Professional Documents
Culture Documents
PTERIGIUM
Disusun Oleh : ANNISA MARSHA EVANTI IBNU YUDISTIRO ALDILA A NARWIENDA G99122016 G99122058 G99122011
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA 2013
BAB I PENDAHULUAN
Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskuler, tak berwarna dan hampir transparan sempurna. Lensa memiliki ukuran tebal sekitar 4 mm dan diameter 9 mm. Lensa terdiri dari tiga bagian, yaitu nucleus, kortek dan kapsul. Kapsul lensa adalah membran semipermeabel yang menyebabkan air dan elektrolit dapat masuk. Nucleus lensa lebih tebal dari korteksnya. Semakin bertambahnya usia, laminar epitel supkapsuler terus diproduksi sehingga lensa semakin besar dan kehilangan elastisitasnya. Fungsi utama lensa adalah memfokuskan berkas cahaya ke retina melalui kemampuan akomodasinya. Lewat kemampuan ini, kita mampu melihat benda yang jauh ataupun yang dekat. Namun seiring dengan bertambahnya usia, lensa dapat mengalami berbagai gangguan seperti kekeruhan, gangguan akomodasi, distorsi dan dislokasi. Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa ataupun akibat keduanya. Katarak memiliki derajat kepadatan yang sangat bervariasi dan dapat disebabkan oleh berbagai hal, tetapi biasanya berkaitan dengan proses degenatif. Kekeruhan lensa pada katarak dapat mengenai kedua mata dan berjalan progresif ataupun dapat tidak mengalami perubahan dalam waktu yang lama. Kekeruhan lensa ini mengakibatkan lensa tidak transparan sehingga pupil akan berwarna putih atau abu-abu. Pasien dengan katarak mengeluh penglihatan seperti berasap dan tajam penglihatan yang menurun secara progresif. Berdasarkan usia penderitanya, katarak dapat diklasifikasikan menjadi katarak kongenital yang sudah terlihat pada usia dibawah 1 tahun, katarak juvenile yang terjadi sesudah usia 1 tahun dan katarak senilis yang mengenai orang-orang berusia diatas 50 tahun. Diantara ketiganya, katarak senilis merupakan jenis katarak yang paling sering terjadi. Katarak senilis adalah kekeruhan lensa yang terdapat pada usia lanjut, yaitu usia di atas 50 tahun. Katarak senilis dapat dibagi kedalam 4 stadium, yaitu katarak insipien, katak imatur, katarak matur dan katarak hipermatur. Katarak
insipient merupakan stadium katarak yang paling awal dan belum menimbulkan gangguan visus. Pada katarak imatur, kekeruhan belum mengenai seluruh bagian lensa sedangkan pada katarak matur, kekeruhan telah mengenai seluruh bagian lensa. Sementara katarak hipermatur adalah katarak yang mengalami proses degenerasi lanjut, dapat menjadi keras atau lembek dan mencair.
I. IDENTITAS Nama Umur Jenis Kelamin Agama Pekerjaan Alamat : Ny. S : 49 tahun : Perempuan : Islam :: Jalan Kauman Gang Matoa No 1 RT/RW: 02/04 Klapaga Maos Cilacap Jawa Tengah Tgl Pemeriksaan No. RM : 10 April 2013 : 01 18 91 65
II. ANAMNESIS A. Keluhan utama Terdapat selaput pada mata kanan dan kiri pasien. B. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke poliklinik mata RS Dr. Moewardi dengan keluhan terdapat selaput berwarna putih pada mata kanan dan kiri. Keluhan ini dirasakan oleh pasien sejak 5 tahun yang lalu. Selaput timbul pada mata ............ baru diikuti pada mata ...... pada....... Keluhan yang dirasakan pasien adalah gatal (+) dan keluhan dari segi kosmetik. Keluhan lain berupa pandangan kabur (-), mata berair/ nerocos (-), sekret/ blobok (-), nyeri (-), cekot-cekot (-), mata merah (-), pusing (-), silau (-), dan mata terasa mengganjal (-). Riwayat pengobatan sebelumnya pasien telah periksa ke dokter sebelumnya pada 4 hari yang lalu, kemudian pasien diberikan obat tetes dan obat minum. Nama dan jenis obat tidak diketahui karena pasien tidak dapat memberikan informasi karena ketidaktahuan pasien. Pasien
disarankan untuk ke Poliklinik Mata Rumah Sakit Dr. Moewardi untuk membersihkan selaput yang ada pada kedua mata. C. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat Hipertensi Riwayat DM Riwayat trauma Riwayat alergi : (+) : disangkal : disangkal : disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga R. Hipertensi R. Kencing manis R. sakit serupa : disangkal : disangkal : disangkal
E. Kesimpulan Anamnesis
OD Proses Lokalisasi Susp degenerasi Konjungtiva dan dapat meluas ke kornea Sebab Perjalanan Komplikasi Idiopatik Kronis residif Belum diketahui OS Susp degenerasi Konjungtiva dan dapat meluas ke kornea Idiopatik Kronis residif Belum diketahui
III. PEMERIKSAAN FISIK A. Kesan Umum Keadaan umum baik, compos mentis, gizi kesan cukup T = 125/80 mmHg N = 81x/1menit Rr = 20x/1menit S = 36,3oC
B. Pemeriksaan subyektif Visus sentralis jauh Pinhole Koreksi Refraksi Visus Perifer 6/6
OD 6/7
OS
Konfrontasi test
tidak dilakukan
tidak dilakukan
C. Pemeriksaan Obyektif Sekitar mata Tanda radang Luka Parut Kelainan warna Kelainan bentuk Supercilium Warna Tumbuhnya Kulit Geraknya hitam normal sawo matang dalam batas normal hitam normal sawo matang dalam batas normal tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada
Pasangan Bola Mata dalam Orbita Heteroforia Strabismus Pseudostrabismus Exophtalmus Enophtalmus Anopthalmus Ukuran bola mata Mikrophtalmus Makrophtalmus Ptisis bulbi Atrofi bulbi Buftalmus Megalokornea Gerakan Bola Mata Temporal superior Temporal inferior normal normal normal normal tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada
Temporal Nasal Nasal superior Nasal inferior Kelopak Mata Gerakannya Lebar rima Blefarokalasis Tepi kelopak mata Oedem Margo intermarginalis Hiperemis Entropion Ekstropion Sekitar saccus lakrimalis Oedem Hiperemis Sekitar Glandula lakrimalis Odem Hiperemis Tekanan Intra Okuler Palpasi Tonometer Schiotz Konjungtiva Konjungtiva palpebra Oedem Hiperemis Sikatrik Konjungtiva Fornix Oedem Hiperemis
tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada
tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada
tidak ada
tidak ada
Caruncula dan Plika Semilunaris Oedem Hiperemis Sikatrik Sklera Warna Penonjolan Cornea Ukuran Limbus Permukaan Sensibilitas Medium Belakang Keratoskop (Placido) Fluoresin Test Kamera Okuli Anterior Isi Kedalaman Iris Warna Gambaran Bentuk Sinekia Anterior coklat spongious bulat tidak ada coklat spongious bulat tidak ada jernih normal jernih normal 12 mm jernih rata, mengkilap normal dalam batas normal dalam batas normal tidak dilakukan tidak dilakukan 12 mm jernih rata, mengkilap normal dalam batas normal dalam batas normal tidak dilakukan tidak dilakukan putih tidak ada putih tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada
Sinekia Posterior Pupil Ukuran Bentuk Tempat Reflek direct Reflek indirect Reflek konvergensi Lensa Ada/tidak Kejernihan Letak Shadow test Corpus vitreum Kejernihan
tidak ada
tidak ada
tidak dilakukan
tidak dilakukan
IV. KESIMPULAN PEMERIKSAAN OD Visus sentralis jauh Pinhole Koreksi Refraksi Visus sentralis dekat Sekitar mata Supercilium Pasangan bola mata dalam orbita Ukuran bola mata Gerakan bola mata dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal 6/6 tidak dilakukan tidak dilakukan tidak dilakukan tidak dilakukan dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal OS 6/7 tidak dilakukan tidak dilakukan tidak dilakukan tidak dilakukan dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal
Tekanan IntraOkuler Konjunctiva bulbi Sklera Kornea Arcus senilis Camera oculi anterior Kedalaman Iris Pupil Lensa Kejernihan Letak Shadow test Corpus vitreum
dalam batas normal pterigium (+) dalam batas normal terdapat selaput (-)
dalam batas normal pterigium(+) dalam batas normal terdapat selaput (-)
IX. PROGNOSIS OD Ad vitam Ad sanam Ad fungsionam Ad kosmetikum bonam bonam bonam bonam OS
X. GAMBAR
2.1 Definisi Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga, yang tumbuh dari konjungtiva ke arah kornea pada daerah interpalpebra. 2.2 Patogenesis Etiologi pterigium belum jelas diketahui dan mekanisme patologisnyapun belum diketahui secara sempurna; hanya terdapat banyak teori yang mencoba mengemukakan tahap patogenesis dari penyakit ini, dan teori-teori tersebut mencakup: 1. Paparan Terhadap Sinar UV Radiasi UV-B mengaktivasi sel yang terletak dekat limbus. Aktivasi ini menyebabkan perubahan fenotipik dari populasi sel-sel epitel, pembentukan sitokin pro-inflamasi dan angiogenik serta pembentukan growth factors. Selain itu, terdapat peningkatan proliferasi dari jaringan akibat peningkatan pembentukan enzim metalloproteinase (MMP) dalam kadar yang lebih tinggi daripada tissue inhibitors. Hingga saat ini, teori ini dianggap salah satu yang paling baik untuk menjelaskan bagaimana terjadinya pterygium. Radiasi UV dengan panjang gelombang 290-320nm dapat diabsorpsi secara selektif oleh epitel dan lapisan subepitel. Selain itu, paparan kronis terhadap sinar UV (terumata UV-B) dengan dosis rendah dapat merusak mata secara permanen karena menyebabkan degenerasi dan
neovaskularisasi pada membran Bowmann dan lamellae stroma. 2. Mikrotrauma akibat asap dan debu: Menyebabkan kerusakan dari tear film Universitas Universitas Sumatera Sumatera Utaramata. Tear film mempunyai fungsi untuk melindungi dan
memberi lubrikasi pada kornea dan konjungtiva, sehingga kerusakan pada tear film membuat permukaan mata rentan terhadap inflamasi. 3. Teori defisiensi Limbal Stem Cells Beberapa tahun yang lalu, limbus dianggap hanya sebagai sebuah zona transisi antara kornea, sklera dan konjungtiva. Akan tetapi Thoft dalam Tan mengemukakan bahwa permukaan okuler adalah suatu kontinuum, yang terus berganti. Ketika terdapat defisiensi pada limbal stem cells, terjadi proses konjungtivalisasi pada permukaan kornea; konjungtiva bermigrasi melewati limbus untuk menggantikan defisiensi dari stem cells pada kornea. Tanda-tanda dari defisiensi limbal adalah kerusakan pada basement membrane, inflamasi kronik dan vaskularisasi. Karena ketiga tanda ini juga merupakan tanda khas dari pterygium, maka teori ini dianggap suatu mekanisme pathogenesis 2.3 Faktor Risiko Faktor risiko untuk pterygium dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu faktor risiko intrinsik dan faktor risiko ekstrinsik. Faktor risiko intrinsic mencakup kelainan herediter dan gangguan pada status gizi seperti defisiensi dari vitamin A. Karena penelitian ini memberi fokus pada faktor lingkungan seperti paparan terhadap sinar matahari, debu dan asap, maka faktor risiko ekstrinsik akan dibahas lebih dalam: 1. Paparan kronik dengan UV-B. Paparan terhadap sinar matahari, terutama UV-B menyebabkan pembentukan Interleukin-6 (IL-6) dan -8 mRNA (Di Girolamo et al, 2002). IL-6 adalah suatu sitokin dengan aktivitas angiogenik, kemotaktik dan memicu aktifitas proliferatif dari keratinosit, sehingga paparan yang sering terhadap UV-B merupakan suatu faktor risiko yang besar untuk terjadinya pterygium. 2. Paparan terhadap asap, debu dan pasir Pengemudi sepeda motor yang berkerja pada cuaca yang berdebu
mempunyai risiko terjadinya pterygium 11 kali lebih besar daripada orang yang berkerja didalam ruangan atau perkantoran Ini disebabkan oleh mikrotrauma akibat partikel debu pada tear film mata. 3. Infeksi mikrobial dan viral Sebagai contoh, infeksi oleh trakoma akan menyebabkan kompetisi terhadap komponen mukus pada tear film sehingga menyebabkan perubahan yang membuat konjungtiva rentan terhadap kerusakan akibat faktor lingkungan lain.
2.4 Gejala Klinis Pterigium muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea. Kira kira 90% pterigium terletak di daerah nasal. Kedua mata sering terlibat, tetapi jarang asimetris. Perluasan pterihium dapat sampai medial dan lateral limbus sehingga mengganggu penglihatan. Pada fase awal pasien mengeluhkan masalah kosmetik tetapi ketika pterigium mulai mencapai kornea dan menyebabkan astigmatisma irregular. Berdasarkan perjalanan penyakit pterigium dibagi menjadi 2 tipe: a. Progresif pterigium : tebal dan vascular dengan beberapa infiltrate di kornea di depan kepala pterigium b. Regresif pterigium : tipis, atrofi, sedikit vascular. Akhirnya menjadi membrane tetapi tidak pernah hilang Berdasarkan derajatnya pterigium dapat dibagi menjadi 1. Derajat 1 : Jika pterigium hanya sebatas pada limbus kornea 2. Derajat 2 : Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2mm melewati kornea 3. Derajat 3 : Jika pterigium sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal 4. Derajat 4 : Pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil dan mengganggu penglihatan
2.5 Diagnosis Pemeriksaan dan Penegakan Diagnosis 1. Anamnesis Menanyakan pasien tentang keluhan yang diderita, durasi keluhan, faktor risiko seperti pekerjaan, paparan sinar matahari dan lain-lain. 2. Pemeriksaan Fisik Melihat kedua mata pasien untuk morfologi pterygium, serta memeriksa visus pasien. Diagnosa dapat didirikan tanpa pemeriksaan lanjut. Anamnesa positif terhadap faktor risiko dan paparan serta pemeriksaan fisik yang menunjang anamneses cukup untuk membuat suatu diagnosa pterygium.. 3. Pemeriksaan Slit Lamp Jika perlu, dokter akan melakukan Pemeriksaan Slit Lamp untuk memastikan bahwa lesi adalah pterygium dan untuk menyingkirkannya dari diagnosa banding lain. Pemeriksaan slit lamp dilakukan dengan menggunakan alat yang terdiri dari lensa pembesar dan lampu sehingga pemeriksa dapat melihat bagian luar bola mata dengan magnifikasi dan pantulan cahaya memungkinkan seluruh bagian luar untuk terlihat dengan jelas
2.6 Diagnosis Banding - pinguekula - pseudopterigium 2.7 Penatalaksanaan 1. Farmakologis: Pada kasus ringan, kemerahan dan rasa perih dari pterygium dapat diatasi dengan tetes mata (air mata buatan). Pasien dapat diberikan: a.. Air mata buatan (GenTeal) Air mata artifisial dapat memberi lubrikasi okuler untuk pasien dengan
kornea yang irreguler akibat tumbuhnya pterygium. b.. Prednisolone acetate Suspensi kortikosteroid untuk penggunaan topikal. Penggunaan dibatasi pada mata dengan inflamasi yang signifikan dan tidak diatasi dengan lubrikan topikal. 2. Non-Farmakologis - Terapi Bedah Jika gejala mata merah, iritasi dan pandangan kabur tidak dapat ditangani dengan terapi tetes mata, atau penglihatan terpengaruh oleh pertumbuhan pterygium, maka terapi bedah perlu diusulkan. Dalam beberapa tahun, dokter bedah telah menggunakan beberapa teknik untuk mengurangi terhadinya ulang pterygium. Ini mencakup terapi radiasi dan penggunaan antimetabolite yang dapat mencegah pertumbuhan jaringan. Setiap dari teknik ini mempunyai risiko yang dapat mengancam kesehatan mata setelah terapi, seperti ulkus pada permukaan mata dan melelehnya kornea (corneal melting). a.. Conjunctival Autograft with Stitches (Autograf conjunctiva dengan penjahitan) Metode autograph konjunctiva digunakan karena risiko terjadinya pterygium ulang yang rendah. Dengan metode ini, pterygium dibuang dan diganti dengan jaringan yang diambil dari bagian bawah kelopak mata atas. Autograft dijahit dengan jahitan kecil yang akan larut setelah beberapa minggu, atau dapat dibuka oleh dokter bedah. Karena jahitan member pasien rasa tidak nyaman, telah dikembangkan teknik yang tidak memerlukan jahitan. b.. No-Stitch Pterygium/Autograft Surgery(Autograf conjunctiva tanpa penjahitan) Pada teknik ini, pasien diberi anastesi local pada mata agar pasien merasa nyaman. Jaringan korena abnormal diganti dengan graft tipis dari jaringan normal. Metode ini dapat dilakukan karena adanya lem jaringan. Lem ini terdiri dari protein pembeku darah.
2.8 Komplikasi a. Distorsi dan penglihatan sentral berkurang b. Merah c. Iritasi d. Scar e. Pada pasien yang belum excici, scar atau disinsersi otot rektus medialis dapat menyebabkan diplopia Komplikasi post eksisi pterigium a. Infeksi, reaksi bahan jahitan, diplopia, scar kornea, conjungtiva graft longgar dan komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata, vitreus hemorraghe atau retinal detachment b. Rekuren pterigium post operasi 2.9 Prognosis Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Pasien dengan rekuren pterigium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membrane amnion
BAB IV PEMBAHASAN
BAB V PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA Taylor, H.R., 1980 Aetiology of Climatic Droplet Keratopathy and Pterygium. In: British Journal of Opthalmology. International Center for Epidemiologic and Preventive Ophthalmology. Wilmer Ophthalmological Institute. Johns Hopkins Hospital, Baltimor
Tan, D.H., 2007. Patophysiology of Pterygium .In: Phillips. R, Carito. G. Pterygium Surgery. McGraw-Hill. 8: 29-30
Detorakis, E.T., Drakonaki, E.E., Spandidos, D.A. 2000. Molecular Genetic Alterations and Viral Presence in Ophthalmologic Pterygium In: International Journal of Molecular Medicine. Medical School, University of Crete, Heraklion.
Buratto, L,. Carito, G., Phillips R.L., 2007. Epidemiology. In: Phillips. R, Carito. G. Pterygium Surgery. McGraw-Hill. 3: 7-8
Buratto, L,. Carito, G., Phillips R.L., 2007. Differential Diagnosis of Pterygium. In: Phillips. R, Carito. G. Pterygium Surgery. McGraw-Hill. 10: 33-35