You are on page 1of 10

WAWASAN AL-QURAN TENTANG DEMOKRASI Muhamad Ridwan Nurrohman A. Prolog: Adakah Demokrasi Islam?

Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat! jargon itulah yang paling sering diungkapkan ketika membahas mengenai demokrasi. Khusus berbicara mengenai demokrasi dari kacamata Islam, kata demokrasi selalu dikait-kaitkan dengan akar kata syura atau musyawarah dalam bahasa sekarang. Potongan ayat yang paling sering digunakan adalah QS. Al-Syura (42): 38 yang berbunyi:

Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka. Namun nyatanya hal ini menjadi perkara yang tarik -ulur, sebagian ada yang memandang bahwa syura itu bukanlah demokrasi, namun sebagian lain memandang bahwa jelas syura itu demokrasi. Hal ini menjadi isu yang menarik, karena topik ini sejak dulu sampai hari ini selalu mengundang perbedaan pendapat yang cukup tajam. Lalu sebenarnya bagaimanakah al-Quran memandang permasalahan ini? Apa makna syura yang dikehendaki oleh al-Quran? Kalaulah demokrasi itu sejalan dengan konsep syura dalam al-Quran, demokrasi yang bagaimanakah itu? B. Antara Demokrasi dan Musyawarah Kata demokrasi muncul dalam tradisi bahasa Arab belumlah lama, bahkan istilah ini masih diterjemahkan ad-dimuqrathiya () . Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi memang istilah dan konsep yang asing dan tidak dikenal dalam tradisi pemikiran Islam. Selain itu, demokrasi juga berbeda asasnya dengan syura ataupun jumhur. Karena dalam demokrasi tidak mengenal batas kedaulatan Allah atau kedaulatan syariat. 1 Dalam tradisi bahasa Indonesia juga terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara istilah demokrasi dan musyawarah. Secara , demokrasi diartikan sebagai bentuk atau sistem pemerintahan dimana seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat. Selain itu, demokrasi juga diartikan sebagai gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara. 2 Bersebrangan dengan itu, musyawarah hanya diartikan sebagai pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah; perundingan; perembukan. 3 Dari dua penjelasan lugawi di atas, sangat nampak perbedaan yang terkandung dalam dua term tersebut. Ada nilai lebih, yang coba istilah demokrasi tanamkan dalam benak pembaca, dimana hal tersebut sangat problematik, bahkan untuk konteks diterapkan di Indonesia terlebih lagi jika harus diterapkan untuk Islam secara keseluruhan, sebagaimana diungkap oleh Gus Dur dalam Islam Kosmopolitan-nya. Bila diringkas ungkapannya menjadi seperti ini, Ketika kita ingin melakukan demokratisasi terhadap sistem negara kita, maka kita akan berhadapan dengan tokoh-tokoh agama yang ingin menegakkan eksklusifitas agama mereka atas agama-agama lain. Salah satu sebab yang menghambat proses demokratisasi ini tidak
Menimbang Kembali Konsep Demokrasi karya Adian Husaini dalam J urnal ISLAMIA edisi Menggali Identitas Politik Islam, vol. V no. 2. Selanjutnya disebut: Adian Husaini dalam Menimbang Kembali Konsep Demokrasi. 2 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, edisi keempat: 2012) hlm. 310. 3 Ibid. Hlm. 944.
1

1|

Wawasan al-Quran tentang Demokrasi

lain karena adanya perbedaan hakikat nilai-nilai dasar yang dianut keduanya (agama dan demokrasi). Karena setiap agama senantiasa bertitik tolak dari pandangan normatif yang disampaikan oleh Kitab Suci-nya, dan ini berarti hanya ada satu jenis kebenaran yang dapat diterima sebuah agama, yaitu kebebasan agamanya sendiri. Terlebih lagi apabila nilai ini harus diterapkan kepada sistema syariah (hukum agama), maka akan terlihat kaburlah pandangan demokrasi ini. Contoh kasus dalam masalah pernikahan, garis hukum pernikahan mana yang harus dianut oleh negara, ketika Islam, misalnya memperbolehkan perceraian dan poligami, sedangkan dalam Kristen Katolik sebah perceraian itu adalah merusak kesucian perkawinan yang telah diberkati oleh Tuhan. Maka dengan sendirinya hak warga negara untuk melakukan perceraian melalui perundang-undangan negara merupakan tantangan bagi konsep perkawinan yang telah diyakini oleh pihak gereja.4 Maka dari itu Dr. Adian Husaini menyimpulkan, mengenai hubungan musyawarah dan demokrasi ini, dengan ungkapannya bahwa istilah syura tidak bisa diganti dengan demokrasi. 5 Namun berbeda dengan pandangan tersebut, A. Hassan dalam Kedaulatan dalam Islam-nya mengatakan, yang mempersamakan rembukan rakyat atau musyawarah saat menjelaskan QS. Al-Syura (42): 38- dengan demokrasi. Namun beliau membatasi dimana ranah yang boleh dilakukan rembukan rakyat tersebut dan mana yang tidak boleh dalam hal ini beliau menjelaskan bahwa hanya hukum-hukum yang belum ditetapkan dalam al-Quran dan al-Sunnah saja lah yang boleh ditentukan melalui rembukan-.6 Bagi A. Hassan, untuk zaman sekarang tidak ada sistem negara yang lebih memfasilitasi untuk terciptanya sistema musyawarah atau syura selain dalam sistem demokrasi. Pada akhirnya, kesimpulan demikian didukung pula oleh M. Natsir selain sejalan pula dengan pemahaman Yusuf Qardhawi. 7 Bahkan Yusuf Qardhawi mengungkapkan, kalaulah kita mengetahui apa substansi dari demokrasi, maka kita akan mengatakan bahwa demokrasi itu sejalan dengan Islam. 8 Maka dari itu, dalam makalah ini penulis hanya akan membatasi kajian pada substansi demokrasi yang sejalan dengan Islam saja, atau dalam ranah syura atau musyawarah saja. Selain itu, untuk menyelamatkan pembaca dari kebingungan ketika membaca makalah ini, penulis akan menggunakan term musyawarah dan tidak menggunakan term demokrasi dalam beberapa poin pembahasan yang khusus al-Quran sifati bagi syura.

Dikutip secara bebas dari Agama dan Demokrasi dalam Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilainilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan. (Jakarta: The Wahid Institute, 2007) hlm. 281-290. Selanjutnya disebut Abdurrahman Wahid dalam Agama dan Demokrasi. 5 Adian Husaini dalam Menimbang Kembali Konsep Demokrasi. 6 A. Hassan, Kedaulatan dalam Islam dalam Tiar Anwar Bachtiar (editor). Risalah Politik A. Hassan. (Jakarta: Pembela Islam Media, 2013) hlm. 157-158. Selanjutnya disebut Risalah Politik A. Hassan. 7 Untuk pandangan M. Natsir mengenai demokrasi pembaca bisa merujuk Membedah Paradigma Politik Persis karya Pepen Irpan Fauzan dalam Endang Sirodjudin Hafidz, dkk. Pergulatan Pemikiran Kaum Muda Persis. (PW. Pemuda Persatuan Islam Jawa Barat & Penerbit Granada, 2005) hlm. 123-125. Kemudian untuk pandangan Yusuf Qardhawi pembaca bisa merujuk Yusuf Qardhawi, Fiqih Daulah dalam Perspektif al-Quran dan Sunnah. Terj. Kathur Suhardi. (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, cet-6: 2000) hlm. 181-184. Dalam hal ini, Quraish Shihab juga ada kecondongan mempersamakan antara musyawarah dan demokrasi, untuk lebih jelasnya bisa dilihat dalam M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran. (Bandung: Mizan, cet-19: 2007) hlm. 472. 8 Ibid. Hlm. 184.

2|

Wawasan al-Quran tentang Demokrasi

C. Makna Musyawarah secara Khusus Kata musyawarah terambil dari akar kata sy-, w-, r-, yang arti asalnya mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat), dan kata ini pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya. 9 Lebih jauh lagi, Quraish Shihab menggambarkan, madu itu bukan saja manis, melainkan juga obat untuk berbagai penyakit, sekaligus juga sumber kesehatan dan kekuatan. Itu sebabnya madu dicari di mana pun dan oleh siapa pun, hal ini berarti mempersamakan pendapat yang benar dengan madu, dan bermusyawarah adalah upaya untuk mendapatkan madu tersebut dimanapun dia ditemukan dalam artian pendapat siapa pun yang dinilai benar tanpa mempertimbangkan siapa yang menyampaikannya.10 Lanjut beliau, madu dihasilkan oleh lebah. Jika demikian, yang bermusyawarah itu mesti bagaikan lebah: makhluk yang sangat berdisiplin, kerja-samanya mengagumkan, makanannya sari kembang, dan hasilnya madu. Di mana pun hinggap, lebah tak pernah merusak. Ia takkan menganggu kecuali diganggu. Bahkan sengatannya pun dapat menjadi obat. Seperti itulah makna permusyawarahan, dan demikian pula sifat yang melakukannya. Maka tak heran jika Rasulullah Saw. menyamakan seorang mukmin dengan lebah. 11 D. Musyawarah dalam al-Quran Setidaknya ada tiga (3) ayat yang akar katanya menunjukkan arti musyawarah, yaitu QS. AlBaqarah (2): 233; QS. Ali Imran (3): 159; dan QS. Al-Syra (42): 38. Namun jika dilihat lebih teliti, maka ayat yang berkaitan dengan konsep negara atau kehidupan sosial secara luas hanya dicakup oleh QS. Ali Imran (3): 159; dan QS. Al-Syra (42): 38. Secara terperinci, potongan ayat dari QS. Al-Baqarah (2): 233 yang berbunyi, ...Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan antara mereka, maka tidak ada dosa atas keduanya... ini sedang berbicara tentang bagaimana seharusnya hubungan suami-istri saat mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak, seperti menyapih anak dalam konteks ayat ini.12 Selanjutnya, dalam QS. Ali Imran (3): 159 yang berbunyi,

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan (tertentu). Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orangorang yang bertawakkal kepada-Nya. ini sedang berbicara tentang perintah Allah yang ditujukan

M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran. Hlm. 469. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran. (Jakarta: Lentera Hati, cet-3: 2005) vol. 12. Hlm. 512. 11 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran. Hlm. 469. 12 Ibid. Hlm. 470.
10

3|

Wawasan al-Quran tentang Demokrasi

kepada Rasulullah Saw. agar bermusyawarah bersama para sahabatnya dalam persoalan-persoalan tertentu, selain persoalan yang telah tetap ( tsubut) keterangannya dalam al-Quran dan Sunnah. 13 Kemudian QS. Al-Syra (42): 38 yang berbunyi,

Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. ini sedang berbicara tentang kriteria orang mukmin, secara khusus ayat ini turun berkenaan dengan pujian Allah Swt. Terhadap kaum Anshar yang bersedia membela Rasulullah Saw. dan menyepakati hal tersebut melalui musyawarah yang mereka laksanakan di rumah Abu Ayyub al-Anshari.14 Secara selintas mungkin pembaca bisa menyimpulkan bahwa al-Quran kurang memperhatikan masalah musyawarah ini, buktinya al-Quran pun hanya menyebutkannya dalam tiga tempat saja, itu pun tidak dijelaskan secara terperinci mengenai tata cara dan proses pelaksanaannya. Padahal jika kita mampu melihat hikmah di ayat-ayat itu, betapa pentingnya posisi musyawarah dalam Islam. Selain itu, ada juga hikmah tersendiri yang terkandung dengan tidak dijelaskan secara terperinci mengenai tata cara dan proses pelaksanaan musyawarah ini yang menunjukkan kasih sayang Allah yang luar biasa bagi ummat-Nya. E. Urgensi Musyawarah dalam Islam Urgensi dari musyawarah ini secara sederhana dapat ditangkap melalui redaksi QS. Ali Imran (3): 159 yaitu disampaikan dengan lafadz amr, atau perintah. Hal tersebut, sebagaimana disebutkan dalam kaidah ushul, bahwa pokok asal suatu perintah itu menunjukkan tuntutan secara wajib ( ) .15 Maka dalam hal ini, musyawarah bisa dipahami sebagai suatu aturan baku yang disampaikan secara mendasar dan global untuk digunakan oleh ummat-Nya dalam usaha mereka mencari ketetapan hukum ataupun . ketetapan aturan bersama, dalam suatu urusan yang tidak Tidaklah suatu kaum diketemukan keterangannya dalam nash, atau dalam bahasa bermusyawarah, kecuali Allah akan lain ia disebut ijma (konsesus), karena suatu konsesus tunjukkan jalan keluar terhadap tidak akan mungkin tercipta selain melalui cara adanya masalah mereka. proses saling tukar pikiran, silang pendapat, yang (Hasan al-Bashri) terpenting dikemukakannya dalil-dalil (argumentasi) yang memang mendukung suatu pendapat sehingga pendapat tersebut bisa diakui oleh pihak yang bersebrangan. 16 Dalam musyawarah pun akan tampak bertautnya hati dan kesepakatan hati untuk menyukseskan suatu upaya, dengan itu

Ahmad bin Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi. (Mesir: Syirkah Maktabah wal Matbuah Mustafa al -Bab al-Halabi wa auladihi, 1946) vol. 4. Hlm. 111. Lihat juga, M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah. vol. 12. Hlm. 512. Lihat juga, Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj. (Damaskus: Dar al-Fikr alMuashir, cet-2: 1418 H) vol. 25. Hlm. 87. 14 Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir. Vol. 25. Hlm. 80. Lihat juga, M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran. Hlm. 470-471. 15 Iyadh bin Naami al-Sulami, Ushul al-Fiqh alladzi La Yasa al-Faqih Jahalahu. (Riyadh: Dar al-Tadmiriyyah, 2005) hlm. 222. 16 Lihat, Abdulkarim Yunus al-Khatib, al-Tafsir al-Quraniy li al-Quran. (Kairo: Dar al-Fikr al-Araby, t.t.) vol. 13. Hlm. 67.

13

4|

Wawasan al-Quran tentang Demokrasi

terciptalah ikatan sosial (kontrak sosial) yang semakin mendorong masyarakat tersebut untuk menjadi ummatan wahidatan (ummat yang satu; bersatu).17 Selain itu, jika kita mencermati siyaq dari QS. Al-Syra (42): 38, di mana urusan musyawarah ini menyelangi (menjadi penyelang) antara shalat dan zakat ini memberikan suatu dorongan makna khusus tersendiri. Jika ditelusuri secara keseluruhan, antara shalat dan zakat ini teramat sangat jarang dipisahkan (24 + 4 kali), silahkan dilihat QS. Al-Baqarah (2): 43, 83, 110, 177, 277; Al-Nisa (4): 77, 162; Al-Maidah (5): 12, 55; Al-Taubah (9): 5, 11, 18, 71; Al-Anbiya (21): 73; AlHajj (22): 41, 78; Al-Nur (24): 37, 56; Al-Naml (27): 3; Luqman (31): 4; Al-Ahzab (33): 33; AlMujadilah (58): 13; Al-Muzammil (73): 20; dan Al-Bayyinah (98): 5. Dengan redaksi yang berbeda, yaitu kata shalat dan zakat yang diungkapkan dengan lafadz terdapat dalam empat (4) tempat, yaitu QS. Al-Baqarah (2): 3; Al-Anfal (8): 3; Al-Hajj (22): 35; dan AlSyra (42): 38, kesemuanya bersatu, kecuali hanya pada ayat ini saja. Adapun pada tempat lain, yaitu dalam QS. Al-Muminun (23): 1-4 yang berbunyi,

() () () )(

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat... selintas antara shalat dan zakat ini diselangi oleh , padahal pada hakikatnya ayat tersebut masih menjelaskan tentang shalat, bahwa shalat yang baik dan sempurna ( khusyu) itu adalah shalat yang menjauhkan pada shalat itu perkara yang tidak berguna. Berbeda halnya ketika shalat dan zakat diselangi oleh syura, maka syura di sana itu adalah benar-benar syura, bukan bagian dari shalat maupun zakat.18 Hal ini menunjukkan betapa syura itu sangatlah penting dalam Islam, dan ada beberapa hikmah dari siyaq ayat ini yang lain, seperti adanya kemiripan antara syura dengan shalat dari aspek (1) berjamaah-nya, dalam artian bahwa memecahkan masalah secara rembukan itu lebih baik sebagaimana lebih baiknya shalat berjamaah dibandingkan dengan munfarid. Kemudian dari segi (2) panggilan untuk melaksanakan syura, disejajarkankan dengan adzan untuk shalat. Kemudian dari segi (3) mengikuti imam dalam shalat, dan mengikuti keputusan syura. Kemudian dari segi (4) harus adanya persiapan terlebih dahulu untuk melaksanakan shalat yaitu dengan bersuci dan wudhu, dalam pelaksanaan syura pun peserta haruslah terlebih dahulu membersihkan hatinya dari hawa nafsu, dan juga dari berbagai kepentingan. Ada juga dari segi (5) pengwajibannya, yaitu kewajiban secara umum, maka begitu pula dengan syura di mana dalam syura pun mencakup kewajiban secara keseluruhan ummat Islam; bahwa setiap orang, baik muslimin maupun muslimah, adalah orangorang yang layak untuk andil dalam musyawarah. 19 Setelah itu, apa sebenarnya yang hendak Allah berikan kepada manusia dengan tidak dijelaskan secara terperinci mengenai tata-cara dan proses pelaksanaan musyawarah ini. Secara umum, petunjuk al-Quran yang rinci lebih banyak tertuju kepada persoalan-persoalan yang tak terjangkau nalar serta tak mengalami perkembangan atau perubahan, seperti tentang surga, neraka, karena ia adalah perkara yang tak terjangkau nalar. Kemudian ada juga mengenai larangan menikahi mahram (orang yang haram di nikahi; yaitu orang tua, saudara, keluarga dekat tertentu), karena selama anak itu jiwanya normal, tidak mungkin ia memiliki birahi terhadap mahram-nya
Ibid. vol. 13. Hlm. 66. Lihat juga, Ahmad bin Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi. Vol. 4. Hlm. 114. Abdulkarim Yunus al-Khatib, al-Tafsir al-Quraniy li al-Quran. Vol. 13. Hlm. 72. 19 Beberapa poin penulis ambil dari kitab al-Tafsir al-Quraniy li al-Quran karya Abdulkarim Yunus al-Khatib. Lihat, Ibid. Hlm. 69-70.
18 17

5|

Wawasan al-Quran tentang Demokrasi

tersebut. Adapun bagi perkara-perkara yang sifatnya dapat mengalami perkembangan dan perubahan al-Quran hanya memberikan prinsip umumnya saja, agar petunjuk tersebut dapat menampung segala bentuk perubahan dan perkembangan sosial-budaya manusia, juga sesuai dengan waktu dan tempatnya. 20 Perkara ini memang teramat sangat logis, karena memang sangat sulit jika rincian suatu persoalan yang diterapkan pada suatu masa atau masyarakat tertentu dengan kondisi sosial budayanya, harus diterapkan pula dengan rincian yang sama untuk masyarakat lain. Musyawarah atau demokrasi adalah salah satu contohnya, ungkap Quraish Shihab. 21 Karena itu, lanjutnya, petunjuk al-Quran menyangkut hal ini amat singkat dan hanya prinsip-prinsip umumnya saja. Jangankan al-Quran, bahkan Rasulullah Saw. sendiri yang notabene sebagai bayan al-Quran, seperti dalam masalah tata cara shalat- pun tidak memberikan rinciannya. Bahkan memberikan pola khusus saja pun tidak, itulah mengapa cara suksesi empat khalifah atau khulafa al-rasyidin itu berbeda-beda satu sama lainnya. Karena Allah sendiri memang menegaskan bahwa syura itu harus dibicarakan bersama oleh orang-orang yang hendak melakukan syura tersebut, dengan ungkapannya ( QS. Al-Syra [42]: 38). Itu pula yang dikehendaki oleh sabda ) .22 Namun dalam Rasulullah Saw. Kalian lebih mengerti urusan dunia kalian ( hal ini (musyawarah khususnya) tentu tidaklah bisa diserahkan kepada siapa saja, untuk itu Rasyid Ridha mengatakan bahwa apa yang sengaja tidak Allah gariskan secara jelas (memberi kebebasan dan kemerdekaan) dalam urusan dunia dan kepentingan masyarakat dan hanya Allah sampaikan titik-titik petunjuk jalan, dalam hal ini musyawarah, haruslah dilakukan oleh orang yang cakap dan terpandang, selain juga kita percayai, untuk menetapkan bagi kita (masyarakat) pada setiap periode hal-hal yang bermanfaat dan membahagiakan masyarakat... Kita sering mengikat diri dengan berbagai ikatan (syarat) yang kita ciptakan sendiri, kemudian kita namakan itu sebagai syariat agama. Namun pada akhirnya, syarat -syarat itu membelenggu diri kita. 23 Hal ini juga ( Setiap sejalan dengan firman Allah taala dalam QS. Al-Maidah (5): 48 24 umat [masyarakat] diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang) . Metode ini juga digunakan oleh Rasulullah Saw. bersama para sahabatnya dalam berbagai persoalan, tercatat Rasulullah Saw. melakukan syura bersama para sahabat pada saat Perang Badar mengenai keberangkatan untuk menghadang pasukan orang kafir, di mana kaum muslimin ketika itu mendukung penuh terhadap apapun yang beliau lakukan. Selain itu beliau juga pernah mengajak para sahabat untuk bermusyawarah mengenai di mana mereka akan berkemah, hingga akhirnya alMundzir bin Amr menyarankan untuk bertempat di hadapan lawan. Dalam Perang Uhud, beliau juga bermusyawarah antara tetap tinggal di Madinah menunggu musuh sampai musuh datang ketika itu pasukan musuh masih dalam perjalanan dari Mekkah menuju Madinah- ataukah mereka akan menghadang mereka. Akhirnya mayoritas sahabat menyarankan untuk keluar menghadang musuh, maka beliau pun berangkat bersama para sahabat. Pada urusan lain, Rasulullah Saw. juga
Ahmad bin Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi. Vol. 4. Hlm. 113-114. Lihat juga, M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran. Hlm. 471. 21 Ibid. Hlm. 471-472. 22 HR. Muslim, Kitab al-Fadhail, Bab Wujub Imtisal Maa Qaalahu Syaran Duuna Maa Dzakarahu Shallalahu alaihi wa Sallam min Maaayis al-Dunya ala Sabiili al-Rayi, no. 141 dalam Muslim bin al-Hajjaj, Sahih Muslim. Tahqiq: Muhammad Fuad Abdul Baqi. (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, t.t.) jld. 4. Hlm. 1836. 23 Dikutip secara bebas dari Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Quran al-Hakim (Tafsir al-Manar). (Mesir: Maktabah al-Hai-ah al-Misriyyah al-Ammah lil Kitab, 1990) vol. 5. Hlm. 153. Saat beliau menafsirkan QS. Al-Nisa (4): 59. Lihat juga, M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran. Hlm. 472-473. 24 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran. Hlm. 485.
20

6|

Wawasan al-Quran tentang Demokrasi

mengajak Ali dan Usamah bermusyawarah mengenai perceraiannya dengan Aisyah dalam tragedi hadisul ifki (berita bohong).25 Masih banyak lagi contoh lainnya, yang kesemuanya disampaikan dalam berbagai riwayat yang banyak, dan ini semakin mengukuhkan urgensi dari musyawarah itu sendiri. Dari sini juga terlihat bahwa praktek yang Rasulullah Saw. lakukan dalam bermusyawarah itu berbeda-beda, terkadang beliau hanya melibatkan orang yang dianggap cakap untuk bidang yang dimusyawarahkan tersebut, terkadang beliau juga melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, bahkan menanyakan kepada semua yang terlibat dalam masalah yang dihadapi. 26 F. Hal-hal yang Berkaitan dengan Musyawarah 1. Kriteria Peserta Musyawarah Sebagaimana disebutkan dalam QS. Ali Imran (3): 159 yang berbunyi,

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan (tertentu). Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orangorang yang bertawakkal kepada-Nya. dapat dilihat bahwa Allah mengisyaratkan mengenai kriteria orang yang layak menjadi wakil atau peserta musyawarah. 27 Sikap tersebut di antaranya adalah, pertama, sikap lemah lembut, hal ini tercermin dari firman ( Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, Allah tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu). Kedua, memberi maaf, dalam artian ia haruslah terbebas dari rasa sakit hati atau dendam kepada pihak lain yang hanya akan membawa pendapat-pendapatnya kepada arah yang tidak tepat. Selain itu juga ia harus mempersiapkan mental untuk senantiasa memaafkan ketika memang dalam proses tukar pikiran tersebut ada ucapan dari pihak lain yang menyinggung perasaannya, dan ini tercermin dalam firman-Nya (berikanlah maaf kepada mereka). Ketiga, memohon magfirah atau ampunan Allah, poin ini menjadi penting karena kebijaksanaan itu hakikatnya anugerah Allah kepada hamba-Nya yang biasa Allah sampaikan melalui ilham-Nya, sedangkan Allah tidak memberikan anugerah yang besar itu (ilham) kepada orang yang berlaku aniaya (QS. Al-Baqarah [2]: 258), kafir (QS. Al-Baqarah [2]: 264), bergelimang dosa atau fasik (QS. Al-Maidah [5]: 108), melampaui batas lagi pendusta (QS. Al-Mumin [40]: 28), pengkhianat (QS. Yusuf [12]: 52), dan pembohong (QS. Al-Zumar [39]: 3). Maka dari itu, memohon magfirah Allah adalah salah satu aspek penting yang harus ada dalam diri seorang peserta musyawarah, karena untuk mencapai hasil terbaik ketika musyawarah hubungan dengan Allah pun harus harmonis, dan itu tercermin dalam firman-Nya ( mohonkanlah ampun bagi mereka). Pesan terakhir dalam konteks musyawarah ini adalah setelah musyawarah usai, yaitu
Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim. Tahqiq: Sami` bin Muhammad Salamah. (Dar alThayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzi`, cet-2: 1999) vol. 2. Hlm. 149. 26 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran. Hlm. 480-481. 27 Pembahasan mengenai hal ini banyak diperbincangkan oleh para Ulama khususnya ketika mereka menafsirkan QS. Al-Nisa (4): 59, di antaranya telah penulis kutipkan ungkapan Rasyid Ridha dalam pembahasan sebelumnya. Selain itu, Jafar al-Shodiq mengungkapkan, bahwa bermusyawarahlah dengan orang yang memiliki lima hal: akal, lapang dada, pengalaman, perhatian dan takwa. Lihat, M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran. Hlm. 480.
25

7|

Wawasan al-Quran tentang Demokrasi


Apabila kamu telah membulatkan tekad (laksanakanlah!), dan bertawakkallah (berserah diri) kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.28 2. Ranah Musyawarah Sebagaimana telah diungkap di atas, bahwa perkara yang layak untuk dimusyawarahkan itu bukanlah pada hal-hal yang telah tsubut ketetapan hukumnya dalam nash, dan hanya terkait kepada hal-hal duniawi, sosial kemasyarakatan, berdasarkan prinsip dasar yang telah terdapat dalam ajaran Islam. Hal ini ditegaskan juga oleh Allah Swt. Melalui firman-Nya dalam QS. Al-Ahzab (33): 36 Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Kelak inilah yang akan membedakan antara konsep musyawarah dalam Islam dengan demokrasi sekuler secara keumuman. 29 G. Epilog: Demokrasi dalam Timbangan Islam Meskipun aturan mengenai musyawarah yang disampaikan dalam al-Quran ini dapat dikatakan cukup longgar dan leluasa, namun tetap saja hal tersebut masih belum bisa dijadikan alasan bahwa demokrasi itu benar-benar sejalan dengan Islam sebagaimana banyak terjadi dewasa ini.30 Hal ini ditegaskan pula oleh Gus Dur dalam Islam Kosmopolitan-nya, bahwa hubungan antara Islam dan demokrasi itu tidaklah semulus yang dibayangkan oleh kebanyakan orang, masih banyak ranah-ranah yang problematik, apalagi ketika demokrasi itu harus diterapkan dalam satu wajah negara, lengkap dengan sistema hukumnya.31 Adian Husaini menjelaskan, bahwa ada hal yang paradoks mengenai demokrasi yang memang diterapkan secara euphoria belaka ini, terutama ketika demokrasi ini berasas penyama-rataan antara seorang profesor dengan seorang gelandangan, misalnya. Penyair terkenal, Muhammad Iqbal berkata, Walau bagaimana pun kepintaran semutsemut itu tidak mungkin menandingi kepintaran seorang Sulaiman. Hal ini menjadi benar-benar tidak tepat, karena bahkan Islam sendiri telah menetapkan kriteria khusus siapa yang layak menjadi peserta musyawarah.32 Namun, jika dilihat kembali, dalam masyarakat kita hari ini, sistem atau cara penetapan keputusan hanya terikat kepada tiga saja, pertama, ditetapkan langsung oleh penguasa. Kedua, ditetapkan oleh pandangan minorotas. Dan ketiga, ditetapkan oleh pandangan mayoritas, dan ini biasanya menjadi ciri umum demokrasi. Metode pertama dan kedua, jelas melukai makna syura itu sendiri. Untuk menunjukkan lemahnya metode yang pertama penulis akan kutipkan ungkapan Imam al-Maraghi yang menjelaskan dalam Tafsir-nya, bahwa memang menyerahkan keputusan kepada kebanyakan orang atau dalam bahasa beliau jamaah itu lebih selamat dari kemungkinan salah dibandingkan dengan menyerahkannya kepada perseorangan. Bahaya yang ditimbulkannya pun,

M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran. Hlm. 473-475. Hal ini banyak dijelaskan oleh para pemikir Islam, yang notabene sebagai para pendukung konsep demokrasi Indonesia, seperti A. Hassan. Lihat, Risalah Politik A. Hassan. Hlm. 158. Lihat juga, M. Quraish Shihab, Wawasan alQuran. Hlm. 476, 478 dan 484. 30 Adian Husaini dalam Menimbang Kembali Konsep Demokrasi. 31 Abdurrahman Wahid dalam Agama dan Demokrasi. 32 Adian Husaini dalam Menimbang Kembali Konsep Demokrasi.
29

28

8|

Wawasan al-Quran tentang Demokrasi

jauh lebih besar ketika kita menyerahkan keputusan kepada perseorangan, bagaimana pun kebenaran pendapat tersebut dibandingkan dengan menyerahkannya kepada pendapat umum. 33 Ada pula sebagian pemikir kontemporer yang membenarkan metode kedua dan membantah metode ketiga- dengan melandaskannya pada firman Allah taala, Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu... (QS. Al-Maidah [5]: 100). Dan firman Allah taala, Sesungguhnya Kami benar-benar telah membawa kebenaran kepada kamu tetapi kebanyakan di antara kamu benci pada kebenaran itu. (QS. Al-Zukhruf [43]: 78). Tetapi pandangan tersebut sulit diterima, karena ayat-ayat tersebut bukan berbicara dalam konteks musyawarah melainkan dalam konteks petunjuk Ilahi yang disampaikan oleh para Nabi dan Rasul kemudian petunjuk itu ditolak oleh sebagian besar masyarakatnya ketika itu. Selain juga bahwa memang Rasulullah Saw. sendiri pernah mempraktekkan hal tersebut.34 Namun meskipun Islam membenarkan keputusan yang sesuai dengan pandangan mayoritas, tetapi menurut sebagaian pakar tidaklah mutlak bisa diterima. Demikian ungkap Dr. Ahmad Kamal Abu al-Majad, seorang pemikir muslim kontemporer asal Mesir, dalam bukunya Hiwar la Muwajahah (Dialog Bukanlah Konfrontasi). Paparnya, bahwa keputusan janganlah langsung diambil berdasarkan pandangan mayoritas setelah melakukan sekali atau dua kali musyawarah saja, akan tetapi baiknya musyawarah tersebut dilakukan secara berulang-ulang sehingga dicapai kata mufakat (madu-nya musyawarah). Hal ini memungkinkan terjadi karena memang syura tersebut dilaksanakan oleh orang-orang yang memang tidak memiliki kepentingan pribadi maupun golongan, jadi ketika ada pihak yang tidak setuju dengan pandangan umum itu menunjukkan masih ada hal yang kurang berkenan di hati, sehingga dapat dipuaskan melalui pertukaran pikiran yang panjang. Inilah poin pertama yang menjadi pembeda antara demokrasi dan syura dalam Islam. Poin kedua, jika dalam Islam keputusan yang diambil itu adalah keputusan yang paling sedikit madaharat-nya dan paling banyak manfaatnya, maka dalam demokrasi hanya terpaku kepada suara mayoritas an sich, dengan jargon mereka vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan). Dari segi implikasi pengangkatan pimpinan, terdapat juga perbedaan. Walaupun keduanya menetapkan bahwa pimpinan itu diangkat melalui kontrak sosial, namun syura dalam Islam mengaitkannya dengan Perjanjian Ilahi. Hal inilah yang diisyaratkan oleh al-Quran dalam firmanNya (QS. Al-Baqarah [2]: 124) ketika mengangkat nabi Ibrahim alaihi salam sebagai imam, Allah berfirman, Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi manusia. Ibrahim berkata, Saya mohon agar pengangkatan ini dianugrahkan juga kepada sebagain keturunanku. Allah berfirman, Perjanjian-Ku tidak menyentuh orang-orang yang zalim. Dari sini lahir perbedaan ketiga, yaitu bahwa dalam demokrasi sekuler, persoalan apapun dapat dibahas dan diputuskan, tetapi dalam syura yang diajarkan oleh Islam, tidak dibenarkan memusyawarahkan sesuatu yang telah ada ketetapannya secara tegas dan tetap dalam nash, tidak pula dibenarkan menetapkan hal yang bertentangan dengan prinsip dasar Islam. 35

33 34

Ahmad bin Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi. Vol. 4. Hlm. 113. Keterangan mengenai hal ini telah penulis jelaskan sebelumnya, silahkan kembali ke halaman 6-7. 35 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran. Hlm. 483-484.

9|

Wawasan al-Quran tentang Demokrasi

DAFTAR PUSTAKA Buku & Kitab Al-Hajjaj, Muslim Ibn. t.t. Sahih Muslim. Tahqiq: Muhammad Fuad Abdul Baqi. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi. Al-Khatib, Abdulkarim Yunus. t.t. al-Tafsir al-Quraniy li al-Quran. Kairo: Dar al-Fikr al-Araby. Al-Maraghi, Ahmad bin Mustafa. 1946. Tafsir al-Maraghi. Mesir: Syirkah Maktabah wal Matbuah Mustafa al-Bab al-Halabi wa auladihi. Al-Sulami, Iyadh bin Naami. 2005. Ushul al-Fiqh alladzi La Yasa al-Faqih Jahalahu. Riyadh: Dar al-Tadmiriyyah. Bachtiar, Tiar Anwar. (editor). 2013. Risalah Politik A. Hassan. Jakarta: Pembela Islam Media. Departemen Pendidikan Nasional. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum. Hafidz, Endang Sirodjudin, dkk. 2005. Pergulatan Pemikiran Kaum Muda Persis. PW. Pemuda Persatuan Islam Jawa Barat & Penerbit Granada. Ibn Katsir, Ismail bin Umar. 1999. Tafsir al-Quran al-Adzim. Tahqiq: Sami` bin Muhammad Salamah. Dar al-Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzi`. Qardhawi, Yusuf. 2000. Fiqih Daulah dalam Perspektif al-Quran dan Sunnah. Terj. Kathur Suhardi. Jakarta: Pustaka al-Kautsar. Ridha, Muhammad Rasyid. 1990. Tafsir al-Quran al-Hakim (Tafsir al-Manar). Mesir: Maktabah al-Hai-ah al-Misriyyah al-Ammah lil Kitab. Shihab, M. Quraish. 2005. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran. Jakarta: Lentera Hati. _________________. 2007. Wawasan al-Quran. Bandung: Mizan. Wahid, Abdurrahman. 2007. Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan. Jakarta: The Wahid Institute. Zuhaili, Wahbah. 1418 H. Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj. Damaskus: Dar al-Fikr al-Muashir.

Makalah & Jurnal Menimbang Kembali Konsep Demokrasi karya Adian Husaini dalam Jurnal ISLAMIA edisi Menggali Identitas Politik Islam, vol. V no. 2.

10 |

Wawasan al-Quran tentang Demokrasi

You might also like