You are on page 1of 15

FRAKTUR

A. Pendahuluan Trauma mengakibatkan lebih dari 140.000 kematian di Amerika Serikat dan merupakan penyebab kematian tertinggi pada kelompok usia 1-34 tahun serta menyebabkan hilangnya tahun-tahun produktivitas lebih tinggi daripada yang disebabkan oleh penyakit arteri koroner, kanker, dan stroke. Setiap tahun, lebih dari 50 juta orang di Amerika Serikat menjalani penatalaksanaan medis karena luka. Perkiraan biaya yang untuk perawatan medis ini diperkirakan mencapai 400 juta dollar (Buckley, 2012). B. Etiologi Fraktur terjadi ketika tulang terkena gaya yang melebihikekuatan tulang tesebut. Faktor intrinsik maupun ekstrinsik amat berpengaruh terhadap terjadinya fraktur. Faktor ekstrinsik meliputi seberapa besar beban mekanis yang diterima tulang dan berapa lama durasinya, arahnya, dan magnitude gaya yang mengenai tulang. Faktor instrinsik meliputi kapasitas tulang untuk menyerap energi, modulus elastisitas, fatigue, kekuatan, dan densitas (Buckley, 2012). Tulang dapat mengalami fraktur sebagai akibat dari trauma langsung maupun tak langsung. Trauma langsung meliputi gaya langsung yang mengarah ke tulang; mekanisme langsung tersebut meliputi tapping fracture, fraktur penetrasi, dan cruch fracture. Trauma tak langsung adalah gaya yang bekerja dengan jarak tertentu dari lokasi fraktur, seperti tension (traksi), kompresif, dan gaya rotasional (Buckley, 2012).

C. Definisi dan Klasifikasi Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya (Smeltzer & Bare, 2002) atau setiap retak atau patah pada tulang yang utuh (Reeves, Roux & Lockhart, 2002). Fraktur didefinisikan sebagai terputusnya integritas tulang hidup, yang meliputi cedera sumsum tulang, periosteum, dan jaringan lunak di dekatnya. Terdapat berbagai tipe-tipe fraktur yang telah dikemukakan para ahli, seperti patologis, stres, dan greenstick. Ketika terjadi fraktur, diperlukan penegakan diagnosis baik secara radiologis dan klinis, dengan faktor-faktor sebagai berikut : 1. Anatomis : fraktur dijelaskan dengan tulang yang terlibat di dalamnya dan bagian mana yang terkena pada tulang tersebut (diafisis, metafisis, fisis, epifisis). 2. Keterlibatan permukaan artikuler : apakah fraktur disertai keterlibatan intraartikular? Apakah terdapat perpindahan atau perenggangan intra-artikular? 3. Displcement: apakah fragmen distral fraktur tampak berpindah jika dibandingkan dengan fragmen proksimal? Displacement terjadi pada derajat berapa dan berapa persentasenya? 4. Angulasi: Deformitas angular dinilai dengan melihat fragment distal dan fragmen proksimal atau melalui perbandingan dengan apex proksimal fragmen distal. 5. 6. Rotasi: adanya deformitas rotasional ditegakkan secara klinis dan radiologis. Shortening: Apakah fraktur menyebabkan terjadinya pemendekan pada tulang yang terlibat? Seberapa parah terjadinya pemendekan tersebut?

7.

Fragmentasi: Muller AO menjelaskan mengenai fragmentasi ya g terjadi pada fraktur sebagai berikut: Fraktur multifragmen adalah terjainya beberapa patahan pada tulang yang mengakibatkan terbentuknya lebih dari dua fragmen. Wedge fracture adalah adanya tekanan energi secara spiral (rendah) atau bending (tinggi) yang mengakibatkan fragmen fraktur diatal dan proksimal saling terhubung satu sama lain. Fraktur kompleks multifragmenter adalah fraktur segmental yang terjadi tanpa disertai kontak antara fragmen proksimal dan distal fraktur serta pemendekan tulang. Simple fracture terbagi menjadi tiga jenis, yaitu spiral, oblique, atau transversal.

8.

Keterlibatan jaringan lunak. Hal ini dijelaskan ddengan klasifikasi GustilloAnderson sebagai berikut: Derajat I: Luka < 1 cm, bersih, dan secara umum disebabkan oleh fragmen fraktur yang mengenai kulit (seperti pada inside-out injury). Tekanan yang terjadi adalah tekanan energi rendah. Derajat II: Luka >1 cm, tidak terkontaminasi, tanpa kerusakan atau defek jaringan lunak. Di sini juga terjadi tekanan energi rendah. Derajat III: Luka > 1 cm dengan kerusakan jaringan lunak signifikan. Mekanisme yang mengakibatkannya sering berupa trauma dengan tekanan energi tinggi sehingga mengakibatkan fraktur tidak stabil berat dengan beberapa jenis derajat fragmentasi. Fraktur tipe III diklasifikasikan lagi menjadi :

IIIA : Kerusakan jaringan lunak dengan masih ada cuku[ jaringan lunak untuk menutup tulang , sehingga tidak diperlukan flap lokal atau jauh untuk menutupi tulang IIIB : Kerusakan jaringan lunak ekstensif sehingga diperlukan flap lokal atau jauh untuk menutupi tulang. Luka mungkin terkontaminasi, karena itu diperlukan irigasi dan debridement serial untuk memastikan bahwa luka telah bersih. Gambar di bawah ini adalah ilustrasi untuk fraktur derajat IIIB :

IIIC : Semua fraktur terbuka dengan injuri arterial yang memerlukan pena nganan seegera (Buckley, 2012).

Gambar tersebut adalah bukti radiologis dari pemeriksaan angiografi untukmelihat adanya injury vaskuler setelah terjadi trauma. Komponen injury jaringan lunak yang terjadi pada trauma dangat penting untuk menentukan hasil penatalaksanaan fraktur. Klasifikasi Gustillo telah diketahui hanya memiliki reliabilitas intraobserver dan interobserver sedang untuk

mengklasifikasikan fraktur. Skala fraktur Tscherne dan Hannover memiliki sistem klasifikasi yang lebih baik untuk mengevaluasi injury jaringan lunak dengan

ketentuan-ketentuan untuk ukurna luka, area skin loss, dan kerusakan jaringa lunak di dekatnya (Buckley, 2012). D. Patofisiologi Penyembuhan pada fraktur teerjadi dalam lima fase, yaitu sebagai berikut: 1. Fase fraktur dan inflamasi. 2. Pembentukan jaringan granulasi. 3. Pembentukan Callus. 4. Deposisi tulang lamella. 5. Remodelling (Buckley, 2012). Periode paling penting pada penyembuhan fraktur adalah fase inflamasi dan pembentukan hematom yang terjadi setelahnya. Pada fase ini mekanisme sinyal seluler bekerja melalui kemotaksis dan mekanisme inflamasi untuk menarik sel-sel yang terlibat dalam inisiasi respon penyembuhan. Dalam 7 hari, tubuh akan membentuk jaringan granulasi di antara fragmen fraktur. Berbagai substansi sinyal biokimia terlibat dalam proses pembentukan granulasi ini, yang berlangsung selama 14 hari (Buckley, 2012). Selama pembentukan callus, proliferasi dan diferensiasi sel mulai memproduksi osteoblast dan kondroblas di dalam jaringan granulasi. Osteoblas dan kondroblas mensintesis matriks organis ekstraseluler pada woven bone dan kartilago. Fase ini memerlukan waktu 3-16 minggu (Buckley, 2012).

Selama fase keempat, callus meshlike pada woven bone digantikan oleh lamellar bone, yang diatur oleh axis tulang. Fase terakhir meliputi remodeling tulang pada lokasi fraktur oleh berbagai jenis tipe seluler seperti osteoklas, Kedua fase terakhir ini memerlukan waktu 1-4 tahun (Buckley, 2012). Faktor pasien yang mempengaruhi penyembuha fraktur termasuk usia, komorbiditas, penggunaan obat, faktor sosial, dan nutrisi. Faktor lain yang mempengaruhi penyembuhan fraktur termasuk tipe fraktur, derajat rauma, penyakit lokal dan sistemik, dan infeksi (Buckley, 2012). Pasien yang memiliki prognosis buruk pada penyembuhan fraktur akan memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami komplikasi penyembuhan fraktur, seperti nonunion, malunion, osteomyelitis, dan nyeri kronis. Tabel di bawah ini menjelaskan mengenai faktor pasien yang mempengaruhi

penyembuhan fraktur. Faktor Usia Komorbiditas Penguunaan Obat Faktor Sosial Nutrisi Tipe Fraktur Trauma Faktor lokas (Buckley, 2012). E. Penatalaksanaan Penatalaksanaan inisial pada fraktur terdir dari penyambungan kembali segmen yang patah kemudian imobilisasi ekstremitas yang terkena dengan pemasangan splint. Status neurologis dan vaskuler harus dinilai secara klinis dan Ideal Muda Bukan perokok Baik Tertutup, neurovaskuler intak Satu ekstremitas Tanpa infeksi Problematik Lebih dari 40 tahun + (e.g DM) NSAID, kortikosteroid Perokok Buruk Fraktir terbuka dengan suplai darah yang buruk Beberapa ekstremitas Dengan infeksi

setelah penyambungan kembali serta pemasangan splint. Jika pasien mengalami fraktur terbuka, hemostasis harus diatasi secepat mungkin yang dapat dilakukan dengan memberikan bebat tekan steril pada lokasi injury (Hamblen dan Simpson, 2007). Pemasangan splint merupakan penatalaksanaan yang esensial untuk memberikan terapi simtomatis pada pasien serta dpat juga untuk mencegah injury neurologis dan vaskuler potensial pada jaringan lunak lokal. Pasien dapat diberikan analgesic asetaminofen atau golongan opiate bila perlu (Hamblen dan Simpson, 2007). Tujuan penatalaksanaan fraktur terbukan adlah untuk mencegah infeksi, memberikan waktu untuk penyembuhan tulang, dan mengembalikan fungsi ekstremitas. Jika telah dilakukan penilaian inisial, serta penatalaksanaan untuk injury yang mengancam jiwa, artinya fraktur terbuka telah dapat teratasi. Hemostasis harus dipertahankan, kemudian diikuti dengan pemberian antibiotik dan vaksinasi tetanus (Hamblen dan Simpson, 2007). Sefazolin dan Klindamisin diberikan untuk injury fraktur derajat I dan II. Jika luka terkontaminasi berat (derajat III), harus ditambahkan aminoglikosida seperti gentamisin atau tobramisin pada terapi. Jika pasien mengalami barnyard injury atau water-type injury, juga harus ditambahkan penisilin sebagai profilaksis terhadap Clostridium perfringens. Profilaksis tetanus dan imunisasi harus diberikan pada pasien yang nelum pernah diimunisasi sebelumnya (Hamblen dan Simpson, 2007). Penggunaan golongan kuinolon sebagai profilaksis sebaiknya dihindari karena cepat berkembangnya stafilokokus resisten dan kuinolon adalan obat

utama dalam penatalaksanaan infeksi terkait implant (Hamblen dan Simpson, 2007). Irigasi dan debridement (I&D) pada luka di ruang operasi merupaka suatukeharusan. Untuk injury tipe I dan II, direkomendasikan I&D serial tiap 2448 jam setelah debridement inisial sampai dipastikan luka bedah telah bersih. Luka ditutup ketika sudah bersih dan antibiotik diteruskan sampai 2 hari setelah I&D terakhir (Hamblen dan Simpson, 2007). Penatalaksanaan fraktur terbuka bergantung pada lokasi injury dan jenis fraktur terbuka. Luka harus distabilkan baik temporer maupun definitif. Jika lapisan jaringan lunak inadekuat, dilakukan transfer jaringan lunak atau free flap ketika luka telah bersih dan fraktur telah dapat diatasi secara definitif (Hamblen dan Simpson, 2007). F. Indikasi Penatalaksanaan fraktur dapat dibagi menjadi teknik nonoperatif dan operatif. Teknik nonoperatif terdiri dari closed reduction bila perlu, diikuti

dengan periode imobilisasi dengan pemasangan cast atau splint. Closed reduction diperlukan jika fraktur tampak berpindah atau angulasi signifikan (Hamblen dan Simpson, 2007). Jika fraktur tidak dapat direduksi, dipertimbangkan intervensi bedah. Indikasi intervensi bedah adalah sebagai berikut : 1. Gagal penatalaksanaan nonoperatif (closed). 2. Fraktur tidak stabil yang tidak dapat diatasi dengan posisi reduksi. 3. Fraktur displaced intra-articulas (>2 mm)

10

4. Pasien dengan fraktur yang dikatehui memiliki proses penyembuhan burun setelah terapi nonoperatif (e.g fraktur femoral neck). 5. Fraktur dengan avulsi luas dengan disrupsi tendon muskulus atau fungsi ligament pada sendi yang terkena (e.g fraktur ptella). 6. Fraktur patologis. 7. Multiple traumatic injuries melibatkan pelvis, femur, dan vertebra. 8. Fraktur terbuka tidak stabil atau fraktur terbuka dengan komplikasi. 9. Fraktur pada individu yang diketahui akan memerlukan imobilisasi jangka panjang (e.g pasien lansia dengan fraktur femoral proksimal. 10. Fraktur pada area pertumbuhan pada individu dengan skeletal imatur yang memiliki risiko tinggi berhenti tumbuh (e.g Selter-Harris tipe III dan IV). (Hamblen dan Simpson, 2007). G. Kontraindikasi Kontraindikasi untuk rekonstruksi bedah antara lain: 1. Infeksi aktif baik lokal maupun sistemik atau osteomyelitis. 2. Jaringan lunak tidak mampu melindungi fraktur atau pendekatan dengan bedah karena buruknya kualitas jaringan lunak sebagai akibat injury jaringan lunak atau luka bakar, bekas luka parut bedah sebelumnya, atau infeksi aktif. 3. Kasus-kasus dimana amputasi akan lebih mampu menyelamatkan ekstremitas pasien. (Hamblen dan Simpson, 2007).

11

G. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium preoperatif yang dilakukan bergantung pada usia pasien, luas injury, dan kondisi lain yang menambah morbisitas pasien. Pasien trauma memerlukan penatalaksanaan dengan prinsip ATLS. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan pada preoperatif ( tetapi bukan merupakan prinsip wajib) adlah sebagai berikut: 1. Darah lengkap 2. Elektrolit, kreatinin, dan gula darah. 3. Urinalisis 4. Faal hemostasis, terdiri dari aPTT dan INR. 5. Golonga darah dan cross match. 6. Pemeriksaan roksikologi dan alkohol (Hamblen dan Simpson, 2007). H. Imaging Berdasarkan kondisi medis pasien, dapat dilakukan pencitraan radiografi thorax. Rule of Two pada pencitraan fraktur : 1. Two views : lakukan dari posisi anteroposterior (AP) dan lateral pada ekstremitas yang terkena ( 2 views orthogonal 90o satu sama lain). Berdasarkan area yang terkena, dpat dilakukan radiografi spesifik, seperti Joint-specific radiograph. 2. Two joints : ketika terjadi injury pada ekstremitas, direkomendasikan untuk melakukan X Ray pada sendi di atas dan di bawah injury untuk mengetahui

12

potensi terjadinya fraktur lain atau kemungkinan dislokasi pada sendi di dekatnya.

Midshaft femoral fracture dengan dislokasi hip joint ipsilateral. Hasil X Ray di atas menggunakan prinsip rule of two (Buckley, 2012) 3. Two limbs : direkomendasikan melakukan X ray pada ekstremitas yang terkena maupun tidak untuk analisis anatomi osseus dan membantu penegakan diagnosis. Hal ini utamanya penting untuk menentukan panjang ekstremitas dan rotasi pasaanak dengan injury cakra epifisis atau pasien dengan fraktur kominutif berat.

13

4. Two times : direkomendasikan melakukan X Ray sebelum dan sesudah reduksi atau fikasasi untuk menilai kecukupan reduksi fraktur (Buckley, 2012) Radiografi harus dilakukan dengan prinsip Rule of the 6 As, yaitu :

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Anatomy (eg, proximal tibia) Articular (eg, intra- vs extra-articular) Alignment (eg, first plane) Angulation (eg, second plane) Apex (pada fragmen diatal fraktur) Apposition (eg, 75% atau 0% [bayonet])

(Buckley, 2012) Umumnya CT scan tidak diindikasikan untuk evaluasi fraktur. MRI dapat diindikasikan untuk menilai cedera pada kolumna spinalis (Hamblen dan Simpson, 2007). I. Follow Up Konsultasi dengan spesialis rehabilitasi untuk membantu pemulihan fungsi ekstremitas. Kebutuhan fisioterapi bergantung pada etiologi cedera dan motivasi, tingkat pendidikan, serta kemampuan pasien. Semua pasien harus diobservasi untuk potensi terjadinya komplikasi (Buckley, 2012). J. Komplikasi Komplikasi yang mungkin timbul dari pemasangan cast adalah osteoporosis, edema kronis, atrofi jaringan lunak, dan kekakuan sendi. Masala-

14

masalah tersebut dapat dihindari dengan memberikan functional aftercare. Komplikasi tindakan traksi adalah pressure ulcer, infeksi paru, UTI, kontraktur footdrop permanen, peroneal palsy, pin tract infection, kejadian tromboembolik, DVT, emboli paru. Komplikasi yang dapat timbul dari fiksasi eksternal adalah gangguan gerakan sendi, kerusakan neurovaskuler. Komplikasi yang dapat timbul dari intervensi bedah antara lain cedera neurologis dan vaskuler, sindrom kompartemen, infeksi, tromboemboli, nekrosis avaskuler, artritis posttraumatic, komplikasi dalam penyembuhan tulang {delayed, nonunion, dam malunion). (Buckley, 2012)

15

DAFTAR PUSTAKA

Buckley, R. (2012) General Principles of Fracture Care Treatment and Management. Emedicine Drugs, Desease and Procedures. Diakses pada 26 September 2012. Hamblen dan Simpson (2007) Principles of Fracture Treatment. In: Adams Outline of Fractures. 12th ed. Philadelphia: Churchill Livingstone, pp. 29-51. Smeltzer SC, & Bare BG (2002) Brunner and Suddarth ' s Textbook of MedicalSurgical Nursing, 9th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. Reeves CJ, Roux R, G Lockhart (2002) Textbook of Medical-Surgical Nursing, 8th edition. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.

You might also like