You are on page 1of 45

LAPORAN KASUS DEMAM TYPHOID

Penyusun: Tri Wahyuningsih 030.08.244 Pembimbing: dr. Stephanie Yulianto, SpA

FAKULTAS KEDOKTERAN UMUM UNIVERSITAS TRISAKTI KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA PERIODE 1 April 2013 8 Juni 2012 JAKARTA

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya penyusunan presentasi kasus dengan judul Demam Typhoid dapat saya selesaikan penyusunannya dalam rangka memenuhi salah satu tugas sebagai ko-asisten yang sedang menjalani kepaniteraan klinik ilmu kesehatan anak di Rumah Sakit Umum Daerah Koja periode 1 April 2013 sampai dengan 8 Juni 2013. Dalam menyelesaikan presentasi kasus ini, saya mengucapkan terima kasih kepada dr. Stephanie Yulianto,SpA selaku pembimbing dalam penyusunan presentasi kasus dan sebagai salah satu pembimbing selama menjalani kepaniteraan ini. Apabila terdapat kekurangan dalam menyusun presentasi ini, saya akan menerima kririk dan saran. Semoga presentasi kasus ini bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, 18 April 2013

Penyusun

BAB 1 PRESENTASI KASUS I. IDENTITAS A. Identitas Pasien Nama Umur Jenis Kelamin Tempat/Tanggal Lahir Agama Alamat No CM Tanggal masuk RS B. Identitas Orang tua Ayah Nama Agama Alamat Pekerjaan Pendidikan terakhir Penghasilan Ibu Nama Agama : Ny. T : Islam : Tn. S : Islam : Jl. Baru no 05A kel. Kali baru kec. Cililitan : Nelayan : SD : Rp.1.500.000/bulan : An. D : 13 tahun : laki-laki : Jakarta, 16 Desember 1999 : Islam : Jl. Baru no 05A kel. Kali baru kec. Cililitan : 1304004454 : 05 April 2013

Alamat Pekerjaan Pendidikan terakhir Penghasilan: -

: Jl. Baru no 05A kel. Kali baru kec. Cililitan : Ibu rumah tanggga : SMP

Hubungan dengan orang tua Suku bangsa/bangsa ANAMNESIS

: Anak kandung/anak tiri/anak asuh : Sunda

Anamnesis dilakukan secara alloanamnesa dengan ibu kandung pasien, pada tanggal 7 April 2013, pukul 13.00 wib KELUHAN UTAMA : Demam sejak 4 SMRS KELUHAN TAMBAHAN : Mual disertai Muntah muntah, lemas, perut terasa sakit, kepala terasa pusing RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG: Pasien datang ke UGD RSUD Koja dengan keluhan demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS), demam naik turun, demam tinggi pada malam hari dan turun pada pagi hari (suhu tidak diukur dengan thermometer).selama demam pasien tidak menggigil, tidak ada kejang, tidak keluar keringat malam. Muntah sejak 4 hari SMRS, muntah dengan frekuensi lebih dari 5 kali sehari denga isi muntahan berupa air berjumlah 1/4 agua gelas, disertai mual, nyeri perut dan tidak nafsu makan. Pasien juga mengeluh seluruh badan terasa lemas, kepala terasa pusing. Pasien belum Buang air besar sejak kurang lebih 4 hari SMRS, Buang air kecil dalam batas normal. Mimisan tidak ada, keluar darah dari gusi tidak ada, timbul bintik-bintik di badan tidak ada. Sebelumnya, 3 hari SMRS pasien sudah berobat ke puskesmas karena keluhan demamnya, diberikan paracetamol syrup namum kondisi pasien tidak membaik. Sebelum sakit pasien memiliki kebiasaan sering makan jajanan di pinggir jalan dan disekolahnya.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU: Pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Pasien tidak mempunyai allergi obat dan makanan, Pasien pernah di rawat di Rumah Sakit sebelumnya karena menderita Tuberkulosis Paru (TB paru) tahun 2002, saat usia pasien 2 tahun. Pasien menjalani pengobatan TB dengan OAT selama 8 bulan dan telah dinyatakan sembuh. Pasien tidak pernah menderita penyakit kejang, kejang demam, cacingan, infeksi di kulit, Morbili, Varicella, Riwayat trauma disangkal. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA Di keluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit menular ataupun riwayat penyakit keturunan. RIWAYAT KEHAMILAN DAN KELAHIRAN Morbiditas kehamilan Periksa ke Puskesmas setiap 1 bulan sekali Kehamilan sampai usia kehamilan (UK) 5 bulan. Perawatan Antenatal 2 kali sebulan saat UK 7 bulan. 2 kali seminggu saat memasuki UK 9 bulan. Tempat Kelahiran Penolong persalinan Cara persalinan Masa gestasi Kelahiran Keadaan bayi Puskesmas Kali Baru Bidan Spontan Cukup Bulan Berat lahir: 2500 gram Panjang lahir: 50 cm Lingkar kepala: Langsung menangis Nilai Apgar: Tidak ada kelainan bawaan Kesan: Riwayat kehamilan dan kelahiran pasien baik. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :

Pertumbuhan gigi 1: Umur 5 bulan Psikomotor Tengkurap Duduk Berdiri : 6 bulan : 7 bulan : 10 bulan Berjalan Bicara : 12 bulan : 10 bulan

Membaca dan menulis: 6 tahun

Perkembangan Pubertas - Rambut Pubis - Payudara - Menarche : berkembang : tidak berkembang : belum berkembang

Gangguan Perkembangan Mental/Emosi : tidak ada

Kesan: Riwayat pertumbuhan dan perkembangan pasien baik. RIWAYAT MAKANAN


Umur 0 2 tahun

Umur (bulan) 0-2 2-4 4-6 6-8 8-10 10-12 2 tahun


Umur diatas 2 tahun

ASI/PASI + + + + + + +

Buah/Biskuit

Bubur Susu

Nasi Tim

+ + + +

+ + + +

+ +

Jenis Makanan Nasi/Pengganti Sayur Daging Telur Ikan Tahu Tempe Susu (merk/takaran) Lain-lain
Kesulitan makan : -

Frekuensi dan Jumlah 3x/hari, 1 centong nasi 2x/hari, 3 sendok makan 2-3x/minggu 3x/minggu 3x/minggu 3x/minggu Jarang (<1x/minggu) Jarang (<1x/minggu) -

Kesan: Kesan pola makan baik dan cukup bervariasi

RIWAYAT IMUNISASI Waktu Pemberian Imunisasi 0 BCG DPT Polio (OPV) Hepatitis B Campak MMR Kesan: Riwayat imunisasi dasar lengkap. RIWAYAT KELUARGA (Corak Reproduksi) N o 1 2 3 Tgl Lahir (umur) 19 tahun 13 tahun (pasien) 5 tahun Jenis Kelamin Perempuan Laki - laki perempuan Hidup Lahir Mati Abortus Mati (sebab) Keterangan Kesehatan Sehat Sedang sakit Sehat I I II 1 2 II I II II III III IV III I I II V 3 4 Bulan 5 6 9 15 18 5 Tahun 6 12

Kesan : Corak reproduksi baik

Perumahan - Keadaan rumah : Rumah milik sendiri tinggal berlima dengan ayah dan ibu pasien, Rumah sederhana dengan 2 kamar tidur dengan 1 buah jendela di tiap kamarnya - Daerah/lingkungan : Daerah padat penduduk, sekitar rumah tidak ada yang menderita penyakit yang serupa. Pasien memakai sumber air dari PAM. Ayah Tn. S Ibu Ny. T

Nama

Perkawinan keI I Umur saat menikah 21 19 Pendidikan terakhir (tamat kelas/tingkat) Tamat SD Tamat SMP Agama Islam Islam Suku bangsa Sunda Sunda Keadaan kesehatan Baik Baik Kosanguitas Penyakit, bila ada Kesan : Keadaan kesehatan kedua orang tua pasien saat ini dalam keadaan baik RIWAYAT PENYAKIT YANG PERNAH DIDERITA Penyakit Alergi Cacingan Demam Berdarah Demam Thypoid Otitis Parotitis Umur Penyakit Difteria Diare Kejang Kecelakaan Morbili Operasi Umur Penyakit Jantung Ginjal Darah Radang Paru Tuberculosis Lainnya Umur + (Umur 2 tahun) -

I.

PEMERIKSAAN FISIK ( 7 April 2013) Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang Kesadaran Berat Badan Tinggi Badan : Compos mentis : 20 kg : 123 cm

Status antropometri: BB/U : 20 / 46 x 100% = 43,4 %

TB/U : 123 / 156 x 100% = 78.84 % BB/TB: 20 / 24 x 100% = 83,34 %

Status gizi: Gizi kurang

Tanda vital: Frekuensi Nadi Suhu Tubuh Frekuensi Napas Tekanan Darah Kepala : 100x/menit, reguler, isi cukup, equal. : 36,9oC : 24x/menit, reguler, tipe pernafasan thorakoabdominal : 100/ 70 mmHg

: normocephali, UUB sudah menutup, rambut hitam distribusi ,merata, tidak mudah dicabut.

Mata

: Pupil bulat isokor, diameter 3 mm / 3 mm, refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung ikterik -/+/+ , konjungtiva anemis +/+, sklera

Telinga Hidung Bibir

: normotia, sekret -/-, tidak ada tanda perdarahan : lapang, deviasi septum (-), Napas cuping hidung(-), secret(-), konkaedema(-) : Lembap, tidak pucat, sianosis -, Lidah, Tonsil, Tenggorokan : lidah bersih, faring tidak hiperemis, granuler -, post nasal drip -, T1-T1 normal.

Leher

: Kaku kuduk (-), kelenjar getah bening tidak teraba membesar, kelenjar tiroid tidak teraba membesar

Thoraks

: Bentuk normal, Gerakan simetris, tidak ada ketinggalan gerak, retraksi sela iga (-)

Paru Inspeksi Palpasi Perkusi : bentuk normal, Gerakan napas simetris : Stem fremitus kanan sama dengan kiri : Sonor pada kedua lapang paru.

Auskultasi : Suara napas vesikuler di kedua lapang, ronki -/-, wheezing -/-. Jantung

Inspeksi Palpasi

: Tidak tampak pulsasi ictus cordis : Teraba pulsasi ictus cordis di sela iga V 1 cm medial garis midclavikula sinistra, tidak teraba thrill.

Perkusi

: Tidak di lakukan

Auskultasi : Bunyi jantung I - II reguler, murmur (-), gallop (-) Abdomen Inspeksi Palpasi : Datar, tidak tampak gambaran vena kolateral, : Supel, nyeri tekan (+), nyeri tekan epigastrium(+), hepar teraba 1cm di bawah arcus costae, licin, sudut tajam, konsistensi kenyal, lien tidak teraba Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)

Auskultas : Bising usus (+) Genitalia : Jenis kelamin laki-laki, testis +/+, penis sudah disirkumsisi dan tidak ditemukan kelainan Anggota Gerak : akral teraba hangat, deformitas (-), edema (-), RCT >3 detik Tulang Belakang : scoliosis (-), lordosis (-), kiposis (-) Kulit : Warna sawo matang, ikterik (-), sianosis (-), turgor baik

Status Neurologis Tanda rangsang meningeal : - Kaku kuduk : - Bruzinsky I : Reflek Patologis : - Babinsky Reflek Fisiologis : :- Oppenheim : - Bruzinsky II : - Kerniq :- Laseque :-

10

Biceps : +/+ , Triceps : +/+, Patella : +/+, Achilles : +/+ II. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Laboratorium tanggal 5 april 2013
Pemeriksaan HEMATOLOGI Hemoglibin Leukosit Hematokrit Trombosit IMUNOSEROLOGI INFEKSI LAIN Widal S. TYPHI O: 1/160 Negative 1/160 Negative 70 138 4.15 99 60 100 134 146 3,4 4,5 96 108 mg/dl mmol/L mmol/L mmol/L S. PARATYPHI A O: S. PARATYPHI B O: S. PARATYPHI C O: KIMIA Glukosa Sewaktu ELEKTROLIT Na K Cl Hasil 14,2 6.400 44 264.000 Nilai Rujukan 13,7 17,5 4.200 9.100 40 51 163.000 337.000 Satuan g/dl /uL % /uL

Resume Pasien seorang anak laki-laki usia 13 tahun datang ke IGD RSUD Koja dengan keluhan demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS), demam naik turun, demam tinggi pada malam hari dan turun pada pagi hari. Muntah sejak 4 hari SMRS, muntah dengan frekuensi lebih dari 5 kali sehari denga isi muntahan berupa air berjumlah 1/4 agua gelas, disertai mual, nyeri perut dan tidak nafsu makan. Pasien juga mengeluh seluruh badan terasa lemas, kepala terasa pusing. Pasien belum Buang air besar sejak kurang lebih 4 hari SMRS. Dari pemeriksaan fisik, BB 20 kg, TB 123, status antropometri BB/TB=83,34% (status gizi kurang), nyeri epigastrium +, hepar teraba 1cm di bawah arcus

11

costae, licin, sudut tajam, konsistensi kenyal. Dari hasil laboratorium, S. Typhi O 1/160, S. paratyphi B O 1/160. Diagnosis Diagnosis Kerja : Demam Typhoid Diagnosis Gizi : Gizi Kurang Diagnosis Banding 1. Malaria 2. Demam dengue 3. Campak PENATALAKSANAAN IVFD KaEN IB 20 tetes per Injeksi Ceftriaxone 1 x 1,5 g /iv Injeksi amikasin 2 x 50 mg/ iv Injeksi ondancentron 3x2 mg/ iv Injeksi Ranitidin 2x20 mg/iv Pct syr 3x2 cth

PEMERIKSAAN ANJURAN Lab darah lengkap Elektrolit Urin lengkap

PROGNOSIS Ad Vitam Ad Functionam Ad Sanationam : dubia ad bonam : dubia ad bonam : dubia ad bonam

12

Follow Up harian tanggal 6-9 april 2013

13

6 April 2013 S Demamsudah mulai Muntah (+) Belum BAB sejak 3 hari yang lalu

7 April 2013 Demam sejak 6 hari yang lalu Nyeri Perut (+) Belum BAB sejak 4 hari yang lalu Muntah (+) 2 x hari ini Batuk (+), Pilek (+)

8 April 2013 Nyeri Perut (+) Batuk (+) Belum BAB sejak 5 hari yang lalu Demam (-)

9 April 2013 Nyeri perut (-) Batuk sudah berkurang Belum BAB sejak 6 hari yang lalu Demam (-)

O Keadaan Umum: tampak sakit sedang Kesadaran: Nadi: RR: Suhu: Kepala Bentuk: Mata:
Konjungtiva Anemis Sklera Ikterik

tampak sakit sedang CM 100 x/menit 28 x/menit 36,5 oC

tampak sakit sedang CM 110 x/menit 28 x/menit 37,1 oC

tampak sakit sedang CM 116 x/menit 28 x/menit 36,6 oC

CM 120 x/menit 20 x/menit 37,1 oC

Normochephali Normochephali Normochephali Normochephali

-/-/-

-/-/-

-/-/-

-/-/-

Thoraks: Jantung: BJ I-II regular m (-), g (-) Paru paru: SN vesikuler rh -/-, wh-/BJ I-II regular m (-), g (-) SN vesikuler rh -/-, wh-/BJ I-II regular m (-), g (-) SN vesikuler rh -/-, wh-/BJ I-II regular m (-), g (-) SN vesikuler rh -/-, wh-/14

Lab tgl 6 april 2013

Pemeriksaan HEMATOLOGI DAN HEMOSTASIS HEMATOLOGI Hematologi Lengkap Hemohlobin (Hb) Leukosit Hematokrit Eritrosit MCV (VER) MCH (HER) MCHC (KHER) Hitung Jenis: Basofil Eosinofil Batang Segmen Limfosit Monosit Thrombosit LED RDW IMUNUSEROLOGI PROTEIN SPESIFIK IgM Salmonela LAB tgl 6 April 2013 Pemeriksaan URINALISA URINE KHUSUS Urin Lengkap Warna Berat Jenis PH Albumin Glukosa Keton Billirubin Kuning Jernih 1.005 60 Negatif Negatif Negatif Negatif Hasil

Hasil

Nilai Normal

Satuan

13,5 4.700 41 5.23 79 26 33 1 0 0 42 48 9 243.000 19 13,7

13,5 17,5 4.100 10.900 41 53 4,5 5,5 80 100 26 34 31 36 02 05 26 47 80 13 40 2 11 140.000 440.000 < 10 11,6 14,8

g/dL /uL % Juta/uL fL pg g/dL % % % % % % /uL mm/jam

Negatif

60 280

mg/dL

Nilai Normal

Satuan

1.003-1030 4,6-8,5 Negatif Negatif Negatif Negatif

15

Darah Samar Nitrit Urobillinogen SENDIMEN Leukosit Eritrosit Silinder Epitel Bakteri Kristal Ca Oksalat Karbonat Fosfat Asam Urat Amorf Sel Ragi Lain - lain

Negatif Negatif 0,2 0-1 0-1 Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

Negatif Negatif 0,1 - 1,0 < 10 <1 Negatif EU /LPB /LPB /LPK

Negatif

BAB II ANALISA KASUS Pasien seoarng anak laki-laki usia 13 tahun datang ke UGD RSUD Koja dengan keluhan demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS), demam naik turun, demam tinggi pada malam hari dan turun pada pagi hari (suhu tidak diukur dengan thermometer). Muntah sejak 4 hari SMRS, muntah dengan frekuensi lebih dari 5 kali sehari denga isi muntahan berupa air berjumlah 1/4 agua gelas, disertai mual, nyeri perut dan tidak nafsu makan. Pasien juga mengeluh seluruh badan terasa lemas, kepala terasa pusing. Pasien belum Buang air besar sejak kurang lebih 4 hari SMRS. 3 hari SMRS pasien sudah berobat ke puskesmas karena keluhan demamnya, diberikan paracetamol syrup namum kondisi

16

pasien tidak membaik. Sebelum sakit pasien memiliki kebiasaan sering makan jajanan di pinggir jalan dan disekolahnya. Dari pemeriksaan fisik, BB 20 kg, TB 123, status antropometri BB/TB=83,34% (status gizi kurang), nyeri epigastrium +, hepar teraba 1cm di bawah arcus costae, licin, sudut tajam, konsistensi kenyal. Dari hasil laboratorium, S. Typhi O 1/160, S. paratyphi B O 1/160. Diagnosis demam typhoid ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan adanya demam sejak 4 hari SMRS dengan pola demam yang naik turun, naik pada malam hari dan turun pada pagi hari, serta adanya gangguan pada saluran pencernaan yaitu muntah sejak 4 hari SMRS, nyeri perut dan adanya konstipasi yaitu pasien belum BAB sejak 4 hari SMRS merupakan gejala klinis yang biasa ditemukan pada demam typhoid. Dimana Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi dari yang ringan bahkan asimtomatik sampai dengan berat. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam satu minggu atau lebih, (2) gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran.8 Demam naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu keempat demam turun perlahan secara lisis.9 Banyak orang tua pasien demam tifoid melaporkan bahwa demam lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya. 1 Dalam anamnesis kasus ini didapatkan data bahwa demam naik turun, mulai naik saat menjelang malam hari, dan turun pada saat pagi hari. Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya nyeri tekan epigastrium dan terabanya hepar 1cm di bawah arcus costae, licin, sudut tajam, konsistensi kenyal. Infeksi S.typhi terjadi pada saluran pencernaan. Basil diserap di usus halus kemudian melalui pembuluh limfe masuk ke peredaran darah sampai di organ-organ terutama hati dan limpa. Basil yang tidak dihancurkan berkembang biak dalam hati dan limpa sehingga organ organ tersebut akan membesar disertai nyeri pada perabaan. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan S. Typhi O 1/160, S. paratyphi B O 1/160. Dan diagnosis Demam Tifoid / Paratifoid dinyatakan positif bila a/titer O = 1/160 , bahkan mungkin sekali nilai batas tersebut harus lebih tinggi mengingat penyakit demam tifoid ini endemis di Indonesia. Penatalaksanaan pada pasien ini

17

IVFD KaEN IB 20 tetes per menit sebagai terapi cairan maintenance Cairan maintenance: 20 kg BB x 100 cc = 2000cc/ hari 20 tetes per menit

Injeksi Ceftriaxone 1 x 1,5 g /iv Merupakan Sefalosporin Generasi 1 antara lain Cefotaxim, ceftriaxon, dan cefoperazon telah digunakan untuk mengobati demam tifoid, dengan pemberian selama 3 hari memberikan efek terapi sama dengan regimen obat yang diberikan 10-14 hari. Respon yang baik juga dilaporkan dengan pemberian ceftriaxon selama 5-7 hari, Obat-obat ini sebaiknya diberikan untuk kasus resisten quinolon. Dosis: Dewasa dan anak > 12 tahun dan anak BB > 50 kg : 1 - 2 gram 1 x sehari.

Injeksi amikasin 2 x 50 mg/ iv Indikasi: therapi pendek infeksi parah disebabkan kuman gram negative Bakteremia & septikemia termasuk neonatal sepsis. Saluran nafas serius, tulang & sendi, SSP termasuk meningitis, kulit & jaringan lunak, infeksi intraabdominal termasuk peritonitis. Infeksi pasca operasi & terbakar.Infeksi saluran kemih kambuhan & terkomplikasi serius. Dosis: Anak 5 mg/kg/hari dalm 2 atau 3 dosis terbagi

Injeksi ondancentron 3x2 mg/ iv Indikasi: mencegah maupun mengatasi mual dan muntah Injeksi Ranitidin 2x20 mg/iv

Indikasi: Terapi tukak 12 jari, tukak lambung aktif jangka pendek. Meredakan gejala refluks esofagitis. Terapi pemeliharaan untuk tukak usus 12 jari dan tukak lambung. Dosis: 2x4 mg/kgBB 2x1 hari max 300 mg
Pct syr 3x2 cth Indikasi: meredakan demam ringan hingga sedang dan nyeri pada anak Dosis: 3-4 kali C per hari (60mg) dosis maximum 10ml/240mg/hari Diagnosis Banding 1. Malaria Adanya demam yang turun naik atau intermitten disertai dengan menggigil,diare, muntah, dan terkadang kejang merupakan beberapa gejala penyakit malaria. Akan tetapi pada pasien ini tidak didapatkan menggigil serta tidak adanya riwayat keluar kota atau ke hutan.

18

2. Demam Berdarah Dengue Demam Berdarah Dengue Pada minggu pertama penyakit ini biasanya tidak ditemukan gejala umum yang khas, hanya terdapat demam antara 2 hingga 7 hari adanya manifestasi perdarahan. Pada uji tourniquet didapatkan hasil yang positif. Pada pasien tidak ada manifestasi perdarahan 3. Campak Terdapat gejala demam, batuk, pilek, mata merah (konjungtivitis), anoreksia,malaise, dan gejala khasnya adalah timbulnya enamtem di mukosa bukal(bercak koplik) yang merupakan tanda patognomonis untuk campak.10 Dari pasien hanya ditemukan gejala demam, anoreksia dan malaise, tetapi gejalakhas campak tidak ditemukan. Agar semua diagnosa banding tersebut di atas dapat disingkirkan, maka perludilakukan pemeriksaan penunjang guna membuktikan pemeriksaan yang tidak didapatkan pada anamnesa maupun pemeriksaan fisik. Biakan darah, pemeriksaan darah rutin, dan tes serologis Widal dilakukan gunamenegakkan diagnosis demam tifoid, pemeriksaan serologis IgM untuk mendeteksikemungkinan adanya infeksi campak, tes tourniquet untuk melihat adanya manifestasi perdarahan pada penderita demam berdarah dengue.

BAB III TINJAUAN PUSTAKA I. DEFINISI Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever. Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.1

II.

EPIDEMIOLOGI

19

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun.4 Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.3

III. ETIOLOGI Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B (S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S. Hirschfeldii). Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gramnegatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.1

20

Gambar 2.1. Mikroskopik Salmonella Typhi IV. PATOGENESIS Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2) bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus limfatikus mesenterica, dan organ- organ extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2) banyak yang mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang biak dalam peyer patch dalam usus. Untuk diketahui, jumlah kuman yang masuk dan dapat menyebabkan infeksi minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa saja meningkat bila keadaan lokal pada lambung yang menurun seperti aklorhidria, post gastrektomi, penggunaan obat- obatan seperti antasida, H2-bloker, dan Proton Pump Inhibitor. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali

21

masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik. Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut.1,4 Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya. Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologis.1,4

22

Bagan 2.1. Patofisiologi Demam Tifoid

V.

MANIFESTASI KLINIK Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih bervariasi bila dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis, akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak, terutama pada penderita yang lebih muda, seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi.

23

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 20 hari, dengan masa inkubasi terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan umum/status gizi serta status imunologis penderita.1,4,5 Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan :

Demam satu minggu atau lebih. Gangguan saluran pencernaan Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi. Pada pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Setelah minggu kedua, gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat. Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern, dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39 41 o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid kongenital. Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda antara lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput tebal, di bagian belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila penyakit makin progresif, akan terjadi deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen. Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua. Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 4 mm, berwarna merah pucat serta hilang pada penekanan. Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya mengandung kuman salmonella, dan terutama didapatkan di daerah perut, dada, kadang-kadang di bokong, ataupun bagian fleksor lengan atas. Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria. Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak progresif dengan konsistensi lebih lunak. Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 5 mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung

24

pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7 10 dan bertahan selama 2 -3 hari.1,4,5 VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : 1. Pemeriksaan darah tepi Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom normositer, yang diduga karena efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus. Tidak selalu ditemukan leukopenia, diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi lain. Trombosit jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif, aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan penyakitnya. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus. Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan mieloid sistem normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.1,4,6 2. Uji serologis Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan. Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang

25

digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).6 Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi : a) Uji Widal Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu; 1. 2. 3. Aglutinin O (dari tubuh kuman) Aglutinin H (flagel kuman) Aglutinin Vi (simpai kuman).

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini. Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi. Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin 1/40 dengan memakai uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak
26

menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif. Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang berhubungan dengan penderita dan faktor teknis. Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu 1. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid. 2. Gangguan pembentukan antibodi. 3. Saat pengambilan darah. 4. Daerah endemik atau non endemik. 5. Riwayat vaksinasi. 6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi. Faktor teknik, yaitu 1. Akibat aglutinin silang. 2. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen. 3. Teknik pemeriksaan antar laboratorium. Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah: Negatif Palsu Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya (ini kejadian paling sering di negara kita, demam > kasih antibiotika > nggak sembuh dalam 5 hari > tes Widal) menghalangi respon antibodi. Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan kultur darah. Positif Palsu Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S. paratyphi A, B, C) memiliki antigen O dan H juga, sehingga menimbulkan reaksi silang dengan jenis bakteri lainnya, dan bisa menimbulkan hasil positif palsu (false positive).

27

Padahal sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan tifoid). b) Tes TUBEX Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit. Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. 15 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%.9 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.6 Ada 4 interpretasi hasil : Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian. Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai berikut: Immunodominan yang kuat Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi (antigen Vi dan H kurang imunogenik) dan merupakan mitogen yang sangat kuat terhadap sel B. Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T sehingga respon antibodi dapat terdeteksi lebih cepat. Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat dan cepat melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor yang lain.

28

Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang ditemukan baik di alam maupun diantara mikroorganisme Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX : Mendeteksi infeksi akut Salmonella Muncul pada hari ke 3 demam Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit Hasil dapat diperoleh lebih cepat c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik. Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16%, nilai prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%.16 Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas sebesar 89%. Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis nontifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.

29

Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.6 d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%.18 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.6 e) Pemeriksaan dipstik Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai

30

reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap. 4,20 Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%.20 Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%.21 Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam tifoid.22 Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.6 3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses. Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah. Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
31

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut. Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 4080% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang.5,6 Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat. Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai

sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.

32

4. Pemeriksaan kuman secara molekuler Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi. Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL darah. Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%). Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian.6

VII. DIAGNOSIS Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental. Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu

33

panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Rose spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan. Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, serologis, dan bakteriologis.4,5 diagnosis

VIII. DIAGNOSIS BANDING Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara klinis dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis, bronkitis dan bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme intraseluler seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam tifoid yang berat, sepsis, leukimia, limfoma dan penyakit hodgkin dapat sebagai dignosis banding.1

IX.

PENATALAKSANAAN Non Medika Mentosa a) Tirah baring Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.5 b) Nutrisi

34

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa. c) Cairan Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya. d) Kompres air hangat Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus dirangsang, sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai otak, dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan/ kehilangan energi/ panas melalui kulit meningkat (berkeringat), diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai keadaan normal kembali. Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010) bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus. Jika suhu tubuh meningkat, maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya.7 Medika Mentosa a) Simptomatik Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk

35

menghindari aspirin dan turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral, obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin. b) Antibiotik Antibiotik yang sering diberikan adalah :1,4,5 Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian Intra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier. Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10 mg/kg/hari dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian secara syrup dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali selama 2 minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik, Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan resisten. Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk anakanak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis yang diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu. Penurunan demam biasanya lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol.

36

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime), merupakan pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan dosis 100 mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari. Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam. Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika metronidazol. X. KOMPLIKASI Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :4 1. Komplikasi pada usus halus a) Perdarahan usus Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut dengan tanda tanda renjatan. b) Perforasi usus Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak. c) Peritonitis

37

Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang, dan nyeri tekan. 2. Komplikasi diluar usus halus a) Bronkitis dan bronkopneumonia Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan disebabkan oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi sekunder dan dapat timbul pada awal sakit atau fase akut lanjut. Komplikasi lain yang terjadi adalah abses paru, efusi, dan empiema. b) Kolesistitis Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu kedua dengan gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi kolesistitis maka penderita cenderung untuk menjadi seorang karier. c) Typhoid ensefalopati Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa kesadaran menurun, kejang kejang, muntah, demam tinggi, pemeriksaan otak dalam batas normal. Bila disertai kejang kejang maka biasanya prognosisnya jelek dan bila sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai dengan lokasi yang terkena. d) Meningitis Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering didapatkan pada neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala klinis tidak jelas sehingga diagnosis sering terlambat. Ternyata peyebabnya adalah Salmonella havana dan Salmonella oranemburg. e) Miokarditis Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinis tidak khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun keatas serta sering terjadi pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran EKG dapat bervariasi antara

38

lain : sinus takikardi, depresi segmen ST, perubahan gelombangan I, AV blok tingkat I, aritmia, supraventrikular takikardi. f) Infeksi saluran kemih Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis maupun pilonefritis dapat juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sidrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk. g) Karier kronik Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di sekretnya. Karier temporer- ekskresi S.typhi pada feces selama tiga bulan. Hal ini tampak pada 10% pasien konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3 minggu setelah demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama seperti semula. Faktor predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan cholelithiasis. Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal, seperti schistosomiasis, mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama.

XI.

PENCEGAHAN Berikut beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid:2

Cuci tangan. Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk mengendalikan demam tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan anda dengan air (diutamakan air mengalir) dan sabun terutama sebelum makan atau mempersiapkan makanan atau setelah menggunakan toilet. Bawalah pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak tersedia air.

Hindari minum air yang tidak dimasak.


39

Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah endemik tifoid. Untuk itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Seka seluruh bagian luar botol atau kaleng sebelum anda membukanya. Minum tanpa menambahkan es di dalamnya. Gunakan air minum kemasan untuk menyikat gigi dan usahakan tidak menelan air di pancuran kamar mandi.

Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah. Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak daripada yang telah dimasak, namun untuk menyantapnya, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut. Untuk menghindari makanan mentah yang tercemar, cucilah buah dan sayuran tersebut dengan air yang mengalir. Perhatikan apakah buah dan sayuran tersebut masih segar atau tidak. Buah dan sayuran mentah yang tidak segar sebaiknya tidak disajikan. Apabila tidak mungkin mendapatkan air untuk mencuci, pilihlah buah yang dapat dikupas.

Pilih makanan yang masih panas. Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu ruang. Yang terbaik adalah makanan yang masih panas. Pemanasan sampai suhu 57C beberapa menit dan secara merata dapat membunuh kuman Salmonella typhi. Walaupun tidak ada jaminan makanan yang disajikan di restoran itu aman, hindari membeli makanan dari penjual di jalanan yang lebih mungkin terkontaminasi.

Jika anda adalah pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari demam tifoid, berikut beberapa tips agar anda tidak menginfeksi orang lain:

Sering cuci tangan. Ini adalah cara penting yang dapat anda lakukan untuk menghindari penyebaran infeksi ke orang lain. Gunakan air (diutamakan air mengalir) dan sabun, kemudian gosoklah tangan selama minimal 30 detik, terutama sebelum makan dan setelah menggunakan toilet.

Bersihkan alat rumah tangga secara teratur. Bersihkan toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air setidaknya sekali sehari.

40

Hindari memegang makanan. Hindari menyiapkan makanan untuk orang lain sampai dokter berkata bahwa anda tidak menularkan lagi. Jika anda bekerja di industri makanan atau fasilitas kesehatan, anda tidak boleh kembali bekerja sampai hasil tes memperlihatkan anda tidak lagi menyebarkan bakteri Salmonella.

Gunakan barang pribadi yang terpisah. Sediakan handuk, seprai, dan peralatan lainnya untuk anda sendiri dan cuci dengan menggunakan air dan sabun.

Pencegahan dengan menggunakan vaksinasi Di banyak negara berkembang, tujuan kesehatan masyarakat dengan mencegah dan mengendalikan demam tifoid dengan air minum yang aman, perbaikan sanitasi, dan perawatan medis yang cukup, mungkin sulit untuk dicapai. Untuk alasan itu, beberapa ahli percaya bahwa vaksinasi terhadap populasi berisiko tinggi merupakan cara terbaik untuk mengendalikan demam tifoid.1,2. Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yakni:

Vaksin oral Ty 21a (kuman yang dilemahkan) Vaksin yang mengandung Salmonella typhi galur Ty 21a. Diberikan per oral tiga kali dengan interval pemberian selang sehari. Vaksin ini dikontraindikasikan pada wanita hamil, menyusui, penderita imunokompromais, sedang demam, sedang minum antibiotik, dan anak kecil 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun. Lama proteksi dilaporkan 6 tahun.

Vaksin parenteral sel utuh (TAB vaccine) Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan yang mengandung kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya. Dosis untuk dewasa 0,5 mL; anak 612 tahun 0,25 mL; dan anak 1-5 tahun 0,1 mL yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Cara pemberian melalui suntikan subkutan. Efek samping yang dilaporkan adalah demam, nyeri kepala, lesu, dan bengkak dengan nyeri pada tempat suntikan. Vaksin ini di kontraindikasikan pada keadaan demam, hamil, dan riwayat demam

41

pada pemberian pertama. Vaksin ini sudah tidak beredar lagi, mengingat efek samping yang ditimbulkan dan lama perlindungan yang pendek.

Vaksin polisakarida Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella. Mempunyai daya proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di atas 5 tahun selama 3 tahun. Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 mL yang berisi 25 mikrogram antigen Vi dalam buffer fenol isotonik. Vaksin diberikan secara intramuskular dan diperlukan pengulangan (booster) setiap 3 tahun. Vaksin ini dikontraindikasikan pada keadaan hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam, dan anak kecil 2 tahun.

XII. PROGNOSIS Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser. Typhi 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi karier pada anak anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid.1

42

BAB III PENUTUP Demam tifoid pada anak disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella typhi yang ditularkan melalui jalur fecal-oral yang mana pada nantinya akan masuk ke saluran cerna dan melakukan replikasi dapal ileum terminal. Demam tifoid pada anak memiliki gejala yang cukup spesifik berupa demam, gangguan gastro intestinal, dan gangguan saraf pusat. Demam yang terjadi lebih dari 7 hari terutama pada sore menjelang malam dan turun pada pagi hari. Gejala gastrointestinal bisa terjadi diare yang diselingi konstipasi. Pada cavum oris bisa didapatkan Tifoid Tongue yaitu lidah kotor dengan tepi hiperemi yang mungkin disertai tremor. Gangguan Susunan Saraf Pusat berupa Sindroma Otak Organik, biasanya anak sering ngelindur waktu tidur. Dalam keadaan yang berat dapat terjadi penurunan kesadaran seperti delirium, supor sampai koma. Diagnosis cukup ditegakkan secara klinis. Pemeriksaan penunjang yang dapat menunjang infeksi Demam Tifoid ini adalah Darah Lengkap, Uji Widal, atau pemeriksaan serologi khusus yaitu IgM dan IgG antiSalmonella. Penatalaksanaan penyakit ini meliputi 3 pokok utama yaitu: istirahat dengan tirah baring yang cukup, Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein Rendah Serat, dan Antibiotika yang memiliki efektivitas yang cukup tinggi terhadap kuman Salmonella typhi.

43

DAFTAR PUSTAKA 1. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi & pediatri tropis. Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45. 2. Rezeki, Sri. Demam tifoid. 2008. Diunduh dari

http://medicastore.com/artikel/238/Demam_Tifoid_pada_Anak_Apa_yang_Perlu_Diket ahui.html. 22 April 2013. 3. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba Medika, 2002:1-43. 4. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa Indonesia: A Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta: EGC ; 2000. 5. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : 2003. h. 2-20. 6. Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada anak. Surabaya : FK UNAIR ; 2010. h. 1-10. 7. Mohamad, Fatmawati. Efektifitas kompres hangat dalam menurunkan demam pada pasien Thypoid Abdominalis di ruang G1 Lt.2 RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo. _08_2012.pdf. 22 April 2013. 8. Tumbelaka AR. Tata Laksana Demam Tifoid pada Anak. Dalam: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan IDAI Jaya. Malang: IDAI Cabang Jawa Timur; 2005. Hal. 37-43. 9. Gillespie S. Salmonella Infections. Dalam: Cook G, Zumla A (Eds.), Mansons Tropical Disease. London : ELST; 2003. Hal : 937-943. 2012. Diunduh dari http://journal.ung.ac.id/filejurnal/JHSVol05No01_08_2012/7_Fatwaty_JHSVol05No01

44

10. Gunawan G. Infeksi: Demam tifoid. Dalam: Yunanto A, Gunawan G dan MuhyiR, penyunting. Pedoman diagnosis dan terapi bagian/SMF ilmu kesehatan anak.Edisi I. Banjarmasin: Rumah Sakit Umum Daerah Ulin. 2000. h. 16-17

45

You might also like