yang merupakan proses penting dalam pengaturan homeostasis normal, proses ini menghasilkan keseimbangan dalam jumlah sel jaringan tertentu melalui eliminasi sel yang rusak dan proliferasi fisiologis dengan demikian memelihara agar fungsi jaringan tetap normal. Deregulasi apoptosis mengakibatkan keadaan patologis, termasuk proliferasi sel secara tidak terkontrol seperti dijumpai pada kanker. Ada berbagai bukti yang menyatakan kontrol apoptosis dikaitkan dengan gen yang mengatur

berlangsungnya siklus sel, diantaranya gen p53, Rb, Myc, E1A dan keluarga Bcl2. Gangguan regulasi dan proliferasi sel baik akibat aktivitas onkogen dominan maupun inaktivasi tumor supresor gen ada hubungannya dengan kontrol apoptosis. Beberapa jenis virus onkologik melaksanakan proses transformasi sel dengan cara mengganggu fungsi apoptosis dalam sel, misalnya SV40, herpes dan adenovirus, polioma maupun virus Epstein Barr (EBV) (Kresno, 2001).

Faktor-faktor yang bertanggung jawab dari serangkaian peristiwa apoptosis baik fisiologis, adaptif maupun patologis adalah: a. Kerusakan sel yang terprogram selama embriogenesis termasuk implantasi, organogenesis, involusi perkembangan dan metamorfosis yang tidak selalu didefinisikan secara fungsional sebagai kematian sel yang terprogram. b. Proses involusi yang tergantung hormon pada orang dewasa seperti penurunan sel endometrium selama siklus menstruasi, atresia folikuler ovarium pada menopause, regresi payudara setelah menyapih dan atropi prostat setelah kastrasi. c. Delesi sel pada populasi sel yang berproliferasi seperti epitel kripta usus (intestinum). d. Kematian sel pada tumor paling sering selama regresi pada tumor dengan pertumbuhan sel yang aktif. e. f. Kematian neutrofil selama respon respon inflamasi akut. Kematian sel imun baik limfosit B & T, setelah deflesi sitokin, seiring dengan delesi sel T autoreaktif pada timus yang sedang berkembang. g. Kematian sel yang diinduksi oleh sel T sitotoksik, seperti pada penolakan imum seluler. h. Atropi patologis pada organ parenkim setelah obtruksi duktus, seperti yang terjadi di pankreas, kelenjer parotis & ginjal. i. Lesi sel pada penyakit virus tertentu, misalnya pada hepatitis virus, dimana sel yang mengalami apoptosis Councilman. j. Kematian sel akibat berbagai stimulus lesi yang mampu menyebabkan nekrosis, kecuali bila diberikan dosis rendah, contohnya panas, radiasi, obat anti kanker sitotoksik & hipoksia dapat menyebabkan apoptosis jika kerusakan ringan, tapi dosis besar dengan stimulus yang sama menyebabkan kematian sel nekrotik (Cotran et al., 1999). dihepar yang dikenal sebagai badan

Mekanisme apoptosis terdiri dari 4 proses : a. Signaling. Apoptosis dapat dipicu dengan berbagai sinyal yang berkisar dari kejadian terprogram intrinsik (misalnya, pada perkembangan), kekurangan faktor tumbuh, interaksi ligan-reseptor spesifik, pelepasan granzim dari sel T sitotoksik, atau agen jejas tertentu (misalnya, radiasi). Sinyal transmembran juga dapat menekan program kematian yang terjadi sebelumnya (dan tentunya rangsang kelangsungan hidup) atau menginisiasi kaskade kematian sel (Kumar et al., 2007). Hal terpenting dari kelompok terakhir tersebut adalah yang termasuk superfamili Tumor Necrosis Factor reseptor (TNFR) pada molekul membran plasma (meliputi molekul permukaan FAS). Reseptor membran plasma tersebut memberikan sekuens protein domain kematian intrasel, yaitu bila dioligomerisasi (khususnya trimerisasi) menimbulkan aktivasi kaspase inisiator dan kaskade aktivasi enzim yang memuncak pada kematian sel (Kumar et al., 2007). b. Kontrol dan integrasi. Kontrol dan integrasi dilengkapi oleh protein spesifik yang menghubungkan sinyal kematian asli dengan program eksekusi akhir. Protein tersebut penting karena kerjanya dapat menimbulkan komitmen atau pembatalan sinyal yang berpotensi letal. Terdapat dua jalur luas pada tahap ini : A. Transmisi langsung sinyal kematian dengan protein pencocok (adapter proteins) terhadap mekanisme eksekusi. B. Pengaturan (permeabilitas mitokondrial) oleh anggota famili protein B-cell lymphoma 2 (BCL-2). Berbagai agonis (Ca++, radikan bebas, dan yang lain) dapat mempengaruhi mitokondria dengan mengakibatkan transisi permeabilitas mitikondrial.

Pembentukan pori dalam membran mitokondrial menyebabkan reduksi ATP, pembengkakan mitokondrial, peningkatan permeabilitas membran mitokondrial luar, sehingga mitokondrial melepaskan pencetus apoptosis dan sitokrom c kedalam sitosol. Terdapat dugaan bahwa sitoplasma c yang dilepas mengikat protein sitosol tertentu, misalnya faktor pengaktivasi protease proapoptotik (apaf-

1) dan mengaktifkannya, mencetuskan aktivasi kaspase eksekusi dan pengaturan gerakan kejadian proteolitik yang membunuh sel (Kumar et al., 2007). B-cell lymphoma 2 (BCL-2) ditemukan pada membran mitokondrial dapat menekan apoptosis dengan mencegah peningkatan permeabilitas mitokondrial dan menstabilkan protein, seperti apaf-1, sehingga tidak terjadi aktivasi kaspase. Anggota lain famili BCL-2 berikatan dengan BCL-2 dan memodulasi efek

antiapoptosisnya, sehingga B-cell lymphoma-extra large (BCL-XL) menghambat apoptosis, sementara Bcl-2 Associated X Protein (BAX) dan Bcl-2 associated death promoter (BAD) menyebabkan kematian sel terprogram (Kumar et al., 2007). c. Eksekusi. Jalur akhir apoptosis ini ditandai dengan konstelasi kejadian biokimiawi khas yang dihasilkan dari sintesis atau aktivasi sejumlah enzim katabolik sitosolik. Jalur ini memuncak dengan perubahan morfologik. Eksekusi final jalur lintas itu memperlihatkan pola pokok yang umumnya bisa diaplikasikan pada semua bentuk apoptosis. 1) Pemecahan protein oleh satu golongan protease yang baru dikenal, dinamakan caspase (kaspase), disebut demikian karena protein itu mempunyai sistein sisi aktif, dan pecah setelah residu asam aspartat. Pada sistem eksperimental, ekspresi berlebih setiap kaspase mengakibatkan apoptosis selular. 2) Ikatan silang protein yang luas melalui aktivasi transglutaminase mengubah protein sitoplasmik mudah larut dan terutama protein sitoskeletal menjadi selubung memadat berikatan secara kovalen yang dapat berfragmentasi menjadi badan apoptotik. 3) Pemecahan DNA menjadi fragmen berpasangan dengan basa 180 sampai 200 (jarak antara nukleosom) terjadi melalui kerja endonuklease yang bergantung Ca++- dan Mg++-. Keadaan tersebut dapat digambarkan sebagai penjenjangan DNA tersendiri menjadi kepingan berukuran diskret pada elektroforesis gel agarosa, pola tersebut sering kali dibedakan dengan fragmentasi DNA acak (yang membentuk suatu hapusan pada gel agarosa) yang secara khas terdapat pada sel nekrotik (Kumar et al., 2007).

d.

Pengangkatan sel mati. Sel apoptosis dan fragmennya memiliki molekul penanda pada

permukaannya, yang mempermudah pengambilan dan pembuangan oleh sel yang berdekatan atau fagosit. Keadaan tersebut terjadi dengan membalikkan fosfatidilserin dari permukaan sitoplasmik interna dari sel apoptotik ke permukaan ekstrasel. Perubahan tersebut dan perubahan lainnya memungkinkan pengenalan dan fagositosis dini sel apoptotik tanpa pelepasan mediator proinflamasi, proses sangat efisien sehingga sel mati menghilang tanpa meninggalkan bekas, dan tidak ada inflamasi (Kumar et al., 2007).

Gambar 2.5 Jalur apoptosis (Sumber: Kumar et al., 2007)

Sel yang mulai apoptosis, secara mikroskopis akan mengalami perubahan: 1) Sel mengerut dan lebih bulat, karena pemecahan proteinaseous sitoskeleton oleh caspase. 2) Sitoplasma tampak lebih padat. 3) Kromatin menjadi kondensasi dan fragmentasi yang padat pada membran inti (piknotik) 4) Membran inti menjadi diskontinue dan DNA yang ada didalamnya pecah menjadi fragmen (karyoheksis)

5) Membran sel memperlihatkan tonjolan yang irregular atau blebs pada sitoplasma. 6) Sel terpecah menjadi beberapa fragmen, yang disebut dengan apoptotic bodies. 7) Apoptotic bodies ini akan difagosit oleh sel yang ada di sekitarnya (Lumongga, 2008).

2.4 Tanaman Kedelai (Glycine max L.) Kedelai merupakan tanaman asli daratan Cina dan telah dibudidayakan oleh manusia sejak 2500 SM. Sejalan dengan makin berkembangnya perdagangan antar negara yang terjadi pada awal abad ke-19, menyebabkan tanaman kedalai juga ikut tersebar ke berbagai negara tujuan perdagangan tersebut, yaitu Jepang, Korea, Indonesia, India, Australia, dan Amerika. Kedelai mulai dikenal di Indonesia sejak abad ke-16. Awal mula penyebaran dan pembudidayaan kedelai yaitu di Pulau Jawa, kemudian berkembang ke Bali, Nusa Tenggara, dan pulau lainnya. Pada awalnya, kedelai dikenal dengan beberapa nama botani, yaitu Glycine soja dan Soja max. Namun pada tahun 1948 telah disepakati bahwa nama botani yang dapat diterima dalam istilah ilmiah, yaitu Glycine max (L.) Merill (Irwan, 2006). 2.4.1 Taksonomi Kedelai Tanaman kedelai diklasifikasikan sebagai berikut: Divisio Classis Ordo Familia Genus Species : Spermatophyta : Dicotyledoneae : Rosales : Papilionaceae : Glycine : Glycine max (L.) Merill (Irwan, 2006).

2.4.2 Deskripsi Tanaman Kedelai Tanaman kedelai merupakan tanaman pangan yang umumnya tumbuh tegak, berbentuk semak, dan merupakan tanaman semusim. Morfologi tanaman

kedelai didukung oleh komponen utamanya, yaitu akar, daun, batang, polong, dan biji sehingga pertumbuhannya bisa optimal (Irwan, 2006). a. Akar Akar kedelai mulai muncul dari belahan kulit biji yang muncul di sekitar misofil. Calon akar tersebut kemudian tumbuh dengan cepat ke dalam tanah, sedangkan kotiledon yang terdiri dari dua keping akan terangkat ke permukaan tanah akibat pertumbuhan yang cepat dari hipokotil (Irwan, 2006). Sistem perakaran kedelai terdiri dari dua macam, yaitu akar tunggang dan akar sekunder (serabut) yang tumbuh dari akar tunggang. Selain itu kedelai juga seringkali membentuk akar adventif yang tumbuh dari bagian bawah hipokotil. Pada umumnya, akar adventif terjadi karena cekaman tertentu, misalnya kadar air tanah yang terlalu tinggi (Irwan, 2006). b. Batang dan cabang Pertumbuhan batang kedelai dibedakan menjadi dua tipe, yaitu tipe determinat dan indeterminat. Perbedaan sistem pertumbuhan batang ini didasarkan atas keberadaan bunga pada pucuk batang. Pertumbuhan batang tipe determinat ditunjukkan dengan batang yang tidak tumbuh lagi pada saat tanaman mulai berbunga. Sementara pertumbuhan batang tipe indeterminat dicirikan bila pucuk batang tanaman masih bisa tumbuh daun, walaupun tanaman sudah mulai berbunga. Disamping itu, ada varietas hasil persilangan yang mempunyai tipe batang mirip keduanya sehingga dikategorikan sebagai semi-determinat atau semi-indeterminat (Irwan, 2006). Cabang akan muncul di batang tanaman. Jumlah cabang tergantung dari varietas dan kondisi tanah, tetapi ada juga varietas kedelai yang tidak bercabang. Jumlah batang bisa menjadi sedikit bila penanaman dirapatkan dari 250.000 tanaman/hektar menjadi 500.000 tanaman/hektar. Jumlah batang tidak

mempunyai hubungan yang signifikan dengan jumlah biji yang diproduksi. Artinya, walaupun jumlah cabang banyak, belum tentu produksi kedelai juga banyak (Irwan, 2006).

c.

Daun Umumnya, bentuk daun kedelai ada dua, yaitu bulat (oval) dan lancip

(lanceolate). Kedua bentuk daun tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik. Bentuk daun diperkirakan mempunyai korelasi yang sangat erat dengan potensi produksi biji. Umumnya, daerah yang mempunyai tingkat kesuburan tanah tinggi sangat cocok untuk varietas kedelai yang mempunyai bentuk daun lebar (Irwan, 2006). d. Bunga Tanaman kacang, termasuk tanaman kedelai, mempunyai dua stadium tumbuh, yaitu stadium vegetatif dan stadium reproduktif. Stadium vegetatif mulai dari tanaman berkecambah sampai saat berbunga, sedangkan stadium reproduktif mulai dari pembentukan bunga sampai pemasakan biji. Tanaman kedelai di Indonesia yang mempunyai panjang hari sekitar 12 jam dan suhu udara yang tinggi (>30C), sebagian besar mulai berbunga pada umur antara 5-7 minggu. Tanaman kedelai termasuk peka terhadap perbedaan panjang hari, khususnya saat pembentukan bunga, bunga kedelai menyerupai kupu-kupu (Irwan, 2006). Periode berbunga pada tanaman kedelai cukup lama yaitu 3-5 minggu untuk daerah subtropik dan 2-3 minggu di daerah tropik, seperti di Indonesia. Jumlah bunga pada tipe batang determinat umumnya lebih sedikit dibandingkan pada batang tipe indeterminat. Warna bunga yang umum pada berbagai varietas kedelai hanya dua, yaitu putih dan ungu (Irwan, 2006). e. Polong dan biji Polong kedelai pertama kali terbentuk sekitar 7-10 hari setelah munculnya bunga pertama. Panjang polong muda sekitar 1 cm. Jumlah polong yang terbentuk pada setiap ketiak tangkai daun sangat beragam, antara 1-10 buah dalam setiap kelompok. Pada setiap tanaman, jumlah polong dapat mencapai lebih dari 50, bahkan ratusan. Kecepatan pembentukan polong dan pembesaran biji akan semakin cepat setelah proses pembentukan bunga berhenti. Ukuran dan bentuk polong menjadi maksimal pada saat awal periode pemasakan biji. Hal ini kemudian diikuti oleh perubahan warna polong, dari hijau menjadi kuning kecoklatan pada saat masak (Irwan, 2006).

Di dalam polong terdapat biji yang berjumlah 2-3 biji. Setiap biji kedelai mempunyai ukuran bervariasi, mulai dari kecil (7-9 g/100 biji), sedang (10-13 g/100 biji), dan besar (>13 g/100 biji). Bentuk biji bervariasi, tergantung pada varietas tanaman, yaitu bulat, agak gepeng, dan bulat telur. Namun demikian, sebagian besar biji berbentuk bulat telur (Irwan, 2006). Biji kedelai terbagi menjadi dua bagian utama, yaitu kulit biji dan janin (embrio). Pada kulit biji terdapat bagian yang disebut pusar (hilum) yang berwarna coklat, hitam, atau putih. Pada ujung hilum terdapat mikrofil, berupa lubang kecil yang terbentuk pada saat proses pembentukan biji. Warna kulit biji bervariasi, mulai dari kuning, hijau, coklat, hitam, atau kombinasi campuran dari warna tersebut (Irwan, 2006).

Gambar 2.6 Biji tanaman kedelai (Glycine max L.) (Sumber: Irwan, 2006).

2.5. Kandungan dan Manfaat Kedelai pada Kanker Paru Kacang kedelai merupakan bahan pangan sumber protein dan lemak nabati yang sangat penting peranannya dalam kehidupan. Walaupun asam amino yang terkandung dalam proteinnya tidak selengkap protein hewani, namun penambahan bahan lain seperti wijen, jagung atau menir sangat baik untuk menjaga keseimbangan asam amino tersebut (Esti dan Sediadi, 2000). Kedelai mengandung protein 35% bahkan pada varitas unggul kadar proteinnya dapat mencapai 40 - 43%. Dibandingkan dengan beras, jagung, tepung singkong, kacang hijau, daging, ikan segar, dan telur ayam, kedelai mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi, hampir menyamai kadar protein susu. Bila seseorang tidak boleh atau tidak dapat makan daging atau sumber protein hewani

lainnya, kebutuhan protein sebesar 55 gram per hari dapat dipenuhi dengan makanan yang berasal dari 157,14 gram kedelai (Esti dan Sediadi, 2000).
Tabel 2.5 Komposisi kedelai

Komponen Protein Lemak Karbohidrat Air Sumber : (Esti dan Sediadi, 2000).

Kadar (%) 34-45 18-32 12-30 7

Tabel 2.6 Perbandingan antara protein kedelai dengan beberapa bahan makanan lain

Bahan Makanan Susu skim kering Kedelai Kacang hijau Daging Ikan segar Telur ayam Jagung Beras Tepung singkong Sumber : (Esti dan Sediadi, 2000).

Protein (%) 36,00 35,00 22,00 19,00 17,00 13,00 9,20 6,80 1,10

Kedelai mengandung senyawa antioksidan di antaranya adalah vitamin E, vitamin A, provitamin A, vitamin C dan senyawa flovanoid golongan isoflavon. Flavonoid adalah sejenis pigmen, seperti halnya zat hijau daun yang terdapat pada tanaman yang berwarna hijau. Senyawa ini biasanya memiliki ciri khas, yaitu mengeluarkan bau tertentu, bau langu yang terdapat pada biji kedelai adalah salah satu tanda bahwa dalam biji tersebut terdapat flavonoid. Secara ilmiah, flavonoid sudah dibuktikan mampu mencegah dan mengobati berbagai penyakit, salah satu jenis flavonoid yang sangat banyak terdapat pada biji kedelai dan sangat bermanfaat bagi kesehatan adalah isoflavon. Pada tanaman kedelai, kandungan isoflavon yang lebih tinggi terdapat pada biji kedelai, khususnya pada bagian

hipokotil (germ) yang akan tumbuh menjadi tanaman. Sebagian lagi terdapat pada kotiledon yang akan menjadi daun pertama dari tanaman (Rahma, 2010). Kandungan isoflavon pada kedelai berkisar 2-4 mg/g kedelai. Pada umumnya senyawa isoflavon ini berupa senyawa kompleks atau terkonjugasi dengan senyawa gula melalui ikatan glukosida. Jenis senyawa isoflavon ini terutama adalah genistein, daidzin, dan glisitin. Selama proses pengolahan, baik melalui proses fermentasi maupun proses non-fermentasi, senyawa isoflavon dapat mengalami transformasi, terutama melalui proses hidrolisa sehingga dapat diperoleh senyawa isoflavon bebas yang disebut aglikon yang lebih tinggi aktivitasnya. Senyawa aglikon tersebut adalah genistein, glisitein, dan daidzein (Ayuningtias, 2009). Keistimewaan isoflavon yang telah diketahui sampai saat ini ialah kemampuan sebagai antioksidan dan antikanker (Pawiharsono, 2008). Studi epidemologi telah membuktikan bahwa masyarakat yang secara teratur mengkonsumsi makanan dari kedelai, memiliki kasus kanker payudara, kolon dan prostat yang lebih rendah. Isoflavon kedelai juga terbukti melalui penelitian in vitro dapat menghambat enzim tirosin kinase dan juga menghambat DNA topoisomerase, oleh karena itu dapat menghambat perkembangan sel kanker dan angiogenesis (Ayuningtias, 2009). Detoksifikasi senyawa karsinogen atau ultimate carcinogen di lakukan oleh enzim pemetabolisme terutama pada fase II yaitu enzim glutathion S-transferase (GST). Kemampuan detoksifikasi akan meningkat apabila ada peningkatan aktivitas (induksi) enzim ini. Peningkatan detoksifikasi menyebabkan senyawa reaktif menjadi tidak aktif dan mudah diekskresikan keluar tubuh, aktifitas selanjutnya terjadi penurunan DNA adduct (kerusakan DNA) dan proses inisiasi karsinogen dihambat. Kandungan isoflavon dalam flavonoid yang sangat tinggi pada sari kedelai mampu meningkatkan ekspresi enzim GST yang dapat mendetoksifikasi karsinogen reaktif menjadi tidak reaktif dan lebih polar sehingga cepat dieliminasi dari tubuh, selain itu isoflavon juga dapat mengikat senyawa karsinogen sehingga mencegah ikatan dengan DNA (Susilowati, 2010).

Dari sejumlah senyawa flavonoida dan isoflavonoida tersebut, yang banyak disebut berpotensi sebagai antitumor atau antikanker adalah genistein. Penghambatan sel kanker oleh senyawa flavon atau isoflavon ini terjadi khususnya pada fase promosi (Fujiki, 1986). Penghambatan sel kanker oleh genistein dijelaskan melalui mekanisme sebagai berikut: a. Penghambatan pembelahan atau proliferasi sel (baik sel normal, sel yang terinduksi oleh faktor pertumbuhan sitokinin, maupun sel kanker yang terinduksi nonil-fenol atau bi-fenol A) yang diakibatkan oleh penghambatan pembentukan membran sel, khususnya penghambatan pembentukan protein yang mengandung tirosin b. Penghambatan regulasi siklus sel yang menyebabkan ekspresi gen abnormal menurun sehingga menginduksi apoptosis sel abnormal. c. d. Penghambatan aktivitas enzim DNA isomerase II Sifat antioksidan dan anti-angiogenik yang disebabkan oleh sifat reaktif terhadap senyawa radikal bebas e. Sifat mutagenik pada gen endoglin (gen transforman faktor pertumbuhan betha atau TGF) (Peterson, et al.,1997) Mekanisme ini dapat berlangsung apabila konsentrasi genistein lebih besar dari 5 M. Mekanisme kerja dari genistein yang menginduksi apoptosis sel mengindikasikan genistein sebagai agen kemopreventif (Peterson, et al.,1997). 2.6 DMBA (7,12dimethylbenz()antrhacene) 7,12-Dimetilbenz(a)antrasena (DMBA) adalah salah satu turunan dari kelompok kimia Polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH). PAH adalah polutan organik yang dilepaskan ke lingkungan dalam jumlah besar, terutama akibat aktivitas manusia, PAH merupakan komponen dari minyak mentah dan batubara. PAH merupakan salah satu agen karsinogenik yang potensial. Kebanyakan PAH ditemukan di lingkungan selama pembakaran tidak lengkap dari bahan organik pada suhu tinggi, PAH yang dihasilkan dibebaskan ke lingkungan lewat partikel udara, atau dalam bentuk padat dan cair (Al-Attar, 2004).

DMBA merupakan senyawa karsinogen spesifik untuk eksperimental kanker pada hewan percobaan, tetapi bukan merupakan karsinogen direct. Aktivitas karsinogenik dari DMBA terjadi melalui aktivasi metabolisme (biotransformasi) untuk menghasilkan karsinogenesis. Jalur metabolisme DMBA melalui aktivasi enzim sitokrom P450 yang diekspresikan oleh payudara dan hati akan membentuk proximate carcinogen serta ultimate carcinogen. Proximate carcinogen adalah metabolit intermediet yang akan mengalami metabolisme lebih lanjut menjadi ultimate carcinogen. Ultimate carcinogen merupakan metabolit akhir dari karsinogen induk yang akan membentuk DNA adduct, suatu proses awal inisiasi kanker (Susilowati, 2010). Senyawa DMBA adalah prokarsinogen yang dikonversi menjadi metabolit yang paling poten (ultimate carcinogen) yaitu DMBA-3,4-diol-1,2 epoxide. Cytochrome P450 dan microsomal epoxide hydrolase (mEH) memetabolisme DMBA menjadi dua metabolit yaitu metabolit elektrofilik dan metabolit yang mampu membentuk DNA adduct. Cytochrome P450 CYP1B1 mengoksidasi DMBA menjadi 3,4-epoxides yang diikuti dengan hidrolisis epoxides oleh mEH membentuk metabolit proximate carcinogenic dan DMBA-3,4-diol. Metabolit ini nantinya dioksidasi oleh Cytochrome P450, family 1, subfamily A, polypeptide 1 (CYP1A1) atau Cytochrome P450, family 1, subfamily B, polypeptide 1 (CYP1B1) menjadi metabolit ultimate carcinogenic (DMBA-3,4-diol-1,2 epoxide) (Susilowati, 2010).

Gambar 2.7 Alur potensial metabolik DMBA (Susilowati, 2010)

Metabolit aktif dari DMBA adalah DMBA-3,4-diol-1,2 epoxides yang mampu membentuk DNA adduct. Metabolit DMBA yang membentuk DNA adduct menentukan mutasi dalam gen dan mampu mengendalikan siklus sel, sehingga mendorong pembelahan sel kanker. Senyawa epoxide tersebut nantinya akan berikatan secara kovalen dengan gugus amino eksosiklik deoksiadenosin (dA) atau deoksiguanosin (dG) pada DNA. Interaksi ini (DNA adduct) dapat menginduksi mutasi pada gen penting sehingga menyebabkan iniasi kanker. Sel yang mengalami mutasi akan menyebar melalui pembuluh darah menuju organ lain salah satunya yaitu paru, yang mengakibatkan sel mengalami mutasi dan menyebabkan transformasi dari sel jinak menjadi sel anaplastik sehingga terjadi kanker paru (Susilowati, 2010).

2.7 Kerangka Konseptual

Sel normal

DMBA Sitokrom P450 Ultimate carcinogen

Kedelai

DNA adduct

Glutathion S-transferase

Mutasi DNA

Detoksifikasi

Kanker

Apoptosis sel

Keterangan : = Menyebabkan = Menghambat = Diamati = Tidak diamati

DMBA akan diubah oleh enzim sitokrom p450 menjadi metabolit ultimate carcinogen yang kemudian dapat membentuk DNA adduct dan menyebabkan mutasi DNA, yang pada akhirnya akan terjadi karsinogenesis. Isoflavon yang ada pada kedelai mampu meningkatkan ekspresi enzim GST dalam detoksifikasi senyawa karsinogen atau ultimate carcinogen, sehingga menginduksi apoptosis sel abnormal, dengan demikian pembentukan kanker dapat di hambat.

2.8 Hipotesis Penelitian a. Sari kedelai (Glycine max L.) dapat menginduksi apoptosis sel pada kanker paru tikus wistar (Rattus norvegicus) yang diinduksi DMBA. b. Ada pengaruh perbedaan pemberian dosis sari kedelai (Glycine max L.) 5 mg/hari, 10 mg/hari, dan 20 mg/hari terhadap apoptosis sel pada kanker paru tikus wistar (Rattus norvegicus) yang diinduksi DMBA.

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratoris (Pratiknya, 2003). Penelitian eksperimen merupakan kegiatan percobaan (experiment) yang bertujuan untuk mengetahui suatu pengaruh yang timbul akibat dari adanya perlakuan tertentu (Notoatmojo, 2002).

3.2 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah Post Test Only Control Group Design. Rancangan tersebut dipilih dengan asumsi bahwa di dalam suatu populasi tertentu, tiap unit populasi adalah homogen, yaitu karakteristik antar semua unit populasi adalah sama. Pengukuran awal tidak dilakukan karena dianggap sama untuk semua kelompok, sehingga dapat dikembangkan rancangan eksperimental tanpa ada pengukuran awal (pretest), tetapi hanya pengukuran akhir (post test) (Pratiknya, 2003). Pembagian sampel dalam kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dalam rancangan penelitian ini dilakukan dengan melalui randomisasi. Rancangan ini diperluas dengan melibatkan lebih dari satu variabel bebas, dengan kata lain perlakuan dilakukan pada lebih dari satu kelompok dengan bentuk perlakuan yang berbeda. Setelah semua perlakuan selesai, dilakukan observasi (post test) pada semua kelompok untuk diperoleh kesimpulan mengenai perbedaan diantaranya melalui analisis data tertentu (Notoatmojo, 2002). Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah simple random sampling, yaitu cara pengambilan sampel dimana setiap unsur yang membentuk populasi diberi kesempatan yang sama untuk terpilih menjadi sampel.

Secara sistematis rancangan penelitian digambarkan sebagai berikut:


K
R

K(-) K(+)

3o hari 30 hari

OK(-) OK(+) O1 O2 O3

Po

S P P1 P2 P3
30 hari 30 hari 30 hari

Gambar 3.1 Skema rancangan penelitian

Keterangan : P0 : Populasi tikus S : Sampel R : Simple random sampling K(-) : Kelompok kontrol negatif dengan pemberian pur dan aquadest biasa K(+) : Kelompok kontrol positif dengan pemberian 4,2 mg DMBA per hari dalam 0,5 ml minyak wijen per ekor P1 : Kelompok perlakuan 1 dengan pemberian 4,2 mg DMBA per hari dalam 0,5 ml minyak wijen dan sari kedelai 5 mg/hari per ekor P2 : Kelompok perlakuan 2 dengan pemberian 4,2 mg DMBA per hari dalam 0,5 ml minyak wijen dan sari kedelai 10 mg/hari per ekor P3 : Kelompok perlakuan 3 dengan pemberian 4,2 mg DMBA per hari dalam 0,5 ml minyak wijen dan sari kedelai 20 mg/hari per ekor OK(-) : Data hasil pengamatan apoptosis paru tikus dengan pur dan aquadest biasa setelah masa penelitian selesai OK(+) : Data hasil pengamatan apoptosis paru tikus dengan pemberian 4,2 mg DMBA dalam 0,5 ml minyak wijen per ekor setelah masa penelitian selesai O1 : Data hasil pengamatan apoptosis paru tikus dengan pemberian 4,2 mg DMBA dalam 0,5 ml minyak wijen dan sari kedelai 5 mg/hari per ekor setelah masa penelitian selesai O2 : Data hasil pengamatan apoptosis paru tikus dengan pemberian 4,2 mg DMBA dalam 0,5 ml minyak wijen dan sari kedelai 10 mg/hari per ekor setelah masa penelitian selesai O3 : Data hasil pengamatan apoptosis paru tikus dengan pemberian 4,2 mg DMBA dalam 0,5 ml minyak wijen dan sari kedelai 20mg/hari per ekor setelah masa penelitian selesai.

3.3 Besar Sampel Populasi hewan yang akan digunakan dalam percobaan ini adalah tikus putih betina strain Wistar (Rattus norvegicus) dengan kondisi sehat, umur 8-12 minggu dan berat badannya sekitar 120 gram, dengan rentang berat badan antara 80-140 gram. Jumlah sampel yang digunakan menurut rumus Federer yaitu (Budiarto, 2001): (k-1)(n-1) 15 (5-1)(n-1) 15 4 (n-1) 15 4n 4 15 4n 15 + 4 N 4,75 (= 5)
Keterangan : k = jumlah kelompok n = jumlah sampel dalam tiap kelompok

Jadi jumlah minimal tikus yang akan digunakan oleh peneliti sebanyak 5 ekor tikus untuk setiap kelompok. Sehingga total sampel yang di butuhkan sebanyak 25 ekor tikus yang dibagi dalam 5 kelompok, yaitu 2 kelompok kontrol (kontrol negatif dan kontrol positif) dan 3 kelompok perlakuan. Pembeda 3 kelompok perlakuan ini adalah dosis sari kedelai sebesar 5mg/hari, 10mg/hari, dan 20mg/hari, namun ketiganya mendapat perlakuan yang sama yaitu diberi DMBA setiap hari dengan dosis tunggal 4,2 mg/hari bersamaan dengan pemberian kedelai selama 30 hari.

3.4 Tempat dan Waktu Penelitian 3.4.1 Tempat Penelitian Perlakuan dilakukan di Laboratorium Fisiologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember, pembuatan sediaan apoptosis sel pada kanker paru hewan coba dilakukan di Laboratorium Fisiologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, dan untuk penghitungan apoptosis sel pada kanker paru dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Jember.

3.4.2 Waktu Penelitian Waktu penelitian, pemeriksaan apoptosis sel dan pengumpulan data dilakukan pada bulan Maret 2011 sampai bulan Desember 2012.

3.5 Variabel Penelitian 3.5.1 Variabel Bebas Sari kedelai dengan dosis 5 mg/hari, 10 mg/hari, dan 20 mg/hari untuk kelompok perlakuan 1, 2, dan 3 (Stubert dan Gerber, 2009).

3.5.2 Variabel Terikat Variabel terikat adalah jumlah apoptosis sel kanker paru tikus.

3.5.3 Variabel Terkendali a. Umur hewan coba b. Berat badan hewan coba c. Waktu dan lama perlakuan d. Pemeliharaan dan perlakuan hewan coba e. Ketepatan dosis DMBA dan sari kedelai

3.6 Definisi Operasional Variabel a. Sari kedelai dibuat dengan cara menghaluskan kedelai lokal hingga menjadi bubuk kedelai, kemudian bubuk kedelai diukur dengan berbagai dosis, yaitu 5 mg, 10 mg, dan 20 mg. Berikutnya setiap dosis kedelai dilarutkan dengan 1 ml aquadest, lalu disaring dengan menggunakan kertas saring agar terbebas dari ampas kedelai. Sari kedelai kemudian diberikan melalui sonde setiap hari selama 30 hari. b. Jumlah apoptosis sel adalah jumlah total sel dengan inti yang berwarna coklat, mengalami penyusutan (shrinkage), fragmentasi dan dikelilingi oleh halo yang jernih yang bereaksi positif terhadap pewarnaan imunohistokimia metode TUNEL. Sel dihitung melalui mikroskop cahaya dengan pembesaran

400 kali pada 10 lapang pandang dan dinyatakan dalam satuan N (angka) sel per 10 lapang pandang (Liu, 2001). c. DMBA diberikan dengan dosis dosis tunggal sebesar 4,2 mg/hari yang merupakan dosis yang efektif untuk menimbulkan efek karsinogenik (Manikandan et al., 2007).

3.7 Alat dan Bahan Penelitian 3.7.1 Alat Alat yang di gunakan meliputi alat untuk pemeliharaan hewan coba dan alat untuk pengambilah spesimen organ hewan coba. Alat untuk pemeliharaan hewan coba meliputi kandang hewan dari kotak plastik berjumlah 5, sesuai perlakuan yang akan diberikan, botol minuman untuk hewan coba, kawat penutup kandang, dan sekam untuk alas kandang. Alat untuk pengambilan organ paru hewan coba serta mengamati sediaan apoptosis sel kanker paru hewan coba meliputi seperangkat alat bedah steril (gunting bedah, pinset, scalpel), termos berisi es, refrigerator, mikrotom, papan fiksasi, jarum pentul, mikroskop, object glass, dan cover glass

3.7.2 Bahan Bahan yang digunakan adalah organ paru tikus, sari kedelai, minyak wijen, DMBA, larutan eter, formalin 10%, xylene, ethanol, proteinase-K, hydrogen peroxidase 3%, phosphate buffer saline (PBS), tris-HCl (MW 157.6), sodium cacodylate, trihydrate (MW 214.0), cobalt chloride, hexahydrate (MW 237.9), TdT reaction buffer, TdT buffer stock solution, biotin-16-dUTP, NaCl, sodium citrate, distilled water, entelan, dan minyak emersi.

3.8 Prosedur Penelitian 3.8.1 Pemeliharaan Hewan Coba dan Pembuatan Sari Kedelai

a. Persiapan Kandang Menyiapkan kandang yang terbuat dari kotak plastik dengan tutup terbuat dari ram kawat dan di dalamnya diberi sekam, selain itu juga menyiapkan tempat untuk minum tikus. b. Persiapan Hewan Coba Pengambilan sampel dengan metode simple random sampling. Adaptasi hewan coba dilakukan selama 3 hari dengan pemberian pakan dan minum biasa dilakukan di Laboratorium Fisiologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember. c. Pembuatan Sari Kedelai Sari kedelai dibuat dengan cara menghaluskan kedelai lokal hingga menjadi bubuk kedelai, kemudian bubuk kedelai diukur dengan berbagai dosis, yaitu 5 mg, 10 mg, dan 20 mg. Berikutnya setiap dosis kedelai dilarutkan dengan 1 ml aquadest, lalu disaring dengan menggunakan kertas saring agar terbebas dari ampas kedelai.

3.8.2 Perlakuan Hewan Coba Tikus wistar betina (Rattus norvegicus) sebanyak 25 ekor yang telah diadaptasikan, dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu 2 kelompok kontrol dan 3 kelompok perlakuan. Kelompok kontrol negatif (K(-)) adalah kelompok kontrol yang diberi makan dan minum biasa (tanpa perlakuan). Kelompok kontrol positif (K(+)) adalah kelompok kontrol yang diberi makan dan minum biasa serta pemberian DMBA 4,2 mg per sonde. Kelompok perlakuan P1, P2 dan P3 diberikan sari kedelai dengan dosis 5 mg/hari, 10 mg/hari, dan 20 mg/hari per sonde dan DMBA dengan dosis tunggal 4,2 mg DMBA setiap hari selama 30 hari. Pemberian DMBA dan sari kedelai dilakukan per oral dengan menggunakan alat bantu sonde lambung bertujuan mencegah bahan tersebut dimuntahkan dari jumlah yang telah ditetapkan. Pemberian sari kedelai dan induksi DMBA dilakukan 1x/hari selama 30 hari per sonde. Berat badan tikus ditimbang setiap minggu dimulai dari sebelum perlakuan.

Tabel 3.1 Kelompok perlakuan dalam penelitian Kelompok perlakuan Kontrol (-) Kontrol (+) 1 2 3 Diet Normal Normal Normal Normal Normal Dosis Karsinogen (DMBA) 4,2mg DMBA dalam 0,5 ml minyak wijen 4,2mg DMBA dalam 0,5 ml minyak wijen 4,2mg DMBA dalam 0,5 ml minyak wijen 4,2mg DMBA dalam 0,5 ml minyak wijen 5mg/hari 10mg/hari 20mg/hari Dosis Sari Kedelai

3.8.3 Pengambilan dan Penyimpanan Jaringan Paru Tikus dianastesi dengan menggunakan larutan eter sehingga saat didekaputasi tikus dalam keadaan tenang. Tikus diletakkan pada papan dengan keempat ekstremitas difiksasi menggunakan jarum pentul. Abdomen sampai daerah toraks tikus dieksisi kemudian organ paru diambil. Organ paru diletakkan pada wadah yang berisi formalin 10%. Wadah yang berisi organ paru hewan coba dibawa ke Laboratorium Fisiologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya untuk dijadikan sediaan apoptosis.

3.8.4 Pembuatan Sediaan Apoptosis Jaringan Paru Pembuatan sediaan apoptosis sel jaringan paru dilakukan di Laboratorium Fisiologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya dengan langkah kerja sebagai berikut: a. Fiksasi Jaringan paru dimasukkan ke dalam larutan formalin buffer (larutan formalin 10% dalam buffer Natrium Phospat sampai mencapai pH 7,0). Setelah fiksasi selesai, jaringan dimasukkan dalam larutan aquadest selama 1 jam untuk proses penghilangan larutan fiksasi.

b.

Dehidrasi Jaringan paru dimasukkan dalam alkohol konsentrasi bertingkat. Jaringan

menjadi lebih jernih dan transparan. Jaringan kemudian dimasukkan dalam larutan alkohol-xylol selama 1 jam dan kemudian larutan xylol murni selama 2x2 jam. c. Impregnasi Jaringan dimasukkan dalam paraffin cair selama 2x2 jam. d.
o

Embedding Jaringan ditanam dalam paraffin padat yang mempunyai titik lebur 56-580

C, ditunggu sampai paraffin padat. Jaringan dalam paraffin dipotong setebal 4

mikron dengan mikrotom. Potongan jaringan ditempelkan pada kaca obyek yang sebelumnya telah diolesi polilisin sebagai perekat. Jaringan pada kaca obyek dipanaskan dalam inkubator suhu 56-580 oC sampai paraffin mencair (Malik, 2007)

3.8.5 Pewarnaan Sel Apoptosis dengan Terminal Transferase and Biotin-16-dUTP (TUNEL Fluorescent Method) Spesimen jaringan paru diambil secukupnya dan ditempatkan di atas object glass, pastikan tidak ada sisa air bekas penyimpanan. Tambahkan suspensi Proteinase K 100 ml selama 20 menit, jangan sampai lebih. Tujuan penambahan enzim ini adalah untuk mendegradasi protein, terutama protein yang terdapat pada membran. Kemudian bilas dengan larutan Phospate Buffer Saline (PBS) 1 kali dan keringkan menggunakan tissue. Selama proses pengeringan, lakukan dengan hati-hati dan jangan menggosokkan tissue pada jaringan karena dapat menghapus jaringan tersebut. Cukup tempelkan tissue pada object glass, maka larutan PBS akan terserap dengan sendirinya. Setelah kering, tambahkan Hydrogen Peroxidase (H2O2) 3% sebanyak 100 ml, inkubasi pada suhu ruang selama 5 menit. Bilas dengan larutan PBS lalu keringkan. Berikan Reaction Buffer 100 L kemudian inkubasi selama 30 menit. Tambahkan lagi Reaction Buffer 100 L dan Complete Labeling Reaction Mixture secukupnya. Tutup dengan parafilm atau taperware untuk segera

dimasukkan ke dalam inkubator. Inkubasi dengan suhu 37 oC selama 1 jam. Cuci dengan larutan PBS, kemudian keringkan dengan tissue. Lakukan pengeblokan dengan Blocking Buffer sebanyak 100 L lalu inkubasi pada suhu ruang selama 10 menit. Tanpa dicuci, langsung berikan Antibody Solution sebanyak 100 L. Inkubasi selama 1 jam kemudian cuci dengan larutan PBS. Lakukan pengeblokan kedua dengan reagen dan jumlah yang sama, kemudian campur dengan larutan conjugated yang sudah tersedia. Lakukan pengeblokan ketiga dengan reagen dan jumlah yang sama, kemudian inkubasi selama 30 menit. Buang sisa pembuatan preparat tanpa dicuci dan tunggu selama 30 menit. Setelah bersih, tambahkan DAB Solution sampai spesimen berwarna coklat. Hati-hati dalam menambahkan DAB Solution karena larutan ini bersifat karsinogenik. Cuci dengan larutan PBS 1 kali, kemudian langkah terakhir adalah beri entelan untuk menutup object glass dengan cover glass.

3.8.6 Pengamatan dan Penghitungan Apoptosis Jaringan Paru Preparat dilakukan pengamatan dan penghitungan apoptosis sel. Jumlah apoptosis sel pada kanker paru tikus wistar adalah hasil total sel dengan inti yang berwarna coklat, mengalami penyusutan (shrinkage), fragmentasi dan dikelilingi oleh halo yang jernih yang bereaksi positif terhadap pewarnaan imunohistokimia metode TUNEL. Sel dihitung melalui mikroskop cahaya dengan pembesaran 400 kali pada 10 lapang pandang dan dinyatakan dalam satuan N sel per 10 lapang pandang.

3.9 Analisis Data Penelitian Data hasil penelitian akan disajikan dalam mean SD. Data yang didapat dari kelima kelompok dianalisis secara statistik dengan uji normalitas dan uji homogenitas kemudian dilanjutkan dengan uji One Way ANOVA untuk membandingkan rerata data. Kemudian dilanjutkan dengan uji Tukey HSD (Post Hoc Test) untuk mengetahui letak perbedaan terkecil antar variabel pada setiap perlakuan. Data akan diolah dengan menggunakan program SPSS.

3.10 Alur Penelitian

K(-)

Pur dan aquadest 4,2 mg DMBA dalam 0,5 ml

K(+)

minyak wijen/ hari

4,2 mg DMBA dalam 0,5 ml N Sampel P1 minyak wijen + sari kedelai 5 mg/hari 4,2 mg DMBA dalam 0,5 ml P2 minyak wijen + sari kedelai 10 mg/hari 4,2 mg DMBA dalam 0,5 ml P3 minyak wijen + sari kedelai 20 mg/hari Analisis Data Pengamatan apoptosis sel paru Pewarnaan imunohistokimia metode TUNEL

Gambar 3.2 Skema alur penelitian

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Data Hasil Penelitian Setiap kelompok perlakuan dilakukan pengamatan apoptosis sel dengan pemeriksaan histopatologi menggunakan pewarnaan imunohistokimia dengan Terminal Transferase and Biotin-16-dUTP (TUNEL Fluorescent Method) pada mikroskop cahaya dengan pembesaran 400 kali dalam 10 lapang pandang, didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 4.1 Rerata apoptosis sel pada tiap kelompok No 1 2 3 4 5 total Kelompok KK+ P1 P2 P3 25 Mean 20,60 31,40 31,00 37,20 46,60 33,36 Std Deviasi 5,27 5,41 6,52 6,30 11,28 10,95

Keterangan: 1 = Kelompok kontrol negatif (placebo) 2 = Kelompok kontrol positif (placebo + DMBA 4,2 mg/hari) 3 = Kelompok perlakuan 1 (DMBA 4,2 mg/hari + sari kedelai 5 mg/hari) 4 = Kelompok perlakuan 2 (DMBA 4,2 mg/hari + sari kedelai 10 mg/hari) 5 = Kelompok perlakuan 3 (DMBA 4,2 mg/hari + sari kedelai 20 mg/hari)

70 60 57.88 50 40 30 20 10 0 KK+ P1 P2 P3 25.87 20.6 14.33 36.81 31.4 25.99 37.52 31 24.48 43.5 37.2 30.9 46.6 35.32 Mean High Low Close

Gambar 4.1 Diagram rerata apoptosis sel paru pada berbagai kelompok Keterangan: K(-) = Kelompok kontrol negatif (tanpa induksi DMBA dan pemberian sari kedelai) K(+) = Kelompok kontrol positif (DMBA 4,2 mg/hari) P1 = Kelompok perlakuan I (DMBA 4,2 mg/hari + sari kedelai 5 mg/hari) P2 = Kelompok perlakuan II (DMBA 4,2 mg/hari + sari kedelai 10 mg/hari) P3 = Kelompok perlakuan III (DMBA 4,2 mg/hari + sari kedelai 20 mg/hari)

Berdasarkan gambar 4.1 diketahui bahwa rerata apoptosis sel kelompok kontrol negatif adalah sebesar 20,60 sel per 10 lapang pandang dengan standar deviasi 5,27 dan kelompok kontrol positif sebesar 31,40 sel dengan standar deviasi 5,41. Sedangkan untuk kelompok perlakuan 1 rerata apoptosis sel sebesar 31,00 sel per 10 lapang pandang dengan standar deviasi 6,52. Untuk kelompok perlakuan 2 sebesar 37,20 sel per 10 lapang pandang dengan standar deviasi 6,30, sedangkan rerata apoptosis sel kelompok perlakuan 3 sebesar 46,60 sel per 10 lapang pandang dengan standar deviasi 11,28. Kelompok kontrol negatif yang tidak diinduksi DMBA mempunyai rerata apoptosis sel paling rendah dibandingkan semua kelompok, yaitu sebesar 20,60 sel per 10 lapang pandang. Sedangkan rerata apoptosis sel pada kanker paru terbesar terdapat pada kelompok perlakuan 3, yaitu sebesar 46,60 sel per 10 lapang pandang pada pemberian dosis sari kedelai 20mg/hari. Selain itu, pada

kelompok perlakuan (P1, P2, P3) terdapat kenaikan jumlah apoptosis sel pada kanker paru seiring dengan meningkatnya dosis sari kedelai.

e
Gambar 4.2 Gambaran histopatologi apoptosis sel paru pada tiap kelompok dengan pewarnaan imunohistokimia metode TUNEL. Keterangan:(a) kontrol negatif; (b) kontrol positif; (c) perlakuan I; (d) perlakuan II; (e) perlakuan III; apoptosis sel paru di tunjuk dengan tanda panah ( )

Pada gambaran mikroskopis sel yang mengalami apoptosis ditandai dengan inti berwarna coklat, mengalami penyusutan (shrinkage), fragmentasi dan dikelilingi oleh halo yang jernih yang bereaksi positif terhadap pewarnaan imunohistokimia metode TUNEL. 4.1.2 Hasil Uji Analisis Syarat yang harus dimiliki oleh data penelitian agar dapat melakukan analisis data dengan uji parametrik one way ANOVA ialah harus memiliki data yang terdistribusi normal dan varians datanya seragam. Oleh karena itu, perlu dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas terhadap data sebelum melakukan analisis one way ANOVA. Hasil uji normalitas dan uji homogenitas dapat dilihat pada tabel 4.2 dan tabel 4.3, dengan interprestasi H0 diterima (data normal atau tidak terdapat perbedaan) jika sig. > 0,05 dan begitu sebaliknya.
Tabel 4.2 Hasil uji normalitas Kolmogorov-Smirnova df Sig. 5 ,20 5 5 5 5 ,20 ,20 ,20 ,20

Kelompok K(-) K(+) P1 P2 P3

Statistic ,15 ,27 ,13 ,21 ,23

Keterangan: K(-) = Kelompok kontrol negatif (tanpa induksi DMBA dan pemberian sari kedelai) K(+) = Kelompok kontrol positif (DMBA 4,2 mg/hari) P1 = Kelompok perlakuan I (DMBA 4,2 mg/hari + sari kedelai 5 mg/hari) P2 = Kelompok perlakuan II (DMBA 4,2 mg/hari + sari kedelai 10 mg/hari) P3 = Kelompok perlakuan III (DMBA 4,2 mg/hari + sari kedelai 20 mg/hari)

Berdasarkan hasil uji normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov pada tabel 4.2, diperoleh nilai significancy untuk semua kelompok lebih besar dari 0,05 (sig. > 0,05) yang menandakan data tersebut terdistribusi normal (H0 diterima). Kemudian dilakukan uji homogenitas dengan menggunakan uji Levene.

Tabel 4.3 Hasil uji homogenitas

Levene Statistic 1,85

df1 4

df2 20

Sig. ,16

Dari hasil uji homogenitas dengan menggunakan uji Levene didapatkan nilai significancy sebesar 0,16 (sig. > 0,05) yang menandakan varians data seragam (H0 diterima). Berdasarkan hasil interprestasi uji normalitas dengan KolmogorovSmirnov dan uji homogenitas Levene yang menunjukkan sig. > 0,05 (H0 diterima), sehingga analisis data dapat dilanjutkan dengan uji One Way ANOVA untuk membedakan rerata semua kelompok data dengan cara membandingkan variansinya.
Tabel 4.4 Uji ANOVA Sum of Squares 1811,36 1066,40 2877,76 df 4 20 24 Mean Square 452,84 53,32 F 8,49 Sig ,00

Between Groups Within Groups Total

Sesuai hasil uji one way ANOVA, diperoleh nilai significancy 0,00 (sig. < 0,05) yang berarti terdapat perbedaan apoptosis sel pada 5 kelompok, yaitu 2 kelompok kontrol dan 3 kelompok perlakuan (H0 ditolak). Pada hasil yang terdapat pada tabel 4.4, hanya menunjukan bahwa antar kelompok memiliki perbedaan apoptosis sel. Untuk mengetahui kelompok mana saja yang mempunyai perbedaan yang bermakna, maka dilakukan uji lanjutan dengan analisis Post Hoc. Uji lanjutan yang dipakai pada data penelitian ini ialah tes Tukey Honestly Significant Difference (HSD). Pada hasil analisa Post Hoc, cara interprestasinya yaitu H0 diterima (data normal atau tidak terdapat perbedaan) jika sig. > 0,05 dan H0 ditolak (data terdapat perbedaan) jika sig. < 0,05.

Tabel 4.5 Hasil uji lanjutan Post Hoc dengan tes Tukey HSD 95% Confidence Interval Sig. ,17 ,20 ,01 ,00 ,17 1,00 ,72 ,03 ,20 1,00 ,67 ,02 ,01 ,72 ,67 ,29 ,00 ,03 ,02 ,29 Lower Bound -24,62 -24,22 -30,42 -39,82 -3,02 -13,42 -19,62 -29,02 -3,42 -14,22 -20,02 -29,42 2,78 -8,02 -7,62 -23,22 12,18 1,38 1,78 -4,42 Upper Bound 3,02 3,42 -2,78 -12,18 24,62 14,22 8,02 -1,38 24,22 13,42 7,62 -1,78 30,42 19,62 20,02 4,42 39,82 29,02 29,42 23,22

(I) Nomer

(J) Nomer K(+)

Mean Difference (I-J) -10,80 -10,40 -16,60 -26,00


* *

Std. Error 4,62 4,62 4,62 4,62 4,62 4,62 4,62 4,62 4,62 4,62 4,62 4,62 4,62 4,62 4,62 4,62 4,62 4,62 4,62 4,62

K(-)

P1 P2 P3 K(-) P1 P2 P3 K(-) K(+) P2 P3 K(-) K(+) P1 P3 K(-) K(+) P1 P2

10,80 ,40 -5,80 -15,20


*

K(+)

10,40 -,40 -6,20 -15,60


* *

P1

16,60

P2

5,80 6,20 -9,40 26,00 15,60


*

P3

15,20*
*

9,40

Pada pembacaan hasil tes Tukey HSD di tabel 4.5, diketahui bahwa hasil pengukuran rerata apoptosis sel pada kelompok K(-) dengan kelompok K(+) tidak terdapat perbedaan yang signifikan yaitu 0,17 (sig. > 0,05). Hasil pengukuran rerata apoptosis sel pada kelompok K(-) dengan kelompok P1 tidak terdapat perbedaan yang signifikan yaitu 0,20 (sig. > 0,05). Hasil pengukuran rerata apoptosis sel pada kelompok K(-) dengan kelompok P2 terdapat perbedaan yang signifikan yaitu 0,01 (sig. < 0,05). Hasil pengukuran rerata apoptosis sel pada kelompok K(-) dengan kelompok P3 terdapat perbedaan yang signifikan yaitu 0,00 (sig. < 0,05).

Hasil pengukuran rerata apoptosis sel pada kelompok K(+) dengan kelompok K(-) tidak terdapat perbedaan yang signifikan yaitu 0,17 (sig. > 0,05). Hasil pengukuran rerata apoptosis sel pada kelompok K(+) dengan kelompok P1 tidak terdapat perbedaan yang signifikan yaitu 1,00 (sig. > 0,05). Hasil pengukuran rerata apoptosis sel pada kelompok K(+) dengan kelompok P2 tidak terdapat perbedaan yang signifikan yaitu 0,72 (sig. > 0,05). Hasil pengukuran rerata apoptosis sel pada kelompok K(+) dengan kelompok P3 terdapat perbedaan yang signifikan yaitu 0,03 (sig. < 0,05). Hasil pengukuran rerata apoptosis sel pada kelompok P1 dengan kelompok K(-) tidak terdapat perbedaan yang signifikan yaitu 0,20 (sig. > 0,05). Hasil pengukuran rerata apoptosis sel pada kelompok P1 dengan kelompok K(+) tidak terdapat perbedaan yang signifikan yaitu 1,00 (sig. > 0,05). Hasil pengukuran rerata apoptosis sel pada kelompok P1 dengan kelompok P2 tidak terdapat perbedaan yang signifikan yaitu 0,67 (sig. > 0,05). Hasil pengukuran rerata apoptosis sel pada kelompok P1 dengan kelompok P3 terdapat perbedaan yang signifikan yaitu 0,02 (sig. < 0,05). Hasil pengukuran rerata apoptosis sel pada kelompok P2 dengan kelompok K(-) terdapat perbedaan yang signifikan yaitu 0,01 (sig. < 0,05). Hasil pengukuran rerata apoptosis sel pada kelompok P2 dengan kelompok K(+) tidak terdapat perbedaan yang signifikan yaitu 0,72 (sig. > 0,05). Hasil pengukuran rerata apoptosis sel pada kelompok P2 dengan kelompok P1 tidak terdapat perbedaan yang signifikan yaitu 0,67 (sig. > 0,05). Hasil pengukuran rerata apoptosis sel pada kelompok P2 dengan kelompok P3 tidak terdapat perbedaan yang signifikan yaitu 0,29 (sig. > 0,05). Hasil pengukuran rerata apoptosis sel pada kelompok P3 dengan kelompok K(-) terdapat perbedaan yang signifikan yaitu 0,00 (sig. < 0,05). Hasil pengukuran rerata apoptosis sel pada kelompok P3 dengan kelompok K(+) terdapat perbedaan yang signifikan yaitu 0,03 (sig. < 0,05). Hasil pengukuran rerata apoptosis sel pada kelompok P3 dengan kelompok P1 terdapat perbedaan yang signifikan yaitu 0,02 (sig. < 0,05). Hasil pengukuran rerata apoptosis sel pada kelompok P3 dengan kelompok P2 tidak terdapat perbedaan yang signifikan yaitu 0,29 (sig. > 0,05).

4.2 Pembahasan Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian sari kedelai (Glycine max L.) terhadap apoptosis sel pada kanker paru tikus wistar (Rattus norvegicus) yang diinduksi DMBA. Sari kedelai diberikan dalam dosis bertingkat dengan tujuan untuk mengetahui dosis optimal yang dapat menginduksi apoptosis sel pada kanker paru tikus wista (Rattus norvegicus) yang diinduksi DMBA. Pada penelitian ini digunakan tikus wistar (Rattus Novergicus) betina sebagai hewan uji. Menurut National Institutes of Health (NIH) Office of Laboratory Welfare Jenny Haliski, tikus digunakan sebagai model uji karena secara genetik, karakteristik biologi dan perilakunya sangat mirip dengan manusia. Berdasarkan European Respiratory Society (ERS) terjadi peningkatan kasus kanker paru di kalangan non perokok, khususnya wanita. Pada tahun 2010 ditemukan sebanyak 24,4% pasien kanker paru adalah wanita, meningkat 16% dibandingkan pada tahun 2000. Menurut penelitian yang dilakukan di Amerika, wanita yang sudah memasuki masa menopause angka resiko terkena kanker paru sama besarnya dengan laki-laki (Asali, 2012). Oleh karena itu dipilih tikus wistar betina sebagai model percobaan. Pada penelitian ini digunakan 7,12-Dimetilbenz(a)antrasen (DMBA) dengan dosis 4,2 mg/hari sebagai induksi karsinogenesis sel kanker paru. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, DMBA merupakan karsinogen poten yang banyak digunakan pada hewan pengerat seperti tikus. Prokarsinogen DMBA dapat menimbulkan kanker pada organ seperti paru, hati, jantung, kolon, lambung, ovarium, uterus, dan ginjal (Munim et al., 2006). Jalur metabolisme DMBA melalui aktivasi enzim sitokrom P450 yang diekspresikan oleh payudara dan hati akan membentuk proximate carcinogen serta ultimate carcinogen. Proximate carcinogen adalah metabolit intermediet yang akan mengalami metabolisme lebih lanjut menjadi ultimate carcinogen. Ultimate carcinogen merupakan metabolit akhir dari karsinogen induk yang akan membentuk DNA adduct. Minyak wijen digunakan sebagai pelarut dalam penelitian ini karena minyak wijen merupakan pelarut yang efektif untuk DMBA (Syukri, 2008).

Sari kedelai yang digunakan dalam penelitian ini mengandung senyawa antioksidan di antaranya adalah vitamin E, vitamin A, provitamin A, vitamin C dan senyawa flovanoid golongan isoflavon (Rahma, 2010). Jenis senyawa isoflavon ini terutama adalah genistein, daidzein, dan glisitein (Ayuningtias, 2009). Keistimewaan isoflavon yang telah diketahui sampai saat ini ialah kemampuan sebagai antioksidan dan antikanker (Pawiharsono, 2008). Detoksifikasi senyawa karsinogen atau ultimate carcinogen di lakukan oleh enzim pemetabolisme terutama pada fase II yaitu enzim glutathion S-transferase (GST). Kemampuan detoksifikasi akan meningkat apabila ada peningkatan aktivitas (induksi) enzim ini. Peningkatan detoksifikasi menyebabkan senyawa reaktif menjadi tidak aktif dan mudah diekskresikan keluar tubuh, aktifitas selanjutnya terjadi penurunan DNA adduct (kerusakan DNA) dan proses inisiasi karsinogen dihambat. Kandungan isoflavon dalam flavonoid yang sangat tinggi pada sari kedelai mampu meningkatkan ekspresi enzim GST yang dapat mendetoksifikasi karsinogen reaktif menjadi tidak reaktif dan lebih polar sehingga cepat dieliminasi dari tubuh (Susilowati, 2010). Jenis penelitian yang di gunakan adalah penelitian eksperimental laboratoris yaitu penelitian percobaan yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh yang akan timbul dari adanya perlakuan tertentu. Rancangan penelitian menggunakan post test only control group design yang artinya suatu populasi tertentu diasumsikan tiap unitnya homogen, sehingga pengukuran awal tidak dilakukan karena dianggap sama untuk semua kelompok yang berasal dari satu populasi dan hanya dilakukan pengukuran akhir (Pratiknya, 2003). Tekhnik pengambilan sampel adalah menggunakan simple random sampling, yaitu cara pengambilan sampel dimana setiap unsur yang membentuk populasi diberi kesempatan yang sama untuk terpilih menjadi sampel (Notoatmodjo, 2002). Hasil uji normalitas dengan Kolmogorof-Smirnov Test, diperoleh data terdistribusi normal. Hal ini dapat dilihat dari nilai significancy semua kelompok lebih besar dari 0,05 yang artinya data tersebut terdistribusi normal. Selanjutnya dilakukan uji homogenitas dengan Uji Levene. Hasil Uji Levene didapatkan nilai significancy (sig.) semua kelompok lebih besar dari 0,05, maka dapat disimpulkan

bahwa tidak ada perbedaan varian antar kelompok sampel yang diteliti atau varian antar kelompok sampel adalah sama (homogen). Dari hasil uji tersebut didapatkan data yang terdistribusi normal dan homogen, sehingga analisis data dapat dilanjutkan dengan uji One Way ANOVA untuk membedakan rerata semua kelompok data dengan cara membandingkan variansinya. Hasil Anova menunjukkan bahwa nilai significancy 0,00. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan signifikan antar semua kelompok. Oleh karena itu diperlukan uji lanjutan melalui uji Tukey HSD untuk mengetahui perbedaan antar kelompok tersebut. Pada hasil yang didapatkan dari analisis data dengan uji lanjutan melalui tes Tukey HSD pada tabel 4.5 dapat dilihat perbandingan rerata apoptosis sel pada tiap kelompok. Perbandingan rerata apoptosis sel pada kelompok K(-) tidak terdapat perbedaan secara bermakna dengan kelompok K(+), ini berarti pada kelompok yang tidak diberi DMBA dan kelompok yang diberi DMBA saja, menunjukkan apoptosis sel hanya minimal. Perbandingan rerata apoptosis sel pada kelompok P1 tidak terdapat perbedaan secara bermakna dengan kelompok K(-), ini berarti pemberian dosis sari kedelai 5 mg/hari (P1) belum dapat menunjukkan induksi apoptosis sel yang optimal. Sedangkan pada kelompok P2 dan kelompok P3 terdapat perbedaan secara bermakna dengan kelompok K(-), ini berarti pemberian sari kedelai 10 mg/hari (P2) dan 20 mg/hari (P3) mampu menginduksi terjadinya apoptosis sel lebih banyak dari pada pemberian sari kedelai 5 mg/hari (P1). Perbandingan rerata apoptosis sel pada kelompok P1 dan kelompok P2 tidak terdapat perbedaan secara bermakna dengan kelompok K(+), ini berarti pemberian dosis sari kedelai 5 mg/hari (P1) dan 10 mg/hari (P2) belum dapat menunjukkan induksi apoptosis sel yang optimal. Sedangkan pada kelompok P3 terdapat perbedaan secara bermakna dengan kelompok K(+), ini berarti pemberian sari kedelai 20 mg/hari (P3) mampu menginduksi terjadinya apoptosis sel lebih banyak dari pada pemberian sari kedelai 5 mg/hari (P1) dan 10 mg/hari (P2). Perbandingan rerata apoptosis sel pada kelompok P3 terjadi perbedaan secara bermakna dengan kelompok K(-) dan kelompok K(+), ini berarti pemberian

dosis sari kedelai 20 mg/hari (P3) mampu menginduksi apoptosis sel yang lebih banyak dibandingkan dengan kelompok yang tidak diberi DMBA dan kelompok yang diberi DMBA saja. Berdasarkan hasil analisis data tersebut, didapatkan perbedaan pengaruh pemberian dosis sari kedelai terhadap apoptosis sel pada kanker paru tikus wistar yang diinduksi DMBA. Pemberian sari kedelai dengan dosis 20 mg/hari pada kelompok perlakuan 3 (P3) mampu memberikan hasil apoptosis sel yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok tanpa pemberian sari kedelai atau dengan kelompok yang diberikan dosis sari kedelai 5 mg/hari dan 10 mg/hari. Hasil yang tidak signifikan pada perbandingan kelompok K(-), K(+), P1, dan P2 dapat disebabkan karena pemberian dosis sari kedelai pada kelompok tersebut belum dapat menghasilkan pengaruh terhadap apoptosis sel. Selain itu dapat juga karena stress selama perlakuan. Stress yang terjadi dapat diakibatkan karena ketidaknyamanan akibat kondisi kandang yang tidak luas sehingga ruang gerak tikus terbatas. Pemicu stress yang lain dapat disebabkan oleh proses penyondean dalam memberikan cairan. Proses penyondean yang dilakukan secara paksa dapat membuat tikus merasa tidak nyaman dan stress (Balcombe et al., 2004). Ada korelasi positif antara stress dengan penurunan sistem imun baik spesifik ataupun non spesifik. Penurunan sistem imun mengakibatkan penurunan produksi antioksidan seperti glutation. Kurangnya jumlah antioksidan tubuh dapat menyebabkan stress oksidatif. Pada kondisi tubuh yang seperti ini, sel tubuh rentan untuk mengalami kerusakan akibat serangan dari benda asing maupun dari radikal bebas. (Gunawan et al., 2009). Penelitian tentang manfaat dari sari kedelai sebagai agen kemopreventif kanker ini sejalan dengan beberapa penelitian yang terdahulu, yaitu: a) Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sutrisno Koswara pada tahun 2006 membuktikan bahwa konsumsi produk kedelai berperan penting dalam menurunkan resiko terkena penyakit kanker. Mekanisme yang banyak diketahui sebagai anti kanker dari isoflavon adalah aktivitas anti estrogen, menghambat aktivitas enzim penyebab kanker, aktivitas anti oksidan dan meningkatkan fungsi kekebalan sel. Percobaan pada hewan menunjukkan

bahwa hewan yang diberi makanan dari kedelai mengalami lebih sedikit kanker. Studi epidemiologi dan laboratorium telah menunjukkan bahwa konsumsi kedelai dapat mengurangi resiko perkembangan berbagai jenis kanker. b) Bukti penelitian yang dilakukan oleh M. J. Messina, V. Parsky, K. D. R. Setchell, dan S. Barns pada tahun 1994, yang melakukan penilitian pada model kanker menjelaskan bahwa isoflavon memiliki peranan penting dalam pencegahan kanker. Sebagai contoh konsumsi produk yang berbasis kedelai yang mengandung isoflavon dapat menurunkan rerata penyakit kanker. Mekanisme pencegahan kanker dalam isoflavon kedelai adalah adanya kapasitas efek antioksidan yang kuat. c) Penelitian yang dilakukan H. Fujiki pada tahun 1986, menunjukkan bahwa senyawa flavonoida khususnya genistein, merupakan senyawa yang dapat menghambat terjadinya kanker paru, payudara dan hepar. Penghambatan sel kanker oleh senyawa flavonoida ini terjadi khususnya pada fase promosi.

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: a. Sari kedelai (Glycine max L.) berpengaruh terhadap apoptosis sel pada kanker paru tikus wistar (Rattus norvegicus). b. Ada pengaruh perbedaan pemberian dosis sari kedelai (Glycine max L.) terhadap apoptosis sel pada kanker paru tikus wistar (Rattus norvegicus).

5.2 Saran a. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang sari kedelai dengan dosis yang bervariasi lebih dari 20 mg/hari sebagai agen kemopreventif kanker paru. b. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang mekanisme kerja sari kedelai dalam proses apoptosis. c. Perlu dilakukan penelitian dengan menggunakan ragam jenis olahan kedelai lainnya untuk mengetahui manfaat lain yang dikandungnya.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Attar AM. 2004. The influence of dietary grape seed oil on DMBA-induced liver enzymes disturbance in the frog, Rana ridibunda. Pakistan J Nutr 3 (5). Hlm 304-309. Asali, A. R. 2012. Deteksi Dini Kanker Paru Dengan Low Dose Helical CT Scan. Departemen Anatomi Fakutas Kedokteran Universitas Katolik Atma Jaya. CDK-189/vol.1. Hlm 70 Ayuningtias, A. 2009. Isoflavon dalam Kedelai Memberi Banyak Manfaat Bagi Tubuh. Jatinangor. Balcombe J.P., Barnard N.D., Sandusky C. 2004. Laboratory Routine Cause animal Stress. American Association for Laboratory Animal Science 43. Hlm 42-49 Budiarto, E. 2001. Biostatistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Edisi 2. Jakarta: EGC. Cotran, R. S., Husband, A. 1999. Robbins patologic basis of disease. Edisi 6. London: WB Saunders Company. Hlm 18-25. Desen, W. 2008. Onkologi Klinis. Edisi 2. Jakarta: EGC. Hlm 337-351. Djojodibroto, R Darmanto. 2009. Respirologi Medicine. Jakarta : EGC. Hlm 1725 Drake, R.L., Volg, W., Mitchell, A. 2007. Grays Anatomy for Students. Amerika: Elsevier. Inc. Eroschenko, Victor P. 2010. Atlas histology diFiore. Edisi 11. Jakarta: EGC. Esti dan Sediadi, A. 2000. Buku Panduan Teknologi Pangan. Jakarta: Teknologi Pangan. Fatmal, Irvandra. 2009. Hama Tikus dan Pengendaliannya. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Fauci. dan Longo. 2008. Harrison's Principles of Internal Medicine. Edisi 17. New York: Mc-Graw Hill.

Fujiki, H. 1986. Inhibition of Tumor Promotion by Flavonoids. Plant Flavonoids in Biology and Medicine: Biochemical, Pharmaceutical and Structure Activity Relaionships. Alan R. Liss, Tnc. p: 429-440. Gray, H. 2008. The Anatomical Basis of Clinical Practice. USA: Elsevier Health Sciences Rights Department in Philadelphia. Gunawan, Setiabudy, Nafrialdi, dan Elysabeth. 2009. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik, FK UI. Hidayat, H. 2008. Trends in lung cancer morbidity and mortality. America: America Lung Association. Irwan, Aep Wawan. 2006. Budidaya Tanaman Kedelai (Glycine max (L.) Merril); Jatinangor. Hal 1-10. Junqueira, L.C dan Carneiro, J. 2007. Histologi Dasar. Edisi 10. Jakarta: EGC. Kanban. 2009. Anatomi Paru-Paru. Available from: http://id.shvoong.com/ medicine-and-health/1957902-anatomi-paru-paru/#ixzz1ygqXCDKY [24 Juni 2012]. King, R. J. B. 2000. Cancer Biology. Edisi 2. London: Pearson Eduation Limited. Koswara, Sutrisno. 2006. Isoflavon Senyawa Multi Manfaat dalam Kedelai. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Kresno SB. 2001. Ilmu onkologi dasar. Jakarta: Bagian patologi klinik FKUI. Hlm 13-15. Kumar, Cotran, Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi. Jakarta: EGC. Hlm 28-31. Li Y., Amer, S. M. 1999. Induction of Apoptosis in Breast Cancer Cell MDA MB-231 byGenestein. Oncogene; 18: 3166-72. Liu, S., Edgerton, S. M., Moore, D. H., Thor, A. D. 2001. Measures of Cell Turnover (Proliferation and Apoptosis) and Their Association with Survival in Breast Cancer. Clin cancer res; 7: 1716-23. Lumongga, Fitriani. 2008. Apoptosis. Medan: Universitas Sumatra Utara. Lytle, Charles F. dan John R. Meyer. 2005. General Zoology. New York:McGraw-Hill Companies.

Malik, A. H. 2007. Pengaruh Pemberian Phaleria macrocarpa Terhadap Jumlah Limfosit Darah Tepid an Indeks Apoptosis Lien. Semarang: Universitas Diponegoro Semarang. Manikandan, Murugan, Abbas, Abraham, Nagini. 2007. Ocimum sanctum Linn. (Holy Basil) ethanolic leaf extract protects against 7,12dimethylbenz(a)anthracene-induced genotoxicity, oxidative stress, and imbalance in xenobiotic metabolizing enzymes. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17887944.2012. [24 Juni 2012].

Messina, M. J., Parsky, V., Setchell, K. D. R., Barns, S. 1994. Soy intake and cancer risk: areview of the in vitro and in vivo data. Nutr. Cancer. 21: 113131. Munim, A., Andrajati, R., Susiowati, H. 2006. Uji Hambatan Tumorigenesis Sari Buah Merah (Pandanus Conoideuslam) Terhadap Tikus Putih Betina Yang Diinduksi 7,12 Dimetilbenz(a)antrasen (DMBA). Majalah Ilmu Kefarmasian Vol. III, No. 3. ISSN: 1693-9883. Notoatmodjo, Soekidjo. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nurmaya. 2010. Karakteristik Wanita Penderita Kanker Payudara Rawat Inap di Rumah Sakit St. Elisabeth Medan tahun 2003-2007. Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Pawiroharsono, Suyanto. 2008. Prospek dan Manfaat Isoflavon pada Kesehatan, Direktorat Teknologi Bioindustri, Jakarta: Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Peterson, T. G., Kim, H., dan Barnes S. 1997. Mechanism of Action of the Soy Isoflavone Genistein at the Cellular Level. Second International Symposium on the Role of Soybean in Preventing and Treating Chronic Diseases, September, Brussel, Belgique; 15-18. Pratiknya, A. W. 2003. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Price, SA. dan Wilson LM. 2006. Patofisiologi Proses-Proses Penyakit. Vol. 2 Edisi 6. Jakarta: EGC. Hlm 843-849. Putz, R dan Pabst R. 2000. Sobotta. Jilid II Edisi 21. Jakarta: EGC.

Rahma, Heny. 2010. Karakterisasi Senyawa Bioaktif Isoflavon dan Uji Aktivitas Antioksidan dari Ekstrak Etanol Tempe Berbahan Baku Kedelai Hitam. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Sowash, J. R. 2009. Rat dissection: 1. Available from: http://jrsowash.wikispaces. com/file/view/rat.student.pdf[24 Juni 2012] Stubert Johannes, Gerber Bernd. 2009. Isoflavone - Mechanism of Action and Impact on Breast Cancer Risk. Germany: Department of Obstetrics and Gynecology University of Rostock. Available from: http://www.ncbi. nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2942013/[24 Juni 2012] Susilowati. 2010. Efek Kemopreventif ekstrak Metanol Kulit Kayu Nangka (Artocarpus Heterophylla Lmk.) Pada Karsinogenesis Kanker Payudara Tikus Betina yang Diinduksi DMBA. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta. Swidarmoko, B. 2007. The Positive Result Of Cytology Brushing At Flexible Fiberoptic Bronchoscopy Compared with Transthoracic Needle Aspiration in Central Lung Tumor. Jakarta: Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI. Syukri, Y. S. 2008. Aktivitas Antikarsinogenesis Ekstrak Etanol Daging Buah Mahkota Dewa pada Mencit yang Diinduksi 7,12-Dimetilbenz(a)antrasena. Jurnal Ilmu kefarmasian Indonesia. ISSN 1693-1831. Tjindarbumi, D., dan Mangunkusumo, R. 2002. Cancer in Indonesia, Present and Future, Jpn J Clin Oncol: 32 (Supplement 1): S17-S21. Trialsight Medical media. 2008. Respiratory system anatomy. Jakarta: medical Media. Van Houtte P et al, 2001. Lung Cancer Clinical Oncology. Edisi 8. Philadelphia : Education limited. Wirasadi, F. 2011. Kanker paru (Lung Cancer). Edisi 73. Jakarta: PT Nukleus Precise.

LAMPIRAN A. Cara Pewarnaan Sel Apoptosis dengan Terminal Transferase and Biotin-16dUTP (TUNEL Fluorescent Method) a) Spesimen jaringan paru diambil secukupnya dan ditempatkan di atas object glass, tambahkan suspense Proteinase K 100 ml diamkan 20 menit. Tujuan penambahan enzim ini adalah untuk mendegradasi protein, terutama protein yang terdapat pada membrane. b) Kemudian bilas spesimen dengan larutan PBS (Phospate Buffer Saline) 1 kali dan keringkan menggunakan tissue. Selama proses pengeringan, lakukan dengan hati hati, jangan sekali sekali menggosokkan tissue pada jaringan karena dapat menghapus jaringan tersebut. c) Tambahkan Hydrogen Peroxidase (H2O2) 3% sebanyak 100 ml, inkubasi pada suhu ruang selama 5 menit. Bilas dengan larutan PBS lalu keringkan. d) Berikan Reaction Buffer 100 L, inkubasi selama 30 menit. e) Tambahkan Reaction Buffer 100 L dan Complete Labeling Reaction Mixture secukupnya. Tutup dengan parafilm atau tuperware untuk dimasukkan ke dalam inkubator. Inkubasi dengan suhu 37o C selama 1 jam. Kemudian cuci dengan larutan PBS, dan keringkan menggunakan tissue. f) Lakukan pengeblokan dengan Blocking Buffer sebanyak 100 L lalu inkubasi pada suhu ruangan selama 10 menit. Tanpa dicuci, berikan Antybody Solution 100 L.Inkubasi 1 jam kemudian cuci dengan PBS. g) Lakukan pengeblokan kedua dengan reagen dan jumlah yang sama, kemudian campur dengan larutan conjugated yang sudah tersedia. h) Lakukan pengeblokan ketiga dengan reagen dan jumlah yang sama, kemudian inkubasi selama 30 menit. i) Buang sisa sisa pembuatan preparat tanpa dicuci dan tunggu 30 menit. Setelah bersih, tambahkan DAB Solution sampai specimen berwarna coklat. Cuci dengan larutan PBS 1 kali, kemudian langkah terakhir adalah berikan etelan untuk menutup object glass dengan cover glass.

B. Hasil Analisis SPSS


Tests of Normality Nomer Kolmogorov-Smirnov Statistic 1 2 Jumlah Apoptosis Sel kanker Paru 3 4 5 ,145 ,271 ,130 ,212 ,226 df 5 5 5 5 5
a

Shapiro-Wilk Statistic
* * * * *

Sig. ,200 ,200 ,200 ,200 ,200

df 5 5 5 5 5

Sig. ,991 ,470 ,987 ,783 ,257

,994 ,910 ,992 ,956 ,868

*. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction

Hasil uji normalitas menggunakan metode Kolmogorov-Smirnov

Test of Homogeneity of Variances Jumlah Apoptosis Sel kanker Paru Levene Statistic 1,851 df1 4 df2 20 Sig. ,159

Hasil uji homogenitas menggunakan metode Levene-statistic

ANOVA Jumlah Apoptosis Sel kanker Paru Sum of Squares Between Groups Within Groups Total 1811,360 1066,400 2877,760 df 4 20 24 Mean Square 452,840 53,320 F 8,493 Sig. ,000

Hasil uji One Way ANOVA

Multiple Comparisons Dependent Variable: Jumlah Apoptosis Sel kanker Paru Tukey HSD (I) Nomer (J) Nomer 2 3 1 4 5 1 2 3 4 5 1 3 2 4 5 1 4 2 3 5 1 2 5 3 4 15,60000 -16,60000 -26,00000 Mean Difference (IJ) -10,80000 -10,40000
* *

Std. Error 4,61822 4,61822 4,61822 4,61822 4,61822 4,61822 4,61822 4,61822 4,61822 4,61822 4,61822 4,61822 4,61822 4,61822 4,61822 4,61822 4,61822 4,61822 4,61822 4,61822

Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound 3,0195 3,4195 -2,7805 -12,1805 24,6195 14,2195 8,0195 -1,3805 24,2195 13,4195 7,6195 -1,7805 30,4195 19,6195 20,0195 4,4195 39,8195 29,0195 29,4195 23,2195

,174 ,202 ,014 ,000 ,174 1,000 ,720 ,027 ,202 1,000 ,669 ,022 ,014 ,720 ,669 ,286 ,000 ,027 ,022 ,286

-24,6195 -24,2195 -30,4195 -39,8195 -3,0195 -13,4195 -19,6195 -29,0195 -3,4195 -14,2195 -20,0195 -29,4195 2,7805 -8,0195 -7,6195 -23,2195 12,1805 1,3805 1,7805 -4,4195

10,80000 ,40000 -5,80000 -15,20000


*

10,40000 -,40000 -6,20000 -15,60000 16,60000


* *

5,80000 6,20000 -9,40000 26,00000 15,20000


* * *

9,40000

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Hasil uji analisis lanjutan menggunakan Tukey HSD

C. Hasil Penghitungan Apoptosis tiap lapang pandang Kelompok Tikus 1 K1 2 3 4 5 K+ 1 2 3 4 5 P1 1 2 3 4 5 P2 1 2 3 4 5 P3 1 2 3 4 5 1 1 1 3 2 4 3 3 2 1 5 2 2 3 2 4 6 3 4 2 3 7 4 8 2 2 3 2 1 2 1 2 2 6 2 3 2 5 1 6 3 4 3 2 3 7 5 4 8 6 3 3 2 4 1 3 1 4 4 4 5 3 3 2 1 2 3 2 4 3 5 2 3 6 2 5 5 Lapang pandang 4 1 1 3 1 2 5 2 4 2 3 1 4 4 5 2 4 5 4 5 3 5 6 5 8 4 5 1 2 2 3 3 3 5 3 6 4 2 6 2 2 4 2 2 1 2 6 3 5 4 7 2 6 4 3 1 4 2 7 2 5 3 5 2 5 1 5 4 2 3 3 4 4 4 5 3 5 4 7 2 3 2 3 3 5 2 3 2 3 4 7 4 2 1 3 5 2 3 5 5 7 4 6 5 8 4 2 1 5 2 3 3 2 1 1 2 3 3 6 2 3 2 5 3 6 7 7 1 4 2 9 1 3 1 3 1 3 4 1 1 3 3 1 1 2 6 4 6 3 5 5 5 4 3 7 3 10 1 2 1 1 1 2 2 5 1 3 7 4 3 2 1 6 5 2 5 4 6 6 2 3 5 20 23 14 28 18 38 29 36 25 29 31 39 22 35 28 34 41 28 39 44 46 57 36 59 35 Jumlah

D. Foto Dokumentasi Penelitian

You might also like