You are on page 1of 58

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dari pada daratan,

oleh karena itu Indonesia di kenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan berbagai biota laut baik flora maupun fauna. Demikian luas serta keragaman jasad hidup di dalam yang kesemuanya membentuk dinamika kehidupan di laut yang saling berkesinambungan (Nybakken 1988). Ekosistem laut merupakan suatu kumpulan integral dari berbagai komponen abiotik (fisika-kimia) dan biotik (organisme hidup) yang berkaitan satu sama lain dan saling berinteraksi membentuk suatu unit fungsional. Komponen-komponen ini secara fungsional tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Apabila terjadi perubahan pada salah satu dari komponen-komponen tersebut maka akan menyebabkan perubahan pada komponen lainnya. Perubahan ini tentunya dapat mempengaruhi keseluruhan sistem yang ada, baik dalam kesatuan struktur fungs ional maupun dalam keseimbangannya. Dewasa ini, perhatian terhadap biota laut semakin meningkat dengan munculnya kesadaran dan minat setiap lapisan masyarakat akan pentingnya lautan.(Anonim, 2010) Menurut Bengen (2001), laut sebagai penyedia sumber daya alam yang produktif baik sebagai sumber pangan, tambang mineral, dan energi, media komunikasi maupun kawasan rekreasi atau pariwisata. Karena itu wilayah pesisir dan lautan merupakan tumpuan harapan manusia dalam pemenuhan

kebutuhan di masa datang. Salah satu sumber daya laut yang cukup potensial untuk dapat dimanfaatkan adalah lamun, Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (angiospermae) yang berbiji satu (monokotil) dan mempunyai akar rimpang, daun, bunga dan buah. Dimana secara ekologis lamun mempunyai

beberapa fungsi penting di daerah pesisir. Lamun merupakan produktifitas primer di perairan dangkal di seluruh dunia dan merupakan sumber makanan penting bagi banyak organisme. Padang lamun merupakan ekosistem yang tinggi

produktifitas organiknya, dengan keanekaragaman biota yang cukup tinggi. Pada ekosistem, ini hidup beraneka ragam biota laut seperti ikan, krustacea, moluska (Pinna sp, Lambis sp, Strombus sp), Ekinodermata (Holothuria sp, Synapta sp, Diadema sp, Arcbaster sp, Linckia sp) dan cacing( Polichaeta) 1.2 Tujuan Dan Kegunaan Praktikum ini bertujuan untuk mempelajari beberapa aspek mengenai struktur dari suatu komunitas dan bagaimana cara mengambil sampel di dalam suatu komunitas. Kegiatan yang termasuk dalam praktek ini meliputi cara menghitung kerapatan, frekuensi, dan luas penutupan. 1.3 Ruang Lingkup Praktik Lapang Dalam praktek ini adalah penentuan kerapatan/kepadatan, frekuensi, dan penutupan (Coverage) komunitas suatu lamun yang terdapat pada pengambilan sampel. Untuk mendapatkan/mengetahui suatu komunitas lamun tersebut, maka dibutuhkan suatu alat yang disebut transek dalam pengambilan data lamun.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Lamun 2.11 Defenisi, Ciri dan Fungsi Perairan pesisir merupakan lingkungan yang memperoleh sinar matahari cukup yang dapat menembus sampai ke dasar perairan. Di perairan ini juga kaya akan nutrien karena mendapat pasokan dari dua tempat yaitu darat dan lautan sehingga merupakan ekosistem yang tinggi produktivitas organiknya. Karena lingkungan yang sangat mendukung di perairan pesisir maka tumbuhan lamun dapat hidup dan berkembang secara optimal. Lamun didefinisikan sebagai satusatunya tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang mampu beradaptasi secara penuh di perairan yang salinitasnya cukup tinggi atau hidup terbenam di dalam air dan memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati. Beberapa ahli juga mendefinisikan lamun (Seagrass) sebagai tumbuhan air berbunga, hidup di dalam air laut, berpembuluh, berdaun, berimpang, berakar, serta berbiak dengan biji dan tunas. (Anonim, 2010).

Gambar 1 Padang Lamun Karena pola hidup lamun sering berupa hamparan maka dikenal juga istilah padang lamun (Seagrass bed) yaitu hamparan vegetasi lamun yang menutup suatu area pesisir/laut dangkal, terbentuk dari satu jenis atau lebih dengan kerapatan padat atau jarang. Sedangkan sistem (organisasi) ekologi padang lamun yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik disebut Ekosistem

Lamun (Seagrass ecosystem). Habitat tempat hidup lamun adalah perairan dangkal agak berpasir dan sering juga dijumpai di terumbu karang. Ekosistem padang lamun memiliki kondisi ekologis yang sangat khusus dan berbeda dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang. (Anonim, 2010) Menurut Den Hartog (1970), ciri-ciri ekologis padang lamun antara lain adalah: 1. Terdapat di perairan pantai yang landai, di dataran lumpur/pasir 2. Pada batas terendah daerah pasang surut dekat hutan bakau atau di dataran terumbu karang . 3. Mampu hidup sampai kedalaman 30 meter, di perairan tenang dan terlindung 4. Sangat tergantung pada cahaya matahari yang masuk ke perairan 5. Mampu melakukan proses metabolisme secara optimal jika keseluruhan tubuhnya terbenam air termasuk daur generatif 6. Mampu hidup di media air asin 7. Mempunyai sistem perakaran yang berkembang baik 2.1.1.1 Morfologi Lamun :

Gambar 2. Morfologi Lamun 1. Akar Terdapat perbedaan morfologi dan anatomi akar yang jelas antara jenis lamun yang dapat digunakan untuk taksonomi. Akar pada beberapa spesies seperti Halophila dan Halodule memiliki karakteristik tipis (fragile), seperti

rambut, diameter kecil, sedangkan spesies Thalassodendron memiliki akar yang kuat dan berkayu dengan sel epidermal. Jika dibandingkan dengan tumbuhan darat, akar dan akar rambut lamun tidak berkembang dengan baik. Namun, beberapa penelitian memperlihatkan bahwa akar dan rhizoma lamun memiliki fungsi yang sama dengan tumbuhan darat, (Anonim,2010). Akar-akar halus yang tumbuh di bawah permukaan rhizoma, dan memiliki adaptasi khusus (contoh : aerenchyma, sel epidermal) terhadap lingkungan perairan. Semua akar memiliki pusat stele yang dikelilingi oleh endodermis. Stele mengandung phloem (jaringan transport nutrien) dan xylem (jaringan yang menyalurkan air) yang sangat tipis. Karena akar lamun tidak berkembang baik untuk menyalurkan air maka dapat dikatakan bahwa lamun tidak berperan penting dalam penyaluran air, (Anonim, 2010) Diantara banyak fungsi, akar lamun merupakan tempat menyimpan oksigen untuk proses fotosintesis yang dialirkan dari lapisan epidermal daun melalui difusi sepanjang sistem lakunal (udara) yang berliku-liku. Sebagian besar oksigen yang disimpan di akar dan rhizoma digunakan untuk metabolisme dasar sel kortikal dan epidermis seperti yang dilakukan oleh mikroflora di rhizospher. Beberapa lamun diketahui mengeluarkan oksigen melalui akarnya (Halophila ovalis) sedangkan spesies lain (Thallassia testudinum) terlihat menjadi lebih baik pada kondisi anoksik, (den Hartog, 1970).

2. Rhizoma dan Batang Semua lamun memiliki lebih atau kurang rhizoma yang utamanya adalah herbaceous, walaupun pada Thallasodendron ciliatum (percabangan simpodial) yang memiliki rhizoma berkayu yang memungkinkan spesies ini hidup pada habitat karang yang bervariasi dimana spesies lain tidak bisa hidup. Kemampuannya untuk tumbuh pada substrat yang keras menjadikan T. Ciliatum memiliki energi yang kuat dan dapat hidup berkoloni disepanjang hamparan terumbu karang di pantai selatan Bali, yang merupakan perairan yang terbuka terhadap laut Indian yang memiliki gelombang yang kuat, (Anonim, 2010). Struktur rhizoma dan batang lamun memiliki variasi yang sangat tinggi tergantung dari susunan saluran di dalam stele. Rhizoma, bersama sama dengan akar, menancapkan tumbuhan ke dalam substrat. Rhizoma seringkali terbenam di dalam substrat yang dapat meluas secara ekstensif dan memiliki peran yang utama pada reproduksi secara vegetatif. Dan reproduksi yang dilakukan secara vegetatif merupakan hal yang lebih penting daripada reproduksi dengan pembibitan karena lebih menguntungkan untuk penyebaran lamun. Rhizoma merupakan 60-80% biomas lamun, (Anonim, 2010).

3. Daun Seperti semua tumbuhan monokotil, daun lamun diproduksi dari meristem basal yang terletak pada potongan rhizoma dan percabangannya. Meskipun memiliki bentuk umum yang hampir sama, spesies lamun memiliki morfologi khusus dan bentuk anatomi yang memiliki nilai taksonomi yang sangat tinggi. Beberapa bentuk morfologi sangat mudah terlihat yaitu bentuk daun, bentuk puncak daun, keberadaan atau ketiadaan ligula. Contohnya adalah puncak daun Cymodocea serrulata berbentuk lingkaran dan berserat, sedangkan C. Rotundata datar dan halus. Daun lamun terdiri dari dua bagian yang berbeda yaitu pelepah dan daun. Pelepah daun menutupi rhizoma yang baru tumbuh dan melindungi daun muda. Tetapi genus Halophila yang memiliki bentuk daun petiolate tidak memiliki pelepah, (Anonim, 2010). Anatomi yang khas dari daun lamun adalah ketiadaan stomata dan keberadaan kutikel yang tipis. Kutikel daun yang tipis tidak dapat menahan pergerakan ion dan difusi karbon sehingga daun dapat menyerap nutrien langsung dari air laut. Air laut merupakan sumber bikarbonat bagi tumbuhtumbuhan untuk pengguna, (Anonim, 2010). Fungsi Dan Peranan Padang lamun merupakan ekosistem yang tinggi produktifitas organiknya, dengan keanekaragaman biota yang cukup tinggi. Pada ekosistem ini hidup beraneka ragam biota laut seperti ikan, Krustasea, Moluska ( Pinna sp., Lambis sp., dan Strombus sp.), Ekinodermata (Holothuria sp., Synapta sp., Diadema sp., Arcbaster sp., Linckia sp.) dan cacing ( Polichaeta), (Bengen, 2001). Menurut Azkab (1988), ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem di laut dangkal yang paling produktif. Di samping itu ekosistem lamun mempunyai peranan penting dalam menunjang kehidupan dan perkembangan jasad hidup di

laut dangkal, menurut hasil penelitian diketahui bahwa peranan lamun di lingkungan perairan laut dangkal sebagai berikut: 1. Sebagai produsen primer Lamun mempunyai tingkat produktifitas primer tertinggi bila dibandingkan dengan ekosistem lainnya yang ada di laut dangkal seperti ekosistem terumbu karang (Thayer et al. 1975).

2.

Sebagai habitat biota Lamun memberikan tempat perlindungan dan tempat menempel berbagai

hewan dan tumbuh-tumbuhan (alga). Disamping itu, padang lamun (seagrass beds) dapat juga sebagai daerah asuhan, padang pengembalaan dan makan dari berbagai jenis ikan herbivora dan ikan ikan karang (coral fishes) (Kikuchi & Peres, 1977). 3. Sebagai Penambah Sedimen Daun lamun yang lebat akan memperlambat air yang disebabkan oleh arus dan ombak, sehingga perairan di sekitarnya menjadi tenang. Disamping itu, rimpang dan akar lamun dapat menahan dan mengikat sedimen, sehingga dapat menguatkan dan menstabilkan dasar permukaaan. Jadi padang lamun yang berfungsi sebagai penangkap sedimen dapat mencegah erosi, (Gingsburg & Lowestan 1958). 4. Sebagai pendaur zat hara

Lamun memegang peranan penting dalam pendauran barbagai zat hara dan elemen-elemen yang langka di lingkungan laut. Khususnya zat-zat hara yang dibutuhkan oleh algae epifit, ( Gingsburg & Lowestan 1958). Secara tradisional lamun telah dimanfaatkan untuk keranjang anyaman, dibakar untuk garam, soda atau penghangat, bahan isian kasur, atap, bahan kemasan, pupuk, isolasi suara dan suhu. Pada jaman modern ini, lamun dimanfaatkan antara lain sebagai penyaring limbah, stabilisator pantai, pupuk, makanan dan obat-obatan, ( Gingsburg & Lowestan 1958).

2.1.2 Kondisi Lingkungan dan Faktor Pembatas Menurut Dahuri R,et al. 2001 ada beberapa faktor lingkungan atau kondis lingkungan yang berpengaruh terhadap distribusi dan kestabilan ekosistem padang lamun adalah : 1. Kecerahan Kebutuhan lamun akan intensitas cahaya yang tinggi untuk membantu proses fotosintesis diperlihatkan dengan observasi dimana distribusinya terbatas pada perairan dengan kedalaman tidak lebih dari 10 m. Beberapa aktivitas yang meningkatkan muatan sedimentasi pada badan air akan berakibat pada tingginya turbiditas residu sehingga berpotensi untuk mengurangi penetrasi cahaya. Hal ini dapat mengganggu produktivitas primer dari ekosistem padang lamun. 2. Temperatur/suhu Walaupun spesies padang lamun menyebar luas secara geografis dan hal ini mengindikasikan adanya kisaran yang luas terhadap toleransi temperatur, tetapi species lamun daerah tropik mempunyai toleransi yang rendah terhadap

perubahan temperatur. Kisaran temperatur optimal bagi species padang lamun adalah 28 - 30C dan kemampuan proses fotosintesis akan menurun dengan tajam apabila temperatur perairan berada diluar kisaran optimal tersebut. 3. Salinitas Walaupun species padang lamun memiliki toleransi terhadap salinitas berbeda-beda, namun sebagian besar memiliki kisaran yang lebar terhadap salinitas yaitu antara 1040%o. Nilai optimun toleransi terhadap salinitas diair laut adalah 35%o. Penurunan salinitas akan menurunkan kemampuan fotosintesis spesies ekosistem padang lamun. Kerusakan padang lamun diaibatkan berkurangnya air tawar dekat garis pantai yang hilang. Interaksi antara salinitas, temperaur dan padang lamun tropik dimana species yang mempunyai toleransi lebih rendah dari salinitas normal dan pada temperatur yang rendah, tidak mampu mempertahankan hidupnya pada salinitas yang sama dan dalam kondisi temperatur yang lebih tinggi. 4. Substrat Padang lamun hidup pada bebagai macam tipe sedimen, mulai dari lumpur, sampai pada sedimen dasar yang terdiri dar 40% endepan lumpur dan fnemud. Kebutuhan substrat yang utama bagi pengembangan padang lamun adalah kedalaman sedimen yang cukup. Peranan kedalaman substrat dalam stabilitas sedimen mencakup 2 hal yaitu : pelindung tanaman dari arus laut dan tempat pengolahan dan pemasok nutrien. 5. Kecepatan arus perairan Produktivitas padang lamun tampak dari pengaruh keadaan kecepatan arus peraairan. Turtle grass mempunyai kemampuan maksimal menghasilkan standing crop pada saat kecepatan arus sekitar 0,5 m/detik. 2.1.1.2 Faktor Pembatas

Adapun faktor yang membatasi ekosistem padang lamun yakni ; Padang lamun biasa terdapat pada daerah teratas pasang surut, dibatasi oleh kondisi yang terbuka terhadap kekeringan. Sewaktu surut, biasanya padang lamun tidak sampai mengalami kekeringan karena masih digenangi oleh air laut walaupun terlihat dangkal. Pada waktu pasang, air menutup padang lamun, membentuk daerah yang terendam air pasang, (Winardi. 1994) 2.1.3 Klasifikasi Lamun Secara Umum Tanaman lamun memiliki bunga, berpolinasi, menghasilkan buah dan menyebarkan bibit seperti banyak tumbuhan darat. Klasifikasi lamun adalah berdasarkan karakter tumbuh-tumbuhan. Selain itu, genera di daerah tropis memiliki morfologi yang berbeda sehingga pembedaan spesies dapat dilakukan d engan dasar gambaran morfologi dan anatomi, ( Aston, 1977 ) Lamun merupakan tumbuhan laut monokotil yang secara utuh memiliki perkembangan sistem perakaran dan rhizoma yang baik. Pada sistem klasifikasi, lamun berada pada Sub kelas Monocotyledoneae, kelas Angiospermae. Dari 4 famili lamun yang diketahui, 2 berada di perairan Indonesia yaitu Hydrocharitace ae dan Cymodoceae. Famili Hydrocharitaceae dominan merupakan lamun yang tumbuh di air tawar sedangkan 3 famili lain merupakan lamun yang tumbuh di laut. (Den Hartog, 1970) Di seluruh dunia diperkirakan terdapat sebanyak 52 jenis lamun, di mana di Indonesia ditemukan sekitar 15 jenis yang termasuk ke dalam 2 famili: (1) Hydrocharitaceae, dan (2) Potamogetonaceae. Jenis yang membentuk

komunitas padang lamun tunggal, antara lain: Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Cymodocea serrulata, dan Thallassodendron ciliatu mEksistensi lamun di laut merupakan hasil dari beberapa adaptasi yang dilakukan termasuk toleransi terhadap salinitas yang tinggi, kemampuan untuk

menancapkan akar di substrat sebagai jangkar, dan juga kemampuan untuk tumbuh dan melakukan reproduksi pada saat terbenam. Salah satu hal yang paling penting dalam adaptasi reproduksi lamun adalah hidrophilus yaitu kemam puannya untuk melakukan polinasi di bawah air. (Den Hartog, 1970) Secara rinci klasifikasi lamun menurut (Den Hartog 1970) dan Menez, Phillips, dan Calumpong (1983) adalah sebagai berikut : Regnum : Plantae Divisio : Anthophyta Class : Angiospermae Ordo : Helobiae Famili : Potamogetonaceae Hydrocharitaceae 2.1.4 Rantai Makanan Padang lamun merupakan ekosistem yang tinggi produktifitas

organiknya, dengan keanekaragaman biota yang cukup tinggi. Pada ekosistem, ini hidup beraneka ragam biota laut seperti ikan, krustacea, moluska ( Pinna sp, Lambis sp, Strombus sp), Echinodermata (Holothuria sp, Synapta sp, Diadema sp, Arcbaster sp, Linckia sp) dan cacing (Polichaeta), (Kikuchi and Peres, 1977).

Rantai Makanan Ekosistem Padang Lamun

Lamun bertindak sebagai produsen yang menggunakan sinar matahari, air, nutrient, dan CO2 untuk memproduksi energi, proses ini dinamakan fotosintesis yang menghasilkan O2. Dalam rantai makanan lamun sebagai produsen primer mempunyai peranan yang sangat penting bagi biota laut lainnya, (Kikuchi and Peres, 1977) Bagian makro dan mikro yang didekomposisi dari lamun akan digunakan oleh mikroorganisme dan sangat memegang peranan penting sebagai sumber makanan untuk beberapa konsumen primer, seperti organisme

planktonik.Padang lamun merupakan produsen primer dalam komunitas di laut, sedangkan yang bertindak sebagai konsumen primer yaitu pemakan tumbuhan lamun dan pemakan fitoplankton contoh : penyu, dugong, gastropoda kecil yaitu trochidae, rissodae, dan centhiidae,serta beberapa krustacea dekapoda, polichaeta , dan echinodermata, (Kikuchi and Peres, 1977) Untuk konsumen sekunder yaitu ditempati oleh karnivora, yang

memangsa herbivora sebagai makanannya, mereka bertindak sebagai predator moluska, crustacean, dan ikan-ikan kecil. Beberapa jenis ikan predator yang ditemukan pada ekosistem lamun di perairan P. Biawak antara lain : Bumphead parrotfish, angelfish, longfin bannerfish, butterfly, kerapu dan clown fish. Selain jenis ikan tersebut terdapat juga udang, lobster dan binatang laut pemakan karang (crown of thorn). Sekarang ini ikan-ikan tersebut jarang ditemukan lagi akibat telah rusaknya ekosistem padang lamun akibat aktivitas masyarakat pesisir sekitar Selanjutnya konsumen tersier yaitu memangsa konsumen primer dan konsumen sekunder, seperti ikan pemangsa besar dan beberapa burung pemakan ikan, misal : hiu, burung pelikan dsb, (Kikuchi and Peres, 1977) Selain yang dijelaskan tadi dalam rantai makanan terdapat dekomposer, seperti bakteri dan mikroorganisme yang menguraikan daun yang telah mati yang disebut proses dekomposisi. Dekomposer mengubah jasad tumbuhan

lamun menjadi partikel kecil dan sejumlah gas yang dilepaskan kedalam air laut. Proses daur ulang oleh dekomposer ini sangat penting dalam menyediakan nutrient bagi biota yang hidup di ekosistem padang lamun, (Kikuchi and Peres, 1977) 2.1.5 Asosiasi Lamun Asosiasi lamun campuran adalah asosiasi dengan lebih dari 3 spesies lamun. Padang campuran dilaporkan melimpah pada daerah berpasir yang terlindung (tidak berlumpur), stabil dan sedimen yang hampir horisontal (landai) (Hutomo et al. 1988). Bagaimanapun, pada daerah yang terlindung, bioturbasi tinggi maka aktifitas meliang oleh udang-udangan dan makroinvertebrata lain cenderung berkurang dengan keragaman dan kerapatan lamun, serta kesukaan spesies pionir seperti Halophila ovalis dan Halodule uninervis (Hutomo et al. 1988). Secara umum, Menurut Nienhuis et al. 1989 asosiasi-asosiasi lamun campuran tidak ditemukan pada : 1. Daerah terlindung ekstrim berenergi rendah dimana sedimen didominasi oleh pasir berbutir halus sampai lumpur halus (contohnya pada Pulau Komodo) ; 2. Daerah sedimen yang baru mengendap (contohnya pada Atol Taka Bone Rate) ; 3. Daerah sedimen dengan kemiringan curam (contohya pada Pulau Sumbawa) 4. Daerah intertidal atas yang terpapar subaerial selama pasang rendah mengakibatkan beberapa dessication . Asosiasi lamun yang paling beragam ditamukan pada habitat terumbu karang di zona sublitoral atas. Sebagai contoh, asosiasi delapan spesies dari berbagai

habitat terumbu karang di Laut Flores (Pulau Selayar, Atol Taka Bone Rate, Pulau Komodo dan Sumbawa), (Nienhuis et al. 1989) Penurunan yang berhubungan dengan frekuensi dan kemunculan dari asosiasi kedelapan spesies meliputi Thalassia hemprichii (terdapat 96% dari sampel), Syringodium isoetifolium (83%), Cymodocea rotundata (83%), Enhalus acoroides (65%), Halodule uninervis (65%), Cymodocea serrulata (61%), Halophila ovalis (35%) dan Halodule pinifolia (9%), (Nienhuis et al. 1989). Pada banyak habitat, tiap spesies terdapat sangat melimpah dan

mendominasi komunitas. Asosiasi ditemukan pada daerah yang memiliki kestabilan tinggi, yang paling sedikit mengalami penurunan atau pasir yang hampir horisontal (landai) dan pecahan karang yang menutupi terumbu karang. Dibawah permukaan substrat biomasa sangat tinggi dan jaringan akar/rhizoma yang banyak memperkuat sedimen rataan terumbu. Pada pesisir selatan Lombok, Kiswara dan Winardi (1994) mencatat 11 spesies lamun. Keragaman tertinggi yang diamati lebih banyak pada situs daerah terlindung di Teluk Gerupuk, yang terlindung dari gelombang setelah badai Barat Daya dan gelombang setelah badai Tenggara, (Winardi. 1994) Kondisi dengan energi yang lebih besar di Teluk Kuta direfleksikan dengan persen penutupan Enhalus acoroides yang lebih kecil (35%) daripada pada daerah terlindung Teluk Gerupuk (50%), (Winardi. 1994) Kekeragaman yang lebih rendah di Teluk Kuta, disebabkan oleh kekeruhan air yang lebih tinggi karena adanya run-off dari sungai. Koleksi Halophila spinosa di Teluk Gerupuk dan Thalassodendron ciliatum di Teluk Kuta dan Teluk Gerupuk baru dicatat untuk spesies ini di wilayah tersebut, (Winardi. 1994) Kedua spesies tersebut telah diamati sepanjang pesisir Bali (T. Tomascik, pers. obs.). Di kedua lokasi itu, lamun muncul pada padang monospesifik, pada

2-3 asosiasi spesies sebagaimana asosiasi campuran sampai enam spesies, (Winardi. 1994) 2.2 Parameter Ekologi 2.2.1 Kerapatan/Kepadatan Didalam mempelajari populasi ekologi, jumlah individu merupakan suatu informasi yang mendasar. Kerapatan/Kepadatan merupakan jumlah individu per unit area (luas) atau per unit volume, (Anonim. 2010) Pada studi perbandingan, kadang-kadang perlu diketahui jumlah individu relatif terhadap populasi. Untuk itu dapat dilakukan perhitungan

kerapatan/kepadatan spesies relatif (relative density = RD), yaitu jumlah total individu suatu species yang dinyatakan sebagai proporsi atau persentase dari julah keseluruhan individu dari sleuruh species, (Anonim. 2010) 2.2.2 Frekuensi Didalam ekologi, frekuensi digunakan untuk menentukan jumlah kemunculan suatu spesies tertentu didalam suatu sampel. Jika suatu spesies ditemukan dalam tujuh dari sepuluh sampel yang diambil maka frekuesi spesies tersebut adalah 7/10 atau 0,7. Hal ini juga berarti bahwa kemungkinan ditemukannya spesies tersebut didalam suatu sampel adalah 0,7, (Anonim. 2010) 2.2.3 Penutupan Penutupan merupakan proporsi antar luas tempat yang ditutupi oleh suatu spesies dengan luas keseluruhan habitat. Misalnya jenis lamun E. Acoroides memiliki luas penutupan 180 m/ha. Sedangkan luas penutupan relatif (relatie coverage =RC) dari suatu spesies adalah proporsi antara luas penutupan

suatu spesies degan luas penutupan semua spesies di dalam suatu komunitas, (Anonim. 2010)

III. METODE PRAKTEK

3.1 Waktu Dan Tempat Praktek Lapang ini berlangsung pada Hari Sabtu, 27 Maret 2010, bertempat dipulau Barrang Lompo. Sedangkan identifikasi sampel dan analisis data dilakukan di dalam gedung asrama mahasiswa, yang berada dipulau Barrang Lompo. 3.2 Alat Dan Bahan Adapun alat yang digunakan yaitu : Transek 1 x 1 m 4 buah yang digunakan untuk mengamati karapatan bulu babi dan bintang laut, Transek 25 x 25 cm 5 buah befungsi untuk mengukur/mengamati kerapatan lamun. Tali (panjangnya 60 m) yang berfungsi sebagai pembatas araea sampling. Bambu ( panjangnya 2 m) 8 buah yang berfungsi sebagai patok tempat diikatnya tali. Bendera segitiga 4 buah digunakan sebagai penanda area tempat sampling, Sepatu boat berfungsi agar kaki tidak tertusuk bulu babi, Alat dasar selam berfungsi sebagi alat bantu

untuk berenang alat tulis menulis/orang untuk mencatat data pengamatan, sabak 2 buah/kelompok digunakan untuk mencatat data sementara,Buku Referensi dig unakan untuk mengidentifikasi jenis lamun. 3.3 Prosedur Kerja Menuju kelokasi yang ditentukan, Masing-Masing kelompok membatasi daerah yang akan diamati (10 x 10 m) dengan menggunakan tali. Setelah selesai, menggunakan transek 1 x 1 m dengan 25 kisi untuk melakukan pengamatan didalam plot yang telah ditentukan. Kemudian Mencatat jenis-jenis lamun yang terdapat pada setiap kisi beserta jumlah tegakannya. Mencatat jenisjenis lamun tersebut kedalam tabel, kemudian adat tersebut dianalisis. (Anonim. 2010) 3.3 Analisis Data a) Kerapatan dan kepadatan Untuk mengatahui kerapatan suatu komunitas maka digunakan rumus ; Di = ni / A

dimana : Di = Kerapatan/kepadatan species ke-i (ind/m) ni = Jumlah total individu species ke-i A = Luas total daerah yang disampling Untuk mengetahui kerapatan relatif maka : Rdi = ni / n

Dimana : RDi = kerapatan/kepedatan relatif species ke-i ni = Jumlah total individu species ke-i n = Jumlah total individu dari semua species

b) Frekuensi Didalam ekologi frekuensi digunakan untuk menentukan jumlah kemunculan suatu species tertentu didalam suatu sampel. Untuk mengetahui hal tersebut maka digunakan : fi = ji / k dimana: fi = Frekuensi species ke-i ji = Jumlah sampel dimana species ke-I terdapat k = Jumlah total sampel yang diperoleh Adapun frekuensi relatif, proporsi dari frekuensi suatu spesies terhadap jumlah total frekuensi dari seluruh spesies, dapat dihitung dengan rumus;

RFi = Fi / fi

Dimana : RFi : Frekuensi reltif spesies ke-i fi : Frekuensi spesies ke-i

fi : Jumlah frekuensi untuk semua species 3.4.3 Penutupan Penutupan merupakan proporsi antara luas tempat yang ditutupi oleh suatu spesies dengan luas keseluruhan habitat. Luas penutupan untuk setiap species lamun pada setiap plot dikalkulasi dengan menggunakan rumus ; (Mi x fi) Ci = f

Dimana : Ci = Penutupan spesies ke-i Mi = Titik tengah dari kelas ke-i

= Frekuensi

Adapun Rumus untuk menetukan Penutupan reltif (RC) adalah :

RCi = Ci / Ci
Dimana : RCi = Penutupan relatif spesies ke-i Ci = Penutupan spesies ke-i Ci = Jumlah penutupan semua spesies

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Praktik Lokasi praktek lapang Ekologi Perairan ini dilaksanakan di pulau Barrang Lompo, Di pulau Barang Lompo ini terdapat pemukiman penduduk yang berjumlah sekitar puluhan rumah yang dikelilingi oleh tambak-tambak perikanan milik penduduk sekitar. Disekitar pantai sangat banyak tumbuhan lamun. Jenis lamun yang tumbuh di pulau ini umumnya adalah Enhalus acoroides, dan

berbagai jenis lamun lainnya,

4.2 Hasil PLOT I Jenis Enhalus Acroides

0 0 1 0 0 Jenis Cymodeceae rotundata

0 0 0 0 0

0 0 0 0 0

0 0 0 0 0

0 0 0 0 1

3 4 0 4 7 Jenis Halodule pinofolia

3 5 0 3 2

6 4 2 5 6

6 3 4 3 6 6

5 0

6 1

0 0 4 0 Jenis Thalasia hemperichi

0 0 0 0

0 0 0 0

0 0 0 0

0 0 3 0

0 0 0 0 0 PLOT II Jenis Enhalus Acroides

0 0 6 0 0

0 0 0 0 0

0 3 0 0 0

0 5 0 0 1

2 2 4 2 3 Jenis Cymodeceae rotundata

4 3 5 3 3

5 3 2 3 3

3 3 2 3 2

1 5 3 2 1

3 0 0 0

3 0 0 0

6 0 0 0

0 0 0 0

5 0 0 0

1 PLOT III Jenis Halophila minor

0 0 0 0 0

0 0 0 2 3

0 0 0 0 0

0 0 0 0 0

0 0 0 0 1

Jenis Cymodeceae rotundata

0 4 0 0 0 Jenis Halodule pinofolia

2 0 0 0 3

3 0 0 0 4

2 3 0 0 0

5 0 0 2 1

8 4 6

0 7 3

0 5 0

0 0 0

0 2 0

4 0 Jenis Thalasia hemperichi

0 0

0 0

0 0

3 0

0 0 2 0 0 PLOT IV Jenis Enhalus Acroides

0 0 1 0 0

0 0 0 0 0

0 0 0 0 0

0 0 2 0 0

0 2 0 0 0 Jenis Cymodeceae rotundata

0 0 0 0 0

0 0 0 0 0

0 0 0 0 0

0 2 2 3 0

4 2 6 4 3 Jenis Halodule ovalis

2 2 3 5 5

4 2 3 3 5

4 3 0 3 6

6 2 0 4 1

0 0 0 0 0 Jenis Halodule univeris

0 0 0 0 0

0 0 0 0 0

0 4 0 0 0

1 0 0 0 0

0 0 0 0 0 PLOT V Jenis Enhalus Acroides

0 0 0 0 0

0 0 0 0 0

0 0 0 0 4

0 0 0 0 0

1 0 1 0 2 Jenis Cymodeceae rotundata

0 5 0 4 0

0 0 0 4 0

3 0 0 0 0

0 0 6 0 1

1 1 5

3 3 1

6 4 2

4 0 3

0 2 0

4 2

0 2

3 3

2 0

0 0

4.3 Pembahasan Pada praktek lapang yang telah kami lakukan kami mendapatkan data kerapatan yang sangat banyak yaitu pada PLOT I yaitu dengan
n

= 116 dan

dari beberapa PLOT yang telah kami ambil sampel pada PLOT I, PLOT III, dan PLOT IV yang terdori dari beberapa spesies salah satunya dari semua PLOT yang banyak kami temuka tumbuhan lamun adalah Enhalus acoroides dan

Cymodeceae rotundata. Pada frekunsi yang terbanyak pada PLOT II. Penyebaran lamun didaerah yang kami pilih memiliki kerapatan yang cukup.

V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan

Kita dapat mempelajari beberapa aspek mengenai struktur dari suatu komunitas dan mengetahui bagaimana cara mengambil sampel di dalam suatu komunitas. Metode pengukuran yang digunakan untuk mengetahui kondisi padang lamun adalah metode Transek dan Petak Contoh (Transect Plot). Metode Transek dan Petak Contoh (Transect Plot) adalah metode pencuplikan contoh populasi suatu komunitas dengan pendekatan petak contoh yang berada pada garis yang ditarik melewati wilayah ekosistem tersebut. Kita dapat mngetahui dan mnghitung kerapatan, frekuensi, dan penutupan.

Lampiran PLOT I Jenis Enhalus Acroides

0 0 1 0 0 Jenis Cymodeceae rotundata

0 0 0 0 0

0 0 0 0 0

0 0 0 0 0

0 0 0 0 1

3 4 0 4 7 Jenis Halodule pinofolia

3 5 0 3 2

6 4 2 5 6

6 3 4 3 6 6

5 0

6 1

0 0 0 4 0 Jenis Thalasia hemperichi

0 0 0 0 0

0 0 0 0 0

0 0 0 0 0

0 0 0 3 0

0 0 0 0

0 0 6 0

0 0 0 0

0 3 0 0

0 5 0 0

0 ANALISIS DATA A.1 Kerapatan/Kepadatan @. Enhalus acoroides Di = ni / A = 2 /1 = 1 ind/m @. Halodule pinifolia Di = ni / A = 7 / 1 = 7 ind/ m

@. Cymodoceae rotundata Di = ni / A = 93 / 1 = 93 ind/ m @. Thallasia hemprichii Di = ni / A = 14 / 1 = 14 ind/m

A.2 Kerapatan/Kepadatan Relatif n = 1 + 93 + 7 + 14 = 116 @. Enhalus acoroides RDi = ni / n = 2 / 116 = 0,017 @. Halodule pinifolia RDi = ni / n = 7 / 116 = 0,060 B.1 Frekuensi @. Enhalus acoroides Fi = ji / k = 2 / 25 = 0,08 @. Halodule pinifolia Fi = ji / k = 2 / 25 @. Cymodoceae rotundata Fi = ji / k = 21 / 25 = 0,84 @. Thallasia hemprichii Fi = ji / k = 3 / 25 @. Cymodoceae rotundata RDi = ni / n = 93 /116 = 0,801 @. Thallasia hemprichii RDi = ni / n = 14 / 116 = 0,120

= 0,08 B.2 Frekuensi Relatif fi = 0,08 + 0,84 + 0,08 + 0,12= 1,12 @. Enhalus acoroides RFi = Fi / fi = 0,08 / 1,12 = 0,0714 @. Halodule pinifolia RFi = Fi / fi = 0,08 / 1,12 = 0,0714 C.1 Penutupan (Coverage) Misal Kerapatan = 500 tegakan / m = 500 / 25 = 20 tegakan / ki Jenis Enhalus Acroides 0 0 1 0 0 Kelas 5 4 3 2 1 0 Jumlah Jadi Ci = 6,26 / 25 = 0,2504 0 0 0 0 0 % Cover 50-100 25 50 12,5 25 6,25 12,5 < 6,25 0 0 0 0 0 0 Titik Tengah 75 37,5 18,75 9,38 3,13 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1

= 0,12

@. Cymodoceae rotundata RFi = Fi / fi = 0,84 / 1,12 = 0,75 @. Thallasia hemprichii RFi = Fi / fi = 0,12 / 1,12 = 0,107

Frekuensi (F) 0 0 0 0 2 23

MXF 0 0 0 0 6,26 0 = 6,26

Jenis Cymodeceae rotundata

3 3 0 3 4

3 3 0 3 2

4 3 2 3 4

4 3 3 3 4

3 0 4 4 1

Kelas 5 4 3 2 1 0 Jumlah Jadi Ci = 503,39 / 25 = 20,135 %

% Cover 50-100 25 50 12,5 25 6,25 12,5 < 6,25 0

Titik Tengah 75 37,5 18,75 9,38 3,13 0

Frekuensi (F) 0 7 12 2 1 3

MXF 0 262,5 219 18,76 3,13 0 = 503,39

Jenis Halodule pinofolia

0 0 0 3 0

0 0 0 0 0

0 0 0 0 0

0 0 0 0 0

0 0 0 3 0

Kelas 5 4 3 2 1 0 Jumlah Jadi Ci = 37,5 / 25 = 1,5 %

% Cover 50-100 25 50 12,5 25 6,25 12,5 < 6,25 0

Titik Tengah 75 37,5 18,75 9,38 3,13 0

Frekuensi (F) 0 0 2 0 0 23

MXF 0 0 37,5 0 0 0 = 37,5

Jenis Thalasia hemperichi

0 0 0 0 0 Kelas 5 4 3 2 1 0 Jumlah Jadi Ci = 10,63 / 25 = 0,425 % C. 2 Penutupan Relative

0 0 4 0 0 % Cover 50-100 25 50 12,5 25 6,25 12,5 < 6,25 0

0 0 0 0 0 Titik Tengah 75 37,5 18,75 9,38 3,13 0

0 3 0 0 0 Frekuensi (F) 0 1 2 0 1 21

0 3 0 0 1 MXF 0 37,5 37,5 0 3,13 0 = 10,63

RCi = Ci / Ci

Ci = 0,2504 + 20,135 + 1,5 + 0,425


= 22,310

Jenis Enhalus Acroides

RCi = Ci / Ci = 0,2504 / 22,310


= 0,0112

Jenis Cymodeceae rotundata

RCi = Ci / Ci = 20,135 / 22,310 = 0,902


Jenis Halodule pinofolia RCi = Ci / Ci = 1,5 / 22,310

= 0,067
Jenis Thalasia hemperichi RCi = Ci / Ci = 0,425 / 22,310 = 0,019

PLOT II Jenis Enhalus Acroides

2 2 4 2 3 Jenis Cymodeceae rotundata

4 3 5 3 3

5 3 2 3 3

3 3 2 3 2

1 5 3 2 1

3 0 0 0 1

3 0 0 0 0

6 0 0 0 1

0 0 0 0 2

5 0 0 0 2

ANALISIS DATA A.1 Kerapatan/Kepadatan @. Enhalus acoroides Di = ni / A = 73 /1 = 73 ind/m A.2 Kerapatan/Kepadatan Relatif n = 73 + 23 = 96 @. Enhalus acoroides RDi = ni / n = 73 / 96 @. Cymodoceae rotundata RDi = ni / n = 23 /96 @. Cymodoceae rotundata Di = ni / A = 23 / 1 = 23 ind/ m

= 0,760 B.1 Frekuensi @. Enhalus acoroides Fi = ji / k = 25 / 25 = 1 B.2 Frekuensi Relatif fi = 1 + 0,32 = 1,32 @. Enhalus acoroides RFi = Fi / fi = 1 / 1,32 = 0,757 C.1 Penutupan (Coverage) Misal Kerapatan = 500 tegakan / m = 500 / 25 = 20 tegakan / ki Jenis Enhalus Acroides 2 2 3 2 3 Kelas 5 4 3 2 1 0 3 3 3 3 3 % Cover 50-100 25 50 12,5 25 6,25 12,5 < 6,25 0 3 3 3 3 3 Titik Tengah 75 37,5 18,75 9,38 3,13 0 3 3 2 3 2 1 0 3 2 1

= 0,239

@. Cymodoceae rotundata Fi = ji / k = 8 / 25 = 0,32

@. Cymodoceae rotundata RFi = Fi / fi = 0,32 / 1,32 = 0,242

Frekuensi (F) 0 0 16 6 2 1

MXF 0 0 292 56,28 6,26 0

Jumlah Jadi Ci = 354,54 / 25 = 14,182 % Jenis Cymodeceae rotundata

= 354,54

3 0 0 0 1

3 0 0 0 0

4 0 0 0 1

0 0 0 0 2

3 0 0 0 2

Kelas 5 4 3 2 1 0 Jumlah Jadi Ci = 118,77 / 25 = 4,750 %

% Cover 50-100 25 50 12,5 25 6,25 12,5 < 6,25 0

Titik Tengah 75 37,5 18,75 9,38 3,13 0

Frekuensi (F) 0 1 3 2 2 17

MXF 0 37,5 56,25 18,76 6,26 0 = 118,77

C. 2 Penutupan Relative

RCi = Ci / Ci

Ci = 14,182 + 4,750
= 18,932

Jenis Enhalus Acroides

RCi = Ci / Ci = 14,182 / 18,932


= 0,749

Jenis Cymodeceae rotundata

RCi = Ci / Ci = 4,750 / 18,932 = 0,250

PLOT III Jenis Halophila minor

0 0 0 0 0 Jenis Cymodeceae rotundata

0 0 0 2 3

0 0 0 0 0

0 0 0 0 0

0 0 0 0 1

0 4 0 0 0 Jenis Halodule pinofolia

2 0 0 0 3

3 0 0 0 4

2 3 0 0 0

5 0 0 2 1

8 4 6 4 0 Jenis Thalasia hemperichi

0 7 3 0 0

0 5 0 0 0

0 0 0 0 0

0 2 0 3 0

0 0 2 0 0

0 0 1 0 0

0 0 0 0 0

0 0 0 0 0

0 0 2 0 0

ANALISIS DATA A.1 Kerapatan/Kepadatan @. Halophila minor Di = ni / A = 6 /1 = 6 ind/m @. Halodule pinifolia Di = ni / A = 42 / 1 = 42 ind/ m A.2 Kerapatan/Kepadatan Relatif n = 6 + 29 + 42 + 5 = 82 @. Halodule pinofolia RDi = ni / n = 6 / 82 = 0,0731 @. Halodule pinifolia RDi = ni / n = 42 / 82 = 0,512 B.1 Frekuensi @. Halodule pinofolia @. Cymodoceae rotundata @. Cymodoceae rotundata RDi = ni / n = 29 /82 = 0,353 @. Thallasia hemprichii RDi = ni / n = 5 / 82 = 0,060 @. Cymodoceae rotundata Di = ni / A = 29 / 1 = 29 ind/ m @. Thallasia hemprichii Di = ni / A = 5 / 1 = 5 ind/m

Fi = ji / k = 3 / 25 = 0,12 @. Halodule pinifolia Fi = ji / k = 9 / 25 = 0,36 B.2 Frekuensi Relatif fi = 0,12 + 0,4 + 0,36 + 0,12= 1 @. Halodule pinofolia RFi = Fi / fi = 0,12 / 1 = 0,12 @. Halodule pinifolia RFi = Fi / fi = 0,36 / 1 = 0,0714 C.1 Penutupan (Coverage) Misal Kerapatan = 500 tegakan / m = 500 / 25 = 20 tegakan / ki Jenis Halodule pinofolia 0 0 0 0 0 Kelas 0 0 0 2 3 % Cover 0 0 0 0 0 Titik 0 0 0 0 0

Fi = ji / k = 10 / 25 = 0,4 @. Thallasia hemprichii Fi = ji / k = 3 / 25 = 0,12

@. Cymodoceae rotundata RFi = Fi / fi = 0,4 / 1 = 0,4 @. Thallasia hemprichii RFi = Fi / fi = 0,12 / 1 = 0,12

0 0 0 0 1 MXF

Frekuensi

5 4 3 2 1 0 Jumlah Jadi Ci = 31,26 / 25 = 12,504 %

50-100 25 50 12,5 25 6,25 12,5 < 6,25 0

Tengah 75 37,5 18,75 9,38 3,13 0

(F) 0 0 1 1 1 22

0 0 18,75 9,38 3,13 0 = 31,26

Jenis Cymodeceae rotundata

0 3 0 0 0

2 0 0 0 3

3 0 0 0 3

2 3 0 0 0

3 0 0 2 1

Kelas 5 4 3 2 1 0 Jumlah Jadi Ci = 143,77 / 25 = 5,750 %

% Cover 50-100 25 50 12,5 25 6,25 12,5 < 6,25 0

Titik Tengah 75 37,5 18,75 9,38 3,13 0

Frekuensi (F) 0 0 6 3 1 15

MXF 0 0 112,5 28,14 3,13 0 = 143,77

Jenis Halodule pinofolia

3 4 4 0

4 3 0 0

3 0 0 0

0 0 0 0

2 0 3 0

Kelas 5 4 3 2 1 0 Jumlah Jadi Ci = 243,76 / 25 = 9,750 %

% Cover 50-100 25 50 12,5 25 6,25 12,5 < 6,25 0

Titik Tengah 75 37,5 18,75 9,38 3,13 0

Frekuensi (F) 0 4 4 2 0 15

MXF 0 150 75 18,76 0 0 = 243,76

Jenis Thalasia hemperichi

0 0 2 0 0 Kelas 5

0 0 1 0 0 % Cover 50-100

0 0 0 0 0 Titik Tengah 75

0 0 0 0 0 Frekuensi (F) 0

0 0 2 0 0 MXF 0

4 3 2 1 0 Jumlah Jadi Ci = 21,89 / 25 = 0,875 %

25 50 12,5 25 6,25 12,5 < 6,25 0

37,5 18,75 9,38 3,13 0

0 0 2 1 22

0 0 18,76 3,13 0 = 21,89

C. 2 Penutupan Relative

RCi = Ci / Ci

Ci = 12,504 + 5,570 + 9,750 + 0,875


= 28,88

Jenis Enhalus Acroides

RCi = Ci / Ci = 12,504 / 28,88


= 0,432

Jenis Cymodeceae rotundata

RCi = Ci / Ci = 5,750 / 28,88 = 0,199


Jenis Halodule pinofolia RCi = Ci / Ci = 9,750 / 28,88

= 0,337
Jenis Thalasia hemperichi RCi = Ci / Ci = 0,875 / 28,88

= 0,030

PLOT IV Jenis Enhalus Acroides

0 2 0 0 0 Jenis Cymodeceae rotundata

0 0 0 0 0

0 0 0 0 0

0 0 0 0 0

0 2 2 3 0

4 2 6 4 3 Jenis Halophila ovalis

2 2 3 5 5

4 2 3 3 5

4 3 0 3 6

6 2 0 4 1

0 0

0 0

0 0

0 4

1 0

0 0 0 Jenis Halodule univeris

0 0 0

0 0 0

0 0 0

0 0 0

0 0 0 0 0

0 0 0 0 0

0 0 0 0 0

0 0 0 0 4

0 0 0 0 0

ANALISIS DATA A.1 Kerapatan/Kepadatan @. Enhalus Acroides Di = ni / A = 9 /1 = 9 ind/m @. Halophila ovalis Di = ni / A = 5 / 1 = 5 ind/ m A.2 Kerapatan/Kepadatan Relatif n = 9 + 76 + 5 + 4 = 94 @. Enhalus Acroides RDi = ni / n = 9 / 94 = 0,095 @. Cymodoceae rotundata RDi = ni / n = 76 /94 = 0,808 @. Cymodoceae rotundata Di = ni / A = 76 / 1 = 76 ind/ m @. Halodule univeris Di = ni / A = 4 / 1 = 4 ind/m

@. Halophila ovalis RDi = ni / n = 5 / 94 = 0,063 B.1 Frekuensi @. Enhalus Acroides Fi = ji / k = 4 / 25 = 0,16 @. Halophila ovalis Fi = ji / k = 2 / 25 = 0,08 B.2 Frekuensi Relatif

@. Halodule univeris RDi = ni / n = 4 / 94 = 0,042

@. Cymodoceae rotundata Fi = ji / k = 25 / 25 =1 @. Halodule univeris Fi = ji / k = 1 / 25 = 0,04

fi = 0,16 + 1 + 0,08 + 0,04= 1,28 @. Enhalus acoroides RFi = Fi / fi = 0,16 / 1,28 = 0,125 @. Halophila ovalis RFi = Fi / fi = 0,08 / 1,25 = 0,062 C.1 Penutupan (Coverage) Misal Kerapatan = 500 tegakan / m = 500 / 25 = 20 tegakan / ki Jenis Enhalus acoroides 0 0 0 0 0 @. Cymodoceae rotundata RFi = Fi / fi = 1/ 1,28 = 0,781 @. Halodule univeris RFi = Fi / fi = 0,04 / 1,25 = 0,0312

2 0 0 0 Kelas 5 4 3 2 1 0 Jumlah Jadi Ci = 46,89/ 25 = 1,875 %

0 0 0 0 % Cover 50-100 25 50 12,5 25 6,25 12,5 < 6,25 0

0 0 0 0 Titik Tengah 75 37,5 18,75 9,38 3,13 0

0 0 0 0

2 2 3 0 MXF 0 0 18,75 28,14 0 0 = 46,89

Frekuensi (F) 0 0 1 3 0 21

Jenis Cymodeceae rotundata

3 2 4 3 3

2 2 3 3 3

3 2 3 3 3

2 3 0 3 0

4 2 0 3 1

Kelas 5 4 3 2 1 0 Jumlah

% Cover 50-100 25 50 12,5 25 6,25 12,5 < 6,25 0

Titik Tengah 75 37,5 18,75 9,38 3,13 0

Frekuensi (F) 0 2 14 5 1 3

MXF 0 71 262,5 46,9 3,13 0 = 383,53

Jadi Ci = 383,53 / 25 = 15,341 %

Jenis Halophila ovalis

0 0 0 0 0

0 0 0 0 0

0 0 0 0 0

0 3 0 0 0

1 0 0 0 0

Kelas 5 4 3 2 1 0 Jumlah Jadi Ci = 5,990/ 25 = 0,239 %

% Cover 50-100 25 50 12,5 25 6,25 12,5 < 6,25 0

Titik Tengah 75 37,5 18,75 9,38 3,13 0

Frekuensi (F) 0 0 1 0 1 23

MXF 0 0 18,75 0 3,13 0 = 5,990

Jenis Halodule univeris

0 0

0 0

0 0

0 0

0 0

0 0 0 Kelas 5 4 3 2 1 0 Jumlah Jadi Ci = 18,75 / 25 = 0,75 % C. 2 Penutupan Relative

0 0 0 % Cover 50-100 25 50 12,5 25 6,25 12,5 < 6,25 0

0 0 0 Titik Tengah 75 37,5 18,75 9,38 3,13 0

0 0 3 Frekuensi (F) 0 0 1 0 0 24

0 0 0 MXF 0 0 18,75 0 0 0 = 18,75

RCi = Ci / Ci

Ci = 0,239 + 15,341 + 1,875 + 0,75


= 18,205

Jenis Enhalus Acroides

RCi = Ci / Ci = 0,239 / 18,205


= 0,013

Jenis Cymodeceae rotundata

RCi = Ci / Ci = 15,341 / 18,205 = 0,842


Jenis Halodule pinofolia RCi = Ci / Ci

= 1,875 / 18,205

= 0,102
Jenis Thalasia hemperichi RCi = Ci / Ci = 0,75 / 18,205 = 0,041

PLOT V Jenis Enhalus Acroides

1 0 1 0 2 Jenis Cymodeceae rotundata

0 5 0 4 0

0 0 0 4 0

3 0 0 0 0

0 0 6 0 1

1 1 5 4

3 3 1 0

6 4 2 3

4 0 3 2

0 2 0 0

ANALISIS DATA A.1 Kerapatan/Kepadatan @. Enhalus acoroides Di = ni / A = 25 /1 = 25 ind/m A.2 Kerapatan/Kepadatan Relatif n = 25 + 48 = 73 @. Enhalus acoroides RDi = ni / n = 25 / 73 = 0,342 @. Cymodoceae rotundata RDi = ni / n = 48 /73 = 0,675 @. Cymodoceae rotundata Di = ni / A = 48 / 1 = 48 ind/ m

B.1 Frekuensi @. Enhalus acoroides Fi = ji / k = 7 / 25 = 0,28 B.2 Frekuensi Relatif fi = 0,28 + 0,72 = 1,32 @. Enhalus acoroides RFi = Fi / fi = 0,28 / 1 = 0,28 C.1 Penutupan (Coverage) @. Cymodoceae rotundata RFi = Fi / fi = 0,72 / 1 = 0,72 @. Cymodoceae rotundata Fi = ji / k = 18 / 25 = 0,72

Misal Kerapatan = 500 tegakan / m = 500 / 25 = 20 tegakan / ki Jenis Enhalus Acroides 1 0 0 0 2 Kelas 5 4 3 2 1 0 Jumlah Jadi Ci = 125,01 / 25 = 5,0004 % Jenis Cymodeceae rotundata 0 3 0 3 0 % Cover 50-100 25 50 12,5 25 6,25 12,5 < 6,25 0 0 0 0 3 0 Titik Tengah 75 37,5 18,75 9,38 3,13 0 3 0 0 0 0 0 0 4 0 0 MXF 0 37,5 75 9,38 3,13 0 = 125,01

Frekuensi (F) 0 1 4 1 1 17

1 1 3 3 2

3 3 1 0 2

3 3 2 3 3

3 0 3 2 0

0 2 0 0 0

Kelas 5

% Cover 50-100

Titik Tengah 75

Frekuensi (F) 0

MXF 0

4 3 2 1 0 Jumlah Jadi Ci = 243,79/ 25 = 9,751 %

25 50 12,5 25 6,25 12,5 < 6,25 0

37,5 18,75 9,38 3,13 0

0 10 5 3 7

0 187,5 46,9 9,39 0 = 243,79

C. 2 Penutupan Relative

RCi = Ci / Ci

Ci = 5,0004 + 9,751
= 14,751

Jenis Enhalus Acroides

RCi = Ci / Ci = 5,0004 / 14,751


= 0,338

Jenis Cymodeceae rotundata

RCi = Ci / Ci = 9,751 / 14,751 = 0,661

DAFTAR PUSTAKA Azkab, M.H.1988. Pertumbuhan dan produksi lamun, Enhalus acoroides di rataan terumbu di Pari Pulau Seribu.Dalam: P3O-LIPI, Teluk Jakarta: Biologi,Budidaya, Oseanografi,Geologi dan Perairan. Balai Penelitian Biologi Laut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI, Jakarta. Bengen,D.G. 2001. Sinopsis ekosistem dan sumberdaya alam pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Instititut Pertanian Bogor. Dahuri. R., Rais. J., Ginting Putra. S., and M. J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu. PT Pradnya Paramita. Jakarta. Den Hartog, c. 1970. The seagrass of the world. North holland. Amsterdam. 275 hal file:///E:/ekosistem.htm

http://itk.fpik.ipb.ac.id/SIELT/lamun.php?load=klasifikasi.php http://perikananunila.wordpress.com/2009/07/31/ekosistem-lamun/an http://www.scribd.com/doc/20723946/M

Kikuchi dan J.M. Peres. 1977. Consumer ecology of seagrass beds, pp. 147-193. In P. McRoy and C.Helferich (eds). Seagrass ecosystem. A scientific perspective. Mar.Sci.Vol 4.Marcel Dekker Inc, New York.
Nontji, A 2002. Laut Nusantara, Djambatan. Jakarta. Nybakken, Jakarta. J. W. 1988. Biologi laut suatu pendekatan ekologis, Gramedia,

Thayer, G.W., S.M.Adams and M.W. Lacroix 1975. Structural and functional aspects of recently establilized Zostera marina community: Dalam: Azkab,M.H. 1999. Pedoman Invetarisasi Lamun. Oseana 1: 1-16.

IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.3 Pembahasan Pada praktek lapang yang telah kami lakukan kami mendapatkan data kerapatan yang sangat banyak yaitu pada PLOT I yaitu dengan
n

= 116 dan

dari beberapa PLOT yang telah kami ambil sampel pada PLOT I, PLOT III, dan PLOT IV yang terdori dari beberapa spesies salah satunya dari semua PLOT

yang banyak kami temuka tumbuhan lamun

adalah Enhalus acoroides dan

Cymodeceae rotundata. Pada frekunsi yang terbanyak pada PLOT II. Penyebaran lamun didaerah yang kami pilih memiliki kerapatan yang cukup tinggi dan frekensi yang tinggi, karena setiap PLOT yang kami uji memilki banyak spesies dengan tegakan yang cukup banyak. Gmabar 5. petak pengambilan data Setiap tegakan pada plot terdiri dariu beberapa spesies sehingga memiliki frekuensi yang cenderung lebih besar.

DAFTAR PUSTAKA Dahuri. R., Rais. J., Ginting Putra. S., and M. J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu. PT Pradnya Paramita. Jakarta. file:///E:/ekosistem.htm diakses pada minggu 4 april 2010 http://itk.fpik.ipb.ac.id/SIELT/lamun.php?load=klasifikasi.php minggu 4 april 2010 http://perikananunila.wordpress.com/2009/07/31/ekosistem-lamun/an pada minggu 4 april 2010 http://www.scribd.com/doc/20723946/M diakses pada minggu 4 april 2010 diakses diakses pada

V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Kita dapat mempelajari beberapa aspek mengenai struktur dari suatu komunitas dan mengetahui bagaimana cara mengambil sampel di dalam suatu komunitas. Metode pengukuran yang digunakan untuk mengetahui kondisi padang lamun adalah metode Transek dan Petak Contoh (Transect Plot). Metode Transek dan Petak Contoh (Transect Plot) adalah metode pencuplikan contoh populasi suatu komunitas dengan pendekatan petak contoh yang berada pada garis yang ditarik melewati wilayah ekosistem tersebut. Kita dapat mngetahui dan mnghitung kerapatan, frekuensi, dan penutupan.

You might also like