Professional Documents
Culture Documents
ِي
ٍ َب
ِ ك
ِ ف
َان
ّبَذ
ُعَا ي
َمِ و
َان
ّبَذ
ُعَي
َا ل
ُمَ ِن
ّ َال
َقِ ف
ْنَي
َب
ْ ِق
َ ب
ّمَل
َسِ و
ْهَي
َلُ ع
ّى ال
َلّ ص
ّب
ِ ّ الن
َرَ م
َال
ٍ ق
ّاس
َبِ ع
ْنْ اب
َنع
َا
ّهَق
َشً ف
َةْب
َطً ر
َةِيد
َرَ ج
َذّ أخ
ِ ث
ُ َةِيم
ّمِالن
ِي ب
ْشَ ي
َ َان
َكُ ف
َرْخ
ّا ال
َأم
ِ و
ْلَو
ْبْ ال
ِنُ م
َت
ِ ْت
َسَ ي
َ ل
َان
َكَا ف
ُه
ُ َد
ّا أح
أم
َا ل
َ
ْ َا م
ُمْه
َنُ ع
ّفَف
ُ ي
ُ ّهَل
َعَ ل
َال
َا ق
َذَ ه
ْتَل
َعَ ف
ِ ل
ِ َ ال
ّ ُول
َسَا ر
ُوا ي
َال
ً ق
َةِد
َاح
ٍ و
َب
ْ ّ ق
ُلِ ك
َ ف
َزَر
َغِ ف
َي
ْ ْف
ِصن
َا
َسْب
َيي
Takhrij
* Imam Bukhari dalam Al Jami’ As Shahih (1/317-Fathul Baari) No. 216, 218,
1361, 1378, 6052 dan 6055
* Imam Muslim dalam As Shahih (3/200 - syarah Imam Nawawi) No. 292
* Imam Tirmidzi dalam Al Jami‘ (1/102) No. 70, dan beliau mengatakan, “Hadits
Hasan Shahih”
* Imam Abu Daud dalam As Sunan (1/5) No. 20
* Imam Nasa’I dalam Al Mujtaba (1/28)
* Imam Ibnu Majah dalam As Sunan (1/125) No. 237
ِي
ْ
ٌ َب
ُ لك
ّهَإن
ٍ و
ِيَب
ِ ك
ِ ف
َان
ّبَذ
ُعي
“Mereka berdua disiksa karena perkara besar (dalam pandangan keduanya) namun
sungguh itu adalah perkara besar.”
ِي
ْ
ٌ َب
ُ ك
ّهْ إن
َلٍ ب
ِيَب
ِ ك
ِ ف
َان
ّبَذ
ُعَا ي
َمو
Dengan dua tambahan lafadz yang shahih ini, dapat ditetapkan bahwa penyebabnya
adalah dosa besar. Maka sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, “Mereka
berdua disiksa bukan karena perkara besar.” Perlu di jelaskan.
Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah Shahih Muslim (3/201) mengatakan, para ulama
telah menyebutkan dua penafsiran dalam hadits ini
Kedua, meninggalkan kedua perkara ini bukanlah sesuatu yang besar (susah).
Al Qadli Iyadh menyampaikan tafsir ketiga yaitu, tidak termasuk dosa besar.
Saya (Syaikh Raid) katakan, berdasarkan tafsir ketiga ini, maksud hadits ini
adalah larangan dan memberikan peringatan yang keras kepada orang lain selain dua
penghuni kubur ini, agar tidak mengira bahwa adzab Allah itu hanya ada akibat dari
dosa besar yang membinasakan, karena adzab itu (kadang) ada akibat dari selainnya.
Wallahu a’lam.
Sebab kedua perbuatan ini (yaitu tidak menjaga diri dari air kencing dan namimah-
pent) menjadi dosa besar adalah perbuatan tidak bersih dari kencing mengakibatkan
batalnya shalat. Sehingga tidak diragukan lagi tidak membersihkan diri dari
kencing merupakan perbuatan dosa besar. Demikian juga menebar namimah (adu domba)
dan berusaha berbuat kerusakan termasuk perbuatan yang paling buruk, apalagi jika
bersesuaian dengan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wassalam yang menggunakan kata
YAMSYI (fi’il mudhari’) yang biasanya menunjukkan keadaan yang terus berkelanjutan
(artinya dia terus-terus melakukannya selama hidupnya-pent).
Dalam hadist riwayat Imam Muslim dan Abu Dawud dari hadits Al A’masy[2] ُ
ِهْز
َنْت
َسي
dengan huruf nun yang disukunkan, setelah itu huruf zai lalu huruf ha. Makna kata
َت
ِ
ُ ْت
َس لadalah tidak membuat antara dia dengan kencingnya sesuatu yang bisa
َ ي
melindunginya dari percikan kencing. Dengan demikian, maka maknanya sejalan dengan
riwayat ِه
ُ ْز
َنْت
َس ي.
Al hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Baari (1/318) menyatakan, “Dalam
riwayat Abu Nu’aim berbunyi ّى
َقَو
َت ( لtidak menjaga diri-pent) dan kata ini
َي
merupakan penjelas maksud (kata-kata diatas-pent). Sebagian para ulama
memberlakukan kata َت
ِ
ُ ْت
َس لsesuai zhahirnya. Mereka mengatakan, bahwa arti
َ ي
kata itu adalah tidak menutup auratnya.
Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim (3/201) mengatakan, “(Namiimah) adalah
menceritakan perkataan seseorang ke orang lain dengan tujuan merusaknya (Adu
domba).”
Sedangkan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam menaruh dua potong pelepah
basah diatas dua kubur, menurut pandangan para ulama, perbuatan beliau shallallahu
‘alaihi wassalam itu dipahami bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wassalam memintakan
syafa’at untuk penghuni kubur itu, lalu permintaan beliau shallallahu ‘alaihi
wassalam dikabulkan dengan diberi keringanan adzab kepada kedua penghuni kubur itu
sampai kedua potong pelepah itu kering.
Imam Muslim rahimahullah menyebutkan di akhir kitab Shahih-nya sebuah hadits yang
panjang yaitu hadits Jabir tentang dua penghuni kubur, (beliau shallallahu ‘alaihi
wassalam bersabda-pent):
“… maka syafa’atku untuk meringankan adzab dari kedua penghuni kubur itu
dikabulkan selama dua batang kayu ini masih basah.”
Dalam hadits tersebut tidak ada isyarat yang menunjukkan bolehnya menanam pelepah
kurma atau yang lainnya di atas kuburan. Itu merupakan (kekhususan) Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wassalam, karena Allah Ta’ala memperlihatkan kepada beliau
shallallahu ‘alaihi wassalam keadaan dua penghuni kubur tersebut dan adzab yang
mereka alami. Ini merupakan kekhususan diantara kekhususan-kekhususan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wassalam sebagaimana penjelasan yang akan datang insya Allah
Ta’ala .
Ada yang memahami hadits diatas dengan pemahaman keliru. Sebagian mereka berdalil
(berargumentasi) dengan hadits ini, tentang bolehnya menanam kurma dan pepohonan
diatas kuburan. Mereka mengatakan bahwa illah (penyebab) diringankan adzab dari
kedua penghuni kubur ini adalah dua pelepah yang masih basah karena keduanya
senantiasa bertasbih kepada Allah selama masih basah sedangkan yang kering tidak
bertasbih.
ُم
ْ َه
ِيح
ْبَس
َ ت
ُون
َهْق
َفّت
ِن ل
َكَل
ِ و
ِهْد
َمُ ب
ِ ّحَب
ُسّي
ٍ إل
ْءَي
ّن ش
َإن م
و
“Dan tak ada suatupun melainkan nertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian
tidak mengerti tasbih mereka.” (QS Al Isra’ 44)
Kalaulah seandainya, penyebab diringankan adzab adalah tasbih, tentu tidak ada
seorangpun yang mendapatkan siksa di dalam kuburnya karena debu dan bebatuan yang
berada di atas mayit bertasbih kepada Allah Ta’ala .
Syaikh kami Al Albani rahimahullah mengatakan dalam Ahkamul Janaaiz (hal. 201),
“Kalau seandainya kondisi basah pelepah itu yang dimaksud, pasti para salafus
shalih telah memahaminya dan mengamalkan penunjukkannya serta telah meletakkan
pelepah atau batang pohon di atas kubur ketika mereka berziarah. Kalau seandainya
mereka melakukan hal tersebut, tentu beritanya akan masyhur kemudian dinukil para
perawi terpercaya kepada kita. Karena ini termasuk perkara yang menarik perhatian
dan mesti dinukil. Jika tidak dinukil, maka menunjukkan bahwa hal itu tidak
pernah terjadi. Cara seperti ini dalam mendekatkan diri kepada Allah adalah
bid’ah”.
Adapun hadits Buraidah Al Aslamiy radhiallahu ‘anhu yang berisi bahwa beliau
berwasiat agar ditaruhkan dua pelepah diatas kuburnya. Maka hal ini merupakan
hasil ijtihad beliau semata dan ijtihad itu kadang benar dan kadang salah. Dan
kebenaran bersama orang yang meninggalkan perbuatan itu.
Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah dalam komentar beliau atas kitab Fathul Baari
(3/223) mengatakan, “Pendapat yang mengatakan bahwa hal itu merupakan kekhususan
Nabi merupakan pendapat yang benar. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam
tidak pernah menanamkan pelepah kecuali di atas kuburan yang beliau ketahui
penghuninya sedang disiksa dan tidak melakukan hal itu kepada semua kuburan. Kalau
seandainya perbuatan itu sunnah, tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam
akan melakukannya kepada semua kuburan. Juga karenakan para khulafa’ Ar Rasyidin
dan tokoh besar shahabat tidak pernah melakukan hal itu. Kalau seandainya itu
disyari’atkan tentu mereka akan segera melakukannya”.
Imam Bukhari rahimahullah membuat satu bab dalam kitab shahihnya (3/222) Bab Al
Jariidati Ala Al Qabri. Ibnu Rusydi mengatakan, tampaknya dari penjelasan Imam
Bukhari rahimahullah bahwa hal itu khusus untuk dua orang itu saja, oleh karena
itu beliau melanjutkannya dengan membawakan perkataan Ibnu Umar radliallahu
‘anhuma ketika melihat sebuah tenda di atas kuburan Abdurrahman,
ُه
ُ َل
َمُ ع
ّهِل
ُظَا ي
َإن
ّ ُ ف
َمُل
َا غ
ُ ي
ْهِع
ْزان
“Wahai anak muda, cabutlah itu! Hanya amal perbuatannya saja yang (bisa)
menaunginya”.
Para ahli ilmu menjelaskan bahwa ini adalah satu kejadian khusus yang mungkin
dikhususkan kepada orang-orang yang Allah perlihatkan kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam keadaan sang mayit.
Al Khathabi berkata dalam Ma’alimus Sunan (1/27) mengomentari hadits ini, “Ini
termasuk bertabarruk (mengharapkan barakah-pent) dengan atsar dan do’a beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam agar diringankan adzab dari keduanya. Seakan-akan
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan waktu basahnya ranting itu sebagai
batas dari permintaan keringanan adzab dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
bukan karena pelepah basah memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki pelepah
kering. Kebanyakan orang di banyak negara menanam pepohonan di atas kubur-kubur
mereka, saya lihat mereka melakukan ini tidak mengambilnya dari sisi ini”.
Syaikh Ahmad Syakir dalam komentar beliau terhadap Sunan Tirmidzi (1/103) berkata
setelah hadits ini: “Benarlah (apa yang dikatakan-pent) Al Khattaby. Kebanyakan
orang semakin menjadi-jadi melakukan amal yang tidak ada dasarnya ini dan
berlebih-lebihan dalam hal ini. terutama di negeri Mesir, karena taklid kepada
orang-orang nasrani, sampai-sampai mereka meletakkan bunga-bunga diatas pekuburan,
saling menghadiahkan bunga diantara mereka. Lalu mareka taruh diatas pusara
keluarga dekat mereka dan kenalan mereka sebagai penghormatan kepada penghuni
kubur dan sikap pura-pura baik kepada yang masih hidup. Bahkan kebiasaan ini
menjadi setengah resmi dalam acara persahabatan antar bangsa. Engkau dapatkan,
para pembesar Islam, jika berkunjung ke salah satu negara Eropa pergi ke kuburan
para pembesar negera itu atau ke kubur yang mereka sebut kuburan pahlawan tak
dikenal dan menabur bunga diatasnya. Sebagian mereka meletakkan bunga plastik yang
tidak ada unsur basah padanya karena ikut-ikutan orang Prancis dan mengikuti
perbuatan-perbuatan Nashara dan Yahudi. Dan para ulama tidak mengingkar mereka
atas perbuatan tersebut apalagi orang awam, bahkan engkau melihat mereka sendiri
meletakkan di kuburan orang mati mereka.
Saya tahu kebanyakan wakaf-wakaf yang mereka namakan wakaf khairiyah ditanami
pohon kurma dan bunga-bunga yang berbau harum yang diletakkan di atas kuburan.
Semua ini adalah perbuatan bid’ah dan mungkar yang tidak memiliki dasar sama
sekali, tidak memiliki sandaran dari Al-Qur’an maupun Sunnah. Para ahli ilmu wajib
mengingkari dan memberantas kebiasaan-kebiasaan ini sesuai dengan kemampuan
masing-masing.”
Syaikh kami Al Albani mengatakan dalam kitab Ahkaamul Janaiz (hal. 201),
“Ada beberapa perkara yang menguatkan (pendapat yang mengatakan) bahwa meletakkan
pelepah di atas kuburan merupakan kekhususan Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam dan
peringanan adzab bukan disebabkan pelepah yang beliau n bagi dua. -beliau t
menyebutkan, diantaranya:
Hadits Jabir radhiallahu ‘anhu yang terdapat dalam shahih Muslim , Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Sesungguhnya aku melewati dua kuburan yang sedang disiksa, maka dengan syafa’atku
aku ingin agar adzabnya diperingan dari keduanya selama dua ranting ini masih
basah.”
Ini jelas sekali, (menerangkan) bahwa keringanan adzab itu disebabkan oleh
syafa’atnya shallallahu ‘alaihi wassalam dan do’anya n bukan karena unsur basah
(yang ada pada ranting itu-pent), baik kisah Jabir radhiallahu ‘anhu ini satu
kejadian dengan kisah Ibnu Abbaz radhiallahu ‘anhu yang terdahulu sebagaimana yang
dirajihkan oleh Al ‘Aini atau yang ulama lain, ataupun dua kejadian yang berbeda
sebagaimana dirajihkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari.
Adapun berdasarkan kemungkinan pertama (yaitu kisah Jabir radhiallahu ‘anhu satu
kejadian dengan kisah Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu ) maka cukup jelas. Adapun
berdasarkan kemungkinan kedua, karena penelitian yang benar menunjukkan bahwa
penyebabnya satu dalam dua kisah tersebut karena adanya kemiripan yang ada dalam
dua kisah tersebut. Juga karena keberadaan pelepah basah sebagai sebab diringankan
adzab dari mayit ini termasuk perkara yang tidak diketahui secara syar’i atau
akal. Kalau seandainya hal ini benar, tentu orang yang paling ringan adzabnya
adalah orang-orang kafir yang menanamkan pepohonan dikuburan seperti layaknya
sebuah taman karena banyaknya tanaman dan pepohonan yang selalu hijau di musim
panas ataupun dingin. Ditambah juga bahwa sebagian ulama seperti Imam Suyuthi t
menjelaskan bahwa sebab pengaruh pelepah basah dalam peringanan adzab adalah
karena dia bertasbih kepada Allah Ta’ala . mereka mengatakan, “Jika hilang sifat
basah dari pelepah itu dan kering, maka berhentilah dari tasbih!.
ُم
ْ َه
ِيح
ْبَس
َ ت
ُون
َهْق
َفْ ل ت
ِنَك
َلِ و
ِهْد
َمُ ب
ِ ّحَب
ُسٍ إل ي
ْءَي
ْ ش
ِنْ م
َإن
و
“Dan tak ada suatupun melainkan nertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian
tidak mengerti tasbih mereka.“ (QS. Al Isra’:44)
Jika hal ini sudah jelas, maka mudah untuk memahami kebathilan qiyas lemah yang
dikutip oleh Imam Suyuthi rahimahullah dari orang yang tidak beliau sebutkan,
“Jika adzab kubur diringankan dari keduanya dengan sebab tasbbih pelepah tersebut,
maka bagaimana pula dengan al-Qur’an yang dibacakan seorang mukmin ? Dia
mengatakan, “Hadits ini merupakan dalil menanam pohon di kuburan”
ًا
َدِ أح
ِهْب
َيَى غ
َلُ ع
ِرْه
ُظَل ي
ِ ف
ْبَي
ْغُ ال
َال
ِ ع
“(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan
kepada seorangpun tentang yang ghaib itu.“ (QS.Al Jin:26)
[Diterjemahkan oleh Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. dari kitab Tashihul Akhtha' wal
Auhaam all Waqi'ah fi fahmi Ahaditsin Nabi alaihis shalatu was salam, Syaikh Raid
Shabri Bin Abu Alfah, hal 72-78]
Artikel UstadzKholid.com
[1] Penerjemah juga menemukan beberapa riwayat lain yang menggunakan kalimat ُ
ِئَب
ْ ْت
َسي
seperti riwayat Imam Nasa’I berikut
ِي
ٍ َب
ِ ك
ِ ف
َان
ّبَذ
ُعَا ي
َمِ و
َان
ّبَذ
ُعَي
َا ل
ُمَ إن
ّ َال
َقِ ف
ْنَي
َب
ْ ِق
َ ب
ّمَل
َسِ و
ْهَي
ُ ل
ّى ال
ّ َلِ ص
ُ ال
ّ ُول
َسّ ر
َرَ م
َال
ٍ ق
ّاس
َبِ ع
ْنْ اب
َنع
َا
ّهَق
َشً ف
َةْب
َطً ر
َةِيد
َرَ ج
َذّ أخ
ِ ث
ُ َةِيم
ّمِالن
ِي ب
ْشَ ي
َ َان
َكُ ف
َرْخ
ّا ال
َأم
ِ و
ِهْل
َوْ ب
ِنُ م
ِئَب
ْ ْت
َسَ ي
َ ل
َان
َكَا ف
ُه
ُ َد
ّا أح
أم
َا ل
َ
ْ َا م
ُمْه
َنَ ع
ّفَف
ْ ي
ُ َا أن
ُمّه
َلَع
َ ل
َال
َقَا ف
َذَ ه
ْتَع
َنَ ص
ِ ل
ِ َ ال
ّ ُول
َسَا ر
ُوا ي
َال
َقً ف
َةِد
َاح
ٍ و
َب
ْ ّ ق
ُلِ ك
َ ف
َزَر
ّ غ
ِ ث
ُ َي
ْ ْف
ِصن
َا
َسْب
َيي
َان
َ َكَا ف
َذّا ه
ٍ أم
ِيَب
ِ ك
ِ ف
َان
ّبَذ
ُعَا ي
َمِ و
َان
ّبَذ
ُعَا ي
ُمَ إن
ّ َال
َقِ ف
ْنَي
َب
ْ َى ق
َلَ ع
ّمَل
َسِ و
ْهَي
َلُ ع
ّى ال
ّ َلِ ص
ُ ال
ّ ُول
َسّ ر
َرم
َة
ِ ِيم
ّمِالن
ِي ب
ْشَ ي
َ َان
َكَا ف
َذّا ه
َأم
ِ و
ْلَو
ْبْ ال
ِنُ م
ِهْز
َنْت
َس … ل
َ ي
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam melewati dua buah kuburan, lalu beliau
bersabda, ‘Sesungguhnya Keduanya sedang disiksa, mereka disiksa bukan karena dosa
besar, orang ini tidak membersihkan diri dari kencing, sedangkan yang ini dia
keliling menebar namiimah…“ (HR. Abu Dawud)
[3] Ini peribahasa yang bermakna buktikan dulu kebenaran satu masalah baru dipakai
sebagai ukuran. (pent)