You are on page 1of 5

2

ekstrak mikroalga sebagai inhibitor RNA helikase virus japanese encephalitis dan mengetahui tingkat toksisitasnya.

TINJAUAN PUSTAKA
Japanese Encephalitis Virus (JEV) Japanese encephalitis virus (JEV) adalah suatu virus yang dibungkus oleh protein envelope (E) yang memiliki satu atau dua sisi aktif yang terglikosilasi (Chambers et al. 1991). Glikosilasi pada protein E sangat penting untuk konformasi alami dari epitop protein tersebut (Lad et al. 2000). Virus ini memiliki diameter sekitar 50 nm, dan termasuk dalam famili Flaviviridae. Virus ini merupakan virus RNA positif, dengan genom RNA utas tunggal dan panjang sekitar 11 kb. Genom RNA tersebut ditranslasikan ke dalam prekursor poliprotein tunggal yang selanjutnya diproses untuk menghasilkan tiga protein struktural C (capsid), M (matrix), dan E (envelope) yang membentuk viral kapsid dan glikoprotein, serta tujuh protein non struktural (NS1, NS2A, NS2B, NS3, NS4A, NS4B, dan NS5) yang bertanggung jawab dalam replikasi viral genomnya. Poliprotein tersebut tersusun sebagai berikut: NH2-CPrM-E-NS1-NS2A-NS2B-NS3-NS4A-NS4BNS5-COOH. Pembungkus intinya berdiameter sekitar 30 nm terdiri atas kapsid dan genom RNA yang dikelilingi oleh suatu lipida lapis ganda tempat pembungkus viral dan protein membran terikat (Gambar 1) (Borowski et al. 2001). Virus japanese encephalitis termasuk famili virus Flaviviridae. Famili Flaviviridae terdiri atas tiga genus, yaitu genus flavivirus, pestivirus, dan hepacivirus. Genus flavivirus terdiri atas lebih dari 70 jenis virus yang pada umumnya ditularkan melalui perantaraan nyamuk atau arthropoda. Genus flavivirus diantaranya adalah virus demam berdarah (DENV), Japanese Encephalitis Virus (JEV), Tick-Borne encephalitis virus (TBEV), Yellow Fever Virus (YFV), West Nile Virus (WNV), Murray Valley Encephalitis Virus (MVEV), dan St. Louis Encephalitis Virus (SLEV).

Gambar 1 Struktur virus japanese encephalitis (Miller 2003).

Flavivirus merupakan patogen yang sangat penting dan bertanggungjawab terhadap banyak penyakit pada manusia dan hewan, dan menyebabkan banyak kematian (Ray & Shi 2006). Infeksi flavivirus YFV dan DENV dapat menyebabkan demam berdarah dan ensefalitis serta kerusakan saraf otak (pada JEV, TBEV, WNV, SLEV, dan MVEV). Pada umumnya flavivirus yang paling mematikan yaitu JEV, YFV, TBEV, dan DENV yang memiliki tingkat mortalitas antara 5-30% (Ray & Shi 2006). Protein-protein non struktural dalam genom virus berperan dalam proses replikasi virus. NS1 yang berinteraksi dengan NS4A dibutuhkan untuk replikasi RNA (Lindenbach & Rice 1997; Lindenbach & Rice 1999). NS2A yang bersifat hidrofobik berfungsi dalam perakitan virion dan pelepasan partikel virus yang infeksius. NS2B membentuk suatu kompleks dengan NS3 dan diperlukan sebagai kofaktor bagi fungsi serin protease dari NS3 (Chambers et al. 1991; Chambers et al. 1993; Falgout et al. 1993). Fungsi dari membran yang berasosiasi antara NS4A dan NS4B sampai saat ini belum diketahui. NS5 berperan dalam aktivitas RNA-dependent RNA polymerase (RdRp) dan metiltransferase. NS3 adalah suatu protein multifungsi yang berperan dalam aktivitas enzimatik dari serin protease dengan adanya NS2B, nukleotida trifosfatase (NTPase), dan RNA helikase (Bartelma et al. 2002; Borowski et al. 2001; Li et al. 1999). Serin protease, NTPase, dan RNA helikase merupakan enzim yang sangat penting karena berperan dalam proses replikasi virus (Levin & Patel 1999; Borowski et al. 2003). Japanese Encephalitis Virus (JEV) adalah penyakit epidemik ensefalitis yang disebabkan oleh virus yang paling banyak terjadi di dunia, sebanyak 50.000 kasus dengan 15.000 orang meninggal per tahunnya. Galur JEV prototipe Nakayama pertama kali diisolasi pada tahun 1935. Kasus epidemis dan sporadis dari JEV banyak terjadi di daerah yang mempunyai empat iklim dan di daerah tropis di Asia, diantaranya Kamboja, China, Indonesia, India, Jepang, Malaysia, Myanmar, Nepal, Sri Lanka, Thailand, Vietnam, bagian tenggara Rusia, dan Australia (Hanna et al. 1996). JEV menimbulkan penyakit akut dengan tandatanda infeksi seperti sakit kepala, demam, kejang, dan merupakan agen penyebab penyakit radang saraf pusat seperti meningitis dan ensefalitis yang parah dengan tingkat

mortalitas antara 20-30% (Borowski et al. 2001). RNA Helikase Enzim helikase adalah enzim yang terlibat dalam hampir semua aspek metabolisme DNA dan RNA. Pengetahuan mekanisme kerja dari enzim-enzim telah mengalami kemajuan, tetapi adanya resolusi yang terbatas menyebabkan mekanisme rinci seperti penataan ulang struktur asam nukleat hingga pengikatan dan hidrolisis ATP yang dilakukan pasangan enzim helikase ini tidak dapat diketahui (Dumont et al. 2006). Fungsi enzim helikase adalah untuk membuka utas ganda DNA atau RNA menjadi untai tunggal, dan bergerak sepanjang untai nukleotida pada arah 3 menuju 5 (Gambar 2). Seluruh helikase virus memiliki aktivitas NTP/ATPase yang tergantung pada keberadaan NTP dan kation divalen berupa Mg2+. Produk hidrolisis NTP pada setiap pengkajian helikase adalah NDP/ADP dan Pi (Fan et al. 2008). Enzim helikase diperlukan untuk proses replikasi genom organisme tersebut. Enzim helikase dapat dibagi menjadi DNA helikase dan RNA helikase, sesuai dengan genom yang dimiliki organisme tersebut. JEV yang merupakan virus RNA memiliki RNA helikase. Helikase bekerja secara katalitik memisahkan untai ganda DNA atau RNA menggunakan energi yang dihasilkan dari hidrolisis nukleosida trifosfat dan merupakan target pencarian obat karena dibutuhkan dalam replikasi virus. (Utama et al. 2000).

Gambar 2 Mekanisme kerja enzim RNA helikase (Utama et al. 2000).

Aktivitas NTP/ATP helikase secara umum distimulasikan oleh keberadaan asam nukleat untai tunggal. Hal ini memungkinkan enzim berikatan dengan untai RNA dengan energi yang dihasilkan dari hidrolisis ATP untuk memisahkan ikatan hidrogen pasangan basa dari struktur dupleks (Utama et al. 2000). Ikatan asam nukleat dapat menginduksi konformasi protein yang terkarakterisasi dengan pengembangan situs aktif dari domain NTP/ATPase dari NTP/ATP. Aktivitas NTP/ATPase tidak dapat distimulasi pada kadar garam tinggi. Hal ini disebabkan kondisi kekuatan ionik kuat asam nukleat tidak dapat terikat dengan enzim dan enzim membentuk konformasi untuk pelepasan untaian. Mekanisme kerja enzim RNA atau DNA helikase adalah pertama-tama helikase akan mengikat untai RNA atau DNA utas ganda pada ujung 3, selanjunya ATP akan berikatan pada suatu sisi aktif dari RNA atau DNA helikase tersebut. Gugus ATP akan dihidrolisis oleh enzim RNA atau DNA helikase menjadi ADP dan fosfat inorganik. Proses hidrolisis ini akan terlepas energi yang kemudian digunakan oleh enzim RNA atau DNA helikase untuk menguraikan utas ganda RNA atau DNA menjadi utas tunggal RNA atau DNA (Utama et al. 2000). Enzim helikase dapat mengurai RNA atau DNA utas ganda melalui pemutusan ikatan hidrogen yang mengikat kedua utas tersebut. Reaksi ini berhubungan dengan hidrolisis ATP, dimana energi yang dilepaskan selama hidrolisis ATP dibutuhkan dalam proses penguraian RNA atau DNA (Shuman 1992; Wagner et al. 1998). Enzim helikase juga dapat berperan dalam fungsi selular lainnya seperti membantu proses translasi, mengkoordinasi pembentukan poliprotein, memutus interaksi RNA-protein, serta menyusun RNA di dalam pembungkus viral (Lam & Frick 2006). Enzim helikase juga memiliki aktivitas ikatan RNA (RNA binding) dan ATPase (RNA-stimulated ATPase), dan kedua aktivitas ini berpengaruh terhadap aktivitas RNA helikase. Enzim ini menjadi target yang potensial untuk penemuan obat antivirus karena penemuan inhibitor RNA helikase dapat dilakukan dengan penemuan inhibitor terhadap aktivitas RNA binding atau ATPase (Utama et al. 2000). Beberapa penelitian tentang mutasi dan penghambatan terhadap NS3 diperlukan untuk propagasi virus, sehingga pengembangan inhibitor efektif dari enzim helikase japanese encephalitis virus adalah bagian penting dalam strategi antiviral.

Mikroalga Mikroalga adalah mikroorganisme fotosintetik dengan morfologi sel yang bervariasi, baik uniseluler maupun multiseluler (membentuk koloni kecil). Sebagian besar mikroalga tumbuh secara fototrofik, meskipun tidak sedikit jenis yang mampu tumbuh secara heterotrofik. Ganggang hijau-biru prokariotik (Cyanobacteria) juga termasuk dalam kelompok mikroalga (Becker 1994). Mikroalga sudah hidup sejak 3.6 juta tahun lalu dalam siklus fotosintesis alamiah. Mikroalga banyak ditemukan pada perairan darat maupun laut, ukuran diameter antara 330 m, tanpa akar, batang, dan daun. Biasanya ditemukan hidup secara individual ataupun berkelompok. Mikroalga bergerak secara pasif dengan mengikuti arus air. Morfologi selnya sangat bervariasi, baik bersel tunggal maupun bersel banyak, Mikroalga juga memiliki bentuk yang bervariasi seperti filamen atau lembaran, spiral, dan bulat (Borowitzka & Lesley 1988). Mikroalga terbagi menjadi 11 kelompok, yaitu Cyanophyta (alga hijau-biru), Prochlorophyta (bright-green algae), Glaucophyta (alga air tawar mikroskopis), Rhodophyta (alga merah), Heterokontophyta (alga coklat keemasan yang hidupnya motil/bergerak aktif), Haptophyta (alga yang memiliki organel unik bernama haptonema), Cryptophyta (alga yang termasuk dalam kelompok uniseluler yang unik dan tidak memiliki kedekatan dengan kelompok alga lainnya), Dinophyta (suatu kelompok besar alga perairan yang berflagella), Euglenophyta (organisme yang motil dan memiliki 1-3 flagella di bagian anteriornya), Chlorarachniophyta (kelompok kecil alga yang biasanya ditemukan di laut tropis), dan Chlorophyta (alga hijau) (Van Den Hoek et al. 2002). Biomassa mikroalga mengandung berbagai macam komposisi kimia, misalnya protein, karbohidrat, pigmen (klorofil dan karotenoid), asam amino, lipid, dan hidrokarbon. Mikroalga mempunyai kemampuan untuk mensintesis semua asam amino, baik esensial maupun non esensial. Karbohidrat yang dihasilkan dapat ditemukan dalam bentuk pati, glukosa, gula, dan polisakarida lainnya. Kandungan lipid dari mikroalga sangat bervariasi berkisar antara 1%-90%. Lemak mikroalga pada umumnya terdiri dari asam lemak tidak jenuh, seperti linoleat, asam eikosapentanoat, dan asam dokosaheksanoat. Mikroalga mengandung lemak dalam jumlah yang besar terutama

asam arakidonat (AA) yang mencapai 36% dari total asam lemak dan sejumlah asam eikosapentaenoat (EPA). Lemak mikroalga juga kaya akan asam lemak politidakjenuh (PUFA) dengan 4 atau lebih ikatan rangkap. Asam lemak yang sering dijumpai yaitu asam ekosapantenoat (EPA, C20:5) dan asam dokosaheksanoat (DHA, C22:6). Mikroalga menghasilkan beberapa vitamin penting, seperti vitamin A, B1, B2, B6, B12, C, E, nikotinamida, biotin, asam folat, dan asam pantotenat. Pigmen yang dihasilkan meliputi klorofil (0.5% sampai 1% dari berat kering), karotenoid (0.1% sampai 14% dari berat kering), dan fikobiliprotein (Becker 1994). Kandungan senyawa kimia mikroalga tergantung pada spesies dan kondisi pengulturan. Pertumbuhan mikroalga dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti salinitas, cahaya, suhu, derajat keasaman, nitrogen, karbondioksida, dan nutrien. Kisaran suhu 25oC-30oC merupakan kondisi umum bagi pertumbuhan mikroalga. Derajat salinitas bergantung pada tiap spesies mikroalga. Cahaya diperlukan bagi pertumbuhan mikroalga dan berperan dalam proses metabolisme sel seperti fotosintesis. Kisaran derajat keasaman (pH) bervariasi mulai dari pH 6-8 (Borowitzka & Lesley 1988). Mikroalga dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar nabati, kosmetik, antifouling, pewarna makanan alami, sumber makanan baru, dan dalam bidang kesehatan. Pemanfaatan mikroalga dalam bidang kesehatan meliputi antibakteri, antijamur, dan antivirus. Mikroalga dapat digunakan sebagai antibakteri pada bakteri Gram positif seperti S. aureus, maupun Gram negatif seperti E. coli dan Bacillus substilis (Becker 1994). Pada tahap budidaya, perkembangbiakan mikroalga meningkat 2.5 kali bila ke dalam kolam airnya dipasok CO2, dibandingkan hanya dengan aerasi atau suplai O2 (Boyer 1986). Hal ini berarti bahwa kultivasi mikroalga berpeluang mengatasi masalah lungkungan global karena selama ini CO2 menjadi gas pencemar dominan yang menyebabkan efek rumah kaca penyebab pemanasan global. Kultivasi mikroalga memperhatikan kondisi fisika-kimia yang terdiri atas nutrisi/medium kultur, cahaya, pH, aerasi/pengadukan, suhu, dan salinitas (Borowitzka & Lesley 1988). Pertumbuhan beberapa isolat mikroalga perairan laut Batam, Pari, dan Ciater diamati dengan cara mengukur optical density (OD) pada panjang gelombang 680 nm. Pengukuran OD dilakukan pada panjang gelombang 680

nm karena sampel mikroalga berwarna hijau dan panjang gelombang yang spesifik untuk warna tersebut adalah kisaran 680 nm. Dasar pemakaian spektrofotometer ini adalah untuk mengukur kerapatan optik dari suatu zat yang berwarna (Borowitzka & Lesley 1988). Lima fase pertumbuhan mikroalga, yaitu fase lag, fase logaritma atau eksponensial, fase stasioner, fase transisional, dan fase death (kematian). Fase lag ditandai dengan ukuran sel meningkat, namun kepadatan belum bertambah; kultur mulai menyerap nutrien yang terdapat pada medium kultur. Fase logaritma atau eksponensial mempunyai ciri sel bereproduksi dengan cepat. Pada fase stasioner jumlah atau kepadatan populasi kultur stabil, reproduksi seimbang dengan kematian. Fase transisional ditandai dengan laju pertumbuhan populasi kultur menurun. Pada fase death (kematian) kepadatan sel menurun, laju kematian sel melebihi laju pertumbuhan sel (Gambar 3) (Borowitzka & Lesley 1988). Media tumbuh mikroalga merupakan media yang berisi komponen-komponen yang dibutuhkan untuk pertumbuhannya. Mikroalga dapat hidup dan bereplikasi karena adanya bermacam-macam substrat yang terdiri atas natrium, kalium, magnesium, kalsium, dan unsur logam lain seperti besi, seng, tembaga, dan kobalt yang terdapat dalam media. Media tumbuh mikroalga yang digunakan dalam penelitian ini termasuk media cair yaitu media IMK (IMK-Ciater dan IMK-Sea Water (SW)) yang terdiri atas larutan yang mengandung bermacam-macam substrat yang dibutuhkan mikroalga tersebut (Borowitzka & Lesley 1988).

Pada media tumbuh mikroalga dilakukan poses bubling (pemasukan udara ke dalam media) dengan diberi air pump yang bertujuan agar mikroalga dalam keadaan selalu tercampur dengan media (mikroalga tidak mengendap di dasar media), selain itu proses bubling ini juga berfungsi sebagai sumber CO2 bagi pertumbuhan mikroalga (Borowitzka & Lesley 1988). Toksisitas Toksisitas merupakan suatu sifat relatif dari senyawa kimia dan sejauh menyangkut diri manusia secara langsung atau tidak langsung. Toksisitas selalu menunjuk ke arah berbahaya atas mekanisme biologi tertentu. Uji toksikologi dapat dibagi menjadi dua golongan, golongan pertama terdiri atas uji toksisitas akut, uji toksisitas subkronis, dan uji toksisitas kronis. Uji ini merupakan uji toksikologi yang dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan akibat umum suatu senyawa pada hewan eksperimental, sedangkan golongan yang kedua dari uji toksikologi (terdiri atas uji potensi, uji teratogenik, uji reproduksi, uji mutagenik, uji tumorigenisitas, dan uji perilaku) yang merupakan uji yang dirancang untuk mengevaluasi dengan rinci toksisitas spesifik. Suatu senyawa kimia yang mampu menimbulkan akibat yang jelas, seperti misalnya kematian organismenya, atau sel hewan itu sepenuhnya sembuh dalam periode waktu tertentu, maka dosis atau kadar senyawa kimia itu dapat dipilih agar dapat menimbulkan akibat tersebut. Derajat toksisitas dapat dibedakan menjadi sangat toksik (LC50 < 30 g/mL), toksik (LC50 301000 g/mL) dan tidak toksik (LC50 > 1000 g/mL) (Meyer et al. 1982). Artemia salina Leach Hewan uji yang digunakan dalam metode BSLT ini adalah Artemia salina Leach. Artemia salina merupakan kelompok udangudangan dari kelas Branchiopoda. Mereka berkerabat dekat dengan zooplankton lain seperti Copepoda dan Daphnia (kutu air). A. salina hidup di danau-danau garam (berair asin) yang ada di seluruh dunia. Udang ini toleran terhadap selang salinitas yang sangat luas, mulai dari hampir tawar sampai jenuh garam. Secara alamiah salinitas perairan tempat mereka hidup sangat bervariasi, tergantung pada jumlah hujan dan penguapan yang terjadi. Kadar garam kurang dari 6 ppt (part per thausand), telur artemia akan tenggelam sehingga telur tidak bisa menetas.

Gambar 3 Kurva pertumbuhan mikroalga (Borowitzka & Lesley 1988).

Kondisi ini terjadi apabila air tawar banyak masuk ke dalam perairan pada musim penghujan. Kadar garam lebih dari 25 ppt, telur akan tetap berada dakam kondisi tersuspensi sehingga dapat menetas normal. Secara taksonomi A. Salina diklasifikasikan menjadi Kingdom (Animalia), filum (Arthropoda), kelas (Branchiopoda), ordo (Anostraca), famili (Artemiidae), genus (Artemia), dan spesies (Artemia salina). Siklus hidup A. salina dapat dimulai dari waktu penetasan kista atau telur. Kista akan menetas menjadi embrio setelah 15-20 jam dalam air dengan suhu 250C. Embrio ini masih akan tetap menempel pada kulit kista selama beberapa jam. Embrio akan menyelesaikan perkembangannya kemudian berubah menjadi naupili yang sudah bisa berenang bebas pada fase ini. Awalnya naupili akan berwarna jingga kecokelatan akibat masih mengandung kuning telur. Artemia yang baru menetas tidak akan makan karena mulut dan anusnya belum terbentuk dengan sempurna. Setelah 12 jam menetas, Artemia akan mengganti kulit dan memasuki tahap larva kedua. Dalam fase ini mereka akan mulai makan dengan pakan berupa mikroalga, bakteri, dan detritus organik lainnya. Naupili akan berganti kulit sebanyak 15 kali sebelum menjadi dewasa dalam waktu 8 hari. Artemia dewasa rata-rata berukuran sekitar 8 mm, meskipun demikian pada kondisi yang tepat mereka dapat mencapai ukuran sampai dengan 20 mm. Kadar oksigen harus dijaga dengan baik untuk pertumbuhan A. salina. A. salina akan berwarna kuning atau merah jambu dengan masukan oksigen yang baik. Warna ini bisa berubah menjadi kehijauan apabila mereka banyak mengonsumsi mikroalga. Apabila kadar oksigen dalam air rendah dan air banyak mengandung bahan organik, atau apabila salinitas meningkat, A. salina akan memakan bakteria, detritus, dan sel-sel khamir (yeast). Kondisi ini akan menyebabkan Artemia memproduksi hemoglobin sehingga tampak berwarna merah atau jingga. Apabila keadaan ini terus berlanjut mereka akan mulai memproduksi kista. Kista A. salina dapat ditetaskan secara optimal apabila syarat-syarat yang diperlukan dapat dipenuhi, yaitu salinitas antara 20-30 ppt atau 1-2 sendok teh garam per liter air tawar. Suhu air (26-28)0C. Penyinaran selama penetasan untuk merangsang proses. Aerasi yang cukup untuk menjaga oksigen terlarut sekitar 3 ppm. Nilai pH 8.0 atau lebih, apabila pH turun di bawah 7.0 dapat ditambahkan Na2CO3 untuk menaikkan pH. Kepadatan

kista sekitar 2 gram per liter. Penetasan dapat dilakukan pada semua jenis wadah. Dekapsulasi dapat meningkatkan persentase keberhasilan penetasan sampai 10%. Dekapsulasi merupakan suatu proses untuk menghilangkan lapisan terluar dari kista artemia yang keras (korion). Di samping itu proses ini juga merupakan proses disinfeksi terhadap kontaminan seperti bakteri dan jamur (Meyer et al. 1982). Elektroforesis Gel SDS Poliakrilamid Elektroforesis gel Sodium Dodesil Sulfat (SDS) poliakrilamid adalah suatu teknik yang banyak digunakan dalam bidang biokimia, forensik, genetika, dan biologi molekuler untuk memisahkan protein sesuai dengan mobilitas elektroforesis mereka (fungsi dari panjang rantai polipeptida atau bobot molekul). Sampel elektroforesis gel SDS memiliki muatan identik per satuan massa akibat pengikatan sampel dengan SDS dan sampel elektroforesis tersebut di fraksinasi berdasarkan ukuran (Gam & Latiff 2005). Prinsip elektroforesis gel SDS poliakrilamid adalah protein yang akan dianalisis dicampur dengan SDS yang merupakan sebuah deterjen anionik. Sodium dodesil sulfat mendenaturasi struktur tersier, sekunder dan ikatan non-disulfida. Elektroforesis gel SDS poliakrilamid menerapkan muatan negatif untuk setiap protein dalam proporsi dengan massanya. Pemanasan sampel pada suhu kurang lebih 60 C mengguncang molekul dan membantu SDS untuk mengikat. Penanda berupa pewarna dapat ditambahkan ke dalam larutan protein untuk memungkinkan eksperimen dapat melacak migrasi protein melalui gel selama elektroforesis dijalankan. Pewarna berukuran lebih kecil dibandingkan ukuran protein (Jovanovic et al. 2007). Medan listrik diterapkan di seluruh gel yang menyebabkan protein bermuatan negatif bermigrasi menuju anoda. Setiap protein akan bergerak berbeda melalui matriks gel. Protein yang berbobot molekul kecil akan lebih mudah melalui pori-pori pada gel, sedangkan protein yang berbobot molekul lebih besar akan memiliki lebih banyak kesulitan untuk melewati pori-pori tersebut. Setelah waktu yang telah ditentukan protein akan bermigrasi berdasarkan ukuran; protein yang lebih kecil akan bermigrasi jauh di bawah gel, sedangkan yang lebih besar akan tetap lebih dekat ke titik asal. Protein dapat dipisahkan berdasarkan ukuran atau bobot molekul (Gam & Latiff 2005).

You might also like