You are on page 1of 17

4. Bandung Lautan Api Suatu hari tepatnya tanggal 24 Maret 1946, dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.

000 penduduk mengukir sejarah dengan membakar rumah dan harta benda mereka, meninggalkan kota Bandung menuju pegunungan di selatan. Beberapa tahun kemudian, lagu "Halo-Halo Bandung" ditulis untuk melambangkan emosi mereka, seiring janji akan kembali ke kota tercinta, yang telah menjadi lautan api. Insiden Perobekan Bendera Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia belum sepenuhnya merdeka. Kemerdekaan harus dicapai sedikit demi sedikit melalui perjuangan rakyat yang rela mengorbankan segalanya. Setelah Jepang kalah, tentara Inggris datang untuk melucuti tentara Jepang. Mereka berkomplot dengan Belanda (tentara NICA) dan memperalat Jepang untuk menjajah kembali Indonesia. Berita pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan dari Jakarta diterima di Bandung melalui Kantor Berita DOMEI pada hari Jumat pagi, 17 Agustus 1945. Esoknya, 18 Agustus 1945, cetakan teks tersebut telah tersebar. Dicetak dengan tinta merah oleh Percetakan Siliwangi. Di Gedung DENIS, Jalan Braga (sekarang Gedung Bank Jabar), terjadi insiden perobekan warna biru bendera Belanda, sehingga warnanya tinggal merah dan putih menjadi bendera Indonesia. Perobekan dengan bayonet tersebut dilakukan oleh seorang pemuda Indonesia bernama Mohammad Endang Karmas, dibantu oleh Moeljono. Tanggal 27 Agustus 1945, dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR), disusul oleh terbentuknya Laskar Wanita Indonesia (LASWI) pada tanggal 12 Oktober 1945. Jumlah anggotanya 300 orang, terdiri dari bagian pasukan tempur, Palang Merah, penyelidikan dan perbekalan. Peristiwa yang memperburuk keadaan terjadi pada tanggal 25 November 1945. Selain menghadapi serangan musuh, rakyat menghadapi banjir besar meluapnya Sungai Cikapundung. Ratusan korban terbawa hanyut dan ribuan penduduk kehilangan tempat tinggal. Keadaan ini dimanfaatkan musuh untuk menyerang rakyat yang tengah menghadapi musibah. Berbagai tekanan dan serangan terus dilakukan oleh pihak Inggris dan Belanda. Tanggal 5 Desember 1945, beberapa pesawat terbang Inggris membom daerah Lengkong Besar. Pada tanggal 21 Desember 1945, pihak Inggris menjatuhkan bom dan rentetan tembakan membabi buta di Cicadas. Korban makin banyak berjatuhan.

Bandoeng Laoetan Api Ultimatum agar Tentara Republik Indonesia (TRI) meninggalkan kota dan rakyat, melahirkan politik "bumihangus". Rakyat tidak rela Kota Bandung dimanfaatkan oleh musuh. Mereka mengungsi ke arah selatan bersama para pejuang. Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan, pada tanggal 24 Maret 1946. Kolonel Abdul Haris Nasution selaku Komandan Divisi III, mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan rakyat untuk meninggalkan Kota Bandung. Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan kota. Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat dengan maksud agar Sekutu tidak dapat menggunakannya lagi. Di sana-sini asap hitam mengepul membubung tinggi di udara. Semua listrik mati. Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang paling seru terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat pabrik mesiu yang besar milik Sekutu. TRI bermaksud menghancurkan gudang mesiu tersebut. Untuk itu diutuslah pemuda Muhammad Toha dan Ramdan. Kedua pemuda itu berhasil meledakkan gudang tersebut dengan granat tangan. Gudang besar itu meledak dan terbakar, tetapi kedua pemuda itu pun ikut terbakar di dalamnya. Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan maka pada jam 21.00 itu juga ikut keluar kota. Sejak saat itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Tetapi api masih membubung membakar kota. Dan Bandung pun berubah menjadi lautan api. Pembumihangusan Bandung tersebut merupakan tindakan yang tepat, karena kekuatan TRI dan rakyat tidak akan sanggup melawan pihak musuh yang berkekuatan besar. Selanjutnya TRI bersama rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa ini melahirkan lagu "Halo-Halo Bandung" yang bersemangat membakar daya juang rakyat Indonesia. Bandung Lautan Api kemudian menjadi istilah yang terkenal setelah peristiwa pembakaran itu. Banyak yang bertanya-tanya darimana istilah ini berawal. Almarhum Jenderal Besar A.H Nasution teringat saat melakukan pertemuan di Regentsweg (sekarang Jalan Dewi Sartika), setelah kembali dari pertemuannya dengan Sutan Sjahrir di Jakarta, untuk memutuskan tindakan apa yang akan dilakukan terhadap Kota Bandung setelah menerima ultimatum Inggris.

Jadi saya kembali dari Jakarta, setelah bicara dengan Sjahrir itu. Memang dalam pembicaraan itu di Regentsweg, di pertemuan itu, berbicaralah semua orang. Nah, disitu timbul pendapat dari Rukana, Komandan Polisi Militer di Bandung. Dia berpendapat, Mari kita bikin Bandung Selatan menjadi lautan api. Yang dia sebut lautan api, tetapi sebenarnya lautan air A.H Nasution, 1 Mei 1997 Istilah Bandung Lautan Api muncul pula di harian Suara Merdeka tanggal 26 Maret 1946. Seorang wartawan muda saat itu, yaitu Atje Bastaman, menyaksikan pemandangan pembakaran Bandung dari bukit Gunung Leutik di sekitar Pameungpeuk, Garut. Dari puncak itu Atje Bastaman melihat Bandung yang memerah dari Cicadas sampai dengan Cimindi. Setelah tiba di Tasikmalaya, Atje Bastaman dengan bersemangat segera menulis berita dan memberi judul Bandoeng Djadi Laoetan Api. Namun karena kurangnya ruang untuk tulisan judulnya, maka judul berita diperpendek menjadi Bandoeng Laoetan Api. Akibat Bandung Laoetan Api Ultimatum Tentara Sekutu agar Tentara Republik Indonesia meninggalkan kota Bandung mendorong TRI untuk melakukan operasi Bumihangus". Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan pihak Republik Indonesia, pada tanggal 24 Maret 1946. Kolonel Abdoel Haris Nasoetion selaku Komandan Divisi III TRI mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan evakuasi Kota Bandung. Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat setempat dengan maksud agar Sekutu tidak dapat menggunakan Bandung sebagai markas strategis militer. Tentara Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi, pertempuran yang paling besar terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat gudang amunisi besar milik Tentara Sekutu. Dalam pertempuran ini Muhammad Toha dan Ramdan, dua anggota milisi BRI (Barisan Rakjat Indonesia) terjun dalam misi untuk menghancurkan gudang amunisi tersebut. Sejak saat itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Tetapi api masih membubung membakar kota, sehingga Bandung pun menjadi lautan api.

11. Pembentukan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)

Latar Belakang Menjelang akhir tahun 1945 keamanan kota Jakarta semakin memburuk. Tentara Belanda semakin merajalela dan aksi-aksi teror yang dilakukannya semakin meningkat. Pendaratan pasukan marinir Belanda di Tanjung Priok pada tanggal 30 Desember 1945 menambah gentingnya keadaan. Mengingat situasi keamanan yang semakin memburuk itu presiden dan wakil presiden pada tanggal 4 Januari 1946 pindah ke Jogjakarta dan kemudian ibukota Republik Indonesia pun turut pula pindah ke Jogjakarta. Pada awal bulan Agustus 1948 Muso dan Suripno kembali ke tanah air dari eropa. Mereka dapat mempengaruhi Amir Syarifuddin (bekas perdana menteri), yang akhirnya menggabungkan diri pada Partai Komunis Indonesia. PKI menuduh pemerintah Indonesia berpolitik memihak Belanda. Pada tanggal 22 Agustus 1948 Muso memimpin rapat umum yang memutuskan, bahwa perundingan Belanda harus dihentikan. Akhirnya pada tanggal 18 September 1948 PKI Muso melakukan perebutan kekuasaan, yang dimulai di Madiun dan di daerah Surakarta. Terjadilah perang saudara di Madiun, yang berakibat sangat menyedihkan. Penganiayaan dan pembunuhan telah menimbulkan korban yang tidak sedikit. Pemerintah mengerahkan TNI Divisi Siliwangi, yang berhasil merebut kembali daerah-daerah sekitar Madiun. Pada tanggal 31 Oktober 1948 Muso terbunuh dan peristiwa Madiun selesailah. Pada waktu itu Belanda menunda serangan-serangan terhadap RI kiranya untuk menghindari tuduhan dunia bahwa mereka berjalan di bawah satu payung dengan kaum komunis. Perang saudara itu melemahkan kedudukan Indonesia, dan keadaan itu sangat menguntungkan pihak Belanda. Belanda memperhitungkan bahwa RI akan hancur dan tidak berdaya karena peristiwa Madiun. Keadaan Republik Indonesia yang memang agak payah itu dipergunakan oleh Belanda untuk melancarkan serangan tiba-tiba pada tanggal 19 Desember 1948, yang lebih dikenal dengan peristiwa Agresi Militer Belanda II. Pagi-pagi angkatan perang Belanda menyerbu yogyakarta. Ibukota RI jatuh di tangan mereka. Pemerintah RI yang ingin tetap berhubungan dengan anggota-anggota KTN tidak meninggakan Kota Yogya. Begitulah maka Presiden, Wakil Presiden dan beberapa orang Menteri dan Pejabat-Pejabat tinggi ditawan oeh Belanda dan diasingkan ke Bangka dan Sumatera Utara. Tidak lama setelah ibukota RI di Yogyakarta dikuasai Belanda dalam Agresi Militer Belanda II, mereka berulangkali menyiarkan berita bahwa RI sudah

bubar. Karena para pemimpinnya, seperti Soekarno Hatta dan Syahrir sudah menyerah dan ditahan. Mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki ibukota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pimpinan Pemerintahan Republik Indonesia, tanggal 19 Desember sore hari Syafruddin Prawiranegara bersama Kol. Hidayat, Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera, mengunjungi Teuku Mohammad Hasan, Gubernur Sumatera/Ketua Komisaris Pemerintah Pusat di kediamannya, untuk mengadakan perundingan. Malam itu juga mereka meninggalkan Bukittinggi menuju Halaban, perkebunan teh 15 Km di selatan kota Payakumbuh. Sejumlah tokoh pimpinan republik yang berada di Sumatera Barat dapat berkumpul di Halaban, dan pada 22 Desember 1948 mereka mengadakan rapat yang dihadiri antara lain oleh Syafruddin Prawiranegara, T. M. Hassan, Sutan Mohammad Rasjid, Kolonel Hidayat, Lukman Hakim, Ir. Indracahya , Ir. Mananti sitompul, Maryono Danubroto, Direktur BNI A. Karim, Rusli Rahim dan Latif. Walaupun secara resmi kawat atau radiograf Presiden Soekarno belum diterima, tanggal 22 Desember 1948, sesuai dengan konsep yang telah disiapkan, maka dalam rapat tersebut diputuskan untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), dengan susunan sebagai berikut: Mr. Syafruddin Prawiranegara, Ketua PDRI/Menteri Pertahanan/ Menteri Penerangan/Menteri Luar Negeri ad interim Mr. T. M. Hassan, Wakil Ketua PDRI/Menteri Dalam Negeri/Menteri PPK/ Menteri Agama, Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Menteri Keamanan/Menteri Sosial, Pembangunan, Pemuda, Mr. Lukman Hakim, Menteri Keuangan/Menteri Kehakiman, Ir. M. Sitompul, Menteri Pekerjaan Umum/Menteri Kesehatan, Ir. Indracaya, Menteri Perhubungan/Menteri Kemakmuran.

Proses Berdirinya PDRI Waktu agresi Belanda dimulai, negara RI belum sembuh dari penderitaan akibat tikaman yang diberikan PKI Musso dari belakang dengan peristiwa Madiun yang menimbulkan ribuan korban jiwa. Wakil Presiden Moh. Hatta yang pada waktu itu jadi Perdana Menteri beberapa minggu sebelum serangan Belanda, bersama Sjarifudin Prawiranegara yang ketika itu

menjabat Menteri Kemakmuran berangkat dari Jogja ke Bukittinggi, ibukota kedua RI untuk mengadakan perundingan dengan pucuk pemerintahan di Sumatera berkaitan upaya pembentukan pemerintahan sementara di Bukittinggi dengan pimpinan Bung Hatta apabila Belanda melanjutkan agresi baru. Di tengah persiapan pembentukan pemerintahan itu, Bung Hatta dipanggil kembali ke Jogja untuk berunding dengan pihak Belanda di Kaliurang dengan perantaraan Komisi Tiga Negara. Perundingan ini mengalami kegagalan dan berbuah pada agresi militer ke-II. Saat itu Sjarifudin baru berada beberapa hari saja di Bukittinggi, dan langsung memutuskan untuk meninggalkan kota tersebut mengingat kondisi yang semakin tidak menentu. Sebelum Agresi terjadi, sebenarnya Soekarno-Hatta telah mengeluarkan mandat yang mengatakan bahwa : Djikalau dalam keadaan darurat pemerintah tidak dapat mendjalankan kewajibannja lagi, kami menguasakan kepada Mr. Sjarifuddin Prawiranegara Menteri Kemakmuran untuk membentuk Pemerintah Republik darurat di Sumatera Selain mandat tersebut, turut dikeluarkan mandat Sudarsono, Palar, dan Maramis di India yang isinya sbb. : lain kepada Dr.

Djikalau ichtiar Sjarifuddin di Sumatera tidak berhasil, maka saudarasaudara dikuasakan membentuk exile government Republik Indonesia di India Mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki ibukota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pimpinan Pemerintahan Republik Indonesia, tanggal 19 Desember sore hari, Mr. Syafruddin Prawiranegara bersama Kol. Hidayat, Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera, mengunjungi Teuku Mohammad Hasan, Gubernur Sumatera/Ketua Komisaris Pemerintah Pusat di kediamannya, untuk mengadakan perundingan. Malam itu juga mereka meninggalkan Bukittinggi menuju Halaban, perkebunan teh 15 Km di selatan kota Payakumbuh. Sementara itu rombongan Mr. Sjarifudin mengungsi ke Halaban, sedangkan rombongan lain menuju daerah yang berbeda. Pada tanggal 21 Desember, hari ketiga agresi militer Belanda, Mr. Sjarifudin masih ragu-ragu dan tidak tahu apa yang akan dilakukannya, karena mandat yang diberikan kepadanya dari Kabinet Hatta untuk membentuk pemerintahan darurat di Sumatera ternyata belum didengarnya, karena memang segala bentuk saluran komunikasi telah lebih dulu diputus oleh Belanda. Mengenai mandat kabinet ini, Mr. Sjarifudin baru mengetahui beberapa

bulan setelah PDRI, berbentuk wawancara pers Bung Hatta yang dilakukannya di tempat pembuangannya di Bangka, yang didengar Sjarifudin di tempat persembunyiannya di pedalaman Sumatera Tengah dari radio. Dengan ini terbuktilah bahwa Sjarifudin membentuk pemerintahan darurat ini atas inisiatif sendiri. Sejumlah tokoh pimpinan republik yang berada di Sumatera Barat dapat berkumpul di Halaban, dan pada 22 Desember 1948 mereka mengadakan rapat yang dihadiri antara lain oleh Syafruddin Prawiranegara, T. M. Hassan, Sutan Mohammad Rasjid, Kolonel Hidayat, Lukman Hakim, Ir. Indracahya, Ir. Mananti Sitompul, Maryono Danubroto, Direktur BNI A. Karim, Rusli Rahim dan Latif. Walaupun secara resmi kawat Presiden Soekarno belum diterima, tanggal 22 Desember 1948, sesuai dengan konsep yang telah disiapkan, maka dalam rapat tersebut diputuskan untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), dengan susunan sebagai berikut: Mr. Syafruddin Prawiranegara, Ketua PDRI/Menteri Pertahanan/ Menteri Penerangan/Menteri Luar Negeri ad interim Mr. T. M. Hassan, Wakil Ketua PDRI/Menteri Dalam Negeri/Menteri PPK/Menteri Agama, Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Menteri Keamanan/Menteri Sosial, Pembangunan, Pemuda, Mr. Lukman Hakim, Menteri Keuangan/Menteri Kehakiman, Ir. M. Sitompul, Menteri Pekerjaan Umum/Menteri Kesehatan, Ir. Indracaya, Menteri Perhubungan/Menteri Kemakmuran. Keesokan harinya,23 Desember 1948, Syafruddin berpidato: "... Belanda menyerang pada hari Minggu, hari yang biasa dipergunakan oleh kaum Nasrani untuk memuja Tuhan. Mereka menyerang pada saat tidak lama lagi akan merayakan hari Natal Isa AS, hari suci dan perdamaian bagi umat Nasrani. Justru karena itu semuanya, maka lebih-lebih perbuatan Belanda yang mengakui dirinya beragama Kristen, menunjukkan lebih jelas dan nyata sifat dan tabiat bangsa Belanda: Liciknya, curangnya, dan kejamnya. Karena serangan tiba-tiba itu mereka telah berhasil menawan Presiden, Wakil Presiden, Perdana Menteri, dan beberapa pembesar lain. Dengan demikian, mereka menduga menghadapi suatu keadaan negara republik Indonesia yang dapat disamakan dengan Belanda sendiri pada suatu saat negaranya diduduki Jerman dalam Perang Dunia II, ketika rakyatnya kehilangan akal, pemimpinnya putus asa dan negaranya tidak dapat ditolong lagi. Tetapi kita membuktikan bahwa perhitungan Belanda itu sama sekali meleset. Belanda mengira bahwa dengan ditawannya pemimpin-pemimpin

kita yang tertinggi, pemimpin-pemimpin lain akan putus asa. Negara RI tidak tergantung kepada Sukarno-Hatta, sekalipun kedua pemimpin itu sangat berharga bagi kita. Patah tumbuh hilang berganti. Kepada seluruh Angkatan Perang Negara RI kami serukan: Bertempurlah, gempurlah Belanda di mana saja dan dengan apa saja mereka dapat dibasmi. Jangan letakkan senjata, menghentikan tembak-menembak kalau belum ada perintah dari pemerintah yang kami pimpin. Camkanlah hal ini untuk menghindarkan tipuan-tipuan musuh." Keberadaan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia kemudian diumumkan lewat radio ke seluruh dunia. Sjafruddin mengatakan bahwa pemerintahan Republik Indonesia tetap ada dan propaganda Belanda yang menyatakan bahwa pemerintahan Republik Indonesia telah musnah tidak benar. Sejak itu PDRI menjadi musuh nomor satu Belanda. Tokoh-tokoh PDRI harus bergerak terus sambil menyamar untuk menghindari kejaran dan serangan Belanda. Perjalanan Tokoh-Tokoh PDRI Sejak Keberadaan PDRI diumumkan lewat radio ke seluruh dunia, PDRI menjadi musuh nomor satu Belanda. Tokoh-tokoh PDRI harus bergerak terus sambil menyamar untuk menghindari kejaran dan serangan Belanda. Mr. T.M Hasan yang menjabat sebagai Wakil Ketua PDRI, merangkap Menteri Dalam Negeri, Agama, Pendidikan dan Kebudayaan, menuturkannya bahwa rombongan mereka kerap tidur di hutan belukar, di pinggir sungai Batanghari, dan sangat kekurangan bahan makanan. Mereka pun harus menggotong radio dan berbagai perlengkapan lain. Kondisi PDRI yang selalu bergerilya keluar masuk hutan itu diejek radio Belanda sebagai Pemerintah Dalam Rimba Indonesia. Sjafruddin membalas, Kami meskipun dalam rimba, masih tetap di wilayah RI, karena itu kami pemerintah yang sah. Tapi, Belanda waktu negerinya diduduki Jerman, pemerintahnya mengungsi ke Inggris. Padahal menurut UUD-nya sendiri menyatakan bahwa kedudukan pemerintah haruslah di wilayah kekuasaannya. Apakah Inggris jadi wilayah kekuasaan Belanda? Yang jelas pemerintah Belanda tidak sah. Karena terus diburu-buru Belanda, demikian Mr. Sjarifudin dan perangkat pemerintahan darurat terus mobil dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain dan termasuk radio Dick Tamimi yang juga dibawa kemana-mana. Karena keadaan Halaban sudah tidak aman lagi, PDRI pindah ke Bangkinang. Disini mereka mengalami pemboman Belanda dan dalam perjalanan diteruskan ke Pekanbaru. Perjalanan masih dilakukan dengan mobil dan jeep, dan kadang-kadang harus menyebrang sungai dengan rakit.

Di dalam perjalanan ke Pekanbaru didengar kabar bahwa Pekan Baru sudah diduduki Belanda, maka tujuan perjalanan dirubah ke Taluk di daerah Riau. Dikarenakan kondisi pemerintahan Sjarifudin yang selalu berpindah, Belanda selalu mengejek PDRI sebagai Pemerintah Dalam Rimba Indonesia, namun Sjarifudin membalas ejekan tersebut melalui pancaran radio ke seluruh dunia sebagai berikut : Pemerintah kami biarpun dalam rimba, tetapi sah, karena masih di dalam daerah kekuasaan kami (Indonesia). Tetapi Belanda yang terang2an dalam undang2 dasarnya menyatakan tidak sah mendirikan pemerintah atau memindahkannya ke luar daerah kekuasaanya, telah memindahkan kekuasaanya ke London, di waktu Nederland dikuasai Jerman tahun 1940. Pemerintahaanya di Indonesia dipindahkan ke Australia. Lalu kenapa Belanda mencap PDRI yang masih di dalam daerahnya tidak sah? Dalam perjalanan menyusuri rimba inilah, semua mobil-mobil bagus yang dipakai anggota pemerintahan darurat dimasukkan ke dalam suatu sungai dengan suatu upacara khusus, karena mobil-mobil ini tidak bisa dipakai lagi berhubung jalan-jalan yang akan ditempuh amat buruk. Mr. T. Hassan tampaknya amat berat untuk berpisah dengan mobil Gajah Putihya dan dengan amat terharu dia melihat mobil kesayangannya itu tenggelam. Jeep yang ditumpangi Mr. Sjarifudin bersama Dick Tamimi pernah slip dan masuk ke dalam suatu sungai yang cukup dalam, sehingga para penumpang keluar dengan basah kuyup, dimana Mr. Sjarifudin kehilangan barang yang amat diperlukannya, yaitu kaca matanya. Sesampainya di Taluk, kepada Sjarifudin diberikan sebuah Testbril yang biasa dipakai kalau seorang dokter mata tengah memeriksa mata seorang pasien yang mau memakai kaca mata. Kaca mata istimewa inilah yang dipakai Sjarifudin sebagai pengganti kaca matanya yang hilang itu, hal mana tentu saja menimbulkan tertawaan kepada siapapun yang melihatnya. Sesudah mengalami penembakan dengan senapan mesin dari pesawat terbang Belanda di Taluk, rombongan PDRI mengungsi ke sungai Darah. Sementara itu perjalanan dengan jalan kaki dimulai, tidak kurang dari 40 Km sehari. Sesudah berjalan dari satu desa ke desa lain, maka diputuskan bahwa pemerintahan darurat akan berkedudukan di suatu desa bernama Bidaralam. Disinilah kontak dengan Jawa dan New Delhi dilakukan, sehingga perjuangan PDRI berkumandang ke seluruh dunia dan menguatkan tuntutan Palar dengan dibantu wakil-wakil India di PBB, sehingga perjuangan Indonesia berhasil. Di desa-desa yang kecil dan miskin kadang-kadang rombongan hanya disuguhkan nasi sama cabe dan daun singkong rebus, tetapi karena cape akibat perjalanan yang dilakukan, makanan ini tetap enak rasanya.

Konsolidasi Sekitar satu bulan setelah agresi militer Belanda, dapat terjalin komunikasi antara pimpinan PDRI dengan keempat Menteri yang berada di Jawa. Mereka saling bertukar usulan untuk menghilangkan dualisme kepemimpinan di Sumatera dan Jawa. Setelah berbicara jarak jauh dengan pimpinan Republik di Jawa, maka pada 31 Maret 1949 Prawiranegara mengumumkan penyempurnaan susunan pimpinan Pemerintah Darurat Republik Indonesia yang lebih dikenal dengan sebutan Kabinet Darurat. Kabinet Darurat merupakan Kabinet Sementara untuk menjalankan negara Indonesia yang pada saat itu, Presiden Ir. Soekarno dan Wakil Presiden yang merangkap Perdana Menteri Drs. Moh. Hatta ditangkap oleh Belanda. Kabinet ini bertugas pada periode 19 Desember 1949 - 13 Juli 1949, menggantikan sementara Kabinet Hatta I yang anggotanya ditawan oleh Belanda pada Agresi Militer Belanda II. Kabinet ini dikenal sebagai Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berpusat di Bukittinggi. Susunan Kabinet Darurat yang telah disempurnakan antara lain : Mr. Syafruddin Prawiranegara, Ketua merangkap Menteri Pertahanan dan Penerangan, Mr. Susanto Tirtoprojo, Wakil Ketua merangkap Menteri Kehakiman dan Menteri Pembangunan dan Pemuda, Mr. Alexander A. Maramis, Menteri Luar Negeri (berkedudukan di New Delhi, India). dr. Sukiman, Menteri Dalam Negeri merangkap Menteri Kesehatan. Mr. Lukman Hakim, Menteri Keuangan. Mr. Ignatius J. Kasimo, Menteri Kemakmuran/Pengawas Makanan Rakyat. Kyai Haji Masykur, Menteri Agama. Mr. T. Moh. Hassan, Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Ir. Indracahya, Menteri Perhubungan. Ir. Mananti Sitompul, Menteri Pekerjaan Umum. Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Menteri Perburuhan dan Sosial. Pejabat di bidang militer: Letnan Jenderal Sudirman, Panglima Besar Angkatan Perang RI. Kolonel Abdul Haris Nasution, Panglima Tentara & Teritorium Jawa. Kolonel R. Hidayat Martaatmaja, Panglima Tentara & Teritorium Sumatera.

Kolonel Nazir, Kepala Staf Angkatan Laut. Komodor Udara Hubertus Suyono, Kepala Staf Angkatan Udara. Komisaris Besar Polisi Umar Said, Kepala Kepolisian Negara. Kemudian tanggal 16 Mei 1949, dibentuk Komisariat PDRI untuk Jawa yang dikoordinasikan oleh Mr. Susanto Tirtoprojo, dengan susunan sbb.:

Mr. Susanto Tirtoprojo, urusan Kehakiman dan Penerangan. Mr. Ignatius J. Kasimo, urusan Persediaan Makanan Rakyat. R. Panji Suroso, urusan Dalam Negeri.

Selain dr. Sudarsono, Wakil RI di India, Mr. Alexander Andries Maramis, Menteri Luar Negeri PDRI yang berkedudukan di New Delhi, India, dan L. N. Palar, Ketua delegasi Republik Indonesia di PBB, adalah tokoh-tokoh yang sangat berperan dalam menyuarakan Republik Indonesia di dunia internasional sejak Belanda melakukan Agresi Militer Belanda II. Dalam situasi ini, secara de facto, Mr. Syafruddin Prawiranegara adalah Kepala Pemerintah Republik Indonesia. Perlawanan Perlawanan bersenjata dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia serta berbagai laskar di Jawa, Sumatera serta beberapa daerah lain. PDRI menyusun perlawanan di Sumatera. Tanggal 1 Januari 1949, PDRI membentuk 5 wilayah pemerintahan militer di Sumatera: Aceh, termasuk Langkat dan Tanah Karo.

o Gubernur Militer : Tgk Daud Beureu'eh di Beureu'eh o Wakil Gubernur Militer : Letnan Kolonel Askari Tapanuli dan Sumatera Timur Bagian Selatan.

o Gubernur Militer : dr. Ferdinand Lumban Tobing o Wakil Gubernur Militer : Letnan Kolonel Alex Evert K. Riau

o Gubernur Militer : R.M. Utoyo o Wakil Gubernur Militer : Letnan Kolonel Hasan Basri

Sumatera Barat

o Gubernur Militer : Mr. Sutan Mohammad Rasjid o Wakil Gubernur Militer : Letnan Kolonel Dahlan Ibrahim Sumatera Selatan

o Gubernur Militer : dr. Adnan Kapau Gani o Wakil Gubernur Militer : Letnan Kolonel Maludin Simbolon. Akhir PDRI a. Perundingan Roem-Royen Dengan difasilitasi oleh UNCI, tanggal 14 April 1949 dimulai perundingan antara Delegasi Republik Indonesia yang dipimpin oleh Mr. Mohammad Rum dengan Delegasi Belanda yang dipimpin oleh Dr. Jan H. van Royen. Tanggal 22 April 1949, delegasi BFO, dipimpin oleh Anak agung Gde Agung, menemui Presiden Sukarno di Bangka. Kelihatannya BFO mencoba memperoleh konsesi dari Republik. Tanggal 25 April, Wakil Presiden M. Hatta tiba di Jakarta dari Bangka dan Hamengku Buwono juga tiba di Jakarta dari Yogyakarta. Tanggal 7 Mei 1949, ditandatangani kesepakatan yang dinamakan Perjanjian Rum-Royen. Dalam perundingan tersebut, Mr. Mohammad Rum menyampaikan sikap Republik sebagai berikut: Statement Delegasi Republik Indonesia (Diucapkan oleh Mr. Moh. Rum) Sebagai Ketua Delegasi Republik, saya diberi kuasa oleh Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta untuk menyatakan kesanggupan mereka sendiri (persoonlijk), sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan tertanggal 28 Januari 1949 dan petunjuk-petunjuknya tertanggal 23 Maret 1949 untuk memudahkan tercapainya: 1. pengeluaran perintah kepada pengikut-pengikut Republik yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya; 2. kerjasama dalam hal mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan, dan 3. turut serta pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat, dengan tidak bersyarat.

Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta akan berusaha mendesak supaya politik demikian diterima oleh Pemerintah Republik Indonesia selekas-lekasnya setelah dipulihkan di Yogyakarta. Jadi dalam pernyataan tersebut, Delegasi Republik menyampaikan kesanggupan Sukarno-Hatta sehubungan dengan perintah gencatan senjata, apabila mereka telah kembali ke Yogyakarta. Sehingga dengan demikian, delegasi Republik mengalah dengan memberikan konsesi tersebut. Belanda merasa tidak kehilangan muka. Oleh sebab itu, atas statement Delegasi Indonesia, Delegasi Belanda memberikan jawaban dalam bentuk statement juga yang berbunyi: Statement Delegasi Pemerintah Belanda (Dibacakan oleh Dr. van Royen) 1. Delegasi Belanda diberi kuasa menyatakan bahwa berhubung dengan kesanggupan yang baru saja diucapkan oleh Mr. Rum, ia menyetujui kembalinya Pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta. Delegasi Belanda selanjutnya menyetujui pembentukan panitia bersama atau lebih di bawah auspices UNCI (KPBBI) dengan maksud: a. Mengadakan penyelidikan dan persiapan yang perlu sebelum kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta. b. Mempelajari dan memberi nasehat tentang tindakan-tindakan yang akan diambil untuk melaksanakan penghentian perang gerilya dan kerjasama dalam hal mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan. 2. Pemerintah Belanda setuju bahwa Pemerintah Republik Indonesia harus bebas dan leluasa melaksanakan pekerjaannya yang sepatutnya dalam satu daerah yang meliputi Karesidenan Yogyakarta dan bahwa ini adalah satu langkah yang dilakukan sesuai dengan maksud petunjuk-petunjuk Dewan Keamanan tanggal 23 Maret 1949. 3. Pemerintah Belanda menguatkan sekali lagi kesanggupannya untuk menjamin penghentian segera dari semua gerakan-gerakan militer dab membebaskan dengan segera dan tidak bersyarat semua tahanan politik yang ditangkapnya sejak 17 Desember 1948 dalam Republik Indonesia. 4. Dengan tidak mengurangi hak bagian-bagian bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri sebagai yang diakui dalam asas-asas Linggajati dan Renville, Pemerintah Belanda tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara atau daerah-daerah di atas daerah yang dikuasai oleh Republik sebelum tanggal 19 Desember 1948 dan tidak akan meluaskan negara atau daerah dengan merugikan daerah Republik tersebut.

5. Pemerintah Belanda menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai satu kesatuan yang nanti akan duduk dalam Negara Indonesia Serikat. Apabila suatu Badan Perwakilan Sementara untuk Indonesia dibentuk dan karena itu perlu ditetapkan jumlah perwakilan Republik dalam Badan tersebut, jumlah itu ialah separuh dari jumlah anggota-anggota semua, di luar anggotaanggota Republik. 6. Sesuai dengan maksud dalam petunjuk Dewan Keamanan tanggal 23 Maret 1949 yang mengenai Konferensi Meja Bundar di Den Haag, supaya perundingan-perundingan yang dimaksud oleh Resolusi Dewan Keamanan tanggal 28 Januari 1949 dapat diadakan selekas-lekasnya, maka Pemerintah Belanda akan berusaha sesungguh-sungguhnya supaya konferensi itu segera diadakan sesudahnya Pemrintah Republik kembali ke Yogyakarta. Pada konferensi itu, perundingan-perundingan akan diadakan tentang cara bagaimana mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh-sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat sesuai dengan asas-asas Renville. 7. Berhubung dengan keperluan kerjasama dalam hal pengembalian perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan, Pemerintah Belanda setuju bahwa di semua daerah di luar Karesidenan Yogyakarta, di mana pegawai sipil, polisi dan pegawai Pemerintah Indonesia (Pemerintah Belanda di Indonesia) lainnya sekarang tidak bekerja, maka pegawai sipil, polisi dan pegawai Republik lainnya masih terus bekerja, akan tetapi dalam jabatan mereka. Dengan sendirinya pembesar-pembesar Belanda membantu Pemerintah Republik dalam hal keperluan-keperluan yang dikehendakinya menurut pertimbangan yang pantas untuk perhubungan dan konsultasi dengan segala orang di Indonesia, terhitung juga mereka yang bekerja dalam jabatan sipil dan militer Republik, dan detail-detail tehnik akan diselenggarakan oleh kedua belah pihak di bawah pengawasan UNCI. Setelah disampaikan janji Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta, yang akan mengeluarkan perintah kepada gerilyawan untuk menghentikan pertempuran, setelah Pemerintah Republik dipulihkan di Yogyakarta, Belanda tidak mempunyai alasan lagi untuk menunda pelaksanaan Resolusi Dewan Keamanan tertanggal 28 Januari tersebut. Dengan dicapainya kesepakatan Rum-Royen, maka pintu menuju perundingan antara Republik dengan Belanda, telah terbuka. Namun, dalam fase menjelang perundingan dengan Belanda, nampaknya PDRI serta pimpinan tertinggi TNI sama sekali tidak dilibatkan, atau pun ditanyakan pendapatnya. Disadari atau tidak, taktik Belanda untuk memecah-belah Republik membuahkan hasil. Beberapa kalangan di pihak

Republik menilai, bahwa kesediaan untuk dilakukan perundingan dengan Belanda yang menghasilkan Persetujuan Rum-Royen, telah mengingkari kesepakatan antara pimpinan sipil dan militer Republik, yaitu: "Tidak akan melakukan pembicaraan apapun, sebelum para pemimpin Republik dibebaskan, serta Pemerintah Republik dipulihkan di Yogyakarta". Selain itu formulasi yang digunakan oleh Mr. M. Rum dalam butir satu dari statement-nya, yaitu: "pengeluaran perintah kepada pengikut-pengikut Republik yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya", telah menimbulkan kemarahan besar di pihak TNI, yang sangat kecewa, bahwa Mr. M. Rum tidak menggunakan kata Angkatan Perang Republik Indonesia atau Tentara Nasional Indonesia, melainkan hanya menggunakan "pengikutpengikut Republik yang bersenjata." Ini adalah formulasi yang selalu dipergunakan oleh Belanda -dan juga Inggris- sejak semula, karena Belanda tidak mau mengakui adanya Angkatan Perang Republik Indonesia atau TNI. Sejak pembentukan PDRI tanggal 22 Desember 1948, Pemerintah Belanda dan BFO tidak pernah mau mengakuinya. Demikian juga sikap Belanda terhadap TNI, dan selalu menyebutkan TNI hanya sebagai pengikut Republik yang bersenjata. Langkah pimpinan Republik yang dalam fase penting ini mengabaikan PDRI dan pimpinan TNI, tentu sangat gegabah dan menimbulkan tentangan keras, baik dari pimpinan militer di Jawa maupun di Sumatera. Pimpinan sipil menyadari, bahwa apabila TNI tidak mendukung hasil persetujuan Rum-Royen, perundingan selanjutnya tentu tidak dapat dilakukan. Kemarahan Panglima Besar dan TNI tersebut segera dilaporkan kepada Presiden Sukarno di Pangkalpinang, yang segera mengirim surat kepada Panglima Besar Sudirman. Mr. M. Rum, yang menyadari kesalahannya tersebut, juga mengirim suratkepada HB IX untuk membantu meredakan kemarahan Panglima Besar. Dalam suratnya tanggal 25 Mei kepada Hamengku Buwono IX, Rum meminta agar HB IX segera menghubungi Panglima Besar, guna menunjuk Kolonel Simatupang menjadi penasihat militer dalam delegasi Indonesia. Namun kesalahan yang baru belakangan disadari, hanya menambah panjang rangkaian perlakuan buruk para politisi terhadap militer. Baik surat Presiden Sukarno, mau pun dari HB IX, belum dapat meredakan amarah Panglima Besar, yang menolak keikutsertaan militer dalam perundingan selanjutnya. Atas surat Mr. M. Rum tersebut, Panglima Besar menulis surat kepada Simatupang tanggal 6 Juni 1949 (baru diterima oleh Simatupang tanggal 19 Juni). Pada 27 Juni 1949, Simatupang menjawab surat Panglima Besar. Semula, Syafruddin Prawiranegara yang enggan datang ke Jakarta, namun M. Natsir berhasil meyakinkan Prawiranegara untuk datang ke Jakarta, menyelesaikan dualisme pemerintahan RI, yaitu PDRI yang dipimpinnya, dan

Kabinet

Hatta,

yang

secara

resmi

tidak

dibubarkan.

Setelah Persetujuan Rum-Royen ditandatangani, pada 13 Juli 1949, diadakan sidang antara PDRI dengan Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta serta sejumlah menteri kedua kabinet. Pada sidang tersebut, Pemerintah Hatta mempertanggungjawabkan peristiwa 19 Desember 1948. Wakil Presiden Hatta menjelaskan 3 soal, yakni hal tidak menggabungkan diri kepada kaum gerilya, hal hubungan Bangka dengan luar negeri dan terjadinya Persetujuan Rum-Royen. Sebab utama Sukarno-Hatta tidak ke luar kota pada tanggal 19 Desember sesuai dengan rencana perang gerilya, adalah berdasarkan pertimbangan militer, karena tidak terjamin cukup pengawalan, sedangkan sepanjang yang diketahui dewasa itu, seluruh kota telah dikepung oleh pasukan payung Belanda. Lagi pula pada saat yang genting itu tidak jelas tempat-tempat yang telah diduduki dan arah-arah yang diikuti oleh musuh. Dalam rapat di istana tanggal 19 Desember 1948 antara lain KSAU Suaryadarma mengajukan peringatan pada pemerintah, bahwa pasukan payung biasanya membunuh semua orang yang dijumpai di jalan-jalan, sehingga jika para beliau itu ke luar haruslah dengan pengawalan senjata yang kuat. Pada sidang tersebut, secara formal Syafruddin Prawiranegara menyerahkan kembali mandatnya, sehingga dengan demikian, M. Hatta, selain sebagai Wakil Presiden, kembali menjadi Perdana Menteri. Setelah serah terima secara resmi pengembalian Mandat dari PDRI, tanggal 14 Juli, Pemerintah RI menyetujui hasil Persetujuan Rum-Royen, sedangkan KNIP baru mengesahkan persetujuan tersebut tanggal 25 Juli 1949. b. Gencatan Senjata Ketika berita gencatan senjata telah didengar oleh PDRI, juga terdapat informasi bahwa Bung Hatta terbang ke Aceh untuk menemui Sjarifudin. Namun karena Sjarifudin berada di Sumatera Tengah, tentu saja usaha Hatta sia-sia. Untuk itu dikirimlah Natsir, Leimena, dan Dr. Halim ke Sumatera Tengah. Mereka melakukan perjalanan kaki sekitar 15 Km hingga akhirnya berhasil menemui Sjarifudin. Setelah pemerintahan darurat mendengar bahwa pemimpin-pemimpin di Bangka mengadakan perundingan dengan Belanda tanpa membuat hubungan terlebih dahulu dengan PDRI, pihak PDRI merasa amat kecewa, karena menurut mereka berunding dengan pemimpin yang berada dalam tawanan, pihak Belanda dapat memaksakan kemauannya. PDRI juga tidak menyetujui hasil persetujuan Roem-Royen karena tidak seimbang dengan kekuatan pejuang yang melakukan gerilya. Namun PDRI kemudian

menyetujui perundingan Roem Royen karena ingin menghindari perpecahan dalam usaha perjuangan. c. Pengembalian Mandat Setelah Perjanjian Roem-Royen, M. Natsir meyakinkan Prawiranegara untuk datang ke Jakarta, menyelesaikan dualisme pemerintahan RI, yaitu PDRI yang dipimpinnya, dan Kabinet Hatta, yang secara resmi tidak dibubarkan. Setelah Persetujuan Roem-Royen ditandatangani, pada 13 Juli 1949, diadakan sidang antara PDRI dengan Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta serta sejumlah menteri kedua kabinet. Pada sidang tersebut, Pemerintah Hatta mempertanggungjawabkan peristiwa 19 Desember 1948. Wakil Presiden Hatta menjelaskan 3 soal, yakni hal tidak menggabungkan diri kepada kaum gerilya, hal hubungan Bangka dengan luar negeri dan terjadinya Persetujuan Roem-Royen. Sebab utama Sukarno-Hatta tidak ke luar kota pada tanggal 19 Desember sesuai dengan rencana perang gerilya, adalah berdasarkan pertimbangan militer, karena tidak terjamin cukup pengawalan, sedangkan sepanjang yang diketahui dewasa itu, seluruh kota telah dikepung oleh pasukan payung Belanda. Lagi pula pada saat yang genting itu tidak jelas tempat-tempat yang telah diduduki dan arah-arah yang diikuti oleh musuh. Dalam rapat di istana tanggal 19 Desember 1948 antara lain KSAU Suaryadarma mengajukan peringatan pada pemerintah, bahwa pasukan payung biasanya membunuh semua orang yang dijumpai di jalan-jalan, sehingga jika para beliau itu ke luar haruslah dengan pengawalan senjata yang kuat. Pada sidang tersebut, secara formal Syafruddin Prawiranegara menyerahkan kembali mandatnya, sehingga dengan demikian, M. Hatta, selain sebagai Wakil Presiden, kembali menjadi Perdana Menteri. Setelah serah terima secara resmi pengembalian Mandat dari PDRI, tanggal 14 Juli, Pemerintah RI menyetujui hasil Persetujuan Roem-Royen, sedangkan KNIP baru mengesahkan persetujuan tersebut tanggal 25 Juli 1949.

You might also like