You are on page 1of 13

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sudah menjadi kodrat dari Tuhan bahwa manusia hidup dimuka bumi membawa sifat kebaikan dan hawa nafsu yang cenderung berdampak atau membawa sifat kejahatan. Dari pernyataan tersebut seakan dapatlah dinyatakan dengan bahasa lain bahwa kebaikan dan kejahatan akan senantiasa berjalan siring dengan keberadaan umat manusia di muka bumi. Oleh sebab itu hampir dalam setiap komunitas baik yang bersifat religi maupun non religi baik yang berskala kecil maupun yang berskala besar atau yang bersifat formal maupun non formal memiliki aturan yang memberikan batasan baik buruk terhadap anggota komunitas dan berupaya untuk mencegah atau menanggulangi sifat jahat yang timbul dari individu dalam suatu komunitas tersebut dengan memberikan sanksi. Demikian pula dalam sebuah negara Indonesia sebagai suatu komunitas, juga memiliki suatu sistem yang bertujuan untuk mencegah, menanggulangi kejahatan yang timbul dalam negara Indonesia. Pelaksanaan pencegahan dan

penanggulangan tersebut dilakukan dalam sebuah sistem yang integral yang secara umum biasa disebut sebagai sistem peradilan pidana.

Merupakan proses integral oleh karena berjalannya sistem peradilan pidana yang bermula dari masyarakat sampai kembali ke masyarakat terdiri dari sub-sub sitem yang bekerja dalam sebuah siklus tahapan proses yang saling mempengaruhi outputnya. Adapun sub sistem tersebut setidaknya antara lain masyarakat, Polisi, Jaksa, Advokat, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. masing-masing sub sistem tersebut bekerja sesuai peran (tugas pokok dan fungsinya), namun dalam hal ini masing-masing pekerjaan yang dihasilkan oleh masing-masing sub sistem tersebut akan mempengaruhi sub sistem lainnya dan bermuara pada tercapai atau tidaknya suatu pencegahan dan penanggulanan kejahatan. Sebagai instrumen untuk mengatur dan mengendalikan seluruh proses dalam sisitem tersebut adalah hukum pidana (baik formil maupun materil). Apabila ditilik dari sebuah proses, maka dapatlah digambarkan bahwa pada saat timbul suatu perbuatan yang meresahkan atau melanggar hak orang lain maka dilakukan proses oleh Penyidik Polri dalam sebuah rangkaian kegiatan penyelidikan dan penyidikan, sehingga banyak pendapat

menganggap bahwa mengagsebagai garda depan / ujung tombak dari sistem peradilan pidana adalah Polri. Salah satu hal yang mempengaruhi cepat atau lambatnya suatu proses peradilan pidana diantaranya adalah proses penerimaan berkas perkara oleh JPU dari penyidik.
2

Instrumen KUHAP telah mengatur masing-masing tugas, fungsi dan peran dari proses penyidikan dan penuntutan termasuk hubungan dari lembaga lembaga tersebut atas proses

pelaksanaan tugas, fungsi dan perannya, namun tidak disangkali bahwa dalam prakteknya pelaksanaan tersebut menimbulkan berbagai masalah yang berakibat pada berlarut larutnya

penyelesaian perkara dalam suatu proses peradilan pidana. Permasalahan yang timbul tersebut antara lain berkaitan dengan seolah olah bahwa antara penyidik dan JPU

berkedudukan tidak sejajar atau dalam hal ini secara konkret bahwa penyidik berada dibawah JPU dan wajib mengikuti apa yang diperintahkan oleh JPU agar proses peradilan pidana dapat berjalan.

B. Batasan Penulisan Untuk mengarahkan pembahasan dalam makalah ini akan dibatasi dalam sub sistem Kepolisian dan kejaksaan dalam hal ini lebih khusus akan dibatasi kepada masalah peran dan fungsi serta hubungan antara penyidik Polri dan Jaksa Penuntut umum berkaitan dengan pelimpahan berkas perkara sebelum masuk pada tahap pengadilan / persidangan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana, yang menjadi aturan dasar seluruh proses peradilan pidana di Indonesia.

C. Pokok permasalahan Sebagaimana diuraikan dalam latar belakang, bahwa kendati masing-masing tugas, fungsi dan peran antara penyidik dan JPU telah diatur dalam KUHAP, namun tetap menimbulkan permasalahan berkaitan dengan pelaksanaan tugas, fungsi dan peran kedua lembaga tersebut. Adapun secara khusus, dalam penulisan makalah ini akan mebahas satu masalah yang timbul yaitu apakah hubungan antra penyidik dan JPU dalam proses peradilan pidana murni sebagai hubungan adminsitratif.

BAB II PEMBAHASAN

A.

Tugas, Fungsi dan Peran Polri dan Jaksa Penuntut umum Tugas Polri secara umum dalam kedudukannya sebagai lembaga negara adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan

pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat1. Apabila tugas tersebut dikaitkan dalam sistem peradilan pidana yang mana bertujuan untuk mencegah dan menganggulangi kejahatan, secara umum meliputi kegiatan pre-emptif, preventif dan represif yang dilakukan penyidikan. Dalam suatu proses telah terjadi tindak pidana, maka tugas Polri yang menonjol adalah sebagai penyidik yang melakukan tindakan penyidikan yaitu sebagaimana pasal 1 angka 2, pasal 106 sampai dengan pasal 136 UU No 8 tahun 1981 tentang KUHAP. Tugas Jaksa dalam kedudukannya sebagai lembaga negara secara umum meliputi bidang pidana, bidang perdata, bidang keamanan dan ketertiban umum2. Apabila dikaitkan dalam tugas fungsi peran dalam proses peradilan pidana, maka dapat berperan sebagai penuntut, pelaksana penetapan hakim, pengawasan dalam bentuk pola kegiatan penyelidikan dan

1 2

Pasal 13 UU No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 30 UU No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

penyelidikan tindak pidana tertentu, melengkapi berkas perkara dengan penyidikan tambahan. Berkaitan dengan tugas fungsi dan peran sebagai penunutut umum dalam proses peradilan pidana diatur dalam Pasal 1 angka 7, Pasal 137 sampai dengan pasal 144 UU No 8 tahun 1981 tentang KUHAP. Menilik dari tugas dan fungsi masing-masing sub sistem sebagaiman atercantum dalam instrumen KUHAP tersebut dapat dilihat bahwa sejak dimulainya tugas penyidikan yang dilakukan polri, maka secara otomatis pihak JPU dilibatkan dalam suatu proses peradilan pidana yaitu dengan ditandai penyampaian pemberitahuan oleh penyidik kepada JPU bahwa dilakukan proses penyidikan sebagai awal dari sebuah proses peradilan pidana, yang selanjutnya hubungan tersebut akan dilakukan pembahasan khusus dalam pembahasan berikutnya. Dari uraian tersebut diatas bahwa tugas penyidik adalah membuka jalan atau memulai atau mengumpulkan seluruh kelengkapan formil maupun materil di lapangan guna mendukung penetapan seseorang sebagai tersangka yang selanjutnya menjadi tugas JPU adalah mengantar orang dan alat bukti yang telah dikumpulkan oleh penyidik dengan menambahkan tuntutan

pemberian sanksi atas perbuatan yang telah dilakukan, kepada hakim guna diberikan penilaian apa dan bagaimanan tingkat

kesalahan orang yang telah dilakukan upaya penyidikan penuntutan tersebut. Nampaklah bahwa proses penyidikan penting

dan

untuk

menentukan keberhasilan penuntutan dalam proses penyelesaian perkara pidana, atau dengan kata lain kegagalan penyidikan dapat mengakibatkan kegagalan penuntutan, sehingga KUHAP telah merumuskan mengenai hubungan koordinasi dan hubungan

fungsional antar lembaga yang bertanggung jawab dalam proses sistem peradilan pidana3. Hal inilah yang menjadi salah satu parameter yang membedakan antara sistem peradilan pidana sebelum berlakunya KUHAP yaitu pada saat berlakunya HIR dan setelah berlakunya KUHAP. HIR dapat diartikan secara harfiah yaitu Het inlands Reglements atau biasa disebut reglemen t bumi putra (RgB)4 B. Hubungan antara Penyidik dan JPU Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa sejak dimulai penyidikan oleh Polri, maka JPU telah dilibatkan dalam bentuk diberitahu atai penyampaian oleh penyidik kepada JPU tentang kegiatan penydikan yang dilakukan dalam bentuk pengiriman SPDP. Semenjak inilah proses koordinasi antara dua sub sitem ini berjalan sesuai tugas, fungsi, dan peran masing-masing.

3 4

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi, Sinar Grafika : 2004, hal 48 H.Haris, Pembaharuan Hukum Acara Pidana Yang Terdapat dalam HIR, Badan Pembinaan Hukum Nasional : 1978, hal :1

KUHAP

menganut

asa

differensiasi

fungsional

yaitu

penegasan tugas dan wewenang masing-masing instansi, yang terlihat dari pengaturan tiap tiap institusi tersebut dengan tetap terbina korelasi dan koordinasi dalam proses penegakan hukum. Penjernihan differensiasi fungsi dan wewenang lebih ditekankan pada fungsi kepolisian dan kejaksaan5. Pengiriman SPDP merupakan salah satu bentuk korelasi adminsitratif yaitu penyampaian oleh penyidik tentang kegiatan yang dilakukan sehingga diharapkan Kejaksaan dapat

mempersiapkan segala bentuk administrasi untuk mendukung kegiatan penyidikan yang dilakukan Polri dan nantinya akan dilakukan penuntutan. Tahapan selanjutnya setelah dilakukan penyidikan oleh Polri adalah pengiriman berkas perkara kepada JPU untuk diteliti sebagaimana diamanatkan dalam KUHAP bahwa setelah menerima hasil penyidikan, dari penyidiksegera mempelajari dan

menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum6. Selanjutnya diatur pula bahwa dalam hal hasil peneliian ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilengkapi
5 6

dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika : 2005, hal 47. Pasal 138 ayat (1) UU No 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas itu kepada penuntut umum7. Dari dua klausul pasal tersebut tersirat bahwa terdapat hubungan antara penyidik dengan JPU dalam hal penentuan

apakah berkas tersebut lengkap atau tidak untuk diajukan dalam proses berikutnya. Hal ini menjadi subjektif tatkala tiada parameter atau tatkala klausul tersebut ditafsirkan oleh berbagai pihak, sehingga hubungan yang pada awalnya bersifat

administratif menjadi koordinatif dalam hal penyamaan persepsi terhadap lengkap atau tidaknya suatu berkas perkara. Selanjutnya apabila tataran koordinatif tersebut tidak membuahkan hasil maka hubungan yang timbul adalah hubungan yang bersifat perintah struktural karena sesuai klausul tersebut adalah kewajiban penyidik untuk melengkapi berkas sesuai dengan petunjuk JPU. Dalam hal ini tidak ada klausul aturan yang menyatakan bahwa penyidik dapat ingkar atau tidak memeunhi petunjuk JPU dengan syarat syarat yang ditetapkan, sehingga tidak ada jalan lain kecuali harus dilakukan perintah atau petunjuk JPU tersebut terlepas dari objektif atau subjektifitasnya, sehingga proses peradilan pidana dapat berjalan. Tahapan hubungan antara penyidik dan JPU selanjutnya adalah berkaitan dengan apabila berkas perkara telah dinyatakan

Pasal 138 ayat (2) UU No 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

lengkap, maka kewajiban penyidik untuk menyerahkan tersangka dan barang bukti kepada JPU. Dalam pelaksanaan hubungan ini cenderung bersifat administratif dan koordinatif. Administratif dalam hal pelimpahannya sedangkan untuk koordinatif dalam hal pelaksanaannya, sehingga tidak timbul masalah yang berarti dalam proses pelaksanaannya.

10

BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Dari uraian diatas, dapat diambil suatu kesimpulan dan jawaban atas permasalahan yang dikemukakan yakni : 1. Bahwa penyidik dan JPU masing-masing adalah sub sistem yang semestinya berkedudukan sama dalam sebuah proses sehingga sistem peradilan pidana dapat berjalan dengan baik untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan. 2. Hubungan antara penyidik dan JPU telah dimulai sejak proses penyidikan tindak pidan adimulai sehingga dapat dikatakan bahwa benar kedua sub sistem tersebut memiliki hubungan adminsitratif, namun dalam proses penelitian berkas hingga dianggap sebagai berkas yang lengkap, maka terdapat kondisi hubungan yang tidak hanya bersifat administratif, koordinatif melainkan bersifat struktural yang bersifat khusus dalam hal penyidik seolah olah wajib mengikuti perintah JPU.

B. PENUTUP Dengan pembahasan dan kesimpulan diatas, maka terakhir dari makalah ini, bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan selanjutnya dapat dipergunakan sebagai referensi untuk memperoleh kesempurnaan dan perbaikan serta semoga membawa manfaat bagi orang lain.

11

DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah. 2004. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi. Jakarta. Sinar Grafika. Haris. 1978. Pembaharuan Hukum Acara Pidana Yang Terdapat dalam HIR. Jakarta. Badan Pembinaan Hukum Nasional. Yahya Harahap. 2005. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta. Sinar Grafika.

Internet
LP3M Adil Indonesia, 2011, Mekanisme koordinasi antara penyidik dan penuntut umum dalam proses penanganan perkara pidana,

(http://lp3madilindonesia.blogspot.com/2011/01/antara-pentidik-danpenuntut-umum.html, diakses tanggal 7 Juni 2013)


Septiani, 2008, Hubungan Fungsional Antara lembaga Penyidikan dan Lembaga Penuntutan Dalam Peradilan Pidana Terpadu, (http://eprints.undip.ac.id/8273/, diakses tanggal 7 Juni 2013) Supriyanta, 2010, KUHAP dan Sistem Peradilan Pidana Terpadu, (http://priyant-

supriyanta.blogspot.com/2010/02/makalah-kuhap-dan-sistemperadilan.html, diakses tanggal 7 Juni 2013)


Undang- undang

Republik Indonesia. 1981. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Lembaran Negara RI Tahun 1982, No. 76. Sekretariat Negara. Jakarta Republik Indonesia. 2002. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Lembaran Negara RI Tahun 2002, No. 2. Sekretariat Negara. Jakarta Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang No. 16 Tahun 2002 tentang Kejaksaan Negara Republik Indonesia. Lembaran Negara RI Tahun 2004, No. 67. Sekretariat Negara. Jakarta

12

Tugas Makalah Mata Kulian Sistem Peradilan Pidana

HUBUNGAN ADMINISTRATIF KOORDINATIF ANTARA PENYIDIK DAN JPU DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

Diajukan oleh :

SUHARNO Nomor Stb : 0001.02.35.2012

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA 2013


13

MAGISTER HUKUM PROGRAM PASCA SARJANA

You might also like