You are on page 1of 41

BAB I PENDAHULUAN

Kanker Leher Rahim (Kanker Serviks) adalah tumor ganas yang tumbuh di dalam leher rahim/serviks (bagian terendah dari rahim yang menempel pada puncak vagina. Kanker serviks biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun. 90% dari kanker serviks berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju ke dalam rahim. Karsinoma serviks biasanya timbul pada zona transisional yang terletak antara epitel sel skuamosa dan epitel sel kolumnar yang biasanya disebut sebagai squamo columnar junction (SCJ). 1 Hingga saat ini kanker serviks merupakan penyebab kematian terbanyak akibat penyakit kanker di negara berkembang. Sesungguhnya penyakit ini dapat dicegah bila program skrining sitologi dan pelayanan kesehatan diperbaiki. Diperkirakan setiap tahun dijumpai sekitar 500.000 penderita baru di seluruh dunia dan umumnya terjadi di negara berkembang. 2 Penyakit ini berawal dari infeksi virus yang merangsang perubahan perilaku sel epitel serviks. Pada saat ini sedang dilakukan penelitian vaksinasi sebagai upaya pencegahan dan terapi utama penyakit ini di masa mendatang. 1,2 Risiko terinfeksi Human Papiloma Virus (HPV) dan beberapa kondisi lain seperti perilaku seksual, kontrasepsi, atau merokok akan mempromosi terjadinya kanker serviks. Mekanisme timbulnya kanker serviks ini merupakan suatu proses yang kompleks dan sangat variasi hingga sulit untuk dipahami. 2 Insiden dan mortalitas kanker serviks di dunia menempati urutan kedua setelah kanker payudara. sementara itu, di negara berkembang masih menempati urutan pertama sebagai penyebab kematian akibat kanker pada usia reproduktif. Hampir 80% kasus berada di negara berkembang. Sebelum tahun 1930, kanker servik merupakan penyebab utama kematian wanita dan kasusnya turun secara drastik semenjak diperkenalkannya teknik skrining pap smear oleh Papanikolau. Namun, sayang hingga kini program skrining belum lagi memasyarakat di negara berkembang, hingga mudah dimengerti mengapa insiden kanker serviks masih tetap tinggi. 3
1

Hal terpenting menghadapi penderita kanker serviks adalah menegakkan diagnosis sedini mungkin dan memberikan terapi yang efektif sekaligus prediksi prognosisnya. Hingga saat ini pilihan terapi masih terbatas pada operasi, radiasi dan kemoterapi, atau kombinasi dari beberapa modalitas terapi ini. Namun, tentu saja terapi ini masih berupa simptomatis karena masih belum menyentuh dasar penyebab kanker yaitu adanya perubahan perilaku sel. Terapi yang lebih mendasar atau imunoterapi masih dalam tahap penelitian. Saat ini pilihan terapi sangat tergantung pada luasnya penyebaran penyakit secara anatomis dan senantiasa berubah seiring dengan kemajuan teknologi kedokteran. Penentuan pilihan terapi dan prediksi prognosisnya atau untuk membandingkan tingkat keberhasilan terapi baru harus berdasarkan pada perluasan penyakit. Secara universal disetujui penentuan luasnya penyebaran penyakit melalui sistem stadium.

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Kanker Serviks Kanker serviks uterus adalah keganasan yang paling sering ditemukan dikalangan wanita. Penyakit ini merupakan proses perubahan dari suatu epitelium yang normal sampai menjadi karsinoma invasif yang memberikan gejala dan merupakan proses yang perlahanlahan dan mengambil waktu bertahun-tahun. 1 Serviks atau leher rahim/mulut rahim merupakan bagian ujung bawah rahim yang menonjol ke liang sanggama (vagina). Kanker serviks berkembang secara bertahap, tetapi progresif. Proses terjadinya kanker ini dimulai dengan sel yang mengalami mutasi lalu berkembang menjadi sel displastik sehingga terjadi kelainan epitel yang disebut displasia. Dimulai dari displasia ringan, displasia sedang, displasia berat, dan akhirnya menjadi karsinoma in-situ (KIS), kemudian berkembang lagi menjadi karsinoma invasif. Tingkat displasia dan KIS dikenal juga sebagai tingkat pra-kanker. Dari displasia menjadi karsinoma in-situ diperlukan waktu 1-7 tahun, sedangkan karsinoma in-situ menjadi karsinoma invasif berkisar 3-20 tahun. Kanker ini 99,7% disebabkan oleh human papilloma virus (HPV) onkogenik, yang menyerang serviks. Berawal terjadi pada serviks, apabila telah memasuki tahap lanjut, kanker ini bisa menyebar ke organ-organ lain di seluruh tubuh penderita. 1,3

B. Klasifikasi Kanker Serviks Ada beberapa klasifikasi tapi yang paling banyak penganutnya adalah yang dibuat oleh FIGO (International Federation of Ginekoloi and Obstetrics) yaitu sebagai berikut :1 Stage 0: Karsinoma insitu =Karsinoma intraepithelial = Karsinoma preinvasif. Stage 1: terbatas pada cerviks. Stage 1 a: Disertai invasi daro stoma ( Karsinoma preklinik) yang hanya diketahui secara histologi.
3

Stage 1 b: Semua kasus-kasus lainnya dari stage 1. Stage 2: Sudah menjalar keluar serviks tapi belum sampai ke dinding vagina tapi tidak melebihi 2/3 bagian proximal. Stage 3: Sudah sampai dinding panggung dan sepertiga bagian bawah vagina Stage 4: Sudah mengenai organ-organ yang lain panggul, telah mengenai

C. Gejala Klinis Kanker Serviks

Tidak khas pada stadium dini. Sering hanya sebagai fluor dengan sedikit darah, perdarahan postkoital atau perdarahan pervagina yang disangka sebagai perpanjangan waktu haid. Pada stadium lanjut baru terlihat tanda-tanda yang lebih khas, baik berupa perdarahan yang hebat (terutama dalam bentuk eksofitik), fluor albus yang berbau dan rasa sakit yang sangat hebat. Pada fase prakanker, sering tidak ada gejala atau tanda-tanda yang khas. Namun, kadang bisa ditemukan gejala-gejala sebagai berikut : Keputihan atau keluar cairan encer dari vagina. Getah yang keluar dari vagina ini makin lama akan berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis jaringan Perdarahan setelah sanggama (post coital bleeding) yang kemudian berlanjut menjadi perdarahan yang abnormal. Timbulnya perdarahan setelah masa menopause. Pada fase invasif dapat keluar cairan berwarna kekuning-kuningan, berbau dan dapat bercampur dengan darah. Timbul gejala-gejala anemia bila terjadi perdarahan kronis. Timbul nyeri panggul (pelvis) atau di perut bagian bawah bila ada radang panggul. Bila nyeri terjadi di daerah pinggang ke bawah, kemungkinan terjadi hidronefrosis. Selain itu, bisa juga timbul nyeri di tempat-tempat lainnya.

Pada stadium lanjut, badan menjadi kurus kering karena kurang gizi, edema kaki, timbul iritasi kandung kencing dan poros usus besar bagian bawah (rectum), terbentuknya fistel vesikovaginal atau rektovaginal, atau timbul gejala-gejala akibat metastasis jauh.

D. Faktor Penyebab dan Faktor Resiko Kanker Serviks 1. Faktor Penyebab HPV merupakan penyebab terbanyak. Sebagai tambahan perokok sigaret telah ditemukan sebagai penyebab juga. Wanita perokok mengandung konsentrat nikotin dan kotinin didalam serviks mereka yang merusak sel. Laki-laki perokok juga terdapat konsetrat bahan ini pada sekret genitalnya, dan dapat memenuhi serviks selama intercourse. Defisiensi beberapa nutrisional dapat juga menyebabkan servikal displasia. National Cancer Institute merekomendasikan bahwa wanita sebaiknya mengkonsumsi lima kali buah-buahan segar dan sayuran setiap hari. Jika anda tidak dapat melakukan ini, pertimbangkan konsumsi multivitamin dengan antioksidan seperti vitamin E atau beta karoten setiap hari. 3 2. Faktor Resiko Pola hubungan seksual Studi epidemiologi mengungkapkan bahwa resiko terjangkit kanker serviks meningkat seiring meningkatnya jumlah pasangan. Aktifitas seksual yang dimulai pada usia dini, yaitu kurang dari 20 tahun juga dapat dijadikan sebagai faktor resiko terjadinya kanker serviks. Hal ini diduga ada hubungannya dengan belum matangnya daerah transformasi pada usia tesebut bila sering terekspos. Frekuensi hubungan seksual juga berpengaruh pada lebih tingginya resiko pada usia tersebut, tetapi tidak pada kelompok usia lebih tua. (Schiffman,1996). Paritas Kanker serviks sering dijumpai pada wanita yang sering melahirkan. Semakin sering melahirkan, maka semakin besar resiko terjangkit kanker serviks. Penelitian di Amerika Latin menunjukkan hubungan antara resiko dengan multiparitas setelah dikontrol dengan infeksi HPV.
5

Merokok Beberapa penelitian menunjukan hubungan yang kuat antara merokok dengan kanker serviks, bahkan setelah dikontrol dengan variabel konfounding seperti pola hubungan seksual. Penemuan lain memperlihatkan ditemukannya nikotin pada cairan serviks wanita perokok bahan ini bersifat sebagai komponen dan bersama-sama dengan karsinogen yang telah ada selanjutnya mendorong pertumbuhan ke arah kanker. Kontrasepsi oral Penelitian secara perspektif yang dilakukan oleh Vessey dkk tahun 1983 (Schiffman,1996) mendapatkan bahwa peningkatan insiden kanker serviks dipengaruhi oleh lama pemakaian kontrasepsi oral. Penelitian tersebut juga mendapatkan bahwa semua kejadian kanker serviks invasif terdapat pada pengguna kontrasepsi oral. Penelitian lain mendapatkan bahwa insiden kanker setelah 10 tahun pemakaian 4 kali lebih tinggi daripada bukan pengguna kontrasepsi oral. Namun penelitian serupa yang dilakukan oleh peritz dkk menyimpulkan bahwa aktifitas seksual merupakan confounding yang erat kaitannya dengan hal tersebut. 3 WHO mereview berbagai penelitian yang menghubungkan penggunaan kontrasepsi oral dengan resiko terjadinya kanker serviks, menyimpulkan bahwa sulit untuk menginterpretasikan hubungan tersebut mengingat bahwa lama penggunaan kontrasepsi oral berinteraksi dengan faktor lain khususnya pola kebiasaan seksual dalam mempengaruhi resiko kanker serviks. Selain itu, adanya kemungkinan bahwa wanita yang menggunakan kontrasepsi oral lain lebih sering melakukan pemeriksaan serviks, sehingga displasia dan karsinoma in situ nampak lebih frekuen pada kelompok tersebut. Diperlukan kehati-hatian dalam menginterpretasikan asosiasi antara lama penggunaan kontrasepsi oral dengan resiko kanker serviks karena adanya bias dan faktor confounding. Defisiensi gizi Beberapa penelitian menunjukkan bahwa defisiensi zat gizi tertentu seperti betakaroten dan vitamin A serta asam folat, berhubungan dengan peningkatan resiko terhadap displasia ringan dan sedang. Namun sampai saat ini tidak ada indikasi bahwa perbaikan defisensi gizi tersebut akan menurunkan resiko.

Sosial ekonomi Studi secara deskriptif maupun analitik menunjukkan hubungan yang kuat antara kejadian kanker serviks dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah. Hal ini juga diperkuat oleh penelitian yang menunjukkan bahwa infeksi HPV lebih prevalen pada wanita dengan tingkat pendidkan dan pendapatan rendah. Faktor defisiensi nutrisi, multilaritas dan kebersihan genitalia juga diduga berhubungan dengan masalah tersebut. Pasangan seksual Peranan pasangan seksual dari penderita kanker serviks mulai menjadi bahan yang menarik untuk diteliti. Penggunaan kondom yang frekuen ternyata memberi resiko yang rendah terhadap terjadinya kanker serviks. Rendahnya kebersihan genetalia yang dikaitkan dengan sirkumsisi juga menjadi pembahasan panjang terhadap kejadian kanker serviks. Jumlah pasangan ganda selain istri juga merupakan faktor resiko yang lain. 3

E. Epidemiologi Kanker Serviks 1. Distribusi Menurut Umur Proses terjadinya kanker leher rahim dimulai dari sel yang mengalami mutasi lalu berkembang menjadi sel displastik sehingga terjadi kelainan epitel yang disebut displasia. Dimulai dari displasia ringan, sedang, displasia berat dan akhirnya menjadi Karsinoma InSitu (KIS), kemudian berkembang menjadi karsinoma invasif. Tingkat displasia dan karsinoma in-situ dikenal juga sebagai tingkatan pra-kanker. Klasifikasi terbaru menggunakan nama Neoplasma Intraepitel Serviks (NIS). NIS 1 untuk displasia ringan, NIS 2 untuk displasia sedang dan NIS 3 untuk displasia berat dan karsinoma in-situ. 1 Menurut Snyder (1976), NIS umumnya ditemukan pada usia muda setelah hubungan seks pertama terjadi. Selang waktu antara hubungan seks pertama dengan ditemukan NIS adalah 2-33 tahun. Untuk jarak hubungan seks pertama dengan NIS 1 selang waktu rata-rata adalah 12,2 tahun, NIS 1 dengan NIS 2 rata-rata13,9 tahun dan NIS 2 samppai NIS 3 rata-rata 11,7 tahun. Sedangkan menurut Cuppleson LW dan Brown B (1975) menyebutkan bahwa NIS akan berkembang sesuai dengan pertambahan usia, sehingga NIS pada usia lebih dari 50 tahun sudah sedikit dan kanker infiltratif meningkat 2 kali. 1

Dari laporan FIGO (Internasional Federation Of Gynecology and Obstetrics) tahun 1988, kelompok umur 30-39 tahun dan kelompok umur 60-69 tahun terlihat sama banyaknya. Secara umum, stadium IA lebih sering ditemukan pada kelompok umur 30-39 tahun, sedangkan untuk stadium IB dan II sering ditemukan pada kelompok umur 40-49 tahun, stadium III dan IV sering ditemukan pada kelompok umur 60-69 tahun. 3 Berdasarkan penelitian yang dilakukan di RSCM Jakarta tahun 1997-1998 ditemukan bahwa stadium IB-IIB sering terdapat pada kelompok umur 35-44 tahun, sedangkan stadium IIIB sering didapatkan pada kelompok umur 45-54 tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Litaay, dkk dibeberapa Rumah Sakit di Ujung Pandang (1994-1999) ditemukan bahwa penderita kanker rahim yang terbanyak berada pada kelompok umur 46-50 tahun yaitu 17,4%. 4 2. Distribusi Menurut Tempat Frekwensi kanker rahim terbanyak dijumpai pada negara-negara berkembang seperti Indonesia, India, Bangladesh, Thailand, Vietnam dan Filipina. Di Amerika Latin dan Afrika Selatan frekwensi kanker rahim juga merupakan penyakit keganasan terbanyak dari semua penyakit keganasan yang ada lainnya. Penelitian yang dilakukan oleh American Cancer Society (2000) membuktikan bahwa kanker rahim lebih sering terjadi pada kelompok wanita minoritas seperti imigran Vietnam, Afrika dan wanita India. Hal ini berkaitan dengan anggapan mereka bahwa wanita yang tidak melakukan gonta-ganti pasangan (promikuitas) tidak perlu melakukan Pap smear. Menurut perkiraan Departemen Kesehatan tahun 1988-1994 insidens kanker serviks mencapai 100/100.000 penduduk pertahun, sedangkan proporsi kanker serviks dari semua jenis kanker dibeberapa bagian patologi anatomi pada tahun 2000, seperti Surabaya ditemukan sebesar 24,3%, Yogyakarta 25,7%, Bandung sebesar 25,1%, Surakarta sebesar 28,2% dan Medan sebesar 16,9%. 2

F. Patologi Kanker Serviks Karsinoma serviks/kanker serviks timbul dibatasi antara epitel yang melapisi ektoserviks (portio) dan endoserviks kanalis serviks yang disebut squamo columnar junction

(SCJ). Pada wanita muda SCJ terletak diluar OUE, sedang pada wanita diatas 35 tahun, didalam kanalis serviks. Tumor dapat tumbuh : 1 Eksofitik. Mulai dari SCJ kearah lumen vagina sebagai massa proliferatif yang

mengalami infeksi sekunder dan nekrosis. Endofitik. Mulai dari SCJ tumbuh kedalam stroma serviks dan cenderung membentuk ulkus Ulseratif. Mulai dari SCJ dan cenderung merusak struktur jaringan pelvis dengan melibatkan fornices vagina untuk menjadi ulkus yang luas. Serviks normal secara alami mengalami metaplasi/erosi akibat saling desak kedua jenis epitel yang melapisinya. Dengan masuknya mutagen, portio yang erosif (metaplasia skuamos) yang semula faali berubah menjadi patologik (diplatik-diskariotik) melalui tingkatan NIS-I, II, III dan KIS untuk akhirnya menjadi karsinoma invasive. Sekali menjadi mikroinvasive, proses keganasan akan berjalan terus. 1 infiltratif

Gambar 1. Lokasi Kanker Leher Rahim

Gambar 2. Progresivitas Kanker Serviks

Gambar 3. Perbandingan Gambaran Serviks yang Normal dan Abnormal

10

G. Penyebaran Kanker Serviks Pada umumnya secara limfogen melalui pembuluh getah bening menuju 3 arah : a) ke arah fornices dan dinding vagina, b) ke arah korpus uterus, dan c) ke arah parametrium dan dalam tingkatan yang lanjut menginfiltrasi septum rektovaginal dan kandung kemih.1 Melalui pembuluh getah bening dalam parametrium kanan dan kiri sel tumor dapat menyebar ke kelenjar iliak luar dan kelenjar iliak dalam (hipogastrika). Penyebaran melalui pembuluh darah (bloodborne metastasis) tidak lazim. Karsinoma serviks umumnya terbatas pada daerah panggul saja. Tergantung dari kondisi immunologik tubuh penderita KIS akan berkembang menjadi mikro invasif dengan menembus membrana basalis dengan kedalaman invasi <1mm dan sel tumor masih belum terlihat dalam pembuluh limfa atau darah. Jika sel tumor sudah terdapat >1mm dari membrana basalis, atau <1mm tetapi sudah tampak dalam pembuluh limfa atau darah, maka prosesnya sudah invasif. Tumor mungkin sudah menginfiltrasi stroma serviks, akan tetapi secara klinis belum tampak sebagai karsinoma. Tumor yang demikian disebut sebagai ganas praklinik (tingkat IB-occult). Sesudah tumor menjadi invasif, penyebaran secara limfogen melalui kelenjar limfa regional dan secara perkontinuitatum (menjalar) menuju fornices vagina, korpus uterus, rektum, dan kandung kemih, yang pada tingkat akhir (terminal stage) dapat menimbulkan fistula rektum atau kandung kemih. Penyebaran limfogen ke parametrium akan menuju kelenjar limfa regional melalui ligamentum latum, kelenjar-kelenjar iliak, obturator, hipogastrika, prasakral, praaorta, dan seterusnya secara teoritis dapat lanjut melalui trunkus limfatikus di kanan dan vena subklavia di kiri mencapai paru-paru, hati , ginjal, tulang dan otak. 1 Biasanya penderita sudah meninggal lebih dahulu disebabkan karena perdarahanperdarahan yang eksesif dan gagal ginjal menahun akibat uremia oleh karena obstruksi ureter di tempat ureter masuk ke dalam kandung kencing. Penyebaran karsinoma serviks terjadi melalui 3 jalan yaitu perkontinuitatum ke dalam vagina, septum rektovaginal dan dasar kandung kemih. Penyebaran secara limfogen terjadi terutama paraservikal dalam parametrium dan stasiun-stasiun kelenjar di pelvis minor, baru kemudian mengenai kelenjar para aortae terkena dan baru terjadi penyebaran hematogen (hepar, tulang). 1 Secara limfogen melalui pembuluh getah bening menuju 3 arah: fornices dan dinding vagina
11

korpus uteri parametrium dan dalam tingkatan lebih lanjut menginfiltrasi septum rektovagina dan kandung kemih. Penyebaran limfogen ke parametrium akan menuju kelenjar kelenjar limfe regional

melalui ligamentum latum, kelenjar iliaka, obturator, hipogastrika, parasakral, paraaorta, dan seterusnya ke trunkus limfatik di kanan dan vena subklvia di kiri mencapai paru, hati, ginjal, tulang serta otak. 1

H. Diagnosis Kanker Serviks Diagnosis kanker serviks tidaklah sulit apalagi tingkatannya sudah lanjut. Yang menjadi masalah adalah bagaimana melakukan skrining untuk mencegah kanker serviks, dilakukan dengan deteksi, eradikasi, dan pengamatan terhadap lesi prakanker serviks. Kemampuan untuk mendeteksi dini kanker serviks disertai dengan kemampuan dalam penatalaksanaan yang tepat akan dapat menurunkan angka kematian akibat kanker serviks. 1,3 Keputihan. Keputihan merupakan gejala yang paling sering ditemukan, berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis jaringan. Pendarahan kontak merupakan 75-80% gejala karsinoma serviks. Perdarahan timbul akibat terbukanya pembuluh darah, yang makin lama makin sering terjadi diluar senggama. Rasa nyeri, terjadi akibat infiltrasi sel tumor ke serabut saraf. Gejala lainnya adalah gejala-gejala yang timbul akibat metastase jauh. Tiga komponen utama yang saling mendukung dalam menegakkan diagnosa kanker serviks adalah: 3 1. Sitologi. Bila dilakukan dengan baik ketelitian melebihi 90%. Tes Pap sangat bermanfaat untuk mendeteksi lesi secara dini. Sediaan sitologi harus mengandung komponen ektoserviks dan endoserviks.
12

Gambar 4. Pemeriksaan Pap Smear

13

Gambar 5. Pemeriksaan Pap Smear untuk Deteksi Dini Kanker Leher Rahim 2. Kolposkopi. Kolposkopi adalah pemeriksaan dengan menggunakan kolposkop, yaitu suatu alat seperti mikroskop bertenaga rendah dengan sumber cahaya di dalamnya. Pemeriksaan kolposkopi merupakan pemeriksaan standar bila ditemukan pap smear yang abnormal. Pemeriksaan dengan kolposkopi, merupakan pemeriksaan dengan pembesaran, melihat kelainan epitel serviks, pembuluh darah setelah pemberian asam asetat. Pemeriksaan kolposkopi tidak hanya terbatas pada serviks, tetapi pemeriksaan meliputi vulva dan vagina. Tujuan pemeriksaan kolposkopi bukan untuk membuat diagnosa histologik, tetapi untuk menentukan kapan dan dimana biopsi harus dilakukan.

14

Gambar 6. Colposcopy Untuk Mengambil Jaringan yang Abnormal 3. Biopsi Biopsi dilakukan di daerah abnormal di bagian yang telah dilakukan kolposkopi. Jika kanalis servikalis sulit dinilai, sampel diambil secara konisasi.

Gambar 7. Biopsi Kerucut pada Serviks (Leher Rahim)


15

I. Pengobatan untuk Kanker Serviks Pemilihan pengobatan untuk kanker serviks tergantung kepada lokasi dan ukuran tumor, stadium penyakit, usia, keadaan umum penderita dan rencana penderita untuk hamil lagi. 3 1. Pembedahan Pada karsinoma in situ (kanker yang terbatas pada lapisan serviks paling luar), seluruh kanker seringkali dapat diangkat dengan bantuan pisau bedah ataupun melalui loop electrosurgical excision procedure (LEEP). Dengan pengobatan tersebut, penderita masih bisa memiliki anak. Karena kanker bisa kembali kambuh, dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan ulang dan Pap smear setiap 3 bulan selama 1 tahun pertama dan selanjutnya setiap 6 bulan. Jika penderita tidak memiliki rencana untuk hamil lagi, dianjurkan untuk menjalani histerektomi. Pada kanker invasif, dilakukan histerektomi dan pengangkatan struktur di sekitarnya (prosedur ini disebut histerektomi radikal) serta kelenjar getah bening. Pada wanita muda, ovarium (indung telur) yang normal dan masih berfungsi tidak diangkat. 2. Terapi penyinaran Terapi penyinaran (radioterapi) efektif untuk mengobati kanker invasif yang masih terbatas pada daerah panggul. Pada radioterapi digunakan sinar berenergi tinggi untuk merusak sel-sel kanker dan menghentikan pertumbuhannya. Ada 2 macam radioterapi, yaitu : o Radiasi eksternal : sinar berasar dari sebuah mesin besar

Penderita tidak perlu dirawat di rumah sakit, penyinaran biasanya dilakukan sebanyak 5 hari/minggu selama 5-6 minggu. o Radiasi internal : zat radioaktif terdapat di dalam sebuah kapsul dimasukkan langsung ke dalam serviks. Kapsul ini dibiarkan selama 1-3 hari dan selama itu penderita dirawat di rumah sakit. Pengobatan ini bisa diulang beberapa kali selama 1-2 minggu. Efek samping dari terapi penyinaran adalah : = Iritasi rektum dan vagina = Kerusakan kandung kemih dan rektum = Ovarium berhenti berfungsi.
16

3. Kemoterapi Jika kanker telah menyebar ke luar panggul, kadang dianjurkan untuk menjalani kemoterapi. Pada kemoterapi digunakan obat-obatan untuk membunuh sel-sel kanker. Obat anti-kanker bisa diberikan melalui suntikan intravena atau melalui mulut. Kemoterapi diberikan dalam suatu siklus, artinya suatu periode pengobatan diselingi dengan periode pemulihan, lalu dilakukan pengobatan, diselingi dengan pemulihan. 4. Terapi biologis Pada terapi biologis digunakan zat-zat untuk memperbaiki sistem kekebalan tubuh dalam melawan penyakit. Terapi biologis dilakukan pada kanker yang telah menyebar ke bagian tubuh lainnya. Yang paling sering digunakan adalah interferon, yang bisa dikombinasikan dengan kemoterapi.

J. Pencegahan dan Penanganan Kanker Serviks Pengendalian kanker serviks dengan pencegahan dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier Strategi kesehatan masyarakat dalam mencegah kematian karena kanker serviks antara lain adalah dengan pencegahan primer dan pencegahan sekunder.2 Pencegahan Primer Pencegahan primer merupakan kegiatan yang dapat dilakukan oleh setiap orang untuk menghindari diri dari faktor-faktor yang dapat menyebabkan timbulnya kanker serviks. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menekankan perilaku hidup sehat untuk mengurangi atau menghindari faktor resiko seperti kawin muda, pasangan seksual ganda dan lain-lain. Selain itu juga pencegahan primer dapat dilakukan dengan imunisasi HPV pada kelompok masyarakat Pencegahan sekunder Pencegahan sekunder kanker serviks dilakukan dengan deteksi dini dan skrining kanker serviks yang bertujuan untuk menemukan kasus-kasus kanker serviks secara dini sehingga kemungkinan penyembuhan dapat ditingkatkan. Perkembangan kanker serviks memerlukan waktu yang lama. Dari prainvasif ke invasive memerlukan waktu sekitar 10
17

tahun atau lebih. Pemeriksaan sitologi merupakan metode sederhana dan sensitive untuk mendeteksi karsinoma pra invasive. Bila diobati dengan baik, karsinoma pra invasive mempunyai tingkat penyembuhan mendekati 100%. Diagnosa kasus pada fase invasive hanya memiliki tingkat ketahanan sekitar 35%. Program skrining dengan pemeriksaan sitologi dikenal dengan Pap mear test dan telah dilakukan di Negara-negara maju. Pencegahan dengan pap smear terbukti mampu menurunkan tingkat kematian akibat kanker serviks 5060% dalam kurun waktu 20 tahun (WHO,1986). Selain itu, terdapat juga 3 tingkatan pencegahan dan penanganan kanker serviks, yaitu : 1. Pencegahan Tingkat Pertama a) Promosi Kesehatan Masyarakat misalnya : o Kampanye kesadaran masyarakat o Program pendidikan kesehatan masyarakat o Promosi kesehatan b) Pencegahan khusus, misalnya : o Interfensi sumber keterpaparan o Kemopreventif 2. Pencegahan Tingkat Kedua a) Diagnosis dini, misalnya screening b) Pengobatan, misalnya : o Kemoterapi o Bedah 3. Pencegahan Tingkat Ketiga a) Rehabilitasi, misalnya perawatan rumah sedangkan penanganan kanker umumnya ialah secara pendekatan multidisiplin. Hasil pengobatan radioterapi dan operasi

18

radikal kurang lebih sama, meskipun sebenarnya sukar untuk dibandingkan karena umumnya yang dioperasi penderita yang masih muda dan umumnya baik. b) Meski kanker serviks menakutkan, namun kita semua bisa mencegahnya. Anda dapat melakukan banyak tindakan pencegahan sebelum terinfeksi HPV dan akhirnya menderita kanker serviks. c) Miliki pola makan sehat, yang kaya dengan sayuran, buah dan sereal untuk merangsang sistem kekebalan tubuh. Misalnya mengkonsumsi berbagai karotena, vitamin A, C, dan E, dan asam folat dapat mengurangi risiko terkena kanker serviks. d) Hindari merokok. Banyak bukti menunjukkan penggunaan tembakau dapat meningkatkan risiko terkena kanker serviks. e) Hindari seks sebelum menikah atau di usia sangat muda atau belasan tahun. f) Hindari berhubungan seks selama masa haid terbukti efektif untuk mencegah dan menghambat terbentuknya dan berkembangnya kanker serviks. g) Hindari berhubungan seks dengan banyak partner. h) Secara rutin menjalani tes Pap smear secara teratur. Saat ini tes Pap smear bahkan sudah bisa dilakukan di tingkat Puskesmas dengan harga terjangkau. i) Alternatif tes Pap smear yaitu tes Inspeksi Visual Asam (IVA) dengan biaya yang lebih murah dari Pap smear. Tujuannya untuk deteksi dini terhadap infeksi HPV. j) Pemberian vaksin atau vaksinasi HPV untuk mencegah terinfeksi HPV. k) Melakukan pembersihan organ intim atau dikenal dengan istilah vagina toilet. Ini dapat dilakukan sendiri atau dapat juga dengan bantuan dokter ahli. Tujuannya untuk membersihkan organ intim wanita dari kotoran dan penyakit.

19

BAB III DETEKSI DINI KANKER SERVIKS

WHO menyebutkan 4 komponen penting yang menjadi pilar dalam penanganan kanker serviks, yaitu : pencegahan infeksi HPV, deteksi dini melalui peningkatan kewaspadaan dan program skrining yang terorganisasi, diagnosis dan tatalaksana, serta perawatan paliatif untuk kasus lanjut. 5, 6 Deteksi dini kanker serviks meliputi program skirining yang terorganisasi dengan sasaran perempuan kelompok usia tertentu, pembentukan sistem rujukan yang efektif pada tiap tingkat pelayanan kesehatan, dan edukasi bagi petugas kesehatan dan perempuan usia produktif.5 Skrining dan pengobatan lesi displasia (atau disebut juga lesi prakanker) memerlukan biaya yang lebih murah bila dibanding pengobatan dan penatalaksanaan kanker serviks. Beberapa hal penting yang perlu direncanakan dalam melakukan deteksi dini kanker, supaya skrining yang dilaksanakan terprogram dan terorganisasi dengan baik, tepat sasaran dan efektif, terutama berkaitan dengan sumber daya yang terbatas. 1. Sasaran yang akan menjalani skrining WHO mengindikasikan skrining dilakukan pada kelompok berikut : 7 . 1) setiap perempuan yang berusia antara 25-35 tahun, yang belum pernah menjalani tes Pap sebelumnya, atau pernah mengalami tes Pap 3 tahun sebelumnya atau lebih. 2) Perempuan yang ditemukan lesi abnormal pada pemeriksaan tes Pap sebelumnya 3) Perempuan yang mengalami perdarahan abnormal pervaginam, perdarahan pasca sanggama atau perdarahan pasca menopause atau mengalami tanda dan gejala abnormal lainnya 4) perempuan yang ditemukan ketidaknormalan pada serviksnya

20

Amerika Serikat dan Eropa merekomendasikan sasaran dan interval skrining kanker servik seperti tampak pada tabel berikut8:

Pedoman pencegahan dan skrining kanker di Eropa dan Amerika European ACS ACOG ASCCP US Preventive Service guidelines for quality assurance in cervical cancer screening; 2007 (Americ an Cancer Society) ; 2007 (American College of Obstetricians & ); 2003 http://www.ac og.org (Americ an Society for opy & Cervical Patholog y); 2006 Waktu awal skrining dengan tes Pap Usia 2030 tahun Kirakira 3 tahun setelah aktivitas seksual yang namun tidak lebih dari usia 21 tahun Penggun aan tes HPV pada Belum sikan, masih menunggu Bersama dengan pemerik Bersama Tidak cukup evidens an dengan pemerik Kira-kira 3 tahun setelah aktivitas seksual yang pertama, namun tidak lebih dari usia Tidak ada laporan Kira-kira 3 tahun setelah aktivitas seksual yang pertama, namun tidak lebih dari usia 21 tahun Task Force; 2003 http://www.preventiveservi ces.ahrq.gov

Gynecologists Colposc

pertama, 21 tahun

direkomenda an

21

program skrining

hasil penelitian

saan sitologi pada wanita 30 tahun

saan sitologi pada wanita 30 tahun

Interval Skrining Tes Pap konvensi onal Tiap 35 tahun Tiap tahun; atau tiap 23 tahun untuk wanita usia dengan 3 kali berturutturut hasil skrining negatif Tiap tahun; atau tiap 23 tahun untuk wanita usia 30 tahun dengan 3 kali berturut-turut hasil skrining Tidak ada laporan Sekurang-kurangnya tiap 3 tahun

30 tahun negatif

skrining dengan tes HPV

Tidak ada laporan

Tiap 3 tahun bila hasil tes HPV dan sitologi

Tiap 3 tahun bila hasil tes HPV dan sitologi negatif

Tidak ada laporan

Tidak cukup evidens

22

negatif Penghent Setelah usia ian skrining 6065 tahun dengan 3 turut hasil skrining negatif Wanita usia Dari buktibukti yang dapat ditarik kesimpulan menentukan batas usia penghentian skrining Tidak ada laporan Untuk wanita usia 65 tahun dengan hasil tes negatif, yang bukan risiko tinggi kanker serviks

70 tahun ada tidak 3 kali turut hasil tes negatif dan tanpa hasil tes abnorma l dalam 10 tahun terakhir

kali berturut- dengan

berturut- untuk

Manaje ment hasil skrining yang abnorma l - ASCUS ASC-H LSIL HSIL

ASC-US: reflex HPV testing; LSIL: ulang pemeriksaan sitologi atau kolposkopi; ASC-H: kolposkopi; HSIL: kolposkopi dan biopsi.

Tidak ada laporan

Tidak ada laporan

ASCUS: HPV tes, atau ulang tes sitologi, atau lakukan kolposk opi pada wanita 20 tahun; ASC-H:

Tidak ada laporan

23

kolposk opi LSIL: kolposk opi HSIL: segera lakukan LEEP atau kolposk opi dengan endocer vical assessm ent.

(Dikutip dari Barzon et al. Infectious Agents and Cancer 2008 3:14 doi:10.1186/1750-93783-14) 2. Interval skrining American Cancer Society (ACS) merekomendasikan idealnya skrining dimulai 3 tahun setelah dimulainya hubungan seksual melalui vagina.9 Beberapa penelitian menyebutkan bahwa risiko munculnya lesi prakanker baru terjadi setelah 3-5 tahun setelah paparan HPV yang pertama.9 Interval yang ideal untuk dilakukan skrining adalah 3 tahun. 9 Skrining 3 tahun sekali memberi hasil yang hampir sama dengan skrining tiap tahun. 10 ACS merekomendasikan skrining tiap tahun dengan metode tes Pap konvensional atau 2 tahun sekali bila menggunakan pemeriksaan sitologi cairan (liquid-based cytology) setelah skrining yang pertama.9 Setelah perempuan berusia 30 tahun, atau setelah 3 kali berturut-turut skrining dengan hasil negatif, skrining cukup dilakukan 2-3 tahun sekali.9 Bila dana sangat terbatas
24

skrining dapat dilakukan tiap 10 tahun atau sekali seumur hidup dengan tetap memberikan hasil yang signifikan.11 WHO merekomendasikan5 : - Bila skrining hanya mungkin dilakukan 1 kali seumur hidup maka sebaiknya dilakukan pada perempuan antara usia 35-45 tahun. - Untuk perempuan usia 25-49 tahun, bila sumber daya memungkinkan, skrining hendaknya dilakukan 3 tahun sekali. - Untuk perempuan dengan usia diatas 50 tahun, cukup dilakukan 5 tahun sekali - Bila 2 kali berturut-turut hasil skrining sebelumnya negatif, perempuan usia diatas 65 tahun, tidak perlu menjalani skrining. - Tidak semua perempuan direkomendasikan melakukan skrining setahun sekali 3. Metode skrining yang akan digunakan Ada beberapa metode skrining yang dapat digunakan, tergantung dari ketersediaan sumber daya. Metode skrining yang baik memiliki beberapa persyaratan, yaitu akurat, dapat diulang kembali (reproducible), murah, mudah dikerjakan dan ditindak-lanjuti, akseptabel, serta aman.1 Beberapa metode yang diakui WHO adalah sebagai berikut5 : A. TES PAP KONVENTIONAL Tes pap adalah suatu cara untuk mendapatkan bahan sediaan sitologi servikovaginal, penamaan tersebut berasal dari nama seorang serjana kedokteran kelahiran Yunani bernama Goerge N. Papanicolaou (1928), yang mempelopori pemeriksaan sel-sel mulut rahim untuk menemukan kanker. Nama lain dari tes Pap adalah Pap Smear. Dalam pelaksanaannya dapat di lakukan oleh dokter ahli (Obstetri-Ginekologi), dokter umum, bidan dan tenaga medis lain yang sudah terlatih. Sediaan apus kemudian dikirimkan ke laboratorium sitologi untuk dipulas dan diperiksa di bawah mikroskop oleh Ahli Patologi Anatomi. (Bonfiglo TA, 1997) Salah satu tujuan pemeriksaan tes Pap adalah untuk skrining/penapisan sel-sel serviks (sitodiagnosis) dari wanita yang tampak sehat dan atau tanpa gejala, apabila terdapat kelainan yang mengarah ke prakanker maupun kanker in-situ maka perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan cara biopsi jaringan yang di perlukan untuk konfirmasi. (Kurman RJ, 1994).

25

Sitodiagnosis yang tepat tergantung pada sediaan yang dibuat dengan baik, fiksasi dan pewarnaan yang baik serta tentu saja pemeriksaan mikroskopik yang tepat. Supaya didapatkan pengertian yang baik antara pembuat tes Pap dan laboratorium penting adanya informasi klinik yang lengkap. (Kurman RJ, 1994) Tujuan utama tes Pap adalah untuk mengetahui sel-sel kanker dalam stadium dini. Tujuan umum adalah untuk mengetahui sel-sel mulut rahim: Normal atau tidak Jenis kelainannya radang, prakanker atau kanker Derajat kelainan Evaluasi sitohormonal Selain melihat gambaran sel-selnya, pemeriksaan sitologi juga sekaligus dapat memberikan informasi mengenai organisme penyebab peradangan (jamur, parasit dll) serta memantau hasil terapi. (Kuman RJ, 1994: Bonfiglo TA,1997) Pada beberapa forum ilmiah International, klasifikasi sistem Bethesda lebih sering digunakan. Beberapa dengan di Indonesia, klasifikasi sitologi yang sering digunakan yaitu sistem Papanicolau dan sistem displasia. Pada sistem Bethesda dikenal istilah LSIL (Low Grade Squamous Intraepitel Lesion=Lesi Intraepitel Skuamosa Derajat Rendah (LISR)) yang meliputi kondiloma dan NIS I, dan HSIL (High Grade Squamous Intraepitel Lesion= Lesi Intraepitel Skuamosa Derajat Tinggi (LIST)) yang meliputi NIS II, NIS III dan Karsinoma Insitu (KIS). 1,3 Telah diakui, bahwa dengan pemeriksaan Tes Pap telah membuktikan mampu menurunkan kematian akibat kanker serviks dibeberapa negara, walaupun tentu ada kekurangan. Sensitivitas tes Pap untuk mendeteksi NIS berkisar 50-98%. sedang negatif palsu antara 8-30 % untuk lesi skuamosa. (Tulinias H, 1984;Cremer DW, 1994). 40% untuk lesi adenomatosa. Adapun spesifisitas tes Pap adalah 93%, nilai prediksi positif adalah 80,2% dan nilai prediksi negatif adalah 91,3%. Harus hati-hati justru pada lesi serviks invasif, karena negatif palsu dapat mencapai 50% akibat tertutup darah, adanya radang dan jaringan nekrotik. (Cole P,1979; Cremer DW, 1994) Fakta ini menunjukkan, bahwa pada lesi invasif kemampuan pemeriksa melihat serviks secara makroskopik sangat di perlukan. Kemudian di
26

tegaskan bahwa hasil tes Pap hanya sebagai petunjuk, dasar terapi untuk lesi di serviks harus berdasarkan hasil histopatologi. Karena itu hasil tes Pap abnormal harus diikuti dengan prosedur diagnosik selanjutnya. Dari hasil tes Pap abnormal, pasien dapat dikatagorikan pada kelompok: Negatif Ada infeksi, atipik, maka tes Pap perlu diulang Abnormal : LISR, dapat dilakukan tes Pap ulang 4 bulan, atau dilakukan kolposkopi see and treat. LIST, perlu dilakukan kolposkopi dan biopsi. (Nuranna L, 1999) Cara Pemeriksaan Tes Pap 1) Pasien berbaring di meja ginekologi dan di posisikan secara ginekologis. 2) Dokter atau pun tenaga medis duduk dengan pandangan lurus ke vagina ( gunakan masker ). 3) Bersihkan kemaluan luar dengan menggunakan kasa steril yang di basahi dengan saflon mulai dari anterior ke posterior ( cukup satu kali usapan ). 4) Gunakan speculum yang sesuai dengan ukuran lubang vagina 5) Pasang speculum dan tampakan portio secara jelas 6) Minta asisten untuk menyiapakan 2 gelas objek dan spatula aire, cytobrush, lidi kapas. 7) Dengan menggukan spatula aire lakuakan swap di mulut serviks secara gentle ( putar spatula aire 360`) 8) Pulaskan hasil swap di gelas obyek. 9) Dengan menggunkan cytobrush lakuakan swap di endoserviks secara gentle ( putar spatula aire 360 derajat searah jarum jam) 10) Pulaskan hasil swap di gelas obyek , lakukan fiksasi dengan merendam gelas obyek didalam larutan alcohol 96% 11) Lakukan swap lender serviks dan vagina dengan lidi kapas. 12) Pulaskan hasil swap pada gelas obyek, teteskan KOH dan tutup dengan penutup gelas obyek. 13) Bersihkan vagina dan mulut serviks 14) Lepaskan speculum secara gentle dan rendam dalam larutan klorin.

27

Gambar 8. Cara Pemeriksaan Pap Smear

B. KOLPOSKOPI Yang pertama kali memperkenalkan kolposkopi adalah Hiselman pada tahun 1925. Pemeriksaan kolposkopi telah digunakan secara luas di Eropa dan Amerika Selatan untuk diagnosis kelainan pada serviks. Kolposkopi adalah pemeriksaan dengan kolposkop, yaitu suatu alat yang dapat disamakan dengan mikroskop bertenaga rendah dengan sumber cahaya didalamnya (pembesaran 10-40 kali). Untuk menampilkan portio dipulas terlebih dahulu dengan Asam Asetat 3-5%. Portio dengan kelainan (infeksi HPV atau NIS) terlihat bercak putih atau perubahan corakan pembuluh darah. 11

28

Alat ini selain dilengkapi sumber cahaya juga dilengkapi dengan filter hijau waktu melihat gambaran pembuluh darah dan juga dapat di hubungkan dengan kamera foto atau TV. 11 Pemeriksaan ini merupakan cara pemeriksaan dengan meneliti perubahan dari permukaan epitel serviks dan ujung-ujung pembuluh darah didaerah tersebut. Pemeriksaan kolposkopi disamping untuk membuat diagnosis, juga dapat mengarahkan dimana biopsi dilakukan, sehingga banyak tindakan konisasi dapat dihindari. melakukan konisasi sebanyak 96%.
11

Pemeriksaan kolposkopi

dapat mempertinggi ketepatan deteksi sitologi menjadi 98,7% dan menurunkan frekuensi

Gambar 9. Pemeriksaan dengan kolposkopi Lima hal yang harus di perhatikan dalam penilaian kolposkopi adalah: 1) Pola pembuluh darah 2) Jarak antar kapiler 3) Pola permukaan epitel 4) Kegelapan jaringan 5) Batas-batas proses Setelah kolposkopi, maka pasien dapat dikatagorikan: Kolposkopi normal
29

Ada kelainan pada zona transformasi, dan perlu di biopsi. Kolposkopi dengan pandang tak memuaskan misalnya karena sambungan skuamosa kolumnar tak tampak seluruhnya atau tak tampak sebagian. Pada keadaan ini, maka tergantung pada hasil tes Pap. Bila hasil tes Pap adalah HPV, atau atipik atau displasia ringan, maka dapat di pertimbangkan untuk merencanakan pemeriksaan Tes Pap dalam interval waktu tertentu, misalnya 4 bulan. Namun bila hasil tes Pap termasuk LIST atau lesi serviks invasif, maka prosedur konisasi perlu di lakukan. 11

Penggunaan kolposkopi dapat sebagai alat skrining awal. Tetapi karena alat kolposkopi termasuk alat yang mahal, maka hal ini hanya bisa di lakukan di pusat-pusat kesehatan tertentu, tidak bisa dijadikan alat skrining massal, dan alat ini lebih sering di gunakan sebagai prosedur pemeriksaan lanjut dari hasil tes Pap abnormal. Jadi bila kita melakukan skrining dengan kolposkopi keuntungannya: dapat memvisualisasikan daerah transformasi, visualisasi lesi, biopsi lebih terarah. Kerugiannya: peralatan mahal membutuhkan pendidikan dan kurang spesifik.

C. TES DNA-HPV Telah dibuktikan bahwa lebih 90% kondiloma serviks, semua neoplasma intraepitel serviks (NIS) dan kanker serviks mengandung DNA HPV. Hubungan kuat dan tiap tipe HPV mempunyai hubungan patologik yang berbeda. Tes DNA HPV merupakan metode molekuler untuk menentukan tipe HPV resiko tinggi. Dikenal berbagai tipe HPV, sehingga kini telah ada sampai 60 tipe yang di kelompokkan Tipe HPV resiko rendah: tipe 6 dan 11, yang jarang di temukan pada karsinoma invasif, kecuali karsinoma varikosa. Tipe HPV resiko tinggi: HPV tipe 16, 18, 31, dan 45. Berdasarkan pengenalan derajat resiko dari HPV, maka menurut ahli yang mengunggulkan peran HPV dan tipenya, menyatakan bahwa HPV Typing sangat penting dalam menindaklanjuti penemuan HPV serviks. Bila dari hasil HPV Typing dikenal HPV tipe resiko rendah, maka tindak lanjutnya follow up saja. Namun bila dikenal HPV tipe resiko
30

tinggi perlu ditindak lanjut. HPV Typing dilakukan dengan hibridasi DNA, spesifikasi tes DNA-HPV lebih rendah dari Tes Pap dan biayanya mahal.

D. INSPEKSI VISUAL Inspeksi visual terdiri dari Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) dan Inspeksi Visual dengan Lugol Iodin (VILI). Inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) maksudnya adalah melihat serviks secara langsung tanpa alat pembesaran setelah pengusapan serviks dengan asam asetat 3-5% untuk mendeteksi adanya NIS. Asam asetat digunakan untuk meningkatkan dan membuat tanda terhadap epitel, terhadap lesi prakanker atau kanker sebenarnya. Metode IVA memberi peluang dilakukannya skrining secara luas di tempat-tempat yang memiliki sumberdaya terbatas, karena metode ini memungkinkan diketahuinya hasil dengan segera dan terutama karena hasil skrining dapat segera ditindaklanjuti. 12 Metode satu kali kunjungan (single visit approach) dengan melakukan skrining metode IVA dan tindakan bedah krio untuk temuan lesi prakanker ( see and treat) memberikan peluang untuk peningkatan cakupan deteksi dini kanker serviks, sekaligus mengobati lesi prakanker. Dasar Pemeriksaan IVA Pemeriksaan inspkesi visual dengan Asam Asetat (IVA) adalah pemeriksaan yang pemeriksanya (dokter/bidan/paramedis) mengamati serviks yang telah diberi asam Asetat/ asam cuka 3-5% secara inspekulo dan dilihat dengan pengamatan mata telanjang. 13 Pemeriksaan IVA pertama kali di perkenalkan oleh Hinselman (1925) dengan cara memulas serviks dengan kapas yang telah dicelupkan dalam asam asetat 3-5%. Pemberian asam asetat itu akan mempengaruhi epitel abnormal, bahkan juga akan meningkatkan osmolaritas cairan ekstraseluler yang bersifat hipertonik, dan akan menarik cairan dari intraseluler sehingga membran akan kolaps dan jarak anter sel akan semakin dekat. Sebagai akibatnya, jika permukaan epitel mendapat sinar, sinar tersebut tidak akan diteruskan ke stroma, tetapi dipantulkan keluar sehingga permukaan epitel abnormal akan berwarna putih, disebut (acetowhite). 13

31

Gambar 10. Acetowhite

Gambar 11. Hasil pemeriksaan dengan IVA

32

Daerah metaplasia yang merupakan daerah peralihan akan berwarna putih juga setelah pemulasan dengan asam asetat tetapi dengan intensitas yang kurang dan cepat menghilang. Hal ini membedakannya dengan proses prakanker yang epitel putihnya lebih tajam dan lebih lama menghilang karena asam asetat berpenetrasi lebih dalam sehingga terjadi koagulasi protein lebih banyak. Jika makin putih dan makin jelas, makin tinggi derajat kelainan jaringannya. Dibutuhkan 1-2 menit untuk dapat melihat perubahan-perubahan pada epitel serviks yang diberi 5% larutan asam asetat akan berespons lebih cepat daripada 3% larutan tersebut. Efek akan menghilang sekitar 50-60 detik sehingga dengan pemberian asam asetat akan didapatkan hasil gambaran serviks yang normal (merah homogen) dan bercak putih (mencurigakan displasia). Lesi yang tampak sebelum aplikasi larutan asam asetat bukan merupakan epitel putih, tetapi disebut leukoplakia; biasanya disebabkan oleh proses keratosis.13 Teknik Pemeriksaan IVA dan Interpretasi Prinsip metode IVA adalah melihat perubahan warna menjadi putih (acetowhite) pada lesi prakanker jaringan ektoserviks rahim yang diolesi larutan asam asetoasetat (asam cuka). Bila ditemukan lesi makroskopis yang dicurigai kanker, pengolesan asam asetat tidak dilakukan namun segera dirujuk ke sarana yang lebih lengkap. Perempuan yang sudah menopause tidak direkomendasikan menjalani skrining dengan metode IVA karena zona transisional leher rahim pada kelompok ini biasanya berada pada Endoserviks rahim dalam kanalis servikalis sehingga tidak bisa dilihat dengan inspeksi spekulum.5 Perempuan yang akan diskrining berada dalam posisi litotomi, kemudian dengan spekulum dan penerangan yang cukup, dilakukan inspeksi terhadap kondisi serviksnya. Setiap abnormalitas yang ditemukan, bila ada dicatat. Kemudian serviks dioles dengan larutan asam asetat 3-5% dan didiamkan selama kurang lebih 1-2 menit. Setelah itu dilihat hasilnya. Serviks yang normal akan tetap berwarna merah muda, sementara hasil positif bila ditemukan area plak atau ulkus yang berwarna putih. Lesi prakanker ringan/jinak (NIS 1) menunjukkan lesi putih pucat yang bisa berbatasan dengan sambungan skuamokolumnar . Lesi yang lebih parah (NIS 2-3 seterusnya) menunjukkan lesi putih tebal dengan batas yang tegas, dimana salah satu tepinya selalu berbatasan dengan sambungan skuamokolumnar (SSK) .:

33

Kategori Temuan IVA :

1. Normal 2. Infeksi

Licin, merah muda, bentuk porsio normal servisitis hiperemis) (inflamasi, fluor

banyak

3. Positif IVA 4.Kanker leher Rahim

ektropion polip plak putih epitel acetowhite (bercak putih) pertumbuhan seperti bunga kol pertumbuhan mudah berdarah

Katagori temuan IVA 5 1. Negatif - tak ada lesi bercak putih (acetowhite lesion) - bercak putih pada polip endoservikal atau kista nabothi - garis putih mirip lesi acetowhite pada sambungan skuamokolumnar 2. Positif 1 (+1) - samar, transparan, tidak jelas, terdapat lesi bercak putih yang ireguler pada serviks
34

- lesi bercak putih yang tegas, membentuk sudut (angular), geographic acetowhite lessions yang terletak jauh dari sambungan skuamokolumnar 3. Positif 2 (+2) - lesi acetowhite yang buram, padat dan berbatas jelas sampai ke sambungan skuamokolumnar - lesi acetowhite yang luas, circumorificial, berbatas tegas, tebal dan padat -pertumbuhan pada leher rahim menjadi acetowhite Buku emas untuk pegangan diagnosis lesi prakanker serviks adalah biopsi yang dipandu oleh kolposkopi. Apabila hasil skrining positif, perempuan yang diskrining akan menjalani prosedur selanjutnya yaitu konfirmasi untuk penegakkan diagnosis melalui biopsi yang dipandu oleh kolposkopi. Setelah itu baru dilakukan pengobatan lesi prakanker. Ada beberapa cara yang dapat digunakan yaitu kuretase endoservikal, krioterapi, dan loop electrosurgical excision procedure (LEEP) , laser, konisasi, sampai histerektomi simpel. 5 Tabel . Perbedaan beberapa metode skrining Dikutip dari Comprehensive Cervical Cancer Control. A Guide to Essential Practice. Geneva : WHO, 2006. Metode Sitologi konvensional (Tes Pap) Prosedur Sampel diambil oleh tenaga kesehatan dan diperiksa oleh sitoteknisi di laboratorium Kelebihan -Metode yang telah lama dipakai luas -Pencatatan hasil pemeriksaan permanen -Training dan mekanisme Kekurangan -Hasil tes tidak didapat dengan segera sistem yang efektif untuk follow up wanita yang diperiksa pemeriksaan Status -Telah lama digunakan di banyak negara sejak tahun 1950 -Terbukti menurunkan angka kematian akibat kanker leher rahim di maju

-Diterima secara -Diperlukan

setelah ada hasil negara-negara

35

kontrol kualitas telah baku -Investasi yang sederhana pada program yang telah ada dapat meningkatkan pelayanan -Spesifisitas tinggi

-Diperlukan transport bahan sediaan dari tempat pemeriksaan ke laboratorium, transport hasil pemeriksaan ke klinik -Sensitivitas sedang

Liquid Base Citology

Sampel diambil oleh tenaga kesehatan, dimasukkan dalam cairan fiksasi dan dikirim untuk diproses dan di periksa di laboratorium

-Jarang diperlukan pengambilan sample ulang bila bahan sediaan tidak adekuat -Waktu yang dibutuhkan untuk pembacaan hasil lebih singkat bila dilakukan oleh sitoteknisi yang berpengalaman -Sampel dapat digunakan juga untuk tes molekuler (misalnya HPV tes)

-Hasil tes tidak didapat dengan segera -Fasilitas laboratorium lebih mahal dan canggih

36

Tes DNA HPV

-Tes DNA HPV secara molekuler. -Pengambilan sampel dapat dilakukan sendiri oleh wanita dan dibawa ke laboratorium

-Pengambilan sampel lebih mudah -Proses pembacaan otomatis oleh alat khusus -Dapat dikombinasi dengan Tes Pap untuk meningkatkan sensitivitas -Spesifitas tinggi terutama pada perempuan >35 tahun

-Hasil tes tidak didapat dengan segera -Biaya lebih mahal -Fasilitas laboratorium lebih mahal dan canggih -Perlu reagen khusus -Spesifitas rendah pada perempuan muda (,35 tahun)

-Digunakan secara komersial di negara-negara maju sebagai tambahan pemeriksaan sitologi

37

Metode Visual (IVA dan VILI)

Pemulasan leher rahim dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terlatih (bidan/ dokter/perawat)

-Mudah dan murah -Hasil didapat dengan segera -Sarana yang dibutuhkan sederhana -Dapat dikombinasi dengan tatalaksana segera lainnya yang cukup dengan pendekatan sekali kunjungan (single visit approach)

-Spesifitas rendah, sehingga berisiko overtreatment -Tidak ada dokumentasi hasil pemeriksaan -Tidak cocok untuk skrining pasca menopause -Belum ada standarisasi -Seringkali perlu training ulang untuk tenaga

-Belum cukup data dan penelitian yang mendukung, terutama sehubungan dengan efeknya terhadap penurunan angka kejadian dan kematian kanker -Saat ini hanya direkomendasikan pada daerah proyek

pada perempuan leher rahim

kesehatan DAFTAR PUSTAKA 1. Wiknjosastro H. Ilmu Kandungan. Ed.2. Jakarta: PT.Bina Pustaka Surwono Prawiroharjo. 2009 2. Dirjen Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI, Badan Registrasi Kanker IAPI, Yayasan Kanker Indonesia. Kanker di Indonesia tahun 1997, Data histopatologik. 3. Andrijono, FKUI.2007 4. Aziz, MF. Masalah pada kanker serviks. Cermin Dunia Kedokteran, Jakarta, 2001: 133;5-7 5. World Health Organization. Comprehensive Cervical Cancer Control. A Guide to Essential Practice. Geneva : WHO, 2006. Kanker Leher rahim, Divisi Onkologi, Dep.Obstetri-Ginekologi

38

6. Preventing cervical cancer in low-resources settings. Outlook. Volume 18, number 1, September 2000. 7. Bosch FX, Manos MM, Munos N, et al. Prevalence of human papilloma virus in cervical cancer : A worldwide prespective. International biological study on cervical 8. Barzon et al.Guidelines of the Italian Society for Virology on HPV testing and vaccination for cervical cancer prevention. Infectious Agents and Cancer 2008 3:14 doi:10.1186/1750-9378-3-14cancer (IBSCC) Study group. J Natl Cancer Inst 1995;87:796-802. 9. Saslow D, Runowicz CD, Solomon D, Moscicki AB, Smith RA, Eyre HJ, Cohen C, American Cancer Society: American Cancer Society guidelines for the early detection of cervical neoplasia and cancer. CA Cancer J Clin 2002, 52:342-362. PubMed Abstract | Publisher Full Text 10. Coleman Met al, Time trends in cancer incidence, mortality, and prevalence worldwide, version 1.0. Lyon, IARC, 1995 (IARC Scientific Publication No. 121) 11. Miller AB, Cervical cancer screening programmes : managerial guidelines. Geneva : WHO 1992 12. Megevand E, Denny L, Dehaeck K, Soeters R, Bloch B. Acetic acid visualization of the cervix : an alternative to cytologic screening. Obstet Gynecol. 1996;88(3):383-6. 13. Burghardt E. Histopathology of cervical epithelium. In : Burghardt E. Colposcopy cervical pathology. Textbook and atlas. 2nd revised and enlarged ed. Stutgart-New York Georg Thieme Verlag, 1991 : 8-60

39

40

41

You might also like