You are on page 1of 16

PERANAN MASJID AGUNG BANTEN PADA MASA PEMERINTAHAN SULTAN MAULANA YUSUF

DIRESUME DARI BERBAGAI TULISAN OLEH JAMRIDAFRIZAL

Poses Berdirinya Masjid Agung Banten tahun 1569 M Peristiwa pendirian masjid yang pertama, memberikan kepada umat Islam makna yang sesungguhnya tentang masjid. Setelah kurang lebih 12 tahun menjalankan tugas kerasulan di Mekkah. Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk hijrah ke Madinah. Ditilik dari ilmu perang, hijrah merupakan taktik dan strategi Nabi untuk mengembangkan addin dan mengIslamkan umat. Taktik untuk mencapi tujuan strategi dijalankan beliau di Mekkah. Tetapi kemajuan Islam terasa lambat sekali dan tantangan lawan terlalu kuat dan makin giat. Nabi menukar taktik dengan menjadikan Madinah sebagai markas besarnya. Ternyata taktik tersebut berhasil. Demikianlah Senin 12 Rabiul Awwal (28 Juli 622 M) Nabi Muhammad S.A.W. meninggalkan Mekkah pergi ke Quba, selatan Yatsrib, yang sesudah itu bernama Madinah dan hijarahnya Nabi merupakan awal kalenderium Islam yang berarti dimulainya periode Islam dalam sejarah umat manusia. Kurun Madinah dalam pertumbuhan Islam, yang mulai sesudah hijrah merupakan kurun yang berbeda dari kurun Mekkah. Di Madinah penganut Islam cepat berkembang, sungguhpun mendapat halangan dari pihak Yahudi, yang tadinya diharapkan Nabi akan menolongnya, rupanya Taurat terkena perubahan tangan manusia. Taurat asli mengajarkan kepada kaum Yahudi untuk mengakui Islam dan Muhammad. Tetapi kitab suci yang sudah kena perubahan tangan manusia itu berisikan sebaliknya sehingga terjadilah perpecahan dengan golongan Yahudi. Disamping orang-orang yang masuk Islam karena benar-benar yakin, terdapat pula golongan yang masuk Islam karena pertimbangan keuntungan dan kepentingan diri sendiri, mereka ini adalah kaum munafik. Ikrar keyakinan mereka hanya sekedar ucapan dengan lidah, tanpa meyakini dengan hati, mereka bersandiwara. Dari uraian di atas beberapa dapt ditarik beberapa kesimpulan, antara lain : Dalam keadaan darurat sekali, setelah Nabi sampai pada tujuan pengungsiannya, bukan membangun pertahanan untuk menampung kemungkinan serangan musuh dari Mekkah, tapi membangun masjid yang beliau kerjakan untuk pertama kalinya , Kalenderium Islam, yaitu tahun hijriah, dimulai dengan pendirian masjid pertama, tanggal 12 Rabiul Awwal (permulaan tahun hijriah, selanjutnya dijatuhkan tanggal 1 Muharram) dan tanggal 1 Muharram yang pertama jatuh hari Jum'at adalah hari meramaikan masjid secara khusus dalam tiap tujuh hari. 24

25

Di Mekkah Islam tumbuh di Madinah ia berkembang. Dalam kurun pertama Nabi mengajarkan dasar-dasar agama, sedangkan dalam kurun ke dua dasardasar kebudayaan. Dibatas antara dua kurun Nabi mendirikan masjid. Dalam kurun Mekkah ayat-ayat yang turun dituukan kepada manusia, "Hai manusia". Ayat-ayat Makkiyah mengajak manusia kepada keesaan Tuhan, menjelaskan tak ada Tuhan melainkan Allah. Ayat tersebut memperingatkan akan ganjaran dan azab Tuhan kepada manusia yang berbuat baik dan jahat, mengajarkan kehidupan manusia sesudah mati, kehidupan akhir atau akhirat. Diperingatkannya akan datang nanti hari kiamat dan perisitwa-perisitwa yang terjadi waktu itu. Selanjutnya ayat-ayat itu berseru supaya manusia mengenal akhlak, kebajikan dalam menjauhi kejahatan disertai contoh-contoh yang pernah terjadi pada umat yang terdahulu, bagaimana jadinya orang-orang yang mendustakan pesuruh Tuhan dan menantang pemimpinnya. Pendirian masjid yang dilakukan Nabi antara kurun waktu pengajaran agama dan kurun pengajaran kebudayaan dapat diartikan bahwa ia berdiri di ujung ajaran agama dan dipangkal ajaran kebudayaan. Masjid memecah Gemeinschaft (hubungan antar manusia yang menimbulkan ikatan kehendak positif atau negatif, hasrat, naluri diperkuat oleh kebiasaan, disempurnakan oleh kepercayaan atau agama). Arab yang berasaskan kesukuan menjadi Gememschaft yang beriman, dengan Gesellschaft yaitu hubungan antara manusia yang rasional, ditujukan pada alat yang bertentangan dengan rasa, adanya kesadaran, negara Islam. Kaum Muhajirin yang merupakan Gemeinschaft yang lebih berasaskan agama. Masjid didirikan oleh orang-orang yang bertakwa. Masjid dibangun secara bergotong royong, didirikan bersama untuk kepentingan bersama. Masyarakat Islam yang dihadapi oleh masjid pertama dari dua golongan, yaitu mu'min dan munafik. Orang munafik banyak menyamar sebagai mu'min. Dari ketujuh kesimpulan di atas, peristiwa pembangunan masjid pertama menggambarkan makna sesungguhnya dari masjid. Apabila hari pertama Nabi dengan rombongannya sampai di daerah Madinah dalam hijrahnya dari Mekkah, serta merta dibangunlah masjid, adalah tujuan logis atau sudah dapat disimpulkan bahwa Nabi pada hari pertama sekali sudah tidak akan melakukan kerja pembangunan masjid manakala beliau tidak beranggapan bahwa masjid itu sangat penting bagi keberadaan Islam dalam menghadapi kurun Madinah, pembangunan masjid tersebut dianggap Nabi lebih penting dari yang lainnya dalam saat darurat itu. Dalam rangka pertanyaan Abu Zar tentang masjid Aqsa, Rasulullah menyatakan : "Dimana saja engkau berada, jika waktu sembahyang tiba, sembahyanglah, karena disitupun masjid" (dikutip dari hadits Muslim). Dikandang kambingpun, kalau terpaksa sembahyang dapat dilakukan, kalau perlu juga gedung khusus untuk masjid. Kalau diteliti dalam sejarah Islam, akan dapat disimpulkan bahwa penyempurnaan agama Islam dapat dikembalikan dasar-dasarnya kepada apa yang dilakukan Nabi sesudah hijrah. Sepuluh tahun terakhir dari hidup Nabi, semenjak hijrah sampai wafat, Nabi telah meletakkan tonggak dasar dunia Islam. Apbila Nabi pada hari pertama sudah mendirikan masjid dapatlah disimpulkan bahwa

26

dengan itu Nabi membangun lembaga utama dari dunia Islam, karena tugas-tugas yang diberikan Nabi kepada masjid merupakan "benih" yang dalam perkembangannya melahirkan dunia Islam. Maka tepatlah jika masjid sebagai pusat ibadah dan kebudayaan Islam. Ketika Rasulullah SAW. Hijrah meninggalkan masjid Mekkah ia berhenti di Quba, yaitu sebuah tempat yang tidak jauh dari kota Madinah. Empat hari lamanya Rasulullah dan sahabat-sshabat yang mengikutinya tinggal ditempat tersebut. Pada hari jum'at mereka harus melakukan sholat jum'at berjama'ah dan pada hari itu pula mereka membuat untuk bersembahyang. Inilah masjid yang pertamakali didirikan. Kemudian Nabi menuju kota Madinah, kedatangan beliau dan para sahabat disambut dengan meriah, disongsong keluar pintu kota, dielu-elukan dengan takbir dan kasidahan, tiap-tiap kabilah mempersilahkan Rasulullah menjadi tamunya, akan tetapi ia menolak dan membiarkan unta yang membawanya berjalan sendiri memilih tempat berhenti. Unta yang dilepaskan tidak bertali itu berjalan dengan diiringi oleh kaum muslimin, karena mereka ingin menyaksikan dengan mata sendiri, dimanakah gerangan unta tersebut berhenti. Unta tersebut berhenti di dekat murbat (tempat yang biasa untuk menambatkan binatang ternak) kepunyaan dua orang anak yatim yang bernama Sahal dan Suhail bin Amru. Insyaallah inilah tempatnya" sabda Nabi kemudian ia membaca sebuh ayat "Ya Tuhan, tempatkanlah kami pada tempat yang membawa berkah, dan engakulah yang sebaik-baiknya memberi tempat". Tempat tersebut kemudian di beli oleh Mu'az bin Afra, karena dialah wali yang memelihara kedua anak yatim itu. Maka disitulah Nabi mendirikan rumahnya dan dalam pada iu dimulailah mengerjakan masjid dengan cara bergotong royong. Pekerjaan itu dilakukan dengan gembira dan sepenuh hati oleh para sahabat dan masyarakat Madinah, yang selama ini tidak pernah bekerja berat apalagi bergelimang lumpur, waktu bekerja bersamasama itu, Rasululah juga ikut membantu bersama para sahabat. Pekerjaan membangunan masjid tidak banyak memakan waktu, karena selain dikerjakan secara bergotong royong, bangunan masjid itu amat sederhana. Disekelilingnya didirikan pagar tembok dari batu bata yang diplester dengan tanah liat. Pada bagian muka yaitu dekat mihrab diberi atap yang terbuat dari pelapah kurma yang disusun rapat, sedangkan bagian belakangnya hanya terbuka saja. Atapnya hanya dibuat kecil, sehingga sewaktu-waktu sinar matahari yang terik langsung menimpa orang yang sedang shalat. Kalau hari hujan ruangan masjid menjadi basah dan becek sebab lantainya hanya pasir. Enam tahun lamanya bangunan masjid tetap seperti itu, tak ada yang berubah, sederhana dan terasa indah. Sejarah berdirinya Masjid Agung Banten juga tidak jauh dari proses pendirian masjid pertamakali oleh Nabi karena Sultan Maulana Hasanuddin adalah seorang Raja Islam yang otomatis selalu berusaha untuk mengikuti jejak nabi dalam kehidupannya. Sejarah berdirinya Masjid Agung Banten yang di awali oleh adanya citacita Sultan Maulana Hasanudin untuk memiliki pusat penyebaran agama Islam ke seluruh wilayah Banten yang pada saat itu mayoritas agama Hindu. Juga tempat

27

rakyat, pembesar kerajaan, serta pedagang Islam yang singgah di Bandar Banten untuk bersamaa-sama melakukan sholat berjamah bersama Sultan. Pembangunan yang dimulai pada tanggal 5 Djulhijjah tahun 966 Hijriyah atau tahun 1569 M, yang kemudian di rampungkan oleh Sultan Maulana Yusuf. Masjid ini terletak di bekas ibukota Kerajaan Banten lama, 10 Km jaraknyaa dari kota Serang. Masjid yang menempati tanah seluas 0,13 Ha, yang terdiri dari bangunan utama dan beberapa bangunan penunjang, seperti menara dan tiyamah, masjid ini juga memiliki atap berbentuk bujur sangkar yang di namakan kubah, yang tersusun makin keatas semakain mengecil. Atap yang berbentuk limas tersebut keseluruhannya berbentuk lima tingkat. Pada sebelah Selatan Masjid Aagung Banten terdapat baangunan penunjang yang di sebut Tiyamah, bangunan yang bergaya arsitektur Eropa dengan gaya arsitektur klasik Italia, denah berbentuk persegi panjang bertingkat dua, dimana merupakan hasil rancangan Hendrick Lucas Cardeel, arsitek Belanda yang masuk Islam. Karena jasanya, Sultan Banten memberi gelar dengan nama Pangeran Wiraguna. Pada masa bangunan ini digunakaan sebagai Mejlis Pertemuan para Ulama dan Penguasa untuk melakukan pebahasan masalahmasalah agama. Menara merupakan penunjang Mesjid Agung Banten yang terletak di halaman depan Masjid. Menara ini mempunyai ketinggian 23 meter1. Menurut K.C. Crucq berpendapat bahwa menara ini sudah ada sebelum tahun 1596/1570, beliau berkesimpulan dengan melihat seni bangunan dan hiasan yang ada, menara tersebut didirikan pada tahun 1560-1570, semasa Sultan Maulana Yusuf memerintah. Pada masa pemerintahan Sultan Maulana Yusuf, Mesjid Agung Banten dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan pertemuan untuk para pedagang yang berasal dari dalam maupun luar Banten. Dengan eksistensinya sebagai sarana dan prasarana yang sangat diakui oleh kalangan rakyat luas, Mesjid Agung Banten tersebut berada dalam koridor yang sangat eksis dalam hal-hal lain (berbagai hal). Kurang lebih 1 Km sebelah selatan Masjid Agung Banten terdapat jalan Kereta Api yang pada masa itu di gunakaan salah satu tempat (jalan) untukl berhubungan dengan wilayah lain, jalaan Kereta Api tersebut menghubungkan antara Anyer dan Panarukan. Selain itu Masjid Agung Banten berdiri atas dukungan atau dorongan masyarakat Banten yaag pada saat itu sangat membutuhkan tempat untuk memenuhi kebutuhaan rohaniah pada khususnya. Karena dengan dorongan tersebut, maka dibangunlah Masjid Agung Banten tersebut oleh Sultan Maulana Yusuf pada tahun 1569 M. Makaa sejak itulah keberadaan dan proses berdirinya Masjid Agung Banten yang sekarng berada di tengah tengah masyarakat Banten lama. Pembangunan Masjid Agung Banten ini juga sangat berpengaruh pada saat saat pemerintahan Sultan Maulana Yusuf.

TB. Ismetullah Al-Abbas, Sejarah dan Obyek Spritual Kota Baten, 1990, h. 15

28

Peranan Masjid Agung Banten Pada Masa Pemerintahan Sultan Maulana Yusuf Sebagai Pusat Kehidupan Agama di Masyarakat. 1. Peranannya Dalam Bidang Pendidikan Agama Dalam upaya menciptakan situasi masyarakat marhamah, masjid memiliki peranan yang sangat dominan. Masjid merupakan lembaga pendidikan Islam yang sudah ada sejak masa Nabi. Ia mempunyai peranan penting bagi masyarakat Islam sejak awal sampai sekarang. Tetapi yang lebih penting adalah sebagai lembaga pendidikan. Ketika Nabi Hijrah ke Madinah, sarana yang pertama kali beliau bangun adalah masjid. Segala aktivitas umat Islam, baik yang berkaitan dengan pendidikan dan sosial ekonomi, pada waktu itu terpusat di masjid. Pada saat Islam menggerakan ekspansi wilayah keluar Madinah dan Mekah, pembangunan masjid selalu mendapat perhatian utama bila umat Islam berhasil menguasainya2 . Untuk mengientifikasikan masjid sebagai lembaga pendidikan, kita harus teliti dan di tuntut memperhatikan kondisi sosio-politik Islam pada periode klasik. Karena kedudukannya yang sentral dalam masyarakat Islam. Perkembangan Masjid selalu berkaitan dengan perubahan setiap saat dalam masyarakat. Sistem pengajaran pada masa itu ialah dengan menghafal matan-matan meskipun murid murid tidak mengerti maksudnya, seperti menghafal Matan Al Jurumiyah, Matan Tahrib, Matan Alfiyah, Matan Bina, Matan Sullan dan lain sebagainya. Setelah murid-murid menghafal matan matan itu, barulah mereka mempelajari syariatnya, serta hasiyahnya. Dengan demikian pelajaran itu abertabah berat dan sulit untuk menghafalnya. Demikianlah system pengajaraaan pada kesultanan Maulan Yusuf di Banten. Bahkan sampai sekarang masih ada juga orang yang menggunakan system itu, walaupun sudah diadakan perubahan system di sekolah-sekolah (madrasah). Sedangkan di masjid masih menurut system lama. Dari sinilah diketahui bahwa para pengajar dalam bidang pendidikan yang di lakukan di Mesjid Agung Banten di kenaal juga seorang Ulama yang bernama Kiai Dukuh (Pangeran Kasunyatan). Ulama yang terkenal dan serius mengajarkan ilmu-ilmunya adalah kiai Dukuh (Pangeran Kasunyatan), beliau inilah yang melakukan pengajian di lembaga pendidikan sebelum dipindahkan ke satu lembaga di Kasunyatan (tempat penyutan dan santri) sekarang nama desa di Kecamatan Kasemen. Pendidikan yang diajarkan adalah pendidikan ilmu fiqih dan tasawuf untuk para santrinya, sehingga melahirkan ulama-ulama baru, santri yang paling cerdas pada waktu itu adalah Faqih Nazmuddin, beliau ini yang akan menggantikan Kiai Dukuh. Dalam pengajarannya Kiai Dukuh di Bantu oleh ulama dari Madinah yang bernama Syekh Muhammad Madani Sah3. Di Banten juga terdapat lembaga pendidikan Islam yang berada di sekitar masjid yang dimotori oleh sultan pertama Banten. Dari masjid inilah para santri di kader ilmu-ilmu agama, dari ulama dalam maupun ulama dari luar Banten, untuk mencetak kader ulama yang dikirim ke penjuru wilayah kekuasaan Kesultanan Banten, sehingga bisa menyiarkan dan dakwah Islamiyah di Banten, tidak selalu
2 3

Harun Asrohah, M.Ag. Sejarah Pendidikan Islam, Logos, Cet. Ke-2, 2001, Jakarta, h. 56 Husein Djajadiningrat, Tinjaun Kritis Tentang Sejarah Banten, Djambatan, Jakarta, 1993

29

mengambil ulama-ulama dari luar. Guru-guru di Banten yang sangat di kenal dan sangat masyhur pada zamannya yakni Syekh Abdus Sukur Ahmad, Syekh muhammad Madani Sah, dari Madani, Kiai Dukuh (Pangeran Kasunyatan) dan Syakh Faqih Nazmudin. Dengan demikian Banten adalah pusat pendidikan Islam yang muncul dengan sangat cepat dan tumbuh dengan subur, sehingga santri santrinya banyak yang datang untuk menimba ilmu agama di Banten. Selanjutnya sistem pendidikan pondok pesantren ternyata tidak hanya terdapat di Aceh dan Jawa (Demak dan Cirebon), tetapi ternyata terdapat juga di Banten yang berlokasi di Kasunyatan dengan pimpinan ulama Faqih Nazmuddin. Dalam perkembangannya, lembaga pendidikan Islam di Banten dari lahirnya Kesultanan Islam Banten yang digerakan oleh Sultan Maulana Hasanudin dan dilanjutkan oleh putranya Sultan Maulana Yusuf, maupun mengembangkan ajaran Islam ke penjuru wilayah kekuasaan Banten. Dari perkembangan para santri yang sangat pesat untuk belajar di Masjid Agung Banten ini, maulana Yusuf mendirikan lembaga khusus di Banten dan mendirikan pondok pesantren untuk menampung para santri yang datang dari luar Banten. Sebagai tempat yang paling aman dan tidak terganggu dengaan orang orang yang akan melaksanakan ibadah, lembaga pondok pesantren ini di dirikan di sekitar masjid Kasunyatan, dan menunjuk Kiai Dukuh untuk memimpinnya. Pondok pesantren tersebut berlangsung sampai pada masa Sultan Ageng Tirtayasa. Sementara Masjid Agung Banten, setelah didirikan lembaga khusus yang berupa pondok pesantren, masjid hanya digunakan selain untuk shalat, juga untuk sosial-politik, pengembangan wilayah dan mengatur strategi perekonomian. Santri-santri setelah siap untuk diterjunkan ke masyarakat dan mengabdikan dirinya sebagai guru agama, maka para santri tersebut di kampungkampung mendirikan langgar atau mushalah sebagai tempat proses belajar mengajar ilmu agama yang telah di dapat dari gurunya, santri inilah yang mengembangkan sayap Islamisasi di Banten hingga ke pelosok pedesaan. Bidang pendidikan yang diterapkan oleh Sultan Maulana Yusuf sangat berpengaruh besar, sebab pada saat itu masyarakat Banten yang masih berada dalam keadaan krisis ilmu pengetahuan, baik menyangkut masalah keagaman maupun pemerintahan. Karena Masjid Agung Banten berada dalam lingkup yang sangat strategis dan berada di tengah tengah masyarakat. Dalam hal mengembangkan sarana pendidikan. Masjid Agung Banten yang didirikan oleh Sultan Mulana Yusuf, telah berperan sekali dalam membina kader-kader juru dakwah sekligus mempersiapkan calon-calon ulama yang akan menyebarkan agama Islam di Masjid Agung Banten ini, tidak hanya penduduk asli Banten yang ikut serta dalam pendidikan tersebut, melainkan para pelajar yang bersal dari luar pun kut srta dalam mengkaji ilmu-ilmu pengetahun yang dijarkan Sultan Maulana Yusuf sebagai penerus perjuangan ayahandanya. Baik dari gologan pelajar (santri), para pedagang dan yang lainnya. Mereka sengaja datang ke Banten untuk belajar dan mengkaji ilmu-ilmu agama untuk dapat memperluas pengetahuannya dalam bidang pengetuan agama maupun umum.

30

Dengan demikian, Masjid Agung Banten yang merupakan masjid utama Kerajaan Banten, secara otomatis selalu ramai didatangi oleh para pelajar muslim asing yang singgah di Bandar Banten. Mereka berkunjung ke Masjid Agung Banten, dan para Pembesar Kerajaan. Dalam kesempatan demikian Sultan Maulana Yusuf sering mengajak para ulana dan masyaakat muslim untuk terus mengembangkan sistem pendidikan kepada penduduk yang masih kurang ilmu pengetahuan dan yang masih belum mengetahui sama sekali tentang pentingnya pendidikan dalam kehidupan sehari-hari. 2. Peranannya Dalam Bidang Sosial Secara garis besar telah disimpulkan bahwa masjid merupakan pusat hubungan ketiga muslim (masyarakat), sebagai efek dari kedua dan pertama. Sekali tiap lima jam pribadi-pribadi islam bertemu di masjid, bersama-sama mereka menyembah Tuhan Yang Maha Esa, dengan sikap, gerak, ucapan, alam fikiran dan perasaan yang sama, seiman mereka mengajarkan pandangan dan sikap yang sama. Sama syariah yang mereka jalankaan, dengan maaksud yang sama daan tujuan yang sama, ibadah yang sama membentuk sikap dan pandangaan hidup yang sama pula, yakni takwa4. Mereka berkenalan di masjid dan bermusyawarah, bertanya tentang sakit senang masing-masing. Pertemuan yang berkala itu membutuhkan ikatan bathin. Masjid menjalin ikatan Gemeinschalft antara jamaah masjid, kang diistilahkan oleh Islam dengan Ukhuwah Islamiah. Di atas Masyarakat Islam yang di bina oleh masjid itu di tegakkan negara, yang yang rakyatnya terdiri dari himpunan Gemeinschalf jamaah masjid. Dengan organisasi negara mungkinlah di capai Baldatun Tayyibatun Warobbun Gafur, negara yang sejahtera yang diampuni Tuhan. Dengan negara inilah kejayaan dapat dicapai. Karena masjid membentuk kesatuan-kesatuan sosial, jadilh ia pusat dari kesatuan sosial. Dengan demikian masing-masing kesatuan sosial muslim mengambil masjid sebagai pusatnya. Kesatuan sosial kerja mempunyai masjid lingkaran kerja, kesatuan sosial desa dengan masjid desanya, dan lain sebagainya. Maka dimana muslim berada, disitu ada masjid. Masjid jadi pertanda adanya kesatuan sosial muslim disekitarnya. Apa makna masjid dipergunakan sebagai lembaga musyawarah supaya dalam pembicaraan orang selalu dituntun oleh takwa. Masjid sebagai pusat ibadah merupakan pula pusat penumpukan takwa. Dalam mengambil keputusankeputusan orang selalu dipengaruhi oleh keadaan, kondisi, suasansa, demi menuju kesejahteraan masyarakat. Maka baik dalam pembicaraan atau dalam mengambil keputusan, masjid selalu mengingatkan kepada cara berfikir ini. Apabila musywarah dilakukan diluar masjid, keadaan tempat atau pengaruh suasana akan menyimpangkan cara berfikir itu kepada yang bertentangan, sekurang-kurangnya menyimpang dari Islam. Salah satu dari peran sosial masjd ternyata pula dalam hadis yang menceritakan bahwa seorang budak wanita yang telah di merdekakan, telah membuat kemahnya di masjid, di sana ia tinggal. Tentu budak itu setelah
4

Husein Djajaningrat, Tinjaun Kritis Tentang Sejarah Banten, Djambatan, Jakarta, 1993,

31

dibebaskan dalam keadaan ketidaan tempat tinggal, seperti yang telah dikatakan di atas, bahwa dalam tiap hal yang penting fikiran orang diarahkan ke masjid. Demikian pula budak wanita tersebut. Dalam kebingungan ketiadaan rumah, masjid melakukan peran sosialnya menyediakan tempat tinggal sementara baginya. Demikianlah kita lihat musafir yang mencari masjid, apabila malam telah didiambang pintu. Demikianlah kesatuan sosial masing-masing masjid itu berbeda, membawa bersamanya perbedaan kebudayaan, tetapi selama masjid tetap merupakan pusat kehidupan masyarakat, selama itu pula dalam setiap perbedaan kebudayaan dari kesatuan sosial muslim terdapat asas dan prinsip yang menggolongkan masingmasing masing kebudayaan itu ke dalam kebudayaan berpredikat Islam. Sebagaimana kita ketahui bahwasanya ilmu sosial yang mempunyai obyeknya adalah masyarakat yang dilihat dari sudut hubungan antar manusia, dan proses yang timbul dari hubungan manusia di dalam masyarakat. Ilmu sosial juga berusaha mencari unsur-unsur persamaan di bidang aneka warna beribu-ribu masyarakat dan kebudayaan manusia di muka bumi ini, dengan tujuan untuk mencapai pengertian azas hidup masyarakat dan kebudayaan manusia pada umumnya. Peranan masjid dalam bidang sosial mermpunyai aspek Ijtima'iyyah (kegiatan). Di antara lembaga masjid yang mengejewantahkan aspek kegiatan masjid itu adalah lembaga dakwah dan bakti sosial, lembaga manajemen dan dana, serta lembaga pengelolaan jama'ah. Kesemuanya ini pasti menyangkut kepada masyarakat dan kebudayaan. Umpamanya, lembaga dakwah dan lembaga sosial, pasti dimiliki oleh semua masjid. Kegiatan dakwah bisa dilihat dari berbagai bentuk pengajian atau tabligh, diskusi, silaturahmi, dan lain-lain. Adapun kegiatan bakti sosial terwujud dalam bentuk penyantunan anak yatim, khitanan massal, zakat fitrah, pemotongan hewan qurban dan lain-lain. Kesemuanya juga harus adanya kerja sama dengan masyarakat atau orang lain. Oleh karena itu, pengelolaan masjid dan sasaran masjid harus berfokus pada karakteristik masyarakat Islam. Masjid harus terbaik, mampu menumbuh kembangkan sistem masyarakat Islam, sehingga dapat membuktikan ciri, peran dan hakekat tujuan masyarakat Islam itu sendiri. Di pandang dari sudut keIslaman, memang benar bahwa peran Masjid Agung Banten dalam bidang sosial mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pembinaan masyarakat Banten pada masa Sultan Maulana Yusuf memerintah, yang tadinya masyarakat masih banyak yang memeluk agama Budha, semenjak berperannya Masjid Agung Banten dalam bidang sosial, maka lambat laun masyarakat tersebut memeluk agama Islam. Masjid merupakan asas utama dan terpenting bagi pembentukan masyarakat Islam. Karena masyarakat muslim tidak akan terebntuk secara kokoh dan rapih kecuali dengan adanya komitment terhadap sistem, aqidah dan tatanan Islam. Dan hal itu tidak akan dapat ditumbuhkan kecuali dengan semangat masjid. Masjid Agung Banten pun memiliki peran dan fungsi yang sama dengan masjid-masjid lain di dunia. Masjid Agung Banten sebagai masjid yang perannya sangat diakui sekali dalam bidang sosial, masjid ini pada masa pemerintahan Sultan Maulana Yusuf dikalangan dan sekitar kompleks Masjid Agung Banten

32

sudah terlihat jelas, bahwa kegiatan masyarakat Banten pada masa Pemerintahan Sultan Maulana Yusuf sudah mengenal arti gotong royong dan kerjasama, dan mereka juga sudah mengetahui apa pentingnya hidup bersosialisasi kepada orang lain yang akan membawa kepada keuntungan kepada tiap individu masingmasing. Mereka yang saat itu mengetahui dengan jels peran Masjid Agung Banten sebagai sarana pembinaan masyarakat untuk mencapai kesejaheratan rakyat melalui hubungan atau interaksi antar sesama sudah sering melakukan kerja sama dalam bidang-bidang lainnya, seperti : melakukan jual-beli, berdagang dengan mebawa barang dagannya ke kota kain, dan lain sebagainya. Ini terlihat semakin berkembang dan majunya bidang sosial yang telah ditanamkan pada pemerintahan Sultan Maulana Yusuf di Masjid Agung Banten. Dalam tatanan pembangunan dalam bidang sosial, Masjid Agung Banten adalah salah satu bentuk masjid yang tatanan sosialnya lebih tinggi, ini terlihat dari bentuk dan pola arsitekturnya yang menggambarkan kerukunan antar sesama, agar dapat mengokohkan kesatuan dan persatuan umat. Karena ini sesuai dengan cita-cita awal dari Sultan Maulana Hasanuddin yang selalu ingin mensejahterahkan rakyatnya, dan kemudian perjalanan selanjutnya diteruskan oleh anaknya yaitu Sultan Maulana Yusuf. Dari pola arsitekturnya yang selalu mengingatkan masyarakat kepada kepatuhan kita kepada Sang Pencipta, maka Sultan Maulana Yusuf pada saat itu memerintah sudah mempunyai cita-cita luhur meneruskan perjuangan ayahandanya untuk menyebarkan Islam keseluruh wilayah Banten, dengan cara yang demikian Sultan Maulana Yusuf melakukan penyebaran Islam ke seluruh Banten. Karena, jika masyarakat tersebut sudah mengetahui pentingnya hidup bersosialisasi akan lebih mudah penyebaran Islam terealisasi. Semenjak awal berdirinya Kesultanan Banten dalam membangun masyarakat nampaknya tidak pernah pantang surut dalam perjuangan. Unsur inilah yang telah tertanam dalam jiwa msyarakat Banten tersebut yang paham dan mengerti apa arti pentingnya mengadakan hubungan dengan masyarakat lain di sektiarnya. Selama sistem sosial yang dijalankan oleh Sultan Maulana Yusuf, maka peran Masjid Agung Banten sangat tidak mungkin mengalami desintegrasi masyarakat Banten pada khususnya. Lebih dari itu semua, peran Masjid Agung Banten dalam bidang sosial kebanyakan membina masyarakat agar selalu hidup bergorong riyong dan saling membantu antar sesama. Semenjak itulah peran Masjid Agung Banten sebagai pemersatu umat. Peranan Masjid Agung Banten pada masa pemerintahan Sultan Maulana Yusuf masih bersfiat tradisional. Golongan masyarakat yang ada dalam struktur sosial seperti itu disebut golongan masyarakat pra-industri. Diferensiasi dan stratifikasi sosial dalam masyarakat tradisional jauh lebih sederhana daripada masyarakat industri. Lain daripada itu, peranan dalam bidang sosial yang menyertainya jelas merupakan suatu fenomena kultural, karena itu harus diingat dari status yang ada sekarang ini. Karena ini semua menyangkut masalah lapisan masyarakat yang ada pada masa itu masih beragam Hindhu dan juga beragama budha, maka peran Masjid Agung Banten pun harus menyeimbangkan dengan

33

keadaan masyarakat setempat, misalnya berdasarkan bidang politik, sekonomi, pendidikan dan bidang-bidang lainnya. Suatu contoh dalam politk, Raja atau Sultan dapat digolongkan dalam status sosial pemegang kekuasaan tertinggi diantara golongan tersebut, Sultan termasuk dalam golongan yang ekonominya tinggi, karena secara langsung maupun secara tidak langsung Raja atau Sultan menentukan nasib perekonomian dan perdagangan dengan segala peraturannya, dari bidang pendidikan, seorang Sultan atau ulama memegang peranannya dalam pendidikan. Biasanya masjid yang perannya mengatur dan menentukan status orang yang digolongkan atas derajatnya, itu dibicarakan dalam acara resmi, yang nantinya akan terwujud sebuah kepemimpinan yang dapat kebaikan kepada umat. Masjid membentuk kesatuan-kesatuan sosial, maka jadilah ia sebagai pusat sosial. Orang-orang datang ke masjid di samping untuk beribadah (terutama shalat), juga untuk perkara-perkara yang menyangkut ke masyarakatan. Mereka datang untuk musyawarah bagi kemaslahatan masyarakat. Begitu pula Masjid Agung Banten mempunyai peran dalam bidang sosial yaitu dijadikan sebagai lembaga musyawarah kalau ada sesuatu yang penting menyangkut kemaslahatan masyarakat Banten, dengan demikian orang-orang di minta datang ke masjid. Di Masjid Agung Banten juga tersedia Pewadonan (tempat sholat wanita). Pada masa Sultan Maulana Yusuf, wanita mempunyai kedudukan dan tempat dalam masjid. Kedudukan dan tempatnya di pusat kehidupan sosial menentukan kedudukan dan tempatnya dalam masyarakat. Masjid juga mempunyai peran sosial. Musafir yang kemalaman mencari masjid utnuk tempat bermalam, sejarah masjid memberitakan, wakaf sebagai lembaga sosial banyak di bawahi oleh masjid, secara serba tetap untuk keperluan agama, pribadi dan sosial. Masjid Agung Banten dalam bidang sosial pun sangat berperan sekali, bahwa pada pada pemerintahan Sultan Maulana Ysuf, Masjid Agung Banten sudah bergerak dalam bidang sosial, hal ini terlihat jelas dengan banyaknya para pedagang-pedagang asing yang singgah di Banten dan bermalam di masjid tersebut, karena letaknya yang strategis mudah di jangkau oleh orangorang yang akan melaksanakan ibadah maghdoh juga ghairu maghdoh. 3. Peranannya Dalam Bidang Politik Di dalam struktur negara tradisional, kekuasaan Sultanlah yang mempunyai preogratif, baik dalam urusan politik maupun dalam urusan agama. Langsung di bawah Sultan adalah anggota keluarga Sultan dan anggota-anggota kaum bangsawan lainnya. Dalam hal ini Sultan Maulana Yusuf menitik beratkan peranan Masjid Agung Banten sebagai salah satu pertahanan politik dan tempat pengawasan atas pedagang-pedagang yang bersal dari luar negeri di kota Banten. Sebagaimana masjid-masjid lainnya, peranan Masjid Agung Banten sangat diakui dalam hal pembicaraan politik, karena pada saat itu sistem pertahanan ditemptkan di masjid. Dengan alasan, bahwa setiap melakukan aktivitas baik yang menyangkut masalah keagamaan, ekonomi, sosial dan lain-lainnya tidak diketahui oleh penjajah. Dilihat dari kondisi geografis, kota Banten beradadi kota pusat KerajaanMaritim, maka lebih ditik beratkan kehidupannya pada bidang perdagangan, yaitu suatu ciri yang erat hubungannya dengan kenyataan bahwa

34

para pedagang lebih sesui hidup dalam masyarakat kota bercorak maritim. Dan kekuatannya lebih dititik beratkan pada angkatan laut, suatu ciri penting pula dan erat kaitannya dengan suasana politik serta perluasannya. Dalam bidang politik telah dicontohkan oleh Rasulullah. Peran Nabi sebagai pengatur sosial ekonomi masyarakat merupakan tugas politik, dan masalah-masalah amsyarakat dipecahkan di masjid. Konsepsi Islam tentang pemimpin politik ialah dia juga jadi pemimpin agama, sebagai pemimpin agama tentu ia orang yang takwa. Dengan takwa itu politiknya akan bersih dan tegas, tidak menyimpang dari syariat karena itu berjaya. Imam di dalam masjid, serempak immm pula di luarnya, berarti ini berada dalam satu tangan. Melalui imam inilah masjid mengawal dan mengendalikan kegiatan-kegiatan, tidakan dan kerja-kerja politik atau negara. Mimbar masjid merupakan lembaga kekuasaan politik. Siapa yang menduduki mimbar berarti dialah penguasa. Raja menduduki masjid di wilayahnya sebagai wakil penguasa dunia. Dalam Islam mahkota bukan terletak di atas kepala, tetapi mimbar itulah yang menjadi mahkota. Dari pembahasan peran masjid dalam bidang politik, maka penulis dapat menafsirkan bahwa, Masjid Agung Banten pada masa Sultan Maulana Yusuf selain perannya dalam bidang pendidikan, sosil, ekonomi dan yang lainnya, Masjid Agung Banten juga bergerak dalam bidang politik yang mana sebagai pengatur bidang sosil ekonomi. Di dalam masjid, orang-orang di bina agar menjadi orang yang takwa, dengan demikian peran Masjid Agung Banten sebagai sarana pembentukan kader-kader yang berwawasan luas, harus tegas dan bersih dalam berpolitik, harus sesuai dengan syariat Islam untuk kemajuan rakyat Banten. Dilihat dari bentuk bangunan yang ada pada Masjid Agung Banten, masjid ini berada di tengah tengah kampung, berarti setiap yang di lindungi dan dikelilingi oleh sesuatu itu mempunyai pengaruh yang sangat besar sebagaimana Mesjid Agung Banten, masjid ini mempunyai pengruh besar, selain selain di jadikan sebagai sarana peribadatan, Mesjid Agung Banten juga sebgai sarana dan prasarana yang dibutuhkkan oleh setiap orang, baik domestik maupun manca negara. Karena Masjid Agung Banten mempunyai mimbar yang sangat berbeda dengan masjid-masjid lain di pulau Jawa, baik dari bentuk maupun tata letaknya, maka makna yang tersimpan pada mesjid Agung Banten ini juga mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap orang orang yang berada di sekitarnya. Mimbar yang pada saat itu di jadikan sebagai tempat menyampaikan khutbah, seorang khatib kepada jamaah, mimbar tersebut hanya di duduki oleh Sultan, maka dari itu mahkota kerajaan pada saat itu berada di Masjid Agung Banten sebagai sarana pengatur dan penggerak politik secara tegas dan bersih, sesuai dengan ajaran Al Quran dan Hadits. Dengan demikian, Masid Agung Banten sangatlah erat kaitannya dengan kondisi mayarakat Banten yang masih takut akan kecaman-kecaman yang datang dari penjajah yang pada saat itu berkuasa. Karena peran Masjid Agung Banten adalah sebgai pemersatu agama, yaitu kesatuan umat manusia dibawah naungan pemerintahan Sultan Maulana Yusuf.

35

Dalam mempertahankan dan memperjuangkan kota Banten Lama, Sultan Maulana Yusuf Sebagai pengganti dari ayahnya (Sultan Maulana Hasanudin), beliau mempungsikan Mesjid Agung Banten sebagai sarana dan prasarana umat, baik menyangkut masalah pendidikan, politik, sosial, ekonomi, dan lain-lainya. Dengan kata lain, beliau penerus perjuangaan peng-Islaaman di Banten. Dan pada saat itu tempat untuk melakukan atau memperbincangkan masalah-masalah pada rakyat ditempat di Masjid Agung Banten. Jelaslah bahwa peran Masjid Agung Banten dalaam politik sudah dapat mencetak kader-kader pejuang muslim yang sanggup dan berani memperjuangkan tanah airnya, hal ini juga karena banyaknya ilmu pengetahuan di Masjid Agung Banten. Di Masjid Agung Banten juga diajaarkan bagaai mana berpolitik yang baik dan dapat menghasilkaan sesuatu dengan cara halus dan kekerasan. Berpolitik ini sering diajarkan dengan melalui praktek langsung dihalaman depan Masjid Agung Banten. 4. Peranannya Dalam Bidang Ekonomi Kalau kita berbicara masalah ekonomi tidak terlepas dari pasar, karena pasar sangatlah erat hubungannya degnan sifat dan corak kehiduan ekonomi dalam kota itu sendiri. Kira-kira di Indonesia pada abad-abad yagn lalu dengan kerangka patrimonial mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan tipe ekonomi pada masa pemerintahan Sultan Maulana Yusuf, khususnya dalam bidang ekonomi yang diterapkan di Masjid Agung Banten bagaimana peranan Masjid Agung Banten dalam hal mengelola dalam bidang perekonomian. Karena, selama beliau memerintah, langkah yang dijalankannya ialah membuat prikehiduan rakyat Benten menjadi lebih makmur. Selain itu beliau juga mempunyai inisiatif sendiri untuk mmerankan Masjid Agung Banten sebagai tempat merencanakan penanaman padi di sawah basah, agar hasilnya nanti dapat dirasakan oleh rakyat Banten. Dengan sangat menggembirakan sekali hasil coba-coba tersebut telah membawa hasil yang memuaskan, kemudian dari hasil itu disimpan di masjid, sebagian yang lain dijual untuk keperluan dan perbaikan masjid. Di Banten, dengan perekonomiannya yang terutama sekali bersifat agraris, penduduk desa secara pukul rata adalah petani dan penanam padi, entah sebagai pemiliki tanah atau sebagai penggarap bagi hasil. Mereka melakukan pekerjaanpekerjaan lainnya sebagai sambilan saja, jika tidak ada pekerjaan di sawah dan di ladang mereka masing-masing. Dari sinilah, para penduduk dapat mengumpulkan dan mengembangkan hasil kerjanya dengan cara tradisional. Maksudnya, sekalipun hasil dari kesemuanya itu hanya dari penghasilan yang sederhana tetapi mereka puas dengan hasil yang demikian itu. Sudah barang tentu, karena pada saat itu sistem pemerintahan dipusatkan di Masjid Agung Banten, maka hasilnya pun sebagian dikumpulkan di masjid tersebut, dari kesemuanya ini, peran Masjid Agung Banten sudah mempunyai tahap yang sangat penting sekali dalam hal pemberdayaan masyarakat Banten. Keganjilan menyenafaskan masjid dan ekonomi segera terasa apabila kita memahami bahwa salah satu sifat masjid yang menojol dalam tanggapan muslim dewasa ini umumhya adalah kesucian, sedangkan ekonomi demikian duniawinya, sehingga kita tidak heran kalau mendengar bahwa dalam perdagangan orang

36

berbohong dalam persaingan orang melakukan kezaliman, dalam perburuhan orang melakukan penindasan, dalam dunia perusahan orang melakukan intrik, dan melakukan lainnya yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Dalam kapitalisme manusia memperalat manusia dan bangsa menjajah bangsa. Dalam situaisi beginilah nabi berkata : "Bagian yang paling dicntai oleh Allah dari sesuatu kota ialah masjid-masjid dan yang paling dibenci-Nya adalah pasarpasarnya," Peranan masjid dalam bidang ekonomi memang bukan dalam wujud tindakan riil ekonomi, misalnya dalam produksi, distribusi, dan konsumsi. Peranannya terletak dalam bidang idiil atau konsep ekonomi, misalnya hubungan modal dan kerja majikan dan buruh, hutang piutang dan kontrak, jasa kapital dan tenaga, pembagian kekayaan, cara berjual-beli, ukuran dan takaran kegiatan serta bermacam-macam usaha yang lain. Dasar dan prinsip-prisnip ekonomi telah digariskan dalam Al-Qur'an dan Hadis. Tetapi bermacam-macam kegiatan dan wujudnya tidak terdapat di dalamnya. Kenyataan dan wujud penghidupan selalu terus berubah, seirama dengan perubahan kebudayaan, karena bidang ekonomi itu adalah bidang utama kebudayaan. Sebab itu wujud dan kenyataan ekonomi selalu berubah dari zaman ke zaman dan dapat berbeda dari ruang ke ruang. Dalam masyarakat lama dan terbelakang kehidupan ekonomi itu berpusat di pasar-pasar, tempat bertemunya produsen, distributor dan konsumen, ramailah dilakukan jual-beli. Supaya dalam jual-beli itu orang mengusahakan keuntungan dengan jalan halal, jadi berpokok pada takwa, maka didirikanlah masjid yang tidak jauh dari pasar. Pasar dan masjid berpandang-pandangan. Semua orang yang berusaha, dalam melakukan kegiatannya ia terpandang kepada masjid, yang mengingatkan takwa kepada mereka, sebagai awal dari amalan. Bila datang waktu shalat, mereka meninggalkan jual-beli untuk berhubungan dengan Tuhan menyegarkan takwa dalam diri. Selalu mereka diuji, apakah mereka lebih mementingkan pasar daripada masjid. Mereka lalu diingatkan akan hadis, bahwa Tuhan mencintai masjid dan membenci pasar. Apabila muslim itu memberikan makna bahwa masjid telah kehilangan fungsi dan peranannya dalam kehidupan ekonomi maka berakhirlah kontrol dan tuntunan masjid dalam kegiatan masyarakat muslim. Karena itu masjid tetap memainkan perannya dalam kehidupan ekonomi, dengan terwujudnya peranan masjid dalam bidang ekonomi, maka pernyataan dan wujud kehidupannya dapat berubah-ubah dan beragam sekali tetapi selama masjid memainkan peranannya, selama itu pula ia luangkan asas dan prinsip-ptinsip itu kepada Islam. Peran masjid dalam bidang ekonomi, ekonomi yang dimaksud dalam hal ini bukan praktek tetapi ide ekonomi. Yang di bina dan dipelihara oleh masjid ialah pola cita dan konsep-konsep ekonomi, melalui khotbah Jum'at, tabligh, musayawarah, penerangan, dan penghayatan, masjid memberi petunjuk kepada masyarakat supaya mengasakan kehidupan dan praktek ekonomi pada Al-Qur'an dan Al-Hadits, yang di ulas dan di tafsirkan oleh ijtihad. Segi-segi ekonomi itu misalnya : hubungan modal dan kerja, hutang piutang, makna riba dalam tingkattingkat dan bentuk-bentuk ekonomi.

37

Dengan dijalinnya Ukhuwah Islamiyah antara jama'ah ekonomi masjid, masing-masing membersihkan niat mereka, sebab seorang saudar tidak akan merugikan saudranya, bahkan berusaha supaya sama-sama senang. Sebagaimana Masjid Agung Banten pada masa pemerintahan Sultan Maulana Yusuf, telah menjalankan perannya dalam bidang ekonomi dengan sangat baik. Karena dengan adanya Masjid Agung Banten, para pedagang baik yang berasal dari dalam maupun luar Banten, memahami dengan benar arti masjid dan kaitannya dengan ekonomi. Setiap pedagang yang ingin melakukan penipuan, pengurangan dan lain sebagainya yang akan merugikan konsumen, mereka terpandang oleh takwa, karena dihadapan mereka adalah masjid, oleh karenanya Masjid Agung Banten yang oleh Sultan Maulana Yusuf dijadikan sebagai pusat peribadatan umat Islam, selalu menyampaikan dalam tiap khutbahnya, agar di antara sesama umat Islam tidak saling merugikan, dengan kata lain masjid dengan ekonomi adalah salah satu pendukung terjalinnya ukhuwah islmiyah di antara sesama. Dengan jelasnya peran Masjid Agung Banten dalam bidang ekonomi yaitu satu sama lain memberikan ide ekonominya untuk memperbaiki perekonomian ke arah yang lebih maju lagi. Konsep ini berlaku sampai kepada ekonomi dunia, karena para pedagang-pedagang asing yang datang ke Banten untuk berdagang selalu diingatkan oleh prinsip ekonomi yang dijalankan di Banten, sebagai salah satu pusat perekonomian yang pada saat itu berkembang. Demikianlah hubungan masjid dengan kehidupan ekonomi, ia adalah pusat dari Addin, bukan hanya pusat dari agama saja. Ekonomi adalah bagian dari Islam, jelasnya bagian dari kebudayaan sekalipun ekonomi bersifat duniawi, kehidupan ekonomi muslim bertaut dengan masjid.

38

DAFTAR PUSTAKA

Al-Abbas, Ismet TB. H. Drs. Sekilas Tentang Sejarah Kesultanan Banten, Jakarta: PT. Sumber Makmur, 2000. Al-Qardhawi, Yusuf Dr., Tuntunan Membangun Masjid, Jakarta: Gema Insani Press Andalan, 2000. Ambary, Hasan Muarif dkk, Tinjauan Tentang Penelitian Perkotaaan Banten Lama, PIA 1977, Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Sejrah, 1980. As-Shiddiqi, hasbi T.M. Dr., Al-Qur'an dan Terjemahannya, PT. Tanjung Mas Inti, Semarang, 1992. Ayub, E. Moh Drs. Dkk, Manajemen Masjid, Andalan, Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Bahriesj, Huesin., Kamus Hadist Shaheh Bukhari-Muslim , Surabaya: Galundi Jaya, 1990. Bayrakli, Byraktar Dr. Prof., Eksistensi Manusia, Perenial Perss, 1999 Daudy, Ahmad Dr, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta, PT. Bulan Bintang, 1989. Djajadiningrat, Husein, Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten, Djambatan, 1983. Djazimi, H. A Drs., Laporan Hasil Penelitian Individual, Serang: STAIN "SMHB", 1999. Elba, Mundzirin Yusuf, Masjid Tradisional di Jawa, Yogyakarta: Nur Chaya, 1983. Faridl Miftah, Masjid, Bandung: Pustaka, 1983. Gazalbah, Sidi, Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam , Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1973. Harun, Yahya Drs., Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI & XVII , Jakarta: Kurnia Kalam Sejahtera. Harahap, Syafri Soyfan MSAC., Manajemen Masjid, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima, 1996. Hasmy, A Prof., Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia , PT. Al-Ma'arif, Percetakan Offset. Ismail, A. Muhammad, Banten Penunjuk Jalan dan Keterangan Bekas Kesultanan Banten, Saudara-Serang, 1956. Kartodijo, Sartono Dr. Prof., Pemberontakan Petani Banten 1888, Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1984. Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1990. Kuntowijaya, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: PT. Tiara Wicana Yogya, 1992.

39

Lioyd, Christoper, Teori Sosial dan Praktek Politik, Jakarta: CV. Rajawali, 1986. Nasution, harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspekenya , Jakarta: Universitas Indonesia, 1985. Michrob, Halwany Drs., Catatan Masa Lalu Banten, Serang, Saudara, 1993. Soekanto, Soerjono, SosiologiSuatu Pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Pesada, 1990. Stenbrink, A. Karel Dr., Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang. Tjandrasasmita, Uka dkk, Mengenal Peninggalan Sejarh dan Purbakala Kota Banten Lamai, Jakarta: Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, 1987. Wiryoprawiro, M. Zein, Ir., Perkembangan Arsitekrut Masjid di Jawa Timur, Surabaya, PT. Bina Ilmu Surabaya, 19986. Zein, Abd Baqir, Masjid-msajid Bersejarah di Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press, 1999. Musyarifah Sunanto Dr. Prof., Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005 Gazalda Sidi Drs., Masjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1994.

You might also like