You are on page 1of 8

REKONSTRUKSI TEOLOGIS :

MEMPERTIMBANGKAN GAGASAN HASSAN HANAFI


Oleh : Koord. Materi Keislaman

A. Sekilas Biografi Hassan Hanafi


Memahami pemikiran seseorang, tidak bisa dilepaskan dari perspektif historis kelahiran pemikiran
beserta ruang lingkup yang mempengaruhinya. Ada beragam faktor yang turut terlibat dalam memunculkan
karakteristik pemikiran seseorang. Menurut Anton Bakker dan Charis Zubair (1990: 47), sebagaimana dikutip
Listiyono Santoso (2007: 267) manusia itu makhluk historis. Maka memahami pemikiran Hanafi juga tidak bisa
dilepaskan dari berbagai faktor yang mempengaruhi terbentuknya karakteristk dasar pemikirannya.
Hassan Hanafi lahir di Kairo, 13 Februari 1935, dari keluarga musisi (John L. Esposito, 1995:98 ).
Pendidikannya diawali di pendidikan dasar, tamat tahun 1948, kemudian di Madrasah Tsanawiyah ‘Khalil Agha’,
Kairo, selesai 1952. Selama di Tsanawaiyah ini, Hanafi sudah aktif mengikuti diskusi-diskusi kelompok Ikhwanul
Muslimin, sehingga tahu tentang pemikiran yang dikembangkan dan aktivitas-aktivitas sosial yang dilakukan.
Selain itu, ia juga mempelajari pemikiran Sayyid Quthub tentang keadilan sosial dan keislaman. Tahun 1952 itu
juga, setamat Tsanawiyah, Hanafi melanjutkan studi di Departemen Filsafat Universitas Kairo, selesai tahun 1956
dengan menyandang gelar sarjana muda, terus ke Universitas Sorbone, Prancis. Pada tahun 1966, ia berhasil
menyelesaikan program Master dan Doktornya sekaligus dengan tesis ‘Les Methodes d’Exegeses: Essei sur La
Science des Fondament de La Conprehension Ilmu Ushul Fiqh’ dan desertasi ‘L’Exegese de la Phenomenologie,
L’etat actuel de la Methode Phenomenologie et son Application au Phenomene Religiux’ (Lutfi Syaukani, 1994:
121).
Hassan Hanafi harus diakui merupakan seorang intelektual muslim berkebangsan Mesir yang sangat
produktif. Pada fase awal pergulatan pemikirannya, tulisan-tulisan Hassan Hanafi bersifat ilmiah murni. Baru
setelah itu, ia mulai berbicara tentang keharusan Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang
progresif dan berdimensi pembebasan (Taharrur, Liberation). Hal itu mengisyaratkan, bahwa fungsi pembebasan
jika kita inginkan, dapat membawa masyarakat pada kebebasan dan keadilan. Pada tahun 80-an Hassan Hanafi
mulai mengarahkan pemikirannya pada upaya universalisasi Islam sebagai paradigma peradaban melalui
sistematisasi proyek “Tradisi dan Modernitas” yang ditampilkan memalui bukunya al-Turas Wa al-Tajdid yang
terbit pada tahun 1980. Lalu al-Yasar al-Islami (Kiri Islam); sebuah tulisan yang berbau ideologis. Jika Kiri
Islam baru merupakan pokok-pokok pikiran yang belum memberikan rincian dari program pembaruannya, maka,
buku Min al-Aqidah ila Al-Tsaurah (5 jilid) yang ditulis hampir sekitar 10 tahun dan baru terbit pada tahun 1988,
memuat uraian rinci tentang pembaharuan dan memuat gagasan rekonstruksi ilmu kalam (teologi Islam klasik).
Dan tulisan singkat ini mencoba untuk mengurai sedikit tentang gagasan rekonatruksi ilmu kalam ini.

C. Dari Teologi Theosentris ke Antroposentris.


Selain secara teoritis, teologi klasik dianggap tidak ilmiah dan tidak filosofis, karena cenderung lepas
dari sejarah dan pembicaraan tentang manusia disamping cenderung sebagai legitimasi bagi status quo, menurut
Hanafi, secara praktis, teologi tidak bisa menjadi ‘pandangan yang benar-benar hidup’ yang memberi motivasi
tindakan dalam kehidupan konkrit manusia. Sebab, penyusunan teologi tidak didasarkan atas kesadaran murni
dan nilai-nilai perbuatan manusia, sehingga muncul keterpecahan (split) antara keimanan teoritik dan keimanan
praktis dalam umat, yang pada gilirannya melahirkan sikap-sikap moral ganda atau ‘singkritisme kepribadian’.
Fenomena sinkritis ini tampak jelas, menurut Hanafi, dengan adanya ‘faham’ keagamaan dan sekularisme (dalam
kebudayaan), tradisional dan modern (dalam peradaban), Timur dan Barat (dalam politik), konservatisme dan
progresivisme (dalam sosial) dan kapitalisme dan sosialisme (dalam ekonomi). (Hanafi, 1991: 59)
Kerangka konseptual di atas pada gilirannya membuat Hanafi berani mengajukan konsep baru tentang
teologi Islam. Tujuannya untuk menjadikan teologi tidak sekedar sebagai dogma keagamaan yang kering dan
kosong melainkan mampu menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, menjadikan keimanan berfungsi
secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi tindakan manusia. Karena itu, gagasan-gagasan Hanafi yang
berkaitan dengan teologi, berusaha untuk mentranformulasikan teologi tradisional yang bersifat teosentris menuju
antroposentris, dari Tuhan kepada manusia (bumi), dari tekstual kepada kontekstual, dari teori kepada tindakan,
dan dari takdir menuju kehendak bebas. Pemikiran ini, minimal, di dasarkan atas dua alasan; pertama, kebutuhan
akan adanya sebuah ideologi (teologi) yang jelas di tengah pertarungan global antara berbagai ideologi. Kedua,
pentingnya teologi baru yang bukan hanya bersifat teoritik tetapi sekaligus juga praktis yang bisa mewujudkan
sebuah gerakan dalam sejarah (AH. Ridwan, 1998: 44-5).
Untuk menggagas satu formulasi baru dan menambal kekurangan teologi klasik yang dianggap tidak
berkaitan dengan realitas sosial, Hanafi menawarkan dua teori (Hanafi, 1991: 408-409). Pertama, analisa bahasa.
Bahasa dan istilah-istilah dalam teologi klasik adalah warisan nenek moyang dalam bidang teologi yang khas, dan
seolah-olah sudah menjadi doktrin yang tidak bisa diganggu gugat. Menurut Hanafi, istilah-istilah dalam teologi
sebenarnya tidak hanya mengarah pada realitas yang transenden dan ghaib, tetapi juga mengungkap tentang sifat-
sifat dan metode keilmuan; yang empirik-rasional seperti iman, amal dan imamah, yang historis seperti nubuwah
dan ada pula yang metafisik, seperti Tuhan dan akherat. Kedua, analisa realitas. Menurut Hanafi, analisa ini
dilakukan untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologis munculnya teologi dimasa lalu dan bagaimana
pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat atau para penganutnya. Selanjutnya, analisa realitas berguna untuk
menentukan stressing bagi arah dan orentasi teologi kontemporer.
Untuk melandingkan dua usulannya tersebut, Hanafi paling tidak menggunakan tiga metode berfikir;
dialektika, fenomenologi dan hermeunetik. Dialektika adalah metode pemikiran yang didasarkan atas asumsi
bahwa perkembangan proses sejarah terjadi lewat konfrontasi dialektis dimana tesis melahirkan antitesis yang
dari situ kemudian melahirkan sintesis. Hanafi menggunakan metode ini ketika, sebelumnya, menjelaskan tentang
sejarah perkembangan pemikiran Islam. Juga ketika Hanafî berusaha untuk membumikan kalam yang dianggap
melangit. Maka apa yang dilakukan Hanafi terhadap kalam klasik ini sama sebagaimana yang dilakukan Marx
terhadap pemikiran Hegel. Menurut Marx, pemikiran Hegel berjalan di kepalanya, maka agar bisa berjalan
Training of Trainer (ToT) 2
Pelatihan Kader Dasar (PKD) PMII Tarbiyah Surabaya Selatan
“Re-Eksistensi Mahasiswa : Mendobrak Antagonisme Gerakan dan
Diabolisme Pemikiran”.

normal ia harus dijalankan diatas kakinya (Bertens, 1996: 235 dan Berten, 1983: 80). Artinya, kalam klasik yang
terlalu theosentris harus dipindah menjadi persoalan ‘material’ agar bisa berjalan normal.
Akan tetapi, bukan berarti Hanafi terpengaruh atau mengikuti metode dialektika Hegel atau Marx.
Hanafi menyangkal jika dikatakan bahwa ia terpengaruh atau menggunakan dialektika Hegel atau Marx.
Menurutnya, apa yang dilakukan semata didasarkan dan diambil dari khazanah keilmuan dan realitas sosial
muslim sendiri; persoalan kaya-miskin, atasan-bawahan dan seterusnya yang kebetulan sama dengan konsep
Hegel maupun Marx. Bahkan ia mengkritik tajam metode dialektika Marx yang dinilai gagal memberi arahan
kepada kemanusiaan, karena akhirnya yang terjadi justru totalitarianisme (Hanafi, 1979: 1-2). Disini, barangkali ia
terilhami oleh inspirator revolosi sosial Iran; Ali Syariati, ketika dengan metode dialektikanya Syariati
menyatakan bahwa manusia adalah syntesa antara ruh Tuhan (tesa) dan setan (anti-tesa).
Fenomenologi adalah sebuah metode berfikir yang berusaha untuk mencari hakekat sebuat fenomena
atau realitas. Untuk sampai pada tingkat tersebut, menurut Husserl (1859-1938) sang penggagas metode ini,
peneliti harus melalui --minamal-- dua tahapan penyaringan (reduksi); reduksi fenomenologi dan reduksi eidetis.
Pada tahap pertama, atau yang disebut pula dengan metode apoche, peneliti menyaring atau memberi kurung
terhadap fenomena-fenomena yang dihadapi. Peneliti mulai menyingkirkan persoalan-persoalan yang dianggap
tidak merupakan hakekat dari objek yang dikaji. Tahap kedua, reduksi adetis, peneliti masuk lebih dalam lagi.
Tidak hanya menyaring yang fenonemal tetapi menyaring intisarinya (Drijarkara, 1984: 121-124 ; Brouwer, 1980: 52 ;
Anton Bekker, 1984: 113-7)
Hanafi menggunakan metode ini untuk mengalisa, memahami dan memetakan realitas-realitas sosial,
politik ekonomi, realitas khazanah Islam dan realitas tantangan Barat, yang dari sana kemudian dibangun sebuah
revolosi (Hanafi, 1981: 84-6). ‘Sebagai bagian dari gerakan Islam di Mesir, saya tidak punya pilihan lain kecuali
menggunakan metode fenomenologi untuk menganalisa Islam di Mesir’, katanya. Dengan metode ini, Hanafi
ingin agar realitas Islam berbicara bagi dirinya sendiri; bahwa Islam adalah Islam yang harus dilihat dari
kacamata Islam sendiri, bukan dari Barat. Jika Barat dilihat dari kacamata Barat dan Islam juga dilihat dari Barat,
akan terjadi ‘sungsang’, tidak tepat.
Hermeneutik adalah sebuah cara penafsiran teks atau simbol. Metode ini mensyaratkan adanya
kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian dibawa ke masa sekarang, yang
aktivitas penafsirannya itu sendiri merupakan proses triadik; mempunyai tiga segi yang saling berhubungan,
yakni teks, penafsir atau perantara dan penyampaian kepada audiens. Orang yang melakukan penafsiran harus
mengenal pesan atau kecondongan sebuah teks dan meresapi isinya, sehingga dari yang pada mulanya ‘yang lain’
menjadi ‘aku’ penafsir sendiri (Sumaryono, 1993: 31).
Hanafi menggunakan metode hermaunetik untuk melandingkan gagasannya berupa antroposentrisme-
teologis; dari wahyu kepada kenyataan, dari logos sampai praktis, dari pikiran Tuhan sampai manusia (Hanafi,
1991: 1). Sebab, apa yang dimaksud dengan hermeneutik, bagi Hanafi, bukan sekedar ilmu interpretasi tetapi juga
ilmu yang menjelaskan tentang pikiran Tuhan kepada tingkat dunia, dari yang sakral menjadi realitas sosial.

D. Operasinalisasi Teologi Hanafi.


Dari tawaran konsep diatas plus metode pemikiran yang digunakan, Hanafi mencoba merekonstruksi
teologi dengan cara reinterpretasi tema-tema teologi klasik secara metaforis-analogis. Dibawah ini dijelaskan tiga
pemikiran penting Hanafi yang berhubungan dengan tema-tema kalam; zat Tuhan, sifat-sifat Tuhan dan persoalan
tauhid.
Menurut Hanafi, konsep atau nash tentang dzat dan sifat-sifat Tuhan tidak menunjuk pada ke-Maha-an
dan kesucian Tuhan sebagaimana yang ditafsirkan oleh para teolog. Tuhan tidak butuh pen-taqdisan manusia,
karena tanpa yang lainpun Tuhan tetap Tuhan Yang Maha Suci dengan segala sifat kesempurnaan-Nya. Semua
deskripsi Tuhan dan sifat-sifat-Nya, sebagaimana yang ada dalam al-Qur’an maupun Sunnah, sebenarnya lebih
mengarah pada pembentukan manusia yang baik, manusia ideal, insan kamil.
Diskripsi Tuhan tentang dzat-Nya sendiri memberi pelajaran kepada manusia tentang kesadaran akan
dirinya sendiri (cogito), yang secara rasional dapat diketahui melalui perasaan diri (self feeling). Penyebutan
Tuhan akan dzatnya sendiri sama persis dengan kesadaran akan keberadaan-Nya, sama sebagaimana Cogito yang
ada dalam manusia berarti penunjukan akan keberadaannya. Itulah sebabnya, menurut Hanafi, mengapa deskripsi
pertama tentang Tuhan (aushâf) adalah wujud (keberadaan). Adapun deskrip-Nya tentang sifat-sifat-Nya (aushâf)
berarti ajaran tentang kesadaran akan lingkungan dan dunia, sebagai kesadaran yang lebih menggunakan desain,
sebuah kesadaran akan berbagai persepsi dan ekspresi teori-teori lain. Jelasnya, jika dzat mengacu pada cogito,
maka sifat-sifat mengacu pada cogitotum. Keduanya adalah pelajaran dan ‘harapan’ Tuhan pada manusia, agar
mereka sadar akan dirinya sendiri dan sadar akan lingkungannya.
Disini terlihat Hanafi berusaha mengubah term-term keagamaan dari yang spiritual dan sakral menjadi
sekedar material, dari yang teologis menjadi antropologis. Hanafi melakukan ini dalam rangka untuk
mengalihkan perhatian dan pandangan umat Islam yang cenderung metafisik menuju sikap yang lebih berorentasi

Sekretariat: Jl. Pabrik Kulit Gg. III No. 18 C Wonocolo Surabaya 60237.
Blog : www.pmii-tarbiyah-iain.co.cc Email : admin@pmii-tarbiyah-iain.co.cc
Training of Trainer (ToT) 3
Pelatihan Kader Dasar (PKD) PMII Tarbiyah Surabaya Selatan
“Re-Eksistensi Mahasiswa : Mendobrak Antagonisme Gerakan dan
Diabolisme Pemikiran”.

pada realitas empirik. Lebih jelas tentang penafsiran Hanafi mengenani sifat-sifat (aushâf) Tuhan yang enam;
wujûd, qidâm, baqa’, mukhalafah li al-hawâdits, qiyâm binafsih dan wahdaniyah, menafsirkan sebagai berikut.
Pertama, wujûd. Menurut Hanafi, wujud disini tidak menjelaskan wujud Tuhan, karena --sekali lagi--
Tuhan tidak memerlukan pengakuan. Tanpa manusia, Tuhan tetap wujud. Wujud disini berarti tajribah wujûdiyah
pada manusia, tuntutan pada umat manusia untuk mampu menunjukkan eksistensi dirinya. Inilah yang dimaksud
dalam sebuah syair, kematian bukanlah ketiadaan nyawa, kematian adalah ketidakmampun untuk menunjukkan
eksistensi diri.
Kedua, qidâm (dahulu) berarti pengalaman kesejarahan yang mengacu pada akar-akar keberadaan
manusia didalam sejarah. Qidam adalah modal pengalaman dan pengetahuan kesejarahan untuk digunakan dalam
melihat realitas dan masa depan, sehingga tidak akan lagi terjatuh dalam kesesatan, taqlid dan kesalahan. Ketiga,
baqa berarti kekal, pengalaman kemanusiaan yang muncul dari lawan sifat fana Berarti tuntutan pada manusia
untuk membuat dirinya tidak cepat rusak atau fana, yang itu bisa dilakukan dengan cara memperbanyak
melakukan hal-hal yang konstruktif; dalam perbuatan maupun pemikiran, dan menjauhi tindakan-tindakan yang
bisa mempercepat kerusakan di bumi. Jelasnya, baqa adalah ajaran pada manusia untuk menjaga senantiasa
kelestarian lingkungan dan alam, juga ajaran agar manusia mampu meninggalkan karya-karya besar yang bersifat
monumental.
Keempat, mukhâlafah li al-hawâdits (berbeda dengan yang lain) dan qiyâm binafsih (berdiri sendiri),
keduanya tuntunan agar umat manusia mampu menunjukkan eksistensinya secara mandiri dan berani tampil beda,
tidak mengekor atau taqlid pada pemikiran dan budaya orang lain. Qiyam binafsih adalah deskripsi tentang titik
pijak dan gerakan yang dilakukan secara terencana dan dengan penuh kesadaran untuk mencapai sebuah tujuan
akhir, sesuai dengan segala potensi dan kemampuan diri.
Kelima, wahdaniyah (keesaan), bukan merujuk pada keesaan Tuhan, pensucian Tuhan dari kegandaan
(syirk) yang diarahkan pada faham trinitas maupun politheisme, tetapi lebih mengarah eksperimentasi
kemanusiaan. Wahdaniah adalah pengalaman umum kemanusiaan tentang kesatuan; kesatauan tujuan, kesatuan
kelas, kesatuan nasib, kesatuan tanah air, kesatuan kebudayaan dan kesatuan kemanusiaan.
Dengan penafsiran-penafsiran term kalam yang serba materi dan mendunia ini, maka apa yang dimaksud
dengan istilah tauhid, dalam pandangan Hanafi bukan konsep yang menegaskan tentang keesaan Tuhan yang
diarahkan pada faham trinitas maupun politheisme, tetapi lebih merupakan kesatuan pribadi manusia yang jauh
dari perilaku dualistik seperti hipokrit, kemunafikan ataupun perilaku oportunistik. Menurut Hanafi, apa yang
dimaksud tauhid bukan merupakan sifat dari sebuah dzat (Tuhan), deskripsi ataupun sekedar konsep kosong yang
hanya ada dalam angan belaka, tetapi lebih mengarah untuk sebuah tindakan kongkrit (fi’li); baik dari sisi
penafian maupun menetapan (itsbat). Sebab, apa yang di kehendaki dari konsep tauhid tersebut tidak akan bisa
dimengerti dan tidak bisa difahami kecuali dengan ditampakkan. Jelasnya, konsep tauhid tidak akan punya makna
tanpa direalisakan dalam kehidupan kongkrit. Perealisasian nafi (pengingkaran) adalah dengan menghilangkan
tuhan-tuhan modern, seperti ideologi, gagasan, budaya dan ilmu pengetahuan yang membuat manusia sangat
tergantung kepadanya dan menjadi terkotak-kotak sesuai dengan idiologi dan ilmu pengetahuan yang dimiliki dan
dipujanya. Realisasi dari isbat (penetapan) adalah dengan penetapan satu ideologi yang menyatukan dan
membebaskan manusia dari belenggu-belenggu tuhan-tuhan modern tersebut.
Dengan demikian, dalam konteks kemanusiaan yang lebih kongkrit, tauhid adalah upaya pada kesatuan
sosial masyarakat tanpa kelas, kaya atau miskin. Distingsi kelas bertentangan dengan kesatuan dan persamaan
eksistensial manusia. Tauhid berarti kesatuan kemanusiaan tanpa diskriminasi ras, tanpa perbedaan ekonomi,
tanpa perbedaan masyarakat maju dan berkembang, Barat dan bukan Barat, dan seterusnya (Khudori Soleh, 2004:
45-49).

E. Penutup.
Dari uraian singkat di atas, ada beberapa poin yang perlu dikemukakan.
1. Dari sisi metodologis, Hasan Hanafi dipengaruhi --atau ada kesamaan dengan-- cara berfikir Barat,
terutama pemikiran Marxis dan Husserl. Statemennya bahwa kemajuan Islam tidak bisa dilakukan
dengan cara mengadopsi Barat (westernisasi) tetapi harus didasarkan atas khazanah pemikiran Islam
sendiri jelas modal pemikiran fenomenologi Husserl. Kesamaannya dengan Marxisme adalah ketika
Hanafi mencoba mnempatkan persoalan sosial praktis sebagai dasar bagi pemikiran teologinya. Teologi
dimulai dari titik praktis pembebasan rakyat tertindas. Kesamannya dengan metode dialektika Marxis
juga terlihat ketika Hanafi menjelaskan perkembangan pemikiran Islam dan usaha yang dilakukan ketika
merekonstruksi pemikiran teologisnya dengan menghadapkan teologi dengan filsafat Barat untuk
kemudian mensintetiskannya. Bedanya, jika dalam pemikiran Marxis dikatakan bahwa pergerakan dan
pembebasan manusia tertindas tersebut semata-mata didorong oleh kekuatan materi dan duniawi, dalam
Hanafi dibumbui roh yang tidak sekedar materialistik. Ada pranata-pranata yang bersifat religius atau
kerohanian yang menggerakkan sebuah perjuangan muslim. Juga, jika dalam perjuangan ala Marxis bisa

Sekretariat: Jl. Pabrik Kulit Gg. III No. 18 C Wonocolo Surabaya 60237.
Blog : www.pmii-tarbiyah-iain.co.cc Email : admin@pmii-tarbiyah-iain.co.cc
Training of Trainer (ToT) 4
Pelatihan Kader Dasar (PKD) PMII Tarbiyah Surabaya Selatan
“Re-Eksistensi Mahasiswa : Mendobrak Antagonisme Gerakan dan
Diabolisme Pemikiran”.

dengan menghalalkan segala cara, rekonstruksi kalam Hanafi memakai prinsip kesejahteraan; bahwa
perjuangan mesti memperhatikan kebaikan umum, bukan brutal. Sedemikian, hingga pemikiran Hanafi
bisa disebut marxis tetapi tidak marxisme, Barat tetapi tidak ‘sekuler’. Ada metode-metode yang orisinal
yang dikembangkan oleh Hanafi sendiri.
2. Dari sisi gagasan. Jika ditelusuri dari kritik-kritik dan gagasan para tokoh sebelumnya, terus terang, apa
yang disampaikan Hanafi dari proyek rekonstruksi kalamnya sesungguhnya bukan sesuatu yang baru
dalam makna yang sebenarnya. Apa yang disampaikan bahwa diskripsi zat dan sifat Tuhan adalah
deskripsi tentang manusia ideal, telah disampaikan oleh Muktazilah dan kaum sufis. Begitu pula
konsepnya tentang tauhid yang ‘mendunia’ telah disampaikan tokoh dari kalangan Syiah, Murtadha
Muthahhari. Kelebihan Hanafi disini adalah bahwa ia mampu mengemas konsep-konsepnya tersebut
secara lebih utuh, jelas dan op to dete, sehingga terasa baru. Disinilah orisinalitasan pemikiran Hanafi
dalam proyek rekonstruksi teologisnya.
3. Terlepas apakah pemikiran besar Hanafi akan bisa direalisasikan atau tidak sebagaimana diragukan
Boullata (Issa J. Boullata, 1993: 20), jelas agenda besar Hanafi adalah langkah berani dan maju dalam
upaya untuk meningkatkan kualitas umat Islam dalam mengejar ketertinggalannya dihadapan Barat.
Hanya saja, rekonstruksi yang dilakukan dengan cara mengubah term-term teologi yang bersifat
spiritual-religius menjadi sekedar material-duniawi akan bisa menggiring pada pemahaman agama
menjadi hanya sebagai agenda sosial, praktis dan fungsional, lepas dari muatan-muatan spiritual dan
transenden.

Daftar Pustaka

Bertens, L., 1996, Filsafat Abad XX Prancis, Jakarta, Gramedia


Bekker, Anton, 1984, Metode-Metode Filsafat, Jakarta, Ghalia
____________, 1990 Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta : Kanisius
Brouwer, 1980, Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sejaman, Bandung, Alumni
Boullata, Issa J., 1993, ‘Hasan Hanafî Terlalu Teoritis untuk Dipraktekkan’ dalam Islamika, Bandung, Mizan
Drijarkara, 1984, Percikan Filsafat, Jakarta, Pembangunan
Hanafi, Hassan, 1991, Min al-Aqîdah ila al-Tsaurah, I, Kairo: Maktabah Matbuli,
____________, 1981, Muqadimah fi ilm al-Istighrâb, Kairo, Dar al-Faniyah
____________, 1991, Dialog Agama dan Revolosi, Jakarta, Pustaka Firdaus
____________, 1979, Origin of Modern Conservation and Islamic Fundamentalism, Amsterdam, University of Amsterdam
_________, 1983, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogya, Kanisius,
John L. Esposito, 1995, The Oxford Encyklopedia of the Modern Islamic World, New York: Oxford University Press
Santoso, Listiyono, 2007, Kritik Hassan Hanafi
Sumaryono, 1993, Hermaunetik Sebuah Metode Filsafat, Yogya, Kanisius
Syaukani, Lutfi, 1994, ‘Oksidentalisme: Kajian Barat setelah Kritik Orientalisme’ dalam Ulumul Qur’an, Vol. V

Sekretariat: Jl. Pabrik Kulit Gg. III No. 18 C Wonocolo Surabaya 60237.
Blog : www.pmii-tarbiyah-iain.co.cc Email : admin@pmii-tarbiyah-iain.co.cc
Training of Trainer (ToT) 5
Pelatihan Kader Dasar (PKD) PMII Tarbiyah Surabaya Selatan
“Re-Eksistensi Mahasiswa : Mendobrak Antagonisme Gerakan dan
Diabolisme Pemikiran”.

MENGGAGAS POLITIK KERAKYATAN :

Sebuah Tawaran Ideal dalam Kontestasi Politik di Indonesia

Prolog : Mengenal labirin dan Aporia Politik Kita

Bukan hal yang baru, jika negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini selalu menjadi pelanggan setia sebagai
salah satu negara terkorup di dunia. Transparancy International Indonesia (TII) merilis hasil penelitiannya yang
menempatkan Indonesia di peringkat ke-5 negara terkorup di dunia. Rilis semacam itu pada dasarnya tidak
mengandung hal-hal baru ; siapapun dan apapun lembaganya niscaya akan menghasilkan peringkat atau indeks
korupsi yang kurang lebih sama.

Melihat kenyataan ini tampaknya tidak berlebihan jika kita menganggap upaya pemberantasan korupsi di negeri
ini hanya merupakan mitos ketimbang realitas. Dengan perangkat hukum dan lembaga anti korupsi yang kian
bertambah banyak, seaharusnya upaya pemberantasan korupsi semaki menemukan titik terang. Tetapi
kenyataannya wabah korupsi makin menggila dan kian ganas.

Berbagai kasus megakorupsi di lingkaran kekuasaan yang terungkap akhir-akhir ini, kian menegsakan moralitas
bangsa yang rapuh, bobrok, korup dan sejenisnya. Orang akan mudah berargumentasi, kebobrokan moral bangsa
ternyata ditentukan oleh moralitas para politisinya. Ternyata, para elit politik kita, dari dulu hingga kini, tak lebih
sebagai pendosa yang mempelopori kebobrokan moral bagi masyarakat secara lebih luas dan sistemik. Para elit
politik yang konon merupakan ”putera-puteri terbaik bangsa”, dengan kualifikasi pendidikan yang
membanggakan, kata Komaruddin Hidayat dalam sebuah talk show di salah satu stasiun televisi swasta
(15/3/2002), ternyata tidak tahan uji saat mereka memasuki lingkaran kekuasaan (Masdar Hilmy, 2008 : 1-10).

Seringkali kita dibuat geli menyaksikan perilaku para petualang politik di negeri ini yang sungguh tidak
cerdas.dan cenderung amoral. Selalu saja ada argumen yang mereka gunakan untuk memperoleh pembenaran
terhadap “manuver” yang mereka lakukan. Yang paling gampang, jelas mencari kambing hitam. Yang paling
sering kena sasaran jelas para rival politiknya. Dalam pilkada, misalnya, politisi yang kalah bersaing tak jarang
melakukan aksi-aksi vandalistis dengan mengerahkan “tim sukses”-nya atau memburu pendemo bayaran. Mereka
direkrut, tentu saja dengan sejumlah upah, untuk menciptakan stigma baru kepada publik.

Perilaku elite politik yang menyangsikan kejujuran dalam sebuah pesta demokrasi tanpa bukti dan argumentasi
yang jelas, bahkan bertingkah “inkonstitusional”, setidaknya memberikan gambaran bahwa kita masih belum
memiliki budaya demokrasi seperti yang diharapkan. Tampaknya, menerima kekalahan menjadi sebuah idiom
yang amal mahal harganya. Ada saja “manuver” yang mereka lontarkan untuk membentuk opini publik bahwa
mereka telah dicurangi, dipinggirkan, atau dijegal.

Pada satu sisi, kondisi semacam itu memang bisa menjadi sinyal dinamika politik yang bertahun-tahun lamanya
terpasung dalam belenggu rezim Orde Baru. Namun, pada sisi yang lain, hal itu bisa memberikan citra demokrasi
yang tidak sehat bagi rakyat, bahkan akan menjadi bumerang bagi elite politik itu sendiri dalam membangun dan
mengibarkan bendera politiknya pada masa-masa mendatang. Rakyat jadi kehilangan simpati dan kepercayaan.

Politisi dan Lingkaran Kekuasaan : Sebuah Paradoks Keberagamaan

Sedikit uraian tentang fenomena pembusukan moral elit kita di atas, sejatinya adalah sebuah deskrepsi empirik
yang menelanjangi tubuh bangsa dengan paradoks keberagamaan. Agak sulit memang untuk dipahami dan
dicerna dari perspektif manapun, mengingat lingkaran kekuasaan dihuni cukup banyak ”pendosa politik” yang
justru dikenal agamis. Tentu muncul pertanyaan, bagaimana bisa menarik benang merah atau korelasi positif
antara tingkat kesalehan seseorang dengan tingkat perbuatan dosa yang dilakukan?

Maka, paradoksalitas keberagamaan ini setidaknya telah menyuguhkan indikasi bahwa telah terjadi manipulasi
simbol-simbol keagamaan untuk mengelabui masyarakat bahwa elit politik kita religius. Mereka menjadikan
ritus-ritus keagamaan hanya sebatas sin laundering yang dianggap akan mencuci dosa-dosa politik yang
dilakukan. Impas, antara bobot ibadah dan kejahatan yang dilakukan disertai keyakinan, Tuhan maha Pengasih
dan Penyayang tehadap hamba-Nya yang mau bertobat. Selama masih ada kesempatan, menjarah uang negara
dan merampok uang rakyat bukan hal tabu dilakukan.

Sekretariat: Jl. Pabrik Kulit Gg. III No. 18 C Wonocolo Surabaya 60237.
Blog : www.pmii-tarbiyah-iain.co.cc Email : admin@pmii-tarbiyah-iain.co.cc
Training of Trainer (ToT) 6
Pelatihan Kader Dasar (PKD) PMII Tarbiyah Surabaya Selatan
“Re-Eksistensi Mahasiswa : Mendobrak Antagonisme Gerakan dan
Diabolisme Pemikiran”.

Staemen dan pola sikap yang menyatakan bahwa politik memang kotor, tampaknya menemukan titik
justifikasinya dalam konteks ini. Bukan politik namanya kalau masih berbaur dengan ”kebersihan”, kejujuran dan
sikap arif lainnya. Dinamika politik mestilah kotor dan karenanya, dengan penuh kesadaran, para politikus kita
terlanjur dianggap sah-sah saja melakukan segala hal yang mampu mengantarkannya pada capaian keinginan dan
”cita-citanya”.

Merebaknya korupsi hingga membuat bangsa dan negeri ini bangkrut, konon memang bersumber dari pesona
uang dan lingkartan kekuasaan. Mungkin ada benarnya kalau Sejarawan Inggris, Lord Acton, menyatakan bahwa
kekuasaan pada dasarnya cenderung korup, dan kekuasaan absolut hampir pasti korup secara absolut pula. Ya, ya,
ya! Orang yang sedang berkuasa, memang bisa berbuat apa saja. Hukum yang lurus bisa dibengkok-bengkokkan,
orang yang benar bisa disalah-salahkan atau sebaliknya, sejarah pun bisa diputarbalikkan sesuai dengan selera
penguasa.

“Kisah Naga Baru”, sebagaimana diceritakan dalam Wikipedia, menunjukkan betapa kekuasaan bisa membuat
seseorang menjadi “mabuk” dan lupa akan kesejatian dirinya. Alkisah pada suatu hari seorang pendekar
perguruan silat yang sangat sakti dibujuk oleh murid muridnya untuk masuk ke dalam sebuah goa dan
mengalahkan seekor naga yang menghuni goa tersebut. Sudah ratusan pendekar yang masuk dan berusaha
membunuh naga tersebut, tetapi mereka tak pernah keluar dari goa dengan selamat.

Karena merasa tertantang, sang pendekar guru segera masuk ke dalam goa. Ternyata sang naga sama sekali tidak
sakti. Dengan sekali tebasan pedang saja sang naga langsung tersungkur mati. Sang pendekar segera melihat
sekeliling goa. Ternyata penuh dengan bongkahan emas permata yang kemilau sangat memesona. Sang pendekar
guru tergiur untuk mengambil beberapa genggam permata sebagai oleh-oleh kepada murid-muridnya sekaligus
sebagai bukti bahwa dia telah berhasil mengalahkan sang naga.

Namun, apa lacur? Begitu meraup harta permata, seketika sang pendekar guru menjelma menjadi seekor naga.
Karena merasa malu, sang pendekar guru memilih tetap tinggal di dalam goa dan menjadi Naga Baru. Murid-
murid di luar goa merasa cemas dan menyangka gurunya telah tewas diterkam sang naga, padahal sang guru telah
menjelma menjadi naga yang baru.

Meski hanya sebuah fiksi, kisah ini menunjukkan sebuah ilustrasi betapa dekatnya kekuasaan itu dengan hal-hal
yang berbau busuk dan korup. Orang-orang idealis bisa hancur martabatnya setelah masuk dalam lingkaran
kekuasaan. “Wong milik nggendhong lali”, kata orang Jawa. Betapa menggiurkannya kekuasaan itu sehingga tak
sedikit orang yang rela mengeluarkan banyak duwit untuk “membeli”-nya.

Menggagas Politik Kerakyatan : Menyelami Gagasan Brilian Machiavelli

Selama ini muncul asumsi yang mengatakan bahwa Machiavelli, yang diakui sebagai pelopor ilmu politik
moderen adalah amoral, karena dicurigai menganut paham politik ‘menghalalkan segala cara’; lebih lanjutnya
istilah Machiavellianisme dikonotasikan sebagai segala pikiran, sikap, dan tindakan kotor lagi kejam dalam ranah
politik.

Salah kaprah kepada Machiavelli dan pemikirannya tersebut, adalah disebabkan kekeliruan dalam memahami
Machiavelli, dan terutama lagi mengenai salah satu karyanya, yaitu Il Principe (Politik Kekuasaan). Dalam karya
dimaksud, memang Machiavelli mengungkapkan kenyataan politik yang ada pada waktu itu; Machiavelli
mengungkapkan segala ‘apa yang nyata-nyata’ pada zamannya tersebut, dan bukan mengungkapkan ‘apa yang
ideal’ atau kenyataan politik yang ideal menurut dia, yang harus dilakukan oleh para penguasa.

‘Apa yang nyata-nyata’ yang diungkapkan oleh Machiavelli dalam buku dimaksud, memang sering kejam dan
amoral. Akan tetapi ‘Apa yang nyata-nyata’ tersebut, merupakan kenyataan politik yang nyata terjadi di zaman
Machiavelli, yang diungkapkan olehnya, dan bukan merupakan pemikiran politik Machiavelli. Oleh sebab itu,
merupakan kesimpulan yang terburu-buru dan latah dengan menyimpulkan Machiavelli sebagai politikus kotor,
dan Machiavellianisme sebagai aliraan ‘penghalal segala cara’.

Dalam beberapa karya-karyanya yang lain, dan yang terutama adalah Discorsi Di Niccolo Machiavelli, dengan
cukup jelas dan nyata akan Machiavelli yang bukan sebagai poitikus amoral apalagi ‘penghalal segala cara’.
Dalam karya Machiavelli yang lebih besar ini, yang berjudul lengkap Discorsi Di Niccolo Machiavelli, Cittadino,
et Segretariso Fiorentino, Sopra La Prima Deca Di Tito Livio, a Zanobi Boundel Monti, et a Cosimo Rucellai —
yang lebih terkenal dengan DISCORSI, dan lebih tepat diterjemahkan sebagai Politik Kerakyatan— cukup

Sekretariat: Jl. Pabrik Kulit Gg. III No. 18 C Wonocolo Surabaya 60237.
Blog : www.pmii-tarbiyah-iain.co.cc Email : admin@pmii-tarbiyah-iain.co.cc
Training of Trainer (ToT) 7
Pelatihan Kader Dasar (PKD) PMII Tarbiyah Surabaya Selatan
“Re-Eksistensi Mahasiswa : Mendobrak Antagonisme Gerakan dan
Diabolisme Pemikiran”.

menunjukkan akan sosok Machiavelli sebagai politikus kerakyatan, dan sumbangsihnya yang besar terhadap
Politik Kerakyatan.

Dalam Discorsi, Machiavelli mengungkapkan: “Kita tahu yang baik itu apa, tetapi kita sering tidak mampu
melakukannya. Salah satu yang baik dan dapat dilakukan adalah system pemerintahan Republik!.” Dalam
melakukan urainnya tentang Politik Kerakyatan dan Republik, Machiavelli kerap menuturkan berbagai hal, yang
pada intinya adalah menekankan betapa pentingnya menjunjung tinggi azaz kerakyatan, terutama dalam system
pemerintahan.

Pertama: Virtu atau Res Publica. Virtu atau Res Publica adalah semangat kerakyatan yang mutlak harus dijunjung
tinggi oleh para penguasa.

Diceritakan bahwa Alexander Agung pernah dibujuk oleh arsiteknya, Deinocrates untuk mendirikan kerajaan
diatas Gunung Athos, sebuah gunung gersang tapi mempesona; letaknya strategis dan gampang untuk
dipertahankan. Kemudian Alexander menyela: “Lantas di mana rakyat hidup?” Deinocrates menjawab malu-
malau bahwa ia tak sempat terfikir akan hal itu. Alexander pun akhirnya mendirikan kerajaannya di tepian Sungai
Nil.

Kedua: Hukum untuk Res Publica. Res Publica mutlak membutuhkan hukum, guna penegakan disiplin sosial.
Adapun mekanisme pembuatan hukum, kota Roma dapat dijadikan contoh: hukum Kota Roma berkembang
lambat laun, sesuai dengan keinginan dan prakarsa warga dan masalah yang mereka hadapi bersama.

Ketiga: pola pemerintahan Res Publica yang paling ideal menurut Machiavelli adalah, ramuan dari keenam pola
pemerintahan yang hari ini ada di dunia: Kerajaan, Aristokrasi, Demokrasi, Tirani, Oligarki, dan Anarki. Oleh
karena masing-masing pola mempunyai kelebihan dan kekurangan.

Keempat: Supremasi Hukum. Res Publica haruslah terdapat kepastian hukum; rule of law merupakan hal yang
sangat penting. Hal iniberarti, jasa seseorang tidak boleh dijadikan alasan untuk membiarkan kejahatannya, untuk
tidak mengadilinya, tidak menghukumnya, atau bahkan meringankan hukumannya.1

Politik kerakyatan ala Machiavelli, pada prinsipnya adalah mempersyaratkan keempat hal diatas. Penafian akan
salah satu saja daripada unsur syarat diatas, akan mencederai politik kerakyatan itu sendiri. Dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia ini, tentunya kita tidak jarang menyaksikan kenyataan sosial dan politik
yang paradoksal dengan azas-azas politik kerakyatan sebagaimana yang telah disampaikan oleh Niccolo
Machiavelli dimaksud.

Sementara pada sisi lainnya, kiranya bukanlah hal yang berlebihan: untuk mengatakan dan mengakui Niccolo di
Bernardo Machiavelli sebagai politikus kerakyatan; bukan (lagi) sebagai politikus amoral, dan ’penghalal segala
cara’, sebagaimana yang selama ini telah diciterakan kepada Machiavelli dan para pengikutnya (baca:
Machiavellianisme), yang ternyata keliru tersebut.

Epilog : Dari Politik Kerakyatan Menuju Indonesia baru

Pada bagian epilog ini, ada beberapa poin yang perlu kita refleksikan bersama, tentang kontestasi politik negara
kita ditengah labirin dan aporia yang kian membingungkan. Ironis memang. Di tengah-tengah gencarnya tuntutan
dan suara untuk membangun Indonesia Baru yang lebih demokratis di bawah pemerintahan yang bersih,
berwibawa, reformatif, dan legitimated, justru tidak sedikit politisi yang berkarakter oportunis, arogan, dan mau
menang sendiri, yang sangat bertentangan secara diametral terhadap prinsp-prinsip demokrasi yang
mengedepankan nilai kebebasan, kesamaan, persaudaraan, kejujuran, dan keadilan.

Terlepas dari hiruk-pikuk politik yang akan terus berlangsung, di luar itu semua, agenda penting dan urgen dan
sangat krusial untuk segera digarap ialah membangun budaya politik yang berbasis kerakyatan, memperjuangkan
hak-haknya, menciptakan dinamika demokrasi yang sehat, sehingga memiliki apresiasi yang tinggi dan andal
terhadap sikap fair, jujur, ksatria, elegan, dan lapang dada terhadap apa pun hasil yang telah disepakati bersama
lewat proses demokrasi. Jangan sampai terjadi, “trik-trik” politik yang tidak sehat semacam itu menjadi “patron”
dan referensi bagi generasi berikutnya dalam membangun demokrasi. Harus ada upaya serius dan intens untuk
menyosialisasikan cara-cara demokrasi yang ideal secara simultan dan berkelanjutan.

1 Untuk lebih jelasnya, baca : Nicollo Mechiavelli, Politik Kerakyatan, Kepustakaan Populer, 1996 Gramedia

Sekretariat: Jl. Pabrik Kulit Gg. III No. 18 C Wonocolo Surabaya 60237.
Blog : www.pmii-tarbiyah-iain.co.cc Email : admin@pmii-tarbiyah-iain.co.cc
Training of Trainer (ToT) 8
Pelatihan Kader Dasar (PKD) PMII Tarbiyah Surabaya Selatan
“Re-Eksistensi Mahasiswa : Mendobrak Antagonisme Gerakan dan
Diabolisme Pemikiran”.

Daftar Pustaka :

Hilmy, Masdar, 2008, Islam Profetik Substansiasi Nilai-nilai Agama dalam Ruang Publik, Yogyakarta: kanisius
Nicollo Mechiavelli, Politik Kerakyatan, Kepustakaan Populer, 1996 Gramedia
http://id.wikipedia.org/wiki/Kisah_Naga_Baru

Sekretariat: Jl. Pabrik Kulit Gg. III No. 18 C Wonocolo Surabaya 60237.
Blog : www.pmii-tarbiyah-iain.co.cc Email : admin@pmii-tarbiyah-iain.co.cc

You might also like