You are on page 1of 13

LAPORAN STUDI LITERATUR KIMIA

METANOL SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF

NAMA : SUHENDRA ISKANDAR

NOMOR TES : 243 122

NIM : H311 08 266

HARI/TGL PELAKSANAAN : KAMIS/ 7 OKTOBER 2010

JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS HASANUDDIN 2010 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Pada dekade terakhir ini, masyarakat dunia termasuk Indonesia menghadapi krisis energi akibat menurunnya cadangan bahan bakar fosil, terutama minyak bumi yang merupakan bahan baku pembuatan gasoline, solar, dan bahan bakar minyak. Selama ini Indonesia terpaku pada energi fosil dan terlambat serta jauh tertinggal dalam mengembangkan sumber energi yang terbarukan. Bahan bakar alternatif yang dapat terbarukan sangat perlu untuk dikembangkan mengingat bahwa kita tidak mungkin akan selamanya dapat menikmati kekayaan alam berupa minyak

bumi yang tak terbarukan. Suatu saat, cadangan minyak bumi akan habis baik cepat maupun lambat. Salah satu sumber energi alternatif yang penggunaannya terbesar saat ini adalah biomas seperti selulosa kayu, jerami, alang-alang, dan sebagainya. Sumber energi ini sangat banyak terdapat di alam mencapai 70 % dari total seluruh energi kehidupan. Salah satu produk energi alternatif biomas yang kurang terkenal di era ini adalah metanol. Penggunaannya sebagai sumber energi alternatif kurang mendapat perhatian daripada etanol. Padahal, metanol memiliki rantai karbon yang jauh lebih pendek daripada etanol sehingga akan lebih terbakar sempurna dan melepaskan gas buangan karbonmonoksida yang lebih sedikit. Berdasarkan fakta ini, metanol kemungkinan akan sanggup untuk mengantarkan kita kepada tujuan menciptakan bahan bakar yang ramah lingkungan. Oleh karena itu, perlunya dilakukan studi literatur mengenai metanol sebagai bahan bakar alternatif.

1.2 Tujuan Tujuan dari studi literatur ini adalah menyelidiki kualitas metanol sebagai bahan bakar alternatif yang dapat mengarahkan kita pada bahan bakar yang lebih ramah lingkungan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Metanol lebih jarang digunakan sebagai sumber biofuel dibandingkan dengan etanol. Etanol adalah sumber biofuel utama saat ini. Etanol dan metanol dapat dibuat dari reaktan yang sama yaitu glukosa (Pratiwi dkk., 2006). Ada dua cara pembuatan metanol. Pertama, melalui metode pirolisis produk biomas berbasis selulosa tanaman seperti kayu. Kedua, melalui reaksi metana dengan uap air pada

suhu tinggi (Kuncorojati, 2010). Pirolisis dimulai dengan memanaskan serpihan serbuk kayu tanpa udara dalam bejana besi dalam temperatur 500 oC. Hal ini mengakibatkan ikatan menjadi renggang dan dapat terputus. Akibatnya, selulosa dapat terurai menjadi glukosanya kemudian glukosa akan terurai lagi menjadi gas CO dan H2 (Kuncorojati, 2010). Hal ini karena terjadi perubahan fasa dari padat ke gas. Dalam keadaan gas, jarak antara molekul-molekul cukup besar sehingga molekul bergerak secara bebas ke segala arah dalam garis lurus (Atkins dan Paula, 2006). Reaksinya sebagai berikut (Kuncorojati, 2010) :

6CO + 6H2C6H12O6 Campuran uap kemudian ditampung dan didinginkan. Campuran kemudian didistilasi untuk mendapatkan metanolnya. Distilasi dilakukan dengan prinsip perbedaan volatisitas antara metanol dengan zat-zat lain dalam campuran seperti air atau gas terlarut. Pendinginan campuran uap mengakibatkan terjadinya reaksi (Kuncorojati, 2010) : CH3OHCO + 2H2 Cara kedua yaitu reaksi metana dan uap air atau dengan gas O2. Pada tekanan sedang 1 hingga 2 MPa (1020 atm) dan temperatur tinggi (sekitar 850 C), metana bereaksi dengan uap air (steam) dengan katalis nikel untuk menghasilkan gas sintesis menurut reaksi kimia berikut (Pratiwi dkk., 2006) : CH4 + H2O CO + 3 H2 Reaksi ini, umumnya dinamakan steam-methane reforming atau SMR, merupakan reaksi endotermik dan limitasi perpindahan panasnya menjadi batasan dari ukuran reaktor katalitik yang digunakan (Pratiwi dkk., 2006). Metana juga dapat mengalami oksidasi parsial dengan molekul oksigen untuk menghasilkan gas sintesis melalui reaksi kimia berikut (Pratiwi dkk., 2006):

2 CH4 + O2 2 CO + 4 H2 Reaksi ini adalah eksotermik dan panas yang dihasilkan dapat digunakan secara in-situ untuk menggerakkan reaksi steam-methane reforming. Ketika dua proses tersebut dikombinasikan, proses ini disebut sebagai autothermal reforming. Rasio CO and H2 dapat diatur dengan menggunakan reaksi perpindahan air-gas (the water-gas shift reaction) untuk menghasilkan stoikiometri yang sesuai dalam sintesis metanol (Pratiwi dkk., 2006): CO + H2O CO2 + H2 Karbonmonoksida dan hidrogen kemudian bereaksi dengan katalis kedua untuk menghasilkan metanol. Saat ini, katalis yang umum digunakan adalah campuran tembaga, seng oksida, dan alumina, yang pertama kali digunakan oleh ICI di tahun 1966. Pada 510 MPa (50100 atm) dan 250 C, ia dapat mengkatalisis produksi metanol dari karbon monoksida dan hidrogen dengan selektifitas yang tinggi (Pratiwi dkk., 2006): CO + 2 H2 CH3OH Sangat perlu diperhatikan bahwa setiap produksi gas sintesis dari metana menghasilkan 3 mol hidrogen untuk setiap mol karbonmonoksida, sedangkan sintesis metanol hanya memerlukan 2 mol hidrogen untuk setiap mol karbonmonoksida. Salah satu cara mengatasi kelebihan hidrogen ini adalah dengan menginjeksikan karbondioksida ke dalam reaktor sintesis metanol, di mana ia akan bereaksi membentuk metanol sesuai dengan reaksi kimia berikut (Pratiwi dkk., 2006): CO2 + 3 H2 CH3OH + H2O Berdasarkan penelitian, 1 km dapat ditempuh oleh mobil dengan menggunakan energi sebesar 3,46 x 106 Joule. Gasoline perliternya mengandung 3,46 x 107 J. Energi ini dapat digunakan untuk menjalankan mobil sejauh 10 km. Solar perliternya mengandung 3,86 x 107 J. Energi ini dapat digunakan untuk menjalankan mobil sejauh 11 km. Biodiesel perliternya mengandung energi 3,33 x 107 3,57 x 107 J. Energi ini dapat digunakan

untuk menjalankan mobil sejauh 9,6 10,5 km (Fitrayadi, 2008). Densitas metanol pada suhu 25 oC adalah 0,7914 gr/cm3. Massa molekul relatif metanol adalah 32,042 gram/mol (Lide, 2004). Entalpi pembakaran standar dari CH3OH adalah 726 kJ/mol. Berdasarkan data-data di atas, dapat kita hitung jumlah energi permol untuk metanol (Atkins dan Paula, 2006): gr = V = 0,7914 g/cm3 x 1000 cm3 = 791,4 gram n= gr/Mr = 791,4 gram/ 32,042 gram.mol-1 = 24,6988 mol E = hco x n = -726 kJ/mol x 24,6988 mol = 17931,3288 kJ (mendekati 1,79 x 107 J) Bahan bakar gas (BBG) semuanya memiliki densitas yang sangat kecil mendekati nol sehingga energi perliter yang dihasilkannya pun pastinya akan jauh lebih kecil daripada bahan bakar cair (Atkins dan Paula, 2006). Etanol memiliki densitas 0,7893 g/cm3. Etanol memiliki massa molekul relatif sebesar 46,068 gram/mol (Lide, 2004). Entalpi pembakaran standar C2H5OH adalah -1368 kJ/mol. Kita juga dapat menghitung besarnya energi yang dihasilkan perliternya (Atkins dan Paula, 2006) : gr = V = 0,7893 g/cm3 x 1000 cm3 = 789,3 gram n= gr/Mr = 789,3 gram/ 46,068 gram.mol-1 = 17,1334 mol E = hco x n = -1368 kJ/mol x 17,1334 mol = 23438,4912 kJ (mendekati 2,34 x 107 J) Artinya dengan 1 L metanol, kita dapat menempuh 5,17 km perjalanan. Adapun dengan etanol, kita dapat menempuh 6,76 km perjalanan (Lide, 2004). Metanol dapat digunakan sebagai senyawanya sendiri atau direaksikan dengan minyak seperti triolein (minyak zaitun) menjadi ester (metil oleat) dengan katalis NaOH dan hasil samping gliserol (Nelly dkk., 2004). Sebagai senyawanya sendiri, metanol pada suhu 15 oC dapat dicampurkan dengan BBM yang disebut dengan bioalkohol. Bioalkohol mampu menghasilkan panas yang lebih besar daripada BBM (Aklis, 2009).

Kandungan metanol dalam BBM tidaklah dapat melewati 15 % untuk campuran homogen tanpa menggunakan zat-zat tambahan (Fitrayadi, 2008). Hal ini karena produk alkana bersifat nonpolar sedangkan metanol bersifat polar sehingga kelarutan metanol adalah rendah dalam senyawa alkana (Tim Dosen Kimia Dasar, 2009). Tetapi pencampuran metanol pada BBM dengan kadar 15 % juga menimbulkan masalah terutama di daerah dingin. Hal ini karena pada suhu 0 oC, metanol tidak larut sepenuhnya dan tampak memisah dengan BBM (Fitrayadi, 2008). Semakin rendah suhu, maka kelarutan senyawa akan semakin rendah (Atkins dan Paula, 2006). Tetapi, metanol 15 % pun jika dibiarkan beberapa menit, juga akan memisah. Hal ini biasanya terjadi selama proses pembakaran (Fitrayadi, 2008). Tidak hanya metanol, tetapi juga seluruh jenis senyawa alkohol lain memiliki kandungan air yang cukup besar. Hal ini karena metanol dan juga senyawa alkohol lain memiliki sifat hidrofilik yang kuat. Senyawa alkohol termasuk metanol dapat dengan mudah menarik uap air yang terdapat di atmosfer. Oleh karena itu, jika kandungannya pada BBM besar, maka akan menyebabkan korosi besi pada komponen mesin sehingga dapat merusak komponen mesin. Selain itu, karena pembakarannya yang terlalu cepat, maka memperbesar terjadinya knocking pada mesin kendaraan (Atkins dan Paula, 2006). Kandungan metanol paling irit di mana bahan bakar menghasilkan karbonmonoksida paling sedikit dengan kandungan air seminimal mungkin adalah pada konsentrasi 5 %. Semakin rendah kadar metanol dalam BBM, maka gas buangan karbonmonoksida semakin besar tetapi kandungan airnya semakin kecil. Sebaliknya, semakin tinggi kadar metanol dalam BBM, maka gas buangan karbonmonoksida semakin kecil tetapi kandungan airnya semakin besar (Aklis, 2009). Metanol juga dapat dibuat menjadi metil oleat dengan mereaksikannya terhadap triolein dengan katalis NaOH. Metil oleat memiliki kandungan air yang lebih sedikit daripada

metanol. Reaksinya adalah sebagai berikut (Nelly dkk., 2004):

Gliserol sebagai hasil samping reaksi di atas juga dapat tergedradasi kembali menjadi metanol serta asetaldehid dan etanol. Produk utama dari degradasi gliserol pada kondisi dekat air superkritis adalah asetaldehid, metanol dan etanol. Produk terbentuk dari lintasan reaksi ionik dan reaksi radikal bebas yang saling berkompetisi pada kondisi dekat air superkritis. Distribusi dan terbentuknya produk pada berbagai temperatur ditunjukkan pada Tabel 1 (Rahmawati dan Anggraeni, 2009). Tabel 1 Distribusi produk degradasi dari konsentrasi terbesar sampai terkecil Temperatur Reaksi Produk Utama 200 oC Asetaldehid 250 oC Asetaldehid, metanol 300 oC Asetaldehid, metanol, etanol 350 oC Asetaldehid, metanol, etanol 400 oC Asetaldehid, metanol, etanol Pembakaran semakin sempurna dengan bertambah pendeknya rantai karbon. Dengan mencampurkan metanol ke dalam bahan bakar minyak, maka akan meningkatkan bilangan oktan dari bahan bakar minyak tersebut (Cotton dan Wilkinson, 1989). Bahan aditif yang dapat ditambahkan dengan metanol agar kelarutannya dalam BBM semakin tinggi antara lain yang terbaik adalah sabun atau detergen (Zenta, 2009). BAB III PEMBAHASAN

Jikalau kita tinjau dengan seksama reaksi yang terjadi pada peristiwa pirolisis kayu :

6CO + 6H2C6H12O6 CH3OHCO + 2H2 Apabila reaksi kedua kita kalikan dengan n dan reaksi ketiga kita kalikan dengan 3n :

6nCO + 6nH2nC6H12O6 3nCH3OH3nCO + 6nH2 Maka akan kita dapatkan reaksi total sebagai berikut : 3nCO + 3nCH3OH(C6H12O6)n Terlihat bahwa ternyata untuk setiap pirolisis 1 mol selulosa, tidak hanya menghasilkan 3n mol CH3OH tetapi juga 3n mol CO. Senyawa ini kemungkinan besar terkandung pada campuran larutan yang akan didistilasi sebagai gas terlarut. Pada proses distilasi, gas ini pasti akan keluar bergabung dengan udara di atmosfer. Seperti kita ketahui bersama bahwa gas karbonmonoksida dapat berikatan dengan hemoglobin darah 210 kali lebih kuat daripada ikatan hemoglobin dengan gas O2. Sintesis metanol dengan bahan dasar metana pun bukan merupakan solusi. Metana adalah salah satu produk gas alam yang termasuk langka walaupun tidak selangka minyak bumi. Sintesis metana dari kotoran ternak memang telah ditemukan tetapi produksi yang sedikit itu tidak akan mungkin cukup sebagai bahan baku sintesis metanol. Sintesis bahan bakar metanol yang ramah lingkungan melalui metode pirolisis memang cukup menjanjikan di masa yang akan datang. Namun, perlu dipikirkan agar gas karbonmonoksida sebagai hasil sampingnya dapat dipastikan tidak akan menimbulkan bahaya bagi tubuh dan lingkungan. Mungkin, yang dapat dilakukan untuk mengolah gas karbonmonoksida ini adalah dengan mereakiskannya terhadap radikal phenil yang terbentuk dari pemutusan ikatan senyawa peroksida secara radikal dengan menambahkan pula senyawa benzaldehid dalam reaksi (Norman, 1978):

Produk yang terbentuk adalah asam benzoat yang dalam keadaan padatannya dapat dibuat sebagai bahan pengembang kue. Perbandingan energi perliter dari metanol dan berbagai bahan bakar adalah metanol : gasoline : solar : biodiesel : etanol : BBG = 1: 1,93 : 2,16 : 1,92 : 1,31 : sangat kecil. Terlihat bahwa dari segi energi, metanol memiliki energi yang lebih rendah dari bahan bakar lain kecuali BBG. Walaupun metanol memiliki energi yang lebih kecil perliternya dibandingkan dengan bahan bakar lainnya seperti gasoline, solar, maupun biodiesel, tetapi pembakarannya jauh lebih sempurna sehingga mengurangi pembentukan gas karbonmonoksida yang beracun bagi tubuh serta karbon hitam yang membuat mesin kendaraan menjadi gosong. Dibandingkan dengan BBG, metanol jauh lebih aman secara fisik karena BBG mudah meledak. Tetapi karena sifatnya yang korosif dan menyebabkan knocking, maka menjadi pertimbangan sendiri untuk memakainya sebagai bahan bakar. Yang menjadi masalah bukanlah bagaimana pada pembuatan bahan bakar metanol, metanolnya bebas dari air, tetapi bagaimana supaya metanol tidak menarik uap air dari atmosfer selama berada dalam mesin. Metanol dapat dengan mudah menarik uap air dari atmosfer ke dalamnya. Air pada bahan bakar metanol tidak dapat dihindari. Yang dapat dimodifikasi hanyalah mesinnya. Sebaiknya digunakan logam pada mesin yang tidak dapat berkarat. Lapisan Al2O3 yang terbentuk dari proses korosi se =1,20 V). Ketiga logam di atas adalah logam mulia yang mahal sehingga tidak akan ada orang yang tega membuatnya menjadi komponen mesin. Jadi, biasanya orang-orang menggunakan stainless steel untuk mengatasi korosi ini (Sunardi, 2007). Tetapi hal itu sebenarnya tidaklah tepat karena stainless steel masih dapat terkorosi walaupun lebih lambat daripada besi. Ini adalah

tantangan yang besar sebenarnya bagi ilmuwan kimia untuk menemukan paduan logam yang memiliki potensial reduksi standar lebih besar daripada + 0,40 Volt sehingga tidak dapat terkorosi oleh udara. Perlu diketahui bersama, BBM 100 % pun tetap mengandung H2O. Au + 1,40 V), dan Pt (Pt2+ +2e- Au Eo = + 1,69 V, Au3+ + 3e- Ag Eo= +0,80 V), Au (Au+ + e- 4OH- Eo = + 0,40 V. Jadi, supaya mesin tidak berkarat, maka harus digunakan logam yang potensial reduksi standarnya lebih besar dari + 0,40 V. Selain itu, tentu saja harus logam yang memiliki kekerasan yang tinggi sehingga tahan terhadap gesekan antarmesin dan dapat ditempa. Logam-logam yang seperti itu hanya ada 3 yang ditemukan sampai saat ini, yaitu Ag (Ag+ + e- kali pun tidak mungkin berguna melindungi logam Al karena di dalam mesin terjadi sangat banyak dentuman-dentuman dan gesekan-gesekan. Kita ketahui bersama bahwa potensial reduksi standar dari H2O dan O2 yang dapat menyebabkan korosi logam adalah sesuai dengan reaksi berikut : O2 + H2O 4eSelain itu, karena pembakaran yang terlalu cepat maka semakin memicu terjadinya knocking. Metanol dengan bahan bakar minyak pun bukanlah perpaduan larutan yang baik karena kedunya tidak saling melarutkan secara sempurna sehingga harus betul-betul diperhatikan komposisinya agar dapat tetap dalam satu fasa pada suhu berapa pun yang mungkin dicapainya. Pengubahan bentuk metanol menjadi metil ester juga bukan solusi yang tepat untuk dapat digunakan 100 % pada bahan bakar seperti biodiesel yang diupayakan berkembang di Eropa karena ternyata kandungan air di dalamnya masih cukup tinggi untuk terjadinya korosi. Kandungan metanol dapat ditingkatkan dengan penggunaan bahan aditif seperti sabun atau detergen. Hal ini karena sabun dan detergen dapat mengikat metanol yang polar pada bagian abu alkalinya sekaligus mengikat senyawa hidrokarbon pada bahan bakar minyak yang nonpolar pada bagian asam lemak atau gliserolnya. Hal ini memungkinkan dibuatnya

metanol 20 % atau bahkan lebih. Namun, perlu diingat bahwa semakin banyak kandungan metanol dalam BBM juga mendorong semakin besar terjadinya korosi dan knocking. Kelarutan suatu senyawa berkurang dengan menurunnya suhu. Akibatnya, pada daerah dingin, kita tidak dapat membuat metanol 15 % dalam BBM. Selain itu, metanol 15 % dapat dengan sendirinya memisah dengan BBM selama proses pembakaran. Hal ini mungkin karena selama proses pembakaran, metanol mengadakan kontak dengan udara yang mengandung uap air. Metanol akan menyerap uap air sehingga metanol semakin dijenuhkan oleh kandungan air. Akibatnya, dalam beberapa menit, metanol akan memisah dari BBM. Berdasarkan fakta-fakta di atas, baik metanol maupun dalam bentuk metil esternya sebaiknya digunakan dalam konsentrasi 5 % sampai kurang dari 15 % saja untuk menjaga keawetan mesin kendaraan dan untuk menjaga kemungkinan metanol dan BBM tidak akan memisah pada penurunan suhu. Etanol sebagai bahan aditif BBM yang selama ini digunakan sebaiknya digantikan saja dengan metanol. Metanol dan etanol sama-sama dapat menyebabkan bertambah cepatnya korosi besi. Tetapi, metanol memiliki pembakaran yang lebih sempurna daripada etanol dan juga metanol lebih kurang polar dibandingkan dengan etanol sehingga dapat bercampur lebih baik pada senyawa alifatik hidrokarbon seperti yang terdapat pada bahan bakar kendaraan. Walaupun sekarang ini para ahli sedang gencar-gencarnya melakukan penelitian untuk menemukan sumber energi terbarukan, kita sebagai pengguna harus bijak agar jangan sampai akan timbul masalah baru berupa krisis pangan akibat pangan dijadikan sumber sintesis bahan bakar atau persaingan lahan antara tanaman pangan dengan tanaman biofuel. Tetap menghemat energi dan jauhi sikap boros.

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

Metanol memiliki pembakaran yang lebih sempurna sehingga gas karbonmonoksida sebagai hasil samping reaksi yang utama yang dihasilkan semakin sedikit. Namun, penggunaan metanol menimbulkan masalah baru yaitu seperti senyawa alkohol lain, bahan bakar metanol mempercepat korosi mesin kendaraan. Selain itu, sintesis bahan bakar metanol dengan metode pirolisis cenderung berbahaya karena menghasilkan gas karbonmonoksida sebagai hasil samping. Begitu pula dengan metode reaksi metana dengan uap air yang bukan merupakan solusi karena kelangkaan dari metana itu sendiri. Selain itu, pembakarannya yang terlalu cepat dapat menimbulkan knocking pada mesin kendaraan. Metanol ke depannya dapat diarahkan untuk menciptakan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan, namun harus dikembangkan penelitian tentang bagaimana sintesis metanol yang membutuhkan energi seefisien mungkin tetapi aman bagi kesehatan tubuh dan lingkungan. Selain itu, harus dikembangkan pula penelitian mengenai modifikasi metanol agar tidak menyebabkan rusaknya mesin kendaraan misalnya karena korosi atau knocking. DAFTAR PUSTAKA

You might also like