You are on page 1of 5

Share

More

Next Blog

Create Blog Sign In

Beranda

RABU, 08 AGUSTUS 2012

TENTANG BLOG INI

Pendataran dan Perubahan - jawapos 6 Agustus 2012


Angin perubahan kembali bertiup. Kalau kepala sekolah mendiamkan para senior melakukan bullying pada para juniornya, maka orangtua cukup menekan tombol twitter dan bergeraklah dewi keadilan. Para siswa, dan kepala sekolah SMA Don Bosco mungkin tak pernah menyangka kasusnya akan menjadi perhatian nasional. Mereka juga tak menyangka harus bermalam di kantor polisi. Bisakah insiden SMA Don Bosco menjadi awal bagi berakhirnya insiden bullying yang masih marak di berbagai sekolah? Tentu saja bisa, asalkan masyarakat mau menjalin kekuatan yang sekarang justru ada di tangannya sendiri. Ia bergeser dari pusat-pusat kekuasaan formal yang menyandera kehidupan pada kekuatan mayarakat sipil yang saling terhubung satu dengan lainnya. Saya kira itu pulalah yang tengah bergerak di dunia penegakkan hukum dan di dunia pendidikan. Saat berubah, keduanya juga mengalami inertia (kelembaman) dan kekenyalan yang sama sehingga sempat berlarut-larut, namun kontrol publik begitu kuat sehingga sulit menyembunyikan agenda-agenda terselubung. Kalau mau ditambahkan, angin perubahan sebenarnya juga tengah bertiup di Lembaga Penyiaran Publik (TVRI). Saat ini kalau anda perhatikan, layar TVRI mulai lebih kinclong, penyiarpenyiar muda mulai tampak, program-program baru mulai masuk daftar 30 besar, dan Liga Italia akan jadi tontonan menarik. Bagaimana inertia dan resistensinya ? Tentu saja pasti ada. Namun apakah yang membuat gelembung perubahan tidak berhenti di tempat dan menumbangkan kepongahan? Inilah puncak dari gelembung komunikasi horizontal yang fenomenanya juga kita saksikan dalam putaran pertama pilgub DKI kemarin atau dalam kekisruhan kuasa di Universitas Indonesia. Kekuasaan bergeser dari pejabat ke tangan rakyat, dari artis besar ke rakyat jelata, dari partai politik kepada pelayan publik. Kasus UI Untuk memudahkan, saya mulai saja dengan gelombang keributan yang minggu ini ramai diberitakan tentang rektor UI. Setelah delapan dekan mengeluarkan mosi tidak percaya pada atasannya, kini hampir semua elemen di UI, termasuk dewan guru besar menyatakan hal serupa. Hari Jumat kemarin mahasiswa (BEM) pun memecat rektor. Ini benar-benar sejarah kelam dalam kepemimpinan Universitas negri yang diikuti oleh leadership yang lemah pada tingkat kementrian. Mengurus satu orang saja menjadi berbelit-belit. Hal mudah telah dibuat menjadi sulit. Fakta-fakta diabaikan, padahal mereka sudah diberitahu. Publik yang tak mengerti mungkin mengira perlawanan berawal dari pemberian gelar pada raja Arab Saudi tak lama setelah seorang TKI dihukum pancung- akhir tahun lalu. Namun sebenarnya, pemicu awal adalah rentetan fakta-fakta yang dibocorkan para pegawai di lingkaran satu kepada para dosen. Mulai dari biaya pakan hewan peliharaan rektor sampai biaya perjalanan dinas. Sementara hampir semua fakultas mengalami kesulitan pendanaan, atasannya asyik memakai anggaran tanpa kontrol. MWA yang diadukan ternyata punya masalah yang sama, rektor enggan dikontrol, bahkan pembangunan-pembangunan gedung dilakukan tanpa approval mereka. Wajar bila akhirnya MWA hendak memberhentikan rektor, tetapi mendiknas menganulirnya. Saya tidak ingin bercerita banyak tentang lembaga yang sangat saya cintai ini, tetapi intinya adalah munculnya kekuatan komunikasi horizontal yang begitu kuat yang mengungkapkan segala kepalsuan dan menyatukan perlawanan. Sampai saat ini, bisul terlihat sudah akan pecah, kecuali politik kembali memainkan perannya. Saya hanya menyayangkan para pejabat negara yang tidak mampu membaca apa yang sebenarnya terjadi. Di abad ini, leadership yang kuat harus diimbangi dengan kemampuan mendengarkan yang baik. Menguasai anggaran atau kedudukan formal saja tak cukup menjadikan seseorang pemimpin kelas satu. Universitas yang berwatak kolegial, di tangan pemimpin yang pongah bisa berubah menjadi sentralisasi kekuasaan yang otoriter. Sentralisasi di UI justru dibangun pada saat dunia sedang menuju ke era desentralisasi dan people empowerment. Pemimpin yang pongah biasanya lupa bahwa kekuasaan itu paradox, pada saat merasa kuat, sesungguhnya ia sangat lemah. Kekuatan itu pudar, saat kepercayaan hilang. Segi Tiga Terbalik Siap atau tidak, universitas tentu harus terus berubah dan memperbaharui komitmennya.

Blog ini bukanlah blog pribadi Rhenald Kasali, melainkan blog yang berisi kumpulan artikel beliau yang dimuat di berbagai media massa di Indonesia.
PROFIL RHENALD KASALI

Rhenald Kasali adalah dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Ketua Program Pascasarjana Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi universitas tersebut. Selain bergerak sebagai akademisi, pria bergelar Ph. D. dari University of Illinois ini juga produktif menulis. Buku-buku yang ditulisnya selalu menjadi perhatian kalangan bisnis dan hampir semua bukunya menjadi best seller di kalangan mahasiswa. Berikut beberapa buku yang telah ditulis Prof. Rhenald Kasali. Sembilan Fenomena Bisnis - 1997 Membidik Pasar Indonesia: Segmentasi, Targeting dan Positioning, Gramedia Pustaka Utama (1998) Sembari Minum Kopi Politiking di Panggung Bisnis, Gramedia Pustaka Utama Sukses Melakukan Presentasi, Gramedia Pustaka Utama (2001) Change!, Gramedia Pustaka Utama (2005) Recode Your Change DNA, Gramedia Pustaka Utama (2007) Mutasi DNAPowerhouse, Gramedia Pustaka Utama (2008) Wirausaha Muda Mandiri, Gramedia Pustaka Utama (2010) Myelin: Mobilisasi intengibles sebagai kekuatan perubahan, Gramedia Pustaka Utama (2010). Buku ini menjadi rujukan perusahaan-perusahaan besar di Indonesia Cracking Zone, Gramedia Pustaka Utama (2011) Selain mengajar di Universitas Indonesia, ia juga menjadi dosen terbang di Program Magister Manajemen Universitas Sam Ratulangi, Universitas Tanjung Pura, Universitas Udayana, dan Universitas Lampung.

Penghargaan
Atas kerja kerasnya, Rhenald mendapatkan beberap penghargaan sebagai berikut. Piagam Penghargaan Satya Lencana

converted by Web2PDFConvert.com

Demikian juga dengan Polri yang tengah berperang melawan korupsi. Bila dulu semua Jendral tergantung pada komando Kapolri dengan kedekatan senioritas almamater, maka kini para Jendral sangat tergantung pada seluruh warga negara. Semua ini terjadi melalui proses pendataran, yang bergulir begitu cepat dalam 10 tahun terakhir ini. Dalam proses pendataran itu, segitiga hirarki dengan CEO, atau komandan di pucuk pimpinan telah menjadi terbalik. Para CEO, penguasa, komandan dan orang-orang pintar kini harus puas duduk dibawah melayani atasan-atasan yang dalam strata adalah bawahanbawahannya sendiri. Semua orang sekarang dituntut untuk menjalankan pelayanan dan memimpin dengan servant leadership seperti yang diajarkan Robert Greenleaf (1977). Dalam tesis Greenleaf, pemimpin adalah pelayan: CEO adalah pelayan bagi para pelanggan, komandan adalah pelayan bagi prajurit, presiden adalah pelayan rakyat dan pejabat adalah pelayan publik. Greenleaf mengatakan ada sepuluh pilar yang harus dimiliki setiap pemimpin, tetapi saya mengerucutkannya menjadi tiga: Kemampuan mendengar, berempati, dan menangkap keinginan akar rumput. Hanya mereka yang mampu menjalankan amanah inilah yang akan berhasil, sedangkan yang mempertahankan kuasa akan jatuh dan terkubur dalam kesulitan. Itulah pesan dari proses pendataran ini. Rhenald Kasali Founder Rumah Perubahan
Diposkan oleh Rhenald Kasali di 22:01 Tidak ada komentar: Rekomendasikan ini di Google

Karya Satya 10 tahun dari Presiden Republik Indonesia , Piagam No. 112451/4-22/2004 Penghargaan "KREATIVITAS" di bidang Pendidikan dari Yayasan Pengembangan Kreativitas, Yayasan Pengembangan Kreatifitas , Surat No. 46/SK-YPK/IV/2005 Piagam Penghargaan dari Rektor Universitas Indonesia sebagai Penulis Buku , UI , Piagam Penghargan Rektor UI tgl. 9 Mei 2005 Alice & Charlote Biester Award (1995) Dosen Terbaik, FEUI (2003)

Guru Besar
Pada 4 Juli 2009, Rhenald dinobatkan menjadi guru besar Ilmu Manajemen di Universtas Indonesia. Saat pengukuhannya sebagai guru besar, Rhenald membawakan orasi ilmiahberjudul "Keluar dari Krisis: Membangun Kekuatan Baru Melalui Core Belief dan Tata Nilai".
sumber www.wikipedia.com PENGIKUT

SENIN, 06 AGUSTUS 2012

Kepemimpinan Orang-orang Kalah - Kompas 6 Agustus 2012


JOKO Widodo yang maju dalam pencalonan gubernur DKI Jakarta mengatakan dirinya tak punya uang. Maka, ia pun menjadi bingung saat dituding telah menjalankan politik uang. Pertarungan antara kubu Joko Widodo-Basuki T Purnama dan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli masih terus berlangsung, seperti halnya yang dihadapi hampir semua kontestan pilkada dari Aceh hingga Papua. Dalam banyak kesempatan selalu ditemui babak selanjutnya. Meskipun demikian, reaksi yang muncul dari setiap pihak bisa berbeda. Ada yang menunjukkan bahwa mereka memiliki sikap pemenang yang berorientasi ke depan dan introspektif terhadap masa lalu, ada yang bertarung dengan mentalitas pecundang yang berorientasi ke masa lalu dan menyalahkan orang lain. Kalau diperhatikan, hampir semua politisi yang bertarung pada era demokrasi ini tidak siap menyambut kemenangan. Yang menang gagal menjalankan apa yang dijanjikan dan bila kalah selalu menyalahkan orang lain. Kalau mencari uang gagah berani, tetapi bila tertangkap melakukan kejahatan enggan bertanggung jawab. Belajar akui kesalahan Lima belas tahun yang lalu saat masih bersekolah di Amerika Serikat, anak saya pulang ke rumah dengan muka terluka. Begitu bertemu ibunya, ia menangis sambil memeluk. Its OK mommy, it was my mistake. I was wrong. Saat kembali ke Indonesia ia suka protes. Mengapa teman-teman aku suka tak mengakui kesalahan? Mereka pun selalu mengulanginya. Sebagai orangtua, saya tentu kesulitan menjawab. Akan tetapi, saya berpikir, anak-anak belajar dari orangtua dan orangtua belajar dari para pecundang yang tidak siap menerima kekalahan. Jawaban itu akhirnya saya peroleh dari Denis Waitley (1986) yang menulis Psychology of Winning hasil studi Kassam, Morewedge, Gilbert, dan Wilson (Psychological Science, April 2011). Saya jadi mengerti mengapa Presiden Amerika Serikat yang kalah dengan gagah berani mengucapkan selamat kepada pemenang hanya sesaat setelah hasil polling mengumumkan kekalahannya. Saya juga jadi mengerti, mengapa anak-anak di dunia Barat lebih sering mengatakan saya yang salah, sementara di sini semakin banyak orang yang mengatakan bukan salah saya. Dari berbagai literatur diketahui bahwa di negara-negara demokratis, selain komunikasi yang asertif, pada anak-anak selalu ditanamkan sikap-sikap pemenang. Seorang pemenang bukan otomatis memenangi persaingan, melainkan yang menjaga kehormatannya. Orang kalah Seingat saya, di sekolah anak saya dulu, guru selalu mengingatkan bahwa pada akhirnya orang yang kalah bukanlah yang terpenjarakan atau tergusur dari kursinya, melainkan orang yang melemparkan kesalahannya kepada pihak lain. Ketika seorang pemenang mencari cara bagaimana menyelesaikan masalahnya, orang- orang yang kalah sibuk mencari alasan. Tak banyak pemimpin yang menyadari bahwa mereka telah menjadi bagian dari masalah dan bukan solusi.

ARSIP BLOG

2012 (74) Oktober (9) September (7) Agustus (4) Pendataran dan Perubahan - jawapos 6 Agustus 2012 Kepemimpinan Orang-orang Kalah Kompas 6 Agustus ... Gejala berpikir di belakang kurva semakin menonj... Tempe - Jawapos 30 Juli 2012 Juli (7) Juni (12) Mei (4) April (6) Maret (8) Februari (8) Januari (9) 2011 (13)

converted by Web2PDFConvert.com

Seorang pemenang selalu menghormati orang-orang yang lebih hebat dan mau belajar. Ia dihormati bukan karena menang atau dicurangi, melainkan karena menghormati kemenangan, menjaga kehormatan. Sementara orang yang mengabaikan kehormatannya selalu merendahkan keberhasilan orang lain dan merasa lebih hebat dari siapa pun juga. Wajar bila mereka gemar mencegah agar orang lain berhasil. Mereka menggunakan argumentasi omong kosong dengan nada keras. Berbeda dengan pemenang yang argumentasinya kuat, tetapi disampaikan dengan lembut dan santun. Mau ke mana Indonesia kalau para politisi dan pemimpinnya tak punya karakter pemenang? Apa jadinya kalau generasi muda tidak dipersiapkan untuk menjadi pemenang? Bangsa yang kalah akan selalu curiga dan memusuhi bangsa-bangsa yang lebih hebat dan beranggapan bahwa ada peran faktor keberuntungan. Padahal, pemenang melihat keberuntungan sebagai buah dari kerja keras dan disiplin. Bangsa yang kalah mudah tersulut emosi, tetapi ragu-ragu bertindak. Rhenald kasali Guru Besar FEUI; Founder Rumah Perubahan
Diposkan oleh Rhenald Kasali di 08:38 Tidak ada komentar: Rekomendasikan ini di Google

KAMIS, 02 AGUSTUS 2012

Gejala berpikir di belakang kurva semakin menonjol belakangan ini. Gejala ini ditandai dengan keputusan-keputusan yang bersifat reaktif, instant, short term (jangka pendek), jalan pintas, populis, emosional, dan tentu saja tidak visioner. Tidak visioner, tidak terkoordinasi satu dengan lainnya, tidak didasarkan fakta-fakta yang mendalam tentang keadaan di masa depan (intelligence data gathering), tidak menyatu, tidak didukung leadership yang kuat, dan tentu saja tidak kritis. Bangsa-bangsa yang besar atau yang merdeka memilih kemandirian. Dan kemandirian berarti hidup di depan kurva dengan mengantisipasi persoalan-persoalan yang akan dihadapi di depan untuk menyelamatkan bangsa dari persoalan-persoalan yang lebih buruk. The Pain or The Gain Dalam literatur strategic thinking dikenal istilah ahead of the curve yang berarti menduduki posisi 10% teratas. Kalau sebuah data besar dipetakan, maka biasanya posisi 10% teratas ada di sisi sebelah kanan. Dan mereka yang duduk di posisi 10% teratas itu disebut berada di kepala kurva. Bangsa-bangsa yang duduk di kepala kurva diketahui memiliki cara berpikir jauh ke depan (thinking ahead) dan berani menghadapi pain (rasa sakit) untuk mendapatkan gain (manfaat dikemudian hari). Sebaliknya, mereka yang menduduki posisi 10% di sebelah kiri punya kecenderungan berpikir di belakang kurva seperti yang saya sebut di atas. Orang-orang yang berpikir di belakang kurva punya kecenderungan enggan bertarung melawan kesulitan, dan bila menghadapi tantangan selalu melihat rasa sakit (pain) yang besar ketimbang potensi gain di masa depan. Seperti itulah Philip Delves Broughton (2008) menggambarkan mahasiswa Harvard yang kelak memimpin perusahaan-perusahaan besar dan rela membayar US$ 175.000 selama dua tahun di Boston, plus kurang tidur dan bertarung melawan rasa khawatir. Bukunya Ahead of The Curve (Two Years at Harvard Business School) bercerita tentang apa-apa saja yang ia hadapi selama dua tahun di Harvard. Buku ini berbeda dengan kajian yang dilakukan oleh Joseph H. Ellis (2007) yang walaupun berjudul sama lebih berbicara tentang perilaku data hari ini yang cenderung membingungkan, dengan indikator-indikator saling bertentangan, persis seperti data pooling pilkada, serta petunjuk-petunjuk yang menyesatkan. Ellis menempatkan data-data itu pada konteksnya dan berkesimpulan, hanya bila seseorang berani melepaskan jiwanya dari sejarah dan kegalauan, maka ia baru bisa menjelajahi kurva baru di masa depan. Tentu saja hidup di depan kurva bagi kedua penulis itu adalah hidup yang penuh tantangan yang bila dijalankan akan membawa bangsa itu terus ke depan. Sementara yang menganut cara berpikir di belakang kurva akan terus menjadi bodoh, dan sering tertawa sendiri mentertawakan kesulitannya. Tempe, Mobnas dan BBM Ada benang merah yang sama antara pengambilan keputusan tentang pembebasan bea masuk kedelai saat pengusaha tempe mogok produksi dengan rangkaian kebijakan sejumlah pihak pada produksi mobil-mobil nasional yang marak belakangan ini (dan segera setelah itu menjadi museum) dengan keributan para politisi tentang subsidi BBM. Semua solusi yang diambil jelas sekali mencerminkan cara berpikir jangka pendek, instant, populis, reaktif dan jalan pintas. Tidak banyak pemimpin yang berpikir bahwa cara terbaik mendapatkan kedelai untuk kepentingan industri tempe adalah mengembalikan kemerdekaan para petani. Namun karena para petani tersebar luas di seantero nusantara (dan kebijakannya ada di tangan para Gubernur dan Bupati), dan urusan pembenahan pertanian membutuhkan strategi menyeluruh memerangi para mafia (mulai dari mafia pupuk, importir, pestisida dan irigasi) sungguh merepotkan, maka diambilah jalan paling sederhana yaitu memangkas habis bea masuk yang sudah kecil itu (5%).

converted by Web2PDFConvert.com

Lantas apakah dampaknya bagi ketersediaan kedelai dan masa depan pertanian Indonesia ? Hal serupa juga tampak dalam langkah-langkah produksi mobil-mobil nasional yang belum mempersiapkan banyak hal, atau subsidi BBM yang ternyata hanya dinikmati rakyat Indonesia bagian barat dan sebagian di tengah. Rakyat yang hidup di bagian timur yang justru memiliki cadangan sumber daya energy yang besar justru harus membayar BBM empat kali lebih mahal dari harga subsidi karena infrastruktur di daerah-daerah itu tidak sebaik di Pulau Jawa. Kalau diurut kebelakang dari ke depan maka cara-cara bekerja serupa tampak jelas dalam banyak kasus. Mulai dari bagaimana Pemda DKI memindahkan para peziarah di makam Mbah Priok, sampai penutupan terminal bayangan di jalan tol Jatibening. Dari pembuatan iklan parawisata Indonesia di stasiun televisi BBC (yang sekedar muncul) sampai kebijakan impor beras dan aneka pangan lainnya. Dari upaya menggantikan BBM dengan BBG yang dilakukan tanpa persiapan sampai impor garam secara besar-besaran. Ada kesan kuat bangsa ini telah terperangkap oleh cara berpikir yang reaktif dengan sudut pandang di belakang kurva. Ini berarti ketidakpastian di masa depan yang harusnya bisa dilihat, telah diabaikan karena macam-macam sebab. Sebab pertama, para pemimpin buta melihat fakta, atau takut memandang realita yang harus dihadapi. Kedua, Indonesia telah tersandera oleh system politik yang mengarah pada kegagalan bertindak. Ketiga, negeri ini telah dikuasai oleh para mafia yang mengambil keuntungan dari kesempatan-kesempatan yang terabaikan oleh negara. Keempat, tidak ada integrator yang berperan menyatukan seluruh gerak vertikal horizontal dalam system managemen pemerintahan pusat maupun daerah. Atau, keempat itu semuanya hadir karena absennya strategic planning dalam pembangunan yang menyatukan seluruh gerak bangsa dengan kepemimpinan yang kuat. Pembicaraan saya dengan para CEO menyimpulkan, keadaan yang terakhir itulah yang sangat dirasakan. Stakeholder Indonesia sangat bermain dan liar. Kinilah saatnya untuk memotong semua Red Tapes yang membelenggu Indonesia. Melahirkannya kembali, memerdekakan dari belenggu yang mengikat pikiran di belakang kurva. Rhenald Kasali Founder Rumah Perubahan
Diposkan oleh Rhenald Kasali di 14:46 Tidak ada komentar: Rekomendasikan ini di Google

Tempe - Jawapos 30 Juli 2012


Duh tempe. Mengapa engkau menghilang? Beberapa waktu lalu saya pernah didatangi oleh sebuah badan sosial international untuk membangun pabrik tempe. Tentu saja motifnya bukan komersial, melainkan menimbulkan echo effect dengan menghadirkan pabrik tempe yang efisien dan mampu menjadi role model dalam perbaikan kualitas produk dan efisiensi produksi. Orang-orang asing yang membuat model pabrik tempe itu berargumentasi, tempe adalah makanan rakyat Indonesia yang sangat populer. Ia bahkan menjadi andalan gizi masyarakat. Bahkan almarhum Ong Hokham, sejarawan UI, pernah menulis bahwa rakyat yang disiksa tentara Jepang masih bisa selamat karena makan tempe. Tempe telah menyelamatkan bangsa ini dari bencana gizi buruk karena kandungan proteinnya cukup besar. Tanpa tempe tak jelas betul bagaimana kita melewati krisis ekonomi 1997 yang melumpuhkan daya beli rakyat. Namun lebih dari itu ia menunjukkan foto-foto yang sudah bisa kita lihat dan selama ini kita diamkan. Yaitu tentang proses pembuatannya yang maaf, sungguh menggelikan. Anda tentu sudah sering mendengarnya. Dalam skala rumahan, pegawai pabrik berkaos singlet yang menginjak-injak kedelai, dalam ruangan yang lembab dan tertutup, higienitas menjadi pertaruhan. Sementara kualitas air yang pabriknya terletak di tepi kali menjadi masalah, demikian juga drumdrum bekas oli dan bahan-bahan cair berbahaya yang dipakai dalam prosesnya. Tetapi apa boleh buat, selama ini kita sehat-sehat saja makan tempe yang demikian, bukan? Saya pun tertarik untuk menyediakan lokasi agar pabrik yang benar, dapat dijadikan acuan para perajin tempe. Jadi motif kami lebih untuk mengedukasi. Hanya saja sayangnya, biaya investasi pembuatan pabrik tempe yang modern ini memang tidak kecil bila dibandingkan dengan usahausaha rumahan yang bisa dibuat seadanya saja dalam ruangan rumah kontrakan. Namun dalam jangka panjang ini jelas jauh lebih hemat. Jadi dengan proses yang lebih modern, hasil produksinya harus diarahkan untuk segmen kelas atas yang berpenghasilan tinggi. Solusi Harga Jadi ketika harga kedelai mulai bergerak baik dari Rp 5000,- menjadi Rp 8000,- kami pun ikut terperanjat. Tentu saja menghapuskan bea masuk kedelai bukanlah satu-satunya solusi yang bisa dan harus dilakukan. Benar apa kata produsen tempe, bea masuk nol persen baru menguntungkan importir. Apalagi dului sudah pernah dilakukan tapi kemudian berubah lagi. Bahkan kebijakan ini bisa menjadi desinsentif bagi petani kedelai. Lantas bagaimana jadinya kalau semua ini terjadi benar-benar karena gagal panen dan perubahan iklim dunia? Saya kira solusi mengatasi kenaikan harga tempe ada di banyak titik. Pertama, pemerintah harus bisa mengembalikan anak-anak petani ke ladang-ladang pertanian. Ini berarti biaya produksi
converted by Web2PDFConvert.com

pertanian harus bisa ditekan. Penyediaan pupuk, perbaikan irigasi, benih-benih unggul, pemberantasan hama, perbaikan infrastruktur dan seterusnya harus segera diupayakan. Kalau di era Soeharto hal itu bisa dilakukan harusnya saat ini juga bisa diteruskan. Kedua, berikan harga jual produk pertanian yang menarik. Jadi jangan gantikan produk mereka dengan barang impor kendati dalam jangka pendek lebih murah dan mudah. Sekarang ini penduduk dunia tengah memasuki sebuah era dimana demand pangan telah jauh melebihi supplynya. Ini berarti harga-harga pangan akan terus bergerak naik dan bangsa-bangsa yang diprioritaskan mengkonsumsinya adalah mereka yang bersedia membeli dengan harga yang lebih tinggi. Jadi kalau rakyat Indonesia tak bersedia membeli beras atau tempe dengan harga tinggi, petani bisa menjualnya kepada bangsa lain yang membutuhkannya. Namun ketiga, tempe merupakan sumber gizi rakyat kecil yang daya belinya masih belum cukup kuat. Ini berarti pemerintah harus bersiap-siap dengan kebijakan semacam food stamp yang dibagikan kepada konsumen-konsumen yang terancam gizi buruk agar dapat mengkonsumsi makanan bergizi. Dan tentu saja solusi yang perlu diambil tidak hanya ada pada elemen harga. Masih ada solusi keempat yang melengkapi ketiga hal diatas, yaitu perbaikan efisiensi sarana produksi tempe rakyat. Berbagai studi telah menunjukkan bahwa industri tempe Indonesia masih dapat diperbaiki lagi prosesnya. Air limbah yang mengandung biogas misalnya, masih dapat digunakan untuk menghemat pemakaian energi. Demikian pula dengan limbah-limbah padatnya yang sekarang diperebutkan oleh peternakan rakyat sebagai pakan ternak. Sementara itu fasilitas produksi yang ketinggalan zaman sudah saatnya diperbaharui. Diperlukan investasi-investasi baru dengan dukungan dana-dana murah pemerintah. Para pekerjanya pun perlu dilatih ulang agar dapat menghasilkan produk-produk baru yang lebih bernilai tambah, lebih efisien dan menghemat biaya produksi. Dari kecamata marketing, tempe juga memiliki ruang yang sangat besar untuk diperbaharui. Saat ini masih sulit dibedakan mana tempe yang ditujukan untuk masyarakat kelas menengah atas dan mana yang untuk rakyat biasa selain outletnya saja. Tempe yang dijual untuk rakyat jelata di pasar-pasar tradisional dan warung ternyata kualitas tampilan dan rasanya belum ada bedanya dengan yang ada di supermarket. Maka tempe pun masih dapat diperbaharui pemasarannya. Mari kita terima signal yang dikirim pengusaha tempe sebagai alarm peringatan bahwa era pangan murah telah berakhir dan diperlukan daya tarik yang besar untuk menumbuhkan kembali sektor pertanian baik on farm maupun paska panennya. Ingat lho, tempe itu heritage asli Indonesia. Sama nilai sejarahnya dengan batik dan keris. Rhenald Kasali Founder Rumah Perubahan
Diposkan oleh Rhenald Kasali di 14:45 Tidak ada komentar: Rekomendasikan ini di Google

Posting Lebih Baru Langganan: Entri (Atom)

Beranda

Posting Lama

Template Simple. Gambar template oleh Storman. Diberdayakan oleh Blogger.

converted by Web2PDFConvert.com

You might also like