You are on page 1of 26

MECHANICAL ASPHYXIA HANGING

I. Anatomi Sistem Pernapasan Pernapasan (respirasi) adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung O2 (oksigen) ke dalam tubuh serta menghembuskan udara yang mengandung CO 2 (karbondioksida) sebagai sisa dari oksidasi. Sistem pernapasan atau sistem respirasi adalah sistem organ yang digunakan untuk pertukaran gas. Anatomi sistem pernapasan terdiri atas saluran napas atas dan saluran napas bawah.1,2

Gambar 1: Anatomi Saluran Napas Atas dan Bawah DIkutip dari kepustakaan nomor 1 A. Saluran Napas Atas a. Hidung Terdiri atas bagian eksternal dan internal. Bagian eksternal menonjol dari wajah dan disangga oleh tulang hidung dan kartilago. Bagian internal hidung adalah rongga berlorong yang dipisahkan menjadi rongga hidung kanan dan kiri oleh pembagi vertikal yang sempit, yang disebut septum. Rongga hidung dilapisi dengan membran mukosa yang sangat banyak mengandung vaskular yang disebut mukosa hidung. Permukaan mukosa hidung dilapisi oleh sel-

sel goblet yang mensekresi lendir secara terus menerus dan bergerak ke belakang ke nasofaring oleh gerakan silia. Hidung berfungsi sebagai saluran untuk udara mengalir ke dan dari paru-paru. Hidung juga berfungsi sebagai penyaring kotoran dan melembabkan serta menghangatkan udara yang dihirup ke dalam paru-paru. Hidung juga bertanggung jawab terhadap olfaktori (penghidu) karena reseptor olfaktori terletak dalam mukosa hidung, dan fungsi ini berkurang sejalan dengan pertambahan usia.1,2 b. Faring Faring atau tenggorok merupakan struktur seperti tuba yang menghubungkan hidung dan rongga mulut ke laring. Faring dibagi menjadi tiga region: nasal (nasofaring), oral (orofaring), dan laring (laringofaring). Fungsi faring adalah untuk menyediakan saluran pada traktus respiratorius dan digestif.1,2 c. Laring Laring atau organ suara merupakan struktur epitel kartilago yang menghubungkan faring dan trakea. Laring sering disebut sebagai kotak suara dan terdiri atas epiglotis, glotis, kartilago tiroid, kartilago krikoid, kartilago aritenoid dan pita suara. Epiglotis merupakan daun katup kartilago yang menutupi ostium ke arah laring selama menelan. Glotis adalah ostium antara pita suara dalam laring. Kartilago tiroid merupakan kartilago terbesar pada trakea, sebagian dari kartilago ini membentuk jakun (Adams apple). Kartilago krikoid merupakan satu-satunya cincin kartilago yang komplit dalam laring (terletak di bawah kartilago tiroid). Kartilago aritenoid digunakan dalam gerakan pita suara dengan kartilago tiroid. Pita suara merupakan ligamen yang dikontrol oleh gerakan otot yang menghasilkan bunyi suara (pita suara melekat pada lumen laring). Fungsi utama laring adalah untuk memungkinkan terjadinya vokalisasi, melindungi jalan nafas bawah dari obstruksi benda asing dan memudahkan batuk.1,2 d. Trakea Tenggorokan berupa pipa yang panjangnya 10 cm, terletak sebagian di leher dan sebagian di rongga dada (torak). Dinding tenggorokan tipis dan kaku, dikelilingi oleh cincin tulang rawan, dan pada bagian dalam rongga bersilia. Silia-silia ini berfungsi menyaring bendabenda asing yang masuk ke saluran pernapasan.1,2

Gambar 2: Saluran Napas Atas dari Hidung ke Trakea Dikutip dari kepustakaan nomor 2 B. Saluran Napas Bawah a. Bronkus Terbagi menjadi bronkus kanan dan kiri. Disebut bronkus lobaris kanan (3 lobus) dan bronkus lobaris kiri (2 bronkus). Bronkus lobaris kanan terbagi menjadi 10 bronkus segmental dan bronkus lobaris kiri terbagi menjadi 9 bronkus segmental. Bronkus segmentalis ini kemudian terbagi lagi menjadi bronkus subsegmental yang dikelilingi oleh jaringan ikat yang memiliki arteri, limfatik dan saraf.1, b. Bronkiolus Bronkus segmental bercabang-cabang menjadi bronkiolus. Bronkiolus mengandung kelenjar submukosa yang memproduksi lendir yang membentuk selimut tidak terputus untuk melapisi bagian dalam jalan napas.1,2 c. Bronkiolus Terminalis Bronkiolus membentuk percabangan menjadi bronkiolus terminalis (yang tidak mempunyai kelenjar lendir dan silia).1,2

Gambar 3: Anatomi Saluran Napas Atas dari Bronkus ke Bronkiolus Terminalis Dikutip dari kepustakaan nomor 1 d. Bronkiolus respiratori Bronkiolus terminalis kemudian menjadi bronkiolus respiratori. Bronkiolus respiratori dianggap sebagai saluran transisional antara jalan napas konduksi dan jalan udara pertukaran gas.1,2 e. Duktus alveolar dan sakus alveolar Bronkiolus respiratori kemudian mengarah ke dalam duktus alveolar dan sakus alveolar, dan kemudian menjadi alveoli.1,2 f. Alveoli Merupakan tempat pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Terdapat sekitar 300 juta yang jika bersatu membentuk satu lembar akan seluas 70 m2. Terdiri atas 3 tipe. Sel-sel alveolar tipe I adalah sel epitel yang membentuk dinding alveoli. Sel-sel alveolar tipe II adalah sel yang aktif secara metabolik dan mensekresi surfaktan (suatu fosfolipid yang melapisi permukaan dalam dan mencegah alveolar agar tidak kolaps). Sel-sel alveolar tipe III adalah makrofag yang merupakan sel-sel fagotosis dan bekerja sebagai mekanisme pertahanan.1,2

Gambar 4: Anatomi Saluran Napas Atas dari Bronkiolus ke Alveoli Dikutip dari kepustakaan nomor 1 g. Paru-paru Merupakan organ yang elastis berbentuk kerucut. Terletak dalam rongga dada atau toraks. Kedua paru dipisahkan oleh mediastinum sentral yang berisi jantung dan beberapa pembuluh darah besar. Setiap paru mempunyai apeks dan basis. Paru kanan lebih besar dan terbagi menjadi tiga lobus oleh fisura interlobaris. Paru kiri lebih kecil dan terbagi menjadi dua lobus. Lobos-lobus tersebut terbagi lagi menjadi beberapa segmen sesuai dengan segmen bronkusnya.1,2 Udara yang keluar masuk paru-paru pada waktu melakukan pernapasan biasa disebut udara pernapasan (udara tidal). Volume udara pernapasan pada orang dewasa lebih kurang 500 ml. Volume udara tidal orang dewasa pada pernapasan biasa kira-kira 500 ml. Ketika menarik napas dalam-dalam maka volume udara yang dapat kita tarik mencapai 1500 ml. Udara ini dinamakan udara komplementer. Ketika kita menarik napas sekuat-kuatnya, volume udara yang dapat diembuskan juga sekitar 1500 ml. Udara ini dinamakan udara suplementer. Meskipun telah mengeluarkan napas sekuat-kuatnya, tetapi masih ada sisa udara dalam paru-paru yang volumenya kira-kira 1500 mL. Udara sisa ini dinamakan udara residu. Jadi, kapasitas paru-paru total adalah kapasitas vital ditambah volume residu yaitu sekita 4500 mililiter pada wanita dan 5500 mililiter pada pria.1,2

h. Pleura Merupakan lapisan tipis yang mengandung kolagen dan jaringan elastik. Pleura terbagi mejadi dua yaitu pleura parietalis dan pleura viseralis. Pleura parietalis melapisi rongga dada sedangkan pleura viseralis menyelubungi setiap paru-paru. Diantara pleura terdapat rongga pleura yang berisi cairan tipis pleura yang berfungsi untuk memudahkan kedua permukaan itu bergerak selama pernapasan, juga untuk mencegah pemisahan toraks dengan paru-paru. Tekanan dalam rongga pleura lebih rendah dari tekanan atmosfir, hal ini untuk mencegah kolap paruparu.1,2 II. Mekanisme Sistem Pernafasan Pernapasan adalah suatu proses yang terjadi secara otomatis walau dalam keadaan tertidur sekalipun, karena sistem pernapasan dipengaruhi oleh susunan saraf otonom. Masuk keluarnya udara dalam paru-paru dipengaruhi oleh perbedaan tekanan udara dalam rongga dada dengan tekanan udara di luar tubuh. Jika tekanan di luar rongga dada lebih besar, maka udara akan masuk. Sebaliknya, apabila tekanan dalam rongga dada lebih besar maka udara akan keluar. Sehubungan dengan organ yang terlibat dalam pemasukkan udara (inspirasi) dan pengeluaran udara (ekspirasi) maka mekanisme pernapasan dibedakan atas dua macam, yaitu pernapasan dada dan pernapasan perut. Pernapasan dada dan perut terjadi secara bersamaan.2,3 a. Pernapasan dada Apabila kita menghirup dan menghempaskan udara menggunakan pernapasan dada, otot yang digunakan yaitu otot antartulang rusuk. Otot ini terbagi dalam dua bentuk, yakni otot antartulang rusuk luar dan otot antartulang rusuk dalam. Saat terjadi inspirasi, otot antartulang rusuk luar berkontraksi, sehingga tulang rusuk menjadi terangkat. Akibatnya, volume rongga dada membesar. Membesarnya volume rongga dada menjadikan tekanan udara dalam rongga dada menjadi kecil/berkurang, padahal tekanan udara bebas tetap. Dengan demikian, udara bebas akan mengalir menuju paru-paru melewati saluran pernapasan. Sementara saat terjadi ekspirasi, otot antartulang rusuk dalam berkontraksi (mengkerut/mengendur), sehingga tulang rusuk dan tulang dada ke posisi semula. Akibatnya, rongga dada mengecil. Oleh karena rongga dada mengecil, tekanan dalam rongga dada menjadi meningkat, sedangkan tekanan udara di luar tetap. Dengan demikian, udara yang berada dalam rongga paru-paru menjadi terdorong keluar.2,3

b. Pernapasan perut Pada proses pernapasan ini, fase inspirasi terjadi apabila otot diafragma (sekat rongga dada) mendatar dan volume rongga dada membesar, sehingga tekanan udara di dalam rongga dada lebih kecil daripada udara di luar, akibatnya udara masuk. Adapun fase ekspirasi terjadi apabila otot-otot diafragma mengkerut (berkontraksi) dan volume rongga dada mengecil, sehingga tekanan udara di dalam rongga dada lebih besar daripada udara di luar. Akibatnya udara dari dalam terdorong ke luar.2,3 II.a. Mekanisme Pertukaran Gas Oksigen (O2) dan Karbondioksida (CO2) Udara lingkungan dapat dihirup masuk ke dalam tubuh makhluk hidup melalui dua cara, yakni pernapasan secara langsung dan pernapasan tak langsung. Pengambilan udara secara langsung dapat dilakukan oleh permukaan tubuh lewat proses difusi. Sementara udara yang dimasukan ke dalam tubuh melalui saluran pernapasan dinamakan pernapasan tidak langsung. Saat kita bernapas, udara diambil dan dikeluarkan melalui paru-paru. Dengan lain kata, kita melakukan pernapasan secara tidak langsung lewat paru-paru. Walaupun begitu, proses difusi pada pernapasan langsung tetap terjadi pada paru-paru. Bagian paru-paru yang mengalami proses difusi dengan udara yaitu gelembung halus kecil atau alveolus.2,3 Oleh karena itu, berdasarkan proses terjadinya pernapasan, manusia mempunyai dua tahap mekanisme pertukaran gas. Pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida yang dimaksud yakni mekanisme pernapasan eksternal dan internal.2,3 a. Pernafasan Eksternal Ketika kita menghirup udara dari lingkungan luar, udara tersebut akan masuk ke dalam paru-paru. Udara masuk yang mengandung oksigen tersebut akan diikat darah lewat difusi. Pada saat yang sama, darah yang mengandung karbondioksida akan dilepaskan. Proses pertukaran oksigen (O2) dan karbondioksida (CO2) antara udara dan darah dalam paru-paru dinamakan pernapasan eksternal. Saat sel darah merah (eritrosit) masuk ke dalam kapiler paru-paru, sebagian besar CO2 yang diangkut berbentuk ion bikarbonat (HCO 3-) . Dengan bantuan enzim karbonat anhidrase, karbondioksida (CO2) air (H2O) yang tinggal sedikit dalam darah akan segera berdifusi keluar. Seketika itu juga, hemoglobin tereduksi (yang disimbolkan HHb)

melepaskan ion-ion hidrogen (H+) sehingga hemoglobin (Hb)-nya juga ikut terlepas. Kemudian, hemoglobin akan berikatan dengan oksigen (O2) menjadi oksihemoglobin (disingkat HbO2). Proses difusi dapat terjadi pada paru-paru (alveolus), karena ada perbedaan tekanan parsial antara udara dan darah dalam alveolus. Tekanan parsial membuat konsentrasi oksigen dan karbondioksida pada darah dan udara berbeda. Tekanan parsial oksigen yang kita hirup akan lebih besar dibandingkan tekanan parsial oksigen pada alveolus paru-paru. Dengan kata lain, konsentrasi oksigen pada udara lebih tinggi daripada konsentrasi oksigen pada darah. Oleh karena itu, oksigen dari udara akan berdifusi menuju darah pada alveolus paru-paru. Sementara itu, tekanan parsial karbondioksida dalam darah lebih besar dibandingkan tekanan parsial karbondioksida pada udara. Sehingga, konsentrasi karbondioksida pada darah akan lebih kecil di bandingkan konsentrasi karbondioksida pada udara. Akibatnya, karbondioksida pada darah berdifusi menuju udara dan akan dibawa keluar tubuh lewat hidung.2,3 b. Pernafasan Internal Berbeda dengan pernapasan eksternal, proses terjadinya pertukaran gas pada pernapasan internal berlangsung di dalam jaringan tubuh. Proses pertukaran oksigen dalam darah dan karbondioksida tersebut berlangsung dalam respirasi seluler. Setelah oksihemoglobin (HbO 2) dalam paru-paru terbentuk, oksigen akan lepas, dan selanjutnya menuju cairan jaringan tubuh. Oksigen tersebut akan digunakan dalam proses metabolisme sel.2,3 Proses masuknya oksigen ke dalam cairan jaringan tubuh juga melalui proses difusi. Proses difusi ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan parsial oksigen dan karbondioksida antara darah dan cairan jaringan. Tekanan parsial oksigen dalam cairan jaringan, lebih rendah dibandingkan oksigen yang berada dalam darah. Artinya konsentrasi oksigen dalam cairan jaringan lebih rendah. Oleh karena itu, oksigen dalam darah mengalir menuju cairan jaringan. Sementara itu, tekanan karbondioksida pada darah lebih rendah daripada cairan jaringan. Akibatnya, karbondioksida yang terkandung dalam sel-sel tubuh berdifusi ke dalam darah. Karbondioksida yang diangkut oleh darah, sebagian kecilnya akan berikatan bersama hemoglobin membentuk karboksi hemoglobin (HbCO2). Namun, sebagian besar karbondioksida tersebut masuk ke dalam plasma darah dan bergabung dengan air menjadi asam karbonat (H2CO3). Oleh enzim anhidrase, asam karbonat akan segera terurai menjadi dua ion, yakni ion hidrogen (H+) dan ion bikarbonat (HCO3-). CO2 yang diangkut darah ini tidak semuanya

dibebaskan ke luar tubuh oleh paru-paru, akan tetapi hanya 10%-nya saja. Sisanya yang berupa ion-ion bikarbonat yang tetap berada dalam darah. Ion-ion bikarbonat di dalam darah berfungsi sebagai buffer atau larutan penyangga. Lebih tepatnya, ion tersebut berperan penting dalam menjaga stabilitas pH (derajat keasaman) darah.2,3 II. Asfiksia II.1. Terminologi Asfiksia berasal dari bahasaYunani, yaitu terdiri dari a yang berarti tidak, dan sphinx yang artinya nadi. Jadi secara harfiah, asfiksia diartikan sebagai tidak ada nadi atau tidak berdenyut. Pengertian ini sering salah dalam penggunaannya. Akibatnya sering menimbulkan kebingungan untuk membedakan dengan status anoksia lainnya4. II.2 Definisi Asfiksia Asfiksia merupakan istilah yang sering digunakan untuk menyatakan berhentinya respirasi yang efektif (cessation of effective respiration) atau ketiadaan kembang kempis (absence of pulsation). Asfiksia atau mati lemas adalah suatu keadaan berupa berkurangnya kadar oksigen (O2) dan berlebihnya kadar karbon dioksida (CO2) secara bersamaan dalam darah dan jaringan tubuh akibat gangguan pertukaran antara oksigen (udara) dalam alveoli paru-paru dengan karbon dioksida dalam darah kapiler paru-paru. Kekurangan oksigen disebut hipoksia dan kelebihan karbon dioksida disebut hiperkapnia4,5,6,7. Dalam kenyataan sehari-hari, hipoksia ternyata merupakan gabungan dari empat kelompok, dimana masing-masing kelompok tersebut memang mempunyai ciri tersendiri. Walaupun ciri atau mekanisme yang terjadi pada masing-masing kelompok akan menghasilkan akibat yang sama bagi tubuh. Kelompok tersebut adalah5,7: Hipoksik-hipoksia Adalah keadaan hipoksia yang disebabkan karena kurangnya oksigen yang masuk paru-paru sehingga oksigen tidak dapat mencapai darah dan gagal untuk masuk dalam sirkulasi darah. Kegagalan ini bisa disebabkan adanya sumbatan / obstruksi di saluran pernapasan, baik oleh sebab alamiah (misalnya penyakit yang disertai dengan penyumbatan saluran pernafasan seperti laringitis difteri, status asmatikus, karsinoma bronchonenik, dan

sebagainya) atau oleh trauma/kekerasan yang bersifat mekanik, seperti tercekik, penggantungan, tenggelam dan sebagainya. Anemik-hipoksia Adalah keadaan hipoksia yang disebabkan karena darah (hemoglobin) tidak dapat mengikat atau membawa oksigen yang cukup untuk metabolisme seluler, seperti pada keracunan karbon monoksida, karena afinitas CO terhadap hemoglobin jauh lebih tinggi dibandingkan afinitas oksigen dengan hemaoglobin. Stagnan-hipoksia Adalah keadaan hipoksia yang disebabkan karena darah (hemoglobin) tidak mampu membawa oksigen ke jaringan oleh karena kegagalan sirkulasi, seperti pada heart failure atau embolisme, baik emboli udara vena maupun emboli lemak. Histotoksik-hipoksia Keadaan hipoksia yang disebabkan karena jaringan yang tidak mampu menyerap oksigen, salah satu contohnya pada keracunan sianida. Sinida dalam tubuh akan menginaktifkan beberapa enzim oksidatif seluruh jaringan secara radikal, terutama sitokrom oksidase dengan mengikat bagian ferric heme group dari oksigen yang dibawa darah. Dengan demikian, proses oksidasi-reduksi dalam sel tidak dapat berlangsung dan oksihemoglobin tidak dapat berdisosiasi melepaskan oksigen ke sel jaringan sehingga timbul hipoksia jaringan. Hal ini merupakan keadaaan paradoksal, karena korban meninggal keracunan sianida mengalami hipoksia meskipun dalam darahnya kaya akan oksigen. Ketiga jenis hipoksia yang terakhir (yakni hipoksia anemik, stagnan dan histotoksik) disebabkan penyakit atau keracunan, sedangkan hipoksia yang pertama (yakni hipoksia hipoksik) disebabkan kurangnya oksigen atau obstruksi pada jalan nafas baik karena penyakit maupun sebab kekerasan (yang bersifat mekanik). Asfiksia mekanik (mechanical asphixia) adalah jenis yang paling sering dijumpai dalam kasus tindak pidana yang menyangkut nyawa manusia II.3 Etiologi Asfiksia Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut4,7 : Penyebab Alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernafasan seperti laryngitis difteri, tumor laring, asma bronkiale, atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru, pneumonia, COPD.

Trauma mekanik, yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang mengakibatkan emboli, pneumotoraks bilateral, sumbatan atau halangan pada saluran napas dan sebagainya. Emboli terbagi atas 2 macam, yaitu emboli lemak dan emboli udara. Emboli lemak disebabkan oleh fraktur tulang panjang. Emboli udara disebabkan oleh terbukanya vena jugularis akibat luka.

Keracunan bahan yang menimbulkan depresi pusat pernafasan, misalnya barbiturat, narkotika.

II.4 Gejala Asfiksia Ada 4 stadium gejala / tanda dari asfiksia, yaitu4,7,8 : Fase dispneu / sianosis Fase konvulsi Fase apneu Fase akhir / terminal / final

Pada fase dispneu / sianosis asfiksia berlangsung kira-kira 4 menit. Fase ini terjadi akibat rendahnya kadar oksigen dan tingginya kadar karbon dioksida. Tingginya kadar karbon dioksida akan merangsang medulla oblongata sehingga terjadi perubahan pada pernapasan, nadi dan tekanan darah. Pernapasan terlihat cepat, berat, dan sukar. Nadi teraba cepat. Tekanan darah terukur meningkat. Fase konvulsi asfiksia terjadi kira-kira 2 menit. Awalnya berupa kejang klonik lalu kejang tonik kemudian opistotonik. Kesadaran mulai hilang, pupil dilatasi, denyut jantung lambat, dan tekanan darah turun. Fase ini diakibatkan oleh kadar CO 2 yang naik maka akan memberi rangsangan pada susunan saraf pusatsehingga terjadi kejang yang mula-mula bersifat klonik kemudian menjadi tonik dan akhirnya timbul spasme opistotonik. Fase apneu asfiksia berlangsung kira-kira 1 menit. Fase ini dapat kita amati berupa adanya depresi pusat pernapasan (napas lemah), kesadaran menurun sampai hilang dan relaksasi sfingter. Akibat dari relaksasi sfingter dapat terjadi pengeluaran cairan sperma, urin, dan tinja. Fase akhir asfiksia ditandai oleh adanya paralisis pusat pernapasan lengkap. Denyut jantung beberapa saat masih ada lalu napas terhenti kemudian mati.

II.5 Gambaran Postmortem pada Asfiksia Karena asfiksia merupakan mekanisme kematian, maka secara menyeluruh untuk semua kasus akan ditemukan tanda-tanda umum yang hampir sama, yaitu: Pada pemeriksaan luar 4,7,8,9 : Muka dan ujung-ujung ekstremitas sianotik (warna biru keunguan) yang disebabkan tubuh mayat kelebihan HbCO2 daripada HbO2. Tardieus spot pada konjungtiva bulbi dan palpebra. Tardieus spot merupakan bintik-bintik perdarahan (petechie) akibat pelebaran kapiler darah setempat. Ditemukan 2 hingga 4 jam setelah kematian; Sedangkan purpura dan ekimosis ditemukan pada ruptur pembuluh darah besar.

Gambar 5. Tardieus Spot Dikutip dari kepustakaan nomor 9 Lebam mayat cepat timbul, luas, dan lebih gelap karena terhambatnya pembekuan darah dan meningkatnya fragilitas/permeabilitas kapiler. Hal ini akibat meningkatnya kadar CO 2 sehingga darah dalam keadaan lebih cair. Lebam mayat lebih gelap karena meningkatnya kadar HbCO2. Busa halus keluar dari hidung dan mulut. Busa halus ini disebabkan adanya fenomena kocokan pada pernapasan kuat. Pada pemeriksaan dalam4,7,8 : Organ dalam tubuh lebih gelap dan lebih berat; ejakulasi pada mayat laki-laki akibat kongesti / bendungan pada tubuh & sianotik. Darah yang masuk dalam jantung berwarna gelap dan lebih cair. Tardieus spot pada pyelum ginjal, pleura, perikard, galea apponeurotika, laring, kelenjar timus dan kelenjar tiroid. Busa halus di saluran pernapasan.

Edema paru. Kelainan lain yang berhubungan dengan kekerasan seperti fraktur laring, fraktur tulang lidah dan resapan darah pada luka. II.6 Asfiksia Mekanik Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernafasan terhalang memasuki saluran pernafasan oleh berbagai kekerasan (yang bersifat mekanik), misalnya7,8,10,11 : Penutupan lubang saluran pernafasan bagian atas: Pembekapan (smothering)

Gambar 6. Pembekapan. Dikutip dari kepustakaan nomor 9 Penyumbatan (gagging-mouth and nose dan choking-mouth, oropharynx, larynx)

Gambar 7. Gagging Dikutip dari kepustakaan nomor 9

Gambar 8. Choking Dikutip dari kepustakaan nomor 9

Jika saluran nafas terblokir, maka O2 tidak dapat masuk ke dalam paru-paru sehingga mewnyebabkan terjadinya asfiksia. Misalnya pada pembekapan dengan bantal atau tangan dapat menyebabkan kekurangan oksigen dan mati lemas. Kacang yang tak dikunyah atau bagian kecil dari mainan dapat menyangkut pada trakea anak ataupun bayi. Seseorang yang tak memiliki gigi atau memiliki riwayat stroke atau penyakit yang

melemahkan tubuh mungkin dapat mengalami kesulitan mengunyah dan terjadi aspirasi makanan pada jalan nafas mereka. Gejalanya sangat khas yaitu diawali dengan batukbatuk, sianotik, kemudian meninggal. Tidak ada tanda-tanda trauma pada kematian ini. Pada gagging sumbatan terjadi di orofaring sedangkan pada choking sumbatan terjadi lebih dalam yakni pada laringofaring. Penekanan dinding dada dari luar Positional asphyxia Wedginginterposition (chest) Traumatic asphyxiaoverlaying (chest). Misalnya penekanan pada dada atau jalan nafas yang kebanyakan disebabkan ketika seseorang tidak bisa bernafas karena ketidakmampuan menggerakkan dada dan biasanya didapatkan pada korban kecelakaan kendaraan bermotor. Penekanan dinding saluran pernafasan: Penjeratan (strangulation) Pencekikan (manual strangulation) Gantung (hanging) Penjeratan adalah penekanan benda asing yang permukaannya relatif sempit dan panjang, dapat berupa tali, ikat pinggang, rantai, stagen, dan sebagainya, melingkari atau mengikat leher yang makin lama makin kuat di mana kekauatan jeratan berasal dari tarikan keua ujungnya, sehingga secara berturutan pembuluh darah balik, arteri superfisial dan saluran nafas tertutup. Biasanya arteri vertebralis tetap paten, hal ini disebabkan karena kekuatan atau beban yang menekan pada penjeratan biasanya tidak besar. Mekanisme kematian bias disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas hingga terjadi asfikisa, atau tertutupnya vena sehingga terjadi anoksia otak, atau refleks vagal atau karena tertutupnya arteri karotis sehingga otak kekurangan darah. Penjeratan biasanya merupakan peristiwa pembunuhan, meskipun dapat karena bunuh diri maupun kecelakaan (misalnya selendang yang dililitkan di leher tertarik roda saat mengendari motor). Pada pencekikan (biasanya dilakukan tersangka pada korbannya) dapat menyebabkan korban tidak sadar jika tersangka melakukan penekanan pada jalan nafas ataupun pembuluh darah, misalnya pada penekanan sinus carotid yang terletak tepat

dibawah sudut rahang sehingga korban menjadi tidak sadar dalam hitungan detik akibat bradikardinya. Jika penekanan terjadi di leher bagian depan maka membutuhkan waktu beberapa menit untuk terjadinya oklusi jalan nafas akibat penekanan trakea dan dasar lidah yang digerakkan kedepan dan kebelakang; Sedangkan pada seseorang yang menggantung mati dirinya baik dengan tali, kain ataupun kawat terjadi penekanan di leher yang menyebabkan oklusi pembuluh darah. Seseorang menjadi tidak sadar dan mati ketika darah tidak lagi dapat mengalir ke otak atau dari otak ke jantung sehingga otak menjadi kekurangan O2. Butuh tekanan yang ringan untuk menyebabkan terjadinya occlude darah ke otak. Inhalation of suffocating gases. Misalnya pada inhalasi CO dan sianida dimana inhalasi CO sering terjadi pada mobil yang dipanaskan di garasi tertutup. Hal ini disebabkan CO dan O 2 berebut untuk berikatan dengan Hb darah. CO mempunyai kemampuan berikatan dengan Hb 200 kali lebih banyak dibanding dengan O2 ,sehingga bila banyak CO yang berikatan dengan Hb terjadi kekurangan suplai O2 ke otak dan menyebabkan asfiksia dan berlanjut menjadi kematian. Gas CO merupakan gas yang tidak berbau dan berasa serta dapat menyebabkan kematian dalam hitungan menit pada kadar 4-5% di atmosfer; Sedangkan inhalasi sianida dapat menyebabkan terjadinya asfiksia dan kematian karena sianida dapat bercampur dengan sitokrom oksidase dan system enzim selular lainnya yang di butuhkan tubuh untuk pemanfaatan O 2. Livor mortis pada inhalasi CO dan sianida berwarna merah. Pada inhalasi sianida dapat ditemukan bau almond pada pemeriksaan. Drowning (tenggelam) yaitu saluran napas terisi air. Mekanisme kematian pada kasus tenggelam bukan murni disebabkan oleh asfiksia, maka ada sementara ahli yang tidak lagi memasukkan tenggelam ke dalam kelompok asfiksia mekanik, tetapi dibicarakan sendiri. III. Penggantungan III.1. Definisi Penggantungan (hanging ) adalah keadaan dimana leher dijerat dengan ikatan, daya jerat ikatan tersebut memanfaatkan berat badan tubuh atau kepala. Penggantungan merupakan suatu bentuk penjeratan (strangulasi) dengan tali ikat dimana tekanan dihasilkan dari seluruh atau

sebagian berat tubuh. Ada pula yang mendefinisikan sebagai suatu keadaan dimana terjadi konstriksi dari leher oleh alat penjerat yang ditimbulkan oleh berat badan seluruhnya atau sebagian. Dengan demikian berarti alat penjerat sifatnya pasif, sedangkan berat badan sifatnya aktif sehingga terjadi konstriksi pada leher. Perbedaan gantung diri dengan penjeratan adalah dimana pada penjeratan yang aktif adalah alat penjeratnya. 8,12 III.2. Epidemiologi Kematian karena penggantungan pada umunya adalah suatu upaya bunuh diri. Sekitar 90% upaya bunuh diri (suicide) menggunakan metode gantung diri. Di beberapa negara Eropa seperti Inggris, insidensi gantung diri dalam upaya bunuh diri terjadi sebanyak 2000 kejadian pertahun dan gantung diri adalah metode pilihan dalam upaya bunuh diri. Sekitar 10% kasus gantung diri terjadi pada lingkungan yang terkontrol, seperti penjara dan rumah sakit, sisanya kasus terjadi pada komunitas. 13 Titik penggantungan tidak selalu diatas kepala. Sekitar 50% kasus penggantungan diri, titik penggantungan lebih rendah dari tinggi kepala dan dilakukan dalam posisi yang tidak menggantung. Korban pelaku gantung diri pada lingkungan yang terkontrol biasanya adalah narapidana dan pasien psikiatri, sedangkan pada komunitas adalah beraneka ragam, namun biasanya juga mempunyai gangguan psikis. 13 Tali (ligature) yang digunakan dalam upaya penggantungan diri dapat berupa benda- benda seperti tali, sabuk, kain, kabel, handuk dan sebagainya.10,13,15 Penggantungan dapat terjadi pada beberapa kondisi berikut : 1. Bunuh diri 10,17 Penggantungan merupakan metode yang paling umum digunakan pada kasus bunuh diri. Alat-alat yang dibutuhkan untuk bunuh diri dengan penggantungan sangatlah mudah diperoleh, dibandingkan dengan senjata api atau racun. Penggantungan total tidak diperlukan, dan untuk alasan penggantungan biasanya ditemukan di kalangan narapidana. Jenis dari penggantungan bisa saja penggantungan total atau penggantungan partial di mana lebih ditekankan pada jeratan yang erat oleh diri sendiri menggunakan tali dan hanya sebagian dari berat tubuh yang terlibat. Cara ini bergantung dari kesadaran korban di mana terjadi restriksi dari aliran darah arteri ketika terjerat. Di Kanada, penggantungan merupakan cara yang paling umum untuk bunuh diri, di AS penggantungan merupakan kedua yang sering dilakukan setelah senjata api. Di Inggris, dimana senjata api lebih sulit

diperoleh maka pada 2001 penggantungan merupakan cara yang paling sering digunakan pada pria, sedang pada wanita merupakan cara kedua setelah meracuni diri sendiri. Alasan bunuh diri pun bervariasi mulai dari kemarahan pada orang tua ( broken home ), ditinggalkan oleh yang dicintai, keinginan untuk menyusul orang yang dicintai, gangguan psikiatri, obat-obatan, antisosial, dan lain-lain. 2. Gangguan Psikiatri.10 Gangguan psikiatri biasanya meliputi skizofrenia, biasanya ditemukan lebih banyak dibanding pada kasus umum. Bunuh diri dilakukan pada saat korban sedang tidak dalam perawatan rumah sakit. Dengan kekerasan misalnya dengan melompat dari kereta atau dari sebuah gedung, gantung diri yang biasa digunakan. Bunuh diri susah diprediksi dikarenakan korban hanya memberikan sedikit tanda-tanda, dan mungkin saja korban menunjukkan perbaikan klinis. 3. Kecelakaan.10 Suatu penelitian di Skotlandia menunjukkan bahwa kejadian penggantungan akibat kecelakaan lebih banyak ditemukan pada anak-anak utamanya pada umur antara 6-12 tahun, tidak ditemukan alasan untuk bunuh diri karena pada usia itu belum ada tilikan dari anak untuk bunuh diri. Hal ini terjadi akibat kurangnya pengawasan dari orang tua. Meskipun tidak menutup kemungkinan hal ini dapat terjadi pada orang dewasa. 4. Pembunuhan (homicide Hanging)10 Sering ditemukan kejadian penggantungan tetapi bukan kasus bunuh diri, namun kejadian diatur sedemikian rupa hingga menyerupai kasus penggantungan bunuh diri. Banyak alasan yang menyebabkan pembunuhan terjadi mulai dari masalah sosial, masalah ekonomi, hingga masalah hubungan sosial. 5. Hukum Gantung (Judisial Hanging) III.3. Jenis Penggantungan dan Posisi Gantung Diri Penggantungan terdiri dari beberapa jenis5 : 1. Penggantungan lengkap Istilah penggantungan lengkap digunakan jika beban aktif adalah seluruh berat badan tubuh, yaitu terjadi pada orang yang menggantunkan diri dengan kaki mengambang dari lantai. 2. Penggantungan parsial

Istilah penggantungan parsial digunakan jika beban berat badan tubuh tidak sepenuhnya menjadi kekuatan daya jerat tali, misalnya pada korban yang tergantung dengan posisi berlutut. Pada kasus tersebut berat badan tubuh tidak seluruhnya menjadi gaya berat sehingga disebut penggantungan parsial. 3. Penggantungan atipikal Salah satu contoh penggantungan atipikal adalah dimana saat penggantungan korban terjatuh dari anak tangga yang sedang dinaikinya. Posisi korban pada kasus gantung diri bisa bermacam macam, kemungkinan tersering :5 1. Kedua kaki tidak menyentuh lantai (complete hanging ) 2. Duduk berlutut Untuk posisi ini ada yang menyebutkan dengan istilah penggantungan parsial. Bahan yang digunakan biasanya tali, ikat pinggang, kain, dll. 3. Berbaring (biasanya di bawah tempat tidur) III.4. Patofisiologi Mekanisme kematian yang disebabkan oleh gantung akibat penumpuan beban sebagian atau seluruh beban tubuh di leher diantaranya adalah 5,10,12 : 1. Asphyxia, yaitu kurangnya atau bahkan tidak adanya O2 dan CO2 pada darah dan jaringan keadaan dimana sel gagal untuk dapat melangsungkan metabolism secara efisien, dimana dalam kedadaan ini oksigen gagal untuk masuk kadalam sirkulasi darah. 2. Vagal Reflex, yang terjadi akibat rangsangan ringan/ luka pada reseptor saraf yang merupakan afferent daripada reflex vagus. Inhibisi vagal sering diikuti oleh fibrilasi ventrikel, inhibisi fatal pada jantung dan pusat pernapasan, kemudian bisa terjadi syok death. Pada kasus hanging, didapatkan memar disekitar otot thyro-hyoid. 3. Pada batang otak, terjadi kerusakan medulla oblongata/medulla spinalis oleh karena patahnya tulang leher pada orang yang dihukum mati ( dihukum gantung ). Hal ini dapat disebabkan karena pada pelaksanaan hukum gantung, lantai dimana korban berdiri akan terbuka secara tiba tiba, sehingga korban akan jatuh dan tersentak dengan kuat. Fraktur dan dislokasi vertebra servikalis akan menekan medulla oblongata dan mengakibatkan terhentinya pernapasan. 4. Obstruksi vena otak, terjadi karena sumbatan vena jugularis interna menyebabkan kongesti pada pembuluh darah otak dan mengakibatkan kegagalan sirkulasi. Obstruksi

vena menyebabkan edema serebral dan kemudian iskemik serebral serta hilangnya kesadaran. Pada obstruksi vena terjadi relaksasi dari tonus otot kemudian akhirnya obstruksi arteri dan pernapasan. Wajah akan bengkak dan sianosis. 5. Iskemia serebral, disebabkan oleh penekanan dan hambatan pembuluh darah arteri (oklusi arteri) yang memperdarahi otak. Gambar dibawah menunjukan gambaran rontgen pada wanita yang berupaya bunuh diri dengan gantung. 14

Gambar 9. Diseksi subintimal arteri karotis Dikutip dari kepustakaan nomor 14 III.5. Pemeriksaan di Tempat Kejadian Perkara (TKP)Untuk memperkirakan perbebedaan gantung diri dan pembunuhan No Perbedaan 1 Alat penjerat: Simpul Jumlah lilitan Arah Penggantungan Bunuh Diri . Biasa simpul mati Hanya Satu Mendatar Penggantungan Pembunuhan Simpul hidup Satu atau lebih Serong ke atas Jauh
5,16

Jarak ttk tumpu-simpul Dekat Korban : 2. Jejas jerat Luka perlawanan Luka-luka lain Jarak dari rantai Berjalan mendatar (+) Ada,sering di daerah leher.

Meninggi ke arah simpul (-) Biasanya tidak ada, mungkin terdapat luka percobaan lain.

Jauh TKP : 3. Lokasi Kondisi Pakaian Alat : 4. Surat peninggalan : 5. 6. Ruangan : (-) Tak teratur, terkunci dari luar Bervariasi Tidak teratur Tak teratur, robek. Dari sih pembunuh

Dekat, dapat tidak tergantung.

Tersembunyi Teratur Rapi dan baik Berasal dari yang ada di TKP (+) Terkunci dari dalam

III. 6. Perbedaan Gantung Antemortem dan Postmortem 6,16 Pengantunggan antemortem Tanda jejas jerat berupa lingkaran terputus (non continous) dan letaknya pada leher bagian atas. Simpul tali biasanya tunggal, terdapat pada sisi leher Ekimosis tampak jelas pada salah satu sisi dari jejas penjeratan. Lebam mayat tampak diatas jejas jerat dan pada tungkai bawah Pada kulit ditempat jejas penjeratan teraba seperti kertas perkamen yaitu tanda parchmentisasi Sianosis pada wajah, bibir, telinga, sangat jelas terlihat terutama jika kematian karena asfiksia Wajah membengkak dan mati Penggantungan postmortem Tanda jejas jerat biasanya berbentuk utuh(continous), agak sirkuler dan

letaknya pada bagian leher tidak begitu tinggi Simpul tali lebih dari satu biasanya lebih dari satu, diikatkan dengan kuat dan diletakan pada bagian depan leher Ekimosis pada salah satu sisi jejas penjeratan tidak ada atau tidak jelas. Lebam mayat terdapat pada bagian tubuh yang menggantung sesuai dengan posisi mayat setelah meninggal Tanda parchmentisasi tidak ada atau tidak jelas

Lidah bisa terjulur atau tidak sama sekali Ereksi penis disertai dengan keluarnya cairan sperma sering terjadi pada korban pria. Demikian juga sering ditemukan keluarnya feses Sianosis kematian Sianosis menonjol, pada bagian wajah, bibir, telinga, mengalami kongesti dan agak disertai dengan gambaran pembuluh darah vena yang jelas pada bagian kening dan dahi Lidah tidak terjulur kecuali pada kasus pencekikan Ereksi penis dan cairan sperma tidak ada. Pengeluaran feses juga tidak ada Air liur tidak ditemukan yang menetes pada kasus selain kasus penggantungan pada bagian wajah, bibir, telinga, dll, tergantung dari penyebab

Air liur ditemukan menetes dari sudut mulut, dengan arah yang vertikal menuju dada. Hal ini merupakan pertanda pasti penggantungan antemortem dll, tergantung dari penyebab kematian

III.7 . Pemeriksaan Luar dan Dalam pada Posisi Gantung Pada pemeriksaan luar hasil gantung diri didapatkan: 6,10,16 1. Tanda Penjeratan Pada Leher a. Tanda penjeratan jelas dan dalam Semakin kecil tali maka tanda penjeratan semakin jelas dan dalam. b. Bentuk jeratan berjalan miring Bentuk jeratan pada kasus gantung diri cenderung berjalan kiring (oblique) pada bagian depan leher, dimulai pada leher bagian atas antara kartilago tiroid dengan dagu, lalu berjalan miring sejajar dengan garis rahang bawah menuju belakang telinga. c. Tanda penjeratan berwarna coklat gelap dan kulit tampak kering, keras dan mengkilat.

d. Pada tempat dimana terdapat simpul tali yaitu pada kulit bagian bawah telinga, tampak daerah segitiga pada kulit dibawah telinga. e. Pinggiran jejas jerat berbatas tegas dan tidak terdapat tanda-tanda abrasi. f. Jumlah tanda penjeratan Terkadang pada leher terlihat dua buah atau lebih bekas penjeratan. Hal ini menujukan bahwa tali dijeratkan ke leher sebanyak dua kali 2. Kedalaman Bekas Jeratan Kedalaman bekas jeratan menujukan lamanya tubuh tergantung. 3. Tanda-tanda Asfiksia Tanda-tanda umum asfiksia diantaranya adalah sianosis, kongesti vena dan edema. Pada kasus penggantungan tanda-tanda asfiksia berupa mata menonjol keluar, perdarahan berupa petekia pada bagian wajah dan subkonjungtiva. Jika didapatkan lidah terjulur maka menunjukan adanya penekanan pada bagian bawah leher yaitu bagian bawah kartilago thyroida. 4. Lebam Mayat Jika penggantungan setelah kematian berlangsung lama maka lebam mayat terlihat pada bagian tubuh bawah, anggota badan distal serta alat genitalia distal. 5. Sekresi Urin dan Feses Sekresi urin dan feses terjadi pada fase apneu pada kejadian asfiksia. Pada stadium apneu pusat pernapasan mengalami depresi sehingga gerak napas menjadi sangat lemah dan berhenti. Penderita menjadi tidak sadar dan karena kontrol spingter fungsi eksresi hilang akibat kerusakan otak maka terjadi pengeluaran urin dan feses. Pada pemeriksaan dalam akibat peristiwa gantung diri didapatkan : 10.16 1. Lapisan dalam dan bagian tengah pembuluh darah mengalami laserasi ataupun ruptur. Pada gambar 9 dapat dilihat adanya diseksi arteri yang dapat menyebabkan kematian.

2. Tanda-tanda Asfiksia

Tanda-tanda asfiksia yang didapatkan pada pemeriksaan dalam korban gantung diri diantaranya adalah terdapat bintik perdarahan pada pelebaran pembuluh darah, kongesti pada bagian atas yaitu daerah kepala, leher dan otak, kemudian didapatkan darah lebih gelap dan encer akibat kadar CO2 yang meninggi. 3. Terdapat resapan darah pada jaringan dibawah kulit dan otot. 4. Terdapat memar atau ruptur pada beberapa keadaan. Kerusakan otot ini lebih banyak terjadi pada kasus pengantungan yang disertai dengan tindak kekerasan. 5. Mungkin terdapat patah tulang hyoid atau kartilago cricoid. Gambar dibawah menujukan adanya patah tulang cricoid pada seorang wanita berumur 33 tahun yang melakukan upaya bunuh diri dengan gantung diri .14

Gambar 10. Fraktur 2 buah tulang vertebra servikalis bagian atas Dikutip dari kepustakaan nomor 14 Fraktur ini seringkali terjadi pada korban hukum gantung dimana korban tergantung secara penuh dan tertitis jauh dari lantai. 14 III.8. Kasus Percobaan Gantung Diri Korban Masih Hidup Pada korban percobaan gantung diri yang masih dapat tertolong biasanya mengalami gejala-gejala sebagai berikut :12,13,14 Gangguan saluran pernapasan. Gangguan saluran pernapasan terjadi akibatperdarahan jaringan lunak di leher, edema di daerah tersebut, kemudian dapat juga terjadi fraktur tulang hyoid, cricoid dan tiroid. Abnormalitas bernapas. Edema pada daerah glotis dan gangguan pada saluran napas menyebabkan abnormalitas bernapas, yang dapat terjadi diantaranya hentinya napas, nadi tidak teraba, pH darah asam(di bawah 7,2) . Gejala seperti adanya stridor, batuk, suara

melemah menunjukan fase distres pernapasan yang lebih ringan dibandingkan gejala diatas. Suara serak atau batuk dikarenakan adanya sekresi cairan pada saluran pernapasan. Abnormalitas sirkulasi. Abnormalitas ini mugkin terjadi akibat rangsangan terhadap sinus karotis yang menyebabkan reflek henti jantung. Abnormalitas sirkulasi kemudian dapat menyebabkan hipoksia cerebral yang menyebabkan gejala-gejala kehilangan kesadaran dan meninggalkan gejala sisa. Perubahan status mental Gejala sisa yang tertinggal tergantung dari sejauh mana kelainan pada saluran napas serta kerusakan otak. Gejala yang dapat tersisa diantaranya hemiplegia, amnesia, demensia, bronkitis, parotitis dan sebagainya14,15 Pada korban yang masih dapat tertolong hendaknya diberikan pertolongan segera, yaitu :12 1. Korbannya diturunkan. 2. Ikatan pada leher dipotong dan jeratan dilonggarkan. 3. Berikan bantuan pernafasan untuk waktu yang cukup lama. 4. Lidah ditarik keluar, lubang hidung dibersihkan jika banyak mengandung sekresi cairan. 5. Berikan oksigen, lebih baik lagi kalau disertai CO2 5% 6. Jika korban mengalami kegagalan jantung kongestif, pertolongan melalui venaseksi mungkin akan membantu untuk mengatasi kegagalan jantung tersebut. 7. Berikan obat-obat yang perlu (misalnya fenitoin untuk mencegah kejang akibat kerusakan otak)

Daftar Pustaka

1. Seeley. Stephens. Tate. Anatomy and Physiology. Sixth edition. United States of America. The MacGraw-Hill Companies, Inc. 2004. Hal. 814-27 2. Waugh A. Grant A. Ross and Wilson Anatomy and Physiology in Health and Illness. Ninth edition. United Kingdom. Churchill Livingstone, an Imprint of Elsevier Limited. 2004. Hal. 240-57 3. Banerjee A. Clinical Physiology, An Examination Primer. United States of America. Cambridge University Press. 2005. Hal. 115-29 4. Idries, A.M. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik Edisi Pertama. Jakarta. Binarupa Aksara. 1997. hal 170-5. 5. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, dkk.. Kematian akibat Asfiksia Mekanik. Dalam : Ilmu Kedokteran Forensik. FKUI. 1997. hal 55-7. 6. Lawrence GS, Asphyxia. Makassar: Forensic Medicine & Medicolegal Faculty of Medicine, Hasanuddin University. 2005. Slide 1-36. 7. Soularto DS. Aspek forensik asfiksia. 2009 [cited at September, 22 nd 2011]. Available at: www.scribd.com/doc/40188591/Asfiksia-Handout-Blok16-2009. 8. Dimaio VJ, Dimaio D. Asphyxia. In: Forensic pathology. 2nd ed. New York: CRC press LLC. 2001. p.236-43. 9. Dolinak D, Matshes EW, Lew EO. Asphyxia. In: Forensic Pathology Principles And Practice. Amsterdam: Elsevier Academic press. p. 202-3. 10. Shkrun MJ, Ramsay DA. Asphyxia. In : Forensic Pathology of Trauma : Common Problems for the Pathologist. New Jersey : Humana Press. 2007. p:65-70. 11. Dix J, Calaluce R. Guide to Forensic Pathology. New York: CRC Press LLC.1998. p.84-91.
12. Ernoehazy W, Kulkarni R. Hanging Injuries and Strangulation Necrolysis [online] 2008 July

16 [cited 2011 September 29]. Available from: URL: http://emedicine.medscape.com/hanging/cause.html 13. Gunnell, D., O. Bennewith., K. Hawton., S. Simkin., N. Kapur. 2005. The Epidemiology and Prevention of Suicide by hanging : a Systematic Review. Int J Epid; 34: 433-442

14. Linnau, K.F dan W.A. Cohen. 2001. Radiologic Evaluation of Attempted Suicide by Hanging : Cricotracheal Separation and Common Carotid Artery Dissection. AJR: 178. 15. Bennewith, O.D. Gunnell., N. Kapur., P. Turnbull., S.Simkin., L. Sutton et al. 2005. Suicide by Hanging : Multicentre Study Based on Coroners Records in England. B J Psych; 186: 260-26.
16. Irga. Penggantungan [online]. 2009 December 18 [cited 2011 October 11]; Available from: URL:http://www.irwanashari.com/299/penggantungan.html.

You might also like