You are on page 1of 10

UU KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN Suko Widodo (Staff Pengajar Departemen Komunikasi Universitas Airlangga

Surabaya) ABSTRAK Keterbukaan Informasi publik merupakan salah satu perwujudan dari penyelenggaraan pemerintahaan yang baik (good governance). Dimana keterbukaan informasi publik merupakan kewajiban pemerintah dan badan public. Hal tersebut mengingat informasi public adalah milik public bukanlah milik pemerintah maupun badan publik. Oleh karena itu, untuk dapat memenuhi hal tersebut maka lahirlah Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) sebagai wadahnya. Walaupun pada kenyataannya UU KIP belum begitu memasyarakat dengan baik, sehingga masih diperlukan upaya sosialisasi baik dikalangan pemerintah maupun badan publik. Kata Kunci : Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, Pemerintahan.

PUBLIC INFORMATION DISCLOSURE LAW BETWEEN HOPE AND REALITY ABSTRACT Disclosure of public information is one manifestation of the implementation of good governance where the public information disclosure is the duty of government and public institutions. It refers to the fact that the public information is public property and is not owned by the government and public institutions. Therefore, to be able to meet these conditions, the Freedom of Information Law was established, despite the fact that the law is not so popular in the community, so it is still necessary to socialize it among governments and public institutions. Keywords : Freedom of Information Law, Governance.

122 KANAL, Vol. 1, No. 2, Maret 2013, Hal. 111-220.

PENDAHULUAN Keterbukaan informasi selain menjadi bagian penting dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance), merupakan aspek mendasar pemerintahan yang bebas korupsi. Melalui keterbukaan, setiap badan publik membuka akses informasi kepada publik sebagai wujud pemenuhan hak untuk tahu. Pada gilirannya akan menumbuhkan partisipasi publik. Sesuai dengan amanat UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), hal terpenting dalam pemenuhan hak akses informasi salah satunya adalah layanan informasi kepada masyarakat. Sejalan dengan konsep pemerintahan terbuka, kebijakan pelayanan informasi mencakup beragam aspek antara lain (1) peningkatan layanan informasi publik, (2) pengembangan integritas publik, (3) pengelolaan sumber daya publik, (4) pengembangan dan pelibatan komunitas, serta (5) akuntabilitas lembaga (Bappenas, 2011). Mendel (2004) menyatakan bahwa membuka akses informasi merupakan kewajiban bagi pemerintah dan badan publik. Secara fundamental, sebuah informasi adalah milik publik bukan milik pemerintah atau badan publik. Akan tetapi pemerintah memang harus menjaga keseimbangan antara menutup informasi dan kepentingan publik. Namun, bagaimanapun, kepentingan publik tetap harus didahulukan. Di Indonesia, pelaksanaan UU KIP ini tidaklah mudah, karena menghadapi banyak kendala, baik yang sifatnya stuktural maupun kultural. Birokrasi yang memiliki akar sejarah dari kultur feodal menanamkan nilai-nilai yang tidak kondusif bagi sistem pelayanan yang lancar dan transparan. Warisan kultural semacam itu mengalami penguatan pada pemerintahan otoriter era Orde Baru, sehingga birokrasi tampil begitu perkasa dan kultur pelayanan publik tidak berkembang. Bahkan yang terjadi, birokrasi pemerintah justru minta dilayani. Lebih dari itu, birokrasi pemerintah tidak dikontrol masyarakat, tetapi justru menjadi instrumen rezim yang berkuasa dalam mengontrol masyarakat secara efektif melalui politik perizinan. Kultur yang berkembang dalam jajaran aparat badan publik semacam itu, bagaimanapun masih tertanam hingga sekarang. Kondisi tersebut membuat implementasi UU KIP di Indonesia masih berpotensi memunculkan berbagai permasalahan. Mulai dari kultur masyarakat yang masih cenderung pasif sehingga memengaruhi akses terhadap informasi, hingga persoalan di birokrasi dalam hal pengelolaan dan layanan informasi yang asal-asalan dan tidak berkualitas, serta pendokumentasian informasi yang kurang menjadi budaya knowledge management.

Suko Widodo, UU KIP Antara Harapan dan Kenyataan

123

Dengan semangat UU KIP yang sangat demokratis itu mestinya mampu mendorong tingginya permintaan informasi ke badan-badan publik negara sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik, pengelolaan badan publik, dan pengawasan atas jalannya pembangunan. Namun, kenyataannya sejak UU KIP berlaku secara efektif per 1 Mei 2010 sampai dengan pertengahan tahun 2012 jumlah kasus sengketa informasi publik yang ditangani oleh Komisi Informasi Pusat masih berkisar 600-an, tetapi lebih dari separuh kasus diadukan oleh seorang pemohon (Muhammad HS), dan sisanya adalah pemohon dari kalangan LSM (seperti ICW, TI, ISAI, dan Pattiro).

MENGIKUTI HARAPAN AMANAT Keterbukaan informasi publik mulai bersemi di tanah air. Pengesahan Undang-Undang No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik pada tanggal 30 April 2008 yang berlaku secara nasional dua tahun kemudian atau 1 Mei 2010 telah membuka seluas-seluasnya akses informasi bagi masyarakat dengan pengecualian yang terbatas. Konsekuensi dari kehadiran Undang-Undang No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik adalah setiap badan publik dewasa ini tidak lagi berwenang menyembunyikan beragam informasi publik kepada masyarakat, kecuali memang yang dilarang sesuai amanat perundang-undangan yang berlaku. Bila sebelumnya semua informasi di badan publik itu seolah-olah milik sendiri, kini ada mekanismenya agar bisa diakses masyarakat dengan cepat, tepat waktu, dan murah. Informasi publik merupakan hak dasar yang mesti dipenuhi oleh lembaga publik untuk disebarluaskan kepada masyarakat. Informasi ini ketika dikemas sedemikian rupa akan dapat mendukung berkembangnya partisipasi publik dan hubungan yang ideal antara masyarakat dengan badan publik. Ada beragam informasi yang wajib disediakan dan diumumkan kepada publik. Pertama, informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala. Kedua, informasi yang wajib diumumkan secara serta merta. Ketiga, informasi yang wajib tersedia setiap saat. Namun, keterbukaan informasi publik tentu ada batasnya sehingga ada pula informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang No. 14 tahun 2008. UU KIP mewajibkan pula pengelolaan dan pelayanan informasi dilaksanakan oleh badan publik agar masyarakat dapat mendapatkan akses seluasluasnya terhadap informasi yang dimiliki dan dikelola oleh badan publik.Upaya mengimplementasikan kegiatan layanan informasi publik, tentu bukan hal yang mudah. Masih panjang jalan yang akan ditempuh dan bisa jadi banyak kendala

124 KANAL, Vol. 1, No. 2, Maret 2013, Hal. 111-220.

menghadang. Akan tetapi, mau tidak mau semua lembaga harus mulai berbenah untuk menjalankan amanah UU KIP. Walau demikian, beragam hambatan dan masalah mengiringi implementasi Undang-Undang No. 14 tahun 2008 antara lain mengenai kesulitan badan-badan publik dalam mengelola informasi dan dokumentasi yang dimilikinya. Kendala yang yang muncul itu mengakibatkan masih ada badan publik yang belum kunjung mengimplementasikan Undang-Undang No. 14 tahun 2008 sehingga menghambat hak masyarakat untuk memperoleh informasi publik.

MELACAK KENYATAAN Berdasarkan sejumlah studi yang dilakukan oleh berbagai lembaga baik LSM maupun lainnya dapat diketahui bahwa sejak diberlakukannya secara efektif UU KIP dua tahun lalu sampai pertengahan 2012 pelaksanaannya terasa belum optimal. Pada masa awal implementasi Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, banyak kajian mengenai kesiapan lembaga publik untuk melaksanakan keterbukaan informasi publik sesuai amanat UU KIP. Misalnya yang dilakukan oleh ICW (2012), ICEL-Indonesian Center for Environmental Law (2012), BPPKI Kementerian Kominfo (2011), Balitbang SDM Kominfo (2009, 2010). Setelah dua tahun UU KIP disahkan dan sosialisasi pelaksanaan UU KIP dilaksanakan oleh berbagai pihak termasuk kalangan LSM, kajian mengenai UU KIP banyak dilakukan mencakup uji akses informasi pubik misalnya yang dilakukan oleh ICW (2012), Koalisi Kebebasan Informasi (2008)., Article 9Yayasan TIFA (2009), PATTIRO dan FITRA. Sementara kajian mengenai implementasi UU KIP pernah dilakukan Centre for Law and Democracy- Yayasan 28 terhadap badan publik pusat (2011), Pemprov Jawa Timur (2012) dan Bappenas (2010). Dalam perspektif pemerintah, indikator terlaksananya secara optimal UU KIP ditandai oleh beberapa hal, antara lain: (1) terbentuknya Komisi Informasi di semua Provinsi disertai dukungan yang memadai dari segi anggaran, SDM, sarana, prasarana, dan sistem politik yang kondusif, (2) telah ditunjuknya PPID di semua Badan Publik sesuai ketentuan perundangan yang berlaku, (3) PPID berfungsi secara optimal dalam pelaksanaan pelayanan informasi publik, dan (4) terbentuknya kultur masyarakat untuk mau mengajukan permohonan informasi publik secara individual. Empat indikator penting itu ternyata sampai sekarang belum juga dipenuhi. Hasil pemetaan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika (2012) memperlihatkan bahwa tingkat pencapaian pembentukan PPID pada badan-badan

Suko Widodo, UU KIP Antara Harapan dan Kenyataan

125

publik negara baik di tingkat pusat maupun daerah sampai Oktober 2012 baru mencapai 25,3% dari jumlah keseluruhan 693 badan publik negara. Sebagaimana tabel berikut ini: Tabel 1 Pembentukan PPID di Badan Publik Negara
No 1 2 3 4 5 Lembaga Jumlah Telah Menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) 33 Persenta se (%) 97.1 26.4 48.5 17.3 23.5 25.3

Kementerian 34 Lembaga Negara /Lembaga Setingkat 129 34 Menteri /LNS/LPP Provinsi 33 16 Kabupaten 399 69 Kota 98 23 TOTAL 693 175 Sumber: Ditjen IKP- Kementerian Kominfo, Oktober 2012

Jumlah badan publik yang memiliki PPID tersebut masih kurang dari 50 persen. Hal ini menandakan masih minimnya keseriusan badan publik untuk menaati UU KIP No: 14/2008 tentang KIP yang menjamin hak publik mendapatkan informasi. Dalam praktik kebanyakan belum ditunjuknya PPID disebabkan kelalaian atau juga perasaan takut atau terancam karena UU KIP ini dapat membuat publik menuntut transparansi penyelenggaraan pemerintah. Dalam kasus tertentu terdapat pula anggapan bahwa UU KIP ini digunakan untuk mencari alasan agar dapat menekan pemerintah. Kondisi itu bisa disebabkan karena tiadanya sanksi bagi Badan Publik yang tidak melaksanakan UU KIP (dalam pasal 61 UU KIP 2008). Namun sesungguhnya satu permasalahan yang cukup sering muncul adalah masalah anggaran, SDM, kordinasi, dan sosialisasi. Selain itu lemahnya peran masyarakat dalam menuntut pelaksanaan UU KIP ini telah mendorong pimpinan daerah untuk tidak segera membentuk PPID. Warga dan kelompok kelompok masyarakat tidak peduli dengan masalah keterbukaan informasi publik. Tuntutan diberlakukannya dan permohonan informasi lebih terbatas pada sebagian warga measyarakat seperti LSM, media dan universitas.

126 KANAL, Vol. 1, No. 2, Maret 2013, Hal. 111-220.

Jika dilihat untuk Jawa Timur, data yang dirilis oleh Komisi Informasi Provinsi Jawa Timur menunjukkan sebaran seperti berikut ini: Tabel 2 Pembentukan PPID di Jawa Timur berdasar keluar SK
PPID Level Provinsi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. PPID Level Kabupaten/Kota Kota Surabaya (17 Januari 2011 Sampang (8 April 2011) Kota Malang (30 Mei 2011) Madiun (6 Juni 2011) Blitar (2 Agustus 2011) Sumenep (27 Februari 2012) Gresik 11 Agustus 2011) Probolinggo (18 Januari 2012) Kota Batu (2011) Bangkalan (24 Februari 2011) Mojokerto (15 Juli 2011) Kota Mojokerto (15 Juli 2012) Sidoarjo (4 Juni 2012) Tuban (23 Juli 2012)

Jawa Timur (2 Agustus 2011)

Sumber: Komisi Informasi Provinsi Jawa Timur (2012), Ditjen IKP (2012)

Dalam konteks yang lebih luas, lemahnya peran masyarakat dan komitmen pimpinan badan publik negara ini dipengaruhi juga oleh lemahnya pelaksanaan UU KIP oleh badan publik nonpemerintah (parpol, ormas, LSM, universitas, dan media massa yang menggunakan atau mengelola dana publik). Hal itu kembali pada tiadanya sanksi yang tegas bagi semua badan publik yang tidak melaksanakan UU KIP ini. Atmosfir ini mengkonstruksi realitas sosial bahwa pelaksanaan UU KIP atau masalah keterbukaan informasi publik tidaklah atau belum penting atau bukan prioritas (untuk saat ini). Pada dasarnya, tantangan badan publik adalah bagaimana mengembangkan komitmen dan konsistensi dalam menjalankan UU KIP tersebut. Hambatan terbesar dalam pelaksanaan akses terhadap informasi dan komunikasi di negaranegara berkembang, yaitu adanya kesenjangan antara kebijakan komunikasi dan informasi, perspektif perencanaan dan realisasi kebijakan. Kondisi itu makin rumit ketika ada kecenderungan struktur birokrasi pemerintahan untuk mempertahankan status quo dari pada mengembangkan kapasitas publik dalam mengakses informasi (Linden, 1999). Belum lagi persoalan peningkatan kualitas sumber daya manusia khususnya SDM pemerintah dan lembaga publik lainnya, khususnya dalam mengubah paradigma, pola pikir (mindset) sebagai persyaratan kunci agar sikap dan tindakan pelayanan informasi kepada publik bisa lebih baik dan pelaksanaan komunikasi publik berlangsung lebih profesional.

Suko Widodo, UU KIP Antara Harapan dan Kenyataan

127

Jika sebagian besar badan publik masih belum mengimplementasikan UU KIP dengan baik, maka akan rentan memunculkan sengketa informasi akibat tidak dipenuhinya permintaan informasi dari pemohon informasi. Sementara itu saat ini juga masih banyak berkembang persepsi keliru tentang keterbukaan informasi, sedikitnya permohonan informasi, serta rendahnya partisipasi masyarakat dalam implementasi UU KIP (Komisi Informasi Pusat, 2011). MENIMBANG PERAN WARGA Satu prinsip lagi dalam berdemokrasi yaitu partisipasi. Dalam pembangunan berlangsung secara demokratis, karena semua telah melibatkan warga masyarakat dan berlangsung dari bawah (bottom-up). Akan tetapi memang harus diakui tidak semua warga berani mengungkapkan pendapatnya, karena itu dominasi tokoh masyarakat masih terasa. Di Jawa Timur, sebenarnya cukup banyak warga yang sudah mengetahu UU KIP serta paham dan pernah memenuhi hak untuk memperoleh informasi tersebut, dengan cara mendatangi kantor lembaga pemerintah atau telepon langsung ke lembaga tersebut.Sebagian warga mendapatkan informasi melalui internet dengan mengakses website lembaga pemerintah, dan sebagian juga mendapatkan informasi dengan mengandalkan mesin pencari seperti Google (Ditjen IKP, 2012). Namun diakui oleh sebagian besar bahwa informasi yang mereka dapat lebih banyak dari berita yang ditayangkan oleh media massa.Mereka yang sudah pernah mengakses informasi di lembaga tertentu masih belum merasa puas mengenai ketersediaan dan kemudahan mendapatkan informasi. Sebagian juga mengeluhkan kesesuaian informasi yang diberikan dengan kebutuhan. Namun, informasi yang sudah didapat dikatakan sudah jelas. Masyarakat cenderung menilai bahwa informasi yang diberikan serta layanan informasi lembaga setempat masih biasa saja. Sebagian besar mengharapkan bahwa informasi publik dapat diakses kapanpun dan oleh siapapun (Puskakom, 2012). Sedikitnya jumlah pemohon dan pengguna menunjukkan bahwa warga merasa tidak tertarik jika diminta berpartisipasi untuk melakukan koreksi pada badan publik. Oleh karena itu, aspek proactive transparency yakni adanya data spesifik (APBD yang rinci, Kebijakan Ijin usaha) yang harus dicantumkan (dipublikasikan) perlu lebih ditingkatkan. Pola ini lebih dapat mendorong partisipasi warga dibandingkan dengan Reactive Tranparency (pola UU KIP) yakni adanya data yang tersedia yang dapat diminta oleh pemohon. Singkatnya bagi warga, data yang telah dipublikasi lebih menarik dibandingkan data yang hanya tersedia tetapi harus dimohon dulu agar dapat diketahui.

128 KANAL, Vol. 1, No. 2, Maret 2013, Hal. 111-220.

PENUTUP Secara umum dapat dikatakan bahwa transparansi Pemerintah Jatim mengalami perkembangan menarik, bersamaan dengan implementasi UU KIP. Perubahan sistem politik sejak berakhirnya Orde Baru juga menjadi faktor menentukan terhadap semakin transparansinya pemerintah daerah. Bersamaan dengan itu, suara masyarakat luas, terutama dari kalangan LSM cukup aktif mengawasi jalanya pemerintahan, sehingga pemerintah cukup hati-hati. Namun demikian, UU KIP ini belum begitu memasyarakat, sehingga perlu sosialisasi di semua level yang dilakukan melalui berbagai media. Banyak warga yang tidak tahu apa itu KIP, bahkan di kalangan pemerintah sendiri juga tidak tahu, dan kurang peduli. Bagaimanapun pemerintah dan badan publik lain harus tetap memiliki komitmen tinggi yang ditunjukkan pada kesediaan mengalokasikan anggaran untuk berbagai kegiatan implementasi UU KIP. Terutama bagi daerah Provinsi yang belum memiliki KI dan PPID, harus segera melaksanakan UU KIP sebagai perwujudan komitmen terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis. Sementara itu, di kalangan masyarakat sikap kritis konstruktif perlu terus dikembangkan sebagai prasyarat dasar bagi keterlibatan secara aktif dalam mengimplementasikan UU KIP. Tanpa adanya sikap kritis yang berkembang dalam masyarakat, maka tingkat partisipasi dalam bentuk permohonan informasi akan tetap rendah, karena informasi dianggap tidak urgen dalam upaya menyelesaikan persoalan hidup sehari-hari. DAFTAR RUJUKAN Balitbang-SDM Depkominfo. (2009). Kajian Persepsi Masyarakat terhadap UU ITE dan UU KIP. Jakarta: Puslitbang Aptel SKDI Balitbang SDM Depkominfo. Balitbang-SDM Depkominfo.(2010). Studi Kesiapan Pengelolaan Informasi Publik pada Lembaga Kemitraan Koinfo di Daerah. Jakarta: Puslitbang Aptel SKDI Balitbang SDM Depkominfo. Center for Law and Democracy. 2011. A Burst of Sunlight but Darkness Looms:Indonesias Draft Law on State Secrecy ThreatensFreedom of Information. Jakarta: CLD- Yayasan SET Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik (2012). Pelaksanaan UU Keterbukaan Informasi Publik. Studi Evaluasi di 10 Provinsi di Indonesia. Jakarta: Kominfo- UI.

Suko Widodo, UU KIP Antara Harapan dan Kenyataan

129

ICW. (2012). Laporan Independen Implementasi Open Government Partnership (OGP) di Indonesia. Jakarta: ICW- YAPPIKA- MediaLink KontraS -IBC- IPC- Yayasan TIFA ISAI. (2008). Uji Akses Informasi Terhadap Enam Badan Publik tingkat Pusat. Jakarta: ISAI Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS. (2010). Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014. Buku II Memperkuat Sinergi Antarbidang Pembangunan. BAB VI Politik. Jakarta: BAPPENAS. Komisi Informasi Pusat. (2011). LAPORAN TAHUNAN Komisi Informasi Pusat 2011. Jakarta: Komisi Informasi Pusat. Linden, Ank. (1999). "Communication Policies and Planning in Third World Countries Overt Intentions and Covert Agendas: Discourse on Formulating". Dalam International Communication Gazette 1999; Halaman 61-153. Mendel, Toby. (2004). Kebebasan Memperoleh Informasi, Sebuah Survey Perbandingan Hukum, Judul Asli: Freedom of Information: A Comparative Legal Survey, Penerjemah: Tim Kawantama, Jakarta: UNESCO. Muchtar, Adinda Tenriangke; Antonius Wiwan Koban; Benni Inayatulla; Endang Srihadi; Lola Amelia. (2012). Pembahasan RUU APBN dan Isu Perbatasan di DPR: Studi Terkini tentang Akses untuk Informasi dan Partisipasi Publik. Jakarta: The Indonesian Institute. Puskakom Surabaya. (2012). Evaluasi Pelaksanaan Layanan Informasi Publik. Surabaya: Puskakom. RTI International. (2009). Local Governance Support Program Final Report. Jakarta: USAID Sekretariat Pengembangan Public Good Governance Bappenas. (2002). Public Good Governance, Sebuah Paparan Singkat. Bappenas. Jakarta.

130 KANAL, Vol. 1, No. 2, Maret 2013, Hal. 111-220.

You might also like