You are on page 1of 9

Tugas Fisiografi Lingkungan, 2008

Tugas Fisiografi Lingkungan Dosen : Prof Sutikno

BAHAYA GUNUNGAPI MERAPI

Disusun Oleh : Sekti Mulatsih 08/275182/PMU/5429

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2008

Sekti Mulatsih, Program Studi Ilmu Lingkungan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Tugas Fisiografi Lingkungan, 2008

A. PENDAHULUAN
Negara Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar, yang terletak diantara 2 benua (Benua Asia dan Australia), dan 2 Samudera (Samudera Hindia dan Samudera Pasifik). Secara Geologi Negara Indonesia merupakan jalur pertemuan dari 3 lempeng besar di dunia yaitu Lempeng Indo-Australia di sebelah Selatan - Barat Daya - Barat, Lempeng Eurasia di sebelah Utara dan Lempeng Pasifik di sebelah Timur Laut. Interaksi antar lempeng-lempeng ini membentuk suatu fenomena-fenomena geologi yang berupa proses pengangkatan kerak bumi ke permukaan yang disebut dengan proses tektonik lempeng, dimana di dalam proses ini dibagi menjadi 3 bentukan yaitu (1) daerah depan busur gunungapi (f ore arc basin) berupa daerah pantai dan pesisir; (2) daerah vulkanik (magmatic arc); dan (3) daerah belakang busur vulkanik (back arc basin) (Wacana, 2004). Proses-proses ini membentuk fenomena-fenomen geologi seperti halnya perbukitan, gunungapi, lembah, dataran dan fenomena alam lainnya. Proses geologi terus akan berlangsung di bumi untuk mencapai suatu titik keseimbangan yang merupakan suatu siklus geologi atau bumi. Selama proses-proses ini berjalan tidak heran kalau negara Indonesia disebut sebagai supermaket ancaman atau bahaya geologi yang beruapa bahaya gempa, tsunami, gunungapi, longsor, banjir, badai dan sebagainya (Wacana, 2008). Menurut Mac Donald (1972), gunungapi adalah tempat atau lubang keluarnya bahan pijar atau gas yang berasal dari dalam bumi ke permukaan bumi. Matahelemual (1982 dalam Azwar, dkk, 1987) mengartikan gunungapi sebagai bentuk timbulan kumpulan bahan letusan di muka bumi yang berasal dari magma yang tersebar secara sendiri, berkelompok, atau berantai. Sementara itu Montgometry (1989, dalam Azwar, dll, 1987) menyatakan bahwa gunungapi adalah tempat keluarnya magma, abu, dan gas hasil erupsi atau struktur yang dibentuk di sekitar pusat lubang volkan karena aktifitas erupsi (Anonim, 2002). Gunungapi Merapi merupakan satu yang teraktif dari 129 gunungapi yang ada di Indonesia yang terletak 30 km sebelah Utara kota Yogyakarta tepatnya berada di perbatasan 2 Propinsi yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Tengah dengan koordinat 732,5'LS dan 11026,5' BT. Wilayah bahaya Gunungapi Merapi mencakup 4 kabupaten yaitu Sleman, Klaten, Boyolali, dan Magelang . Gunungapi Merapi mempunyai ketinggian 2968 meter dari permukaan air laut

Sekti Mulatsih, Program Studi Ilmu Lingkungan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Tugas Fisiografi Lingkungan, 2008

(pengukuran tahun 2001), merupakan gunungapi tipe strato dengan kubah lava (Sumber : Pusat Vulkanologi danMitigasi Bencana Geologi, DESDM) (LAPAN, 2006). Berdasarkan letusannya Gunungapi Merapi dicirikan dengan periode letusan yang pendek dan dikenal sebagai Erupsi Tipe Merapi dan bersifat efusif. Karateristik khas dari tipe ini adalah pertumbuhan kubah lava di puncak gunungapi. Kubah lava ini tumbuh semakin besar menumpang di atas bidang miring sehingga

kedudukannya menjadi tidak stabil. Pada akhirnya kubah lava tersebut longsor membentuk awan panas (nuee ardante) yang berupa luncuran lava pijar yang bercampur dengan massa abu dan gas vulkanik (Bronto, 2003 dalam Wacana, 2008). Tipe Merapi dicirikan oleh lavanya yang kental dan bersifat basalt, dapur magma relatif dangkal dan tekana gas agak rendah. Karena sifat magmanya tersebut, maka terbentuk sumbat atau kubah lava, sementara bagian bawah dari sumbat lava tersebuta akan cenderung dalam keadaan masih cair. Kubah lava yang gugur akan menyebabkan terjadinya awan panas guguran. Jika semakin tinggi tekanan gas karena pipa kepundan tersumbat, maka akan menyebabkan terjadinya letusan dan akan membentuk awan panas letusan (Anonim, 2002). Diantara berbagai jenis bahaya gunungapi Merapi, maka awan panas adalah yang paling berbahaya. Hal ini dikarenakan awan panas mengalir sangat cepat (60 100 km/jam) dan bersuhu tinggi (300 7000C). Gerakan aliran ini jauh lebih cepat dari orang lari apalagi di lereng gunungapi biasanya berupa jalan setapak sehingga tidak mungkin menyelamatkan diri pada saat kejadian. Bagi penduduk atau pengunjung yang kebetulan berada di atas bukit di kawasan rawan bencana apabila terkena hembusan awan panas maka dapat mati hangus atau minimal luka bakar yang jika sembuh akan berakibat cacat tubuh secara permanen. Sedangkan bagi korban yang berada di dalam lembah aliran sungai maka tubuh akan hancur lebur tidak bersisa atau terkubur menjadi arang di bawah endapan awan panas yang tebal (Bronto dkk, 2003).

B. BAHAYA GUNUNGAPI MERAPI


Menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, berdasarkan kegiatannya bencana gunungapi dibagi menjadi 2 yaitu bahaya primer yang meliputi aliran lava, aliran piroklastik atau awan panas, lontaran abu, jatuhan piroklastik (lapili, pasir, dan abu), dan bahaya sekunder yaitu lahar dan longsoran tubuh gunungapi (longsoran tubuh gunungapi sebagai akibat proses alterasi hidrotermal). Dan berdasarkan mekanismenya bahaya gunungapi dibagi menjadi 2 yaitu bahaya langsung dan bahaya tidak langsung. Bahaya langsung adalah bahaya yang

Sekti Mulatsih, Program Studi Ilmu Lingkungan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Tugas Fisiografi Lingkungan, 2008

ditimbulkan oleh erupsi gunungapi secara langsung yaitu berupa aliran lava, awan panas, gas racun, dan tsunami gunungapi. Bahaya tidak langsung adalah bahaya yang terjadi sebagai efek tidak langsung dari proses erupsi yaitu lahar hujan yaitu banjir lumpur yang disertai dengan batu-batu besar karena terbawanya material hasil letusan yang ada di puncak oleh air hujan menuruni lereng melalui lembah-lembah. Potensi bahaya erupsi Gunungapi Merapi dibedakan menjadi bahaya primer dan bahaya sekunder. Bahaya primer adalah bahaya yang langsung ditimbulkan oleh aktivitas erupsi gunungapi yang terbentuk oleh proses aliran permukaan dengan mekanisme aliran debris-piroklastik yang mengalir dengan campuran partikel padat dan gas konsentrasi tinggi yang panas (Cas dan Wright, 1987), sedangkan bahaya sekunder adalah bahaya yang ditimbulkan oleh adanya pengendapan material piroklastik di bagian puncak berupa breksi gunungapi yang diangkut oleh air dengan aliran rombakan bahan gunungapi (volcanic debris flow), atau masa campuran rombakan bahan gunungapi dan air yang mengalir dan disebut dengan lahar dingin (Bemmelem, 1949 dalam Wacana, 2008). Berthommier, 1990 membagi pembentukan Merapi dalam 5 tahap, yaitu Pra Merapi (>400.000 tahun yang lalu), Merapi Tua berumur antara 400.000 sampai 6.700 tahun yang lalu, kemudian tahap ketiga adalah Merapi Menengah antara 6.700 2.200 tahun yang lalu, Merapi Muda 2.200 600 tahun yang lalu dan Merapi Sekarang sejak 600 tahun lalu (LAPAN, 2006). Frekuensi letusan Gunungapi Merapi bervariasi secara siginifikan. Sejak 4000 sampai 250 tahun yang lalu, sekitar 33 letusan teramati dalam catatan stratigrafi. Namun jumlah ini hanya mencakup letusan vertikal yang menghasilkan endapan jatuhan dan tidak termasuk letusan yang terjadi akibat guguran kubah lava. Letusan-letusan tersebut bersekala kecil sampai besar, 7 diantaranya merupakan letusan besar. Letusan besar diperkirakan terjadi sekali dalam 150 500 tahun dengan rata-rata sekali dalam 400 tahun. Sedangkan secara keseluruhan, frekwensi letusan yang signifikan terjadi di Gunungapi Merapi adalah 80 tahun sekali. Bila dibandingkan dengan frekuensi letusan yang sekarang, periode waktu diam tersebut lebih panjang, yang berarti letusan yang diakibatkannya lebih besar. Sebaliknya letusan yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa letusan dengan indeks letusan 3 terjadi rata-rata 30 tahun, dengan latusan kecil terjadi sekali dalam 2 sampai 7 tahun (Andreastuti, 2003). Semenjak thun 1548 2001, Gunungapi Merapi telah melakukan kegiatan sedikitnya 80 kali dengan waktu istirahat bervariasi antara 1 7 tahun dan waktu istirahat panjang mencapai 13 tahun, sedangkan yang terjadi pada periode letusan

Sekti Mulatsih, Program Studi Ilmu Lingkungan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Tugas Fisiografi Lingkungan, 2008

tahun 1548 1587 mencapai 71 tahun. Semakin berumur muda kegiatan Merapi menunjukkan waktu istirahat yang pendek antara 1 4 tahun. Sayudi dkk (1991) menyebutkan dari hasil analisis statistik terhadap letusan tahun 1548 1986 menghasilkan 2 fase yang berbeda, yaitu fase pertama (periode 1548 1812) dan fase kedua (1813 1986). Pada fase pertama mengalami durasi yang berulang dari panjang ke pendek, sedangkan fase kedua menunjukkan penurunan dari periode istirahat (Yudiantoro, 2003). Jenis bahaya Gunungapi Merapi yang paling banyak membawa korban manusia adalah jenis awan panas, baik awan panas letusan ataupun awan panas guguran. Bencana ini selalu menghantui penduduk di kawasan Gunungapi Merapi khususnya bagi penduduk yang tinggal di sisi Barat. Dari kejadian letusan satu dengan kejadian letusan berikutnya seringkali mempunyai tanda-tanda letusan yang berbeda, sehingga sangat memerlukan kejelian dalam menentuan mitigasi (pengurangan resiko kerugian) bencana (Yudiantoro, 2003). Menurut Sparks (1976 dalam Bronto, 2003) awan panas didefinisikan sebagai a lateral movement of pyrocalsts as a gravity controlled, which may in some instances be partly fluidized. Sementara itu Cas dan Wright (1992 dalam Bronto, 2003) mendifinisikan awan panas sebagai a hot, variably fluidised, gas rich, high particle concentration mass flow of pyroclastic debris. Dari batasan tersebut diketahui bahwa awan panas merupakan aliran massa dalam bentuk padat dan gas, serta mungkin meleleh karena bersuhu tinggi (3000C - 7000C) bergerak lateral menuruni lereng gunungapi dengan kecepatan tinggi (60 100 km/jam). Bahan padat berupa rempah gunung api terdiri dari material lepas berbagai ukuran mulai dari abu (/<2mm) hingga bongkah (/<64mm). Bahan padat berbutir kasar lebih banyak mengendap di cekungan atau lembah sungai sesuai pengaruh gravitasi. Awan panas yang lebih banyak mengandung gas daripada bahan padat disebut pyroclastic surge atau blast atau hembusan gas bercampur abu gunungapi (Bronto, 2003). Di gunungapi Merapi dikenal ada 2 jenis awan panas yaitu awan panas guguran dan awan panas letusan, perbedaan ini didasarkan pada genesanya. Secara definisis, awan panas adalah bualan gas panas (2000C 6000C) yang bercampur dengan material vulkanik yang berukuran bongkah sampai abu sebagai akibat longsornya kubah lava atau runtuhnya kolom asap letusan yang bergulunggulung seperti awan bergerak dengan kecepat tinggi (100 300 km/jam) meluncur menjauhi pusat letusan menyusuri lereng. Material yang berukuran kasar block dan ash (campuran bongkah batuan dan abu gunungapi) diendapkan pada lembahlembah sungai, sedangakan yang berukuran abu menyebar secara lateral menutupi

Sekti Mulatsih, Program Studi Ilmu Lingkungan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Tugas Fisiografi Lingkungan, 2008

punggungan mengikuti arah angin saat terjadi letusan. Dari data kejadian awan panas selama 1900 2001 jarak luncuran awan panas sangat bervariasi yaitu antara 1 12 km. Dengan bervariasinya jarak luncuran ini, Bronto dkk (1996) membagi jarak luncuran awan panas dari asal sumber menjadi 5 bagian yaitu jarak sangat pendek ( 3km), pendek (3 7km), sedang (7 10km), panjang (10 15km), dan sangat panjang (>15km) (Yudiantoro, 2003). Awan panas Merapi paling banyak mengarah ke Barat sedang variasi pergeseran ke Baratdaya dan Tenggara jarang terjadi, sedang ke arah Timur dan Utara belum pernah terjadi. Pada tahun 1954 1956 kegiatan gunungapi Merapi pernah mengarah ke Utara tetapi karena kondisi morfologi lereng atas bagian Utara ada pematang Gunung Merapi Tua yaitu Pusunglodon-Pasarbubar, maka aliran awan panas pada saat itu membelok ke Barat Laut mengikuti K. Apu. Secara rinci perubahan arah luncuran awan panas sangat dipengaruhi oleh topografi Puncak Gunungapi Merapi. Setelah munculnya kubah lava 1984 maka berbentuk 2 cleah yaitu celah Barat Laut, antara pematang kawah Barat Laut dengan dengan kubah lava 1984, dan celah Barat Daya, antara kubah lava 1984 dengan pematang kawah Selatan sering disebut kubah geger buaya (Bronto dkk, 2003). Dengan mengkorelasikan jarak luncuran awan panas terhadap jumlah korban diketahui bahwa selama periode 1920 1930 hanya terjadi 1 kejadian letusan yaitu pada tahun 1930 dengan jumlah korban 1369 jiwa, jarak luncuran awan panas mencapai 7 14km ke arah Barat yaitu K. Blongkeng, K Lamat, dan K. Senowo. Sedangkan pada periode 1990 2000 terdapat 4 kejadian letusan yaitu tahun 1992, 1994, 1997, dan 1998 masing-masing jarak luncur awan panas pendek (3 7km) ke arah Barat (K. Senowo, K Lamat, dan K. Putih), tidak menimbulkan korban jiwa kecuali letusan 1994 yang menimbulkan korban cukup banyak yaitu 66 jiwa (Yudiantoro, 2003). Untuk mengetahui arah luncuran awan panas yang akan datang maka pengamatan topografi dan perkembangan pertumbuhan kubah lava di daerah puncak dan sekitarnya secara rutin mutlak harus dilakukan. Namun demikian jika kegiatan gunungapi Merapi yang sangat sering itu berhenti dengan masa istirahat melampaui 7 hingga 10 tahun maka perlu diambil langkah-langkah antisipatif untuk menanggulangi kegiatan yang beresiko bahaya lebih besar (Bronto dkk, 2003). Pada erupsi tahun 2006 perubahan arah deformasi secara dinamis memberikan prediksi yang sama ke semua arah, tetapi setelah runtuhnya geger boyo pada tanggal 14 Juni 2006 menunjukkan bahwa arah ancaman cenderung ke Selatan tepatnya pada alur Kali Gendol, dan pada puncaknya pada tanggal 16 Juni

Sekti Mulatsih, Program Studi Ilmu Lingkungan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Tugas Fisiografi Lingkungan, 2008

2006 erupsi besar awan panas melalui alur Kali Gendol mencapai 7 Km dari puncak ke arah tempat Wisata Kaliadem dan menelan 2 korban yang masuk ke dalam bungker. Sifat bahaya dipengaruhi oleh kondisi morfologi dan lereng, awan panas mengalir melalui alur-alur sungai, kecepatan luncur sangat di pengaruhi oleh kimiringan lereng, semakin curam maka luncurannya akan semakin cepat sehingga desa yang berada di sekitar kurang dari 250 meter sebelah kiri dan kanan dan yang berada pada daerah belokan serta pada alur sungai yang memiliki tebing tinggi seperti tebing lava yang berada di bagian hulu alur Sungai Boyong mempunyai potensi risiko bencana yang sangat tinggi. Bahaya lahar dingin akan terakumulasi di lereng-lereng bagian hilir dengan morfologi landai datar sehingga berpotensi risiko bencana terutama di desa-desa yang berada kurang dari 300 meter alur sungai dan lahan-lahan pertanian yang ada di sepanjang alur sungai (Wacana, 2008). Endapan material piroklastik berupa bahan lepas dengan gradasi mulai dari abu vulkanik, pasir, kerikil, kerakal, dan batu-batu besar yang mengendap di lereng berkemiringan terjal, bila bercampur air hujan akan menjadi tidak stabil, mudah runtuh, longsor, dan berubah menjadi aliran lahar. Aliran lahar akan mengalir masuk ke alur sungai di sekitarnya dan meluncur ke hilir dengan kecepatan tinggi, mengangkut batu-batu, kerikil, dan pasir serta abu vulkanik yang mempunyai sifat merusak. Abu vulkanik ini akan mempercepat gerak aliran lahar karena berfungsi sebagai pelicin diantara batu-batu, kerikil, dan pasir. Bencana sedimen semacam ini dalam bahasa Jepang disebut dengan istilah Sabo yang berasal dari kata sa (sand = pasir) dan bo (prevention = pengendalian) dan arti secara umum ialah pengendalian erosi dan sedimentasi yang disebabkan bencana sedimen. Yang termasuk bencana sedimen ialah banjir lahar dingin dengan material berasal dari hasil letusan gunungapi, longsoran, maupun erosi dasar sungai yang teangkut masuk alur sungai sehingga menyebabkan pendangkalan sungai, kerusakan lingkungan, dan

menimbulkan kerugian harta benda bahkan korban jiwa (Djamal, 2003). Awalnya terjadinya aliran lahar ditentukan oleh beberapa parameter seperti kemiringan lereng, berat jenis sedimen dan air, diameter sedimen, kedalaman air, dan sudut geser dalam. Aliran debris akan terjadi bila kemiringan dasar lereng lebih besar atau sama dengan kemiringan dasar kritik. Aliran debris berupa campuran sedimen dan air yang bergerak sama-sama dalam gerakan massa Aliran gravitasi sedimen aliran lahar dapat berupa aliran lumpur atau disebut aliran gravitasi sedimen bila kemiringan kritik. Pada penampang

Sekti Mulatsih, Program Studi Ilmu Lingkungan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Tugas Fisiografi Lingkungan, 2008

memanjang aliran dapat terlihat lapisan sedimen yang bergerak bersamasama di bawah permukaan air. Angkutan muatan dasar merupakan aliran individu dimana sedimen bergerak di dasar sungai mengikuti arah aliran dengan cara mengguling, menggelinding, meloncat, atau menggeser pada dasar sungai. Angkutan sedimen dasar terjadi apabila kemiringan dasar sungai kecil (Djamal, 2003).

C. PEMBAGIAN DAERAH BAHAYA


Berdasarkan analisis dan pemetaan geomorfologis terhadap kawasan Gunungapi Merapi dari data Landsat ETM+ tanggal 6 September 2002, Kondisi geomorfologis Gunungapi Merapi dikelompokkan ke dalam sepuluh bentuklahan, yaitu ; Kawah Aktif, Sumbat Lava, Vulcanic Neck atau Leher Gunungapi, Lereng Gunungapi, Lembah Barranco, Kaki Gunungapi, Dataran Kaki Gunungapi, Dataran Gunungapi, Medan Lava dan Teras Sungai Erosional (LAPAN, 2006). Tingkat kerentanan tiap-tiap bentuklahan terhadap bencana Gunungapi Merapi dikelaskan ke dalam tiga tingkat, yaitu sangat rentan, rentan, dan kurang rentan. Masing-masing yaitu tingkat sangat rentan meliputi Kawah Aktif, Sumbat Lava, dan Medan Lava, tingkat rentan meliputi Leher Gunungapi, Lereng Gunungapi, Lembah Barranco, Teras Sungai Erosional, sedangkan untuk tingkat kurang rentan meliputi Kaki Gunungapi, Dataran Kaki Gunungapi, dan Dataran Gunungapi. Untuk keperluan mitigasi bencana alam, berdasarkan interpretasi citra, kompleks Gunungapi Merapi menunjukkan daerah daerah yang termasuk Daerah Terlarang, Bahaya I dan Bahaya II. Daerah-daerah tersebut dominan terdapat di lereng bagian Barat daya dan sekitarnya yang secara administrasi termasuk wilayah Kabupaten Magelang (Kecamatan Dukun dan Srumbung). Selain itu juga mengarah ke Kabupaten Boyolali (Kecamatan Selo dan Musuk) dan Klaten (Kecamatan Manisrenggo dan Kemalang) Provinsi Jawa Tengah dan sebagian mengarah ke wilayah Kabupaten Sleman (Kecamatan Turi, Cangkringan dan Pakem) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Gambar 1) (LAPAN, 2006)

Sekti Mulatsih, Program Studi Ilmu Lingkungan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Tugas Fisiografi Lingkungan, 2008

Gambar 1. Citra Landsat-7 ETM+ Kompleks Gunungapi Merapi tanggal 6 September 2002 (Sumber: LAPAN)

REFERENSI
Anonim, 2002. Petunjuk Praktikum Geomorfologi. Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Andreastuti, 2003. Sejarah Letusan Gunung Merapi, Pernahkah Letusan Besar Terjadi?. Ikatan Ahli Geologi (IAGI) Pengurus Daerah Jogjakarta-Jawa Tengah. Bronto, 2003. Gunung Merapi: Antara Manfaat dan Bahaya. Ikatan Ahli Geologi (IAGI) Pengurus Daerah Jogjakarta-Jawa Tengah. Bronto. Dkk, 2003. Variasi Luncuran Awan Panas Merapi dan Bahayanya. Ikatan Ahli Geologi (IAGI) Pengurus Daerah Jogjakarta-Jawa Tengah. Djamal, 2003. Sabo Dam dan Peranannya untuk Pengendalian Banjir Lahar di Wilayah Gunung Merapi Jawa Tengah. Ikatan Ahli Geologi (IAGI) Pengurus Daerah Jogjakarta-Jawa Tengah. Kusumayudha, 2003. Mekanika Guguran Lava dan Awan Panas Merapi. Ikatan Ahli Geologi (IAGI) Pengurus Daerah Jogjakarta-Jawa Tengah. LAPAN, 2006. Pemantauan Peningkatan Aktivitas Gunungapi Merapi (Tahun 2006) berdasarkan Citra Satelit Penginderaan Jauh. Bidang Pemantauan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh LAPAN http://www.rs.lapan.go.id/SIMBA Wacana, 2008. Laporan Ekskursi Ancaman Pekan Pengurangan Risiko Bencana Propinsi D.I Yagyakarta dan Jawa Tengah. Pusat Studi Bencana Alam Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta. Yudiantoro, 2003. Mensikapi Kelakuan Gunung Merapi : Studi Kasus Letusan Abad 20. Ikatan Ahli Geologi (IAGI) Pengurus Daerah Jogjakarta-Jawa Tengah.

Sekti Mulatsih, Program Studi Ilmu Lingkungan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

You might also like