You are on page 1of 6

RHINITIS ALERGI

DEFINISI - Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet, 1986).

Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.

ETIOLOGI - Genetik Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas memiliki peran penting. Pada 20 30 % semua populasi dan pada 10 15 % anak semuanya atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai 50 %. Lingkungan Peran lingkungan dalam dalam rinitis alergi yaitu alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki kecenderungan alergi. Allergen alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalan yang masuk bersama udara pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran serangga, kutu binatang, jamur, serbuk sari, dan lain-lain

CARA MASUK ALERGEN Alergen Inhalan : masuk bersama dg udara pernafasan

Alergen Ingestan : masuk ke saluran cerna Alergen Injektan : masuk melalui suntikan/tusukan Alergen Kontaktan : masuk melalui kontak kulit / jaringan mukosa

PATOFISIOLOGI - Sensitisasi Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi yang diawali oleh adanya proses sensitisasi terhadap alergen sebelumnya. Melalui inhalasi, partikel alergen akan tertumpuk di mukosa hidung yang kemudian berdifusi pada jaringan hidung. Hal ini menyebabkan sel Antigen Presenting Cell (APC) akan menangkap alergen yang menempel tersebut. Kemudian antigen tersebut akan bergabung dengan HLA kelas II membentuk suatu kompleks molekul MHC (Major Histocompability Complex) kelas II. Kompleks molekul ini akan dipresentasikan terhadap sel T helper (Th 0). Th 0 ini akan diaktifkan oleh sitokin yang dilepaskan oleh APC menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, IL9, IL10, IL13 dan lainnya. IL4 dan IL13 dapat diikat reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel B menjadi aktif dan memproduksi IgE. IgE yang bersirkulasi dalam darah ini akan terikat dengan sel mast dan basofil yang mana kedua sel ini merupakan sel mediator. Adanya IgE yang terikat ini menyebabkan teraktifasinya kedua sel tersebut. - Reaksi Alergi Fase Cepat Reaksi cepat terjadi dalam beberapa menit, dapat berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya. Mediator yang berperan pada fase ini yaitu histamin, tiptase dan mediator lain seperti leukotrien, prostaglandin (PGD2) dan bradikinin. Mediator-mediator tersebut menyebabkan keluarnya plasma dari pembuluh darah dan dilatasi dari anastomosis arteriovenula hidung yang menyebabkan terjadinya edema, berkumpulnya darah pada kavernosus sinusoid dengan gejala klinis berupa hidung tersumbat dan oklusi dari saluran hidung. Rangsangan terhadap kelenjar mukosa dan sel goblet menyebabkan hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Rangsangan pada ujung saraf sensoris (vidianus) menyebabkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. - Reaksi Alergi Fase Lambat Reaksi alergi fase cepat terjadi setelah 4 8 jam setelah fase cepat. Reaksi ini disebabkan oleh mediator yang dihasilkan oleh fase cepat beraksi terhadap sel endotel postkapiler yang akan menghasilkan suatu Vascular Cell Adhesion Mollecule (VCAM) dimana molekul ini menyebabkan sel leukosit seperti eosinofil menempel pada sel endotel. Faktor kemotaktik seperti IL5 menyebabkan infiltrasi sel-sel eosinofil, sel mast, limfosit, basofil, neutrofil dan makrofag ke dalam mukosa hidung. Sel-sel ini kemudian menjadi teraktivasi dan menghasilkan mediator lain seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO) yang menyebabkan gejala hiperreaktivitas

dan hiperresponsif hidung. Gejala klinis yang ditimbulkan pada fase ini lebih didominasi oleh sumbatan hidung. KLASIFIKASI Berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA tahun 2000, menurut sifat berlangsungnya rinitis alergi dibagi menjadi: Intermiten, yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu. Persisten, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan/atau lebih dari 4 minggu. Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi: Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu. Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas. DIAGNOSIS 1.Anamnesis Perlu ditanyakan gejala-gejala spesifik yang mengganggu pasien (seperti hidung tersumbat, gatal-gatal pada hidung, rinore, bersin), pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Karena rinitis alergi seringkali berhubungan dengan konjungtivitis alergi, maka adanya gatal pada mata dan lakrimasi mendukung diagnosis rinitis alergi. Riwayat keluarga merupakan petunjuk yang cukup penting dalam menegakkan diagnosis pada anak. 2.Pemeriksaan Fisik Rhinoskopi anterior ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak Bayangan gelap di daerah bawah mata (allergic shiner) karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok- gosok oleh punggung tangan (allergic salute). Garis melintang di dorsum nasi 1/3 bawah (allergic crease) Mulut sering terbuka dg lengkungan langit2 yg tinggi (facies adenoid) Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance) Lidah sprti gambaran peta (geographic tongue)

3.Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan sitologi hidung tidak memastikan diagnosis, tetapi berguna sebagai


pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak (5 sel/lapang pandang) menunjukkan kemungkinan alergi. Hitung jenis eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu penyakit. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan cara RAST (Radioimmuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Test). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi. Selain dapat mengetahui alergen penyebab, juga dapat menentukan derajat alergi serta dosis inisial untuk imunoterapi. tes provokasi hidung dengan memberikan alergen langsung ke mukosa hidung. Untuk alergi makanan, dapat pula dilakukan diet eliminasi dan provokasi atau Intracutaneous Provocative Food Test (IPFT). Uji kulit alergen penyebab dapat dicari secara invivo. Ada dua macam tes kulit yaitu tes kulit epidermal dan tes kulit intradermal. a. Tes epidermal berupa tes kulit gores (scratch) dengan menggunakan alat penggores dan tes kulit tusuk (skin prick test). b. Tes intradermal yaitu tes dengan pengenceran tunggal (single dilution) dan pengenceran ganda (Skin Endpoint Titration SET).

4. Gambaran Histologik Adanya dilatasi pembuluh darah Pembesaran sel goblet dan sel pembentukan mukus Pembesaran ruang interseluler, penebalan membran basal, infiltrasi eosinofil di jaringan mukosa dan submukosa hidung Proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa (terus-menerus sepanjang tahun)

PENATALAKSANAAN Terapi rinitis alergi umumnya berdasarkan tahap-tahap reaksi alergi, yaitu: Tahap terjadinya kontak antara alergen dengan kulit atau mukosa hidung. Tahapan ini diterapi dengan penghindaran terhadap alergen penyebab. Tahap penetrasi alergen ke dalam jaringan subkutan/submukosa menuju IgE pada permukaan sel mast atau basofil. Tahapan ini diterapi secara kompetitif dengan imunoterapi. Tahapan ikatan Ag-IgE di permukaan mastosit/basofil, sebagai akibat lebih lanjut reaksi AgIgE dimana dilepaskan histamin sebagai mediator. Tahapan ini dinetralisir dengan obat obatan antihistamin yang secara kompetitif memperebutkan reseptor H1 dengan histamin. Tahap manifestasi klinis dalam organ target, dimana ditandai dengan timbulnya

gejala. Tahapan ini dapat diterapi dengan obat-obatan dekongestan sistematik atau lokal. Secara garis besar penatalaksanaan rinitis terdiri dari 3 cara, yaitu: Menghindari atau eliminasi alergen dengan cara edukasi Farmakoterapi antihistamin : antagonis histamin H-1 - berikatan dengan reseptor H1 tanpa mengaktivasinya. Lebih efektif dalam mencegah respons histamin - Antihistamin mengantagonis permeabilitas kapiler, pembentukan rasa panas dan gatal. - ESO : Mengantuk, mulut kering, kesulitan dalam mengeluarkan urin, konstipasi, efek kardiovaskular, sistem cerna : hilang nafsu makan, mual, muntah, gangguan ulu hati agonis adrenergik alfa (dekongestan) agonis adrenergik alfa sebagai dekongestan hidung, yaitu merupakan zat simpatomimetik yang bekerja pada reseptor adrenergik pada mukosa hidung, menyebabkan vasokontriksi, menciutkan pembengkakan mukosa, dan memperbaiki jalannya udara. kortikosteroid topikal Bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma Meredakan bersin, rinorea, ruam, kongesti nasal secara efektif dengan efek samping minimal Mekanisme kerja : mereduksi inflamasi dengan menghambat mediator, penekanan kemotaksis neutrofil, menyebabkan vasokontriksi, menghambat reaksi lambat yang dipengaruhi sel mast

Preparat sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan mastosit, sehingga pelepasan mediator dihambat.

Preparat antikolinergik topikal bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor

Imunoterapi Jika dengan farmakologi tidak dapat diatasi

KOMPLIKASI Polip hidung Otitis media, terutama pd anak-anak Sinusitis paranasal

REFERENSI : Buku ajar ilmu kesehatan THT, FKUI THT, boies - Farmokologi, FKUI - internet

- buku penyakit

You might also like