You are on page 1of 25

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Dasar Skizofrenia 2.1.1. Definisi Skizofrenia berasal dari dua kata, yaitu Skizo yang artinya retak atau pecah (split), dan frenia yang artinya jiwa. Dengan demikian seseorang yang menderita gangguan jiwa Skizofrenia adalah orang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian (splitting of personality) (Hawari, 2003). Skizofrenia merupakan suatu gangguan psikotik yang kronik, sering mereda, namun timbul hilang dengan manifestasi klinis yang amat luas variasinya. Penyesuaian pramorbid, gejala dan perjalanan penyakit sangat bervariasi, sesungguhnya skizofrenia merupakan satu kelompok dari gangguan yang hiterogen, ditandai dengan distorsi pikiran dan persepsi yang mendasar khas dan oleh afek yang wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted), terbelah dan hilangnya integritas kepribadian dalam gangguan mental atau gangguan jiwa. Skizofrenia merupakan gangguan otak yang berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk berfikir jernih, memanajemen emosi, membuat keputusan dan berhubungan dengan orang lain (Depkes RI, 1993; Kaplan et al., 1997 dan Kaplan & Sadock, 2000). Penderita skizofrenia umumnya mengalami delusi dan halusinasi dimana mereka mendengar dan melihat hal yang tidak nyata atau tidak benar. Skizofrenia merupakan penyakit kronis seperti halnya penyakit kanker atau diabetes yang sangat kompleks penanganannya. Penderita skizofrenia bukan berarti memiliki kepribadian yang terpisah (Split Personality) dan umumnya penderita tidak berbahaya ketika dalam proses pengobatan walaupun perilaku mereka tidak dapat diprediksi dan tidak biasa atau wajar (National Alliance For The Mentally III, NAMI, 2000).

10

Poltekkes Kemenkes Palembang

11

Menurut Hawari (2009) menjelaskan skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang penderitanya tidak mampu menilai reabilitas dengan baik dan pemahaman diri buruk. Gangguan jiwa skizofrenia beraneka ragam mulai dari gangguan pikiran, perasaan dan perilaku. Bicara kacau dengan isi pikiran yang tidak dapat diikuti dan tidak rasional. Perasaannya tidak menentu, marah dan mengamuk (agresif), tertawa gembira atau sebaliknya sedih.

2.1.2. Etiologi Menurut Maramis (1994), faktor-faktor yang berisiko untuk terjadinya Skizofrenia adalah sebagai berikut : a. Keturunan Faktor keturunan menentukan timbulnya skizofrenia, dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia dan terutama anak-anak kembar satu telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri ialah 0,9 1,8%, bagi saudara kandung 7 15%, bagi anak dengan salah satu anggota keluarga yang menderita Skizofrenia 7 16%, bila kedua orang tua menderita Skizofrenia 40 68%, bagi kembar dua telur (heterozigot) 2 15%, bagi kembar satu telur (monozigot) 61 86%. b. Endokrin Skizofrenia mungkin disebabkan oleh suatu gangguan endokrin. Teori ini dikemukakan berhubung dengan sering timbulnya skizofrenia pada waktu pubertas, waktu kehamilan atau peuerperium dan waktu klimakterium. c. Metabolisme Ada yang menyangka bahwa skizofrenia disebabkan oleh suatu gangguan metabolisme, karena penderita dengan skizofrenia tampak pucat dan tidak sehat. d. Susunan saraf pusat

Poltekkes Kemenkes Palembang

12

Ada yang berpendapat bahwa penyebab skizofrenia ke arah kelainan susunan saraf pusat, yaitu pada diensefalon atau kortex otak.

e.

Teori Adolf Meyer Skizofrenia tidak disebabkan oleh suatu penyakit badaniah tetapi merupakan suatu reaksi yang salah, suatu maladaptasi. Oleh karena itu timbul suatu disorganisasi kepribadian dan lamakelamaan orang itu menjauhkan diri dari kenyataan (otisme).

f.

Teori Sigmund Freud Terjadi kelemahan ego, yang dapat timbul karena penyebab psikogenik ataupun somatik. Superego dikesampingkan sehingga tidak bertenaga lagi dan Id yang berkuasa serta terjadi suatu regresi ke fase narsisisme.

g.

Eugen Bleuler Skizofrenia, yaitu jiwa yang terpecah-belah, adanya keretakan atau disharmoni antara proses berfikir, perasaan dan perbuatan.

h.

Skizofrenia sebagai suatu sindrom yang dapat disebabkan oleh bermacam-macam sebab, antara lain keturunan, pendidikan yang salah, maladaptasi, tekanan jiwa, penyakit badaniah seperti lesi otak, arterosklerosa otak dan penyakit yang lain belum diketahui.

i.

Skizofrenia itu suatu gangguan psikosomatik, gejala-gejala pada badan hanya sekunder karena gangguan dasar yang psikogenik, atau merupakan manifestasi somatik dari gangguan psikogenik.

2.1.3. Tanda Gejala Menurut Stuart (2006) membedakan 5 kelompok gejala inti skizofrenia yakni sebagai berikut : a. Gejala positif, terdiri dari : Delusi/waham, yaitu keyakinan yang tidak masuk akal. Contohnya berpikir bahwa dia selalu diawasi lewat televisi,

Poltekkes Kemenkes Palembang

13

berkeyakinan bahwa dia orang terkenal, berkeyakinan bahwa radio atau televisi memberi pesan-pesan tertentu, memiliki keyakinan agama yang berlebihan. Halusinasi, yaitu mendengar, melihat, merasakan, mencium sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Sebagian penderita, mendengar suara/bisikan bersifat menghibur atau tidak menakutkan.

Sedangkan yanng lainnya mungkin menganggap suara/bisikan tersebut bersifat negatif/ buruk atau memberikan perintah tertentu. Pikiran paranoid, yaitu kecurigaan yang berlebihan. Contohnya merasa ada seseorang yang berkomplot melawan, mencoba mencelakai atau mengikuti, percaya ada makhluk asing yang mengikuti dan yakin dirinya diculik/dibawa ke planet lain. Gangguan proses pikir (bentuk, langkah dan isi pikiran). Yang paling menonjol adalah gangguan asosiasi dan terjadi inkoherensi. Bicara kacau yakni terjadi kekacauan dalam gagasan, pikiran, perasaan yang diekspresikan melalui bahasa komunikasi melalui penggunaan kata dan bahasa. b. Gejala negatif Motivasi rendah (low motivation). Penderita akan

kehilangan ketertarikan pada semua aspek kehidupan. Energinya terkuras sehingga mengalami kesulitan melakukan hal-hal biasa dilakukan, misalnya bangun tidur dan membersihkan rumah. Menarik diri dari masyarakat (social withdrawal). Penderita akan kehilangan ketertarikan untuk berteman, lebih suka menghabiskan waktu sendirian dan merasa terisolasi. Anhedonia adalah kemampuan untuk merasakan emosi tertentu, apapun yang dialami tidak dapat merasakan sedih atau gembira. Afek datar (flat affect) merupakan tidak adanya atau hampir tidak adanya tanda ekspresi afek suara yang monoton, dan wajah tidak bergerak.

Poltekkes Kemenkes Palembang

14

Avolisi/Apati adalah irama emosi yang tumpul yang disertai dengan pelepasan atau ketidakacuhan. Defisit perhatian (atensi) adalah menurunnya jumlah usaha yang dilakukan untuk memusatkan pada bagian tertentu

dari pengalaman kemampuan untuk mempertahankan perhatian pada satu aktifitas kemampuan untuk berkonsentrasi. c. Gejala kognitif Mengalami problema dengan perhatian dan ingatan. Pikiran mudah kacau sehingga tidak bisa mendengarkan musik/ menonton televisi lebih dari beberapa menit. sulit mengingat sesuatu, seperti daftar belanjaan. Tidak dapat berkosentrasi, sehingga sulit membaca, menonton televisi dari awal hingga selesai, sulit mengingat/ mempelajari sesuatu yang baru. Miskin perbendaharaan kata dan proses berpikir yang lambat. Misalnya saat mengatakan sesuatu dan lupa apa yang telah diucapkan, perlu usaha keras untuk melakukannya. d. Gejala alam perasaan Disforia merupakan mood yang tidak menyenangkan. Gagasan bunuh diri merupakan keadaan dimana individu mengalami risiko untuk menyakiti diri sendiri atau melakukan tindakan yang dapat mengancam jiwanya, keputusasaan, disfungsi sosial/okupasional yang berpengaruh pada pekerjaan/aktivitas, pada hubungan interpersonal perawatan diri, serta mortalitas/ morbiditas.

2.1.4. Jenis Skizofrenia Penderita skizofrenia digolongkan ke dalam salah satu jenis menurut gejala utama yang terdapat padanya. Adapun pembagian skizofrenia (Maramis, 1994) adalah sebagai berikut : a. Skizofrenia simplex : sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama pada jenis simplex ialah kedangkalan emosi

Poltekkes Kemenkes Palembang

15

dan kemunduran kemauan. Gangguan proses pikir biasanya sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali. Jenis ini timbulnya perlahan-lahan sekali. b. Skizofrenia hebefrenik : permulaannya perlahan-lahan atau subakut dan sering timbul pada masa remaja atau antara 15 25 tahun. Gejala yang menyolok ialah : gangguan proses berfikir, gangguan kemauan dan adanya depersonalisasi. Waham dan halusinasi banyak sekali. c. Skizofrenia katatonik : timbulnya pertama kali antara umur 15 30 tahun, dan biasanya akut serta sering didahului oleh stress emosional. Mungkin terjadi gaduh gelisah katatonik atau stupor katatonik. d. Skizofrenia paranoid : gejala-gejala yang menyolok ialah waham primer, disertai waham-waham sekunder dan halusinasi. Pada pemeriksaan yang teliti adanya gangguan proses berfikir, gangguan afek, emosi dan kemauan. e. Episode Skizofrenia akut : gejala skizofrenia timbul mendadak sekali dan klien seperti dalam keadaan mimpi. Kesadaran mungkin berkabut. f. Skizofrenia residual ialah keadaan skizofrenia dengan gejala-gejala primer, tetapi tidak jelas adanya gejala-gejala sekunder. Keadaan ini timbul sesudah beberapa kali serangan skizofrenia. g. Skizoafektif : gejala-gejala skizofrenia terdapat menonjol secara bersamaan juga gejala-gejala depresi atau gejala-gejala mania. Jenis ini cenderung untuk menjadi sembuh tanpa efek, tetapi mungkin juga timbul lagi serangan.

2.1.5. Karakteristik Skizofrenia a. Gangguan Pikiran Penderita skizofrenia mengalami gangguan dalam cara berpikir maupun isi pikirannya.

Poltekkes Kemenkes Palembang

16

1) Cara Berpikir Neologisme, disini penderita memiliki frasa-frasa kata yang baru dimana frasa kata tersebut hanya bisa dimengerti oleh dia sendiri. Dalam pembicaraanpun mencerminkan asosiasi

longgar dimana ide-ide yang dibicarakan meloncat-loncat dan tidak berhubungan. Selain itu, penderita dipengaruhi oleh bunyikata ketimbang maknanya. 2) Isi Pikiran Kebanyakan penderita skizofrenia mengalami

waham/delusion(suatu perasaan atau keyakinan yang keliru yang tidak bisa diubah dengan penalaran maupun penyajian fakta) Macam waham/delusion : a) Delusion of control : waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu dari luar. b) Delusion of influense : waham tentang dirinya sendiri dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar. c) Delusion of passivity : waham tentang gerkan tubuh, pikiran maupun tindakan tak berdaya terhadap suatu kekuatan dari luar. d) Delusion of perception : waham yang berhubungan dengan pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas dan biasabya bersifat mistik. b. Gangguan Persepsi Penderita seringkali merasakan bahwa dunia tampaknya berbeda bagi mereka. Penderita merasa bagian tubuh mereka tampak terlalu besar ataupun terlalu kecil. Gangguan persepsi yang paling dramatis dinamakan halusinasi. Halusinasi auditirik/dengar (biasanya penderita mendengar suara yang menyuruh penderita berperilaku tertentu maupun mengomentari perilakunya)

merupakan halusinasi yang sering terjadi. Halusinasi visual/lihat (penderita melihat esuatu yang asing) agak jarang ditemukan.

Poltekkes Kemenkes Palembang

17

Halusinasi sensorik lain (penderita merasa ada suatu bau buruk yang keluar dari tubuhnya, merasa kulitnya ditusuk-tusuk) juga jarang ditemukan. c. Gangguan Afek Pada umumnya penderita tidak merasakan emosi apa-apa. Penderita tidak mampu merespon stimulus emosi dengan benar. Sebagai contoh penderia mungkin tidak menunjukkan emosi saat diberitahu kalau anaknya meninggal atau tertawa saat mendapat berita yang tragis. d. Gangguan Perilaku Penderita biasanya menunjukkan aktivitas motorik dan ekspresi wajah yang aneh. Ada juga yang melakukan gerakan yang tak lazim tanpa berhenti atau mempertahankan dalam periode waktu yang lama atau cendeung mematung. e. Gangguan Kemampuan untuk Bekerja Pada umumnya penderita kehilangan motivasi kerja dan keterampilan sosial. Selain itu penderita tak memperlihatkan kesehatan (tidak mau mandi). Dan tidak mau berfungsi dalam kehidupan sehari-hari.

2.1.6. Proses Terjadinya Skizofrenia Skizofrenia terbentuk secara bertahap dimana keluarga maupun pasien tidak menyadari ada sesuatu yang tidak beres dalam otaknya dalam jangka waktu yang lama. Kerusakan yang perlahanlahan ini yang akhirnya menjadi skizofrenia yang tersembunyi dn berbahaya. Gejala yang timbul secara perlahan-lahan ini bisa saja menjadi skizofrenia acute. Periode skizofrenia akut adalah gangguan yang singkat dan kuat, yang meliputi gangguan persepsi sensori: halusinasi, penyesatan piker (delusi), dan kegagalan berpikir. Kadang kala skizofrenia menyerang secara tiba-tiba. Perubahan perilaku yang sangat dramatis menjadi dalam beberapa hari atau minggu. Serangan yang mendadak selalu memicu terjadinya periode akut secara cepat.

Poltekkes Kemenkes Palembang

18

Beberapa penderita mengalami gangguan seumur hidup tapi banyak juga yang bisa kembali hidup secara normal dalam periode akut tersebut. Dalam beberapa kasus, serangan dapat meningkat menjadi skizofrenia kronis. Pasien menjadi buas, kehilangan karakter sebagai manusia dalam kehidupan sosial, tidak memiliki motivasi dan tidak memiliki kepekaan tentang perasaan sendiri.

2.1.7. Terapi (Pengobatan) Ganguan jiwa skizofrenia adalah salah satu penyakit yang cenderung berlanjut (kronis, menahun). Oleh karenanya terapi pada skizofrenia memerlukan waktu relatif lama berbulan bahkan bertahun, hal ini dimaksudkan untuk menekan sekecil mungkin kekambuhan (relapse). Terapi yang dimaksud meliputi terapi dengan obat-obatan anti Skizofrenia (psikofarmaka), psikoterapi, terapi psikososial dan terapi psikorelegius (Hawari, 2003). a. Psikofarmaka Adapun obat psikofarmaka yang ideal yaitu yang memenuhi syarat-syarat antara lain sebagai berikut : 1) Dosis rendah dengan efektivitas terapi dalam waktu relatif singkat. 2) Tidak ada efek samping, kalaupun ada relatif kecil. 3) Dapat menghilangkan dalam waktu relatif singkat gejala positif maupun negatif skizofrenia. 4) Lebih cepat memulihkan fungsi kognitif (daya pikir dan daya ingat). 5) Tidak menyebabkan kantuk. 6) Memperbaiki pola tidur. 7) Tidak menyebabkan habituasi, adiksi, dan dependensi. 8) Tidak menyebabkan lemas otot. 9) Kalau mungkin pemakaiannya dosis tunggal (single dose).

Poltekkes Kemenkes Palembang

19

Jenis obat psikofarmaka dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu golongan generasi pertama (typical) dan golongan generasi kedua (atypical). 1) Termasuk golongan HCL generasi (Largactil), pertama misalnya :

Chlorpromazine

Trifluoperazine

HCL

(Stelazine), Thioridazine HCL (Melleril), Haloperidol (Haldol, Serenace). 2) Termasuk golongan generasi kedua misalnya : Risperidone (Risperdal), Clozapine (Clozaril), Quetiapine (Serquel),

Olanzapine (Zyprexa). b. Psikoterapi Terapi kejiwaan atau psikoterpi pada penderita

skizofrenia, baru dapat diberikan apabila penderita dengan terapi psikofarmaka sudah mencapai tahapan di mana kemampuan menilai realitas (Reality Testing Ability/RTA) sudah kembali pulih dan pemahaman diri (Insight) sudah baik. Psikoterapi diberikan dengan catatan bahwa penderita masih tetap mendapat terapi psikofarmaka. Psikoterapi diberkan tergantung dari kebutuhan dan latar belakang penderita sebelum sakit (Pramorbit), adapun macam psikoterapi adalah sebagai berikut : 1) Psikoterapi Suportif, dimaksudkan untuk memberikan

dorongan, semangat dan motivasi agar penderita tidak putus asa dan semangat juangnya (fighting spirit) dalam menghadapi hidup ini tidak kendur dan menurun. 2) Re-edukatif, dimaksudkan untuk memberikan pendidikan ulang yang maksudnya memperbaiki kesalahan pendidikan di waktu lalu. 3) Psikoterapi Re-konstruktif, dimaksudkan untuk memperbaiki kembali (re-konstruksi) kepribadian yang telah mengalami keretakan menjadi pribadi utuh seperti semula sebelum sakit.

Poltekkes Kemenkes Palembang

20

4) Psikoterapi kognitif, dimaksudkan untuk memulihkan kembali fungsi kognitif (daya pikir dan daya ingat) rasional sehingga penderita mampu membedakan nilai-nilai moral etika, mana yang baik dan buruk. 5) Psikoterapi Psiko-dinamik, dimaksudkan untuk menganalisa dan menguraikan proses dinamika kejiwaan yang dapat menjelaskan seseorang jatuh sakit dan upaya untuk mencari jalan keluarnya. 6) Psikoterpi Perilaku, dimaksudkan untuk memulihkan gangguan perilaku yang terganggu (maladaptif) menjadi perilaku adaptif (mampu menyesuaikan diri). 7) Psikoterapi Keluarga, dimaksudkan untuk memulihkan

hubungan penderita dengan keluarganya. c. Terapi Psikososial Terapi psikososial dimaksudkan penderita agar mampu beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri, mampu mandiri tidak tergantung pada orang lain, sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat. d. Terapi Psikoreligius Terapi keagamaan (Psikoreligius) terhadap Skizofrenia dimksudkan gejala patologis dengan pola sentral keagamaan dapat diluruskan, dengan demikian keyakinan atau keimanan penderita dapat dipulihkan kembali di jalan yang benar.

2.1.8. Karakteristik Skizofrenia Yang Mengalami Ketidakpatuhan Hasil penelitian Wardani (2009) menunjukkan perilaku tidak patuh minum obat pada klien skizofrenia sangat beragam, seperti : menurunkan dosis, meningkatkan dosis, minum obat dengan dosis diluar pengawasan medis, menolak obat, dan minum obat tidak tepat waktu. Perilaku tidakpatuh juga dapat dilihat ketika klien skizofrenia membeli obat sendiri tanpa pengawasan dan kontrol terlebih dahulu ke medis.

Poltekkes Kemenkes Palembang

21

2.1.9. Asuhan Keperawatan Klien Skizofrenia Terhadap Keluarga Salah satu asuhan keperawatan pasien skizofrenia terhadap keluarga adalah dengan penyuluhan keluarga yang anggota keluarganya menderita szofrenia antara lain : 1. Ajarkan pada keluarga tentang skizofrenia : a) Skizofrenia adalah gangguan otak yang mempengaruhi semua aspek fungsional. Tidak ada penyebab tunggal yang telah ditetapkan, tetapi penelitian menunjukkan bahwa penyebabnya, antara lain genetika, perubahan struktur dan kimia otak, serta berbagai faktor yang berkaitan dengan stress. b) Gejala-gejalanya dapat mencakup mendengar suara-suara (halusinasi), keyakinan yang keliru (waham), berkomunikasi dengan cara yang sulit dipahami, serta fungsi okupasi dan sosial yang buruk serta gejala yang dapat membaik, tetapi dapat juga kambuh terus seumur hidup. 2. Ajarkan pada keluarga tentang : a) Obat-obatan antipsikotik yang digunakan : penting bagi klien untuk meminumnya sesuai resep. b) Efek samping yang banyak terjadi dan dapat diatasi bila segera dilaporkan ke penyedia layanan kesehatan (berikan informasi spesifik mengenai obat pasien). 3. Ajarkan pada keluarga tentang cara-cara mengatasi gejala pasien : a) Identifikasi berbagai kejadian yang secara tipikal

mengecewakan pasien dan memberikan bantuan ekstra sesuai kebutuhan. b) Catat pasien kapan menjadi marah dan lakukan tindakantindakan untuk mengurangi ansietas. c) Tindakan untuk mengurangi ansietas meliputi istirahat, teknik relaksasi, keseimbangan antara istirahat dan aktivitas, dan diet yang tepat. d) Catat gejala-gejala yang ditunjukkan pasien ketika ia sakit, dan bila ini terjadi anjurkan pasien untuk menghubungi penyedia

Poltekkes Kemenkes Palembang

22

layanan kesehatan (bila ia menolak, anda harus menghubungi sendiri penyedia layanan kesehatan tersebut). e) Tidak menyetujui pernyataan pasien tentang halusinasi atau waham: beri tahu tentang realitas, tetapi jangan berargumentasi dengan pasien. f) Informasi tambahan : 1. Ajarkan kepada keluarga tentang perawatan diri. 2. Anjurkan kepada keluarga untuk membicarakan tentang perasaan dan kekhawatiran mereka dengan penyedia layanan kesehatan. 3. Anjurkan keluarga untuk mau mempertimbangkan bergabung dengan kelompok pendukung atau bantuan masyarakat.

2.2. Konsep Keluarga 2.2.1. Defenisi Keluarga Menurut Departemen Kesehatan (1988), keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga serta beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di satu atap dalam keadaaan saling ketergantungan. Keluarga adalah dua atau lebih individu yang bergabung karena hubungan darah, perkawinan atau adopsi. Mereka hidup dalam suatu rumah tangga, melakukan interaksi satu sama lain menurut perannya masing-masing serta menciptakan dan mempertahankan suatu budaya (Bailon dan Maglaya, 1978 dalam Sudiharto, 2007). Menurut Friedman (1998), keluarga merupakan satu atau lebih individu yang tergabung karena ikatan tertentu untuk saling membagi pengalaman dan melakukan pendekatan emosional serta mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari keluarga.

2.2.2. Tipe Keluarga Menurut Sudiharto (2007), tipe keluarga dapat dikelompokkan menjadi enam bagian yaitu :

Poltekkes Kemenkes Palembang

23

a. Keluarga Inti (nuclear family) terdiri dari suami, istri dan anak-anak baik karena kelahiran maupun adopsi. b. Keluarga Besar (extended family) terdiri dari keluarga inti ditambah keluarga yang lain (hubungan darah) misalnya kakek, nenek, bibi, paman, sepupu termasuk keluarga modern, seperti orang tua tunggal, keluarga tanpa anak, serta keluarga pasangan sejenis. c. Keluarga berantai (social family) keluarga yang terdiri dari wanita dan pria yang menikah lebih dari satu kali. d. Keluarga asal (family of origin) merupakan suatu unit keluarga tempat asal seseorang dilahirkan. e. Keluarga komposit (composite family) adalah keluarga dari perkawinan poligami dan hidup bersama. f. Keluarga tradisional dan nontradisional, dibedakan menurut ikatan perkawinan. Keluarga tradisional diikat oleh perkawinan.

Sedangkan, keluarga nontradisional tidak diikat oleh perkawinan.

2.2.3. Struktur Keluarga Menurut Settriadi (2006), suktur keluarga ada bermacammacam, diantaranya adalah : a. Patrineal. Patrineal adalah keluarga sedarah yang terdiri dari anak saudara sedarah dalam beberapa generasi, dimana hubungan itu disusun melalui jalur garis ayah. b. Matrineal. Matrineal adalah keluarga sedarah yang terdiri dari anak saudara sedarah dalam beberapa generasi, dimana hubungan itu disusun melalui jalur garis ibu. c. Patrilokal. Patrilokal adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah suami. d. Matrilokal. Matrilokal adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah istri. e. Keluarga Kawin. Keluarga kawin adalah hubungan suami istri sebagai dasar bagi pembinaan keluarga dan beberapa sanak saudara

Poltekkes Kemenkes Palembang

24

yang menjadi bagian keluarga karena adanya hubungan dengan suami atau istri.

2.2.4. Fungsi Keluarga Setiap anggota keluarga memiliki kebutuhan dasar fisik, pribadi dan sosial yang berbeda. Menurut (Friedman, 1998 dalam Setiadi, 2009). Bahwa keluarga memiliki 5 fungsi dasar, yaitu : a. Fungsi Afektif Merupakan fungsi keluarga yang utama untuk mengajarkan segala sesuatu untuk mempersiapkan anggota keluarga berhubungan dengan orang lain. b. Fungsi Sosialisasi Merupakan fungsi mengembangkan dan tempat melatih anak untuk berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk

berhubungan dengan orang lain di luar rumah. c. Fungsi Reproduksi Merupakan fungsi untuk mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan keluarga. d. Fungsi Ekonomi Merupakan fungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan tempat untuk mengembangkan kemampuan individu dalam meningkatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. e. Fungsi Perawatan Merupakan fungsi untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar tetap memiliki produktivitas yang tinggi.

2.2.5. Dimensi Dasar Struktur Keluarga Menurut Friedman struktur keluarga terdiri atas : a. Pola dan proses komuniaksi Pola interaksi keluarga yang berfungsi: 1) Bersifat terbuka dan jujur.

Poltekkes Kemenkes Palembang

25

2) Selalu menyelesaikan konflik keluarga. 3) Berpikiran positif. 4) Tidak mengulang-ulang isu dan pendapatnya sendiri.

Karakteristik komunikasi keluarga yang berfungsi sebagai : a) Karakteristik pengirim 1. Yakin dalam mengemukakan pendapat. 2. Apa yang disampaikan jelas dan berkualitas. 3. Selalu minta maaf dan menerima umpan balik b) Karakteristik penerima : 1. Siap mendengar. 2. Memberikan umpan balik. 3. Melakukan validasi

b. Struktur peran Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan sesuai dengan posisi sosial yang diberikan. Yang dimaksud dengan posisi atau status individu dalam masyarakat misalnya sebagai suami/istri atau anak.

c. Struktur kekuatan Kekuatan merupakan kemampuan (potensial atau aktual) dari individu untuk mengendalikan atau mempengaruhi untuk merubah perilaku orang lain kearah positif.

Tipe struktur kekuatan 1) Legitimate power/authority Hak untuk mengatur seperti orang tua kepada anak. 2) Referent power Seseorang yang ditiru 3) Reword Power Pendapat ahli

Poltekkes Kemenkes Palembang

26

4) Coercive power Dipaksakan sesuai keinginan 5) Informational power Pengaruh melalui persuasif 6) Affectif power Pengaruh melalui manipulasi cinta kasih

d. Nilai-nilai dalam keluarga Nilai merupakan suatu sistem, sikap dan kepercayaan yang secara sadar atau tidak, mempersatukan anggota keluarga dalam satu budaya. Nilai keluarga juga merupakan suatu pedoman perilaku dan pedoman bagi perkembangan norma dan peraturan. Norma adalah pola perilaku yang baik, menurut masyarakat berdasarkan sistem nilai dalam keluarga. Budaya adalah kumpulan dari pola perilaku yang dapat dipelajari, dibagi dan ditularkan dengan tujuan untuk menyelesaikan masalah.

2.2.6. Peran Keluarga Menurut Effendi (1998), berbagai peran yang terdapat dalam keluarga adalah sebagai berikut : a. Peran Ayah : ayah sebagai suami dari istri dan anak-anak, berperan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman sebagai kepala keluarga, sebagai anggota kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya. b. Peran Ibu : sebagi istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya. Di samping itu juga ibu dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya.

Poltekkes Kemenkes Palembang

27

c. Peran Anak : anak-anaknya melaksanakan peranan psiko sosial sesuai dengan tingkat perkembangannya baik fisik, mental, sosial dan spiritual.

2.3. Konsep Dukungan Keluarga 2.3.1. Definisi Dukungan keluarga mengacu kepada dukungan-dukungan yang dipandang oleh anggota keluarga sebagai sesuatu yang dapat diadakan untuk keluarga dimana dukungan tersebut bisa atau tidak digunakan, tetapi anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan. Dukungan keluarga dapat berupa dukungan keluarga internal, seperti dukungan dari suami/istri, dukungan dari saudara kandung, dukungan dari anak dan dukungan keluarga eksternal, seperti dukungan dari sahabat, tetangga, sekolah, keluarga besar, tempat ibadah, praktisi kesehatan (Friedman dalam Yoga,2011). Kane dalam Yoga (2011) mendefenisikan dukungan keluarga sebagai suatu proses hubungan antara keluarga dengan lingkungan sosialnya. Dukungan keluarga tersebut bersifat reprokasitas (timbal balik), umpan balik (kuantitas dan kualitas komunikasi), dan keterlibatan emosional (kedalaman intimasi dan kepercayaan) dalam hubungan sosial. Dukungan keluarga merupakan sebuah proses yang terjadi sepanjang kehidupan, dimana dalam semua tahap siklus kehidupan dukungan keluarga membuat keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal untuk meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga dalam kehidupan (Friedman dalam Yoga,2011). 2.3.2. Komponen Dukungan Keluarga Menurut Cohen dan Mc Kay, (1984) dalam Niven, (2000) bahwa komponen-komponen dukungan keluarga adalah sebagai berikut:

Poltekkes Kemenkes Palembang

28

a.

Dukungan Emosional Dukungan emosional memberikan pasien perasaan nyaman, merasa dicintai meskipun saat mengalami suatu masalah, bantuan dalam bentuk semangat, empati, rasa percaya, perhatian sehingga individu yang menerimanya merasa berharga. Pada dukungan emosional ini keluarga menyediakan tempat istirahat dan memberikan semangat kepada pasien yang dirawat di rumah atau rumah sakit jiwa. Jenis dukungan bersifat emosional atau menjaga keadaan emosi atau ekspresi. Yang termasuk dukungan emosional ini adalah ekspresi dari empati, kepedulian, dan perhatian kepada individu. Memberikan individu perasaan yang nyaman, jaminan rasa memiliki, dan merasa dicintai saat mengalami masalah, bantuan dalam bentuk semangat, kehangatan personal, cinta, dan emosi. Jika stres mengurangi perasaan seseorang akan hal yang dimiliki dan dicintai maka dukungan dapat menggantikannya sehingga akan dapat menguatkan kembali perasaan dicintai tersebut. Apabila dibiarkan terus menerus dan tidak terkontrol maka akan berakibat hilangnya harga diri.

b.

Dukungan Informasi Dukungan ini meliputi jaringan komunikasi dan tanggung jawab bersama, termasuk didalamnya memberikan solusi dari masalah yang dihadapi pasien di rumah atau rumah sakit jiwa, memberikan nasehat, pengarahan, saran, atau umpan balik tentang apa yang dilakukan oleh seseorang. Keluarga dapat menyediakan informasi dengan menyarankan tempat, dokter, dan terapi yang baik bagi dirinya dan tindakan spesifik bagi individu untuk melawan stressor. Pada dukungan informasi keluarga sebagai penghimpun informasi dan pemberi informasi.

c.

Dukungan Nyata Dukungan ini meliputi penyediaan dukungan jasmaniah seperti pelayanan, bantuan finansial dengan menyediakan dana

Poltekkes Kemenkes Palembang

29

untuk biaya pengobatan, dan material berupa bantuan nyata (Instrumental Support/ Material Support), suatu kondisi dimana benda atau jasa akan membantu memecahkan masalah kritis, termasuk didalamnya bantuan langsung seperti saat seseorang membantu pekerjaan sehari-hari, menyediakan informasi dan fasilitas, menjaga dan merawat saat sakit serta dapat membantu menyelesaikan masalah. Pada dukungan nyata, keluarga sebagai sumber untuk mencapai tujuan praktis. Meskipun sebenarnya, setiap orang dengan sumber-sumber yang tercukupi dapat memberi dukungan dalam bentuk uang atau perhatian yang bertujuan untuk proses pengobatan. Akan tetapi, dukungan nyata akan lebih efektif bila dihargai oleh penerima dengan tepat. Pemberian dukungan nyata yang berakibat pada perasaan ketidakadekuatan dan perasaan berhutang, malah akan menambah stress individu. d. Dukungan Pengharapan Dukungan pengharapan merupakan dukungan berupa dorongan dan motivasi yang diberikan keluarga kepada pasien. Dukungan ini merupakan dukungan yang terjadi bila ada ekspresi penilaian yang positif terhadap individu. Pasien mempunyai seseorang yang dapat diajak bicara tentang masalah mereka, terjadi melalui ekspresi penghargaan positif keluarga kepada pasien, penyemangat, persetujuan terhadap ide-ide atau perasaan pasien. Dukungan keluarga ini dapat membantu meningkatkan strategi koping pasien dengan strategi-strategi alternatif berdasarkan pengalaman yang berfokus pada aspek-aspek positif. Dalam dukungan pengharapan, kelompok dukungan dapat mempengaruhi persepsi pasien akan ancaman. Dukungan keluarga dapat membantu pasien mengatasi masalah dan mendefinisikan kembali situasi tersebut sebagai ancaman kecil dan keluarga bertindak sebagai pembimbing dengan memberikan umpan balik dan mampu membangun harga diri pasien.

Poltekkes Kemenkes Palembang

30

2.4. Konsep Kepatuhan 2.4.1. Definisi Kepatuhan Kepatuhan berasal dari kata dasar patuh, yang berarti disiplin dan taat. Kepatuhan adalah derajat dimana pasien mengikuti anjuran klinis dari dokter yang mengobatinya (Kaplak dkk, 1997 dalam Rahman, 2010). Menurut Sacket dalam Rahman (2010) kepatuhan adalah sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan. Istilah kepatuhan juga sering digunakan untuk menggambarkan perilaku yang menunjukkan bahwa pasien akan merubah perilakunya dalam mencapai praktik keperawatan yang positif (Brunner & Suddart 1996). Kepatuhan adalah tingkat perilaku penderita dalam mengambil suatu tindakan untuk pengobatan untuk pengobatan seperti diet, kebiasaan hidup sehat dan kepatuhan berobat (Sacket dkk, 1985). Seorang ahli yang menyatakan pengertian kepatuhan yang hampir sama dengan Sacket dkk adalah Trostle (1988) menyatakan kepatuhan adalah tingkat perilaku klien dalam pengobatan, diet, atau meaksanakan gaya hidup yang sesuai dengan kesehatan. patuhan sulit dianalisa, karena sulit untuk didefinisikan, sulit diukur, dan tergantung pada banyak faktor. Kebanyakan penelitian yang dilakukan hanya berkaitan dengan ketidakpatuhan dalam minum obat sebagai cara pengobatan, misalnya tidak minum obat, minum obat terlalu banyak, minum obat tambahan tanpa resep dokter, dan lain sebagainya. Taylor (1991) dalam Iriana (2010) menyebutkan

ketidakpatuhan sebagai masalah medis yang berat, dan oleh karena itu sejak tahun 1960-an sudah mulai diteliti di negara-negara industri. La Grace & Stone (1985) dalam Iriana (2010) menyatakan bahwa mematuhi rekomendasi pengobatan/perawatan yang dianjurkan dokter merupakan masalah yang sangat penting. Salfarino (1990) dalam Iriani (2010) menyatakan bahwa tingkat kepatuhan keseluruhan adalah 60%.

Poltekkes Kemenkes Palembang

31

Dalam studinya yang dipublikasikan sebelum 1982 telah dilaporkan bahwa tingkat kepatuhan berkisar antara 20-80%. Kravitsz, dkk (1993) dalam Iriana (2010) mengatakan bahwa untuk penyakit-penyakit yang kronis, tingkat kepatuhan terbukti meningkat cukup tinggi dalam seluruh populasi, ditambahkan pula bahwa kepatuhan juga dipengaruhi oleh perubahan gaya hidup yang menguntungkan bagi klien yang menderita penyakit kronis.

2.4.2. Karakteristik Kepatuhan Kepatuhan program terapeutik adalah prilaku klien dalam mencapai perawatan kesehatan, seperti upaya aktif, upaya kolaboratif sukarela antara klien dengan provider. Termasuk didalamnya

mengharuskan klien membuat perubahan gaya hidup untuk menjalani kegiatan spesifik seperti meminum obat, mempertahankan diet, membatasi aktivitas, pemantauan mandiri terhadap penyakit atau

tindakan hygiene spesifik, evaluasi kesehatan secara periodik, pelaksana tindakan terapeutik dan pencegahan lain (Brunner & Suddart, 2002). Sedangkan hasil penelitian Wardani (2009) menunjukkkan tolak ukur perilaku kepatuhan minum obat yaitu adanya kerjasama keluarga dan klien dalam pemberian obat, kesadaran diri dalam kebutuhan obat, kemandirian minum obat dan kedisiplinan minum obat. Selain itu perilaku patuh minum obat diikuti dengan kontrol rutin setelah dirawat di rumah sakit. Menurut Samalin (2010) karaktristik kepatuhan partial meliputi : klien mengurangi dosis yang ditentukan oleh klien sendiri atau hanya mengambil pengobatan mereka dari waktu ke waktu.

2.4.3. Alat Ukur Kepatuhan Kepatuhan sulit untuk dianalisa karena sulit didefinisikan, di ukur dan tergantung pada banyak faktor. Kebanyakan berhubungan dengan ketidaktaatan minum obat sebagai cara pengobatan, misalnya : tidak minum cukup obat, terlalu banyak minum obat dari luar yang

Poltekkes Kemenkes Palembang

32

diresepkan. Metode untuk mengukur kepatuhan dilihat dari sejauh mana para klien mematuhi nasihat dokter dengan baik, meliputi : laporan klien, laporan dokter, perhitungan pil dan botol, tes darah dan urine, alat-alat mekanis, observasi langsung dan hasil pengobatan (Smet, 1994). Menurut Pullar & Felly (1990), Raynor (1992) dam McGavock (1996) dalam Hughes, (1997) ada sejumlah metode untuk mengukur kepatuhan. Metode utama yang saat ini digunakan : wawancara pasien, jumlah pil, hasil pemeriksaan klinis, menggunakan dalam indikator obat dan

farmakologi,

pengukuran

konsentrasi

plasma

pengawasan dengan elektronik. Menurut niven (2002) pengukuran kepatuhan dikatagorikan menjadi : a. Patuh Bila perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan. b. Tidak patuh Bila pasien menunjukkan ketidaktaatan terhadap instruksi yang diberikan.

2.4.4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Menurut Smeltzer dan Bare (2002), beberapa variabel yang mempengaruhi tingkat kepatuhan yaitu: a. Variabel demografi seperti usia, jenis kelamin, suku bangsa, status sosial ekonomi, pekerjaan dan pendidikan. b. Variabel penyakit seperti keparahan penyakit dan hilangnya gejala akibat terapi c. Variabel program terapeutik seperti komplektitas program dan efek samping yang tidak menyenangkan d. Variabel psikososial seperti intelegensia, sikap terhadap tenaga kesehatan, penerimaan atau penyangkalan terhadap penyakit, keyakinan agama atau budaya dan biaya finansial; dan lainnya yang

Poltekkes Kemenkes Palembang

33

termasuk mengikuti regimen hal tersebut diatas juga ditemukan oleh Bart Smet dalam psikosial kesehatan.

2.4.5. Faktor-Faktor Yang Mendukung Kepatuhan Pasien Faktor yag mendukung kepatuhan pasien menurut Feuer Stein, et.al (dalam Niven, 2002) ada beberapa faktor yang mendukung sikap patuh pasien, diantaranya : a. Pendidikan Pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan

sepanjang pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif, seperti penggunan buku dan lain-lain. b. Akomodasi Suatu usaha yang harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian pasien yang dapat mempengaruhi kepatuhan. Pasien yang lebih mandiri harus dilibatkan secara aktif dalam program pengobatan semetara pasien yang tingkat ansietasnya tinggi harus diturunkan terlebih dahulu. Tingkat ansietas yang telalu tinggi atau rendah akan membuat kepatuhan pasien berkurang. c. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial Membangun dukungan sosial dari keluarga dan teman teman sangat penting, kelompok penduduk dapat dibentuk untuk membantu memahami kepatuhan terhadap program pengobatan seperti pengurangan berat badan dan lainnya. d. Perubahan model terapi Program pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin dan pasien terlibat aktif dalam pembuatan program tersebut.

e. Meningkatkan interaksi professional kesehatan dengan pasien. Merupakan suatu yang sangat penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi diagnostik.

Poltekkes Kemenkes Palembang

34

2.4.6. Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Faktor-faktor yang memepengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan menjadi empat bagian menurut Niven (2002) antara lain: a. Pemahaman tentang instruksi Tidak seorangpun dapat mematuhi instruksi jika ia salah paham tentang intruksi yamg diberikan kepadanya. b. Kualitas interaksi Kualitas interaksi antara professional kesehatan dan pasien merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan c. Isolasi sosial dan keluarga Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta juga dapat menentukan tentang program pengobatan yang mereka terima. d. Keyakinan sikap dan kpribadian Becker, et al (1979) dalam Pauzi (2010) telah membuat suatu usulan bahwa model keyakinan kesehatan berguna untuk memperkirakan adanya ketidakpatuhan.

Poltekkes Kemenkes Palembang

You might also like